PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Masa remaja adalah masa antara anak-anak dan dewasa, dimana
pertumbuhan fisik dan fungsi tubuh mengalami perkembangan yang signifikan.
Menurut Widianti (2012) masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-
anak menuju masa dewasa, yakni sekitar usia 9-18 tahun. Pada masa rema pola
konsumsi makanan dan minuman harus terus dijaga dan dikontrol, karena jika
tidak ada pengontrolan dengan baik, hal tersebut akan berpengaruh pada masa
usia selanjutnya dikarenakan kondisi kesehatan pada usia dewasa hingga usia
lanjut di tentukan oleh kondisi kesehatan pada masa usia remaja
(Suryono,2007). Menurut Emilia (2009) Ketidakseimbangan antara makanan
yang dikonsumsi dengan kebutuhan gizi pada remaja dapat menimbulkan
masalah gizi kurang ataupun masalah gizi berlebih. Dilihat dari status asupan
gizi dalam masyarakat, menurut Susanti (2012) Remaja merupakan salah satu
kelompok rentan terhadap masalah kekurangan gizi. Iftita (2013) mengatakan
bahwa berdasarkan data Riskesdas 2007 yang dan data Susenas Kor 2007 dalam
Sulistyowati (2009) diketahui bahwa status gizi remaja di Indonesia yang
diukur dengan kategori IMT diperoleh remaja kategori yang sangat kurus
(24,3%) dan remaja kategori kurus (16,5%).
Ternyata remaja tidak hanya termasuk kelompok yang rentan terhadap
masalah kekurangan gizi saja. Namun remaja juga rentan terhadap
kemungkinan terjadinya kelebihan gizi. Dariyo (2004) mengatakan dalam
sebuah jurnal bahwa tidak menutup kemungkinan jika remaja dapat mengalami
masalah gizi berlebih. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Runtuk (2007), penelitian tersebut menunjukkan bahwa 10,53%
remaja di SMAN 22 Surabaya dan SMAN 2 Surabaya berstatus gizi berlebih.
Widianti (2012) juga melakukan penelitian di Taringan, Yogyakarta dengan
hasil 67% merupakan remaja yang mengalami obesitas (status gizi lebih) dan
33% remaja yang tidak mengalami obesitas.
1
1.2 Rumusan Masalah
1 . Bagaimana status gizi remaja saat ini?
2. Apa saja faktor yang mempengaruhi status gizi pada remaja saat ini?
3. Bagaimana bentuk penanganan masalah gizi remaja saat ini?
4. Contoh kasus dan pemberian diet untuk masalah gizi remaja
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui status gizi remaja saat ini.
2. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi status gizi remaja saat ini.
3. Untuk mengetahui bentuk penanganan masalah gizi remaja saat ini.
4. Untuk mengetahui pemberian diet yang tepat untuk masalah gizi remaja.
1.4 Manfaat
1. Dapat mengetahui status gizi remaja saat ini.
2. Dapat mengetahui faktor yang mempengaruhi status gizi remaja saat ini.
3. Dapat mengetahui bentuk penanganan masalah gizi remaja saat ini.
4. Dapat mengetahui pemberian diet yang tepat untuk masalah gizi remaja.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Litbangkes dalam Kesumasari (2019) sebanyak 20,6% anak sekolah
ternyata tidak sarapan, 93,6% kurang mengkonsumsi sayur dan buah serta
75,7% mengkonsumsi makanan berpenyedap. Kebiasaan makan yang
berubah salah satunya terjadi karena adanya globalisasi secara luas.
