Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada era globalisasi, pelayanan prima merupakan elemen utama di


rumah sakit dan unit kesehatan. Rumah sakit dituntut untuk memberikan
pelayanan kesehatan yang memenuhi standar pelayanan yang optimal dan
paripurna. Kesehatan dan gizi merupakan faktor penting yang tidak dapat
terpisahkan, karena merupakan hal yang langsung berpengaruh terhadap
kualitas sumber daya manusia suatu negara. Hal tersebut digambarkan
melalui pertumbuhan ekonomi, usia harapan hidup dan tingkat pendidikan.
Tenaga sumber daya manusia yang berkualitas tinggi dan berdaya saing yang
hebat hanya dapat dicapai oleh kesehatan dan status gizi yang baik. Untuk itu
diperlukan upaya- upaya untuk perbaikan gizi masyarakat melalui upaya
perbaikan gizi di dalam keluarga dan pelayanan gizi pada individu yang
karena kondisi kesehatannya harus mengalami perawatan di suatu pelayanan
kesehatan sebagai contoh pelayanan kesehatan di rumah sakit (Depkes, 2013
dan Nurparida, 2011).
Pelayanan gizi rumah sakit merupakan bagian yang sangat vital dari
sistem pelayanan paripurna terhadap pasien di rumah sakit. Menurut Depkes
2013, yang disebut pelayanan gizi rumah sakit adalah pelayanan gizi yang
diberikan kepada pasien untuk mencapai kondisi yang optimal dalam
memenuhi kebutuhan gizi orang yang sakit, baik untuk keperluan
metabolisme tubuhnya, peningkatan kesehatan ataupun mengoreksi kelainan
metabolisme dalam rangka meningkatkan upaya penyembuhan pasien rawat
inap dan rawat jalan. Mengingat pentingnya hal tersebut perlu disadari
dengan sepenuhnya bahwa peranan dan fungsi dari pelayanan gizi di dalam
rumah sakit sangatlah penting, baik dalam segi pelaksanaan rujukan maupun
dalam melaksanakan intervensi gizi secara paripurna atau general terhadap

1
pasien di dalam sebuah rumah sakit (Nursalam, 2011 dalam Sulistiyanto dkk,
2017).
Pelayanan gizi rawat inap merupakan pelayanan gizi yang dimulai
dari proses pengkajian gizi, diagnosis gizi, intervensi gizi meliputi
perencanaan, penyediaan makanan, penyuluhan/edukasi, dan konseling gizi,
serta monitoring dan evaluasi gizi. Dengan tujuan untuk memberikan
pelayanan gizi kepada pasien rawat inap agar memperoleh asupan makanan
yang sesuai kondisi kesehatannya dalam upaya mempercepat proses
penyembuhan, mempertahankan dan meningkatkan status gizi (PGRS, 2013).
Asuhan gizi merupakan sarana dalam upaya pemenuhan zat gizi
pasien secara optimal baik berupa pemberian makanan pada pasien yang di
rawat inap maupun konseling gizi pada pasien rawat jalan. Upaya
peningkatan status gizi dan kesehatan masyarakat baik di dalam maupun di
luar rumah sakit sebagai salah satu upaya mewujudkan Indonesia sehat,
merupakan tugas dan tanggung jawab tenaga kesehatan, khususnya tenaga
yang bergerak di bidang gizi. Dalam Manajemen Asuhan Gizi Klinik
(MAGK), studi kasus merupakan salah satu kegiatan yang bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan seorang calon ahli
gizi dalam melakukan asuhan gizi pasien rawat inap.
Kasus yang digunakan dalam studi kasus ini adalah pasien dengan
penyakit Gizi Buruk Marasmus Fase Rehabilitasi, Vomiting Akut Dehidrasi
Ringan – Sedang, Gastroparesis, Malrotasi Gaster dan Global Development
Delay di Ruang Ilmu Kesehatan Anak 7 B – RSUD Dr. Saiful Anwar
Malang.
Gizi buruk adalah bila asupan zat gizi kurang dari yang dibutuhkan
dalam kurun waktu yang lama. Anak yang kekurangan gizi pada usia balita
akan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan otak sehingga
menurunkan intelektual dan produktifitas, berpengaruh kepada rendahnya
tingkat kecerdasan.
Gizi buruk yang penyebabnya sangat komplek maka penanganan
masalah gizi buruk memerlukan pendekatan yang menyeluruh, meliputi

2
penyembuhan dan pemulihan bagi anak-anak yang telah bergizi buruk,
pencegahan serta peningkatan bagi anak gizi kurang, dan menjaga atau
mempertahankan anak gizi normal atau baik (Masro, 2013).
Gizi buruk juga dapat terjadi bukan hanya karena asupannya saja
kurang, tapi juga dapat terjadi akibat kondisi fisiologis tubuh. Pada kasus ini,
pasien telah mengalami malrotasi gaster dan gastroparesis sehingga sangat
berdampak pada proses penyerapan zat – zat gizi. Asupan juga menjadi tidak
memadai akibat adanya vomiting akut. Oleh karenanya, penulis melakukan
studi kasus dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan,
dan kemampuan seorang calon ahli gizi dalam melakukan asuhan gizi pasien
rawat inap.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, dapat diambil rumusan


masalah, yaitu bagaimana merencanakan dan melakukan menajemen asuhan
gizi klinik pada pasien dengan diagnosa Vomiting Akut Dehidrasi Ringan –
Sedang, Gastroparesis, Malrotasi Gaster, Global Development Delay, dan
Gizi Buruk Marasmus Fase Rehabilitasi di ruang 7.B Ilmu Kesehatan Anak
Instalasi Rawat Inap IV RSUD Dr. Saiful Anwar Malang ?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mahasiswa mampu merencanakan dan melakukan manajemen


asuhan gizi klinik pada pasien rawat inap secara individual di rumah sakit
di bawah bimbingan Clinical Instructure.

2. Tujuan Khusus

a. Mahasiswa mampu melakukan anamnesis gizi pasien.


b. Mahasiswa mampu melakukan skrining gizi.

3
c. Mahasiswa mampu mengakaji data dasar, menganalisis tingkat resiko
gizi dan menentukan permasalahan gizi.
d. Mahasiswa mampu menganalisis data subyektif dan obyektif untuk
menentukan diagnosis pasien.
e. Mahasiswa mampu merencanakan terapi diet yang sesuai dengan
penyakit pasien.
f. Mahasiswa mampu melakukan merencanakan terapi diet yang sesuai
dengan kebutuhan zat – zat gizi pasien.
g. Mahasiswa mampu menganalisis tingkat konsumsi selama 24 jam dari
hasil recall dan pengamatan.
h. Mahasiswa mampu merencanakan dan melakukan penyuluhan serta
konsultasi gizi pada pasien.
i. Mahasiswa mampu memonitoring dan mengevaluasi kegiatan asuhan
gizi pasien yang telah diberikan.

D. Manfaat

1. Bagi Institusi (Jurusan Gizi dan Rumah Sakit)

Memberikan informasi bagi Jurusan Gizi dan Rumah Sakit dalam


hal penatalaksanaan diet pasien Vomiting Akut Dehidrasi Ringan –
Sedang, Gastroparesis, Malrotasi Gaster, Global Development Delay, dan
Gizi Buruk Marasmus Fase Rehabilitasi di ruang 7.B Ilmu Kesehatan
Anak Instalasi Rawat Inap IV RSUD Dr. Saiful Anwar Malang.

2. Bagi Pasien

Pasien dapat mengetahui dan memahami diet yang diberikan dan


kemudian dapat mengubah perilaku konsumsi makan sesuai dengan
anjuran diet agar tercapai keadaan sehat yang optimal.

4
3. Bagi Mahasiswa

Meningkatakan pengetahuan dan keterampilan serta pengalaman


mahasiswa dalam merencanakan dan melaksanakan manajemen proses
asuhan gizi klinik.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Vomiting Akut (Muntah – muntah akut)


1. Defenisi
Muntah adalah suatau refleks kompleks yang diperantarai oleh
pusat muntah di medulla oblongata otak.
Muntah adalah keluarnya kembali sebagian besar atau
seluruh isi lambung yang terjadi secara paksa melalui mulut, disertai
dengan kontraksi lambung dan abdomen. Muntah adalah pengeluaran isi
lambung secara eksklusif melalui mulut dengan bantuan kontraksi otot –
otot perut.

2. Etiologi
Muntah adalah gejala dari berbagai macam penyakit, maka
evaluasi diagnosis mutah tergantung pada deferensial diagnosis yang
dibuat berdasarkan faktor lokasi stimulus, umur dan gejala gastrointestinal
yang lain. Kelainan anatomik kongenital, genetik, dan penyakit metabolik
lebih sering terlihat pada periode neonatal, sedangkan peptik, infeksi, dan
psikogenik sebagai penyebab mutah lebih sering terjadi dengan
meningkatnya umur.
Penyebab muntah bisa karena :
a) Penyakit infeksi atau radang di saluran pencernaan atau di pusat
keseimbangan.
b) Penyakit-penyakit karena gangguan metabolisme seperti
kelainan metabolisme karbohidrat (galaktosemia dan sebagainya),
kelainan metabolisme asam amino/asam organic (misalnya gangguan
siklus urea dan fenilketonuria).
c) Gangguan pada system syaraf (neurologic) bisa karena gangguan
pada struktur (misalnya hidrosefalus), adanya infeksi (misalnya
meningitis dan ensefalitis), maupun karena keracunan (misalnya

6
keracunan syaraf oleh asiodosis dan hasil samping metabolisme
lainnya).
d) Masalah sensitifitas.
e) Keracunan makanan atau Toksin di saluran pencernaan
f) Kondisi fisiologis misalnya yang terjadi pada anak-anak yang
sedang mencari perhatian dari lingkungan sekitarnya dengan mengorek
kerongkongan dengan jari telunjuknya.

3. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala vomiting atau muntah antara lain :
a) Keringat dingin
b) Suhu tubuh yang meningkat
c) Mual
d) Nyeri perut
e) Akral teraba dingin
f) Wajah pucat
g) Terasa tekanan yang kuat pada abdomen dan dada
h) Pengeluaran saliva yang meningkat
i) Bisa disertai dengan pusing

4. Patofisiologi
Impuls – impuls aferens berjalan ke pusat muntah sebagai aferen
vagus dan simpatis. Impuls- impuls aferen berasal dari lambung atau
duodenum dan muncul sebagai respon terhadap distensi berlebihan atau
iritasi, atau kadang- kadang sebagai respon terhadap rangsangan kimiawi
oleh bahan yang menyebabakan muntah.
Muntah merupakan respon refleks simpatis terhadap berbagai
rangsangan yang melibatkan berbagai aktifitas otot perut dan pernafasan.
Proses muntah dibagi 3 fase berbeda, yaitu :

7
a) Nausea (mual) merupakan sensasi psikis yang dapat ditimbulkan akibat
rangsangan pada organ dan labirin dan emosi dan tidak selalu diikuti
oleh retching atau muntah.
b) Retching (muntah) merupakan fase dimana terjadi gerak nafas
spasmodic dengan glottis tertutup, bersamaan dengan adanya inspirasi
dari otot dada dan diafragma sehingga menimbulkan tekanan intratoraks
yang negatif.
c) Emesis (ekspulsi) terjadi bila fase retching mencapai puncaknya dan
ditandai dengan kontraksi kuat otot perut, diikuti dengan bertambah
turunannya diafragma disertai dengan penekanan mekanisme
antirefluks. Pada fase ini, pylorus dan antrum berkontraksi, fundus dan
esofagus berelaksasi dan mulut terbuka.

