SKRIPSI
Oleh :
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Masa balita adalah usia penting untuk pertumbuhan fisik. Pertumbuhan pada
anak balita begitu pesat maka memerlukan asupan zat gizi yang sesuai dengan
kebutuhannya. Asupan zat gizi yang tidak memenuhi kebutuhan balita akan
menyebabkan kekurangan gizi hingga kegagalan nutrisi atau malnutrisi. Balita yang
mengalami kegagalan nutrisi dalam jangka waktu yang lama berisiko mengalami
yang diukur berdasarkan tinggi badan menurut umur. Batasan stunting menurut
World Health Organization yaitu tinggi badan tidak sesuai dengan umur atau
World Health Organization (WHO, 2017) mendapatkan kurang lebih 150,8 juta
pertumbuhannya. Kejadian stunting pada balita lebih sering mengenai balita pada
usia 12-59 bulan dibandingkan balita usia 0-24 bulan. Sekitar 162 juta anak balita
tinggi kejadian stunting. Lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari Asia
(55%), sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) berasal dari Afrika. Dari 84.6 juta
balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan (58,7%) dan
proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%). Data prevalensi balita stunting yang
dikumpulkan oleh WHO (2018), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan
2
prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR).
(Kementerian Kesehatan RI, 2018 dan Wiliyanarti, Israfil dan Ruliati, 2020)
(UNICEF, 2009) Stunting (pendek) atau kurang gizi kronik adalah suatu bentuk
lain dari kegagalan pertumbuhan dan perkembangan. Anak balita yang mengalami
sebenarnya tinggi badannya lebih pendek dari tinggi badan normal yang dimiliki
anak seusianya. Stunting merupakan proses kumulatif dan disebabkan oleh asupan
zat-zat gizi yang tidak tercukupi dan atau terjadi penyakit infeksi yang berulang
pada anak. Stunting dapat juga terjadi sebelum kelahiran dan disebabkan oleh
asupan gizi pada Ibu yang sangat kurang saat masa kehamilan, pola asuh makan
yang sangat kurang, rendahnya kualitas makanan sejalan dengan frekuensi infeksi
Hasil dari data Pemantauan Status Gizi (PSG, 2018) dalam 3 tahun terakhir,
lainnya seperti gizi kurus, gizi kurang dan gizi gemuk. Permasalahan stunting
adalah masalah baru yang berpengaruh buruk pada masalah gizi di Indonesia,
karena berpengaruh pada fisik dan fungsional tubuh balita serta meningkatkan
angka kesakitan dan kematian anak di dunia. Dalam penelitian Global Nutrition
Report tahun 2014 menyebutkan dari 117 negara yang dilakukan penelitian,
gizi pada balita yaitu stunting (37,2%), wasting (12,1%) dan overweight (11,9%)
9
Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah stunting dalam jangka
gangguan metabolisme dalam tubuh anak. Sedangkan dalam jangka panjang yang
anak, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan risiko tinggi untuk
darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua, serta kualitas kerja yang tidak
stunting akan melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah, yang kemudian
berkontribusi dalam siklus malnutrisi dalam kehidupan. Anak yang lahir dari ibu
dengan tinggi badan kurang dari 145 cm cenderung melahirkan bayi pendek lebih
banyak (42,2%) dibandingkan kelompok ibu dengan tinggi badan normal ≥145
(36%). Menurut penelitian yang dilakukan di Ghana dengan sampel anak berusia
dibawah lima tahun menunjukan bahwa anak yang memiliki Ibu dengan tinggi
Organization, 2013; Kementrian Kesehatan RI, 2020; Ali, Zakari, Saaka, Adams,
Kusumawardani Nunik, Besral Besral, Jahari Abas Basuni, Achadi Endang. 2017)
adalah Berat bayi lahir rendah, pemberian ASI eksklusif dan pendapatan keluarga
yang rendah. Pernyataan ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Ni’mah &
10
Puskesmas Tanah Kali Kedinding Surabaya pada sampel sebanyak 34 balita
Nadhiroh, 2015)
adalah tersedianya data prevalensi stunting pada balita hingga level kabupaten/
nasional hingga daerah. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan data
pada tahun 2019 dilaksanakan Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI).
adalah Nusa Tenggara Timur yaitu sebesar 43,82%, setelah itu Sulawesi Barat
sebesar 40,38% dan Nusa Tenggara Barat sebesar 37,85%. Sementara itu,
Gorontalo berada pada urutan ke-4 dengan estimasi prevalensi stunting yaitu
Jika dilihat dari data pemantauan status gizi atau PSG Kementerian
11
Kabupaten Kota Gorontalo menempati urutan pertama yaitu sebesar 36,2%,
sebesar 32,4%, Kabupaten Gorontalo Utara sebesar 27,4 dan Kabupaten Bone
Data pada tahun 2019, menunjukkan bahwa dari 6 kabupaten yang ada di
Pada tahun 2020, Kabupaten Bone Bolango berstatus zona merah sesuai
keempat wilayah kerja Puskesmas Bulango Selatan dengan persentasi 21,90 dan
yang kelima di wilayah kerja Puskesmas Bulango Ulu dengan persentasi 21,85%
12
hematnya waktu menuju wilayah kerja Puskesmas Ulanta, dekatnya
dari koordinator gizi Puskesmas Ulanta dalam rentang waktu sejak bulan April-
September tahun 2021, terdapat 69 balita yang berusia 1-59 bulan terdaftar
sangat pendek sebanyak 19 balita. Dari hasil observasi dan wawancara peneliti
secara langsung dengan 15 orang tua dari balita yang berusia 1-59 bulan dengan
kategori pendek sebanyak 10 anak dan 5 anak kategori sangat pendek. Didapatkan
bahwa 2 (1 anak kategori pendek dan 1 sangat pendek) dari 3 Ayah yang memiliki
pendek) dari 12 Ibu memiliki tinggi <145cm. Dalam berat badan lahir anak hanya
terdapat 2 (anak kategori pendek) dari 15 balita yang memiliki berat badan lahir
rendah dan 13 balita (8 anak kategori pendek dan 5 anak sangat pendek) memiliki
berat badan lahir normal. Dalam pemberian ASI eksklusif hanya terdapat 1 (anak
kategori pendek) dari 15 Ibu yang memberikan ASI secara eksklusif dan 14 Ibu
lainnya (10 anak kategori pendek dan 4 sangat pendek) sudah memberikan susu
terdapat 6 (3 anak katgeori pendek dan 3 sangat pendek) dari 15 orangtua yang
dan 9 orangtua (5 anak kategori pendek dan 4 sangat pendek) lainnya masih
13
dibawah upah minimum provinsi. (Data Primer & Sekunder: Puskesmas Ulanta,
2021)
1. Pada tahun 2019 Gorontalo menjadi urutan ke-4 dengan angka prevalensi
Bone Bolango berada di posisi urutan terakhir kabupaten yang memiliki jumlah
stunting.
