Anda di halaman 1dari 84

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Balita adalah individu atau sekelompok individu dari suatu

penduduk yang berada dalam rentang usia tertentu. Usia balita dapat

dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu golongan usia bayi (0-2

tahun), golongan batita (2-3 tahun), dan golongan prasekolah (>3-5

tahun). Adapun menurut World Health Organization (WHO) ,

kelompok usia balita adalah 0-60 bulan. Sumber lain mengatakan

bahwa usia balita adalah 1-5 tahun (Adriani, 2012).

Masa balita merupakan masa kehidupan yang sangat penting

dan perlu perhatian yang serius. Pada masa ini berlangsung proses

tumbuh kembang yang sangat pesat yaitu pertumbuhan fisik dan

perkembangan psikomotorik, mental, dan sosial. Stimulasi psikososial

harus dimulai sejak dini dan tepat waktu untuk tercapainya

perkembangan psikososial yang optimal. Untuk mendukung

pertumbuhan fisik balita, perlu makanan dengan gizi seimbang

(Adriani, 2012).

Gizi berasal dari bahasa arab “ghizda” artinya adalah makanan.

Gizi dalam bahasa Inggris disebut nutriton. Gizi merupakan rangkaian

proses secara organik makanan yang dicerna oleh tubuh untuk

memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan fungsi normal organ, serta

1
2

mempertahankan kehidupan seseorang dan status gizi adalah

keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan

zat-zat gizi. Dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik, dan

lebih (Mardalena, 2017). Status gizi balita dapat dipantau dengan

menimbang anak setiap bulan dan dicocokkan dengan Kartu Menuju

Sehat (KMS) (Marmi, 2013).

Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting ini

merupakan salah satu masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia

saat ini. Pada tahun 2017 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia

mengalami stunting. Dan lebih dari setengah balita stunting di dunia

berasal dari Asia (55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%)

tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi

terbanyak berasal dari Asia Selatan (58,7%) dan proporsi paling

sedikit di Asia Tengah (0,9%). Kejadian balita pendek (stunting) ini

juga merupakan masalah gizi utama yang dihadapi Indonesia

berdasarkan data PSG selama tiga tahun terakhir, pendek memiliki

prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti

gizi kurang, kurus, dan gemuk. Data prevalensi balita stunting yang

dikumpulkan World Health Organization (WHO).

Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi

tertinggi di regional Asia Tenggara. Rata-rata prevalensi balita

stunting di Indonesia tahun 2015-2017 adalah 36,4%. Salah satu

strategi dan program kesehatan masyarakat tahun 2018 juga tentang


3

mempercepat perbaikan gizi masyarakat dan meningkatkan dukungan

manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya pada program

kesehatan masyarakat, karena masih besarnya balita di Indonesia

yang memiliki berat badan tidak sesuai dengan usianya (gizi kurang)

sebesar 19,6%, dan 37,2% balita di Indonesia memiliki tinggi badan

yang tidak sesuai dengan usianya (pendek) (Pusat Data dan

Informasi. 2018).

Laporan United Nation Children’s Fund (UNICEEF)

menjelaskan tantangan yang dihadapi anak-anak di Asia Tenggara.

Laporan ini menjelaskan beberapa negara Association Of Southeast

Asian Nations (ASEAN) menghadapi krisis stimultan gizi, dan ada juga

anak-anak dengan obesitas. Beban ganda malnutrisi inilah yang

terjadi di negara-negara berpenghasilan menengah seperti Indonesia,

Malaysia, Filipina dan Thailand. Di Indonesia proporsi yang dilaporkan

persis sama, yakni 12% dari anak-anak obesitas dan 12% yang

terlantar. Menurut temuan penyebab obesitas dan kurang gizi saling

terkait, yaitu pertumbuhan yang terhambat pada usia dini berisiko

lebih besar untuk menjadi gemuk dikemudian hari. Risiko kelebihan

berat badan naik dengan peningkatan konsumsi makanan cepat saji

dan minuman tertentu. Selain itu juga, aktivitas fisik dan gaya hidup

menetap ini merupakan tren meningkat di banyak negara

berkembang, dan memberikan kontribusi signifikan terhadap

prevalensi tumbuh dari penyakit kronis seperti diabetes dan jantung.


4

Sementara, kekurangan gizi selain karena kemiskinan, faktor lain juga

mempengaruhi yaitu makanan bergizi, praktik pemberian makan bayi

yang buruk, air bersih yang tidak memadai dan sanitasi. Laporan ini

menemukan bahwa kekurangan gizi dengan prevalensi tertinggi

berada di Kamboja, Laos, dan Myanmar, serta di wilayah Indonesia

dan Filipina (Republika, 2016).

Kementerian kesehatan sudah banyak melakukan program

untuk upaya perbaikan gizi yang dimulai dari 1000 hari pertama

kehidupan (kehamilan, kelahiran dan masa kanak-kanak) agar

mendapatkan asupan gizi yang optimal yaitu dengan pemberian tablet

tambah darah untuk remaja putri, calon pengantin, ibu hamil

(suplementasi besi folat), suplementasi vitamin A, promosi ASI

Eksklusif, promosi makanan pendamping ASI, suplemen gizi mikro

(Taburis), gizi makro (PMT), promosi makanan berfotifikasi termasuk

garam beryodium dan besi, tata laksana gizi kurang/buruk, pemberian

obat cacing dan penyediaan air bersih dan sanitasi. Tapi dari

banyaknya upaya yang dilakukan untuk perbaikan gizi di Indonesia

angka gizi kurang dan pendek masih tergolong tinggi (Direktur

Jenderal Kesmas, 2018).

Faktor-faktor yang mempengaruhi masalah gizi saling terkait

antara satu dengan yang lainnya, faktor yang berhubungan dengan

status gizi. Pertama, penyebab langsung adalah asupan gizi dan

penyakit infeksi. Kedua, penyebab tidak langsung yaitu ketersediaan


5

pangan, perilaku ibu dan anak, pelayanan kesehatan dan lingkungan.

Ketiga, masalah utama yaitu kemiskinan, pendidikan rendah,

ketersediaan pangan, dan kesempatan kerja. Keempat, masalah

dasar adalah krisis politik dan ekonomi (Supariasa, 2012)

Masalah gizi kurang umumnya disebabkan oleh beberapa

faktor. Faktor-faktor tersebut terbagi menjadi dua yaitu faktor langsung

dan faktor tidak langsung. Faktor langsung status gizi yaitu asupan

makanan dan penyakit infeksi. Faktor tidak langsung status gizi yaitu

ketahanan pangan di dalam keluarga, pola asuh, sanitasi lingkungan,

akses terhadap pelayanan kesehatan, umur anak, jenis kelamin anak,

tempat tinggal, pendidikan, pengetahuan, besar keluarga, pendapatan

dan pekerjaan orang tua (Apriliana, 2017).

Munculnya masalah gizi pada anak balita dipengaruhi oleh

banyak faktor yang saling terkait. Secara langsung dipengaruhi oleh

beberapa hal, yaitu anak tidak cukup mendapat makanan bergizi

seimbang pada usia balita, anak tidak mendapatkan asupan gizi, yang

memadai dan anak menderita penyakit infeksi. Kemiskinan juga

merupakan salah satu penyebab munculnya kasus gizi buruk terkait

ketersediaan dan konsumsi pangan keluarga (Handayani, 2017).

Menurut Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia

(SDKI) tahun 2017 menunjukkan Angka Kematian Bayi (AKB) 24 per

1.000 kelahiran hidup, dan Angka Kematian Balita (AKABA) 32 per

1.000 kelahiran hidup. Angka Kematian Balita (AKABA) ini


6

menggambarkan permasalahan kesehatan pada balita (Indonesia,

2017).

Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun

2018 yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan menyatakan bahwa

presentase gizi buruk dan gizi kurang pada balita usia 0-59 bulan di

Indonesia adalah 17,7%, dengan presentase gizi buruk sebesar 3,9%

dan presentase gizi kurang sebesar 13,8%. Provinsi dengan

presentase tertinggi gizi buruk dan gizi kurang pada balita usia 0-59

bulan tahun 2018 adalah Nusa Tenggara Timur, sedangkan provinsi

dengan presentase terendah adalah Kepulauan Riau (Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2018).

Angka Kematian Balita (AKABA) jika dilihat berdasarkan kasus

kematian balita yang terjadi pada tahun 2017 di Provinsi Kalimantan

Barat, tercatat sebanyak 737 kasus. Sehingga jika dihitung

berdasarkan kasus yang terjadi dengan jumlah kelahiran hidup

sebanyak 86.572, maka kematian balita di Provinsi Kalimantan Barat

pada tahun 2017 adalah sebesar 9 per 1.000 kelahiran hidup. Faktor

gizi menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan angka kematian

balita di Kalimantan Barat selain sanitasi, penyakit menular, dan

kecelakaan (Dinas Kesehatan, 2017).

Berdasarkan hasil laporan program gizi Dinas Kesehatan

Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2017, dari seluruh Kabupaten/Kota


7

yang ada terdapat kasus gizi buruk sebanyak 401 kasus. Angka

tersebut didapatkan dari laporan kasus dilihat berdasarkan tanda-

tanda klinis kasus gizi buruk. Kasus gizi buruk terbanyak ada di

Kabupaten Kapuas Hulu yaitu sebanyak 89 kasus, diikuti Kabupaten

Ketapang sebanyak 55 kasus, Kabupaten Mempawah 50 kasus,

Kabupaten Sanggau 48 kasus, Kota Pontianak 41 kasus, Kota

Singkawang 27 kasus, Kabupaten Kubu Raya 22 kasus, Kabupaten

Sintang 18 kasus, Kabupaten Landak 15 kasus, Kabupaten Sambas 9

kasus, Kabupaten Kayong Utara 7 kasus, Kabupaten Melawi 5 kasus,

Kabupaten Bengkayang 4 kasus, dan yang terendah adalah

Kabupaten Sekadau 2 kasus (Dinas Kesehatan, 2017).

Penelitian yang dilakukan oleh Nurapriyanti tahun 2015 dengan

judul “Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Status Gizi Balita di

Posyandu Kunir Putih Wilayah Kerja Puskesmas Umbulharjo I

Yogyakarta” hasil penelitian menunjukkan hasil analisis ada pengaruh

pola asuh, infeksi penyakit, asupan makanan, ketahanan pangan,

kesehatan lingkungan pendapatan, ASI Eksklusif, pendidikan, tingkat

pengetahuan, pekerjaan, pendapatan, jumlah anggota keluarga

dengan status gizi balita p < 0,05 dan asupan makanan merupakan

faktor yang paling dominan mempengaruhi status gizi balita dengan

nilai B = 0,313 dan p = 0,028.

Demikian pula penelitian yang dilakukan Sholikah tahun 2017

dengan judul “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi


8

Balita di Pedesaan dan Perkotaan di Wilayah Kerja Puskesmas

Tahunan Jepara” hasil penelitian menunjukkan fakor-faktor yang

berhubungan dengan status gizi pada balita di pedesaan dan

perkotaan adalah penyakit infeksi ( ρ<0,05 ¿. Penyakit infeksi yang

dialami balita berdasarkan hasil penelitian adalah tuberculosis, diare

dan ISPA. Faktor yang tidak berhubungan dengan status gizi balita di

pedesaan dan perkotaan adalah jarak kelahiran, pola pengasuhan

gizi, pendidikan ibu dan pekerjaan ibu (ρ>0,05 ¿ .

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di

Puskesmas Wajok Hulu bulan Februari tahun 2019 didapatkan dari

data tahun 2018 sebanyak 2.338 balita yang berasal dari 2 desa yaitu

desa Wajok Hulu dan desa Wajok Hilir, dan dari total balita tersebut

diambil 96 balita yang dijadikan sampel dan ditemukan bahwa balita

yang kurang gizi sebanyak 8 balita, gizi buruk 1 balita, pendek 4

balita, kurus 2 balita, dan gemuk 1 balita. Dari hasil wawancara

terhadap 5 responden 1 dari 5 responden memiliki status gizi kurang.

Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas menjadikan

peneliti tertarik melakukan penelitian di Puskesmas Wajok Hulu yang

merupakan satu dari 14 Puskesmas yang ada di Kabupaten

Mempawah, Puskesmas Wajok Hulu merupakan puskesmas yang

mudah dijangkau oleh masyarakat, namun masih saja ada balita yang

status gizinya tidak sesuai, dan ini menjadikan alasan peneliti ingin

melakukan penelitian “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi


9

Balita di Posyandu Mekar Sari Wilayah Kerja Puskesmas Wajok Hulu

Kabupaten Mempawah Tahun 2019”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka

masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut: “Faktor-faktor apa

saja yang mempengaruhi status gizi balita di Posyandu Mekar Sari

Wilayah Kerja Puskesmas Wajok Hulu Kabupaten Mempawah Tahun

2019?”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi status

gizi balita di Posyandu Mekar Sari Wilayah Kerja Puskesmas

Wajok Hulu Kabupaten Mempawah tahun 2019.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi faktor-faktor yang

mempengaruhi status gizi antara lain :

1) Umur ibu

2) Pendidikan ibu

3) Pengetahuan ibu

4) Pekerjaan ibu

5) Paritas

6) Budaya
10

b. Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi status

gizi balita yang meliputi faktor umur ibu, pendidikan ibu,

pengetahuan ibu, pekerjaan ibu, paritas, dan budaya di

Posyandu Mekar Sari Wilayah kerja Puskesmas Wajok Hulu

Kabupaten Mempawah Tahun 2019.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Masyarakat

Menambah pengetahuan dan informasi pada masyarakat

khususnya ibu yang mempunyai bayi balita sehingga ibu dapat

mengetahui status gizi dan faktor-faktor yang mempengaruhi

status gizi pada balita.

1.4.2 Bagi Puskesmas

Sumber informasi bagi instansi terkait khususnya

puskesmas dalam upaya peningkatan program Kesehatan Ibu

dan Anak (KIA) yang berkaitan dengan perbaikan gizi

masyarakat melalui kegiatan posyandu.

1.4.3 Bagi Peneliti

a Dapat menambah wawasan peneliti dalam mengatahui faktor-

faktor yang berhubungan dengan status gizi balita.

b Memotivasi peneliti lain untuk mengembangkan penelitian

tentang faktor yang berhubungan dengan status gizi pada

balita.
11

c Memberikan referensi penelitian tentang status gizi pada balita

bagi peneliti lain.

1.5 Relevansi Penelitian

Menurut penulis penelitian tentang “Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Status Gizi Balita di Posyandu Mekar Sari Wilayah

Kerja Puskesmas Wajok Hulu” relevan untuk diteliti karena

berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di

Puskesmas Wajok Hulu bulan Februari tahun 2019 didapatkan dari

data tahun 2018 sebanyak 2.338 balita yang berasal dari 2 desa yaitu

desa Wajok Hulu dan desa Wajok Hilir, dan dari total balita tersebut

diambil 96 balita yang dijadikan sampel dan ditemukan bahwa balita

yang kurang gizi sebanyak 8 balita, gizi buruk 1 balita, pendek 4

balita, kurus 2 balita, dan gemuk 1 balita. Dari hasil wawancara

terhadap 5 responden 1 dari 5 responden memiliki status gizi kurang.

Penelitian yang hampir sama sebelumnya juga pernah

dilakukan oleh Mastiaka dengan judul “Gambaran Status Gizi pada

Balita di Puskesmas Sungai Durian Kabupaten Kubu Raya Pontianak

Tahun 2015” tempat penelitiannya dilakukan di Puskesmas Sungai

Durian sedangkan peneliti melakukan di Posyandu Mekar Sari

Wilayah Kerja Puskesmas Wajok Hulu dan waktu penelitian juga

berbeda, karena penelitian ini dilakukan tahun 2019 sedangkan

penelitian sebelumnya sudah 3 tahun yang lalu.


12

Berdasarkan perbedaannya penelitian tentang “Faktor-Faktor

yang Mempengaruhi Status Gizi Balita di Posyandu Mekar Sari

Wilayah Kerja Puskesmas Wajok Hulu Tahun 2019” masih relevan

untuk diteliti karena sebelumnya penelitian ini tidak pernah dilakukan

oleh mahasiswa Akademi Kebidanan Panca Bhakti Pontianak dan

juga sebelumnya belum pernah dilakukan di Puskesmas Wajok Hulu.


13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Status Gizi

2.1.1 Pengertian

Gizi berasal dari bahasa arab “ghizda” artinya adalah

makanan. Gizi dalam bahasa inggris disebut nutriton. Gizi

merupakan rangkaian proses secara organik makanan yang

dicerna oleh tubuh untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan

fungsi normal organ, serta mempertahankan kehidupan seseorang

(Mardalena, 2017).

Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan

oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan.

Keseimbangan tersebut dapat dilihat dari variabel pertumbuhan,

yaitu berat badan, tinggi badan, panjang badan, lingkar kepala,

lingkar lengan, dan panjang tungkai. Jika keseimbangan tadi

terganggu, misalnya pengeluaran energi dan protein lebih banyak

dibandingkan pemasukan maka akan terjadi kekurangan energi

protein, dan jika berlangsung lama akan timbul masalah yang

dikenal dengan Kurang Energi Protein Berat atau gizi buruk

(Marmi, 2014). Adapun kategori dari status gizi dibedakan menjadi

tiga, yaitu gizi lebih, gizi baik, dan gizi kurang (Mardalena, 2017).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 23 Tahun

2014 tentang upaya perbaikan gizi, dalam menerapkan gizi

13
14

seimbang setiap keluarga harus mampu mengenal, mencegah,

dan mengatasi masalah gizi setiap anggota keluarganya. Upaya

yang dilakukan untuk mengenal, mencegah, dan mengatasi

masalah gizi adalah dengan menimbang berat badan secara

teratur, memberikan ASI Eksklusif (ASI saja kepada bayi sejak

lahir sampai umur 6 bulan), makan beraneka ragam,

menggunakan garam beryodium, dan pemberian suplemen gizi

sesuai anjuran petugas kesehatan. Suplemen gizi yang diberikan

menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2016

tentang standar produk suplemen gizi, meliputi kapsul vitamin A,

tablet tambah darah, makanan tambahan untuk ibu hamil, anak

balita, dan anak usia sekolah, makanan pendamping ASI, dan

bubuk multi vitamin dan mineral (Indonesia, 2017).

Status gizi balita dapat dipantau dengan menimbang anak

setiap bulan dan dicocokkan dengan Kartu Menuju Sehat (KMS)

(Marmi, 2013). Kartu Menuju Sehat (KMS) adalah kartu yang

memuat grafik pertumbuhan serta indikator perkembangan yang

bermanfaat untuk mencatat dan memantau tumbuh kembang

balita pada setiap bulannya, dari anak lahir sampai berusia 5

tahun. Kartu Menuju Sehat di Indonesia saat ini memakai

beberapa standar baku, salah satunya menurut baku World

Health Organization National Center For Health Statistics (WHO-

NCHS) dimana keadaan status gizi baik berada pada warna


15

hijau/hijau tua, gizi kurang pada warna kuning, gizi buruk dibawah

garis merah, dan gizi lebih berada jauh diatas warna hijau

(Tristianti, 2017).

Salah satu indikator Indeks Pembangunan Kesehatan

(IPM) manusia sebagai penunjang indikator adalah status gizi.

Status gizi khususnya status gizi anak balita merupakan salah

satu indikator kualitas sumber daya manusia yang menentukan

tingkat kesejahteraan masyarakat. Status gizi anak sangat

berpengaruh terhadap proses tumbuh kembangnya. Pada anak

balita yang memiliki status gizi buruk biasanya akan terganggunya

pertumbuhan tubuh secara fisik. Kemudian dalam perkembangan

material anak beresiko mengalami gangguan kontrol emosi dan

perasaan, disekolah anak tersebut akan sulit mengikuti pelajaran

dan sulit untuk berkonsentrasi (Faridin, 2017)

2.1.2 Klasifikasi Status Gizi Balita

Kategori status gizi balita merupakan penentuan klasifikasi

dan penyebutan status gizi menjadi seragam dan tidak berbeda

maka Menteri Kesehatan RI mengeluarkan Surat Keputusan

Nomor 920/Menkes/SK/VIII/2002 tentang klasifikasi status gizi

anak di bawah lima tahun. Dengan keluarnya Surat Keputusan

tersebut maka data status gizi yang dihasilkan mudah dianalisis

lebih lanjut baik untuk perbandingan, kecenderungan maupun

analisis hubungan. Menurut Surat Keputusan tersebut penentuan


16

gizi status gizi tidak lagi menggunakan persen terhadap median,

melainkan nilai Z-score pada baku World Health Organization

National Center Health Statistics (WHO-NCHS) (Marmi, 2014).

Z-score adalah angka yang menunjukkan seberapa jauh

pengukuran dari median. Menurut Fidiantoro (2013) Rumus Z-

score yaitu :

NIS−NMBR
Z-score =
NSBR

Keterangan :

Z-score = Angka yang menunjukkan seberapa jauh pengukuran

dari median.

NIS = Nilai Individual Subjek

NMBR = Nilai Median Baku Rujukan

NSBR = Nilai Simpang Baku Rujukan

Klasifikasi status gizi balita BB/TB yang digunakan secara

resmi adalah :

Tabel 2.1
Klasifikasi Status Gizi Balita

Indikator Status Gizi Z-Score


Gizi Buruk <-3,0 SD
BB/U Gizi Kurang -3,0 SD s/d <-2,0 SD
Gizi Baik -2,0 SD s/d 2,0 SD
Sumber: Marmi, 2014

**) SD ==Standar Deviasi


17

2.1.3 Kegunaan Zat Gizi Balita

a. Energi

Energi merupakan kemampuan atau tenaga untuk

melakukan kerja yang diperoleh dari zat-zat gizi penghasil

energi. Energi diperlukan untuk berlangsungnya proses-proses

yang mendasari kehidupan (Susilowati, 2016).

b. Karbohidrat

Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi

manusia yang harganya relatif murah. Karbohidrat merupakan

sumber energi utama bagi anak. Hampir separuh dari energi

yang dibutuhkan seorang anak sebaiknya berasal dari sumber

makanan yang kaya karbohidrat, seperti roti, sereal, nasi, mie,

dan kentang. Anak-anak tidak memerlukan ‘gula pasir’ sebagai

energi serta madu harus dibatasi. Dalam kehidupan sehari-hari

manusia membutuhkan karbohidrat sebagai energi utama serta

bermanfaat untuk perkembangan otak saat belajar (Susilowati,

2016).

c. Protein

Protein merupakan sumber asam amino essensial yang

diperlukan sebagai zat pembangun, yaitu untuk pertumbuhan

dan pembentukan protein dalam serum, hemoglobin, enzim,

hormon serta antibodi, mengganti sel-sel tubuh yang rusak, dan

memelihara keseimbangan asam basa cairan tubuh dan


18

sumber energi (Adriani, 2012). Asupan gizi yang baik bagi

balita juga terdapat pada makanan yang mengandung protein.

Protein bermanfaat sebagai prekusor untuk neurotransmitter

demi perkembangan otak yang baik nantinya. Sumber protein

yang terdapat pada ikan, susu, daging, telur, kacang-kacangan

sebaiknya pemberiannya ditunda jika menimbulkan alergi atau

menggantinya dengan sumber protein lain. Untuk vegetarian

gabungkan konsumsi susu dengan minuman berkadar vitamin

C tinggi untuk membantu penyerapan zat gizi (Susilowati,

2016).

d. Lemak

Lemak merupakan sumber energi dengan konsentrasi

yang cukup tinggi. Dalam 1 g lemak dapat menghasilkan energi

sebanyak 9 kkal. Lemak memiliki fungsi sebagai sumber asam

lemak esensial, pelarut vitamin A, D, E, dan K, serta pemberi

rasa gurih dan penyedap makanan. Sebagai sumber energi

yang efisien, dianjurkan kecukupan lemak anak menyumbang

15-30% kebutuhan energi total. Balita membutuhkan lebih

banyak lemak dibandingkan orang dewasa karena tubuh

mereka menggunakan energi yang lebih secara proporsional

selama masa pertumbuhan dan perkembangan mereka

(Susilowati, 2016). Namun, diet sangat rendah lemak dapat

menimbulkan rasa lelah dan menghilangkan rasa kenyang.


19

Sebaliknya, pemberian lemak berlebihan dapat menyebabkan

obesitas (Adriani, 2012). Sumber lemak bisa diperoleh dalam

mentega, susu, daging, ikan, dan minyak nabati.

e. Air

Air merupakan zat gizi yang sangat penting bagi bayi

dan balita karena merupakan bagian terbesar dari tubuh

manusia, risiko kehilangan air pada bayi yang terjadi melalui

ginjal lebih besar daripada orang dewasa, serta bayi dan anak

lebih mudah terserang dehidrasi akibat muntah-muntah dan

diare berat (Susilowati, 2016). Pada umumnya anak sehat

memerlukan 1000-1500 ml air setiap harinya. Pada keadaan

sakit seperti infeksi dengan suhu tinggi, diare atau muntah

masukan cairan harus ditingkatkan untuk menghindari

kekurangan cairan (Syafrudin, 2011).

f. Vitamin dan Mineral

Vitamin adalah zat organik kompleks yang dibutuhkan

dalam jumlah yang sangat kecil untuk beberapa proses penting

yang dilakukan di dalam tubuh. Mineral adalah zat anorganik

yang dibutuhkan oleh tubuh untuk berbagai fungsi. Makanan

yang berbeda memberikan vitamin dan mineral yang berbeda

dan memiliki diet yang bervariasi dan seimbang. Ini penting

untuk menyediakan jumlah yang cukup dari semua zat gizi.