Menurut Sartika (2011) Sejak tahun 1970 hingga sekarang, kejadian
obesitas meningkat 2 (dua) kali lipat pada anak usia 2-5 tahun dan usia 12-
19 tahun, bahkan meningkat tiga (3) kali lipat pada anak usia 6-11 tahun. Di
Indonesia, prevalensi obesitas pada anak usia 6-15 tahun meningkat dari 5%
tahun 1990 menjadi 16% tahun 2001. Gaya hidup sedentary, konsumsi
makanan yang tidak seimbang memicu terjadinya gizi lebih dan obesitas
(Wang et al. Dalam Emilia, 2009). Gizi lebih dan obesitas pada remaja
berhubungan dengan penyakit degeneratif pada umur yang lebih muda dan
kecenderungan remaja obesitas untuk tetap obesitas pada masa dewasa
(Hadi dalam Emilia, 2009). Prevalensi kegemukan tahun 2010 pada anak
usia 16-18 tahun secara nasional sebesar 1,4%. Ditemukan 11 provinsi yang
memiliki kegemukan pada remaja usia 16-18 tahun di atas prevalensi
nasional, salah satunya adalah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
dengan persentase sebesar 4,1%. Sementara itu, pada penduduk usia di atas
18 tahun, tercatat kasus kurus sebesar 12,6% dan 21,7% gabungan kategori
berat badan lebih (overweight) dan obesitas. Prevalensi kegemukan
(overweight) relatif lebih tinggi pada remaja perempuan dibanding dengan
remaja laki-laki (1,5% perempuan dan 1,3% laki-laki).
4
dan kemampuan belajar terganggu, serta menurunkan konsentrasi
(Zahtamal,2019). Kekurangan gizi pada remaja mengakibatkan
menurunnya daya tahan tubuh terhadap penyakit, meningkatkan angka
penyakit (morbiditas), mengalami pertumbuhan tidak normal (pendek),
tingkat kecerdasan rendah, produktivitas rendah dan terhambatnya
pertumbuhan organ reproduksi. Terhambatnya pertumbuhan organ
reproduksi pada wanita mengakibatkan terlambat haid pertama (menarche),
haid tidak lancar, rongga panggul tidak berkembang maksimal sehingga
sulit melahirkan, gangguan kesuburan dan kesulitan pada saat hamil.
Kebutuhan gizi yang diperoleh dari makanan merupakan hal yang sangat
penting. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 status
gizi remaja di Indonesia untuk kelompok umur 13-15 tahun menunjukkan
prevalensi kurus pada remaja umur adalah 11,1% terdiri dari 3,3% sangat
kurus dan 7,8% kurus. Sedangkan prevalensi kurus pada remaja umur 16-
18 tahun sebesar 9,4% terdiri dari 1,9% sangat kurus dan 7,5% kurus.
Remaja di provinsi Riau umur 13-15 tahun didapatkan prevalensi sangat
kurus 3,4% dan kurus 8,1%, remaja umur 16-18 tahun dengan prevalensi
sangat kurus 2,0% dan kurus 5,9%.
5
air putih, diet tidak sehat karena ingin langsing (mengabaikan sumber
protein, karbohidrat, vitamin dan mineral), kebiasaan ngemil makanan
rendah gizi dan makan makanan siap saji. Sehingga remaja tidak mampu
memenuhi keanekaragaman zat makanan yang dibutuhkan oleh tubuhnya
untuk proses sintesis pembentukan hemoglobin (Hb). Bila hal ini terjadi
dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan kadar Hb terus
berkurang dan menimbulkan anemia (Suryani, 2017).
6
2.2. Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Remaja
a. Genetik
Kegemukan dapat diturunkan dari generasi sebelumnya pada generasi
berikutnya di dalam sebuah keluarga. Itulah sebabnya kita seringkali
menjumpai orangtua yang gemuk cenderung memiliki anak-anak yang
gemuk pula. Dalam hal ini nampaknya faktor genetik telah ikut campur
dalam menentukan jumlah unsur sel lemak dalam tubuh. Hal ini
dimungkinkan karena pada saat ibu yang obesitas sedang hamil maka unsur
sel lemak berjumlah besar dan melebihi ukuran normal.
