Anda di halaman 1dari 9

DETEKSI DINI MASALAH GIZI MIKRO DAN MAKRO

KEKURANGAN ENERGI PROTEIN (KEP)

Disusun Oleh :
1. Fonni Ginia (PO.71.31.2.16.0 )
2. Lulu Gustin (PO.71.31.2.16.032)
3. Maryam .A. Aruri (PO.71.31.2.16.038)
4. Surya Putra (PO.71.31.2.16.049)
5. Ursulla Samderubun (PO.71.31.2.16.050)
6. Yulinar Tokoro (PO.71.31.2.16.058)
7. Yuniyarti Arfillah (PO.71.31.2.16.060)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAYAPURA

PROGRAM STUDI D - IV GIZI/ VI

2019
1.1 Latar Belakang
Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi
menahun. Anak Balita rentan untuk menjadi gizi buruk karena balita merupakan anak
yang dalam masa tumbuh kembang. Gizi buruk menyebabkan 10,9 Juta kematian anak
balita didunia setiap tahun. Secara garis besar, dalam kondisi akut, gizi buruk bisa
mengancam jiwa karena berbagai disfungsi yang dialami. Ancaman yang timbul antara
lain hipotermi (mudah kedinginan) karena jaringan lemaknya tipis, hipoglikemi (kadar
gula dalam darah dibawah kadar normal), dan kekurangan elektrolit dan cairan tubuh.
Jika fase akut tertangani tapi tidak di follow up dengan baik yang mengakibatkan anak
tidak dapat mengejar ketinggalannya maka dalam jangka panjang kondisi ini berdampak
buruk terhadap pertumbuhan maupun perkembangannya
Kejadian gizi buruk pada 2 tahun pertama kehidupan dapat menyebabkan
kerusakan organ otak tidak dapat diperbaiki, balita gagal tumbuh (BBLR, kecil, pendek,
kurus), hambatan perkembangan kognitif, menurunkan produktivitas pada usia dewasa,
balita gizi buruk memiliki sistem daya tahan tubuh yang lemah sehingga mereka sering
sakit (lebih sering menderita penyakit yang parah) dan kemungkinan meninggal dunia.
Gangguan tumbuh kembang anak akan berakibat buruk pada kehidupan berikutnya yang
sulit diperbaiki. Anak yang menderita kurang gizi berat mempunyai rata-rata IQ 11 poin
lebih rendah dibandingkan rata-rata IQ anak yang tidak kurang gizi. Kenyataan ini tentu
berdampak pada kualitas Sumber daya Manusia (SDM) suatu bangsa
Kurang energi protein (KEP) adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan
oleh rendahnya konsumsi energi protein dalam makanan sehari – hari sehingga tidak
memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG) (Pudjiani,2000). Anak disebut KEP apabila
berat badannya kurang dari 80% WHO-NCHS. Sedangkan menurut Depkes RI (1999)
Kurang Energi Protein (KEP) adalah masalah gizi kurang akibat konsumsi pangan
tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena gangguan kesehatan. KEP
sendiri sering dijumpai pada anak pra – sekolah (Soekirman,2000). Jadi dapat
disimpulkan bahwa Kekurang Energi Protein adalah keadaan kurang gizi yang
disebabkan oleh dua faktor yaitu konsumsi energi dan protein kurang dan gangguan
kesehatan.
Adapun yang menjadi penyebab langsung terjadinya KEP adalah konsumsi
yang kurang dalam jangka waktu yang lama. Pada orang dewasa, KEP timbul pada
anggota keluarga rumah tangga miskin oleh karena kelaparan akibat gagal panen atau
hilangnya mata pencaharian.
Faktor yang mempengaruhi status gizi pada balita salah satunya adalah sanitasi
lingkungan yang merupakan faktor tidak langsung, tetapi ada juga faktor lain yang
mempengaruhi status gizi. Keadaan sanitasi lingkungan yang kurang baik memungkinkan
terjadinya berbagai jenis penyakit antara lain diare, kecacingan dan infeksi saluran
pernafasan. Apabila anak menderita infeksi saluran pencernaan, penyerapan zat gizi akan
terganggu yang menyebabkan terjadinya kekurangan zat gizi.
Berdasarkan Pantauan Status Gizi (PSG) 2017 yang dilakukan Kementerian
Kesehatan, bayi usia di bawah lima tahun (Balita) yang mengalami masalah gizi pada
2017 mencapai 17,8%, sama dengan tahun sebelumnya. Jumlah tersebut terdiri dari
Balita yang mengalami gizi buruk 3,8% dan 14% gizi kurang.
Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, secara nasional prevalensi menurut
indikator BB/U 3,9% gizi buruk dan 13,8% gizi kurang, indikator TB/U 18,5% sangat
pendek dan 17,1% pendek, menrut indikator BB/TB 6,0% sangat kurus dan 7,3%
kurus. Sementara data status gizi balita di provinsi Papua, berdasarkan BB/U terdapat
gizi buruk sebanyak 6,4%, gizi kurang sebanyak 18,6%, gizi baik sebanyak 72,2%
dan gizi lebih sebanyak 2,8%. Berdasarkan TB/U terdapat 15,8% balita dengan status
sangat pendek, 23,1 balita dengan status pendek dan 61,1 balita dengan status normal.
Adapun status gizi berdasarkan BB/TB terdapat 4,8% balita dengan kategori sangat
kurus, 7,2 % balita dengan kategori kurus, dan 6,9% balita masuk kategori gemuk.