B. Gastroparesis
1. Defenisi
Gangguan motilitas lambung atau gastroparesis merupakan
kelainan motilitas perut kronis yang ditandai dengan memperlambat
pengosongan lambung. Gejala termasuk perasaan cepat kenyang, sensasi
kepenuhan setelah makan, distensi perut, mual, dan muntah. Pasien
dengan gastroparesis mungkin memiliki gejala terkait makan,
mengakibatkan keengganan untuk makan dan oral tidak memadai asupan.
Beberapa pasien mengalami mual yang berkepanjangan dan Muntah, yang
membuatnya sulit mempertahankan hidrasi dan status gizi. Jadi, penderita
gastroparesis beresiko kehilangan berat badan, kekurangan gizi, dan
kekurangan vitamin dan mineral (Camilleri, 2013 dalam Permana, 2018).

2. Etiologi
a) Gastroparesis Idiopatik
Pasien dengan gejala perlambatan tidak terdeteksi gastric
empting, kelainan primer yang mendasari kelambatan pengosongan
lambung yang abnormal. Ini mungkin menjadi bentuk gastroparesis

8
yang paling umum. Paling pasien dengan gastroparesis idiopatik adalah
wanita, biasanya muda atau setengah baya. Gejala idiopatik
gastroparesis tumpang tindih dengan dispepsia fungsional, mungkin
sulit untuk memberikan perbedaan yang pasti antara dua berdasarkan
gejala, dan banyak yang mempertimbangkan gastroparesis idiopatik dan
dispepsia fungsional dengan memperlambat pengosongan lambung
sebagai kondisi yang sama. Nyeri perut / ketidaknyamanan biasanya
yang utama gejala dispepsia fungsional, sedangkan mual, muntah,
kenyang, dan kembung mendominasi gastroparesis idiopatik. Karena
itu, pengukuran pengosongan lambung sangat penting, karena terapi
berbeda apakah pengosongan lambung lambat, normal, atau cepat
(Camilleri, 2013 dalam Permana, 2018).

b) Gastroparesis pasca operasi


Gastroparesis pasca operasi, sering disertai oleh vagotomi atau
cedera saraf vagal, adalah yang ketiga etiologi gastroparesis yang paling
umum. Di masa lalu, sebagian besar kasus berasal dari vagotomi
dilakukan bersama dengan drainase lambung untuk meningkatkan
refraktori atau tukak lambung yang rumit secara medis. Sejak
munculnya teknik laparoskopi untuk perawatan GERD, gastroparesis
telah menjadi komplikasi yang diketahui dari fundoplication (mungkin
karena cedera vagina selama operasi) atau bariatrik operasi termasuk
dalam gastroplasty atau prosedur memotong (Camilleri, 2013 dalam
Permana, 2018).

c) Gastroparesis Infeksi Pasca Virus


Beberapa pasien dengan gastroparesis dilaporkan tiba-tiba
timbulnya gejala setelah gejala prodromal virus, menyarankan etiologi
virus yang mungkin untuk gejala mereka, dan diagnosis gastroparesis
pasca-virus. Subjek sehat tiba-tiba mengalami mual, muntah, diare,
demam, dan kram yang mengindikasikan infeksi virus sistemik.

9
Namun, bukannya mengalami perbaikan gejala, individu masih
mengalami mual persisten, muntah, dan kekenyangan. Secara umum,
perjalanan penyakit ini adalah khas gastroparesis pasca-virus yang tidak
terkait dengan neuropati otonom.
Di sisi lain, sebagian kecil pasien dengan infeksi virus seperti
cytomegalo, Epstein Barr, dan varicella zoster dapat berkembang
menjadi otonom neuropati (kolinergik umum atau selektif
disautonomia) yang mencakup gastroparesis. Pasien dengan disfungsi
otonom ini mungkin lebih lambat resolusi gejala yang mungkin
memakan waktu beberapa tahun dan prognosisnya lebih buruk daripada
gastroparesis pasca-virus tanpa gangguan otonom (Camilleri, 2013
dalam Permana, 2018).

d) Gastroparesis iatrogenik
Selain gastroparesis pasca operasi, lainnya bentuk gastroparesis
iatrogenik adalah gastroparesis diinduksi oleh agen farmakologis seperti
narkotika analgesik opiat, agen antikolinergik, dan beberapa lainnya
obat diabetes. Administrasi reseptor opiat μ agonis menyebabkan
melambatnya pengosongan lambung dan juga dapat menyebabkan mual
dan muntah. Kelompok ini termasuk agen seperti morfin, serta
oksikodon dan tapentadol, tetapi lebih sedikit dengan tramadol. Karena
itu, pasien yang menerima obat harus terlebih dahulu menjalani
penghentian obat sebelum melakukan diagnosis gastroparesis.
Analog GLP-1, seperti exenatide, digunakan untuk pengobatan
diabetes mellitus tipe 2 dapat melambat pengosongan lambung.
Berbeda dengan analog GLP-1, yang secara substansial meningkatkan
konsentrasi GLP-1 plasma, inhibitor dipeptidyl peptidase IV, yang
meningkat konsentrasi plasma GLP-1 dengan menghambat GLP-1
metabolisme, tidak memperlambat pengosongan lambung. Obat
antireksi, siklosporin, dapat memperlambat lambung endapan. Jadi,
pada pasien dengan transplantasi sebelumnya diobati dengan

10
pengobatan antirejeksi dengan siklosporin, mungkin ada pengosongan
lambung yang melambat. Ini tidak tidak berlaku untuk inhibitor
kalsineurin lainnya, tacrolimus, berasal dari molekul makrolida dan
tetap sifat prokinetik (Camilleri, 2013 dalam Permana, 2018).

e) Etiologi Langka Lainnya


Penyebab langka gastroparesis lainnya termasuk penyakit yang
mempengaruhi kontrol saraf ekstrinsik (seperti parkinsonisme,
amiloidosis, dan penyakit paraneoplastik) atau gangguan yang
menyebabkan infiltrasi atau degenerasi lapisan otot lambung (seperti
scleroderma). Iskemia mesenterika juga harus dianggap langka
penyebab kemungkinan gastroparesis reversibel (Camilleri, 2013 dalam
Permana, 2018).

3. Manifetasi Klinis
Berbagai gejala dispepsia sering terjadi pada pasien dengan
gastroparesis, seperti mual, muntah, sakit perut bagian atas, distensi perut
dan kembung. Gejala individu umumnya memiliki gejala rendah
spesifisitas untuk memprediksi keterlambatan pengosongan. Perut
kembung telah dilaporkan berkorelasi secara signifikan dengan tertunda
pengosongan gastroparesis diabetes. Di yang lain studi, kepenuhan setelah
makan secara statistik terkait dengan perlambatan pengosongan lambung.
Ketika gastroparesis dikaitkan dengan penurunan berat badan dan
kebutuhan pasien dukungan nutrisi untuk menjaga berat badan, itu
dipertimbangkan bentuk gastroparesis yang lebih parah.
Nyeri perut adalah gejala yang sering terjadi diabaikan di
gastroparesis. Dalam studi multisenter dari konsorsium NIH pada
gastroparesis, 72% dari pasien gastroparesis mengalami sakit perut, tetapi
adalah gejala dominan pada hanya 18% pasien, mencerminkan populasi
pasien yang heterogen dalam kelompok ini. Sebuah studi rujukan tersier
menunjukkan bahwa sakit perut dilaporkan pada 90% dari 68 pasien

11
dengan perlambatan pengosongan lambung. Nyeri yang disebabkan oleh
makan (72%), terjadi pada malam hari (74%), dan tidur terganggu (66%).
Tingkat keparahan nyeri perut berada dalam kisaran yang sama dengan
gejala lain (seperti sensasi kenyang, kembung, dan mual) dan tidak
berkorelasi dengan tingkat pengosongan lambung, tetapi dikaitkan dengan
penurunan kualitas hidup.
Secara obyektif, pasien dengan gejala perut secara signifikan
mengganggu kualitas hidup mereka, tetapi tidak ada korelasi antara gejala
dan tingkat pengosongan lambung. Penelitian di masa depan harus
bertujuan untuk menyelidiki tidak hanya pengosongan lambung tetapi juga
akomodasi lambung dan hipersensitivitas visceral, karena tidak semua
gejala dapat dijelaskan dengan perlambatan pengosongan lambung.11
Jenis kelamin wanita, relevan dan berat sensasi kenyang setelah makan,
dan muntah parah secara independen terkait dengan memperlambat
pengosongan lambung pada pasien dengan dispepsia fungsional.
Kehadiran kecemasan atau depresi telah dikaitkan dengan gejala yang
lebih parah (Camilleri, 2013 dalam Permana, 2018).

4. Patofisiologi
Gangguan motilitas gastroduodenal terdiri dari gangguan
akomodasi lambung, antroduodenal inkoordinasi, dan memperlambat
pengosongan lambung. Gangguan motilitas gastroduodenal adalah salah
satu yang utama mekanisme dalam patofisiologi fungsional dispepsia,
terkait dengan sensasi kenyang setelah makan, yang mungkin distensi
perut, kembung, dan kepenuhan (California pacific medical center, 2018
dalam Permana, 2018).
Motilitas abnormal saluran pencernaan bagian atas melibatkan
kelainan fungsional di kerongkongan, perut, dan usus kecil. Ada tiga
utama komponen gangguan pencernaan fungsional : motilitas atau
kontraksi gastrointestinal, gastrointestinal sensasi saluran, dan disfungsi
otak gastrointestinal, yang semuanya mempengaruhi pencernaan bagian

12
atas dan bawah (California pacific medical center, 2018 dalam Permana,
2018).
Pada gangguan fungsional saluran cerna, otot kejang dapat
menyebabkan rasa sakit, atau kontraksi bisa sangat cepat atau sangat
lambat, mengubah kecepatan atau arah transit gastrointestinal. Kadang-
kadang saraf lambung begitu sensitif sehingga bahkan kontraksi normal
dapat menyebabkan rasa sakit atau ketidaknyamanan dalam menanggapi
rangsangan fisiologis, seperti mencerna makanan. Hubungan regulasi
antara fungsi otak dan saluran pencernaan mungkin terganggu,
menyebabkan ketidakharmonisan di jalan otak dan sistem pencernaan
berkomunikasi, mengubah transit konten luminal (California pacific
medical center, 2018 dalam Permana, 2018).