Seorang remaja punya 40% kemungkinan mengalami kegemukan, bila
salah satu orangtuanya obesitas. Bila kedua orangtuanya kelebihan berat
badan, maka kemungkinan seorang remaja mengalami obesitas pun naik
hingga 80%.
b. Kerusakan pada suatu bagian otak
Sistem pengontrol yang mengatur perilaku makan terletak pada
suatu bagian otak yang disebut hipotalamus yang artinya sebuah kumpulan
inti sel dalam otak yang langsung berhubungan dengan bagian-bagian lain
dari otak dan kelenjar dibawah otak. Hipotalamus mengandung lebih
banyak pembuluh darah dari daerah lain pada otak, sehingga lebih mudah
dipengaruhi oleh unsur kimiawi dari darah. Dua bagian hipotalamus yang
mempengaruhi penyerapan makan yaitu hipotalamus lateral (HL) yang
menggerakan nafsu makan (awal atau pusat makan); hipotalamus
ventromedial (HVM) yang bertugas merintangi nafsu makan
(pemberhentian atau pusat kenyang). Dari hasil penelitian didapatkan
bahwa bila HL rusak/hancur maka individu menolak untuk makan atau
minum, dan akan mati kecuali bila dipaksa diberi makan dan minum (diberi
infus). Sedangkan bila kerusakan terjadi pada bagian HVM maka seseorang
akan menjadi rakus dan kegemukan.
c. Pola Makan Berlebih
7
Orang yang kegemukan lebih responsif dibandingkan dengan orang
yang punya berat badan normal terhadap isyarat lapar eksternal, seperti rasa
dan bau makanan, atau saatnya waktu makan. Orang yang gemuk cenderung
makan bila ia merasa ingin makan, bukan makan pada saat ia lapar. Pola
makan berlebih inilah yang menyebabkan mereka sulit untuk keluar dari
kegemukan jika sang individu tidak memiliki kontrol diri dan motivasi yang
kuat untuk mengurangi berat badan.
d. Pengaruh emosional
Orang yang mempunyai berat badan yang berlebih sebenarnya lebih
terganggu secara psikologis dibandingkan dengan orang yang memiliki
berat badan normal. Meski banyak pendapat yang mengatakan bahwa orang
gemuk biasanya tidak bahagia, namun sebenarnya ketidakbahagiaan
batinnya lebih diakibatkan sebagai hasil dari kegemukannya. Hal tersebut
karena dalam suatu masyarakat seringkali tubuh kurus disamakan dengan
kecantikan, sehingga orang gemuk cenderung malu dengan penampilannya
dan kesulitannya mengendalikan diri terutama dalam hal yang berhubungan
denngan perilaku makan.
Remaja yang gemuk makan lebih banyak saat situasi yang sangat
mencekam; orang dengan berat badan yang normal makan dalam situasi
yang kurang mencekam (McKenna,1999). Dalam suatu studi yang
dilakukan White (1977) pada kelompok orang dengan berat badan berlebih
dan kelompok orang dengan berat badan yang kurang, dengan menyajikan
kripik (makanan ringan) setelah mereka menyaksikan empat jenis film yang
mengundang emosi yang berbeda, yaitu film yang tegang, ceria,
merangsang gairah seksual dan sebuah ceramah yang membosankan. Pada
orang gemuk didapatkan bahwa mereka lebih banyak menghabiskan kripik
setelah menyaksikan film yang tegang dibanding setelah menonton film
yang membosankan. Sedangkan pada orang dengan berat badan kurang
selera makan kripik tetap sama setelah menonton film yang tegang maupun
film yang membosankan.
e. Aktifitas fisik
8
Hanya mempengaruhi satu pertiga pengeluaran energi seseorang
dengan berat normal, tapi bagi orang yang memiliki kelebihan berat badan
aktivitas fisik memiliki peran yang sangat penting. Pada saat berolahraga
kalori terbakar, makin banyak berolahraga maka semakin banyak kalori
yang hilang. Kalori secara tidak langsung mempengaruhi sistem
metabolisme basal. Orang yang duduk bekerja seharian akan mengalami
penurunn metabolisme basal tubuhnya. Kekurangan aktifitas gerak akan
menyebabkan suatu siklus yang hebat, obesitas membuat kegiatan olahraga
menjadi sangat sulit dan kurang dapat dinikmati serta kurangnya olahraga
secara tidak langsung akan mempengaruhi turunnya metabolisme basal
tubuh orang tersebut. Jadi olahraga sangat penting dalam penurunan berat
badan tidak saja karena dapat membakar kalori, melainkan juga karena
dapat membantu mengatur berfungsinya metabolisme secara normal.
