Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Masalah Indonesia akan mengalami bonus demografi pada 2030, di mana angkatan usia
produktif akan mendominasi populasi penduduk dan menjadi penyangga perekonomian. Bonus
demografi yang akan dimiliki Indonesia yaitu Angkatan usia produktif (15-64 tahun) yang
diprediksi mencapai 68 persen dari total populasi dan angkatan tua (65 ke atas) sekitar 9 persen.
Tahun 2017, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 70,81 atau tumbuh 0, persen
dibanding tahun 2016.

Plt. Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan
Informatika Rosarita Niken Widiastuti menegaskan pemerintah terus melakukan penurunan
prevalensi stunting atau kekurangan gizi kronik ini. Menurut Niken, penanganan stunting ini
menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia yang tengah menghadapi Bonus Demografi.

Selain itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga
dengan angka prevalensi stunting tertinggi di Asia pada 2017. Angkanya mencapai 36,4 persen.
Namun, pada 2018, menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), angkanya terus menurun
hingga 23,6 persen.

Penurununan dari angka stunting di Indonesia merupakan kabar baik, namun belum berarti bisa
membuat tenang. Karena bila merujuk pada standar WHO, batas maksimalnya adalah 20 persen
atau seperlima dari jumlah total anak dan balita.

Dengan melihat beberapa fakta di atas, maka kami tertarik untuk membahas kasus stunting yang
terjadi di Indonesia khususnya pada tahun 2018 mengenai posisinya yang belum memenuhi
standar WHO meskipun telah mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya.

Sehingga dengan membawa bahasan tentang Gizi Kesehatan Masyarakat kami membuat
makalah yang berjudul “Kasus Stunting di Indonesia Ternyata Belum Menurun Sepenuhnya”.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Gizi Kesehatan Masyarakat

Istilah gizi dalam kesehatan masyarakat mengacu pada gizi sebagai komponen dari cabang
kesehatan masyarakat, “gizi dan kesehatan masyarakat” berkonotasi koeksistensi gizi dan
kesehatan masyarakat, dan gizi masyarakat mengacu pada cabang kesehatan masyarakat yang
berfokus pada promosi kesehatan individu, keluarga, dan masyarakat dengan menyediakan
layanan berkualitas dan program-program berbasis masyarakat yang disesuaikan dengan
kebutuhan yang unik dari komunitas yang berbeda dan populasi. Gizi masyarakat meliputi
program promosi kesehatan, inisiatif kebijakan dan legislatif, pencegahan primer dan sekunder,
dan kesehatan di seluruh rentang hidup.

Gizi masyarakat berkaitan dengan gangguan gizi pada kelompok masyarakat, oleh sebab itu, sifat
dari gizi masyarakat lebih ditekankan pada pencegahan (prevensi) dan peningkatan (promotif).
Karena berhubungan dengan masyarakat yang mempunyai aspek cukup luas, maka
penanganannya harus multisektor dan multidisiplin.

Penanganan gizi masyarakat tidak cukup dengan upaya terapi para penderita saja karena apabila
mereka telah sembuh, maka meraka akan kembali lagi ke masyarakat. Sehingga terapi penderita
gangguan gizi masyarakat ini tidak saja ditunjukkan kepada para penderitanya saja, akan tetapi
kepada seluruh masyarakat tersebut.

Masalah gizi masyarakat bukan hanya menyangkut pada aspek kesehatan, melainkan aspek-
aspek terkait lainnya, seperti ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, kependudukan, dan
sebagainya. Oleh sebab itu, penanganan atau perbaikan gizi sebagai upaya terapi tidak hanya
diarahkan pada gangguan gizi atau kesehatan saja, melainkan juga ke arah bidang-bidang yang
lain. Misalnya, penyakit gizi KKP (kekurangan kalori dan protein) pada anak-anak balita, tidak
cukup dengan hanya pemberian makanan tambahan saja (PMT), tetapi juga dilakukan perbaikan
ekonomi keluarga, peningkatan pengetahuan, tentang gizi, dan sebagainya.
Empat Pilar Gizi Seimbang