C. Malrotasi Gaster
1. Defenisi
Malrotasi merupakan anomali kongenital berupa gagalnya suatu
rotasi/perputaran dan fiksasi normal pada organ, terutama usus selama
perkembangan embriologik. Malrotasi dapat terjadi disertai atau tanpa
volvulus. Volvulus merupakan kelainan berupa puntiran dari segmen usus
terhadap usus itu sendiri, mengelilingi mesenterium dari usus tersebut
dimana mesenterium itu sebagai aksis longitudinal sehingga menyebabkan
obstruksi saluran cerna. Keadaan ini disebabkan karena adanya rotasi
gelung usus di sekeliling cabang arteri mesenterika superior. Normalnya
gelung usus primer berotasi 270° berlawanan dengan arah jarum jam.
Akan tetapi kadang-kadang putaran hanya 90° saja. Apabila hal ini terjadi,
kolon dan sekum adalah bagian usus pertama yang kembali dari tali pusat,
dan menempati sisi kiri rongga perut. Gelung usus yang kembali
belakangan makin terletak di kanan, sehingga mengakibatkan kolon letak
kiri. Apabila volvulus mengenai seluruh bagian usus maka keadaan ini
disebut volvulus midgut (Sato, 2006 dalam Jurnalis, 2013).

13
2. Etiologi
Lengkung usus tengah yang terletak pada ujung umbilikus berotasi
sebesar 90 derajat berlawanan arah jarum jam (dilihat dari anterior)
dengan arteri mesenterika superior sebagai aksisnya (lengkung kranial
mengarah ke kanan bawah sedangkan lengkung kaudal naik ke kiri atas).
Proses tersebut lengkap setelah minggu ke-8. Selama rotasi, lengkung
kranial usus tengah memanjang dan membentuk lengkung jejunum-ileum,
sedangkan perluasan dari sekum membentuk suatu tunas yaitu apendiks
vermiformis. Pada minggu ke-10 intrauterin, sekum dan usus halus
kembali keintra abdomen darisaluran tali pusat. Sekum mengadakan rotasi
menuju ke kuadran kanan bawah dan usus halus berotasi dengan aksis
arteri mesenterika superior, sehingga sekum terfiksasi pada kanan bawah
dan usus halus terfiksasi pada peritoneum posterior. Setiap hambatan
rotasi dan kembalinya sekum dan usus halus ke abdomen pada setiap
tempat menyebabkan pembentukan pita ( Ladd’s band) yang menyilang
duodenum dan sekum yang tidak berotasi sempurna dan menyebabkan
mesenterium usus halus tidak terfiksasi pada dinding posterior abdomen.
Usus halus bebas bergerak tanpa fiksasi sehingga memungkinkan
terjadinya volvulus (Ingoe et al, 2007 dalam Jurnalis, 2013).
Midgut merupakan bagian embriologis yang kemudian menjadi
duodenum, jejunum, ileum, sekum, apendiks, kolon asending, kolon
bagian fleksura hepatik dan kolon transversal pada manusia pasca lahir.
Volvulus midgut merupakan keadaan yang disebabkan oleh kegagalan
atau malrotasi intestinal loop saat masa embriologi dan merupakan kasus
kegawatan di bidang pediatrik karena menyebabkan adanya obstruksi dan
iskemia jaringan usus. Kasus volvulus midgut banyak ditemukan pada satu
tahun pertama kehidupan. Beberapa kasus volvulus midgut bahkan
ditemukan saat manusia masih menjadi janin dan mungkin juga tanpa
disertai malrotasi. Etiologi yang mungkin menyebabkan volvulus midgut,
selain akibat kegagalan rotasi adalah akibat tidak adanya otot dari saluran
cerna dan defek mesenterika (Hatley, 2012 dalam Jurnalis, 2013).

14
Gambar 1. a. Mesentrika Usus Normal, b. Malrotasi Usus dan Midgut
Volvulus
3. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik malrotasi usus dan volvulus sangat bervariasi,
mulai dari tanpa gejala sampai gejala akibat nekrosis usus yang
mengancam jiwa. Neonatus dengan malrotasi usus mengalami nuntah
berwarna hijau (muntah bilier), akibat obstruksi setinggi duodenum oleh
pita kongenital dan merupakan gejala utama adanya obstruksi usus pada
bayi dan anak. Apabila gejala ini terdapat pada anak berusia kurang dari 1
tahun maka harus dipikirkan adanya malrotasi dan volvulus midgut sampai
terbukti akibat kelainan lain. Selama masa neonatus sampai usia 1 tahun,
pasien dapat mengalami berbagai gejala seperti pada tabel 1.
Tabel 1. Manifestasi Klinis Malrotasi Usus pada Bayi

- Muntah (akut atau kronik)


- Nyeri perut, biasanya berat, akut, kronik, dengan atau
- tanpa muntah
- Diare kronik
- Konstipasi
- Mual
- Irritabilitas atau letargi
- BAB darah
- Gagal tumbuh
Manifestasi klinis lain pada bayi dengan malrotasi adalah dehidrasi
akibat muntah yang sering dengan gejala bayi tampak gelisah, tidak
tenang, BAK yang berkurang, letargi, UUB cekung dan mukosa bibir

15
kering. Apabila terjadi volvulus, aliran darah usus dapat berkurang
sehingga menimbulkan nekrosis usus dan bayi dapat menunjukkan gejala
peritonitis atau syok septik berupa hipotensi, gagal nafas, hematemesis
atau melena (Oktarina, 2008 dalam Jurnalis, 2013).
Volvulus midgut dapat terjadi tidak sempurna atau intermitten
tetapi biasanya terjadi pada anak yang lebih besar dan memiliki gejala dan
tanda nyeri perut non spesifik kronik, muntah yang bersifat intermitten
(kadang tidak berwarna hijau), rasa cepat kenyang, penurunan berat badan,
gagal tumbuh, diare dan malabsorbsi (Ingoe et al, 2007 dalam Jurnalis,
2013).

4. Patofisiologi
Pada masa embriologi, minggu ke 4 hingga ke 8, terjadi
perkembangan intestinal fetal yang pesat, dimana terjadi pemanjangan dan
perkembangan tube serta rotasi hingga 270°. Jika loop duodenum tetap
berada pada sisi kanan abdomen dan loop sekokolik berada pada bagian
kiri dari arteri mesenterika superior terjadilah non rotasi dari intestinal
loop. Malrotasi terjadi jika terdapat gangguan rotasi duodenal, yang
seharusnya lengkap 270°menjadi hanya 180° dan loop sekokolik
kehilangan rotasi 180° dari rotasi normalnya, menyebabkan sekum terletak
diatas (mid abdomen) atau letak tinggi. Malrotasi menyebabkan sekum
terletak diatas, di mid abdomen beserta dengan tangkai peritoneal yang
disebut Ladd’s Bands. Ladd’s Bands merupakan jaringan fibrosis dari
peritoneal yang melekatkan sekum didinding abdomen dan menimbulkan
obstruksi pada duodenum serta khas terdapat pada malrotasi intestinal.
Malrotasi dari intestinal loop dapat bersifat asimptomatik, namun beresiko
terhadap adanya volvulus dikemudian hari (Ingoe et al, 2007 dalam
Jurnalis, 2013).
Lumen usus yang tersumbat secara progresif akan teregang oleh
cairan dan gas (70% dari gas yang ditelan) akibat peningkatan tekanan
intralumen,yang menurunkan pengaliran air dan natrium dari lumen ke

16
darah. Pengaruh atas kehilangan ini adalah penciutan ruang cairan
ekstrasel yang mengakibatkan hipovolemi, pengurangan curah jantung,
penurunan perfusi jaringan dan asidosis metabolik. Efek lokal peregangan
usus adalah iskemia akibat distensi dan peningkatan permeabilitas akibat
nekrosis, disertai absorpsi toksin-toksin bakteri ke dalam rongga
peritoneum dan sirkulasi sistemik untuk menyebabkan bakteriemia.
Bakteriemia dan hipovolemi ini kemudian menyebabkan proses sistemik
menyebabkan SIRS (systemic inflamatory response syndrome) (Lampl et
al, 2009 dalam Jurnalis, 2013).
Terdapat beberapa jenis dari malrotasi yang dapat terjadi :
a) Nonrotasi
Pemanjangan dari midgut dimana tidak terjadi rotasi atau rotasi
yang terjadi adalah 90° berlawanan arah jarum jam. Kolon berada pada
sisi kiri dan usus halus bergerak kearah kanan dari garis tengah.
Mesenterium pada gilirannya membentuk basis yang sempit sebagai
perpanjangan usus pada arteri mesenterium superior tanpa terjadi rotasi.
Volvulus midgut dan obstruksi duodenum adalah merupakan resiko
yang signifikan.
b) Hernia mesokolika
Hernia mesokolika adalah merupakan anomali yang jarang
terjadi. Terjadinya kegagalan fiksasi dari pada sisi kanan atau kiri dari
mesokolon pada dinding posterior tubuh. Hal ini merupakan
predisposisi untuk terperangkapnnya usus halus pada sisi lainnya yang
dapat menyebabkan obstruksi, inkarserata dan strangulata.
c) Rotasi tidak sempurna
Berhentinya rotasi pada stadium dua rotasi normal. Terjadi pada
80% neonatus. Jeratan peritoneal (Ladd’s Band) berjalan dari arah yang
salah dari caecum yang terletak pada tempat yang salah, yang kemudian
menyilang duodenum dan melalui permukaan bawah dari hepar atau
dinding posterior abdomen kearah mesenterium. Hal ini dapat
menyebabkan obstruksi duodenum. Jeratan ini (Ladd’s band) adalah

17
merupakan refleksi peritoneal yang abnormal. Mesenterium juga
berubah membentuk basis sempit dan cenderung untuk mengalami
perputaran atau torsi searah jarum jam.
d) Rotasi terbalik
Rotasi terbalik adalah anomali yang jarang terjadi. Usus berotasi
dengan derajat yang bervariasi secara langsung searah dengan jarum
jam. Duodenojejunal loop terletak anterior dari arteri mesenterika
superior dan cecocolic loop pada retroarterial yang dapat memulai
terjadinya obstruksi kolon. Sekum mungkin dapat berada pada sisi
kanan atau kiri (Swieton, 2009 dalam Jurnalis, 2013).

D. Global Development Delay


1. Defenisi
Global Delay Development merupakan adalah ketertinggalan
secara signifikan pada fisik, kemampuan kognitif, perilaku, emosi, atau
perkembangan sosial seorang anak bila dibandingkan dengan anak normal
seusianya (Wong, 2000 dalam Apriyani, 2013).