2. Pada tahun 2019, Kabupaten Bone Bolango berstatus zona merah dengan
3. Pada tahun 2020, telah ditetapkan 27 desa lokasi kasus stunting yang terbagi di
Puskesmas Bulango Selatan 21,90 dan wilayah kerja Puskesmas Bulango Ulu
21,85%.
4. Data sekunder yang didapatkan dari koordinator gizi Puskesmas Ulanta dalam
rentang waktu sejak bulan Januari-Agustus tahun 2021, terdapat 70 balita yang
berusia 1-59 bulan terdaftar stunting dengan 2 kategori yaitu pendek sebanyak
5. 15 orang tua dari balita yang berusia 1-59 bulan dengan kategori pendek
anak kategori pendek dan 1 sangat pendek) dari 3 Ayah yang memiliki tinggi
dari 12 Ibu memiliki tinggi <145cm. Dalam berat badan lahir anak hanya
14
terdapat 2 (anak kategori pendek) dari 15 balita yang memiliki berat badan
lahir rendah dan 13 balita (8 anak kategori pendek dan 5 anak sangat pendek)
memiliki berat badan lahir normal. Dalam pemberian ASI eksklusif hanya
terdapat 1 (anak kategori pendek) dari 15 Ibu yang memberikan ASI secara
eksklusif dan 14 Ibu lainnya (10 anak kategori pendek dan 4 sangat pendek)
dengan upah minimum provinsi dan 9 orangtua (5 anak kategori pendek dan 4
sangat pendek) lainnya masih di bawah upah minimum provinsi. (Data Primer
masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian ini yaitu : apakah faktor
Tinggi badan Ayah/Ibu, Berat badan lahir anak, pemberian ASI eksklusif dan
pendapatan keluarga berhubungan dengan kejadian stunting pada balita usia 1-59
15
1. Menganalisis hubungan tinggi badan Ayah/Ibu dengan kejadian
Balita.
16
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi dan kajian
BAB II
Tinggi badan rendah dibanding usianya adalah stunting. Hal ini terjadi
karena kekurangan gizi kronis atau kekurangan gizi berulang, biasanya terkait
17
dengan kondisi sosial ekonomi yang buruk akibat dari pendapatan yang rendah,
kesehatan dan gizi Ibu yang buruk, penyakit yang sering terjadi, dan atau bayi
yang terlalu kecil dan belum pantas diberi makan dan perawatan anak di awal
2018).
Anak balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh
banyak faktor seperti kondisi pendapatan keluarga kurang, gizi Ibu saat hamil,
kesakitan pada bayi dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita stunting di
yang kurang dari normal berdasarkan usia dan jenis kelamin. Tinggi badan
gizi seseorang. Stunting merupakan akibat dari malnutrisi kronis yang sudah
18
dapat juga mengalami gangguan akibat malnutrisi berkepanjangan seperti
pemberian intervensi paling menentukan pada 1.000 HPK (1000 Hari Pertama
berikut :
melahirkan bayi yang pendek juga, karena Ibu melahirkan sebelum proses
tinggi badan sewaktu hamil yang sudah >145 cm dan berat badan >45kg,
tinggi badan atau berat badan. Adanya pengaruh genetik terhadap kejadian
familial short stature (perawakan pendek keluarga). Tinggi badan orang tua
10
maupun pola pertumbuhan orang tua merupakan kunci untuk mengetahui
pola pertumbuhan anak. Faktor genetik tidak tampak saat lahir namun akan
pertumbuhan normal, usia tulang normal, tinggi badan orang tua atau salah
satu orang tua pendek dan tinggi di bawah persentil 3 (Trihono et. al, 2015;
bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Anak-anak dengan berat
badan saat lahir <2500 gram, menyebabkan prevalensi pendek lebih banyak
dibandingkan dengan anak yang lahir normal dan lahir dengan berat badan
>4000 gram. Ini berarti kejadian double burden (beban ganda) sudah mulai
nampak pada bayi saat lahir. Akibatnya, pertumbuhan bayi pendek selalu
panjang bayi. Menjaga bayi dengan lahir normal menjadi sangat penting,
agar status gizi bisa menjadi lebih baik (Trihono et. al, 2015 & Direktorat
Riwayat BBLR merupakan faktor risiko stunting pada anak 1-2 th.
akut. Stunting sendiri terutama disebabkan oleh malnutrisi yang lama. Bayi
yang lahir dengan berat badan kurang dari normal (<2500 gram) masih
11
memiliki panjang badan normal pada waktu dilahirkan. Stunting baru akan
terjadi beberapa bulan kemudian, walaupun hal ini sering tidak disadari
terlihat anak lebih pendek dibanding teman-temannya. Oleh karena itu anak
yang lahir dengan berat badan kurang atau anak yang sejak lahir berat
risiko menjadi stunting (Trihono et. al, 2015; Candra, 2020; Direktorat
3. ASI eksklusif
(ASI) merupakan makanan utama bagi bayi. Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
menyampaikan bahwa ASI adalah yang terbaik buat sang bayi. ASI
Namun di Indonesia, terdapat 60% dari anak usia 0-6 bulan tidak
mendapatkan ASI eksklusif. Gagalnya pemberian air susu ibu (ASI) yang
eksklusif, dan proses penyapihan dini dapat menjadi salah satu faktor
terjadinya stunting. Oleh karena itu, kuantitas dan kualitas ASI tidak boleh
kurang. Kualitas dan kuantitas ASI sangat tergantung pada asupan gizi ibu
12
menyusui. (Trihono et. al, 2015; Direktorat Jenderal Informasi dan
4. Pendapatan keluarga
rendah pada umumnya memiliki masalah dalam hal akses terhadap bahan
makanan terkait dengan daya beli yang rendah. (Trihono et. al, 2015 &
Candra, 2020)
stunting akan berdampak dan dikaitkan dengan proses kembang otak yang
lebih baik (Trihono et. al, 2015; Candra, 2020 & Direktorat Jenderal
makanan yang kurang bergizi dan seringkali tidak beragam. Dalam jangka
13
menjadi ibu yang kurang gizi (Trihono et. al, 2015; Candra, 2020 &
Asupan gizi pada WUS (wanita usia subur) yang berisiko KEK
berat badan yang ideal saat hamil. Pada Ibu hamil, asupan kalori sangat
penting terutama pada Ibu hamil yang berusia <20 tahun karena sangat
beresiko terjadi KEK. Sedangkan untuk Ibu hamil KEK sudah ada program
Standar Produk Suplementasi Gizi (Trihono et. al, 2015 & Candra, 2020)
kebutuhan zat gizi saat hamil. Sedangkan dari sisi pemberian makanan
seperti akses sanitasi dan air bersih. Faktor kebersihan dan kesehatan
14
lingkungan berpengaruh terhadap kejadian stunting. Perbaikan akses
sanitasi dan penyediaan air bersih akan menurunkan masalah pendek pada
bakar padat dan mikotoksin bawaan pada makanan sebagai faktor risiko
anak (Trihono et. al, 2015; Candra, 2020 & Direktorat Jenderal Informasi
7. Riwayat infeksi
Pengurangan status gizi terjadi karena asupan gizi yang kurang dan sering.