Pedoman Gizi Seimbang yang telah diimplementasikan di Indonesia sejak tahun 1955
merupakan realisasi dari rekomendasi Konferensi Pangan Sedunia di Roma tahun 1992.
Pedoman tersebut menggantikan slogan “4 Sehat 5 Sempurna” yang telah diperkenalkan sejak
tahun 1952 dan sudah tidak sesuailagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK) dalam bidang gizi serta masalah dan tantangan yang dihadapi. Dengan
mengimplementasikan pedoman tersebut diyakini bahwa masalah gizi beban ganda dapat
teratasi. Prinsip Gizi Seimbang terdiri dari 4 (empat) Pilar yang pada dasarnya merupakan
rangkaian upaya untuk menyeimbangkan antara zat gizi yang keluar dan zat gizi yang masuk
dengan memonitor berat badan secara teratur. Empat Pilar tersebut adalah:

1) Mengonsumsi makanan beragam.


Tidak ada satupun jenis makanan yang mengandung semua jenis zat gizi yang dibutuhkan
tubuh untuk menjamin pertumbuhan dan mempertahankan kesehatannya, kecuali Air
Susu Ibu (ASI) untuk bayi baru lahir sampai berusia 6 bulan. Contoh: nasi merupakan
sumber utama kalori, tetapi miskin vitamin dan mineral; sayuran dan buah-buahan pada
umumnya kaya akan vitamin, mineral dan serat, tetapi miskin kalori dan protein; ikan
merupakan sumber utama protein tetapi sedikit kalori. Khusus untuk bayiberusia 0-6
bulan, ASI merupakan makanan tunggal yang sempurna. Hal ini disebabkan karena ASI
dapat mencukupi kebutuhan untuk tumbuh dan berkembang dengan optimal, serta sesuai
dengan kondisi fisiologis pencernaan dan fungsi lainnya dalam tubuh.
2) Mempertahankan dan memantau Berat Badan (BB) normal
Bagi orang dewasa salah satu indikator yang menunjukkan bahwa telah terjadi
keseimbangan zat gizi di dalam tubuh adalah tercapainya Berat Badan yang normal, yaitu
Berat Badan yang sesuai untuk Tinggi Badannya. Indikator tersebut dikenal dengan
Indeks Masa Tubuh (IMT). Oleh karena itu, pemantauan BB normal merupakan hal yang
harus menjadi bagian dari ‘Pola Hidup’ dengan ‘Gizi Seimbang’, sehingga dapat
mencegah penyimpangan BB dari BB normal, dan apabila terjadi penyimpangan maka
dapat segera dilakukan langkah-langkah pencegahan dan penanganannya. Bagi bayi dan
balita indikator yang digunakan adalah perkembangan berat badan sesuai dengan
pertambahan umur. Pemantauannya dilakukan dengan menggunakan KMS.
3) Status Gizi Masyarakat
Menurut Djoko Pekik Irianto (2007: 65), status gizi adalah ekspresi dari keadaan
keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau dapat dikatakan bahwa status gizi
merupakan indikator baik buruknya penyediaan makanan sehari-hari.
I Dewa Nyoman Supariasa (2002: 18), menyatakan bahwa status gizi adalah ekspresi dari
keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture
dalam bentuk variabel tertentu.
Menurut Moch Agus Krisno Budiyanto yang dikutip Krisna Fitriyanto (2011: 13), faktor-
faktor 12 yang mempengaruhi status gizi seseorang adalah sebagai berikut :
a) Produk pangan, (jumlah dan jenis makanan),
b) Pembagian makanan atau pangan;
c) Akseptabilitas;
d) Prasangka buruk pada bahan makanan tertentu;
e) Pantangan pada makanan tertentu;
f) Kesukaan terhadap jenis makanan tertentu;
g) Keterbatasan ekonomi;
i) Selera makan;
j) Sanitasi makanan (penyiapan, penyajian, dan penyimpanan) dan
k) Pengetahuan gizi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi akan saling berinteraksi satu sama lain sehingga
berimplikasi kepada status gizi seimbang. Hal ini sangat penting terutama bagi pertumbuhan,
perkembangan, kesehatan, dan kesejahteraan manusia.
Menurut Djoko Pekik Irianto (2007: 23), secara umum status gizi dibagi menjadi tiga kelompok
yaitu sebagai berikut:
Dalam hal ini asupan gizi seseorang seimbang dengan kebutuhan gizi yang bersangkutan.
Kebutuhan gizi seseorang ditentukan oleh kebutuhan gizi basal, kegiatan pada keadaan fisiologis
tertentu serta dalam keadaan sakit. b. Gizi Kurang Gizi kurang merupakan keadaan tidak sehat
(patologis yang timbul karena tidak cukup makan, dengan demikian konsumsi energi dan protein
kurang selama jangka waktu tertentu. c. Gizi Lebih Keadaan patologis (tidak sehat) yang
disebabkan kebanyakan makanan. Mengkonsumsi energi lebih banyak dari pada yang diperlukan
oleh tubuh dalam jangka waktu yang panjang, dikenal sebagai gizi lebih (Moch. Agus Krisno
Budiyanto, 2001: 14).