1.2 Jenis – Jenis KEP


Secara umum KEP terbagi menjadi 2 bagian diantaranya, KEP ringan yang
sering disebut dengan kurang gizi dan KEP berat disebut gizi buruk yang termasuk di
dalamnya adalah marasmus, kwashiorkor (sering juga disebut Busung Lapar atau
HO), dan marasmus – kwashiorkor.
1. KEP Ringan
 Kurang Gizi
Penyakit ini paling banyak menyerang anak balita, terutama di
negara – negara berkembang. Gejala kurang gizi ringan reatif tidak
jelas, hanya terlihat bahwa berat badan anak tersebut lebih rendah
dibandingkan anak seusianya. Rata – rata berat badannya hanya sekitar
60 – 80% dari berat badan ideal.
2. KEP Berat
 Marasmus
Marasmus adalah kekurangan asupan energi atau kalori dari
semua bentuk makronutrien, mencakup karbohidrat, lemak, dan
protein. Kondisi ini paling banyak ditemukan pada anak berusia di
bawah 2 tahun.Salah satu bentuk kekurangan gizi buruk yang paling
sering ditemui pada balita berusia 0 – 2 tahun yang tidak mendapatkan
Air Susu Ibu (ASI). Penyebabnya antara lain karena masukan makanan
yang sangat kurang, infeksi, pembawaan lahir, prematuritas, penyakit
pada masa neonatur serta kesehatan lingkungan. Si kecil yang
mengalami marasmus biasanya memiliki berat badan sangat rendah
kurang dari 60% berat badan sesuai dengan usianya, ukuran kepala
tidak sebanding dengan ukuran tubuh, mudah terkena infeksi penyakit,
rambut tipis dan mudah rontok, dan mudah rontok dan anak menjadi
berwajah lonjong dan tampak lebih tua, kulit kering dan berlipat
bersamaan dengan hilangnya lemak subkutan, tingkat kesadaran
menurun dan bentuk perut cekung disertai diare kronik.
 Kwashiorkor
Kondisi ini banyak ditemukan pada anak usia 1 - 3 tahun yang
kurang mendapatkan asupan protein. Secara spesifik, kwashiorkor
diartikan sebagai kondisi kekurangan atau bahkan ketiadaan
asupan protein. Padahal, protein dibutuhkan tubuh untuk memperbaiki
dan membuat sel-sel baru. Kondisi ini ditandai dengan pembengkakan
di bagian bawah kulit (edema), akibat terlalu banyaknya cairan dalam
jaringan tubuh. Pembengkakan dapat terjadi pada seluruh bagian tubuh
dan umumnya dimulai di kaki. Wajah anak membulat dan sembab
(moon face), otot mengecil, muncul ruam pada kulit, anak menjadi
rewel, dan apatis perut yang membesar.
 Marasmus – Kwashiorkor
Merupakan gabungan antara kekurangan energi dan
kekurangan protein.
1.3 Penyebab KEP
1) Penyebab Langsung
- Penyakit infeksi
- Kurangnya konsumsi energi protein dalam makanan sehari – hari
2) Penyabab Tidak Langsung
- Ekonomi yang rendah
- Kurangnya pengetahuan tentang kesehatan
- Sanitasi lingkungan yang buruk