infeksi berpengaruh pada status gizi balita (Trihono et. al, 2015; Direktorat
Masalah gizi pada anak balita tidak mudah dikenal oleh pemerintah, atau
masyarakat bahkan keluarga karena anak tidak tampak sakit. Terjadinya kurang
15
gizi tidak selalu didahului oleh terjadinya bencana kurang pangan dan
kelaparan seperti kurang gizi pada dewasa. Hal ini berarti dalam kondisi
pangan melimpah masih mungkin terjadi kasus kurang gizi pada anak balita.
atau tinggi badan sebesar < 2 Z-score atau lebih menurut buku rujukan
berlangsung lama (misalnya infeksi dan asupan makanan yang buruk), yang
kemudian tidak terimbangi oleh catchup growth (kejar tumbuh). Dampak dari
kekurangan gizi pada awal kehidupan anak akan berlanjut dalam setiap siklus
hidup manusia. Wanita usia subur (WUS) dan Ibu hamil yang mengalami
kekurangan energi kronis (KEK) akan melahirkan bayi dengan berat badan
lahir rendah (BBLR). BBLR ini akan berlanjut menjadi balita gizi kurang
belajar anak, menurunnya kekebalan tubuh sehingga anak mudah sakit, dan
dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua.
16
Kesemuanya itu akan menurunkan kualitas sumber daya manusia
2.1.5 Balita
1. Pengertian Balita
yang berada dalam rentan usia tertentu. Usia balita dapat dikelompokkan
menjadi tiga golongan yaitu golongan usia bayi (0-2 tahun), golongan batita
(2-3 tahun) dan golongan prasekolah (>3-5 tahun). Adapun menurut WHO,
memperoleh status gizi yang baik. Status gizi balita dapat dipantau dengan
penimbangan anak setiap bulan dan dicocokkan dengan Kartu Menuju Sehat
a. Energi
b. Protein
17
tinggi badan anak yang tercermin dari panjang atau tinggi badan.
Disarankan ± 2,5-3 g/kg BB bagi bayi dan 1,5-2 g/kg BB bagi anak
c. Lemak
Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi atau AKG (2013), lemak pada balita
usia 1-3 tahun, ± 44 g/ kg BB dan balita usia 4-6 tahun, ±62 g/kg BB.
(Herliafifah, 2021).
d. Karbohidrat
waktu lebih lama untuk dicerna dan membuat anak lebih cepat kenyang.
badan dan panjang/ tinggi badan dengan Standar Antropometri Anak. Standar
Child Growth Standard untuk anak usia 0-5 tahun (Kementrian Kesehatan RI.
2020)
18
masyarakat. Pengukuran antropometri dapat dilakukan oleh siapa saja dengan
yang tepat, akurat karena memiliki ambang batas dan rujukan yang pasti,
dengan umur anak. Indeks ini digunakan untuk menilai anak dengan berat
sangat gemuk. Penting diketahui bahwa seorang anak dengan BB/U rendah,
diintervensi.
2. Indeks Panjang Badan menurut Umur atau Tinggi Badan menurut Umur
yang disebabkan oleh gizi kurang dalam waktu lama atau sering sakit.
19
biasanya disebabkan oleh gangguan endokrin, namun hal ini jarang terjadi
di Indonesia.
Anak dengan PB/U atau TB/U dibawah minus dua standar deviasi (<-
2SD) adalah anak dengan perawakan pendek (short stature). Anak ini wajib
PB/U atau TB/U terletak di atas tiga standar deviasi (> +3 SD), artinya anak
berperawakan tinggi dan perlu dirujuk ke fasyankes yang lebih tinggi untuk
anak yang sangat tinggi menurut umurnya sedangkan tinggi orang tua
normal).
BB/TB)
buruk (severely wasted) serta anak yang memiliki risiko gizi lebih (possible
dan kekurangan asupan gizi yang baru saja terjadi (akut) maupun yang telah
kurang, gizi baik, berisiko gizi lebih, gizi lebih dan obesitas. Grafik IMT/U
dan grafik BB/PB atau BB/TB cenderung menunjukkan hasil yang sama.
Namun indeks IMT/U lebih sensitif untuk penapisan anak gizi lebih dan
20
obesitas. Anak dengan ambang batas IMT/U >+1SD berisiko gizi lebih
sehingga perlu ditangani lebih lanjut untuk mencegah terjadinya gizi lebih
21
2.2 Kajian Penelitian Relevan
JUDUL JUMLAH
NO NAMA PENELITI VARIABEL PENELITIAN METODE PENELITIAN
PENELITIAN RESPONDEN
Nadia Nabila Larasati Faktor - Faktor Yang Independen : - Jenis Penelitian: 152 sampel, terbagi 2
1. (2018) Berhubungan Dengan 1. Tinggi badan Ibu Case control kelompok :
Kejadian Stunting 2. Tingkat pendidikan Ibu - Teknik pengambilan 1. 76 sampel kontrol