Menurut Djoko Pekik Irianto (2006: 65), penilaian status gizi dapat dilakukan dengan berbagai
cara antara lain:
a. Tujuan pengukuran.
b. Unit sampel yang diukur.
c. Jenis informasi yang dibutuhkan.
d. Tingkat reliabilitas dan akurasi yang dibutuhkan.
e. Tersedianya fasilitas dan peralatan.
f. Ketersediannya tenaga.
g. Ketersediannya waktu.
h. Dana yang dibutuhkan.

Hal-hal di atas tidak berdiri sendiri, melainkan selalu terkait faktor yang satu dengan yang
lainnya. Dalam penelitian metode status gizi harus memperhatikan secara keseluruhan dan
mencermati keunggulan dan kelemahan metode tersebut. Pengukuran status gizi anak
berdasarkan kriteria antropometrik mungkin mempunyai kelemahan- kelemahan, namun sampai
saat ini dianggap merupakan cara yang paling mudah dan praktis untuk dilakukan, karena siapa
saja dapat melakukannya dengan terlebih dahulu mendapat latihan. Melakukan penimbangan dan
pengukuran tinggi badan anak secara teratur merupakan langkah yang tepat dalam rangka
kewaspadaan terhadap perubahan keadaan gizi. Data penimbangan berat badan ini sebaiknya
ditulis pada kartu grafik perkembangan berat badan anak yang disebut Kartu Menuju Sehat,
dengan demikian selalu dapat dimonitor satus gizinya.

Dalam ilmu gizi, status gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur berat badan dan tinggi
badan sesuai umur secara sendiri-sendiri, tetapi juga dalam bentuk indikator yang merupakan
kombinasi ketiganya. Masing-masing indikator mempunyai makna tersendiri misalnya
kombinasi antara Berat Badan (BB) dan umur membentuk indikator BB menurut umur yang
disimbolkan dengan BB/U, kombinasi antara TB dan umur membentuk indikator TB menurut
umur atau “TB/U”. dan kombinasi antara BB dan TB membentuk indikator BB menurut TB atau
“BB/TB”. Indikator BB/U menunjukan secara sensitif status gizi saat ini (saat diukur) karena
mudah berubah. Namun indikator BB/U tidak spesifik karena berat badan selain dipengaruhi
oleh umur juga dipengaruhi oleh TB. Indikator TB/U menggambarkan status gizi masa lalu, dan
indikator BB/TB menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini. Dalam
penelitian ini menggunakan rumus BB sebenarnya:
BB dalam tabel menurut tinggi badan x 100%

