Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Masa remaja adalah masa antara anak-anak dan dewasa, dimana
pertumbuhan fisik dan fungsi tubuh mengalami perkembangan yang signifikan.
Menurut Widianti (2012) masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-
anak menuju masa dewasa, yakni sekitar usia 9-18 tahun. Pada masa rema pola
konsumsi makanan dan minuman harus terus dijaga dan dikontrol, karena jika
tidak ada pengontrolan dengan baik, hal tersebut akan berpengaruh pada masa
usia selanjutnya dikarenakan kondisi kesehatan pada usia dewasa hingga usia
lanjut di tentukan oleh kondisi kesehatan pada masa usia remaja
(Suryono,2007). Menurut Emilia (2009) Ketidakseimbangan antara makanan
yang dikonsumsi dengan kebutuhan gizi pada remaja dapat menimbulkan
masalah gizi kurang ataupun masalah gizi berlebih. Dilihat dari status asupan
gizi dalam masyarakat, menurut Susanti (2012) Remaja merupakan salah satu
kelompok rentan terhadap masalah kekurangan gizi. Iftita (2013) mengatakan
bahwa berdasarkan data Riskesdas 2007 yang dan data Susenas Kor 2007 dalam
Sulistyowati (2009) diketahui bahwa status gizi remaja di Indonesia yang
diukur dengan kategori IMT diperoleh remaja kategori yang sangat kurus
(24,3%) dan remaja kategori kurus (16,5%).
Ternyata remaja tidak hanya termasuk kelompok yang rentan terhadap
masalah kekurangan gizi saja. Namun remaja juga rentan terhadap
kemungkinan terjadinya kelebihan gizi. Dariyo (2004) mengatakan dalam
sebuah jurnal bahwa tidak menutup kemungkinan jika remaja dapat mengalami
masalah gizi berlebih. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Runtuk (2007), penelitian tersebut menunjukkan bahwa 10,53%
remaja di SMAN 22 Surabaya dan SMAN 2 Surabaya berstatus gizi berlebih.
Widianti (2012) juga melakukan penelitian di Taringan, Yogyakarta dengan
hasil 67% merupakan remaja yang mengalami obesitas (status gizi lebih) dan
33% remaja yang tidak mengalami obesitas.

1
1.2 Rumusan Masalah
1 . Bagaimana status gizi remaja saat ini?
2. Apa saja faktor yang mempengaruhi status gizi pada remaja saat ini?
3. Bagaimana bentuk penanganan masalah gizi remaja saat ini?
4. Contoh kasus dan pemberian diet untuk masalah gizi remaja
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui status gizi remaja saat ini.
2. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi status gizi remaja saat ini.
3. Untuk mengetahui bentuk penanganan masalah gizi remaja saat ini.
4. Untuk mengetahui pemberian diet yang tepat untuk masalah gizi remaja.
1.4 Manfaat
1. Dapat mengetahui status gizi remaja saat ini.
2. Dapat mengetahui faktor yang mempengaruhi status gizi remaja saat ini.
3. Dapat mengetahui bentuk penanganan masalah gizi remaja saat ini.
4. Dapat mengetahui pemberian diet yang tepat untuk masalah gizi remaja.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Status Gizi Remaja

Remaja menurut World Health Organization (WHO) berusia antara


10-19 tahun (Pratiwi, 2017). Remaja bagian dari sumberdaya manusia dan
merupakan penerus bangsa. Secara fisik, dan intelektual, pertumbuhan dan
perkembangan pada usia remaja terjadi sangat pesat (Zahtamal, 2019).
Menurut Kurdanti dkk. (2015) usia remaja yaitu antara usia 10-18 tahun
merupakan periode yang rentan gizi karena berbagai sebab, yaitu pertama
remaja memerlukan zat gizi yang lebih tinggi karena peningkatan
pertumbuhan fisik. Kedua, adanya perubahan gaya hidup dan kebiasaan
makan. Ketiga, remaja mempunyai kebutuhan zat gizi khusus contohnya
kebutuhan atlet. Menurut Kesumasari (2019) remaja di Indonesia
menghadapi banyak masalah. Baik itu masalah kesehatan maupun masalah
gizi.

Remaja merupakan salah satu kelompok sasaran yang berisiko


mengalami gizi lebih. Gizi lebih pada remaja ditandai dengan berat badan
yang relatif berlebihan bila dibandingkan dengan usia atau tinggi badan
remaja sebayanya, sebagai akibat terjadinya penimbunan lemak yang
berlebihan dalam jaringan lemak tubuh (Kurdanti,2015). Muthmainah dkk
(2019) menyatakan bahwa Indonesia dihadapkan pada dua masalah gizi
yaitu gizi kurang dan gizi lebih sedangkan permasalahan gizi pada remaja
cenderung lebih dominan untuk mengalami kelebihan berat badan, ini dapat
dilihat dari prevalensi sangat gemuk (obesitas) remaja di Kabupaten Cianjur
sebesar 10.6%.

Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, ditemukan masalah kecacingan


pada remaja sebesar 28,12%, diare sebesar 6,2% dan hepatitis sebesar 1%.
Selain itu ditemukan pula bahwa lebih dari 30% remaja menderita stunting,
sekitar 11% memiliki status gizi kurus dan 10% memiliki status gizi gemuk.
Remaja juga mengalami masalah pola makan. Berdasarkan hasil penelitian

3
Litbangkes dalam Kesumasari (2019) sebanyak 20,6% anak sekolah
ternyata tidak sarapan, 93,6% kurang mengkonsumsi sayur dan buah serta
75,7% mengkonsumsi makanan berpenyedap. Kebiasaan makan yang
berubah salah satunya terjadi karena adanya globalisasi secara luas.
Menurut Sartika (2011) Sejak tahun 1970 hingga sekarang, kejadian
obesitas meningkat 2 (dua) kali lipat pada anak usia 2-5 tahun dan usia 12-
19 tahun, bahkan meningkat tiga (3) kali lipat pada anak usia 6-11 tahun. Di
Indonesia, prevalensi obesitas pada anak usia 6-15 tahun meningkat dari 5%
tahun 1990 menjadi 16% tahun 2001. Gaya hidup sedentary, konsumsi
makanan yang tidak seimbang memicu terjadinya gizi lebih dan obesitas
(Wang et al. Dalam Emilia, 2009). Gizi lebih dan obesitas pada remaja
berhubungan dengan penyakit degeneratif pada umur yang lebih muda dan
kecenderungan remaja obesitas untuk tetap obesitas pada masa dewasa
(Hadi dalam Emilia, 2009). Prevalensi kegemukan tahun 2010 pada anak
usia 16-18 tahun secara nasional sebesar 1,4%. Ditemukan 11 provinsi yang
memiliki kegemukan pada remaja usia 16-18 tahun di atas prevalensi
nasional, salah satunya adalah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
dengan persentase sebesar 4,1%. Sementara itu, pada penduduk usia di atas
18 tahun, tercatat kasus kurus sebesar 12,6% dan 21,7% gabungan kategori
berat badan lebih (overweight) dan obesitas. Prevalensi kegemukan
(overweight) relatif lebih tinggi pada remaja perempuan dibanding dengan
remaja laki-laki (1,5% perempuan dan 1,3% laki-laki).

Selain gizi lebih, remaja juga rentan terhadap kekurangan gizi.


Masalah gizi lebih banyak dialami remaja disamping gizi kurang. Ketidak
seimbangan antara makanan yang dikonsumsi dengan kebutuhan pada
remaja akan menimbulkan masalah gizi kurang atau masalah gizi lebih. Gizi
kurang pada remaja terjadi karena pola makan tidak menentu, perubahan
faktor psikososial yang dicirikan oleh perubahan transisi masa anak-anak ke
masa dewasa dan kebutuhan gizi yang tinggi untuk pertumbuhan. Keadaan
kurang gizi akan memberikan dampak buruk terhadap kondisi kesehatan
fisik, mental, intelektual dan sosial anak remaja. Penelitian Desi
menyatakan bahwa akibat dari kekurangan gizi dapat menyebabkan kognitif

4
dan kemampuan belajar terganggu, serta menurunkan konsentrasi
(Zahtamal,2019). Kekurangan gizi pada remaja mengakibatkan
menurunnya daya tahan tubuh terhadap penyakit, meningkatkan angka
penyakit (morbiditas), mengalami pertumbuhan tidak normal (pendek),
tingkat kecerdasan rendah, produktivitas rendah dan terhambatnya
pertumbuhan organ reproduksi. Terhambatnya pertumbuhan organ
reproduksi pada wanita mengakibatkan terlambat haid pertama (menarche),
haid tidak lancar, rongga panggul tidak berkembang maksimal sehingga
sulit melahirkan, gangguan kesuburan dan kesulitan pada saat hamil.
Kebutuhan gizi yang diperoleh dari makanan merupakan hal yang sangat
penting. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 status
gizi remaja di Indonesia untuk kelompok umur 13-15 tahun menunjukkan
prevalensi kurus pada remaja umur adalah 11,1% terdiri dari 3,3% sangat
kurus dan 7,8% kurus. Sedangkan prevalensi kurus pada remaja umur 16-
18 tahun sebesar 9,4% terdiri dari 1,9% sangat kurus dan 7,5% kurus.
Remaja di provinsi Riau umur 13-15 tahun didapatkan prevalensi sangat
kurus 3,4% dan kurus 8,1%, remaja umur 16-18 tahun dengan prevalensi
sangat kurus 2,0% dan kurus 5,9%.