Pada Balita Usia 25- 3. Status ekonomi sampel yaitu dengan 2. 76 sampel kasus
59 Bulan Di Posyandu 4. Pemberian ASI eksklusif simple random sampling.
Wilayah Puskesmas 5. Berat bayi lahir
Wonosari II Tahun 6. Jenis kelamin
2017 Dependen :
Kejadian Stunting
Venny Marisai Kullu, Faktor - Faktor Yang Independen: - Jenis penelitian ini adalah 80 sampel
2. Yasnani, dan Hariati Berhubungan Dengan 1. Pola Asuh Ibu observasional analitik
Lestari (2018) Kejadian Stunting 2. Riwayat penyakit infeksi - Teknik pengambilan
Pada Balita Usia 24- 3. Rangsangan psikososial sampel yaitu dengan
59 Bulan Di Desa Dependen : Exhaustive Sampling
Wawatu Kecamatan Kejadian Stunting
Moramo Utara
Kabupaten Konawe
Selatan Tahun 2017
22
Wiwin Barokhatul
Faktor yang Independen: - Jenis penelitian ini, yaitu 76 sampel
3. Maulidah, Ninnaberhubungan dengan 1. Tingkat konsumsi energi, analitik observasional
Rohmawati, dankejadian stunting pada protein, zink dan kalsium. - Teknik pengambilan
Sulistiyani (2019) balita di Desa 2. Riwayat penyakit kronis. sampel menggunakan
Panduman Kecamatan 3. Riwayat BBLR teknik simple random
Jelbuk Kabupaten Dependen: sampling.
Jember Kejadian Stunting
Eko Setiawan, Faktor-Faktor yang Independen: - Jenis penelitian ini adalah 74 sampel
4. Rizanda Machmud, Berhubungan dengan 1. Tingkat asupan energi studi analitik
dan Masrul (2018) Kejadian Stunting 2. Riwayat durasi penyakit observasional
pada Anak Usia 24-59 infeksi - Teknik pengambilan
Bulan di Wilayah 3. Berat Lahir Bayi sampel simple random
Kerja Puskesmas 4. Tingkat pendidikan Ibu sampling.
Andalas Kecamatan 5. Tingkat ekonomi
Padang Timur, Kota Dependen:
Padang Tahun 2018 Kejadian Stunting
23
Berdasarkan ke empat jurnal pada tabel kajian penelitian relevan tersebut di
atas, perbedaan penelitian ini dengan ke empat penelitian tersebut dapat dilihat dari
Responden.
simple random sampling pada 152 responden. Penelitian kedua, hanya terdapat 3
sampel. Penelitian ketiga, hanya terdapat 3 variabel, jenis penelitian yang digunakan
memiliki 5 variabel, dengan jenis penelitian yang sama dengan jurnal kedua dan
ketiga, untuk teknik pengambilan sampel sama dengan jurnal ketiga, dan jumlah
dilihat pada variabel dependen. Pada penelitian sebelumnya dan penelitian ini,
variabel dependen yang digunakan yaitu kejadian stunting pada kelompok usia
Balita. Namun terdapat perbedaan dalam memilih usia berdasarkan bulan, karena
24
2.3 Kerangka Berpikir/ Teori
- ASI Eksklusif
- Berat Badan Lahir
Anak
Sumber : Trihono et. al, 2015; Candra, 2020 & Direktorat Jenderal Informasi dan
Komunikasi Publik, 2019)
28
2.4 Kerangka Konsep
ASI Eksklusif
Stunting
Pendapatan Keluarga
Asupan Gizi
Penyakit Infeksi
Keterangan :
Variabel Independen
Variabel Dependen
29
2.5 Hipotesis
a. Ada hubungan antara faktor tinggi badan Ayah / Ibu dengan kejadian
b. Ada hubungan antara faktor Berat Badan Lahir Anak dengan kejadian
30
BAB III
METODE PENELITIAN
Wilayah Kerja Puskesmas Ulanta, sebanyak 5 Pos. Terdapat 2 Pos di Desa Ulanta,
1 Pos di tiap Desa Huluduotamo, Helumo dan Bube baru. Waktu penelitian
Desember 2021.
mendapatkan data yang terjadi pada masa lampau atau saat ini, tentang keyakinan,
hipotesis tentang hubungan antar variabel sosiologis dan psikologis dari sampel
Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang
ditetapkan oleh peneliti. Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu :
31
Variabel independen atau variabel bebas adalah variabel yang
32
variabel dependen terikat. (Sugiyono, 2016) Variabel independen dalam penelitian
ini yaitu :
4. Pendapatan Keluarga
atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2016). Variabel
SKALA/
N VARIA DEFINISI ALAT
HASIL UKUR JENIS
O BEL OPERASIONAL UKUR
DATA
1 Variabel Keadaan status gizi - Stadiome - Skor 1 = Pendek (<- Nominal
Depende seseorang berdasarkan z- ter 2 SD)
n: skor tinggi badan (TB) - Skor 2 = Sangat
Stunting terhadap umur (U) dimana Pendek (<-3 SD)
terletak pada <- 2 SD.
Diperoleh dari pengukuran.
2 Variabel Tinggi Badan Ayah atau Ibu - Stadiome - Skor 1 = rendah Nominal
Indepen terakhir pengukuran ter ( jika Ayah < 158
den: (minimal 6 bulan terakhir) cm dan Ibu <145
Tinggi cm)
Badan - Skor 2 = tinggi (jika
Ayah/ Ayah ≥ 158 cm dan
Ibu Ibu ≥>145 cm)
3 Berat Ukuran dari berat atau masa - Buku - Skor 1 = rendah Nominal
Badan bayi yang ditimbang dalam KIA (<2500 gram)
Lahir bentuk gram pada waktu 1 (rekam - Skor 2 = normal
Anak jam pertama setelah lahir. medis) (mulai dari 2500
Diperoleh dari data primer - Kuesione gram)
(buku KIA) dengan angket. r
63
n ASI eksklusif pada bayi dalam Eksklusif
eksklusif kurun 6 bulan pertama - Skor 2 = Ya,
setelah lahir tanpa makanan Eksklusif
tambahan/ pendamping/
susu formula. Diperoleh
dengan data primer dan
menggunakan angket.