Pengukuran status gizi menurut rumus (Djoko Pekik Irianto 2007: 80) adalah sebagai berikut:
Status Gizi = Berat Badan (sebenarnya) X 100% Berat Badan menurut tinggi badan Status gizi
baik/gizi optimal terjadi apabila tubuh memperoleh cukup zat yang digunakan secara efisien,
sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan
tingkatan paling baik atau setinggi mungkin. Menurut Sunita Almatsier (2002: 9), status gizi
seseorang dikatakan baik bila terdapat keseimbangan dan keserasian antara perkembangan fisik
dan mental, terdapat keterkaitan yang erat antara tingkat transportasi penyimpanan, metabolisme
dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan keadaan gizi dengan
konsumsi makanan. Menurut Djoko Pekik Irianto (2004: 133-134), empat masalah pokok yang
paling serius yang dihadapi bangsa Indonesia terkait dengan penyakit gizi salah adalah sebagai
berikut:

a. KKP (Kekurangan Kalori Protein) KKP umumnya dilami anak-anak dengan status ekonomi
kurang karena makanan hewani relatif mahal, sehingga tidak terjangkau. b. KVA (Kekurangan
Vitamin A) Anak pada umumnya kurang menyukai sayuran dan buah-buahan yang merupakan
sumber vitamin utama, sehingga sering menyebabkan terjadinya avitaminosis A. c. AGB
(Anemia Gizi Besi) Zat gizi banyak terdapat pada makanan hewani serta sayuran yang berwarna
hijau tua. Bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu dan mereka yang tidak menyukai sayuran
akan beresiko kekurangan zat besi (Anemia). d. GAKI (Gangguan akibat Kekurangan Zat
Iodium) Garam beriodium merupakan upaya untuk menghindarkan masyarakat dari kekurangan
iodium. Munculnya permasalahan gizi tersebut disebabkan oleh kurangnya konsumsi makanan
yang beraneka ragam, pemahaman yang salah terhadap jenis makanan, ketidak teraturan pola
makan serta gaya hidup. Berdasarkan berbagai pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa
status gizi adalah gambaran keseimbangan antara kebutuhan gizi yang diperlukan tubuh dengan
konsumsi zat gizi.

energi yang keluar adalah jumlah energi atau kalori yang digunakan tubuh dalam hal seperti
bernapas, digesti dan juga melakukan kegiatan fisik (NIH, 2012).
Adapun faktor resiko yang dapat menyebabkan obesitas antara lain:

1) Gaya hidup tak aktif Saat ini kebanyakan orang menghabiskan waktu didepan televisi (TV)
dan komputer saat bekerja, di sekolah dan di rumah. Selain itu banyak orang yang memiliki
kendaraan pribadi untuk berpergian walau hanya dengan jarak tempuh yang pendek. Orang-
orang yang tidak aktif lebih mungkin untuk menambah berat badan karena mereka tidak
membakar kalori yang mereka ambil dari makanan dan minuman. Gaya hidup tidak aktif juga
menimbulkan risiko untuk penyakit jantung koroner, tekanan darah tinggi, diabetes, kanker usus
besar dan masalah kesehatan lainnya (NIH, 2012).

2) Faktor Genetika Banyak gen yang berkaitan dengan terjadinya obesitas, namun sangat jarang
yang berkaitan dengan gen tunggal. Sebagian besar berkaitan dengan kelainan pada banyak gen.
Pada penyebab gen tunggal, diantaranya yang sudah diketahui adalah adanya mutase pada gen
leptin, reseptor leptin, reseptor melanocortin-4, proopiomelanocortin dan pada gen PPAR-γ.
Adanya mutasi pada multigen penyebab obesitas saat ini terus diteliti dan diketahui bahwa
individu yang berasal dari keluarga yang obesitas, memiliki kemungkinan obesitas 2-8 kali lebih
besar dibandingkan dengan keluarga yang tidak obesitas. Sangat besar kemungkinan bahwa
penyebab obesitas tersebut bukan hanya pada suatu gen tunggal tapi adanya mutasi pada
beberapa gen (Rankinen et al., 2006).

3) Hormonal Beberapa masalah hormon dapat menyebabkan kelebihan berat badan dan obesitas,
seperti hipotiroidisme, cushing syndrome, dan polycystic ovarian syndrome.