20

Usia balita merupakan usia yang cenderung kekurangan

zat besi sehingga balita harus diberikan asupan makanan yang

mengandung zat besi. Makanan atau minuman yang

mengandung vitamin C, seperti jeruk merupakan salah satu

makanan yang mengandung gizi yang bermanfaat untuk

penyerapan zat besi.

Balita juga membutuhkan asupan kalsium secara teratur

sebagai pertumbuhan tulang dan gigi balita. Salah satu pemberi

kalsium terbaik adalah susu yang diminum secara teratur

(Susilowati, 2016).

2.1.4 Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi dapat dikelompokkan dengan metode

langsung dan metode tidak langsung.

a. Penilaian Status Gizi Langsung

1.Antropometri

Dalam antropometri dapat dilakukan beberapa macam

pengukuran yaitu pengukuran berat badan (BB), tinggi badan

(TB) dan Lingkar lengan atas (LILA). Dari beberapa

pengukuran tersebut berat badan (BB), tinggi badan (TB),

dan lingkar lengan (LILA) sesuai dengan umur adalah yang

paling sering digunakan untuk survey sedangkan untuk

perorangan, keluarga, pengukuran tinggi badan (TB) dan


21

berat badan (BB) atau panjang badan (PB) adalah yang

paling dikenal.

Melalui pengukuran antropometri, status gizi anak

dapat ditentukan apakah anak tersebut tergolong status gizi

baik, kurang, atau buruk. Untuk hal tersebut maka berat

badan dan tinggi badan hasil pengukuran dibandingkan

dengan suatu standar internasional yang dikeluarkan oleh

World Health Organization (WHO). Status gizi tidak hanya

diketahui dengan mengukur berat badan (BB) atau tinggi

badan (TB) sesuai dengan umur secara sendiri-sendiri,

tetapi juga merupakan kombinasi antara ketiganya. Masing-

masing indikator mempunyai makna sendiri-sendiri (Marmi

dkk, 2014).

1) Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

Indikator berat badan menurut umur menunjukkan

secara sensitif status gizi saat ini (saat diukur) karena

mudah berubah, namun tidak spesifik karena berat badan

selain dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi oleh tinggi

badan. Indikator ini dapat dengan mudah dan cepat

dimengerti oleh masyarakat umum, sensitif untuk melihat

perubahan status gizi dalam jangka waktu pendek, dan

dapat mendeteksi kegemukan (Marmi, 2014).


22

2) Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)

Indikator tinggi badan menurut umur dapat

menggambarkan status gizi masa lampau atau masalah

gizi kronis. Seseorang yang pendek kemungkinan

keadaan gizi masa lalu tidak baik. Berbeda dengan berat

badan yang dapat diperbaiki dalam waktu singkat, baik

pada anak maupun dewasa, maka tinggi badan usia

dewasa tidak dapat lagi dinormalkan. Pada anak balita

kemungkinan untuk mengejar pertumbuhan tinggi badan

optimal masih bisa sedangkan anak usia sekolah sampai

remaja kemungkinan untuk mengejar pertumbuhan tinggi

badan masih bisa tetapi kecil kemungkinan untuk

mengejar pertumbuhan optimal. Dalam keadaan normal

tinggi badan tumbuh bersamaan dengan bertambahnya

umur. Pertambahan TB relatif kurang sensitif terhadap

kurang gizi dalam waktu singkat. Pengaruh kurang gizi

terhadap pertumbuhan TB baru terlihat dalam waktu yang

cukup lama. Indikator ini juga dapat dijadikan indikator

keadaan sosial ekonomi penduduk (Marmi, 2014).

3) Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)

Indikator berat badan menurut tinggi badan

merupakan pengukuran antropometri yang terbaik karena

dapat menggambarkan secara sensitif dan spesifik status


23

gizi saat ini atau masalah gizi akut. Berat badan

berkolerasi linear dengan tinggi badan, artinya dalam

keadaan normal perkembangan berat badan akan

mengikuti pertambahan tinggi badan pada percepatan

tertentu. Dengan demikian berat badan yang normal akan

proporsional dengan tinggi badannya. Ini merupakan

indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini

terutama bila umur yang akurat sering sulit diperoleh.

Untuk kegiatan indentifikasi dan manajemen penanganan

bayi dan anak balita gizi buruk akut (Marmi, 2014).

a. Penilaian Status Gizi Secara Tidak Langsung

Penilaian status gizi tidak langsung dibagi menjadi 3, yaitu :

1) Survei Konsumsi Makanan

Merupakan metode penentuan status gizi secara tidak

langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang

dikonsumsi.

Penggunaan : dapat memberikan gambaran tentang

konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga, dan

individu. Survei ini dapat mengidentifikasikan kelebihan dan

kekurangan zat gizi (Marmi, 2013).

2) Statistik Vital

Pengukuran status gizi dengan menganalisa data

beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian


24

berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat

penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan

dengan gizi.

Penggunaannya dipertimbangkan sebagai bagian dari

indikator tidak langsung pengukuran status gizi masyarakat

(Marmi, 2013).

3) Faktor Ekologi

Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil

interaksi beberapa faktor fisik, biologis, dan lingkungan

budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung

dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi, dan lain-

lain.

Penggunaan : untuk mengetahui penyebab malnutrisi di

suatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan program

intervensi gizi (Marmi, 2013).

2.2 Anak Balita

2.2.1 Pengertian

Balita merupakan istilah yang berasal dari kependekan kata

bawah lima tahun. Istilah ini cukup populer dalam program

kesehatan. Balita merupakan kelompok usia tersendiri yang

menjadi sasaran program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).

Rentang usia balita dimulai dari satu sampai dengan lima tahun,

atau bisa digunakan perhitungan bulan, yaitu usia 12-60 bulan.


25

Ada juga yang menyebutnya dengan periode usia prasekolah

atau toddler (Susilowati, 2016).

Pada masa balita, kecukupan gizi sangat penting bagi

kesehatan balita, dimana seluruh pertumbuhan dan kesehatan

balita erat kaitannya dengan masukan makanan yang memadai.

Pertumbuhan dan perkembangan yang optimal pada balita

memerlukan makanan yang sesuai dengan balita yang sedang

tumbuh. Seluruh komponen bangsa, terutama orang tua, harus

memperhatikan balita karena balita merupakan generasi penerus

dan modal dasar untuk kelangsungan hidup bangsa. Masa balita

disebut juga “golden period” atau masa keemasan, dimana

terbentuk dasar-dasar kemampuan keindraan, berfikir, berbicara

serta pertumbuhan mental intelektual yang intensif dan awal

pertumbuhan moral. Balita merupakan salah satu golongan

paling rawan gizi. Pada usia balita dikatakan sebagai saat yang

rawan karena pada rentang waktu ini anak masih sering sakit.

Anak merupakan komponen pasif yang sangat tergantung

kepada orang tuanya serta sering terdapat keluhan nafsu makan

kurang. Keberhasilan mencapai status gizi yang baik erat

kaitannya dengan kerja sama antara orang tua yang

mempraktekkannya dan mendapat informasi gizi dengan baik

(Maryunani, 2010).
26

2.2.2 Kebutuhan Zat Gizi Balita

Kebutuhan gizi seseorang adalah jumlah yang diperkirakan

cukup untuk memelihara kesehatan pada umumnya. Secara

garis besar, kebutuhan gizi ditentukan oleh usia, jenis kelamin,

aktivitas, berat badan, dan tinggi badan. Antara asupan zat gizi

dan pengeluarannya harus ada keseimbangan sehingga

diperoleh status gizi yang baik. Sejumlah zat gizi yang ada dalam

bahan makanan mengandung tiga unsur yaitu:

a. Zat tenaga yaitu makanan yang mengandung energi yang

terdapat pada bahan makanan pokok yaitu jagung, singkong, ubi

jalar, kentang, talas, gandum, sagu dan lain-lain.

b. Zat pembangun yaitu bahan makanan yang berfungsi untuk

membangun jaringan tubuh dan mengganti jaringan tubuh yang

rusak. Bahan makanan ini terdapat pada tahu, tempe, kacang-

kacangan, telur, daging, ikan, udang, kerang dan lain-lain.

c. Zat pengatur yaitu bahan makanan yang berfungsi untuk

mengatur organ tubuh. Makanan ini mengandung vitamin,

mineral, air dan biasanya terdapat pada buah-buahan dan sayur-

sayuran (Proverawati, 2011).

2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Gizi Balita

2.3.1 Usia Ibu

Usia akan mempengaruhi kemampuan atau pengalaman

yang dimiliki orang tua dalam pemberian nutrisi anak balita


27

(Marmi, 2013). Menurut United Nation Children’s Fund (UNICEF)

dan World Health Organization (WHO) wanita yang hamil pada

usia remaja yaitu kurang dari 20 tahun lebih beresiko untuk

melahirkan bayi baru lahir rendah. Hal ini disebabkan ibu masih

dalam proses pertumbuhan, sehingga apabila kebutuhan gizi ibu

tidak terpenuhi dengan baik, maka janin akan bersaing dengan

ibu untuk memperoleh zat gizi. Usia terbaik untuk hamil adalah

20-35 tahun, pada usia ini ibu sudah tidak dalam masa

pertumbuhan dan memiliki resiko komplikasi yang lebih rendah

dibandingkan dengan usia 35 tahun ke atas (Fikawati, 2015).

Usia ibu yang < 20 tahun secara fisik rahim belum siap

untuk hamil dan melahirkan serta secara mental ibu belum siap

untuk menerima kehamilannya dan pengalaman ibu dalam

mengasuh anak yang kurang. Bagi balita yang mengalami

kekurangan gizi kemungkinan kecil untuk dapat tumbuh dengan

baik dan akan lebih mudah terserang penyakit dan infeksi.

Sebaliknya jika usia ibu > 35 tahun akan lebih sering mengalami

kesulitan baik dari segi mental maupun dari segi produktifnya.

Apabila di usia tersebut ibu masih mengalami kehamilan, maka

akan mengalami kesulitan pada saat persalinan. Sehingga usia

ibu yang pas bagi seorang wanita baik dari segi perawatan dan

reproduksi yaitu usia 20 – 35 tahun (Aliono, Nur Iza, 2017).


28

Penelitian yang dilakukan oleh Almusjawwir (2016) yang

berjudul “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi

pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bontomarannu”

menyatakan bahwa orang tua muda, terutama ibu, cenderung

kurang pengetahuan dan pengalaman dalam merawat anak

sehingga mereka umumnya merawat anak didasarkan pada

pengalaman orang tua terdahulu. Selain itu, faktor usia muda

juga cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih

memperhatikan kepentingannya sendiri dari pada kepentingan

anaknya, sehingga kuantitas dan kualitas perawatan anaknya

kurang terpenuhi.

2.3.2 Pendidikan ibu

Tingkat pendidikan berhubungan dengan status gizi karena

dengan meningkatnya pendidikan kemungkinan akan

meningkatkan pendapatan sehingga dapat meningkatkan daya

beli makanan (Departemen Gizi dan Kesmas, 2013). Orang tua

yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih

memahami makanan dan memilih makanan yang baik untuk

anaknya (Marmi, 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Suryani (2017) dengan judul

“Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Balita di Wilayah

Kerja Puskesmas Payung Sekaki Pekanbaru” didapatkan bahwa

pendidikan mempengaruhi status gizi balita karena semakin


29

tinggi pendidikan seorang ibu maka semakin baik pengetahuan

ibu terhadap gizi akan mempengaruhi cara ibu memberikan

makanan kepada balitanya sehingga pemenuhan gizi balita akan

terpenuhi.

2.3.3 Pengetahuan ibu

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi

setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek

tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia yakni

indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba.

Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata

dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang

sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang

(Notoatmodjo, 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Almusjawwir (2016) yang

berjudul “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi

pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bontomarannu” di

dapatkan bahwa pengetahuan gizi yang baik akan menyebabkan

seseorang mampu menyusun menu yang baik untuk dikonsumsi.

Semakin banyak pengetahuan gizi seseorang, maka ia akan

semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang

diperolehnya untuk dikonsumsi.

Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Suryani

(2017) dengan judul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status


30

Gizi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Payung Sekaki

Pekanbaru” didapatkan bahwa pengetahuan seorang ibu akan

mempengaruhi status gizi balitanya, dimana ibu yang tahu

bagaimana kebutuhan nutrisi bagi balitanya akan berusaha

memenuhi kebutuhan gizi balitanya sesuai dengan pengetahuan

yang dimilikinya. Dengan pengetahuan yang ada seorang ibu

akan mencoba berbagai variasi makanan yang sesuai dengan

kebutuhan balitanya dan berusaha menggunakan berbagai trik

supaya balitanya mau makan.

Hasil dari pengukuran tingkat pengetahuan yaitu :

<56 % : Kurang

56-75 % : Cukup

>76 % : Baik

2.3.4 Pekerjaan ibu

Pekerjaan adalah sesuatu yang harus dilakukan terutama

untuk menunjang kehidupan keluarganya. Bekerja bagi ibu-ibu

akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga

(Marmi, 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Nurapriyanti (2015) dengan

judul “Faktor-Faktor yang mempengaruhi Status Gizi Balita di

Posyandu Wilayah Kerja Puskesmas Umbulharjo I Yogyakarta”

didapatkan bahwa orang tua yang tidak bekerja cenderung

mempunyai banyak waktu untuk memperhatikan dan mengawasi


31

tumbuh kembang anak termasuk dalam memperhatikan asupan

nutrisi anak.

Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Labada

(2016) yang berjudul “Hubungan Karakteristik Ibu dengan Status

Gizi Balita yang Berkunjung Di Puskesmas Bahu Manado”

didapatkan bahwa partisipasi tenaga kerja wanita berhubungan

langsung dengan reduksi waktu yang disediakan untuk menyusui

anak dan merawat anak sehingga mempunyai konsekuensi

negatif terhadap gizi anak.

2.3.5 Paritas

Paritas adalah seorang wanita yang pernah melahirkan

bayi yang dapat hidup (viable). Paritas adalah jumlah anak yang

dilahirkan oleh seorang ibu.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Labada (2016)

yang berjudul “Hubungan Karakteristik Ibu dengan Status Gizi

Balita yang Berkunjung Di Puskesmas Bahu Manado”

didapatkan bahwa jumlah anak yang banyak akan berpengaruh

terhadap tingkat konsumsi makanan, yaitu jumlah dan distribusi

makanan dalam rumah tangga. Jumlah anak yang banyak pada

keluarga meskipun keadaan ekonominya cukup akan

mengakibatkan berkurangnya perhatian dan kasih sayang orang

tua yang diterima anaknya, terutama jika jarak anak yang terlalu

dekat, dan dalam hal memenuhi kebutuhan makanan ibu akan


32

bingung dalam memberikan makanan jika anaknya banyak

karena fokus perhatiannya akan terbagi-bagi karena pasti anak

balita mempunyai masalah dalam makan mungkin anak yang

satunya nafsu makannya baik, tetapi yang lainnya tidak, maka

ibu akan bingung mencari cara untuk memberi makan anak. Hal

ini dapat berakibat turunnya nafsu makan anak sehingga

pemenuhan kebutuhan primer anak seperti konsumsi

makanannya akan terganggu dan hal tersebut akan berdampak

terhadap status gizi anaknya.

Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Suryani (2017)

dengan judul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi

Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Payung Sekaki Pekanbaru”

didapatkan bahwa keluarga dengan keadaan sosial ekonominya

kurang, jumlah anak yang banyak akan mengakibatkan selain

kurangnya kasih sayang dan perhatian pada anak, juga

kebutuhan primer seperti makanan, sandang dan pangan pun

tidak terpenuhi. Sehingga jumlah saudara sangat berpengaruh

terhadap status gizi anak. Jumlah anak merupakan variabel

penting dalam menganalisis gizi, karena jumlah anak dalam

rumah tangga mempengaruhi sumber daya yang tersedia,

jumlah anak yang lebih besar dapat meningkatkan pajanan

infeksi yang mempengaruhi gizi buruk pada anak, serta ibu


33

mengalami kesulitan dalam membagi waktu dalam mengurus

anak terutama jika ada salah satu anak yang sakit.

Dan penelitian yang sama yang dilakukan oleh Liswati

(2016) dengan judul ”Hubungan Karakteristik Ibu dengan Status

Gizi Anak Balita” paritas dikatakan tinggi bila seseorang wanita

melahirkan anak ke-4 atau lebih. Anak dengan urutan paritas

yang lebih tinggi seperti anak kelima, keenam dan seterusnya

ternyata kemungkinan untuk menderita gangguan gizi lebih

besar dibandingkan dengan anak 1,2,3,4.

2.3.6 Budaya

Budaya berperan dalam status gizi masyarakat karena ada

beberapa kepercayaan, seperti tabu mengkonsumsi makanan

tertentu oleh kelompok umur tertentu yang sebenarnya makanan

tersebut justru bergizi dan dibutuhkan oleh kelompok umur

tersebut (Departemen Gizi dan Kesmas, 2013). Misalnya tidak

boleh makan telur jika ada luka, karena akan menyebabkan

terjadinya pembusukan pada luka dan lain sebagainya.

Seharusnya telur merupakan sumber gizi yang tinggi kadar

proteinnya dan baik untuk penyembuhan luka (Marmi, 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Mubarak (2018) dengan judul

“Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Anak

Balita di Wilayah Pesisir Kecamatan Soropia” dikatakan budaya

berpengaruh terhadap kurang gizi seperti larangan memakan


34

sesuatu makanan tertentu bagi penganut suatu agama dan

norma-norma tertentu yang dianut oleh masyarakat setempat.

Pola kebudayaan ini mempengaruhi jenis pangan yang akan

diproduksi, diolah, disalurkan, disiapkan, dan yang disajikan.


35

2.3 Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan kerangka teori dalam bentuk bagan

yang disimpulkan dari kajian teori (Machfoedz, 2010).

Usia

Pendidikan
Faktor-Faktor Yang
Pengetahuan
Mempengaruhi Gizi Balita
Pekerjaan

Paritas

Budaya

Pengertian

Status Gizi
Klasifikasi Status Gizi
Balita

Kegunaan Zat Gizi

Penilaian Status Gizi

Pengertian

Anak Balita
Kebutuhan Zat Gizi Balita

Gambar 2.1
Kerangka Teori
(Sumber : Marmi, 2013. Marmi, 2014. Susilowati, 2016)
36

2.4 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah uraian yang menjelaskan hubungan

dan keterkaitan antar variabel penelitian (Saryono, 2017).

Variabel Independen Variabel Dependen

Faktor-faktor yang berhubungan


dengan status gizi balita : Status gizi balita :
a. Usia a. Gizi buruk = <-3,0 SD
b. Pendidikan b. Gizi kurang = -3,0 SD
c. Pengetahuan s/d <-2,0 SD
d. Pekerjaan c. Gizi baik = -2,0 SD s/d 2,0 SD
e. Paritas
f. Budaya

Gambar 2.2
Kerangka konsep
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Balita
di Posyandu Mekar Sari Wilayah Kerja Puskesmas
Wajok Hulu Kabupaten Mempawah
Tahun 2019

2.5 Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu penelitian yang harus

di uji kebenarannya (Notoatmodjo, 2010).

Ha : Ada hubungan antara faktor-faktor dengan status gizi balita


37

BAB III

METODELOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

deskriptif korelasi dengan pendekatan Cross Sectional. Cross

Sectional adalah penelitian dengan melakukan pengukuran atau

pengamatan pada variabel independen dan variabel dependen secara

bersamaan atau sekali waktu (Saryono, 2011).

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

3.2.1 Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2019

sampai Mei tahun 2019.

3.2.2 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Posyandu Mekar Sari Wilayah

Kerja Puskesmas Wajok Hulu Kabupaten Mempawah.

37
38

3.3 Kerangka Kerja

Kerangka kerja adalah kerangka yang menyatakan tentang

urutan langkah dalam melaksanakan penelitian.

Mendeskripsikan
faktor-faktor yang
berhubungan
dengan status gizi
balita :
a. Umur
b. Pendidikan
c. Pengetahuan
d. Pekerjaan
e. Paritas
f. Budaya

Melakukan Status Gizi Balita


Menentukan Faktor-faktor pengukuran/ d. Gizi buruk = <-
subjek yang pengamatan 3,0 SD
penelitian : berhubungan dengan e. Gizi kurang =
Ibu yang
dengan status kuesioner, -3,0 SD
mempunyai
gizi balita timbangan, s/d <-2,0 SD
balita
dan Stature f. Gizi baik = -2,0
SD s/d 2,0 SD
Meter.

Menganalisa :
a. Ada hubungan
antara faktor-
faktor dengan
status gizi balita
b. Tidak ada
hubungan
antara faktor-
faktor dengan
status gizi balita

Gambar 3.1
Kerangka Kerja
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Balita
di Posyandu Mekar Sari Wilayah Kerja Puskesmas
Wajok Hulu Kabupaten Mempawah
Tahun 2019
39

3.4 Variabel Penelitian

Menurut hubungan antara satu variabel dengan variabel yang

lain maka macam-macam variabel dalam penelitian dapat dibedakan

menjadi 2, yaitu :

a. Variabel Independen (variabel bebas)

Variabel bebas adalah merupakan variabel yang

mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau

timbulnya variabel dependen. Dalam penelitian ini variabel

independen meliputi : usia ibu, pendidikan ibu, pengetahuan ibu,

pekerjaan ibu, paritas, dan budaya.

b. Variabel Dependen (variabel terikat)

Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau

yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Variabel terikat

dalam penelitian ini merupakan Status Gizi Balita (Sugiyono, 2017).

3.5 Definisi Operasional

Definisi operasional dibuat untuk memudahkan pengumpulan

data dan menghindarkan perbedaan interpretasi serta membatasi

ruang lingkup variabel. Variabel yang dimasukkan dalam definisi

operasional adalah variabel kunci/penting yang dapat diukur secara

operasional dan dapat dipertanggungjawabkan (Saryono, 2017).


40

Tabel 3.1
Definisi Operasional
Skala
No Variabel D.O Alat ukur Hasil ukur Pengukur
an
1. Status Gizi Hasil dari Timbangan, 0 = Gizi buruk : <- Ordinal
keseimbangan Stature
antara makanan meter 3,0 SD
yang masuk ke (Pengukur 1 = Gizi kurang : -
dalam tubuh TB)
dengan 3,0 SD s/d <-
kebutuhan tubuh
akan zat gizi 2,0 SD
tersebut 2 = Gizi baik : -2,0
SD s/d 2,0 SD

2. Umur ibu Umur ibu pada Kuesioner 0 = Usia beresiko Ordinal


saat dilakukannya < 20 tahun
penelitian dan >35 tahun
berdasarkan 1 = Kurang
tahun tanggal beresiko 20-
lahir 35 tahun
3. Pendidikan Jenjang Kuesioner 0 = Rendah (SD) Ordinal
ibu pendidikan formal 1 = Menengah
tertinggi yang (SMP)
diselesaikan ibu 2 = Tinggi (SMA
pada saat atau lebih)
dilakukannya
penelitian
4. Pengetahuan Tingkat Kuesioner 0 = Kurang <56% Ordinal
Ibu penguasaan ibu 1 = Cukup 56-
dalam menjawab 75%,
tentang 2 = Baik >76%,
pertanyaan yang
diberikan seputar
gizi, ASI, dan
manfaat
makanan.
5. Pekerjaan Kegiatan yang Kuesioner 0 = Tidak bekerja Nominal
ibu dilakukan ibu 1 = Bekerja
untuk mencari
uang
6. Paritas Jumlah anak ibu Kuesioner 0 = Paritas Ordinal
dalam anggota beresiko 1 &
keluarga saat >4
dilakukannya 1 = Paritas
penelitian kurang
beresiko 2-4
7. Budaya Kebiasaan atau Kuesioner 0 =Mempengaruhi Nominal
adat istiadat ibu 1 = Tidak
dalam memilih Mempengaruhi
atau
41

mengkonsumsi
makanan

3.6 Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling

3.6.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan jumlah yang terdiri atas objek

atau subjek yang mempunyai karakteristik dan kualitas tertentu

(Sujarweni, 2014). Populasi pada penelitian ini adalah ibu

dengan balita yang berusia 1-5 tahun di Posyandu Mekar Sari

Wilayah Kerja Puskesmas Wajok Hulu Tahun 2019 sebanyak 38

balita.

3.6.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari sejumlah karakteristik yang

dimiliki oleh populasi yang digunakan untuk penelitian

(Surjarweni, 2014).

Apabila subjek penelitian kurang dari 100 lebih baik diambil

semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi

dan penelitian ini semua populasi dijadikan sampel penelitian

dengan jumlah populasi 38 balita.