(Sumber : Peraturan
Menteri Tenaga
Kerja dan
Transmigrasi No. 7
tahun 2013)
3.5.1 Populasi
akan diukur, yang merupakan unit yang diteliti. Populasi pada penelitian ini adalah
semua Orangtua dari BALITA (usia 1-59 bulan) yang terdaftar stunting di wilayah
kerja Puskesmas Ulanta dengan kategori “pendek” sebanyak 42 anak dan “sangat
pendek” sebanyak 28 anak, yang terdaftar sejak bulan Maret sampai bulan Agustus
64
3.5.2 Sampel
Menurut Sugiyono & Puspandhani (2020) Sampel adalah bagian dari jumlah
dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Bila populasi besar, dan peneliti tidak
mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan
dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari
populasi itu.
berdasarkan data sekunder dan yang peneliti temui di lokasi penelitian atau peneliti
total. Menurut Sugiyono & Puspandhani (2020), Sensus/ sampling total adalah
semua. Hal ini sering dilakukan bila jumlah populasi relative kecil, kurang dari 100
orang atau penelitian yang ingin membuat generalisasi dengan kesalahan yang sangat
kecil.
yang akan diteliti kurang dari 100, yaitu sebanyak 66 orangtua dari 70 balita berusia
1-59 bulan. Maka sampel dalam penelitian ini sebanyak 66 orangtua dengan terdapat
Data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada
65
peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang
harus diteliti dan utuk mengetahui hal-hal dari responden yang lebih dalam dan jika
jumlah respondennya sedikit/ kecil serta dapat dilakukan secara terstruktur maupun
tidak terstruktur atau dapat dilakukan melalui tatap muka maupun menggunakan
telepon. Kuesioner atau angket sebagai teknik pengumpulan data yang dilakukan
gambaran dari isi kuesioner. Responden diberikan waktu untuk mengisi jawaban
selama 10-15 menit. Peneliti dan kader kesehatan juga membantu untuk
tidak lengkap dan juga bekerja sama dengan kader kesehatan melakukan kunjungan
rumah kepada responden yang berkunjung tapi tidak melengkapi kuesioner dan
66
Data sekunder ini merupakan sumber data yang tidak langsung memberikan
data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen
(Sugiyono & Puspandhani, 2020). Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari
buku KIA, laporan Petugas Kesehatan dan Kader POSYANDU yang ada di wilayah
(Arikunto, 2016). Instrumen yang digunakan untuk mendapatkan data primer yaitu
kuesioner (angket) yang telah ditambahkan oleh peneliti dari peneliti sebelumnya.
Kuesioner merupakan alat ukur berupa angket dengan beberapa pertanyaan, dimana
bersifat rahasia. Pembuatan kuesioner ini mengacu pada parameter yang sudah dibuat oleh
Instrumen dalam penelitian ini merupakan instrument yang tidak memerlukan uji validitas
maupun uji reliabilitas diantaranya. Karena instrumen yang digunakan adalah berdasarkan
data primer dan sekunder yang dapat diukur dan dilihat secara langsung. Instrumen
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur anak balita dengan kategori
perawakan pendek (short stature) atau stunting, jika anak dengan hasil PB/U atau
TB/U dibawah minus dua standar deviasi (<-2SD) berdasarkan tabel Kategori dan
67
Alat ukur yang akan digunakan adalah stadiometer/ pita pengukur yang
vertikel di dinding, dan responden akan berdiri tegak tanpa alas kaki, menghadap
kedepan dan platform stadiometer ditrunkan hingga menyentuh bagian atas kepala
(Siswanto, 2014)
Alat yang digunakan adalah dengan melihat hasil rekam medis yang tercatat di
buku KIA anak untuk melihat berat badan lahir anak. Peneliti memberikan 2
kategori, kategori berisiko jika berat <2500 gram (BBLR). Sedangkan kategori tidak
berisiko, jika berat mulai dari 2500 gram. (World Health Organization, 2013)
pemberian ASI eksklusif, yang berisi 1 butir pertanyaan yang akan ditambahkan oleh
peneliti. Pertanyaannya akan menghasilkan skor 1 jika Ibu tidak memberikan ASI
eksklusif kepada anaknya, dan diberi skor 2 jika Ibu memberikan ASI eksklusif
kepada anaknya (0-6 bulan tanpa campuran) (Kementrian Kesehatan RI, 2020)
Upah minimum provinsi yaitu < Rp.2.586.900. Sedangkan kategori tinggi jika rata-
rata pendapatan keluarga sesuai dengan UMP atau > Rp. 2.586.900
68
3.8 Metode Pengolahan Data dan Teknik Analisis Data
Menurut Saryono & Setiawan (2013), sebelum dianalisis, data diolah terlebih
1. Editing
kelengkapan jawaban yang telah diserahkan oleh para pengumpul data yang
pertanyaan. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan proses editing pada saat
2. Coding
kategori.
69
1) Status Pendapatan Keluarga Rendah diberi kode 1
e. Variabel Stunting
3. Entry
4. Tabulating
persentase dari tiap variabel. Dalam penelitian analisis univariat terdiri dari tinggi
badan Ayah/ Ibu, Berat Badan Lahir Anak, pemberian ASI Eksklusif, dan
Pendapatan Keluarga.
x
P= 100 %
y
Keterangan :
70
X : ∑ ❑sampel dengan karakteristik tertentu
Y : ∑ ❑sampel total
2010). Dalam penelitian ini menggunakan uji statistik untuk mengetahui hubungan
antara tinggi badan Ayah/ Ibu, Berat Badan Lahir Anak, pemberian ASI Eksklusif,
dan Pendapatan Keluarga dengan kejadian stunting pada balita usia 1-59 bulan. Uji
1. Chi-square
syarat uji Chi-square yaitu tidak ada nilai expected yang kurang dari 5. Jika
syarat uji Chi-square tidak terpenuhi, maka dapat dipakai uji alternatifnya
yaitu uji Fisher’s Exact Test. Kedua variabel yang diuji dikatakan memiliki
Keterangan :
= Chi Kuadrat
71
3.9 Hipotesis Statistik
3.9.1 Bila t <0,05artinya H0 ditolak dan Ha diterima maka terdapat hubungan antara
faktor tinggi badan Ayah/ Ibu, berat badan lahir anak, pemberian ASI eksklusif dan
3.9.2 Bila t >0,05 artinya H0 diterima dan Ha ditolak maka tidak terdapat hubungan
antara faktor tinggi badan Ayah/ Ibu, berat badan lahir anak, pemberian ASI
karena merupakan masalah yang sangat penting mengingat penelitian ini berhubungan
langsung dengan manusia yang mempunyai hak asasi dalam kegiatan penelitian, sebelum
meminta persetujuan dari responden. Adapun bentuk etika penelitian yang penting
informed concent adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian serta
mengetahui dampaknya.
mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menulis kode pada
lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang disajikan. Anonimity dalam
72
penelitian ini dengan mengganti identitas responden menjadi nomor responden
kesejahteraan, martabat, dan peradaban manusia, serta terhindar dari segala sesuatu
pada umumnya. Penelitian ini dapat memberikan manfaat pada pada peneliti, subyek
penelitian dan masyarakat serta tidak merugikan dan membahayakan bagi subyek
penelitian.