2. Etiologi
Penyebab Delay development dapat di pengaruhi oleh beberapa
faktor , di antaranya :
a) Faktor Herediter
Merupakan faktor yang dapat di turunkan sebagai dasar dalam
mencapai tumbuh kembang anak di samping faktor lain. Yang termasuk
faktor herediter antara lain :
1) Jenis kelamin
2) Ras
3) Suku bangsa

18
b) Faktor Lingkungan
Merupakan faktor yang memegang peran penting dalam
menentukan tercapai dan tidaknya potensi yang sudah di miliki. Faktor
lingkungan meliputi :
1) Lingkungan Pranatal yang meliputi kurang nya gizi pada saat ibu
hamil,posisi janin pada uterus, zat kimia pengaruh obatobatan,
hormonal (sematrotopin, plasenta, tiroid, insulin) , infeksi dan stress.
2) Lingkungan Postnatal yang meliputi : budaya lingkungan, status
sosial ekonomi, nutrisi, iklim atau cuaca, olah raga atau latihan fisik,
posisi anak dalam keluarga dan status kesehatan (Apriyani, 2013).

3. Manifestasi Klinis
a) Tanda bahaya perkembangan motor kasar
1) Gerakan yang asimetris atau tidak seimbang misalnya antara anggota
tubuh bagian kiri dan kanan.
2) Menetapnya refleks primitif (refleks yang muncul saat bayi) hingga
lebih dari usia 6 bulan.
3) Hiper / hipotonia atau gangguan tonus otot.
4) Hiper / hiporefleksia atau gangguan refleks tubuh.
5) Adanya gerakan yang tidak terkontrol.
b) Tanda bahaya gangguan motor halus
1) Bayi masih menggenggam setelah usia 4 bulan
2) Adanya dominasi satu tangan (handedness) sebelum usia 1 tahun
3) Eksplorasi oral (seperti memasukkan mainan ke dalam mulut) masih
sangat dominan setelah usia 14 bulan
4) Perhatian penglihatan yang inkonsisten
c) Tanda bahaya bicara dan bahasa (ekspresif)
1) Kurangnya kemampuan menunjuk untuk memperlihatkan
ketertarikan terhadap suatu benda pada usia 20 bulan
2) Ketidakmampuan membuat frase yang bermakna setelah 24 bulan
3) Orang tua masih tidak mengerti perkataan anak pada usia 30 bulan

19
d) Tanda bahaya bicara dan bahasa (reseptif)
1) Perhatian atau respons yang tidak konsisten terhadap suara atau
bunyi, misalnya saat dipanggil tidak selalu member respons
2) Kurangnya join attention atau kemampuan berbagi perhatian atau
ketertarikan dengan orang lain pada usia 20 bulan
3) Sering mengulang ucapan orang lain (membeo) setelah usia 30 bulan
e) Tanda bahaya gangguan sosio-emosional
1) 6 bulan: jarang senyum atau ekspresi kesenangan lain
2) 9 bulan: kurang bersuara dan menunjukkan ekspresi wajah
3) 12 bulan: tidak merespon panggilan namanya
4) 15 bulan: belum ada kata
5) 18 bulan: tidak bisa bermain pura-pura
6) 24 bulan: belum ada gabungan 2 kata yang berarti
7) Segala usia: tidak adanya babbling, bicara dan kemampuan
bersosialisasi / interaksi
f) Tanda bahaya gangguan kognitif
1) 2 bulan: kurangnya fixation
2) 4 bulan: kurangnya kemampuan mata mengikuti gerak benda
3) 6 bulan: belum berespons atau mencari sumber suara
4) 9 bulan: belum babbling seperti mama, baba
5) 24 bulan: belum ada kata berarti
6) 36 bulan: belum dapat merangkai 3 kata (Indonesian Pediatric
Society, 2018).

4. Patofisiologis
Delay Development memiliki kemungkinan penyebab yang
beraneka ragam. Keterlambatan perkembangan dapat terjadi pada otak
anak saat otak terbentuk pada masa gestasi. Penyebab yang mungkin
antara lain: lahir premature, kelainan genetik dan herediter, infeksi, tetapi
seringkali penyebab Delay Development tidak dapat ditentukan. Secara

20
umum, perjalanan penyakit Delay Deveopment tidak memburuk seiring
dengan waktu pertumbuhan anak (Gunarsa,1997 dalam Apriyani, 2013).
Sebagian besar pemeriksaan pada anak dengan delay development
difokuskan pada keterlambatan perkembangan kemampuan kognitif,
motorik, atau bahasa (Soetjiningsih, 1998 dalam Apriyani, 2013).

E. Gizi Buruk
1. Defenisi
Gizi buruk merupakan istilah teknis yang biasanya digunakan oleh
kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah kondisi
seseorang yang nutrisinya di bawah rata-rata. Hal ini merupakansuatu
bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Balita
disebut gizi buruk apabilaindeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) < -3
SD. Keadaan balita dengan gizi buruk sering digambarkan dengan adanya
busung lapar (Pudjiadi, 2005 dalam Novitasari, 2012).

2. Pengukuran Gizi Buruk


Gizi buruk ditentukan berdasarkan beberapa pengukuran antara lain:
a) Pengukuran klinis : metode ini penting untuk mengetahui status gizi
balita tersebut gizi buruk atau tidak.Metode ini pada dasarnya didasari
oleh perubahan-perubahan yang terjadi dan dihubungkan dengan
kekurangan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel seperti
kulit,rambut,atau mata. Misalnya pada balita marasmus kulit akan
menjadi keriput sedangkan pada balita kwashiorkor kulit terbentuk
bercak-bercak putih atau merah muda (crazy pavement dermatosis).
b) Pengukuran antropometrik : pada metode ini dilakukan beberapa
macam pengukuran antara lain pengukuran tinggi badan,berat badan,
dan lingkar lengan atas. Beberapa pengukuran tersebut, berat badan,
tinggi badan, lingkar lengan atas sesuai dengan usia yang paling sering
dilakukan dalam survei gizi.Di dalam ilmu gizi, status gizi tidak hanya
diketahui denganmengukur BB atau TB sesuai dengan umur secara

21
sendiri-sendiri, tetapi juga dalam bentuk indikator yang dapat
merupakankombinasi dari ketiganya (Depkes, 2002 dalam Novitasari,
2012).
1) Berdasarkan Berat Badan menurut Umur diperoleh kategori :
a. Tergolong gizi buruk jika hasil ukur lebih kecil dari -3 SD.
b. Tergolong gizi kurang jika hasil ukur -3 SD sampai dengan < -2 SD.
c. Tergolong gizi baikjika hasil ukur -2 SD sampai dengan 2 SD.
d. Tergolong gizi lebih jika hasil ukur > 2 SD.
2) Berdasarkan pengukuran Tinggi Badan (24 bulan-60 bulan) atau
Panjang badan (0 bulan-24 bulan) menurut Umur diperoleh kategori :
a. Sangat pendek jika hasil ukur lebih kecil dari -3 SD.
b. Pendek jika hasil ukur – 3 SD sampai dengan < -2 SD.
c. Normal jika hasil ukur -2 SD sampai dengan 2 SD.
3) Tinggi jika hasil ukur > 2 SD Berdasarkan pengukuran Berat Badan
menurut Tinggi badan atau Panjang Badan :
a. Sangat kurus jika hasil ukur lebih kecil dari -3 SD.
b. Kurus jika hasil ukur – 3 SD sampai dengan < -2 SD.
c. Normal jika hasil ukur -2 SD sampai dengan 2 SD.
d. Gemuk jika hasil ukur > 2 SD.
Balita dengan gizi buruk akan diperoleh hasil BB/TB sangat kurus,
sedangkan balita dengan gizi baik akan diperoleh hasil normal (Kemenkes
RI, 2011 dalam Novitasari, 2012).

3. Klasifikasi Gizi Buruk


Gizi buruk berdasarkan gejala klinisnya dapat dibagi menjadi 3 :
1) Marasmus
Marasmus merupakan salah satu bentuk gizi buruk yang paling
sering ditemukan pada balita.25 Hal ini merupakan hasil akhir dari
tingkat keparahan gizi buruk. Gejala marasmus antara lain anak tampak
kurus, rambut tipis dan jarang,kulit keriput yang disebabkan karena
lemak di bawah kulit berkurang, muka seperti orang tua (berkerut),

22
balita cengeng dan rewel meskipun setelah makan, bokong baggy pant,
dan iga gambang.
Pada patologi marasmus awalnya pertumbuhan yang kurang dan
atrofi otot serta menghilangnya lemak di bawah kulit merupakan proses
fisiologis.Tubuh membutuhkan energi yang dapat dipenuhi oleh asupan
makanan untuk kelangsungan hidup jaringan. Untuk memenuhi
kebutuhan energi cadangan protein juga digunakan. Penghancuran
jaringan pada defisiensi kalori tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan
energi tetapi juga untuk sistesis glukosa (Walker, 2004 dalam
Novitasari, 2012).

2) Kwashiorkor
Kwashiorkor adalah suatu bentuk malnutrisi protein yang berat
disebabkan oleh asupan karbohidrat yang normal atau tinggi dan asupan
protein yang inadekuat.Hal ini seperti marasmus,kwashiorkor juga
merupakan hasil akhir dari tingkat keparahan gizi buruk. Tanda khas
kwashiorkor antara lain pertumbuhan terganggu, perubahan mental,
pada sebagian besar penderita ditemukan oedema baik ringan maupun
berat, gejala gastrointestinal,rambut kepala mudah dicabut,kulit
penderita biasanya kering dengan menunjukkan garis-garis kulit yang
lebih mendalam dan lebar,sering ditemukan hiperpigmentasi dan
persikan kulit,pembesaran hati,anemia ringan,pada biopsi hati
ditemukan perlemakan (Depkes RI, 2002 dalam Novitasari, 2012).
Gangguan metabolik dan perubahan sel dapat menyebabkan
perlemakan hati dan oedema. Pada penderita defisiensi protein tidak
terjadi proses katabolisme jaringan yang sangat berlebihan karena
persediaan energi dapat dipenuhi dengan jumlah kalori yang cukup
dalam asupan makanan. Kekurangan protein dalam diet akan
menimbulkan kekurangan asam amino esensial yang dibutuhkan untuk
sintesis. Asupan makanan yang terdapat cukup karbohidrat
menyebabkan produksi insulin meningkat dan sebagian asam amino

23
dari dalam serum yang jumlahnya sudah kurang akan disalurkan ke
otot. Kurangnya pembentukan albumin oleh hepar disebabkan oleh
berkurangnya asam amino dalam serum yang kemudian menimbulkan
oedema (Walker, 2004 dalam Novitasari, 2012).

3) Marasmiks-Kwashiorkor
Marasmic-kwashiorkor gejala klinisnya merupakan campuran
dari beberapa gejala klinis antara kwashiorkor dan marasmus dengan
Berat Badan (BB) menurut umur (U) < 60% baku median WHO-NCHS
yang disertai oedema yang tidak mencolok (Dini, 2000 dalam
Novitasari, 2012).