Menurut Azwar (2004) Anemia gizi besi merupakan masalah gizi


yang paling banyak dijumpai. Sekitar sepertiga remaja dan WUS menderita
anemia gizi besi dan berlanjut pada masa kehamilan. Anemia gizi besi
dijumpai pada 40 % ibu hamil. Kekurangan Energi Kronis (KEK) dijumpai
pada WUS usia 15-49 tahun yang ditandai dengan proporsi LILA < 23.5
cm, sebesar 24.9% pada tahun 1999 dan menurun menjadi 16.7% pada
tahun 2003. Pada umumnya proporsi WUS dengan risiko KEK cukup tinggi
pada usia muda (15-19 tahun), dan menurun pada kelompok umur lebih tua,
kondisi ini memprihatinkan mengingat WUS dengan risiko KEK cenderung
melahirkan bayi BBLR yang akhirnya akan menghambat pertumbuhan pada
anak usia balita.

Remaja putri pada umumnya memiliki karakteristik kebiasaan


makan tidak sehat. Antara lain kebiasaan tidak makan pagi, malas minum

5
air putih, diet tidak sehat karena ingin langsing (mengabaikan sumber
protein, karbohidrat, vitamin dan mineral), kebiasaan ngemil makanan
rendah gizi dan makan makanan siap saji. Sehingga remaja tidak mampu
memenuhi keanekaragaman zat makanan yang dibutuhkan oleh tubuhnya
untuk proses sintesis pembentukan hemoglobin (Hb). Bila hal ini terjadi
dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan kadar Hb terus
berkurang dan menimbulkan anemia (Suryani, 2017).

Remaja putri pada setiap bulannya akan mengalami menstruasi yang


mana pada saat menstruasi ini mereka akan beresiko terkena anemia,
ditambah lagi dengan kebiasaan diet remaja putri yang kurang baik yang
dapat meningkatkan resiko terjadinya anemia (Basith dkk, 2017). Hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional tahun 2013 menunjukkan
pravelensi anemia pada usia 5-14 tahun sebesar 26,4%. Berdasarkan hasil
penilaian status anemia oleh Dinas Kesehatan kota Banjarbaru pada tahun
2015, persentase kejadian anemia pada siswi sekolah menengah pertama
(SMP) adalah sebesar 59 %. Menurut Kirana (2011) Remaja putri
merupakan salah satu kelompok yang rawan menderita anemia. Oleh karena
itu, sasaran program penanggulangan anemia gizi telah dikembangkan yaitu
mencapai remaja putri SMP, SMA, dan sederajat, serta wanita di luar
sekolah sebagai upaya strategis dalam upaya memutus simpul siklus
masalah gizi. Walaupun begitu, prevalensi anemia di kalangan remaja putri
masih tergolong dalam kategori tinggi. Data dari Departemen Kesehatan
tahun 2005 menunjukkan penderita anemia pada remaja putri berjumlah
26,50% dan wanita usia subur (WUS) 26,9%. Hal ini mengindikasikan
anemia masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia.

6
2.2. Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Remaja

1. Gizi lebih (Obesitas)

Faktor-faktor remaja yang mempengaruhi obesitas yaitu :

a. Genetik
Kegemukan dapat diturunkan dari generasi sebelumnya pada generasi
berikutnya di dalam sebuah keluarga. Itulah sebabnya kita seringkali
menjumpai orangtua yang gemuk cenderung memiliki anak-anak yang
gemuk pula. Dalam hal ini nampaknya faktor genetik telah ikut campur
dalam menentukan jumlah unsur sel lemak dalam tubuh. Hal ini
dimungkinkan karena pada saat ibu yang obesitas sedang hamil maka unsur
sel lemak berjumlah besar dan melebihi ukuran normal.
Seorang remaja punya 40% kemungkinan mengalami kegemukan, bila
salah satu orangtuanya obesitas. Bila kedua orangtuanya kelebihan berat
badan, maka kemungkinan seorang remaja mengalami obesitas pun naik
hingga 80%.
b. Kerusakan pada suatu bagian otak
Sistem pengontrol yang mengatur perilaku makan terletak pada
suatu bagian otak yang disebut hipotalamus yang artinya sebuah kumpulan
inti sel dalam otak yang langsung berhubungan dengan bagian-bagian lain
dari otak dan kelenjar dibawah otak. Hipotalamus mengandung lebih
banyak pembuluh darah dari daerah lain pada otak, sehingga lebih mudah
dipengaruhi oleh unsur kimiawi dari darah. Dua bagian hipotalamus yang
mempengaruhi penyerapan makan yaitu hipotalamus lateral (HL) yang
menggerakan nafsu makan (awal atau pusat makan); hipotalamus
ventromedial (HVM) yang bertugas merintangi nafsu makan
(pemberhentian atau pusat kenyang). Dari hasil penelitian didapatkan
bahwa bila HL rusak/hancur maka individu menolak untuk makan atau
minum, dan akan mati kecuali bila dipaksa diberi makan dan minum (diberi
infus). Sedangkan bila kerusakan terjadi pada bagian HVM maka seseorang
akan menjadi rakus dan kegemukan.
c. Pola Makan Berlebih