73
BAB IV
Puskesmas Suwawa sejak bulan Januari Tahun 2012. Dan Telah diresmikan (Definitif)
oleh Bapak Bupati Hamim Pou sejak tanggal 9 Januari 2012. Puskesmas Ulantha
merupakan salah satu dari 20 Puskesmas yang ada di Kabupaten Bone Bolango
Provinsi Gorontalo.
1. Letak
74
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Suwawa Selatan
2. Luas Wilayah
Huluduotamo memiliki luas 2,8 km2 , Desa Helumo memiliki luas 1,5 km2,
Desa Ulantha memiliki luas 1,3 km2, dan Desa Bube Baru memiliki luas 18,2
km2.
1. Program KIA/KB
3. Program Gizi
4. Program Promkes
a. Farmamin
b. Kesehatan Lansia
e. Manajemen Puskesmas.
Jumlah kunjungan tahun 2020 sebanyak 3.498 orang yang meliputi pasien
umum dan juga yang memiliki kartu jaminan kesehatan. Jumlah kunjungan
75
terbanyak di bulan Februari yaitu 540 pasien dan paling sedikit di bulan Juni
Pendidikan terakhir orangtua, Pekerjan orangtua, jenis kelamin anak dan usia
anak.
tingkat pendidikan orang tua yaitu Ibu. Pendidikan Ibu yang paling banyak
%).
76
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap orang tua balita
pekerjaan Ibu. Hasil yang didapatkan pekerjaan Ibu yang paling banyak
adalah Ibu rumah tangga sebanyak 48 responden (68,6 %), sedangkan yang
paling sedikit adalah Ibu yang bekerja sebagai petani dan pedagang masing
jenis kelamin anak. Hasil yang didapatkan jenis kelamin yang paling
77
banyak adalah laki - laki sebanyak 36 responden (51,4 %) , sedangkan
usia anak. Hasil yang didapatkan usia anak yang paling banyak adalah usia
78
dalam kategori tinggi (≥ 145 cm) sebanyak 59 responden (84,3%), dan
dalam kategori rendah (<145 cm) sebanyak 11 responden (15,7 %). Tidak
lahir dalam kategori normal (≥ 2500 gr) sebanyak 49 responden (70 %),
dan yang memiliki riwayat berat badan lahir dalam kategori rendah (<2500
79
Tabel 4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan Keluarga di
wilayah kerja Puskesmas Ulanta
No Kategori Jumlah (n) Persentase (%)
1 Rendah (< UMP Rp.2.586.900 ) 46 65,7
2 Tinggi (≥ UMP Rp. 2.586.900) 24 34,3
Jumlah 70 100
Sumber: Data Primer, 2021.
sebanyak 42 responden (60 %), dan sebagaian kecil anak stunting dalam
1. Hubungan Tiggi Badan Ibu dengan kejadian Stunting pada balita (1-59
Tabel 4.10 Hubungan Tiggi Badan Ibu dengan kejadian Stunting pada balita
(1-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Ulanta
Stunting
Sangat Jumlah
Pendek P CI
Variabel Kategori Pendek OR
Value (95%)
N % N % N %
80
Tinggi Tinggi 23 32,9 35 50 58 82,9
0,308-
Badan 1,000 1,087
3,841
Ibu Rendah 5 7,1 7 10 12 17,1
Tabel 4.11 Hubungan Berat Badan Lahir Anak dengan kejadian Stunting
pada balita (1-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Ulanta
Stunting
Sangat Jumlah P
Variabe Pendek CI
Kategori Pendek Valu OR
l 95%
e
N % N % N %
Berat
Rendah 9 12,9 12 17,1 21 30 0,419
Badan
0,958 1,184 -
Lahir
Normal 19 27,1 30 42,9 49 70 3,343
Anak
(12,9%). Sedangkan anak dengan riwayat berat badan lahir kategori normal
81
pendek yaitu sebanyak 30 responden (42,9%) dan kategori sangat pendek
Tidak ASI
Pemberian 23 32,9 36 51,4 59 84,3
Eksklusif 0,210-
0,767
0,745
ASI
2,805
Eksklusif ASI
5 7,1 6 8,6 11 15,7
Eksklusif
responden (7,1%).
82
Stunting
Sangat Jumlah
Pendek P
Variabel Kategori Pendek OR CI 95%
Value
N % N % N %
responden (24,3%) memiliki hasil yang sama, balita stunting kategori pendek
responden (11,4%).
4.3 Pembahasan
Sampel dalam penelitian ini adalah anak balita usia 1-59 bulan dengan Ibu sebagai
responden. Dipilihnya rentang usia tersebut karena stunting akan tampak dalam kurun
waktu yang lama dan untuk mengintervensi risiko terjadinya stunting sedini mungkin.
Hal ini juga didukung penelitian yang dilakukan oleh Haile (2016) menyatakan bahwa
kelompok balita usia 24 bulan keatas lebih berisiko menderita stunting dibandingkan
balita dengan usia dibawah satu tahun. Sedangkan anak balita usia 0-23 bulan memiliki
risiko rendah terhadap kejadian stunting. Peneliti tidak mendapatkan responden Ayah
83
1. Hubungan Tinggi Badan Ibu dengan kejadian Stunting pada balita (1-59 bulan)
Hasil penelitian diketahui bahwa Ibu dengan tinggi badan kategori tinggi lebih
banyak memiliki balita dengan stunting “pendek” sebanyak 35 anak (50 %) dan
stunting “sangat pendek” sebanyak 23 anak (32,9 %). Dari 58 Ibu dengan tinggi badan
ketegori tinggi ditunjukkan oleh sebagian besar responden dengan latar belakang
pendidikan SMA atau berpendidikan tinggi, yaitu sebanyak 28 Ibu (40%). Sedangkan
Ibu dengan tinggi badan kategori rendah yang memiliki anak dengan stunting
“pendek” sebanyak 7 anak (10 %) dan stunting “sangat pendek” sebanyak 5 (7,1 %)
dimiliki oleh Ibu dengan latar pendidikan SMP atau rendah, yaitu sebanyak 7 Ibu
(10%).
Mulai dari pengetahuan Ibu tentang kehamilan sampai kesadaran terhadap gizi anak.