f. Lingkungan
Faktor lingkungan ternyata juga mempengaruhi seseorang untuk
menjadi gemuk. Jika seseroang remaja dibesarkan dalam lingkungan yang
menganggap gemuk adalah simbol kemakmuran dan keindahan maka orang
tersebut akan cenderung untuk menjadi gemuk. Selama pandangan tersebut
tidak dipengaruhi oleh faktor eksternal maka orang yang obesitas tidak akan
mengalami masalah-masalah psikologis sehubungan dengan kegemukan..
2. Anemia
a. Tingkat pendapatan keluarga
Pendapatan keluarga merupakan salah satu peubah ekonomi yang
cukup dominan sebagai determinan konsumsi pangan (Yayuk Farida, dkk,
2004:70). Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh
kembang anak karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak
baik yang primer maupun sekunder. Pendapatan atau penghasilan yang kecil
tidak dapat memberi cukup makan pada anggota keluarga, sehingga
kebutuhan keluarga tidak tercukupi (Soetjiningsih, 1995:10).
b. Tingkat pengetahuan anemia
9
Jika pengetahuan ibu dan remaja rendah, maka masalah anemia akan
menjadi sebuah masalah yang disepelekan.
c. Tingkat Pendidikan Ibu
Pendidikan ibu merupakan modal utama dalam penunjang ekonomi
keluarga juga berperan dalam penyusunan makan keluarga, serta
pengasuhan dan perawatan anak. Bagi keluarga dengan tingkat pendidikan
yang tinggi akan lebih mudah menerima informasi kesehatan khususnya
bidang gizi, sehingga dapat menambah pengetahuannya dan mampu
menerapkan dalam kehidupan sehari-hari (Achmad Djaeni, 1996:35).
d. Kurangnya asupan zat besi
Tubuh mendapatkan zat besi melalui makanan. Kandungan zat besi
dalam makanan berbeda-beda, dimana makanan yang kaya akan kandungan
zat besi adalah makanan yang berasal dari hewani (seperti ikan, daging, hati
dan ayam). Makanan nabati (seperti sayuran hijau tua) walaupun kaya akan
zat besi, namun hanya sedikit yang bisa diserap dengan baik oleh usus
(Depkes RI, 1998:14).
Rendahnya asupan zat besi ke dalam tubuh yang berasal dari
konsumsi zat besi dari makanan sehari-hari merupakan salah satu penyebab
terjadinya anemia (Mary E. Beck, 2000:197).
Dalam makanan terdapat 2 macam zat besi yaitu besi heme (40%)
dan besi non hem. Besi non hem merupakan sumber utama zat besi dalam
makanan. Terdapat dalam semua jenis sayuran misalnya sayuran hijau,
kacang-kacangan, kentang dan serealia serta beberapa jenis buah-buahan.
Sedangkan besi hem hampir semua terdapat dalam makanan hewani antara
lain daging, ikan, ayam, hati dan organ–organ lain (Sunita Almatsier,
2001:252).
Sebagian besar penduduk di negara yang (belum) sedang
berkembang tidak (belum) mampu menghadirkan bahan kaya Fe di meja
makan (Arisman, 2004:146).
Dalam masa remaja, khususnya remaja putri sering sangat sadar
akan bentuk tubuhnya, sehingga banyak yang membatasi konsumsi
makanannya. Bahkan banyak yang berdiit tanpa nasehat atau pengawasan
10
seorang ahli 25 kesehatan dan gizi, sehingga pola konsumsinya sangat
menyalahi kaidah-kaidah ilmu gizi. Banyak pantang atau tabu yang
ditentukan sendiri berdasarkan pendengaran dari kawannya yang tidak
kompeten dalam soal gizi dan kesehatan, sehingga terjadi berbagai gejala
dan keluhan yang sebenarnya merupakan gejala kelainan gizi (Achman
Djaeni, 2000:241).