7
Orang yang kegemukan lebih responsif dibandingkan dengan orang
yang punya berat badan normal terhadap isyarat lapar eksternal, seperti rasa
dan bau makanan, atau saatnya waktu makan. Orang yang gemuk cenderung
makan bila ia merasa ingin makan, bukan makan pada saat ia lapar. Pola
makan berlebih inilah yang menyebabkan mereka sulit untuk keluar dari
kegemukan jika sang individu tidak memiliki kontrol diri dan motivasi yang
kuat untuk mengurangi berat badan.
d. Pengaruh emosional
Orang yang mempunyai berat badan yang berlebih sebenarnya lebih
terganggu secara psikologis dibandingkan dengan orang yang memiliki
berat badan normal. Meski banyak pendapat yang mengatakan bahwa orang
gemuk biasanya tidak bahagia, namun sebenarnya ketidakbahagiaan
batinnya lebih diakibatkan sebagai hasil dari kegemukannya. Hal tersebut
karena dalam suatu masyarakat seringkali tubuh kurus disamakan dengan
kecantikan, sehingga orang gemuk cenderung malu dengan penampilannya
dan kesulitannya mengendalikan diri terutama dalam hal yang berhubungan
denngan perilaku makan.
Remaja yang gemuk makan lebih banyak saat situasi yang sangat
mencekam; orang dengan berat badan yang normal makan dalam situasi
yang kurang mencekam (McKenna,1999). Dalam suatu studi yang
dilakukan White (1977) pada kelompok orang dengan berat badan berlebih
dan kelompok orang dengan berat badan yang kurang, dengan menyajikan
kripik (makanan ringan) setelah mereka menyaksikan empat jenis film yang
mengundang emosi yang berbeda, yaitu film yang tegang, ceria,
merangsang gairah seksual dan sebuah ceramah yang membosankan. Pada
orang gemuk didapatkan bahwa mereka lebih banyak menghabiskan kripik
setelah menyaksikan film yang tegang dibanding setelah menonton film
yang membosankan. Sedangkan pada orang dengan berat badan kurang
selera makan kripik tetap sama setelah menonton film yang tegang maupun
film yang membosankan.
e. Aktifitas fisik

8
Hanya mempengaruhi satu pertiga pengeluaran energi seseorang
dengan berat normal, tapi bagi orang yang memiliki kelebihan berat badan
aktivitas fisik memiliki peran yang sangat penting. Pada saat berolahraga
kalori terbakar, makin banyak berolahraga maka semakin banyak kalori
yang hilang. Kalori secara tidak langsung mempengaruhi sistem
metabolisme basal. Orang yang duduk bekerja seharian akan mengalami
penurunn metabolisme basal tubuhnya. Kekurangan aktifitas gerak akan
menyebabkan suatu siklus yang hebat, obesitas membuat kegiatan olahraga
menjadi sangat sulit dan kurang dapat dinikmati serta kurangnya olahraga
secara tidak langsung akan mempengaruhi turunnya metabolisme basal
tubuh orang tersebut. Jadi olahraga sangat penting dalam penurunan berat
badan tidak saja karena dapat membakar kalori, melainkan juga karena
dapat membantu mengatur berfungsinya metabolisme secara normal.
f. Lingkungan
Faktor lingkungan ternyata juga mempengaruhi seseorang untuk
menjadi gemuk. Jika seseroang remaja dibesarkan dalam lingkungan yang
menganggap gemuk adalah simbol kemakmuran dan keindahan maka orang
tersebut akan cenderung untuk menjadi gemuk. Selama pandangan tersebut
tidak dipengaruhi oleh faktor eksternal maka orang yang obesitas tidak akan
mengalami masalah-masalah psikologis sehubungan dengan kegemukan..