4) Obat-obatan Obat-obatan tertentu dapat menyebabkan resiko terjadinya kegemukan seperti


kortikosteroid dan antidepresan.
5) Faktor emosional Beberapa orang makan lebih banyak dari biasanya ketika mereka bosan,
marah atau stres. Seiring waktu, makan berlebihan akan menyebabkan penambahan berat badan
dan dapat menyebabkan kelebihan berat badan atau obesitas (NIH, 2012). Dan masih banyak
faktor-faktor lain yang menjadi penyebab obesitas.

Penentuan Obesitas Obesitas di ukur berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) seseorang. IMT
merupakan indeks sederhana dari tinggi dan berat badan yang biasa digunakan untuk
mengklasifikasikan kelebihan berat badan dan obesitas pada orang dewasa. IMT dinyatakan
sebagai berat badan dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam meter (kg/m²).
Seseorang dikategorikan kegemukan jika IMT >25 kg/m² dan obesitas jika IMT> kg/m²
(WHO, 2015).

Rumus menentukan IMT: IMT = BB(kg) / TB (m)

Keterangan: BB: berat badan (kg) TB: tinggi badan (m) IMT dapat digunakan untuk menunjukan
status gizi pada orang dewasa yang dapat dilihat dalam dalam tabel 1.

Tabel 1. Status gizi berdasarkan IMT menurut WHO BMI Status Gizi <18, Kurus 18,5-24,
Normal 25,0-29. Pre-Obesitas 30,0-34, Obesitas kelas I 35,0-39, Obesitas kelas II >40,
Obesitas kelas III Sumber: (WHO, 2015)

penurunan angka stunting hingga 40%. Prevalensi balita pendek selanjutnya akan diperoleh dari
hasil Riskesdas tahun 2018 yang juga menjadi ukuran keberhasilan program yang sudah
diupayakan oleh pemerintah.

Gambar 1. Masalah Gizi di Indonesia Tahun 2015- Kejadian balita stunting (pendek) merupakan
masalah gizi utama yang dihadapi Indonesia. Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG)
selama tiga tahun terakhir, stunting memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah
gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi balita pendek mengalami
peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017.
Gambar 2. Prevalensi Balita Pendek di Indonesia Tahun 2015- Berdasarkan hasil PSG tahun
2015, prevalensi balita pendek di Indonesia adalah 29%. Angka ini mengalami penurunan pada
tahun 2016 menjadi 27,5%. Namun prevalensi balita pendek kembali meningkat menjadi 29,6%
pada tahun 2017. Prevalensi balita sangat pendek dan pendek usia 0-59 bulan di Indonesia tahun
2017 adalah 9,8% dan 19,8%. Kondisi ini meningkat dari tahun sebelumnya yaitu

prevalensi balita sangat pendek sebesar 8,5% dan balita pendek sebesar 19%. Provinsi dengan
prevalensi tertinggi balita sangat pendek dan pendek pada usia 0-59 bulan tahun 2017 adalah
Nusa Tenggara Timur, sedangkan provinsi dengan prevalensi terendah adalah Bali.
Gambar 3. Peta Prevalensi Balita Pendek di Indonesia Tahun 2017 Dalam diskusi ahli
dipaparkan, prevalensi stunting tertinggi di atas 40 persen berada di Provinsi Nusa Tenggara
Timur dan Sulawesi Barat. Pada angka 30 persen hingga 40 persen berada di Provinsi Aceh,
Sumatra Barat, Lampung, semua Provinsi di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua Barat, dan
Papua. Provinsi lain memiliki tingkat pravalensi 20 persen hingga 30 persen terkecuali Bali yang
menjadi satu-satunya provinsi dengan pravalensi kurang dari 20 persen.