4. Etiologi
Menurut Soekirman (2000), faktor penyebab kurang gizi atau yang
mempengaruhi status gizi seseorang adalah :
a) Penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang
mungkin diderita anak. Timbulnya gizi kurang tidak hanya karena
makanan yang kurang, tetapi juga karena penyakit. Anak yang
mendapatkan makanan cukup baik, tetapi sering diserang diare atau
demam, akhirnya dapat menderita kurang gizi. Demikian juga pada
anak yang makan tidak cukup baik, maka daya tahan tubuhnya akan
melemah. Dalam keadaan demikian mudah diserang infeksi yang dapat
mengurangi nafsu makan, dan akhirnya dapat menderita kurang gizi.
Pada kenyataannya keduanya baik makanan dan penyakit infeksi secara
bersama-sama merupakan penyebab kurang gizi.
b) Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola
pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan
(Adnina, 2011 dalam Lutfiana, 2013).
Secara medik, indikator yang dapat digunakan untuk menyatakan
masalah gizi adalah indikator antropometri (ukurannya adalah berat dan
tinggi badan yang dibandingkan dengan standar), indikator hematologi

24
(ukurannya adalah kadar hemoglobin dalam darah), dan sebagainya. Di
luar aspek medik, masalah gizi dapat diakibatkan oleh kemiskinan, sosial
budaya, kurangnya pengetahuan dan pengertian, pengadaan dan distribusi
pangan, dan bencana alam (Khumaidi, 1994 dalam Lutfiana, 2013).
1) Masalah gizi karena kemiskinan indikatornya taraf ekonomi keluarga
dan ukuran yang dipakai adalah garis kemiskinan.
2) Masalah gizi karena sosial budaya indikatornya adalah stabilitas
keluarga dengan ukuran frekuensi nikah-cerai-rujuk, anak-anak yang
dilahirkan di lingkungan keluarga yang tidak stabil akan sangat rentan
terhadap penyakit gizi-kurang. Juga indikator demografi yang meliputi
susunan dan pola kegiatan penduduk.
3) Masalah gizi karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan di
bidang memasak, konsumsi anak, keragaman bahan, dan keragaman
jenis masakan yang mempengaruhi kejiwaan, misalnya kebosanan.
4) Masalah gizi karena pengadaan dan distribusi pangan, indikator
pengadaan pangan (food supply) yang biasanya diperhitungkan dalam
bentuk neraca bahan pangan, diterjemahkan ke dalam nilai gizi dan
dibandingkan dengan nilai rata-rata kecukupan penduduk.
Gizi merupakan salah satu kehidupan manusia yang erat kaitannya
dengan kualitas fisik maupun mental manusia. Keadaan gizi meliputi
proses penyediaan dan penggunaan gizi untuk pertumbuhan,
perkembangan, dan pemeliharaan serta aktivitas. Keadaan kurang gizi
dapat terjadi akibat ketidakseimbangan asupan zat – zat gizi, faktor
penyakit pencernaan, absorbsi, dan penyakit infeksi.
Departemen Kesehatan RI menyatakan bahwa masalah gizi di
Indonesia masih didominasi oleh kekurangan zat gizi yang disebabkan
oleh banyak faktor, diantaranya adalah tingkat sosial ekonomi keluarga
(Depkes, 2002). Krisis ekonomi yang melanda sejak 1997, telah
menambah jumlah keluarga miskin dengan daya beli yang rendah,
sehingga memberikan dampak terhadap penurunan kualitas hidup keluarga
dan meningkatkan jumlah anak-anak yang kekurangan gizi.

25
Selain ketersediaan pangan, masalah gizi juga dipengaruhi oleh
faktor perilaku ibu, dukungan keluarga, dan petugas kesehatan. Menurut
Green (1980), masalah perilaku kesehatan dipengaruhi oleh 3 faktor
utama, yaitu faktor yang mempermudah (predisposing factors) mencakup:
pengetahuan, sikap, presepsi, nilai-nilai dan norma dalam masyarakat yang
berkaitan dengan kesehatan; faktor pendorong (enabling factors) meliputi
ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat,
dimana fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan
terwujudnya perilaku kesehatan, dan faktor ketiga berupa faktor penguat
(reinforcing factors) meliputi sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh
agama, dan juga sikap, perilaku, dan ketrampilan petugas kesehatan.
Menurut Achmad Djaeni (2009), penyebab langsung dari gizi
kurang adalah konsumsi kalori dan protein yang kurang. Sebab tidak
langsung ada beberapa yang dominan, yaitu ekonomi negara yang kurang,
pendidikan umum dan pendidikan gizi yang rendah, produksi pangan yang
tidak mencukupi, kondisi hygiene yang kurang baik, dan jumlah anak yang
terlalu banyak. Sebab antara adalah pekerjaan yang rendah, penghasilan
yang kurang, paska panen, sistem perdagangan, dan distribusi yang tidak
lancar dan tidak merata.
Menurut Soegeng santoso dan Anne (2009), masalah gizi yang
terjadi pada anak bisa dikaitkan dengan masalah makan anak. Ada
beberapa pendapat mengenai penyebab kesulitan mana anak, menurut
Palmer dan Horn antara lain adalah kelainan neuro-motorik, kelainan
kongenital, kelainan gigi-geligi, penyakit infeksi menahun, defisiensi
nutrien, dan psikologik. Untuk faktor kelainan psikologik disebabkan oleh
kekeliruan orang tua dalam hal mengatur makan anaknya. Ada orang tua
yang bersikap terlalu melindungi dan ada orang tua yang terlalu
memaksakan anaknya makan terlalu banyak melebihi keperluan anaknya.
Juga apabila anak jauh dari ibunya, dapat terjadi tidak ada nafsu makan.
Perasaan takut berlebih pada makanan juga dapat mengakibatkan anak
tidak mau makan (Lutfiana, 2013).

26
BAB III

GAMBARAN UMUM PASIEN

A. Data Identitas Pasien

Nama pasien : An. KM


No. Register : 11423xxx
Usia : 5 tahun 8 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Dsn. Kalilefgi RT. 01 RW. 03 Banjarsari Selorejo, Blitar
Ruang : 07 B IKA
Tanggal MRS : 01 April 2019
Tanggal Skrining : 02 April 2019
Diagnosa Medis : Vomiting akut dehidrasi ringan – sedang, Gastroparesis,
Malrotasi Gaster, Global Development Delay dan Gizi
buruk Fase Rehabilitasi

B. Pengukuran Antropometri

BB = 13,5 kg
TB = 100 cm
LLA = 12 cm
BBI = 16 kg
BB/U = (<P5) → Status Gizi Buruk
TB/U = (<P5) → Sangat Pendek (sesuai dengan anak usia 4 tahun)
% BBI = 84% → Status Gizi Kurang (dengan hepatomegali)
LLA/U = (<P5) → St. Gizi Buruk (dengan skor Mclaren = 1 menunjukkan
status gizi buruk marasmus)

27
C. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pengkajian data laboratorium (biokimia) dapat disajikan pada tabel 2.
Tabel 2. Hasil Pengajian Laboratorium

Data Hasil Lab. 02


Nilai normal Keterangan
Laboratotium April 2019
Hemoglobin 14,60 g/dL 11,4 – 15,1 g/dL Normal
Natrium 146 mmol/L 136 – 145 mmol/L Tinggi
Kalium 3,03 mmol/L 3,5 – 5,0 mmol/L Normal
Klorida (Cl) 103 mmol/L 98 – 106 mmol/L Normal
Eritrosit (RBC) 5,77 106/µL 4,0 – 5,0 106/µL Tinggi
Hematokrit 42% 38 – 42% Normal
Trombosit 487 103/µL 142 – 424 103/µL Tinggi
MCV 72,8 fL 80 -93 fL Rendah
MCH 25,3 pg 27 – 31 pg Rendah
MCHC 34,8 g/dL 32 – 36 g/dL Normal
GDS 118 mg/dL < 200 mg/dL Normal
Phospor 5,7 mg/dL 2,7 - 4,5 mg/dL Tinggi

D. Pemeriksaan Fisik / Klinis


Hasil pengkajian data fisik / klinis dapat disajikan pada tabel 3.
Tabel 3. Hasil Pengkajian Data Fisik Klinis

Data Fisik/Klinis Hasil 02/04/2019 Nilai Normal Keterangan


Keadaran umum Cukup - Normal
Kesadaran CM - Normal
Nadi 112x/menit 65 – 110x/menit Tinggi
Respiration Rate 24x/menit 20 – 25x/menit Normal
Suhu 36,9oC 36 – 37oC Normal
Tampak kurus + - +
Perut kembung + - +
Mual muntah + - +
Mata cekung + - +
Abdomen soepel + - +
flat

E. Riwayat Gizi
1. Riwayat Gizi Dahulu
a. Tidak ada alergi dan pantangan makanan

28
b. Pola makan
- Makan pokok 2 – 3 x kali/hari (nasi tim @1 pring), makanan yang
bisa dikonsumsi hanya berupa makanan lunak
- Lauk cincang seperti daging ayam dalam bentuk cincang 1x/mgg @1
ptg kecil, bakso 2x/mgg @2-3 bh, telur ayam 2x/mgg @1 btr, ikan
patin 2x/mgg @1 ptg kecil
- Sayur : Bayam 2-3x/hari @1-2 sdm, wortel cincang 2-3x/hari @3-4
ptg kecil.
- Minum susu formula/ modisco + beras merah.

2. Riwayat Gizi Sekarang


- Nafsu makan kurang, mual, diet enteral NGT F100 (6 x 100 cc + beras
merah 1 sdm @50 cc)
Tabel 4. Asupan Makan Pasien
Energi dan Zat Gizi
Energi Protein Lemak Karbohidrat
(kkal) (gram) (gram) (gram)
Asupan makanan 955,25 23,9 33,7 136,9
Kebutuhan 1,440 36 64 180
Tingkat konsumsi 66% 66% 52% 76%

F. Pengakajian (Assasment) dan Data Riwayat Personal


1. Keadaan sosial
ekonomi
Pasien merupakan anak kedua. Pendidikan terakhir ayah dan ibu SMA.
Ayah bekerja sebagai petani dan ibu sebagai ibu rumah tangga.
2. Riwayat penyakit
keluarga
Keluarga tidak memiliki penyakit yang sama seperti pasien.