2. Anemia
a. Tingkat pendapatan keluarga
Pendapatan keluarga merupakan salah satu peubah ekonomi yang
cukup dominan sebagai determinan konsumsi pangan (Yayuk Farida, dkk,
2004:70). Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh
kembang anak karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak
baik yang primer maupun sekunder. Pendapatan atau penghasilan yang kecil
tidak dapat memberi cukup makan pada anggota keluarga, sehingga
kebutuhan keluarga tidak tercukupi (Soetjiningsih, 1995:10).
b. Tingkat pengetahuan anemia

9
Jika pengetahuan ibu dan remaja rendah, maka masalah anemia akan
menjadi sebuah masalah yang disepelekan.
c. Tingkat Pendidikan Ibu
Pendidikan ibu merupakan modal utama dalam penunjang ekonomi
keluarga juga berperan dalam penyusunan makan keluarga, serta
pengasuhan dan perawatan anak. Bagi keluarga dengan tingkat pendidikan
yang tinggi akan lebih mudah menerima informasi kesehatan khususnya
bidang gizi, sehingga dapat menambah pengetahuannya dan mampu
menerapkan dalam kehidupan sehari-hari (Achmad Djaeni, 1996:35).
d. Kurangnya asupan zat besi
Tubuh mendapatkan zat besi melalui makanan. Kandungan zat besi
dalam makanan berbeda-beda, dimana makanan yang kaya akan kandungan
zat besi adalah makanan yang berasal dari hewani (seperti ikan, daging, hati
dan ayam). Makanan nabati (seperti sayuran hijau tua) walaupun kaya akan
zat besi, namun hanya sedikit yang bisa diserap dengan baik oleh usus
(Depkes RI, 1998:14).
Rendahnya asupan zat besi ke dalam tubuh yang berasal dari
konsumsi zat besi dari makanan sehari-hari merupakan salah satu penyebab
terjadinya anemia (Mary E. Beck, 2000:197).
Dalam makanan terdapat 2 macam zat besi yaitu besi heme (40%)
dan besi non hem. Besi non hem merupakan sumber utama zat besi dalam
makanan. Terdapat dalam semua jenis sayuran misalnya sayuran hijau,
kacang-kacangan, kentang dan serealia serta beberapa jenis buah-buahan.
Sedangkan besi hem hampir semua terdapat dalam makanan hewani antara
lain daging, ikan, ayam, hati dan organ–organ lain (Sunita Almatsier,
2001:252).
Sebagian besar penduduk di negara yang (belum) sedang
berkembang tidak (belum) mampu menghadirkan bahan kaya Fe di meja
makan (Arisman, 2004:146).
Dalam masa remaja, khususnya remaja putri sering sangat sadar
akan bentuk tubuhnya, sehingga banyak yang membatasi konsumsi
makanannya. Bahkan banyak yang berdiit tanpa nasehat atau pengawasan

10
seorang ahli 25 kesehatan dan gizi, sehingga pola konsumsinya sangat
menyalahi kaidah-kaidah ilmu gizi. Banyak pantang atau tabu yang
ditentukan sendiri berdasarkan pendengaran dari kawannya yang tidak
kompeten dalam soal gizi dan kesehatan, sehingga terjadi berbagai gejala
dan keluhan yang sebenarnya merupakan gejala kelainan gizi (Achman
Djaeni, 2000:241).
Banyak remaja putri yang sering melewatkan dua kali waktu makan
dan lebih memilih kudapan. Padahal sebagian besar kudapan bukan hanya
hampa kalori, tetapi juga sedikit sekali mengandung zat gizi, selain dapat
mengganggu (menghilangkan) nafsu makan. Selain itu remaja khususnya
remaja putri semakin menggemari junk food yang sangat sedikit (bahkan
ada yang tidak ada sama sekali) kandungan kalsium, besi, riboflavin, asam
folat, vitamin A dan vitamin.

2.3 Bentuk Penanganan Masalah Gizi Remaja

1. Obesitas

Prinsip dasar penatalaksanaan obesitas adalah diet rendah energi


seimbang dengan pengurangan energy 500-1000 kkal dari kebutuhan sehari
dengan pengaturan pola makan :

• Porsi makan malam lebih sedikit dibandingkan makan pagi dan siang
• Mengubah dan membiasakan pola makan 3 kali dalam sehari (pagi,
siang, malam) dan snack 1-2 kali dalam sehari.
• Mengutamakan konsumsi makanan bersumber karbohidrat kompleks
(kelompok padi-padian dan umbi-umbian yaiut 3-8 porsi per hari)
tergantung kebutuhan tubuh.
• Mengkonsumsi makanan sumber protein hewani dan nabati yang rendah
lemak.
• Mengkomsumsi sayur 3-5 posri per hari dan buah 2-3 porsi perhari.
Hindari buah yang mengandung energy tinggi yaitu
durian,alpukat,manga, pisang,cempedak.