Masalah stunting haruslah segera di atasi karena kasus stunting ini memiliki potensi trans-
generasi, karena ibu yang stunting akan cenderung memiliki anak yang stunting. Stunting dapat
mempengaruhi tumbuh kembang anak dan kesehatan anak hingga masa dewasa dan juga anak
stunting akan memiliki daya saing yang rendah dibanding dengan anak yang sehat. Berdasarkan
hasil penelitian, anak stunting memiliki income learning (kemampuan menyerap pembelajaran)
25 persen lebih rendah dibandingkan dengan anak lainnya yang tidak mengalami stunting. Selain
menghambat pertumbuhan otak dan perkembangan kecerdasan. Stunting juga
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Gizi Kesehatan Masyarakat


Istilah gizi dalam kesehatan masyarakat mengacu pada gizi sebagai komponen daricabang
kesehatan masyarakat, “gizi dan kesehatan masyarakat” berkonotasi koeksistensigizi dan
kesehatan masyarakat, dan gizi masyarakat mengacu pada cabang kesehatanmasyarakat yang
berfokus pada promosi kesehatan individu, keluarga, dan masyarakatdengan menyediakan
layanan berkualitas dan program-program berbasis masyarakat yangdisesuaikan dengan
kebutuhan yang unik dari komunitas yang berbeda dan populasi. Gizimasyarakat meliputi
program promosi kesehatan, inisiatif kebijakan dan legislatif,pencegahan primer dan
sekunder, dan kesehatan di seluruh rentang hidup.

Gizi masyarakat berkaitan dengan gangguan gizi pada kelompok masyarakat, olehsebab itu, sifat
dari gizi masyarakat lebih ditekankan pada pencegahan (prevensi) danpeningkatan (promotif).
Karena berhubungan dengan masyarakat yang mempunyai aspekcukup luas, maka
penanganannya harus multisektor dan multidisiplin.Penanganan gizi masyarakat tidak cukup
dengan upaya terapi para penderita sajakarena apabila mereka telah sembuh, maka meraka
akan kembali lagi ke masyarakat.Sehingga terapi penderita gangguan gizi masyarakat ini tidak
saja ditunjukkan kepadapara penderitanya saja, akan tetapi kepada seluruh masyarakat
tersebut.Masalah gizi masyarakat bukan hanya menyangkut pada aspek kesehatan,
melainkanaspek-aspek terkait lainnya, seperti ekonomi, sosial-budaya, pendidikan,
kependudukan,dan sebagainya.

Oleh sebab itu, penanganan atau perbaikan gizi sebagai upaya terapitidak hanya diarahkan
pada gangguan gizi atau kesehatan saja, melainkan juga ke arahbidang-bidang yang lain.
Misalnya, penyakit gizi KKP (kekurangan kalori dan protein)pada anak-anak balita, tidak
cukup dengan hanya pemberian makanan tambahan saja(PMT), tetapi juga dilakukan
perbaikan ekonomi keluarga, peningkatan pengetahuan,tentang gizi, dan sebagainya.
Empat Pilar Gizi SeimbangPedoman Gizi Seimbang yang telah diimplementasikan di Indonesia
sejak tahun 1955merupakan realisasi dari rekomendasi Konferensi Pangan Sedunia di Roma
tahun 1992.Pedoman tersebut menggantikan slogan “4 Sehat 5 Sempurna” yang telah
diperkenalkansejak tahun 1952 dan sudah tidak sesuailagi dengan perkembangan ilmu
pengetahuan danteknologi (IPTEK) dalam bidang gizi serta masalah dan tantangan yang
dihadapi. Denganmengimplementasikan pedoman tersebut diyakini bahwa masalah gizi beban
ganda dapatteratasi.

Prinsip Gizi Seimbang terdiri dari 4 (empat) Pilar yang pada dasarnya merupakanrangkaian
upaya untuk menyeimbangkan antara zat gizi yang keluar dan zat gizi yangmasuk dengan
memonitor berat badan secara teratur.

Empat Pilar tersebut adalah:1. Mengonsumsi makanan beragam.Tidak ada satupun jenis
makanan yang mengandung semua jenis zat gizi yangdibutuhkan tubuh untuk menjamin
pertumbuhan dan mempertahankan kesehatannya,kecuali Air Susu Ibu (ASI) untuk bayi baru
lahir sampai berusia 6 bulan. Contoh: nasimerupakan sumber utama kalori, tetapi miskin
vitamin dan mineral; sayuran danbuah-buahan pada umumnya kaya akan vitamin, mineral
dan serat, tetapi miskinkalori dan protein; ikan merupakan sumber utama protein tetapi sedikit
kalori. Khususuntuk bayiberusia 0-6 bulan, ASI merupakan makanan tunggal yang sempurna.
Halini disebabkan karena ASI dapat mencukupi kebutuhan untuk tumbuh
danberkembang dengan optimal, serta sesuai dengan kondisi fisiologis pencernaan danfungsi
lainnya dalam tubuh.