3.6.3 Teknik Sampling

Teknik sampling adalah cara menentukan sampel yang

jumlahnya sesuai dengan ukuran sampel yang akan dijadikan

sumber data sebenarnya (Saryono, 2011).


42

Dalam penelitian ini, teknik sampling yang digunakan teknik

total sampling atau sampling jenuh adalah teknik penentuan

sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel

(Susila, 2014).

Kriteria inklusi dan eksklusi :

1) Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu

dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil

sebagai sampel sebelum penelitian. Kriteria inklusi dalam

penelitian ini adalah :

a) Ibu yang bersedia menjadi responden

b) Ibu dengan balita yang berumur 1 tahun sampai 5 tahun

c) Ibu dengan balita sehat yang datang ke posyandu untuk

timbang

d) Ibu yang bisa membaca dan menulis

2) Kriteria Eksklusi

a) Ibu yang tidak bersedia menjadi responden

b) Ibu yang tidak bisa membaca dan menulis

c) Ibu yang memiliki balita sakit

3.7 Pengumpulan Data, Pengolahan Data, dan Analisis Data

3.7.1 Pengumpulan Data

Menurut Suyanto dan Susila (2014) dilihat dari sumbernya,

data penelitian digolongkan menjadi dua, yaitu :


43

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari

subjek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau

alat pengambilan data langsung pada subjek sebagai sumber

informasi yang dicari. Data primer dalam penelitian ini, peneliti

menggunakan kuesioner, timbangan, dan Stature meter.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak

lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek

penelitiannya. Data sekunder dalam penelitian ini berupa

dokumen atau data laporan yang diambil dari puskemas

Wajok Hulu Kabupaten Mempawah.

3.7.2 Pengolahan data

Menurut Notoatmodjo (2012) pengolahan data terdiri dari :

a. Editing

Hasil wawancara atau angket yang diperoleh atau

dikumpulkan melalui kuesioner perlu disunting terlebih dahulu.

b. Coding

Setelah semua kuesioner diedit atau disunting

selanjutnya dilakukan pengkodean, yakni mengubah data


44

berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atau

bilangan.

c. Entry

Jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang

dalam bentuk kode dimasukkan ke dalam program atau

software komputer.

d. Cleaning

Apabila semua data dari setiap sumber data atau

responden selesai dimasukkan, perlu dicek kembali untuk

melihat kemungkinan-kemungkinan adanya kesalahan kode,

ketidaklengkapan, dan sebagainya

3.7.3 Analisis Data

a. Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau

mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian.

Analisa univariat digunakan untuk mengukur setiap variabel

penelitian dan dibuat dengan rumus sebagai berikut :

X
P= x
N

P = Presentase 100%

x = Jumlah jawaban yang benar

N = Jumlah seluruh total


45

Setelah data ditabulasi semuanya, di interprestasikan

untuk memudahkan pemecahan dengan menggunakan

kategori sebagai berikut :

0% : Tidak seorang dari responden

1-19 % : Sangat sedikit dari responden

20-39 % : Sebagian kecil dari responden

40-59 % : Sebagian dari responden

60-79 % : Sebagian besar responden

80-99 % : Hampir seluruh responden

100 % : Seluruh responden

b. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang

diduga berhubungan atau berkolerasi. Menurut Arikunto

(2010), Teknik analisa bivariat yang digunakan adalah uji Chi

Square ( x 2) dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

2
x = ∑ ¿¿

Keterangan :

x 2= Chi Square

f 0 = Frekuensi yang diperoleh dari sampel

f h = Frekuensi yang diharapkan dari sampel

Untuk memperoleh f h rumusnya adalah :

jumlah baris x jumlah kolom


jumlah semua
46

Untuk mencari x 2 tabel yaitu terlebih dahulu mencari nilai df :

df = (B – 1)(K – 1)

Keterangan :

df = Derajat kebebasan

B = Baris

K = Kolom

Pada pembahasan untuk mengetahui hasilnya yaitu :

Jika : x 2hitung > x 2 tabel maka Ho ditolak dan Ha diterima

tingkat kepercayaan 95% dan tingkat kesalahan 5% dengan

kriteria penolakan Ho ditolak jika R tabel lebih kecil dari r

hitung. Besarnya koefisien dapat digunakan untuk

memberikan penilaian tingkat kekuatan dua variabel.

Perhitungan pada penelitian ini dilakukan secara manual.

Untuk menjamin pendekatan yang memadai digunakan

aturan dasar yaitu frekuensi harapan tidak boleh terlalu kecil,

secara umum ada ketentuan dalam penggunaan uji Chi

Square :

a. tidak boleh ada sel yang mempunyai nilai harapan kecil dari

b. tidak lebih dari 20% sel mempunyai nilai harapan kecil dari

5.
47

Kalau ini ditemui didalam suatu tabel kontingensi, teknik

yang dianggap dapat menanggulangi permasalahan adalah

menggabungkan nilai dari sel yang kecil tadi kepada lainnya

(mengcollaps) sel. Artinya kategori dari variabel dikurangi

sehingga kategori yang nilai harapannya kecil dapat

digabungkan ke kategori lain.

3.8 Penyajian Data

Cara penyajian data dalam bentuk tabel, dimana penyajian ini

digunakan untuk data yang sudah diklasifikasi dan ditabulasi, serta

untuk memudahkan pembaca maka disajikan pula dalam bentuk

narasi.
48

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Tempat Penelitian

Puskesmas Wajok Hulu merupakan salah satu dari 14

Puskesmas yang ada di Kabupaten Mempawah yang alamatnya di Jl.

Raya Wajok Hulu Kecamatan Siantan, dimana wilayahnya meliputi

desa Wajok Hulu dan desa Wajok Hilir. Puskesmas Wajok Hulu

memiliki 21 posyandu balita yang terbagi di desa Wajok Hulu dan

Wajok Hilir.

Visi Puskesmas Wajok Hulu “Menjadikan Puskesmas dengan

Pelayanan Kesehatan yang Prima, Terjangkau dan Merata Menuju

Masyarakat yang Sehat dan Mandiri”.

Misi Puskesmas Wajok Hulu yaitu : memberikan pelayanan

kesehatan yang ramah, terjangkau, merata, dan bermutu,

mewujudkan perilaku hidup bersih dan sehat pada seluruh lapisan

masyarakat, menggalang kerjasama lintas program dan lintas sektor

untuk mewujudkan masyarakat yang sehat dan mandiri, dan

meningkatkan kualitas sumber daya yang mandiri secara

berkelanjutan.
49

Pelayanan yang ada di Puskesmas Wajok Hulu terdiri dari : Poli

Gigi, Poli umum, Poli MTBS, Poli KIA, Klinik Gizi, Klinik Sanitasi, dan

Ruangan Bersalin.

4.2 Hasil Penelitian


48
4.2.1 Hasil Analisis Univariat

Penelitian ini dilakukan di Posyandu Mekar Sari Wilayah

Kerja Puskesmas Wajok Hulu Tahun 2019 tentang Faktor-Faktor

yang Mempengaruhi Status Gizi Balita. Penelitian ini dilakukan

terhadap 38 responden yang memiliki balita usia 1-5 tahun,

namun pada saat dilakukannya penelitian hanya terdapat 31

responden, 1 responden menolak, dan 6 responden tidak datang

untuk menimbang anaknya bulan ini. Pengambilan data primer

dilakukan dengan menggunakan kuesioner, timbangan, dan

stature meter.

a. Status Gizi

Dapat dilihat pada tabel 4.1 dibawah ini. Distribusi

Status Gizi menunjukkan hampir seluruh responden yaitu 27

responden (87,1%) status gizinya baik, dan sangat sedikit

responden (6,5%) status gizinya buruk dan kurang.

Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status Gizi
Jumlah
No Status Gizi
N %
1. Buruk 2 6,5%
50

2. Kurang 2 6,5%
3. Baik 27 87,1%
Total 31 100%
Sumber : Data Olahan, 2019

b. Menurut Usia

Dapat dilihat pada tabel 4.2 dibawah ini. Distribusi

umur ibu menunjukkan bahwa sebagian besar responden

yaitu 21 responden (67,7%) berusia < 20 dan > 35 tahun.

Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Umur Ibu
Jumlah
No Umur
N %
1. < 20 dan > 35 Tahun 21 67,7%
2. 20 - 35 Tahun 10 32,2%
Total 31 100%
Sumber: Data Olahan, 2019

c. Menurut Pendidikan

Dapat dilihat pada tabel 4.3 dibawah ini. Distribusi

pendidikan terakhir ibu menunjukkan bahwa sebagian dari

responden yaitu 15 responden (48,4%) berpendidikan

tinggi (SMA), dan sangat sedikit dari responden yaitu 6

responden (19,4%) berpendidikan rendah (SD).

Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Pendidikan Ibu
No Pendidikan Jumlah
N %
1. Rendah 6 19,4%
2. Menengah 10 32,3%
3. Tinggi 15 48,4%
Total 31 100%
51

Sumber: Data Olahan, 2019

d. Menurut Pengetahuan

Dapat dilihat pada tabel 4.4 dibawah ini. Distribusi

pengetahuan ibu mengenai gizi menunjukkan bahwa

sebagian dari responden yaitu 14 responden (45,2%)

berpengetahuan cukup, dan sebagian kecil dari responden

yaitu 8 responden (25,8%) berpengetahuan kurang.

Tabel 4.4
Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Pengetahuan
No Pengetahuan Jumlah
N %
1. Kurang 8 25,8%
2. Cukup 14 45,2%
3. Baik 9 29,0%
Total 31 100%
Sumber: Data Olahan, 2019

e. Menurut Pekerjaan

Dapat dilihat pada tabel 4.5 dibawah ini. Distribusi

pekerjaan ibu menunjukkan bahwa hampir seluruh

responden yaitu 29 responden (93,5%) tidak bekerja.

Tabel 4.5
Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Pekerjaan
No Pekerjaan Jumlah
N %
1. Tidak Bekerja 29 93,5%
2. Bekerja 2 6,5%
Total 31 100%
52

Sumber: Data Olahan, 2019

f. Menurut Paritas

Dapat dilihat pada tabel 4.6 dibawah ini. Distribusi

paritas menunjukkan bahwa sebagian dari responden yaitu

17 responden (54,8%) jumlah anaknya 2 - 4 orang.

Tabel 4.6
Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Paritas
No Paritas Jumlah
N %
1. 1 dan > 4 14 45,2%
2. 2–4 17 54,8%
Total 31 100%
Sumber: Data Olahan, 2019

g. Menurut Budaya

Dapat dilihat pada tabel 4.7 dibawah ini. Distribusi

budaya menunjukkan bahwa sebagian dari responden

yaitu 17 responden (54,8%) budaya mempengaruhi.

Tabel 4.7
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Budaya
No Budaya Jumlah
N %
1. Tidak Mempengaruhi 14 45,2%
2. Mempengaruhi 17 54,8%
Total 31 100%
Sumber: Data Olahan, 2019
53

4.2.2 Hasil Analisis Bivariat

a. Hubungan Antara Usia Ibu Dengan Status Gizi Balita

Dari tabel 4.8 dibawah ini hasil analisis hubungan antara

usia dengan status gizi didapatkan hasil bahwa hampir seluruh

responden yaitu 20 responden (95,2%) berusia < 20 tahun dan

> 35 tahun status gizinya baik.

Setelah dianalisis dengan menggunakan statistical

product service solution (SPSS) dengan taraf signifikan

(a=0,05) didapatkan hasil dengan p value 0,083 (>0,05). Maka

dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara usia ibu

dengan status gizi balita.

Tabel 4.8
Hasil Distribusi Frekuensi Hubungan Antara Usia Ibu
Dengan Status Gizi Balita
Status Gizi
Usia Buruk Kurang Baik
Total P
F % F % F %
< 20 dan > 35 0 0 1 4,8 20 95,2 21
20 – 35 2 20 1 10 7 70 10 0,083
Jumlah 2 6,5% 2 6,5% 27 87,1% 31
Sumber : Uji Chi-Square dan Data Olahan, 2019

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan sel yang lebih

kecil dari 1 maka peneliti melakukan collaps sel sebagai

berikut:
54

Tabel 4.9
Hasil Distribusi Frekuensi Hubungan Antara Usia Ibu
Dengan Status Gizi Balita (Collaps) sel
Status Gizi
Usia Kurang Baik Total p
F % F %
< 20 dan > 35 1 4,8 20 95,2 21
20 – 35 3 30 7 70 10 0,083
Jumlah 6 13% 27 87% 31

Dari tabel 4.9 dapat diperoleh bahwa hampir seluruh

responden yaitu 20 responden (95,2%) berusia < 20 tahun dan >

35 tahun status gizinya baik. Dan dapat disimpulkan bahwa tidak

ada hubungan antara usia ibu dengan status gizi balita p value

0,083 (>0,05).

b. Hubungan Antara Pendidikan Terakhir Ibu Dengan Status Gizi

Balita

Dari tabel 4.10 dibawah ini hasil analisis hubungan antara

pendidikan terakhir ibu dengan status gizi didapatkan hasil bahwa

hampir seluruh responden yaitu 14 responden (93,3%)

berpendidikan tinggi (SMA) status gizinya baik, sedangkan sangat


55

sedikit dari responden yaitu 1 responden (16,7%) berpendidikan

rendah (SD) status gizinya buruk.