29
3. Riwayat penyakit
dahulu
Muntah sejak 1 hari SMRS dgn frekuensi ±10x/hari (memuntahkan
makanan/minuman yang dikonsumsi), demam 1 hari SMRS (37,7oC), sulit
BAB sejak 3 hari SMRS dan kembung.
4. Riwayat penyakit
sekarang
Vomiting akut dehidrasi ringan – sedang, gastroparesis, malrotasi gaster,
global development delay dan gizi buruk marasmus fase rehabilitasi.
5. Indikasi obat/Terapi
Farmakologis yang diberikan Rumah Sakit kepada pasien
Tabel 5. Terapi Farmakologis

Interaksi Obat
No. Nama obat Fungsi Efek Samping
dan Makanan
1. Paracetamol Paracetamol adalah Dapat Tidak terdapat
obat yang biasanya menimbulkan interaksi dengan
digunakan untuk mual, sakit makanan
mengobati rasa sakit perut bagian
ringan hingga atas, gata-
sedang, mulai dari -gatal,
sakit kepala, nyeri kehilangan
haid, sakit gigi, nyeri nafsu makan,
sendi dan nyeri yang uri berwarna
dirasakan selama flu. gelap, feses
Paracetamol juga berwarna pucat,
bisa digunakan untuk kuning pada
meredakan demam. kulit dan mata.
2. Cisapride Cisapride adalah Dapat membuat Tidak terdapat
3x3mg obat yang digunakan hidung interaksi dengan
untuk meningkatkan tersumbat, diare makanan
kinerja atau sembelit,

30
Interaksi Obat
No. Nama obat Fungsi Efek Samping
dan Makanan
kerongkongan, sakit kepala,
lambung, dan usus mual, dan nyeri
halus saat mencerna perut.
makanan. Obat ini
berfungsi
meningkatkan
tekanan cincin otot di
bagian bawah
kerongkongan
(oesophagel
sphincter),
mempersingkat masa
perjalanan makanan
hingga mencapai
usus halus,
meningkatkan
aktivitas usus halus,
serta mengurangi
arus balik asam
lambung menuju
kerongkongan
(refluks asam
lambung).

3. Domperidon Obat domperidone Pusing, sakit Tidak terdapat


e 3x3mg adalah obat yang kepala, interaksi dengan
bertujuan untuk mengantuk, makanan
meningkatkan nyeri payudara,
pergerakan atau cemas, denyut

31
Interaksi Obat
No. Nama obat Fungsi Efek Samping
dan Makanan
kontraksi lambung jantung
dan usus. meningkat,
Domperidone adalah diare
obat yang digunakan
untuk mengobati
mual dan muntah
yang disebabkan obat
lain.
4. Eritromisin Erythromycin adalah Rasa terbakar, Bila diminum
3x50 mg obat dengan fungsi perih atau bersama dengan
untuk mengobati merah yang susu atau
berbagai macam berat, luka suplemen atau
infeksi bakteri. Obat bernanah atau makanan/minuman
ini juga digunakan tanda infeksi yang mengandung
untuk mencegah kulit lain, kalsium atau zat
infeksi bakteri kondisi kulit besi, maka obat
tertentu. yang tidak dapat bekerja
memburuk tau di dalam tubuh.
diare air atau
darah, iritasi
kulit ringan
atau nyeri, kulit
kering atau
berminyak,
gatal,
mengelupas,
iritasi mata
ringan.

G. Diagnosa Gizi

32
(NI – 5.2)
Malnutrisi Protein Energi Yang Nyata, berkaitan dengan asupan yang tidak
adekuat dalam waktu yang lama ditandai dengan status gizi buruk menurut
indikator LLA/U (<P5)

(NI – 2.5)
Intake Enteral Kurang Optimal, berkaitan dengan asupan zat gizi yang tidak
optimal ditandai dengan intake energi yang kurang (66%), protein kurang
(66%), lemak kurang (52%),dan karbohidrat kurang (76%)

(NI – 3.1)
Kekurangan Intake Cairan, berkaitan dengan adanya vomiting akut dehidrasi
ringan – sedang ditandai dengan penurunan berat badan, serta dehidrasi
disebabkan mual dan muntah.

H. Intervensi Gizi
1. Tujuan Diet
Untuk memberikan makanan secara bertahap sesuai dengan fase
tatalaksana gizi buruk.
2. Syarat Diet
(Fase Rehabilitasi)
a. Energi diberikan sesuai dengan kebutuhan anak 90 kkal/kgBBI/hr
b. Protein diberikan 10% dari total energi
c. Lemak diberikan 40% dari total energi
d. Karbohidrat sisa dari penggunaan lemak dan protein
e. Cairan 1.000 + 50 ml/kgBBI diatas 10 kg
3. Prinsip Diet
a. Pemberian diet : Diet Cair Enteral F100
b. Rute pemberian : NGT
c. Bentuk makanan : Cair Enteral
d. Frekuensi makan : setiap 2 jam sekali @50 cc porsi

33
4. Cara pemesanan diet :
F100
5. Perhitungan kebutuhan gizi
Energi = Kebutuhan anak berdasarkan RDA untuk anak usia 4 tahun → 90
kkal/kgBB (Untuk Fase Rehabilitasi)
= RDA x BBI
= 90 kkal x 16 kg
= 1,440 kkal
Protein = 10% x 1,440 : 4 = 36 gram
Lemak = 40% x 1,440 : 9 = 64 gram
KH = 50% x 1,440 : 4 = 180 gram
Kebutuhan Cairan :
BB 10 – 20 kg kebutuhan cairan = 1.000 ml + 50 ml/kg diatas 10 kg
BBI = 16 kg
= 1.000 ml + 300
= 1,300 ml

I. Terapi Edukasi
1. Tujuan
a. Keluarga pasien dapat mengerti dan mengetahui mengenai diet enteral
F100 untuk anak dengan buruk
b. Memberikan motivasi kepada keluarga pasien untuk mengontrol waktu
makan serta pemberiannya kepada pasien berdasarkan makanan yang
diberikan oleh rumah sakit.

2. Metode
Tanya jawab
3. Media
Leaflet
4. Waktu
± 15 menit

34
5. Materi
a. Formula 100 untuk Gizi Buruk
b. Pengaturan makan yang harus diperhatikan
c. Bahan makanan yang dianjurkan, dan bahan makanan yang dihindari
6. Rencana Evaluasi
Keluarga pasien dapat mengetahui dan memahami pentingnya tatalaksana
gizi buruk, pengaturan waktu makan serta bahan – bahan makanan yang
dianjurkan, dihindari dan dibatasi.

J. Rencana Monitoring dan Evaluasi


Pengamatan atau monitoring dan evaluasi (Monev) yang dilakukan meliputi
data – data :
1. Perubahan berat badan
2. Fisik dan klinis
Data fisik dan klinis yang dilakukan monitoring dan evaluasi adalah :
- Mual
- Muntah
- Nadi
- RR
- Suhu
3. Dietary intake (asupan makan pasien)
Dietary intake untuk mengetahui perubahan asupan makanan pasien
dilakukan dengan cara pengamatan sisa makanan selama pasien dirawat
diruang rawat inap 07 B IKA dengan melakukan pengamatan serta

35
monitoring dan evaluasi pada menu makanan rumah sakit dan luar rumah sakit, yaitu asupan energi, protein, lemak, dan
karbohidrat.

K. Proses Asuhan Gizi Terstandar


Resume proses asuhan gizi terstandar dapat disajikan pada tabel 6.
Tabel 6. Resume Proses Asuhan Gizi Terstandar

Nama : An. KM Jenis Kelamin : Perempuan


Umur : 5 tahun 8 bln Nomor Registrasi : 11423107

Diagnosa Gizi (PES) Rencana


Identifikasi
Daftar Masalah Intervensi Monitoring &
Masalah Problem Etiologi Syntoms Evaluasi
1. Antropometri AD. 1.1.6 NI – 5.2 Berkaitan dengan Ditandai dengan ND – 1.2 AD. 1.1.4
- BB = 13,5 kg LILA/U Malnutrisi Protein asupan yang tidak status gizi buruk Modifikasi diet Perubahan berat
- TB = 100 cm Energi Yang adekuat dalam menurut indikator atau jenis atau badan
- LLA = 12 cm Nyata waktu yang lama LLA/U (<P5) jumlah makanan
- BBI = 16 kg dan zat gizi pada
- BB/U = (<P5) → St. Gizi waktu makan
Buruk

- TB/U = (<P5) → Sangat


Pendek (sesuai dengan
anak usia 4 tahun)

36
Identifikasi Diagnosa Gizi (PES) Rencana
Daftar Masalah Intervensi Monitoring &
Masalah Problem Etiologi Syntoms Evaluasi
- % BBI = 84% → Status
Gizi Kurang (dengan
hepatomegali)

- LLA/U = (<P5) → St.


Gizi Buruk (dengan skor
Mclaren = 1)
-
2. Biokimia BD. 1.2 - - - - -
- Hb = 14.60 g/dL (N Electrolyte
: 11,4 – 15,1) and renal
- Natrium = 146 mmol/L (N : profile
136 – 145) (Natrium,
- Kalium = 3,03 mmol/L (N : Klorida,
3,5 – 5,0) Kalium
- Klorida (Cl) = 103 mmol/L normal)
(N : 98 – 106)
- Eritrosit (RBC) = 5,77
106/µL (N : 4,0 – 5,0)
- Hematokrit = 42% (N : 38
– 42)
- Trombosit = 487 103/µL (N
: 142 – 424)
- MCV = 72,8 fL (N : 80 –
93)

37
Identifikasi Diagnosa Gizi (PES) Rencana
Daftar Masalah Intervensi Monitoring &
Masalah Problem Etiologi Syntoms Evaluasi
3. Fisik/Klinis PD – 1.1.5 NI – 3.1 Berkaitan dengan Ditandai dengan ND – 1.2 PD – 1.1.5
Fisik : Mual (+) Kekurangan adanya vomiting penurunan berat Modifikasi diet Mual, muntah dan
- Tampak kurus Muntah (+) Intake Cairan, akut dehidrasi badan, serta atau jenis atau nafsu makan
- Perut kembung + Nafsu makan ringan – sedang dehidrasi jumlah makanan
- Mual + kurang disebabkan mual dan zat gizi pada
- Muntah + dan muntah waktu makan
- Mata cekung +
- Nafsu makan kurang
- Abdomen soepel flat +

Klinis : PD – 1.1.9
- KU = Cukup Nadi
- Kesadaran = CM meningkat
- RR = 24x/menit
- Suhu = 36,9 0C
- Nadi = 112x/menit

4. Riwayat Gizi FH – 1.3.1 NI – 2.5 Intake Berkaitan dengan Ditandai dengan E – 2 Edukasi gizi FH – 1.3.1
a. Riwayat gizi sekarang Asupan enteral Enteral Kurang asupan zat gizi intake energi yang terkait pemenuhan Total asupan
Nafsu makan kurang, mual, kurang Optimal yang tidak kurang (66%), kebutuhan gizi energi. Protein,
diet enteral NGT F100 (6 x optimal protein kurang pasien lemak dan
200 cc + beras merah 1 sdm (66%), lemak karbohidrat
@100 cc) kurang (52%),dan
Hasil Recall : karbohidrat
Energi = 955,25 kkal → kurang (76%)

38
Identifikasi Diagnosa Gizi (PES) Rencana
Daftar Masalah Intervensi Monitoring &
Masalah Problem Etiologi Syntoms Evaluasi
66%
Protein = 23,9 gram →
66%
Lemak = 33,7 gram →
52%
KH = 136,9 gram → 76%
b. Riwayat Gizi Dahulu
Makan pokok 2 – 3 x
kali/hari (nasi tim @1
pring), makanan yang bisa
dikonsumsi hanya berupa
makanan lunak dengan lauk
cincang seperti daging
ayam dalam bentuk cincang
1x/mgg @1 ptg kecil, bakso
2x/mgg @2-3 bh, telur
ayam 2x/mgg @1 btr, ikan
patin 2x/mgg @1 ptg kecil,
bayam 2-3x/hari @1-2 sdm,
wortel cincang 2-3x/hari
@3-4 ptg kecil. Tidak ada
alergi, minum susu formula/
modisco + beras merah.