Membiasakan perilaku hidup bersihPerilaku hidup bersih sangat terkait dengan prinsip
Gizi Seimbang, denganpenjelasan sebagai berikut:Penyakit infeksi merupakan salah satu
faktor penting yang mempengaruhi statusgizi seseorang secara langsung, terutama anak-
anak. Seseorang yang menderitapenyakit infeksi akan mengalami penurunan nafsu makan
sehingga jumlah dan jeniszat gizi yang masuk ke tubuh berkurang. Sebaliknya pada keadaan
infeksi, tubuhmembutuhkan zat gizi yang lebih banyak untuk memenuhi peningkatan
metabolismepada orang yang menderita infeksi terutama apabila disertai panas.
Pada orang yangmenderita penyakit diare, berarti mengalami kehilangan zat gizi dan cairan
secaralangsung akan memperburuk kondisinya. Demikian pula sebaliknya, seseorang
yangmenderita kurang gizi akan mempunyai risiko terkena penyakit infeksi karena padakeadaan
kurang gizi daya tahan tubuh seseorang menurun, sehingga kuman penyakitlebih mudah
masuk dan berkembang. Kedua hal tersebut menunjukkan bahwahubungan kurang gizi
dan penyakit infeksi adalah hubungan timbal balik.

Dengan membiasakan perilaku hidup bersih akan menghindarkan seseorang dariketerpaparan


terhadap sumber infeksi. Contoh: 1) Selalu mencuci tangan dengan sabun dan air bersih mengalir
sebelum makan,sebelum memberikan ASI, sebelum menyiapkan makanan dan minuman,
dansetelah buang air besar dan kecil, akan menghindarkan terkontaminasinya tangandan
makanan dari kuman penyakit antara lain kuman penyakit typus dan disentri; 2) Menutup
makanan yang disajikan akan menghindarkan makanan dihinggapilalat dan binatang lainnya
serta debu yang membawa berbagai kuman penyakit; 3) Selalu menutup mulut dan hidung bila
bersin, agar tidak menyebarkan kumanpenyakit; dan4) Selalu menggunakan alas kaki agar
terhindar dari penyakit kecacingan.

Melakukan aktivitas fisik.Aktivitas fisik yang meliputi segala macam kegiatan tubuh
termasuk olahragamerupakan salah satu upaya untuk menyeimbangkan antara
pengeluaran danpemasukan zat gizi utamanya sumber energi dalam tubuh. Aktivitas fisik
memerlukanenergi. Selain itu, aktivitas fisik juga memperlancar sistem metabolisme di
dalamtubuh termasuk metabolisme zat gizi. Oleh karenanya, aktivitas fisik berperan
dalammenyeimbangkan zat gizi yang keluar dari dan yang masuk ke dalam tubuh.

Mempertahankan dan memantau Berat Badan (BB) normalBagi orang dewasa salah satu
indikator yang menunjukkan bahwa telah terjadikeseimbangan zat gizi di dalam tubuh adalah
tercapainya Berat Badan yang normal,yaitu Berat Badan yang sesuai untuk Tinggi Badannya.
Indikator tersebut dikenaldengan Indeks Masa Tubuh (IMT). Oleh karena itu,
pemantauan BB normalmerupakan hal yang harus menjadi bagian dari ‘Pola Hidup’ dengan
‘Gizi Seimbang’,sehingga dapat mencegah penyimpangan BB dari BB normal, dan apabila
terjadipenyimpangan maka dapat segera dilakukan langkah-langkah pencegahan
danpenanganannya.