Setelah dianalisis dengan menggunakan statistical product

service solution (SPSS) dengan taraf signifikan (a=0,05)

didapatkan hasil dengan p value 0,583 (>0,05). Maka dapat

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan terakhir

ibu dengan status gizi balita.

Tabel 4.10
Hasil Distribusi Frekuensi Hubungan Antara Pendidikan Ibu
Dengan Status Gizi Balita
Status Gizi
Pendidikan Buruk Kurang Baik
Total p
F % F % F %
Rendah 1 16,7 0 0 5 83,3 6
Menengah 1 10 1 10 8 80 10
0,583
Tinggi 0 0 1 6,7 14 93,3 15
Jumlah 2 6,5% 2 6,5% 27 87,1% 31
Sumber : Uji Chi-Square dan Data Olahan, 2019

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan sel yang lebih

kecil dari 1 maka peneliti melakukan collaps sel sebagai

berikut:

Tabel 4.11
Hasil Distribusi Frekuensi Hubungan Antara Pendidikan Ibu
Dengan Status Gizi Balita (Collaps) sel
Status Gizi
Pendidikan Kurang Baik Total p
F % F %
Rendah 1 16,7 5 83,3 6
Menengah 2 20 8 80 10
0,583
Tinggi 1 6,7 14 93,3 15
Jumlah 4 13% 27 87% 31

Dari tabel 4.11 dapat diperoleh bahwa hampir seluruh

responden yaitu 14 responden (93,3%) berpendidikan tinggi


56

(SMA) status gizinya baik, sedangkan sangat sedikit dari

responden yaitu 1 responden (16,7%) berpendidikan rendah (SD)

status gizinya buruk. Dan dapat disimpulkan bahwa tidak ada

hubungan antara pendidikan ibu dengan status gizi balita p value

0,583 (>0,05).

c. Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Status Gizi Balita

Dari tabel 4.12 dibawah ini hasil analisis hubungan antara

pengetahuan dengan status gizi balita didapatkan hasil bahwa

hampir seluruh responden yaitu 12 responden (85,7%)

berpengetahuan cukup status gizinya baik, sedangkan sangat

sedikit dari responden yaitu 2 responden (14,3%) berpengetahuan

cukup status gizinya buruk.

Setelah dianalisis dengan menggunakan statistical product

service solution (SPSS) dengan taraf signifikan (a=0,05)

didapatkan hasil dengan p value 0,109 (>0,05). Maka dapat

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan

dengan status gizi balita.

Tabel 4.12
Hasil Distribusi Frekuensi Hubungan Antara Pengetahuan
Dengan Status Gizi Balita
Status Gizi
Pengetahua
Buruk Kurang Baik
Total p
n
F % F % F %
Kurang 0 0 0 0 8 100 8 0,109
Cukup 2 14,3 0 0 12 85,7 14
Baik 0 0 2 22,2 7 77,8 9
Jumlah 2 6,5 2 6,5% 27 87,1% 31
57

%
Sumber : Uji Chi-Square dan Data Olahan, 2019

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan sel yang lebih

kecil dari 1 maka :

Tabel 4.13
Hasil Distribusi Frekuensi Hubungan Antara Pengetahuan Ibu
Dengan Status Gizi Balita (Collaps) sel
Status Gizi
Pengetahuan Kurang Baik Total p
F % F %
Cukup 2 14,3 20 85,7 22
Baik 2 22,2 7 77,8 9 0,109
Jumlah 4 13% 27 87% 31

Dari tabel 4.13 dapat diperoleh bahwa hampir seluruh

responden yaitu 20 responden (85,7%) berpengetahuan cukup

status gizinya baik. Dan dapat disimpulkan bahwa tidak ada

hubungan antara pengetahuan ibu dengan status gizi balita

p value 0,109 (>0,05).

d. Hubungan Antara Pekerjaan Dengan Status Gizi Balita

Dari tabel 4.14 dibawah ini. Hasil analisis hubungan antara

pekerjaan dengan status gizi balita didapatkan hasil bahwa hampir

seluruh responden yaitu 26 responden (89,7%) tidak bekerja

status gizinya baik.


58

Setelah dianalisis dengan menggunakan statistical product

service solution (SPSS) dengan taraf signifikan (a=0,05)

didapatkan hasil dengan p value 0,034 (<0,05). Maka dapat

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pekerjaan ibu

dengan status gizi balita.

Tabel 4.14
Hasil Distribusi Frekuensi Hubungan Antara Pekerjaan
Dengan Status Gizi Balita
Status Gizi
Pekerjaan Buruk Kurang Baik Total P
F % F % F %
Tidak bekerja 1 3,4 2 6,9 26 89,7 29
Bekerja 1 50 0 0 1 50 2 0,034
Jumlah 2 6,5% 2 6,5% 27 87,1% 31
Sumber : Uji Chi-Square dan Data Olahan, 2019

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan sel yang lebih

kecil dari 1 maka peneliti melakukan collaps sel sebagai

berikut:

Tabel 4.15
Hasil Distribusi Frekuensi Hubungan Antara Pekerjaan Ibu
Dengan Status Gizi Balita (Collaps) sel
Status Gizi
Pekerjaan Buruk Baik Total p
F % F %
Tidak bekerja 1 3,4 28 96,6 29
Bekerja 1 50 1 50 2 0,034
Jumlah 2 6,5 29 87% 31

Dari tabel 4.15 dapat diperoleh bahwa hampir seluruh

responden yaitu 28 responden (96,6%) tidak bekerja status


59

gizinya baik. Dan dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara

pekerjaan ibu dengan status gizi balita p value 0,034 (<0,05).

e. Hubungan Antara Paritas Ibu dengan Status Gizi Balita

Dari tabel 4.16 dibawah ini hasil analisis hubungan antara

paritas dengan status gizi balita didapatkan hasil bahwa hampir

seluruh responden yaitu 16 responden (94,1%) jumlah anak 2 – 4

status gizinya baik.

Tabel 4.16
Hasil Distribusi Frekuensi Hubungan Antara Paritas
Dengan Status Gizi Balita
Paritas
Paritas Buruk Kurang Baik
Total p
F % F % F %
1 dan > 4 1 7,1 2 14,3 11 78,6 14
2–4 1 5,9 0 0 16 94,1 17 0,264
Jumlah 2 6,5% 2 6,5% 27 87,1% 31
Sumber : Uji Chi-Square dan Data Primer, 2019

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan sel yang lebih kecil

dari 1 maka peneliti melakukan collaps sel sebagai berikut:

Tabel 4.17
Hasil Distribusi Frekuensi Hubungan Antara Paritas
Dengan Status Gizi Balita (Collaps) sel
Paritas
Paritas Buruk Baik Total p
F % F %
1 dan > 4 1 7,1 13 92,9 14
2–4 1 5,9 16 94,1 17 0,264
Jumlah 2 6,5% 29 87,1% 31

Dari tabel 4.17 dapat diperoleh bahwa hampir seluruh responden

yaitu 16 responden (94,1%) jumlah anak 2 – 4 status gizinya baik. Dan


60

dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara paritas dengan

status gizi balita dengan p value 0,264 (>0,05).

f. Hubungan Antara Budaya Ibu dengan Status Gizi Balita

Dari tabel 4.18 dibawah ini hasil analisis hubungan antara

budaya dengan status gizi didapatkan hasil bahwa hampir

seluruh responden yaitu 14 responden (82,4%) budaya

responden yang tidak mempengaruhi status gizinya baik.

Setelah dianalisis dengan menggunakan statistical

product service solution (SPSS) dengan taraf signifikan

(a=0,05) didapatkan hasil dengan p value 0,414 (>0,05). Maka

dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara budaya

ibu dengan status gizi balita.

Tabel 4.18
Hasil Distribusi Frekuensi Hubungan Antara Budaya Ibu
Dengan Status Gizi Balita
Paritas
Budaya Buruk Kurang Baik
Total p
F % F % F %
Tidak 1 5,9 2 11,8 14 82,4 17
Mempengaruhi
0,414
Mempengaruhi 1 7,1 0 0 13 92,9 14
Jumlah 2 6,5% 2 6,5% 27 87,1% 31
Sumber : Uji Chi-Square dan Data Primer, 2019

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan sel yang lebih

kecil dari 1 maka peneliti melakukan collaps sel sebagai

berikut:

Tabel 4.19
Hasil Distribusi Frekuensi Hubungan Antara Budaya
Dengan Status Gizi Balita (Collaps) sel
Budaya Status Gizi Total p
Buruk Baik
61

F % F %
Tidak 1 5,9 16 94,1 17
mempengaruhi
0,414
Mempengaruhi 1 7,1 13 92,9 14
Jumlah 2 6,5 29 87% 31

Dari tabel 4.19 diperoleh bahwa hampir seluruh

responden yaitu 16 responden (94,2%) budaya responden tidak

mempengaruhi status gizinya baik. Dan dapat disimpulkan

bahwa tidak ada hubungan antara budaya ibu dengan status

gizi balita dengan p value 0,414 (>0,05).

4.3 Pembahasan

4.3.1 Hasil Penelitian Univariat

a. Menurut Status Gizi

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hampir seluruh

responden yaitu 27 responden (87,1%) status gizinya baik,

dan sangat sedikit dari responden (6,5%) status gizinya

buruk dan kurang.

Menurut Marmi dan Rahardjo (2014) status gizi adalah

suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan

antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Menurut Marmi

(2013) status gizi balita dapat dipantau dengan menimbang

anak setiap bulan dan dicocokkan dengan Kartu Menuju


62

Sehat (KMS) dimana ibu dapat memantau pertumbuhan dan

perkembangan balita setiap bulan.

Hal ini menunjukkan bahwa hampir seluruh responden

status gizinya baik yang menunjukkan bahwa responden

memperhatikan asupan makanan balitanya sejak usia 1 – 5

tahun, dan ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor misalnya

dari pengetahuan ibu tentang gizi seimbang pada balita,

jenjang pendidikan yang ibu tempuh, pengalaman dari orang

tua terdahulu, serta waktu yang ibu miliki untuk merawat

balitanya yang juga bisa mempengaruhi status gizi balita.

Namun, sangat sedikit responden memiliki balita yang status

gizinya buruk dan kurang, karena masih ada responden yang

kurang memperhatikan asupan makanan yang dikonsumsi

balita sejak usia 1 – 5 tahun. Selain itu, hal ini juga bisa

disebabkan berbagai faktor misalnya pengetahuan ibu akan

gizi atau makanan yang baik untuk dikonsumsi balita,

pengalaman ibu untuk memberi nutrisi yang baik pada balita,

dan waktu yang dibutuhkan untuk merawat dan

memperhatikan asupan balita.

b. Menurut Usia

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan sebagian

besar responden yaitu 21 responden (67,7%) berusia < 20


63

dan > 35 tahun, dan sebagian kecil dari responden yaitu 10

responden (32,2%) berusia 20 – 35 tahun.

Menurut Aliono (2017) usia ibu yang < 20 tahun akan

mempengaruhi status gizi pada balita karena ibu akan lebih

memperhatikan kepentingannya sendiri daripada anaknya

hal ini bisa disebabkan karena ibu belum memiliki

pengalaman dan belum siap secara mental untuk mengurus

anak, dan ibu yang berusia 20 – 35 tahun merupakan usia

yang sesuai bagi seorang wanita baik dari segi perawatan

dan pengasuhan anak maupun mental akan lebih baik dari

usia < 20 tahun, sedangkan ibu yang > 35 tahun akan

mengalami kesulitan dalam merawat dan mengasuh anak

karena ibu yang > 35 tahun perhatian untuk memberikan

nutrisi pada anak akan berkurang hal ini disebabkan faktor

usia ibu.

Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang

dilakukan Almusjawwir (2016) yang mengatakan bahwa

orang tua muda, terutama ibu, cenderung kurang

pengetahuan dan pengalaman dalam merawat anak

sehingga mereka umumnya merawat anak didasarkan pada

pengalaman orang tua terdahulu. Selain itu, faktor usia muda

juga cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih

memperhatikan kepentingannya sendiri dari pada


64

kepentingan anaknya, sehingga kuantitas dan kualitas

perawatan anaknya kurang terpenuhi.

c. Menurut Pendidikan

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan sangat sedikit

dari responden yaitu 6 responden (19,4%) berpendidikan

rendah (SD), dan sebagian kecil dari responden yaitu 10

responden (32,3%) berpendidikan menengah (SMP),

sedangkan sebagian responden yaitu 15 responden (48,4%)

berpendidikan tinggi (SMA).

Hal ini menunjukkan bahwa sebagian responden

memiliki pendidikan tinggi (SMA) sehingga dapat memenuhi

status gizi balita karena pendidikan ibu yang tinggi akan

menambah wawasan pengetahuan mengenai gizi dan jenis

makanan yang baik untuk dikonsumsi keluarga.

Hal ini sejalan dengan Marmi (2013) yang mengatakan

orang tua yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi akan

lebih memahami makanan dan memilih makanan yang baik

untuk anaknya.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Suryani (2017)

yang menyatakan bahwa pendidikan mempengaruhi status

gizi balita karena semakin tinggi pendidikan seorang ibu

maka semakin baik pengetahuan ibu terhadap gizi akan


65

mempengaruhi cara ibu memberikan makanan kepada

balitanya sehingga pemenuhan gizi balita akan terpenuhi.

d. Menurut Pengetahuan

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan sebagian kecil

dari responden yaitu 8 responden (25,8%) berpengetahuan

kurang, dan sebagian dari responden yaitu 14 responden

(45,2%) berpengetahuan cukup, dan sebagian kecil dari

responden yaitu 9 responden (29,0%) berpengetahuan baik.

Menurut Notoatmodjo (2010) yang mengatakan bahwa

sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui

mata dan telinga. Pengetahuan kognitif merupakan domain

yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang.

Penelitian yang dilakukan Suryani (2017)

mengungkapkan bahwa pengetahuan seorang ibu akan

mempengaruhi status gizi balitanya, dimana ibu yang tahu

bagaimana kebutuhan nutrisi bagi balitanya akan berusaha

memenuhi kebutuhan gizi balitanya sesuai dengan

pengetahuan yang dimilikinya. Dengan pengetahuan yang

ada seorang ibu akan mencoba berbagai variasi makanan

yang sesuai dengan kebutuhan balitanya dan berusaha

menggunakan berbagai trik supaya balitanya mau makan.

Hal ini menunjukkan bahwa sebagian dari responden

memiliki pengetahuan yang cukup dalam memenuhi status


66

gizi balita, dan pengetahuan yang dimiliki responden tidak

hanya bisa diperoleh dari jenjang pendidikan saja tapi juga

bisa di peroleh dari berbagai faktor misalnya rasa ingin tahu

mengenai gizi yang bisa di peroleh melalui penyuluhan

maupun konseling dengan petugas kesehatan, melalui

media massa serta informasi yang bisa didapatkan dari

teman, tetangga, dan keluarga.

e. Menurut Pekerjaan

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hampir seluruh

responden yaitu 29 responden (93,5%) tidak bekerja, dan

sangat sedikit dari responden yaitu 2 responden (6,5%)

bekerja.

Menurut Marmi (2013) pekerjaan adalah sesuatu yang

harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupan

keluarganya. Bekerja bagi ibu – ibu akan mempunyai

pengaruh terhadap kehidupan keluarga.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

Labada (2016) yang menyatakan bahwa partisipasi tenaga

kerja wanita berhubungan langsung dengan reduksi waktu

yang disediakan untuk menyusui anak dan merawat anak

sehingga mempunyai konsekuensi negatif terhadap gizi

anak.
67

Orang tua yang tidak bekerja akan memiliki waktu yang

banyak dalam memperhatikan, merawat dan memenuhi

kebutuhan keluarganya selain itu juga dapat mengawasi

secara langsung tumbuh kembang anaknya termasuk dalam

pemberian asupan nutrisi.

f. Menurut Paritas

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa

sebagian dari responden yaitu 17 responden (54,8%) jumlah

anaknya 2 - 4 orang.

Penelitian yang dilakukan Liswati (2018)

mengungkapkan bahwa paritas dikatakan tinggi bila

seseorang wanita melahirkan anak ke-4 atau lebih. Anak

dengan urutan paritas yang lebih tinggi seperti anak kelima,

keenam dan seterusnya ternyata kemungkinan untuk

menderita gangguan gizi lebih besar dibandingkan dengan

anak 1,2,3,4.

Memiliki anak yang terlalu banyak menyebabkan kasih

sayang yang diberikan pada anak akan berkurang jumlah

perhatian per anak juga akan menjadi berkurang dan kondisi

ini akan memperburuk jika status ekonomi keluarga

tergolong rendah, selain itu kebutuhan primer seperti pangan

dan sandang juga tidak terpenuhi sehingga berpengaruh

terhadap status gizi anak. Selain itu jarak anak yang terlalu
68

dekat juga akan mengakibatkan fokus ibu tidak baik

sehingga ibu akan kesulitan dalam membagi waktu dalam

mengurus anak.

g. Menurut Budaya

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan sebagian dari

responden yaitu 14 responden (45,2%) budaya tidak

mempengaruhi, dan sebagian dari responden yaitu 17

responden (54,8%) budaya mempengaruhi.

Menurut Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat

(2013) budaya berperan dalam status gizi masyarakat

karena ada beberapa kepercayaan, seperti tabu

mengkonsumsi makanan tertentu oleh kelompok umur

tersebut.

Penelitian yang dilakukan Mubarak (2018) menyatakan

bahwa budaya berpengaruh terhadap kurang gizi seperti

larangan memakan sesuatu makanan tertentu bagi penganut

suatu agama dan norma-norma tertentu yang dianut oleh

masyarakat setempat.

Di setiap tempat baik di perkotaan maupun di

perdesaan budaya/adat istiadat/kepercayaan tidak akan

pernah lepas dari kehidupan seseorang karena sebelum

adanya tenaga kesehatan atau pelayanan kesehatan, orang

terdahulu selalu mengikuti perkataan dan kebiasaan turun


69

temurun dari nenek moyang sehingga pada jaman sekarang

pun dengan banyaknya tenaga kesehatan dan pelayanan

kesehatan yang disediakan tetap saja masih ada masyarakat

yang percaya dengan budaya setempat. Namun seiring

berjalannya waktu dan berkembangnya teknologi dimana

masyarakat bisa memperoleh informasi melalui media massa

pola pikir masyarakat perlahan sudah mulai berubah

meskipun tetap saja tidak bisa sepenuhnya menghilangkan

budayanya sendiri.

4.3.2 Hasil Penelitian Bivariat

a. Hubungan Usia Ibu dengan Status Gizi Balita

Hasil penelitian didapatkan bahwa sangat sedikit dari

responden yaitu 1 responden (4,8%) berusia < 20 dan > 35

tahun status gizinya kurang, dan sebagian kecil dari

responden yaitu 3 responden (30%) berusia 20 – 35 tahun

status gizinya kurang, sedangkan hampir seluruh responden

yaitu 20 responden (95,2%) berusia < 20 dan > 35 tahun

status gizinya baik, dan sebagian besar responden yaitu 7

responden (70%) berusia 20 – 35 tahun status gizinya baik.


70

Dan dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara

usia ibu dengan status gizi balita p value 0,083 (>0,05).

Menurut Marmi (2013) usia akan mempengaruhi

kemampuan atau pengalaman yang dimiliki orang tua dalam

pemberian nutrisi anak balita.

Penelitian yang dilakukan Aliono (2017) mengatakan

bahwa usia ibu yang < 20 tahun secara fisik rahim belum

siap untuk hamil dan melahirkan serta secara mental ibu

belum siap untuk menerima kehamilannya dan pengalaman

ibu dalam mengasuh anak yang kurang. Sebaliknya jika usia

ibu > 35 tahun akan lebih sering mengalami kesulitan baik

dari segi mental maupun dari segi produktifnya. Sehingga

usia ibu yang pas bagi seorang wanita baik dari segi

perawatan dan reproduksi yaitu usia 20 – 35 tahun.

Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang

dilakukan Almusjawwir (2016) bahwa ada hubungan antara

usia ibu dengan status gizi balita dengan p value 0,038

dengan alasan semakin tua umur ibu, maka semakin baik

pula pengalamannya seperti dalam hal mampu mengelola

makanan sehingga status gizi anak balita baik dan dapat

terpenuhi.

Namun dari data memperlihatkan bahwa responden

dengan usia < 20 dan > 35 tahun yang seharusnya


71

menjadikan usia tersebut sebagai usia yang kurang produktif

untuk mengasuh balitanya namun menunjukkan bahwa

status gizi balitanya baik sedangkan usia 20 – 35 tahun yang

seharusnya menjadikan usia yang ideal untuk mengasuh dan

merawat balitanya menunjukkan bahwa hanya 7 responden

yang status gizi balitanya baik. Hal tersebut menunjukkan

bahwa usia bukan menjadi faktor yang mempengaruhi status

gizi balita karena pada hasil penelitian menunjukkan bahwa

usia ibu yang pas dan sesuai untuk mengasuh dan merawat

anaknya masih memliki balita status gizinya kurang, dan usia

dimana ibu seharusnya kesulitan dalam merawat dan

mengasuh anaknya tapi memiliki balita yang status gizinya

baik.

b. Hubungan Pendidikan Terakhir Ibu Dengan Status Gizi Balita

Hasil penelitian didapatkan bahwa sangat sedikit dari

responden yaitu 1 responden (16,7%) berpendidikan rendah

(SD) status gizinya kurang, dan sebagian kecil dari

responden yaitu 2 responden (20%) berpendidikan

menengah (SMP) status gizinya kurang, dan sangat sedikit

dari responden yaitu 1 responden (6,7%) berpendidikan

tinggi (SMA) status gizinya kurang, sedangkan hampir

seluruh responden yaitu 5 responden (83,3%) berpendidikan

rendah (SD) status gizinya baik, dan hampir seluruh


72

responden yaitu 8 responden (80%) berpendidikan

menengah (SMP) status gizinya baik, dan hampir seluruh

responden yaitu 14 responden (93,3%) berpendidikan tinggi

(SMA) status gizinya baik. Dan dapat disimpulkan bahwa

tidak ada hubungan antara pendidikan ibu dengan status gizi

balita p value 0,583 (>0,05).

Menurut Marmi (2013) orang tua yang memiliki tingkat

pendidikan yang tinggi akan lebih memahami makanan dan

memilih makanan yang baik untuk anaknya.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan Liswati (2016) bahwa tidak ada hubungan antara

pendidikan ibu dengan status gizi balita dengan p value0,276

karena seseorang yang hanya tamat sekolah dasar belum

tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi

persyaratan gizi dibandingkan orang lain yang pendidikannya

tinggi, karena sekalipun pendidikannya rendah jika orang

tersebut rajin mendengarkan penyuluhan gizi bukan mustahil

pengetahuan gizinya akan lebih baik.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryani

(2017) yang mengungkapkan bahwa ada hubungan antara

pendidikan dengan status gizi balita dengan p value0,019, hal

ini disebabkan karena semakin tinggi pendidikan seorang ibu

maka semakin baik pengetahuannya, semakin baik


73

pengetahuan ibu terhadap gizi akan mempengaruhi cara ibu

memberikan makanan kepada balitanya sehingga

pemenuhan gizi balita akan terpenuhi.

Namun dari data memperlihatkan bahwa tidak semua

ibu yang berpendidikan tinggi (SMA) status gizi balitanya

baik karena dari data yang didapatkan ibu yang

berpendidikan rendah (SD) yaitu 5 responden dan ibu yang

berpendidikan menengah (SMP) yaitu 8 responden status

gizinya baik bahkan ibu yang berpendidikan tinggi (SMA)

yaitu 1 responden status gizi balitanya kurang. Seharusnya

ibu yang memiliki pendidikan tinggi memiliki pengetahuan

dasar mengenai nutrisi yang baik untuk dirinya sendiri dan

balitanya, namun dari hasil penelitian memperlihatkan bahwa

pendidikan ibu tidak menjamin bahwa balitanya pasti

memiliki status gizi yang baik karena ibu yang hanya

menempuh jenjang pendidikan rendah (SD) dan menengah

(SMP) juga memungkinkan untuk memiliki balita yang status

gizinya baik. Hal ini disebabkan karena ibu yang

berpendidikan tinggi merasa jika pengetahuannya sudah

cukup untuk mengasuh balitanya sehingga enggan untuk

mengikuti dan mendengarkan penyuluhan. Sedangkan ibu

yang berpendidikan rendah sekalipun namun rajin mengikuti

dan mendengarkan penyuluhan akan baik pula


74

pengetahuannya, sehingga akan mempengaruhi dalam

pemberian makanan dan pemenuhan gizi balitanya.

c. Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan Status Gizi Balita

Hasil penelitian didapatkan bahwa sangat sedikit dari

responden yaitu 2 responden (14,3%) berpengetahuan

cukup status gizinya kurang, dan sebagian kecil dari

responden yaitu 2 responden (22,2%) berpengetahuan baik

status gizinya kurang, sedangkan hampir seluruh responden

yaitu 20 responden (85,7%) berpengetahuan cukup status

gizinya baik, dan sebagian besar responden yaitu 7

responden (77,8%) berpengetahuan baik status gizinya baik.

