Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Status gizi merupakan Keadaan tubuh akibat konsumsi makanan atau ukuran
keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi; adanya keseimbangan antara jumlah asupan
(intake) zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan (required) oleh tubuh untuk berbagai
fungsi biologis seperti pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas atau produktivitas,
pemeliharaan kesehatan dan lain-lain. Sstatus gizi pada anak  diindikasikan oleh berat
badan dan tinggi badan.(Sumber: Pemantauan Pertumbuhan Balita, Dit. GM, Depkes,
2003).
Status gizi adalah salah satu unsur penting dalam membentuk status
kesehatan. Status gizi (nutritional satus) adalah keadaan yang diakibatkan oleh
keseimbangan antara asupan zat gizi dari makanan dan kebutuhan zat gizi oleh tubuh.
Status gizi sangat dipengaruhi oleh asupan gizi. Pemanfaatan zat gizi dalam tubuh
dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu primer dan sekunder. Faktor primer adalah keadaan
yang mempengaruhi asupan gizi dikarenakan susunan makanan yang dikonsumsi
tidak tepat, sedangkan faktor sekunder adalah zat gizi tidak mencukupi kebutuhan
tubuh karena adanya gangguan pada pemanfaatan zat gizi dalam tubuh(PSG,2017)

Status gizi dapat diketahui melalui pengukuran beberapa parameter,


kemudian hasil pengukuran tersebut dibandingkan dengan standar atau rujukan.
Peran penilaian status gizi bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya status gizi yang
salah. Penilaian status gizi menjadi penting karena dapat menyebabkan terjadinya
kesakitan dan kematian terkait dengan status gizi. Status gizi seseorang tergantung
dari asupan gizi dan kebutuhannya, jika antara asupan gizi dengan kebutuhan
tubuhnya seimbang, maka akan menghasilkan status gizi baik. Kebutuhan asupan
gizi setiap individu berbeda antarindividu, hal ini tergantung pada usia, jenis
kelamin, aktivitas, berat badan ,dan tinggi badan. Kebutuhan protein antara anak
balita tidak sama dengan kebutuhan remaja, kebutuhan energi mahasiswa yang
menjadi atlet akan jauh lebih besar daripada mahasiswa yang bukan atlet. Kebutuhan
zat besi pada wanita usia subur lebih banyak dibandingkan kebutuhan zat besi laki-
laki, karena zat besi diperlukan untuk pembentukan darah merah (hemoglobin),
karena pada wanita terjadi pengeluaran darah melalui menstruasi secara periodik
setiap bulan(PGS,2017)

Menurut WHO, yang disebut remaja adalah mereka yang berada pada tahap
transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa. Batasan usia remaja menurut WHO
adalah 12 sampai 24 tahun. Menurut Menteri Kesehatan RI tahun 2010, batas usia
remaja adalah antara 10 sampai 19 tahun dan belum kawin.

Masa remaja merupakan periode terjadinya pertumbuhan dan perkembangan


yang pesat baik secara fisik, psikologis, maupun intelektual. Menurut WHO, remaja
adalah penduduk dalam rentang usia 10-19 tahun, menurut Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor 2005 tahun 2014, remaja adalah penduduk dalam rentang usia
10-18 tahun dan menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN)
rentang usia remaja adalah 10-24 tahun dan belum menikah (Kemenkes RI, 2014).

Pola makan adalah cara seseorang atau kelompok memilih dan memakannya
sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologi, psikologi, budaya dan sosial disebut
pola makan. Pola makan dinamakan pula kebiasaan pangan atau pola pangan
(Suhardjo, 1985). Djiteng Rudjito, (1989) berpendapat bahwa pola makan merupakan
cara yang ditempuh seseorang atau sekelompok orang untuk memilih makanan dan
mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologis dan
sosial budaya. Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa pola makan
merupakan informasi yang memberikan gambaran mengenai macam dan jumlah
bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri khas
suatu kelompok masyarakat tertentu (Sri Kardjati, 1985).

Menurut Ari Istiany (2013) pola makan adalah suatu informasi mengenai jenis
dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu
tertentu, sehingga penilaian konsumsi pangan dapat berdasarkan pada jumlah maupun
jenis makanan yang dikonsumsi.
saat ini Indonesia mempunyai tiga beban masalah gizi (triple burden) yaitu
stunting, wasting dan obesitas serta kekurangan zat gizi mikro seperti anemia. Data
Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa 25,7% remaja usia 13-15 tahun dan 26,9%
remaja usia 16-18 tahun dengan status gizi pendek dan sangat pendek.Selain itu
terdapat 8,7% remaja usia 13-15 tahun dan 8,1% remaja usia 16-18 tahun dengan
kondisi kurus dan sangat kurus. Sedangkan prevalensi berat badan lebih dan obesitas
sebesar 16,0% pada remaja usia 13-15 tahun dan 13,5% pada remaja usia 16-18
tahun.Data tersebut merepresentasikan kondisi gizi pada remaja di Indonesia yang
harus diperbaiki. Berdasarkan baseline survey UNICEF pada tahun 2017, ditemukan
adanya perubahan pola makan dan aktivitas fisik pada remaja.
Pada masa remaja, banyak individu mencapai tingkat kesehatan, kekuatan,
dan energi yang tidak akan pernah mereka nikmati ditahap kehidupan selanjutnya.
Mereka juga memiliki keyakinan sebagai sosok unik dan kebal yang tidak akan pernah
sakit, atau seandainya pun jatuh sakit mereka akan segera pulih. Dengan adanya
kekuatan fisik tidak mengherankan apabila terdapat banyak remaja yang
mengembangkan kebiasaan buruk bagi kesehatannya (John W, 2007).

Adapun faktor internal yang mempengaruhi prilaku makan adalah faktor fisik
dan faktor psikologis. Sedangkan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi
perilaku makan adalah budaya, ekonomi, norma sosial, pengetahuan dan media atau
periklanan (Barasi, 2007). Faktor internal yang mempengaruhi perilaku makan adalah
faktor fisik. Perubahan fisik yang terjadi khususnya berat badan dan bentuk tubuh
meningkatkan resiko seseorang mencemaskan berat badannya (Neumark & Sztainer,
2000).

Tidak dapat dipungkiri juga bahwa faktor norma sosial dan gaya hidup dapat
mempengaruhi kebiasaan makan individu. Pengaruh teman sebaya pada masa remaja
juga sangat besar dalam terjadinya perilaku makan yang tidak baik, karena remaja
cenderung untuk mengikuti tren dan budaya yang sama dengan teman sebayanya.
Media baik media cetak maupun elektronik dikatakan juga sebagai salah satu faktor
yang dapat menyebabkan timbulnya penyimpangan perilaku makan pada remaja.
Namun, media cetak lebih memberikan dampak nyata terhadap terjadinya kasus
penyimpangan perilaku makan (Gonzalez,2003).

Dari hasil uraian di atas menunjukan bahwa sebagian remaja memiliki pola
makan yang kurang baik diantaranya jarang sarapan pagi. Hal tersebut dapat
mengganggu proses pertumbuhan dan perkembangan fisik mereka. Oleh sebab itu
remaja perlu mempunyai bekal pengetahuan gizi yang cukup agar pola makan remaja
menjadi lebih baik. Selain pengetahuan gizi terdapat juga beberapa faktor lain
dalam menentukan pola makan. Berdasarkan pertimbangan- pertimbangan di atas
maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran pola makan Dan status
gizi pada remaja di SMA Uepai.

Anda mungkin juga menyukai