1.5 Penentuan Krieria Masalah Gizi KEP


1) Antropometri
 BB/U
Dimana pengukuran ini melihat dari Z-Score Anak pada WHO –
NCHS,dikatakan anak dalam kategori:
- Gizi Baik : -2 SD sampai +2 SD
- Gizi Kurang : < -2 SD sampai -3 SD
- Gizi Buruk : < -3 SD
 Lingkar Lengan Atas (LILA)
Pengukuran ini dapat memberikan gambaran tentang keadaan jaringan
otot dan lapisan lemak bawah kulit. Lingkar lengan atasmencerminkan
cadangan energi, sehingga dapat mencerminkan status KEP balita.
Pada pengukuran LILA menggunakan pita pengukur dari fiberglass
atau sejenis kertas tertentu berlapis plastik Ambang batas (Cutof
Points) :
- Pada bayi 0 – 30 hari : <9,5 cm
- Pada Balita dengan KEP : <12,5 cm
 Lingkar Kepala
Lingkar kepala digunakan pada malnutrisi kronik pada beberapa bulan
awal kehidupan, atau pertumbuhan intra uteri yang terganggu mungkin
berpengaruh kepada pertumbuhan otak sehingga hasilnya adalah
ukuran lingkar kepala yang abnormal. Pengukuran lingkar kepala
sangat pentingkarena berhubungan dengan ukuran otak. Saat penlaian
dihubungkan dengan umur, maka lingkar kepala dapat dugunakan
sebagai indks status energi protein pada satu dua tahun awal kehidupan.
Setelah dua tahun pertumbuhan lingkar kepala sangat lambat sehingga
tidak berguna jika digunakan.
Pengukuranini menggunakan pita yang fleksibel dan tidak
melar/mudah patah terbuat dari fiberglass dengan lebar 0,6 cm
Dimana batas normalnya yaitu :
- 0 bulan : 35 cm
- 1 bulan : 35 – 41 cm
- 36 – 42.5 cm untuk bayi usia 2 bulan
- 37.5 – 44 cm untuk bayi usia 3 bulan
Bayi Usia 3 – 6 Bulan
Ukuran lingkar kepala akan bertambah sekitar 1 cm per bulannya. Dan,
rentang lingkar kepala normal untuk bayi usia 3 – 6 bulan adalah:

- 38.5 – 45 cm untuk bayi usia 4 bulan


- 39.5 – 45.5 cm untuk bayi usia 5 bulan
- 40 – 46 cm untuk bayi usia 6 bulan

Bayi Usia 6 – 12 Bulan


Pada bayi usia 6 – 12 bulan, ukuran lingkar kepala akan bertambah
sekitar 0,5 cm per bulan.Dan, rentang lingkar kepala normal untuk bayi
usia 6 – 12 bulan adalah:

- 40.5 – 47 cm untuk bayi usia 7 bulan


- 41 – 47.5 cm untuk bayi usia 8 bulan
- 41.5 – 48 cm untuk bayi usia 9 bulan
- 42 – 48.5 cm untuk bayi usia 10 bulan
- 42.5 – 49 cm untuk bayi usia 11 bulan
- 43 – 49.5 cm untuk bayi usia 12 bulan

Bayi Usia 12 – 24 Bulan (1 – 2 Tahun)


Ukuran lingkar kepala normal bayi usia 12 – 24 bulan (1 – 2 tahun)
adalah:

- 43 – 49.5 cm untuk bayi usia 12 bulan


- 43.5 – 49.5 cm untuk bayi usia 15 bulan
- 44 – 50.5 cm untuk bayi usia 18 bulan
- 44.5 – 51 cm untuk usia 21 bulan
- 45 – 51.5 cm untuk bayi usia 24 bulan (2 tahun)

Anak Usia 24 – 36 Bulan (2 – 3 Tahun)


Ukuran lingkar kepala normal untuk anak usia 24 – 36 bulan adalah:

- 45 – 51.5 cm saat usia 24 bulan (2 tahun)


- 45.5 – 52 cm saat usia 30 bulan (2.5 tahun)
- 45.5 – 52.5 cm saat usia 36 bulan (3 tahun)