Banyak remaja putri yang sering melewatkan dua kali waktu makan
dan lebih memilih kudapan. Padahal sebagian besar kudapan bukan hanya
hampa kalori, tetapi juga sedikit sekali mengandung zat gizi, selain dapat
mengganggu (menghilangkan) nafsu makan. Selain itu remaja khususnya
remaja putri semakin menggemari junk food yang sangat sedikit (bahkan
ada yang tidak ada sama sekali) kandungan kalsium, besi, riboflavin, asam
folat, vitamin A dan vitamin.
1. Obesitas
• Porsi makan malam lebih sedikit dibandingkan makan pagi dan siang
• Mengubah dan membiasakan pola makan 3 kali dalam sehari (pagi,
siang, malam) dan snack 1-2 kali dalam sehari.
• Mengutamakan konsumsi makanan bersumber karbohidrat kompleks
(kelompok padi-padian dan umbi-umbian yaiut 3-8 porsi per hari)
tergantung kebutuhan tubuh.
• Mengkonsumsi makanan sumber protein hewani dan nabati yang rendah
lemak.
• Mengkomsumsi sayur 3-5 posri per hari dan buah 2-3 porsi perhari.
Hindari buah yang mengandung energy tinggi yaitu
durian,alpukat,manga, pisang,cempedak.
11
• Membatasi konsumsi lemak, minyak, gula dan tidak minum yang
mengandung alcohol.
• Meningkatkan konsumsi cairan pada tubuh.
12
2.4 Kasus dan Pemberian Diet pada Remaja
Kasus I :
Jawab:
= 1337 kkal
= 1337 x 1,55
= 2072 kkal
SARAPAN
PAGI
13
4 Ayam Daging 50 74 7 4,9 0 1P
goreng ayam
Minyak 10 87 0 10 0 2P
MAKAN
SIANG
Minyak 5 43 0 5 0 1P
Gula pasir 20 78 0 0 20 2P
MAKAN
MALAM
14
4. Tumis sayur Toge 50 61 6,6 3,3 4,8 ½P
Minyak 10 87 0 10 0 2P
Gula 20 78 0 0 20 2P
Kasus II :
Jawab:
𝐵𝐵 76
IMT/U = 𝑇𝐵 2 = 1,692 = 26,6 (gemuk)
= 2999 – 500
15
Status gizi Rizal berdasarkan indeks IMT/U
𝐵𝐵 76
IMT/U = 𝑇𝐵 2 = 1,692 = 26,6 (gemuk)
= 2999 – 500
16
Contoh Menu dalam Sehari :
17
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Perubahan fisik karena pertumbuhan yang terjadi pada masa remaja akan
dipengaruhi oleh status kesehatan dan gizi remaja tersebtut. Salah satu area penting
dalam kesehatan remaja adalah alat reproduksi remaja. Kesehatan reproduksi
remaja berperan dalam mewujudkan kesehatan reproduksi status gizi. Asupa dari
zat-zat gizi seimbang dan sesuai dengan remaja akan membantu remaja mencapai
pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Ketidakseimbangan antara asupan
kebutuhan atau kecukupan akan menimbulkan masalah gizi baik itu berupa gizi
baik maupun gizi kurang.
3.2 Saran
18
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Djaeni. 2000. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa Profesi Di Indonesia. Jakarta :
Dian Rakyat.
Basith, A., Agustina, R., & Diani, N. (2017). Faktor-faktor yang berhubungan
dengan kejadian anemia pada remaja putri. Dunia Keperawatan, 5(1), 1-
10.
Depkes RI. 1998. Pedoman Penanggulangan Anemia Gizi Untuk Remaja Putri
Wanita Usia Subur dan Calon Pengantin. Jakarta : Depkes RI.
Emilia, E. (2009). Pengetahuan, sikap dan praktek gizi pada remaja dan
implikasinya pada sosialisasi perilaku hidup sehat. Media Pendidikan, Gizi,
dan Kuliner, 1(1).