39
Identifikasi Diagnosa Gizi (PES) Rencana
Daftar Masalah Intervensi Monitoring &
Masalah Problem Etiologi Syntoms Evaluasi
5. Riwayat Personal
a. Keadaan sosial ekonomi
: pasien merupakan
anak kedua. Pendidikan
terakhir ayah dan ibu
SMA. Ayah bekerja
sebagai petani
sedangkan ibu sebagai
ibu rumah tangga.

b. Riwayat penyakit
keluarga : tidak ada

c. Riwayat penyakit
dahulu : muntah sejak 1
hari SMRS dgn
frekuensi ±10x/hari
(memuntahkan
makanan/minuman
yang dikonsumsi),
demam 1 hari SMRS
(37,7oC), sulit BAB
sejak 3 hari SMRS dan
kembung.

40
Identifikasi Diagnosa Gizi (PES) Rencana
Daftar Masalah Intervensi Monitoring &
Masalah Problem Etiologi Syntoms Evaluasi
d. Riwayat penyakit
sekarang : Vomiting
akut dehidrasi ringan –
sedang, Gastroparesis,
Malrotasi gaster ,
Global development
delay dan Gizi buruk
marasmus fase
rehabilitasi

e. Riwayat obat – obatan


yang dikonsumsi :
paracetamol, cisapride
3x3 mg, domperidone
3x3 mg, dan eritromisin
3x50 mg

41
L. Monitoring dan Evaluasi
Hasil monitoring dan evaluasi dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7. Hasil monitoring dan evaluasi
Nama : An. KM Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 5 tahun 8 bln Nomor Registrasi : 11423107
BIOKIMIA KLINIK IDENTIFIKASI RENCANA
ANTROP
TGL (FISIK DIETERY INTAKE EDUKASI MASALAH TINDAK
OMETRI Hasil Normal
&KLINIK) BARU LANJUT
03/0 BB = 12 kg Tidak ada  KU : Cukup Hasil Recall : Memberikan Tidak ada Diberikan diet
4/20 BB/U = < pemeriksaa Kesadaran : Pemberian F100 6 x 100 cc motivasi kepada Diet cair
19 P5 (status n CM (@ 50 cc + 1 sdm beras pasien dan enteral F100
gizi buruk) Perut merah / 2 jam waktu makan) keluarga pasien
laboratotiu modifikasi
Kembung + agar patuh
m terbaru terhadap diet
Mual – Yang Dihabiskan : 500cc F
yang diberikan.
Muntah – 100 + 100 gr beras merah
Memberikan
penjelasan
Maka, tentang diet
Energi = 865,5 kkal → 59% yang dijalani
(↓) (Diet Cair
Protein = 22,4 gram → 62% Enteral F100)
(↓)
Lemak = 32,6 gram → 50%
(↓)

42
ANTROP BIOKIMIA KLINIK IDENTIFIKASI RENCANA
TGL (FISIK DIETERY INTAKE EDUKASI MASALAH TINDAK
OMETRI Hasil Normal
&KLINIK) BARU LANJUT
KH = 120,2 kkal → 66% (↓)

Total Kebutuhan Energi :


E = 1,440 kkal
P = 36 gr/hari
L = 64 gr/hari
KH = 180 gr/hari
04/0 BB = 12 kg Tidak ada - KU : Cukup Hasil Recall : Memberikan Tidak ada Diberikan diet
4/20 BB/U = < pemeriksaa Kesadaran : Pemberian F100 8 x 100 cc motivasi pada Diet cair
19 P5 (status n CM (@ 50 cc + 1 sdm beras keluarga pasien enteral F100
gizi buruk) Mual + merah / 2 jam waktu makan) terkait waktu –
laboratotiu modifikasi
Muntah + waktu makan
m terbaru pasien serta
Nadi = 102 Yang Dihabiskan : 650cc F
motivasi pada
x/menit 100 + 130 gr beras merah pasien untuk
RR = 24 selalu
x/menit Maka, menghabiskan
Suhu = Energi = 1,125,2 kkal → 78% makanannya.
o
36,7 C (↓)
Protein = 29,1 gram → 80%
(cukup)
Lemak = 42,4 gram → 66%

43
ANTROP BIOKIMIA KLINIK IDENTIFIKASI RENCANA
TGL (FISIK DIETERY INTAKE EDUKASI MASALAH TINDAK
OMETRI Hasil Normal
&KLINIK) BARU LANJUT
(↓)
KH = 156,3 kkal → 86%
(cukup)

Total Kebutuhan Energi :


E = 1,440 kkal
P = 36 gr/hari
L = 64 gr/hari
KH = 180 gr/hari
04/0 BB = 13 kg Tidak ada - KU : Cukup Hasil Recall : Memberikan Diberikan diet
4/20 BB/U = < pemeriksaa Kesadaran : Pemberian F100 8 x 100 cc penjelasan Diet cair
19 P5 (status n CM (@ 50 cc + 1 sdm beras mengenai diet enteral F100
gizi buruk) Nadi = 98 merah / 2 jam waktu makan) yang dijalani
laboratotiu modifikasi
x/menit pasien kepada
m terbaru pasien dan
RR = 28 Yang Dihabiskan : 700cc F
keluarga pasien
x/menit 100 + 140 gr beras merah dengan alat bantu
Suhu = leaflet.
36,7oC Maka,
Energi = 1,211,7 kkal → 84%
(cukup)
Protein = 31,4 gram → 87%

44
ANTROP BIOKIMIA KLINIK IDENTIFIKASI RENCANA
TGL (FISIK DIETERY INTAKE EDUKASI MASALAH TINDAK
OMETRI Hasil Normal
&KLINIK) BARU LANJUT
(cukup)
Lemak = 45,6 gram → 71%
(↓)
KH = 168,3 kkal → 93%
(cukup)

Total Kebutuhan Energi :


E = 1,440 kkal
P = 36 gr/hari
L = 64 gr/hari
KH = 180 gr/hari

Clinical Instruktur

(……………………………….)
M. Rekomendasi Menu

45
Tabel 8. Rekomendasi Menu untuk pasien An. KM

Nilai Gizi
Berat
Waktu Makan Menu Bahan Makanan URT Energi Protein Lemak
(gr) KH (gr)
(kkal) (gr) (gr)
Tempe 2 ptg sdg 80 159,3 15,2 6,2 13,6
Tepung beras 4 sdm 40 144,4 2,7 0,2 31,8
Pagi Formula Tempe
Gula pasir 2 ½ sdm 25 96,7 - - 25,0
Minyak goreng 3 sdm 15 129,3 - 15,0 -

Tepung beras 2 ½ sdm 25 90,2 1,7 0,2 19,9


Formula kacang Kacang hijau 5 sdm 50 58,0 3,8 0,3 10,4
Siang
hijau Gula pasir 2 ½ sdm 25 96,7 - - 25,0
Minyak goreng 3 sdm 15 129,3 - 15,0 -

Tahu 1 ptg sdg 55 41,8 4,5 2,6 1,0


Tepung beras 4 sdm 40 144,4 2,7 0,2 31,8
Formula tahu +
Malam Gula pasir 2 ½ sdm 25 96,7 - - 25,0
ayam
Minyak goreng 3 sdm 15 129,3 - 15,0 -
Daging ayam ½ ptg 30 85,5 8,1 5,7 -

46
Nilai Gizi
Berat
Waktu Makan Menu Bahan Makanan URT Energi Protein Lemak
(gr) KH (gr)
(kkal) (gr) (gr)

Total Menu 1,401,6 38,6 60,3 183,4


Kebutuhan 1,440 36 64 180
% 97% 107% 94% 101%
Ket. Cukup Cukup Cukup Cukup

47
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Monitoring Pengukuran Antropometri

Tabel 9. Hasil Pengukuran Antropometri

Jenis Pengakajian Tanggal Pengukuran


Pengukuran 02/04/2019 03/04/2019 04/04/2019 05/04/2019
BB (kg) 13,5 kg - - 13 kg
PB (cm) 100 cm - - 100 cm
BB/PB P10 - - P10
LILA (cm) 12 cm - - 12 cm
St.Gizi
Gizi Buruk - - Gizi Buruk
(LILA/U)
%BBI 84% - - Gizi Kurang

Berdasarkan hasil pengukuran LILA sebesar 12 cm dengan % LILA


ialah < P5 maka status gizi pasien termasuk dalam kriteria gizi buruk.
Penimbangan berat badan juga dilakukan hingga dapat diketahui bahwa
terdapat penurunan berat badan pada pasien. Untuk berat badan ideal yang
harus dimiliki pasien ialah 16 kg berdasarkan plotingan pada grafik CDC.
Pada tabel 9 menunjukkan bahwa pengukuran antropometri selama
pengamatan menunjukkan adanya perubahan yakni penurunan berat badan
oleh pasien. Dan untuk indikator lainnya seperti LILA dan PB tidak terdapat
perubahan dikarenakan memang tidak dapat berubah dalam waktu 3 hari
pengamatan dilakukan.
Menurut indikator BB/PB pasien terlihat normal namun sebenarnya
tinggi pasien tidak sesuai dengan tinggi seharusnya menurut umur pasien. Hal
tersebut menandakan bahwa pasien stunting. Lalu berdasarkan presentase
berat badan ideal, pasien dikatakan gizi kurang. Hal tersebut karena pasien
mengalami hepatomegali yakni pembesaran pada organ hati ditandai dengan
perut yang kembung hingga menambah massa pada berat badan pasien.