Bagi bayi dan balita indikator yang digunakan adalah perkembanganberat badan sesuai
dengan pertambahan umur. Pemantauannya dilakukan denganmenggunakan KMS.2.3
Status Gizi MasyarakatMenurut Djoko Pekik Irianto (2007: 65), status gizi adalah ekspresi
dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau dapat dikatakan bahwa
status gizimerupakan indikator baik buruknya penyediaan makanan sehari-hari.I Dewa Nyoman
Supariasa (2002: 18), menyatakan bahwa status gizi adalah ekspresidari keadaan keseimbangan
dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel
tertentu.Menurut Moch Agus Krisno Budiyanto yang dikutip Krisna Fitriyanto (2011: 13),faktor-
faktor 12 yang mempengaruhi status gizi seseorang adalah sebagai berikut:a) Produk pangan,
(jumlah dan jenis makanan), b) Pembagian makanan atau pangan; c) Akseptabilitas; d)
Prasangka buruk pada bahan makanan tertentu; e) Pantangan pada makanan tertentu;f) Kesukaan
terhadap jenis makanan tertentu;g) Keterbatasan ekonomi; i) Selera makan; j) Sanitasi makanan
(penyiapan, penyajian, dan penyimpanan) dan k) Pengetahuan gizi.Faktor-faktor yang
mempengaruhi status gizi akan saling berinteraksi satu sama lainsehingga berimplikasi kepada
status gizi seimbang.

Hal ini sangat penting terutama bagipertumbuhan, perkembangan, kesehatan, dan kesejahteraan
manusia. Menurut Djoko Pekik Irianto (2007: 23), secara umum status gizi dibagi menjadi
tigakelompok yaitu sebagai berikut: a. Kecukupan Gizi (Gizi Seimbang)Dalam hal ini asupan
gizi seseorang seimbang dengan kebutuhan gizi yangbersangkutan. Kebutuhan gizi
seseorang ditentukan oleh kebutuhan gizi basal, kegiatanpada keadaan fisiologis tertentu serta
dalam keadaan sakit.b. Gizi KurangGizi kurang merupakan keadaan tidak sehat
(patologis yang timbul karena tidakcukup makan, dengan demikian konsumsi energi dan
protein kurang selama jangka waktutertentu.c. Gizi LebihKeadaan patologis (tidak sehat)
yang disebabkan kebanyakan makanan.Mengkonsumsi energi lebih banyak dari pada yang
diperlukan oleh tubuh dalam jangkawaktu yang panjang, dikenal sebagai gizi lebih (Moch. Agus
Krisno Budiyanto, 2001:14).
Tujuan untuk mengetahui situasi tertentu misalnya pada orang yang buta senja.II. Pemeriksaan
Tidak Langsung a) Survei Konsumsi Penilaian konsumsi makanan dilakukan dengan wawancara
kebiasaan makanandan penghitungan makanan sehari-hari. b) Statistik VitalPemeriksaan
dilakukan dengan menganalisa data kesehatan, seperti angkakematian, kesakitan akibat
hal-hal yang berhubungan dengan gizi c) Faktor EkologiPengukuran status gizi didasarkan atas
ketersediannya makan yang dipengaruhioleh faktor-faktor ekologi (iklim, tanah, irigasi).

Obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebihan yang


dapatmengganggu kesehatan (WHO, 2015).Penyebab mendasar terjadinya kegemukan dan
obesitas adalah ketidakseimbanganenergi antara energi yang masuk dan energi yang keluar.
Energi yang masuk adalahjumlah energi berupa kalori yang di dapatkan dari makanan dan
minuman. Sedangkanenergi yang keluar adalah jumlah energi atau kalori yang digunakan tubuh
dalam halseperti bernapas, digesti dan juga melakukan kegiatan fisik (NIH, 2012).Adapun faktor
resiko yang dapat menyebabkan obesitas antara lain:1) Gaya hidup tak aktifSaat ini kebanyakan
orang menghabiskan waktu didepan televisi (TV) dan komputersaat bekerja, di sekolah dan di
rumah. Selain itu banyak orang yang memiliki kendaraanpribadi untuk berpergian walau hanya
dengan jarak tempuh yang pendek.

Anda mungkin juga menyukai