Emilia, E. (2017). Pengetahuan, sikap dan praktek gizi pada remaja dan
implikasinya pada sosialisasi perilaku hidup sehat.
Ersila, W., & Prafitri, l. (2017). Layanan Kesehatan Reproduksi Remaja Dalam
Upaya Pencegahan Anemia pada Remaja di Kabupaten Pekalongan.
Prosiding Seminar Nasional Publikasi Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdi
Masyarakat, 636.
Iftita, R., & Merryana, A. (2013). Hubungan Gaya Hidup dengan Status Gizi
Remaja
Kesumasari, C., Kurniati, Y., Dachlan, D. M., Syam, A., & Virani, D. (2019).
Perbaikan Gizi Remaja Berbasis Sekolah Di SMA Negeri 15 Makassar.
Panrita Abdi-Jurnal Pengabdian pada Masyarakat, 3(1), 89-96.
Kirana, D. P., & Kirana, D. P. (2011). Hubungan Asupan Zat Gizi dan Pola
Menstruasi dengan kejadian anemia pada remaja putri di SMA N 2
Semarang (Doctoral dissertation, Diponegoro University).
Kurdanti, W., Suryani, I., Syamsiatun, N. H., Siwi, L. P., Adityanti, M. M.,
Mustikaningsih, D., & Sholihah, K. I. (2015). Faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian obesitas pada remaja. Jurnal Gizi Klinik Indonesia,
11(4), 179-190.
Mary E. Beck. 2000. Ilmu Gizi dan Diet Hubungan dengan penyakit-penyakit untuk
Perawat dan Dokter. Yogyakarta : Yayasan Essentia Medica.
Muthmainah, F. N., Khomsan, A., Riyadi, H., & Prasetya, G. (2019). Konsumsi
Sayur dan Buah pada Siswa SMP Sebagai Implementasi Pedoman Gizi
Seimbang. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, 15(2).
P2PTM Kemenkes RI. (2019, agustus 12). Cara Praktis Mengatasi Obesitas, Tata
Laksana dengan Pola Makan-Bagian Kedua. P2PTM Kemenkes RI.
19
P2PTM Kemenkes RI. (2019, juli 31). Cara Mencegah Obesitas dengan Pola
Aktivitas. P2PTM Kemenkes RI.
P2PTM Kemenkes RI. (2019, juli 31). Cara-cara mencegah Obesitas dengan
mengatur pola makan. P2PTM Kemenkes RI.
salam, a. (2010). faktor resiko kejadian obesitas pada remaja. Jurnal MKMI Vol 6
No.3.
Sartika, R. A. D. (2011). Faktor risiko obesitas pada anak 5-15 tahun di Indonesia.
Makara kesehatan, 15(1), 37-43.
Silalahio, V., Aritonang, E., & Ashar, T. (2016). Potensi Pendidikan Gizi dalam
Meningkatkan Asupan Gizi pada Remaja Putri yang Anemia di Kota
Medan. Jurnal Kesehatan Masyarakat.
Sunita Almatsier. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
Suryani, D., Hafiani, R., & Junita, R. (2017). Analisis pola makan dan Anemia Gizi
Besi pada Remaja Putri Kota Bengkulu. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Andalas, 10(1), 11-18.
Suryono, S., Khomsan, A., Setiawan, B., Martianto, D., & Sukandar, D. (2007).
Pengaruh Pemberian Susu Terhadap Indeks Massa Tubuh dan Kepadatan
Tulang Punggung, Remaja, Pria.
Widianti, N., & Candra, A. (2012). Hubungan Antara Body Image dan Perilaku
Makan Dengan Status Gizi Remaja Putri Di SMA Theresiana Semarang
(Doctoral dissertation, Diponegoro University).
Yayuk. Farida, dkk. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta : Penebar Swadaya.
Zahtamal, Z., & Munir, S. M. (2019). Edukasi Kesehatan Tentang Pola Makan dan
Latihan Fisik untuk Pengelolaan Remaja Underweight. Jurnal PkM
Pengabdian kepada Masyarakat, 2(01), 64-70.
20