11
• Membatasi konsumsi lemak, minyak, gula dan tidak minum yang
mengandung alcohol.
• Meningkatkan konsumsi cairan pada tubuh.

dan melalui pola aktivitas, seperti :

• Membatasi aktivitas seperti bermain gadget, computer dan game


• Melatih fisik atau melakukan kegiatan fisik minimal 2-3 kali seminggu
dengan waktu 30 – 50 menit per kali latihan ( Latihan fisik dianjurkan
bersifat aerobic seperti senam, lari, jalan cepat dan lain-lain)
• Mambatasi tidur berlebihan dan meningkatkan aktivitas fisik minimal 1
jam per hari
• Menghindari stress dan tidur yang cukup.
• dan pemantuan berat badan secara berkala
2. Anemia
Anemia pada remaja perempuan lebih tinggi dibandingkan remaja
laki-laki. Anemia pada remaja akan berdampak buruk terhadap konsentrasi
belajar, produktifitas, dan penurunan imunitas. Anemia dapat dihindari
melalui asupan pola makan yakni mengkonsumsi makanan tinggi zat besi,
asam folat, vitamin A, vitamin C, dan Zink. Memperbanyak istirahat
minimal sehari 8 jam, Dapat didampingi dengan tablet tambah darah
(TTD). Dari pemerintah sudah memiliki program rutin yaitu pendistribusian
TTD bagi wanita usia subur (WUS) wanita dengan rentang usia 15-49
tahun, termasuk remaja. Tablet tambah darah adalah tablet besi folat dengan
komposisi 200 mg Fero Sulfat atau 60 mg besi elemental dan 0,25 mg asam
folat. Sumplementasi besi pada remaja laki-laki perempuan diberikan
dengan dosis 60 mg/hari secara intermiten (2kali/minggu) selama 17
minggu (ersila & prafitri, 2017). Upaya penjangkauan terhadap kelompok
remaja dapat melakukan kegiatan komunikasi informasi dan edukasi (KIE)
dan penyuluhan ke sekolah-sekolah dan kelompok remaja lainnya. Edukasi
tentang gizi pada remaja bertujuan untuk mengubah pola makan sehingga
asupan gizi menjadi lebih baik dan khusunya bertambah pengetahuan
tentang anemia.

12
2.4 Kasus dan Pemberian Diet pada Remaja

Kasus I :

Fina merupakan seorang remaja perempuan usia 17 tahun dengan BB 49 kg,


TB 162 cm. Berapa kebutuhan energi yang dibutuhkan Fina jika aktifitas fisiknya
rendah dan bagaimana contoh menunya?

Jawab:

AMB = 655+(9,6 x BB) + (1,8 x TB) – (4,7 x U)

= 655+(9,6 x 49) + (1,8 x 162) – (4,7 x 17)

= 655 + 470,4 + 291,6 – 79,9

= 1337 kkal

Kebutuhan Energi= AMB x Faktor aktifitas fisik

= 1337 x 1,55

= 2072 kkal

Status gizi Fina berdasarkan indeks IMT/U


𝐵𝐵 49
IMT/U = 𝑇𝐵 2 = 1,622 = 18,67 (Normal)

Contoh Menu dalam Sehari :

No Menu Bahan Berat Energi Protein Lemak KH Penukar


(g) (kkal) (g) (g) (g)

SARAPAN
PAGI

1 Nasi putih Beras 75 270 5 0,5 59,6 1½P

2 Sayur Bayam 100 37 3,7 0,2 7,3 1P


bayam

3 Rolade Tahu 100 76 8,1 4,8 1,9 1P


tahu

13
4 Ayam Daging 50 74 7 4,9 0 1P
goreng ayam

5 Kerupuk Kerupuk 10 55 0,6 2,8 0,7 1P

6 Buah Pisang 100 92 1 0,5 23,4 1P


pisang

Minyak 10 87 0 10 0 2P

445 691 25,4 23,7 92,9

MAKAN
SIANG

1 Nasi putih Beras 100 360 6,7 0,6 79,5 2P

2 Sambal Ikan 50 56 12 0,5 0 1P


pindang pindang

3 Tumis Kangkung 100 15 2,3 0,2 2,1 1P


kangkung dan
tempe Tempe 50 100 9,5 3,8 8,5 1P

Minyak 5 43 0 5 0 1P

4 Jus jambu Jambu 100 51 0,8 0,6 11,9 1P

Gula pasir 20 78 0 0 20 2P

425 703 31,3 10,7 122

MAKAN
MALAM

1 Nasi putih beras 75 270 5 0,5 59,6 1½P

2 Udang Udang 50 40 8,4 0,4 0 1P


asam
manis

3 Perkedel Jagung 50 54 1,6 12,6 0,6 1P


jagung

Sawi 50 8 1,1 0,1 1 ½P

Jamur 50 14 1,1 0,3 2,5 ½P

14
4. Tumis sayur Toge 50 61 6,6 3,3 4,8 ½P

Minyak 10 87 0 10 0 2P

5 Melon Melon 100 38 0,6 0,2 8,3 1P

6 Teh manis Teh 10 5 0 0 1

Gula 20 78 0 0 20 2P

465 655 24,4 27,4 97,8

JUMLAH 1425 2049 81,1 61,8 312,7

Kasus II :

Rizal abidin merupakan seorang remaja laki-laki usia 19 tahun dengan BB


76 kg, TB 169 cm. Berapa kebutuhan energi yang dibutuhkan rizal jika aktifitas
fisiknya sedang dan bagaimana contoh menunya?