Pendidikan juga diperlukan agar Ibu lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi yang
dapat meningkatkan gizi anak, bisa mengambil keputusan tindakan cepat dan akhirnya
dapat memperbaiki pertumbuhan fisik anak. Namun, jika Ibu memiliki pendidikan
yang rendah, Ibu akan sulit menerima hal-hal baru, sulit beradaptasi dengan teknologi
baru lebih khususnya dalam bidang kesehatan dan akhirnya bisa menyebabkan
turunnya derajat kesehatan anak karena lebih cenderung percaya kepada cerita atau
pemberian asupan gizi yang baik pada anak. Dari 58 responden tersebut, mayoritas
adalah Ibu Rumah Tangga atau tidak bekerja sebanyak 38 Ibu. Dalimunthe (2015)
menyatakan bahwa Ibu rumah tangga seharusnya memiliki waktu yang lebih banyak
84
untuk menjaga anak-anak mereka di rumah. Sedangkan Ibu yang bekerja tidak
memiliki waktu yang cukup untuk mengurus anak, sehingga Ibu kurang
memperhatikan asupan gizi yang baik untuk anak. Namun, fakta di lapangan yang
didapatkan peneliti bahwa banyak Ibu Rumah Tangga dan anaknya terdaftar stunting.
Dari hasil analisis uji statistik diperoleh hasil p-value 1,000 = >0,05 yang berarti
tidak ada hubungan yang signifikan antara tinggi badan Ibu dengan Kejadian Stunting
kategori sangat pendek dan pendek pada balita stunting di Wilayah Kerja Puskesmas
Ulanta. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ngaisyah
dan Septriana (2015) yang menunjukkan bahwa tinggi badan ibu tidak berhubungan
signifikan dengan kejadian stunting pada balita. Keduanya menjelaskan bahwa orang
tua yang pendek akibat kondisi patologis atau kekurangan zat gizi bukan karena
orang tua yang pendek karena memiliki gen dalam kromosom yang membawa sifat
pendek besar kemungkinan akan menurunkan gen pendek kepada naknya. Namun,
apabila sifat pendek orang tua disebabkan masalah gizi maupun patologis, maka gen
pendek tersebut tidak akan diturunkan kepada anaknya selama tidak terpapar faktor
risiko yang lain. Penelitian ini tidak meneliti tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi tinggi badan orang tua saat ini, apakah dipengaruhi oleh genetik atau
Dari hasil penelitian, pendapat para ahli dan penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya, peneliti berasumsi bahwa pendidikan dan tinggi badan Ibu bukanlah
faktor penentu yang membuat anak memiliki tinggi badan rendah dibanding usianya
(stunting), melainkan ada faktor lain yang mempengaruhi tinggi badan anak balita
yang terdaftar stunting. Hal ini berdasarkan responden yang memiliki tinggi badan
rendah dapat melahirkan anak dengan tinggi badan normal dan sebaliknya Ibu yang
85
memiliki tinggi badan normal juga berisiko melahirkan anak dengan tinggi badan
rendah.
2. Hubungan Berat Badan Lahir Anak dengan kejadian Stunting pada balita (1-59
Riwayat berat badan lahir anak dari 49 anak (70%) dengan kategori “normal”
lebih cenderung dimiliki oleh anak balita stunting ”pendek” sebanyak 30 anak (42,9
%) dan stunting “sangat pendek” sebanyak 19 anak (27,1 %). Sedangkan dari 21 anak
(30%) dengan berat badan lahir kategori “rendah” hanya dimiliki oleh anak dengan
stunting “pendek” sebanyak 12 anak (17,1 %) dan stunting “sangat pendek” sebanyak
Dari 49 Ibu yang melahirkan berat badan bayi normal, sebanyak 19 Ibu (27,1%)
dengan latar pendidikan SMA atau pendidikan tinggi dan tidak sedikit juga yang
tingkat pendidikan Ibu dapat mempengaruhi pemahaman Ibu khususnya dalam proses
Berat badan lahir anak merupakan penilaian awal sebagai salah satu indikator
jangka panjang. Anak yang terlahir dengan berat badan rendah atau BBLR
menandakan bahwa janin mengalami kekurangan gizi saat masih dalam kandungan
Ibu dan jika masalah ini tidak segera diatasi maka besar kemungkinan anak
mengalami stunting. Sedangkan jika anak yang terlahir dengan berat badan normal
dan terdeteksi stunting, maka hal ini juga menjadi masalah penyimpangan baru yang
dapat menunjukkan bahwa terdapat asupan gizi yang kurang pada anak. Hubungannya
dengan tingkat pendidikan Ibu berarti, tugas Ibu bukan hanya dapat memahami
pentingnya asupan anak saat dalam kandungan namun harus tetap menjaga asupan
86
nutrisi anak setelah lahir sampai anak tumbuh dewasa (Dalimunthe, 2015 & Candra,
2020).
Dari hasil analisis uji statistik diperoleh hasil p-value 0,958 >0,05 yang berarti
tidak ada hubungan yang signifikan antara Berat Badan Lahir Anak dengan Kejadian
Stunting kategori sangat pendek dan pendek pada balita stunting di Wilayah Kerja
Puskesmas Ulanta. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Ni’mah dan Nadhiroh (2015) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna antara berat badan lahir dengan kejadian stunting di Wilayah Kerja
Puskesmas Tanah Kali Kedinding, Surabaya. Mereka menyatakan berat lahir pada
hasil penelitiannya kemungkinan dapat disebabkan oleh banyak faktor yang lebih
besar pengaruhnya dengan kejadian stunting balita seperti ketidakcukupan gizi serta
infeksi. Selain itu efek berat badan lahir terhadap pertumbuhan tinggi badan paling
besar terdapat pada usia 6 bulan pertama. Jika pada 6 bulan pertama balita dapat
memperbaiki status gizinya, maka terdapat kemungkinan bahwa tinggi badan balita
dapat tumbuh dengan normal dan terhindar dari kejadian stunting di usia selanjutnya.
kemungkinan stunting pada usia 6-12 bulan. Namun, sebuah studi kohort di Tanzania
menemukan bahwa bayi dengan berat badan lahir normal memiliki risiko dua kali
lebih besar untuk stunting dan wasting dibandingkan dengan bayi baru lahir lainnya
selama 18 bulan pertama kehidupan. (Blake, Baltazar, Ayaso, Monterd, Acosta et al.
2016)
Dari hasil penelitian diatas, menurut peneliti anak dengan berat badan lahir
dengan tingkat pendidikan tinggi maupun rendah, belum bisa dipastikan apakah dapat
menjaga asupan gizi saat hamil dan bisa mencegah anaknya mengalami stunting.