48
B. Monitoring Fisik / Klinis
Tabel 10. Monitoring Fisik / Klinis

Nilai
Data Fisik/Klinis 03/04/2019 04/04/2019 05/04/2019
Normal
Keadaan umum Cukup Cukup Cukup -
Kesadaran CM CM CM -
Nadi - 102x/menit 98x/menit 65 – 110x/m
RR - 24x/menit 28x/menit 20 – 25x/m
Suhu - 36,7oC 36,7oC 36 – 37oC
Mual - + - -
Muntah - + - -
Perut kembung + - - -

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan selama 3 hari


menunjukkan adanya perubahan pada kondisi klinis namun masih pada batas
normal. Sedangkan pada kondisi fisik pada tanggal hari kedua pengamatan,
pasien mengalami mual dan muntah dan kembali membaik pada hari terakhir
pengamtan. Hal ini disebabkan karena terapi obat – obatan yang diberikan
yakni domperidone 3 x 3 mg untuk menghilangkan mual muntah. Mual
muntah dapat terjadi berkaitan dengan penyakit yang dialami pasien
(gastroparesis) serta efak samping dari obat lainnya sehingga diberikan
domperidone.

C. Monitoring Asupan
Pasien diberikan diet cair enteral F100 melalui NGT secara bertahap.
Dimana pada hari pertama pengamatan F100 diberikan sebanyak 6 x 200 cc
dengan tambahan 1 sendok makan tepung beras berah setiap 50cc. Hari kedua
hingga seterusnya, F100 diberikan 8 x 200 cc juga dengan tambahan tepung
beras merah pada setiap 50 cc pemberian.

49
Tabel 11. Hasil Recall 3 Hari

Tingkat Konsumsi Hasil Recall 1 Hasil Recall 2 Hasil Recall 3


Energi (kkal) 865,5 1,125,2 1,211,7
Protein (gram) 22,4 29,1 31,4
Lemak (gram) 32,6 42,4 45,6
Karbohidrat (gram) 120,2 156,3 168,3

a. Asupan Energi

Asupan Energi (kkal)


1,600
1,440 1,440 1,440
1,400
1,211.7
1,200 1,125.2

1,000
865.5
800
600
400
200
0
Hari Ke-1 Hari Ke-2 Hari Ke-3

Gambar 2. Perkembangan Asupan Energi

Berdasarkan grafik hasil recall yang diperoleh selama 3 hari


pengamatan, dapat diketahui bahwa asupan energi An. KM terus meningkat
dari hari ke hari. Hal ini dikarenakan rute pemberian makanan yang lewat
NGT sehingga setiap kali pemberian selalu di pastikan sampai habis. Selain
itu juga pada hari pertama F100 yang diberikan masih 6 x 200 cc sehingga
memang masih belum mencukupi kebutuhan karena diberikan secara
bertahap. Namun pada hari selajutnya volume pemberian F100nya
ditingkatkan hingga 8 x 200 cc pemberian yang telah memenuhi kebutuhan
energi pasien.
Walaupun demikian, untuk total rata – rata asupan energinya masih
kurang yakni 73,6%. Hal ini dikarenakan pasien tidak pernah menghabiskan
makanannya khususnya pada malam hari pada jam 01.00 hingga jam 03.00

50
WIB. Karena pasien makan melalui NGT, maka keluarga pasienlah yang
harus memperhatikan dan memberikan makan pasien sesuai jadwal yang
telah di sediakan. Namun waktu makan tengah malam selalu terlewat oleh
keluarga pasien sehingga pasien kekurangan asupan. Dan ketika melakukan
wawancara, keluarga pasien mengatakan bahwa jam – jam tersebut
merupakan waktu istirahat bagi pasien maupun keluarga sehingga keluarga
pasien selalu ketiduran serta dengan alasan takut mengganggu waktu
istirahat pasien.

b. Asupan Protein

Asupan Protein (gram)


4036 36 36
35 31.4
29.1
30
22.4
25
20
15
10
5
0
Hari Ke-1 Hari Ke-2 Hari Ke-3

Gambar 3. Perkembangan Asupan Protein

Berdasarkan hasil recall dari pengamatan yang dilakukan selama 3


hari, dapat diketahui bahwa asupan protein An. KM mengalami peningkatan
yang cukup signifikan pada setiap harinya dengan presentase konsumsi 62 –
87% dari total kebutuhan, yang artinya telah memenuhi kebutuhan.

51
c. Asupan Lemak

Asupan Lemak (gram)


7064 64 64
60
50 45.6
42.4
40
32.6
30
20
10
0
Hari Ke-1 Hari Ke-2 Hari Ke-3

Gambar 4. Perkembangan Asupan Lemak

Berdasarkan hasil recall asupan lemak yang dilakukan selama


pengamatan 3 hari, dapat diketahui bahwa asupan lemak An. KM setiap
harinya mengalami peningkatan namun belum memenuhi kebutuhan pasien
yang seharusnya. Berdasarkan grafik, presentase konsumsi asupan lemak
oleh An. KM ialah 50 – 71%. Hal ini disebabkan kandungan lemak yang
ada pada F100/200 cc itu hanya 12 gram. Konsumsi An.KM belum
mencukupi kebutuhan dikarenakan pasien tidak menghabiskan formula yang
diberikan. Dimana seharusnya 8 x 200 cc dengan tambahan beras merah 1
sendok makan / 50 cc, yang dihabiskan hanya 7 x 200 cc sehingga masih
kurang dari total kebutuhan.

52
d. Asupan Karbohidrat

Asupan Karbohidrat (gram)


200
180 180 180
180 168.3
156.3
160
140
120.2
120
100
80
60
40
20
0
Hari Ke-1 Hari Ke-2 Hari Ke-3

Gambar 5. Perkembangan Asupan Karbohidrat

Berdasarkan hasil recall asupan lemak yang dilakukan selama


pengamatan 3 hari, dapat diketahui bahwa asupan karbohidrat An. KM
setiap harinya mengalami peningkatan yang sangat signifikan dengan
presentase 66 – 93%. Walaupun pada F100 kandungan karbohidratnya tidak
jauh berbeda dengan kandungan lemaknya, yakni hanya 18 gram / 200 cc
tetapi asupan karbohidrat dibantu oleh tepung beras merah yang kandungan
karbohidratnya cukup tinggi, yakni 75,2 gram / 100 gram, sehingga
kebutuhan asupan karbohidrat dapat terpenuhi.

53
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan laporan hasil pengamatan yang telah dilakukan, maka


dapat disimpulkan :
1. Diagnosa pasien adalah Vomiting Akut dehidrasi
ringan – sedang, Gastroparesis, Malrotasi Gaster, serta Gizi Buruk Fase
Rehabilitasi.
2. Masalah gizi pasien ialah malnutrisi energi protein
dalam kurun waktu yang lama, intake enteral yang kurang optimal, serta
kekurangan intake cairan.
3. Intervensi gizi yang diberikan ialah :
a. Diet cair enteral F100 yang telah dimodifikasi.
b. Edukasi gizi yang diberikan ialah mengenai Diet Cair Enteral F100
untuk anak dengan Gizi Buruk.
4. Hasil monitoring dan evaluasi :
a. Perkembangan antropometri An. KM berdasarkan pengukuran LILA
tidak dapat berubah dalam waktu 3 hari.
b. Perkembangan antropometri An. KM berdasarkan Berat Badan
terdapat penurunan yakni dari 13,5 kg menjadi 13 kg.
c. Perkembangan Fisik / Klinis An. KM terdapat perubahan yakni semua
hasil pemeriksaan namun masih pada batas normal, sedangkan kondisi
fisik pasien juga semakin baik dengan tidak adanya mual dan muntah.
d. Tidak dilakukan monitoring dan evalusai pada pemeriksaan data
biokimia dikarenakan tidak dilakukan pemeriksaan terbaru selama
dilakukannya pengamatan.
e. Rata – rata perkembangan tingkat konsumsi pada An. KM selama 3
hari pengamatan, masih tergolong kurang dengan presentase energi
64%, protein 76%, lemak 62%, karbohidrat 82% dari total kebutuhan.

54
f. Hasil edukasi yang diberikan adalah keluarga pasien menerima saran
yang diberikan meskipun asupan makan pasien masih tergolong
kurang.

B. Saran
Adapun saran yang dapat saya berikan, ialah :
1. Diperlukan dukungan dan dorongan dari
pihak keluarga untuk memberikan motivasi kepada pasien sehingga
asupan pasien dapat semakin baik diikuti dengan perbaikan pada
penilaian fisik dan klinis.
2. Diperlukan penyesuaian frekuensi dan waktu
pemberian makan sehingga memberikan waktu istirahat yang cukup
untuk pasien terutama pada malam hari dengan cara menambah volume
pada pagi ataupun siang hari sehingga dapat mengurangi frekuensi
makan.

55
DAFTAR PUSTAKA

Apriyani, Anasta Nur. 2013. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kondisi Delay


Development di Yayasan Pendidikan Anak Cacat Surakarta. Surakarta :
Universitas Muhammadiyah Surakarta, Fakultas Ilmu Kesehatan.

Depkes RI. 2013. Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit. Direktorat Jenderal


Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta.

Indonesian Pediatric Society, 2019. Mengenal Keterlambatan Perkembangan


Umum pada Anak. Committed in Improving The Health of Indonesian
Children, Ikatan Dokter Anak Indonesia. Available from :
http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/mengenal-
keterlambatan-perkembangan-umum-pada-anak, akses pada tanggal 21
April 2019.

Jurnalis, Yusri Dianne dkk. 2012. Laporan Kasus Malrotasi Usus. Padang :
Universitas Andalas / RS Dr. M. Djamil, Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran. Jurnal Kesehatan Andalas, 2012 ; 1(2). Available from :
http://jurnal.fk.unand.ac.id, akses pada tanggal 21 April 2019.

Lutfiana, Nurlaela. 2013. Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Kejadian


Gizi Buruk pada Lingkungan Tahan Pangan dan Gizi. Semarang :
Universitas Negeri Semarang, Fakultas Ilmu Keolahragaan Jurusan Ilmu
Kesehatan Masyarakat.

Novitasari A, Dewi. 2012. Faktor – faktor Resiko Kejadian Gizi Buruk pada
Balita yang di Rawat di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Semarang :
Universitas Diponegoro, Fakultas Kedokteran.

Nurparida, I.S..2011. Evaluasi Pelaksanaan Program Pelayanan Gizi Rumah


Sakit dengan Sistem Outsorcing di RSUD Kabupaten Sumedang. Jurnal PPs
Univ. Padjadjaran Bandung.

Permana, Mustika Dian dan Kaka Renaldi. 2018. Management of Gastric Motility
Disorder. Jakarta : Universitas Indonesia / Dr. Cipto Mangunkusumo

56
General National Hospital, Faculty of Medicine. The Indonesian Journal of
Gastroenterology Hepatology and Digestive Endoscopy, Volume 19 No. 1,
April 2018.

Rawis, Lalenoh, & Kumaat. 2016. Profil pasien cedera kepala sedang dan berat
yang dirawat di ICU dan HCU. Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 2,
Juli-Desember 2016. Manado

Sulistiyanto, Kasmini, & Rustiana. 2017. Peran Petugas Gizi Dalam Memberikan
Pelayanan Asuhan gizi Pada Pasien Rawat Inap. Unnes Journal of Public
Health 6 (2) Univ. Semarang

57

Anda mungkin juga menyukai