Jawab:

Status gizi Rizal berdasarkan indeks IMT/U

𝐵𝐵 76
IMT/U = 𝑇𝐵 2 = 1,692 = 26,6 (gemuk)

Kategori kelebihan BB tingkat ringan, Kategori kelebihan BB tingkat


ringan, bila IMT yang diinginkan adalah 25,0, maka berat idealnya adalah 1,692 X
25,0 = 71 Kg

Perhitungan kebutuhan energinya adalah sebagai berikut :

Kebutuhan AMB = 1 kkal x 71 x 24 = 1704 kkal

AMB + Aktifitas fisik = 1704 x 1,76 = 2999 kkal

Maka hasil ( AMB + Aktifitas ) – penurunan BB

= 2999 – 500

= 2499 Kkal atau dibulatkan menjadi 2500 Kkal

15
Status gizi Rizal berdasarkan indeks IMT/U

𝐵𝐵 76
IMT/U = 𝑇𝐵 2 = 1,692 = 26,6 (gemuk)

Kategori kelebihan BB tingkat ringan, Kategori kelebihan BB tingkat


ringan, bila IMT yang diinginkan adalah 25,0, maka berat idealnya adalah 1,692 X
25,0 = 71 Kg

Perhitungan kebutuhan energinya adalah sebagai berikut :

Kebutuhan AMB = 1 kkal x 71 x 24 = 1704 kkal

AMB + Aktifitas fisik = 1704 x 1,76 = 2999 kkal

Maka hasil ( AMB + Aktifitas ) – penurunan BB

= 2999 – 500

= 2499 Kkal atau dibulatkan menjadi 2500 Kkal

16
Contoh Menu dalam Sehari :

Energi Protein Lemak Karbohidrat


Waktu Menu Bahan Berat (g)
(Kkal) (g) (g) (g)
makan
pagi nasi putih NASI 200 360 6 0.6 79.6
telur dadar telur 50 125.5 8.15 9.7 0.7
minyak 8 70.7 0 8 0
tempe tempe kedelai
goreng murni 50 100.5 10.4 4.4 6.75
Sup wortel 50 22.5 0.62 0.37 4.93
tehmelati
daun kering the 100 299 24.1 3.5 59
10 39 0 0 10
nasi putih NASI 200 360 6 0.6 79.6
makan ayam
siang goreng ayam 58 298 18.2 25 0
tumis
kangkung
tahu kangkung 60 28 3.4 0.7 3.9
tahu 50 40 5.45 2.35 0.4
kelepon 50 107.5 1.85 1.85 20.9
makan
malam nasi putih NASI 200 360 6 0.6 79.6
udang pedas
manis udang 50 40 8.4 0.4 0
cap jay wortel 25 11.25 0.31 2.2 4.93
kol kembang 8.75 0.8 0.07 4.9
jus buah mangga 100 133 1 0.1 32.1
gula 20 78 0 0 20
total 2481.7 100.68 60.44 407.31

17
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Masa remaja merupakan periode dari pertumbuhan dan proses kematangan


manusia, pada masa ini terjadi perubahan yang sangat unik dan berkelanjutan.
Perubahan fisik karena pertumbuhan yang terjadi akan status kesehatan dan gizinya.
Ketidakseimbangan antara asupan kebutuhan atau kecukupan gizi akan
menimbulkan masalah gizi, baik berupa masalah gizi lebih maupun kurang.

Perubahan fisik karena pertumbuhan yang terjadi pada masa remaja akan
dipengaruhi oleh status kesehatan dan gizi remaja tersebtut. Salah satu area penting
dalam kesehatan remaja adalah alat reproduksi remaja. Kesehatan reproduksi
remaja berperan dalam mewujudkan kesehatan reproduksi status gizi. Asupa dari
zat-zat gizi seimbang dan sesuai dengan remaja akan membantu remaja mencapai
pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Ketidakseimbangan antara asupan
kebutuhan atau kecukupan akan menimbulkan masalah gizi baik itu berupa gizi
baik maupun gizi kurang.

3.2 Saran

1. Remaja sebaiknya tetap sadar akan kebutuhan gizi, walaupun mempunyai


aktifitas yang sangat padat.
2. Sadar bahwa kesehatan sangat mahal harganya, lebih baik mecegah
daripada mengatasi
3. Dengan memenuhi kebutuhan gizi pada remaja, diharapkan semakin
banyak prestasi yang dihasilkan, karena dengan remaja yang terpenuhi zat
gizinya, remaja tersebut akan semakin aktif dan konsentrasi dalam belajar
dan berkreasi.

18
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Djaeni. 2000. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa Profesi Di Indonesia. Jakarta :
Dian Rakyat.