Dan dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara

pengetahuan ibu dengan status gizi balita p value 0,109

(>0,05).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan Almusjawwir (2016) yang menunjukkan bahwa

tidak terdapat hubungan antara pengetahuan dengan status

gizi balita dengan p value 0,600 karena pengetahuan gizi

dipengaruhi boleh beberapa faktor, diantaranya adalah

pendidikan yang pernah dijalani, faktor lingkungan sosial dan

frekuensi kontak dengan media massa.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan

oleh Suryani (2017) yang mengatakan bahwa ada hubungan


75

antara pengetahuan dengan status gizi balita dengan p value

0,000 dimana ibu yang tahu bagaimana kebutuhan nutrisi

bagi balitanya akan berusaha memenuhi kebutuhan gizi

balitanya sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.

Namun data memperlihatkan bahwa responden yang

berpengetahuan cukup yaitu 20 responden status gizinya

baik dan hanya 7 responden yang berpengetahuan baik

status gizinya baik bahkan 2 responden yang

berpengetahuan baik status gizinya kurang. Hal ini

menunjukkan bahwa ibu yang berpengetahuan baik tidak

menjamin ibu bisa memenuhi kebutuhan gizi balitanya dan

mampu menyusun menu makanan yang baik untuk balitanya

hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan ibu

khususnya mengenai gizi balita, sedangkan ibu yang

berpengetahuan cukup membuktikan bahwa ibu mampu

memberikan menu makanan yang baik untuk balitanya

sesuai dengan pengetahuan yang ibu miliki, hal ini

disebabkan karena rasa ingin tahu ibu tentang makanan

yang bergizi dimana informasi tersebut tidak hanya

didapatkan dari jenjang pendidikan saja tapi dari media

massa maupun dari lingkungan sosial ibu sendiri.

d. Hubungan Pekerjaan Ibu Dengan Status Gizi Balita


76

Hasil penelitian didapatkan bahwa sangat sedikit dari

responden yaitu 1 responden (3,4%) tidak bekerja status

gizinya buruk, dan sebagian dari responden yaitu 1

responden (50%) bekerja status gizinya buruk, sedangkan

hampir seluruh responden yaitu 28 responden (96,6%) tidak

bekerja status gizinya baik, dan sebagian dari responden

yaitu 1 responden (50%) bekerja status gizinya baik. Dan

dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara pekerjaan

ibu dengan status gizi balita p value 0,034 (<0,05).

Menurut Marmi (2013) pekerjaan adalah sesuatu yang

harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupan

keluarganya. Bekerja bagi ibu-ibu akan mempunyai

pengaruh terhadap kehidupan keluarga.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

Nurapriyanti (2015) yang mengatakan bahwa ada hubungan

antara pekerjaan dengan status gizi balita dengan p value

0,047 karena orang tua yang tidak bekerja cenderung

mempunyai banyak waktu untuk memperhatikan asupan

nutrisi anak. Sehingga pola konsumsi anak terhadap makan-

makanan yang dapat menyebabkan terjadinya malnutrisi

dapat dijaga dan lebih ketat terpantau oleh ibu.

Namun data penelitian memperlihatkan bahwa

responden yang tidak bekerja yaitu 28 responden status


77

gizinya baik meskipun terdapat 1 responden yang tidak

bekerja status gizinya buruk dan terdapat 1 responden yang

bekerja status gizinya buruk. Hal ini menunjukkan bahwa ibu

yang tidak bekerja akan memiliki waktu yang banyak dalam

memberikan kasih sayang, perhatian dan merawat balitanya

sehingga status gizi balitanya baik. Dan ibu juga dapat

melihat langsung bagaimana pertumbuhan dan

perkembangan balitanya. Sedangkan ibu yang bekerja akan

memiliki waktu yang sedikit untuk mengasuh dan merawat

balitanya karena besar kemungkinan saat ibu selesai bekerja

ibu kelelahan dan tidak bisa memperhatikan kebutuhan gizi

balitanya.

e. Hubungan Paritas Dengan Status Gizi Balita

Hasil penelitian didapatkan bahwa sangat sedikit dari

responden yaitu 1 responden (7,1%) jumlah anak 1 dan >4 status

gizinya buruk, dan sangat sedikit dari responden yaitu 1

responden (5,9%) jumlah anak 2 – 4 status gizinya buruk,

sedangkan hampir seluruh responden yaitu 13 responden (92,9%)

jumlah anak 1 dan > 4 status gizinya baik, dan hampir seluruh

responden yaitu 16 responden (94,1%) jumlah anak 2 – 4 status

gizinya baik. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan

antara paritas dengan status gizi balita dengan p value 0,264

(>0,05).
78

Penelitian yang sama pernah dilakukan Almusjawwir

(2016) bahwa tidak ada hubungan antara paritas dengan

status gizi balita dengan nilai p value 0,178.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryani

(2017) bahwa ada hubungan antara jumlah anak dengan

status gizi balita dengan p value 0,028 dimana jumlah anak

dapat mempengaruhi status gizi anak balita dalam rumah

tangga, karena jumlah anak yang semakin besar tanpa

diikuti oleh pendapatan akan memperburuk status gizi

keluarga secara keseluruhan

Namun data memperlihatkan bahwa responden dengan

paritas 2 – 4 yaitu 1 responden status gizinya buruk dimana

seharusnya jumlah ini jumlah yang ideal untuk ibu ditambah

jarak anak juga tidak dekat sehingga perhatian dan kasih

sayang yang diberikan juga tidak berkurang sedangkan

responden dengan paritas 1 dan > 4 yaitu 1 responden

status gizinya buruk hal ini menunjukkan bahwa ibu yang

memiliki jumlah anak yang banyak akan kesulitan dalam

merawat dan memenuhi gizi balitanya, ditambah jika

jaraknya terlalu dekat. Karena meskipun ekonomi keluarga

cukup namun perhatian yang diberikan akan terbagi dan

tidak semua anak akan mendapatkan perhatian yang sama.

Karena setiap anak memiliki nafsu makan yang berbeda dan


79

kondisi fisik yang berbeda pula, ditambah lagi jika salah satu

anak sedang sakit.

f. Hubungan Budaya Ibu dengan Status Gizi Balita

Hasil penelitian didapatkan bahwa sangat sedikit dari

responden yaitu 1 responden (5,9%) budaya responden

yang tidak mempengaruhi status gizinya buruk, dan sangat

sedikit dari responden yaitu 1 responden (7,1%) budaya

responden mempengaruhi status gizinya buruk, sedangkan

hampir seluruh responden yaitu 16 responden (94,2%)

budaya responden yang tidak mempengaruhi status gizinya

baik, dan hampir seluruh responden yaitu 13 responden

(92,9%) budaya responden mempengaruhi status gizinya

baik. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan

antara budaya ibu dengan status gizi balita dengan p value

0,414 (>0,05).

Budaya berperan dalam status gizi masyarakat karena

ada beberapa kepercayaan, seperti tabu mengkonsumsi

makanan tertentu oleh kelompok umur tertentu yang

sebenarnya makanan tersebut justru bergizi dan dibutuhkan

oleh kelompok umur tersebut (Departemen Gizi dan Kesmas,

2013).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan Mubarak (2018) bahwa tidak ada hubungan antara


80

budaya kebiasaan makan dengan status gizi balita dengan

p value0,097.

Namun data memperlihatkan bahwa 1 responden

dimana budaya tidak mempengaruhi status gizi balitanya

buruk padahal seharusnya budaya yang tidak mempengaruhi

akan memberikan kesempatan bagi ibu untuk memberikan

makanan yang baik dan bervariasi untuk balitanya namun

masih saja terdapat balita yang gizinya buruk dan ini

membuktikan bahwa tidak hanya budaya yang

mempengaruhi status gizi balita. Sedangkan 13 responden

dimana budaya mempengaruhi status gizi balitanya baik

meskipun pada dasarnya budaya atau kepercayaan tidak

akan pernah hilang dalam kehidupan seseorang karena

merupakan tradisi yang turun - temurun, namun hal ini

membuktikan bahwa ibu bisa memenuhi kebutuhan dan

memberikan menu makanan yang baik untuk balitanya

sehingga membantu pertumbuhan dan perkembangannya.

Jadi seharusnya jika terdapat budaya yang

mempengaruhi ibu dalam memberikan nutrisi pada balitanya

dan membuat ibu sulit dalam memberikan makanan, ibu

sebaiknya lebih kritis dalam menerima tradisi tersebut dan

sebaiknya ibu langsung menanyakan langsung apabila ada

suatu hal yang ibu anggap bertentangan kepada tenaga


81

kesehatan sehingga informasi yang ibu dapatkan baik dari

orang tua terdahulu maupun oleh tenaga kesehatan bisa

diterima dengan baik.

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah

dikemukakan sebelumnya maka kesimpulan yang dapat peneliti

kemukakan adalah sebagai berikut :

1. Hasil Univariat

a. Umur ibu menunjukkan bahwa sebagian besar responden yaitu

21 responden (67,7%) berusia < 20 dan > 35 tahun.

b. Pendidikan terakhir ibu menunjukkan bahwa sebagian dari

responden yaitu 15 responden (48,4%) berpendidikan tinggi

(SMA).
82

c. Pengetahuan ibu mengenai gizi menunjukkan bahwa sebagian

dari responden yaitu 14 responden (45,2%) berpengetahuan

cukup.

d. Pekerjaan ibu menunjukkan bahwa hampir seluruh responden

yaitu 29 responden (93,5%) tidak bekerja.

e. Paritas menunjukkan bahwa sebagian dari responden yaitu 17

responden (54,8%) jumlah anaknya 2 - 4 orang.

f. Budaya menunjukkan bahwa sebagian dari responden yaitu 17

responden (54,8%) budaya tidak mempengaruhi.

2. Hasil Bivariat
81
a. Tidak ada hubungan yang signifikan antara usia ibu dengan

status gizi balita dengan p value yaitu 0,083 ( p>0,05 ¿ .

b. Tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu

dengan status gizi dengan p value yaitu 0,583 ( p>0,05 ¿ .

c. Tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu

dengan status gizi balita dengan p value yaitu 0,109 ( p>0,05 ¿ .

d. Ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan ibu dengan

status gizi balita dengan p value yaitu 0,034 ( p<0,05 ¿ .

e. Tidak ada hubungan yang signifikan antara Paritas dengan

status gizi balita dengan p value yaitu 0,264 ( p>¿ 0,05).


83

f. Tidak ada hubungan yang signifikan antara Budaya dengan

status gizi balita dengan p value yaitu 0,414 ( p>0,05 ¿.

1.2 Saran

Dalam penelitian ini, peneliti masih menemukan berbagai

keterbatasan penelitian, diantaranya adalah jumlah buku-buku

kepustakaan yang masih sedikit terkait judul penelitian dan jumlah

sampel yang cenderung sedikit serta waktu yang terbatas. Oleh sebab

itu peneliti menyarankan :

1. Bagi Masyarakat

Dengan dilakukannya penelitian ini masyarakat akan lebih

memahami dan aktif untuk mencari tahu mengenai masalah gizi

dan hal – hal yang berkaitan dengan gizi pada anak balitanya

sehingga kejadian status gizi buruk maupun kurang tidak terjadi

lagi.

2. Bagi Puskesmas Wajok Hulu

Berdasarkan data - data dan hasil penelitian yang

didapatkan dari penelitian ini maka selanjutnya penilaian status gizi

tidak hanya dilaksanakan di klinik gizi tapi juga dilakukan di

posyandu, serta memberikan bimbingan konsultasi gizi terhadap

ibu balita secara langsung.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Perlu penelitian lebih lanjut lagi mengenai faktor- faktor yang

berhubungan dengan status gizi anak balita, karena masih banyak


84

balita yang tidak bisa dijadikan sampel penelitian diakibatkan

terbatasnya waktu, maka dari itu untuk peneliti selanjutnya agar

menggunakan sampel yang lebih besar.

Anda mungkin juga menyukai