Bila ukuran lingkar kepala bayi/anak kurang dari atau lebih dari
rentang (batas) lingkar kepala normal (seperti yang sudah dijabarkan di
atas), maka ada kemungkinan bayi/anak mengalami mikrosefali (bila
lingkar kepala lebih kecil dari ukuran lingkar kepala normal) atau
makrosefali (bila lingkar kepala lebih besar dari ukuran lingkar kepala
normal). Kelainan-kelainan ini biasanya merupakan kelainan yang
sudah dibawa sejak lahir. Hal tersebut menandakan bahwa
pertumbuhan dan perkembangan otak bayi tidak berjalan dengan
normal.Kelainan makrosefali atau mikrosefali yang tidak normal
mungkin saja disebabkan karena adanya kelainan saraf pada otak bayi,
terjadinya hidrosefalus (kepala bayi membesar karena adanya
penumpukan cairan di otak), atau akibat adanya tumor.

 Lingkar Dada
Pengukuran dilakukan pada anak umur 2 – 3 tahun, setelah umur ini
tulang tengkorak tumbuh secara lambat dan pertumbuhan dada lebih
cepat. Lingkar dada juga digunakan untuk menentukan KEP pada anak.
2) Biofisik
 Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan ini pada dasarnya merupakan pemeriksaan penunjang bagi
pemeriksaan lain dalam menentukan adanya penyakit malnutisi, yaitu
melakukan foto thprax brochopnemonia pada penderita KEP.

1.6 Pencegahan
1) Memberikan ASI eksklusif (hanya ASI) sampai anak berumur 6 bulan. Setelah
itu anak mulai dikenalkan dengan makanan tambahan sebagai pendamping ASI
yang sesuai dengan tingkatan umur, lalu disapih setelah umur 2 tahun.
2) Anak diberikan makanan yang bervariasi, seimbang antara kandungan protein,
lemak, vitamin dan mineralnya. Perbandingan kompoisisnya untuk lemak
minimal 10% dari total kalori yang dibutuhkan, sementara protein 12% dan
sisanya karbohidrat.
3) Rajin menimbang dan mengukur tinggi anak dengan mengikuti program
posyandu. Cermati apakah pertumbuhan anak sesuai dengan standar. Jika tidak
sesuai, segera konsultasikan hal itu ke dokter atau ahli gizi.
4) Jika anak di rawat di rumah sakit karena gizinya buruk, bisa ditanyakan kepada
petugas pola dan jenis makanan yang harus diberikan setelah pulang dari rumah
sakit.
5) Jika anak telah menderita kekurangan gizi, maka segera berikan kalori yang
tinggi dalam bentuk karbohidrat, lemak dan gula. Sedangkan untuk proteinnya
bisa diberikan setelah sumber – sumber kalori lainnya sudah terlihat mampu
meningkatkan kondisi kesehatan secara umum. Namun, biasanya akan
meninggalkan sisa gejala kelainan fisik yang permanen dan akan muncul
masalah intelegensia dikemudian hari.
6) Mengurangi resiko untuk mendapat penyakit mengkoreksi konsumsi pangan
bila ada yang kurang, dengan penyuuhan pemberian makanan ASI pendamping

1.7 Dampak KEP


 Gangguan pertumbuhan
 Gangguan perkembangan mental
 Kecacatan
 Kecerdasan akan menurun
 Mudah terkena penyakit infeksi

1.8 Intervensi
 Melakukan kegiatan penentuan ulang status gizi balita berdasarkan berat badan
dan perhitungan umur balita yang sebenarnya dalam hitungan bulan pada saat
itu. Caranya ialah balita dihitung kembali umurnya dengan tepat dalam hitungan
bulan, balita ditimbang berat badannya dengan menggunakan timbangan dacin,
berdasarkan hasil perhitungan umur dan hasil pengukuran BB tersebut tentukan
status gizi dengan KMS atau standar antropometri
 Memberikan Program PMT balita adalah program intervensi bagi balita yang
menderita KEP yang ditujukan untuk mencukupi kebutuhan zat gizi balita gar
meningkat status gizinya sampai mencapai gizi baik (pita hijau dalam KMS),
pemeriksaan dan pengobatan yaitu pemeriksaan dan pengobatan untuk
mengetahui kemungkinan adanya penyakit penyerta guna diobati seperlunya
sehingga balita KEP tidak semakin berat kondisinya

Anda mungkin juga menyukai