Arisman. 2004. Gizi Dalam Daur Hdup. Jakarta : EGC

Basith, A., Agustina, R., & Diani, N. (2017). Faktor-faktor yang berhubungan
dengan kejadian anemia pada remaja putri. Dunia Keperawatan, 5(1), 1-
10.
Depkes RI. 1998. Pedoman Penanggulangan Anemia Gizi Untuk Remaja Putri
Wanita Usia Subur dan Calon Pengantin. Jakarta : Depkes RI.

Emilia, E. (2009). Pengetahuan, sikap dan praktek gizi pada remaja dan
implikasinya pada sosialisasi perilaku hidup sehat. Media Pendidikan, Gizi,
dan Kuliner, 1(1).
Emilia, E. (2017). Pengetahuan, sikap dan praktek gizi pada remaja dan
implikasinya pada sosialisasi perilaku hidup sehat.

Ersila, W., & Prafitri, l. (2017). Layanan Kesehatan Reproduksi Remaja Dalam
Upaya Pencegahan Anemia pada Remaja di Kabupaten Pekalongan.
Prosiding Seminar Nasional Publikasi Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdi
Masyarakat, 636.

Iftita, R., & Merryana, A. (2013). Hubungan Gaya Hidup dengan Status Gizi
Remaja

Kesumasari, C., Kurniati, Y., Dachlan, D. M., Syam, A., & Virani, D. (2019).
Perbaikan Gizi Remaja Berbasis Sekolah Di SMA Negeri 15 Makassar.
Panrita Abdi-Jurnal Pengabdian pada Masyarakat, 3(1), 89-96.
Kirana, D. P., & Kirana, D. P. (2011). Hubungan Asupan Zat Gizi dan Pola
Menstruasi dengan kejadian anemia pada remaja putri di SMA N 2
Semarang (Doctoral dissertation, Diponegoro University).
Kurdanti, W., Suryani, I., Syamsiatun, N. H., Siwi, L. P., Adityanti, M. M.,
Mustikaningsih, D., & Sholihah, K. I. (2015). Faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian obesitas pada remaja. Jurnal Gizi Klinik Indonesia,
11(4), 179-190.
Mary E. Beck. 2000. Ilmu Gizi dan Diet Hubungan dengan penyakit-penyakit untuk
Perawat dan Dokter. Yogyakarta : Yayasan Essentia Medica.

Muthmainah, F. N., Khomsan, A., Riyadi, H., & Prasetya, G. (2019). Konsumsi
Sayur dan Buah pada Siswa SMP Sebagai Implementasi Pedoman Gizi
Seimbang. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, 15(2).
P2PTM Kemenkes RI. (2019, agustus 12). Cara Praktis Mengatasi Obesitas, Tata
Laksana dengan Pola Makan-Bagian Kedua. P2PTM Kemenkes RI.

19
P2PTM Kemenkes RI. (2019, juli 31). Cara Mencegah Obesitas dengan Pola
Aktivitas. P2PTM Kemenkes RI.

P2PTM Kemenkes RI. (2019, juli 31). Cara-cara mencegah Obesitas dengan
mengatur pola makan. P2PTM Kemenkes RI.

salam, a. (2010). faktor resiko kejadian obesitas pada remaja. Jurnal MKMI Vol 6
No.3.

Sartika, R. A. D. (2011). Faktor risiko obesitas pada anak 5-15 tahun di Indonesia.
Makara kesehatan, 15(1), 37-43.
Silalahio, V., Aritonang, E., & Ashar, T. (2016). Potensi Pendidikan Gizi dalam
Meningkatkan Asupan Gizi pada Remaja Putri yang Anemia di Kota
Medan. Jurnal Kesehatan Masyarakat.

Soetjingsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC

Sunita Almatsier. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.

Suryani, D., Hafiani, R., & Junita, R. (2017). Analisis pola makan dan Anemia Gizi
Besi pada Remaja Putri Kota Bengkulu. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Andalas, 10(1), 11-18.

Suryono, S., Khomsan, A., Setiawan, B., Martianto, D., & Sukandar, D. (2007).
Pengaruh Pemberian Susu Terhadap Indeks Massa Tubuh dan Kepadatan
Tulang Punggung, Remaja, Pria.

Widianti, N., & Candra, A. (2012). Hubungan Antara Body Image dan Perilaku
Makan Dengan Status Gizi Remaja Putri Di SMA Theresiana Semarang
(Doctoral dissertation, Diponegoro University).

Yayuk. Farida, dkk. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta : Penebar Swadaya.

Zahtamal, Z., & Munir, S. M. (2019). Edukasi Kesehatan Tentang Pola Makan dan
Latihan Fisik untuk Pengelolaan Remaja Underweight. Jurnal PkM
Pengabdian kepada Masyarakat, 2(01), 64-70.

20

Anda mungkin juga menyukai