87
3. Hubungan riwayat pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian Stunting pada
Dari hasil penelitian diketahui bahwa hanya 11 anak (15,7%) yang mendapatkan
ASI Eksklusif. Hal ini berarti, terdapat lebih dari 50% anak yang tidak mendapatkan
ASI Eksklusif terdaftar stunting di wilayah kerja Puskesmas Ulantha. Dari 59 Ibu
yang tidak melakukan ASI eksklusif, memiliki latar pendidikan pendidikan tinggi
yaitu pendidikan SMA sebanyak 22 Ibu (31,4%) dan pendidikan S1 sebanyak 5 Ibu
(7,1%).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Haile (2013) yang menyatakan bahwa
balita yang terlahir dari orang tua yang berpendidikan rendah (SD dan SMP) berisiko
menderita stunting dibandingkan balita yang memiliki orang tua yang tidak
berpendidikan. Hal ini dikarenakan orang tua yang memiliki pendidikan tinggi akan
terhadap asupan gizi anak, karena ASI merupakan makanan utama bagi bayi.
Pengetahuan Ibu menyusui tentang kebutuhan zat gizi yang harus harus
dikonsumsinya selama hamil dan pasca melahirkan juga menentukan pemberian ASI
yang berkualitas dan berkuantitas. (Candra, 2020) Namun, hasil wawancara yang
peneliti dapatkan bahwa dari 22 Ibu (31,4%) yang berpendidikan SMA menyatakan
bahwa makanan yang dikonsumsinya saat hamil dan setelah hamil sama seperti saat
sebelum hamil. Hal ini menunjukkan bahwa asupan gizi dari 31,4% Ibu tidak
tercukupi.
Selain tingkat pendidikan, terdapat fakor lain yang mempengaruhi Ibu dalam
menyusui yaitu dukungan tempat pelayanan Kesehatan yang didapatkan dari hasil
88
terdapat hubungan yang signifikan (p=0,000). Adanya peran serta dari petugas
Dari hasil analisis uji statistik diperoleh hasil p-value 0,745 >0,05 yang berarti
tidak ada hubungan yang signifikan antara pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian
Stunting kategori sangat pendek dan pendek pada balita stunting di Wilayah Kerja
Puskesmas Ulanta. Hasil penelitian ini sejalan dengan Hindrawati dan Rusdiarti
Provinsi Jawa Tengah, mendapatkan dimana status pemberian ASI eksklusif bukan
merupakan faktor risiko stunting pada anak usia 1-3 tahun dan juga menjelaskan
bahwa keadaan stunting tidak hanya ditentukan oleh faktor status pemberian ASI
eksklusif, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti: dukungan keluarga.
Dukungan keluarga juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi Ibu
untuk memberikan ASI Eksklusif pada anak. Pernyataan ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Astuti et al (2013) bahwa terdapat hubungan yang signifikan
(p=0,00). Dukungan keluarga yang dapat diberikan pada Ibu menyusui seperti
membantu pekerjaan rumah, membantu merawat bayi, dan menyediakan waktu untuk
Ibu beristirahat sehingga beban Ibu berkurang, Ibu dapat memberikan ASI Eksklusif
Muasyaroh (2019) yang menunjukkan hasil serupa dengan penelitian ini. Analisis data
Riskesdas 2010 dan 2013 pada anak usia 12-23 bulan tidak menunjukkan hubungan
ASI eksklusif dengan stunting (p = 0.147). Sebuah studi longitudinal yang dilakukan
oleh Aryastami dkk (2017) di Bogor juga tidak menunjukkan hubungan ASI eksklusif
dengan stunting.
89
Berbagai hasil ini kemudian diperkuat dengan hasil meta analisis yang
menyatakan bahwa ASI eksklusif tidak berdampak pada stunting. Namun, beberapa
penelitian skala besar tetap mampu menemukan hubungan protektif ASI eksklusif
terhadap stunting. Diperlukan analisis mendalam untuk menelaah faktor kualitas ASI
Beberapa peneliti menduga bahwa efek ASI eksklusif terhadap stunting bukan berasal
dari aspek asupan nutrisi, melainkan dari upaya pencegahan infeksi. Teori lain yang
berkaitan adalah sebuah model dari para ahli yang menunjukkan bahwa ASI eksklusif
saja tidak akan mampu menurunkan kejadian stunting (Black, Victora, Bhutta,
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Ni’mah dan Nadhiroh (2015) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan
ternyata ASI ekslusif bukan sebagai faktor resiko terjadinya stunting berdasarkan
sangatlah penting, yang merupakan hak setiap anak dan makanan utama bagi bayi,
keluarga rendah (< UMP: Rp. 2.586.900) sebanyak 53 anak (75,7%). Sedangkan anak
dengan pendapatan keluarga tinggi (≥UMP: Rp. 2.586.900) sebanyak 17 anak (24,3
90
%). Dengan kata lain, terdapat lebih dari 50% anak dengan latar belakang status
keluarga dibawah UMP saat mengisi kuesioner, terdapat Ibu sebanyak 38 (54,3%)
yang tidak bekerja dan bergantung pada penghasilan suami saja. Sebanyak 14 Ibu
(20%) mengatakan bahwa memiliki penghasilan <UMP yang tidak menentu dan
bahkan terdapat 2 suami (2,9%) yang pernah tidak memiliki penghasilan dalam
sebulan.
Pendapatan keluarga yang rendah atau status ekonomi yang kurang dapat
diartikan daya beli dari keluarga juga rendah sehingga kemampuan keluarga membeli
bahan makanan yang baik dan sehat juga rendah. Kualitas dan kuantitas makanan
yang kurang menyebabkan kebutuhan zat gizi pada anak tidak terpenuhi, akibatnya
Dari hasil analisis uji statistik diperoleh hasil p-value 0,329 > 0,05 yang berarti
tidak ada hubungan yang signifikan antara pendapatan keluarga dengan Kejadian
Stunting kategori sangat pendek dan pendek pada balita stunting di Wilayah Kerja
Puskesmas Ulanta. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Rahmawati, Hardy dan Purbasari (2020) bahwa tidak terdapat hubungan yang
Sawah Besar Kota Jakarta Pusat. Hal ini juga didukung penelitian oleh Windi dan
hubungan yang signifikan dengan balita stunting kategori sangat pendek dan pendek.
mampu mengolah makanan yang bergizi dengan bahan yang murah dan sederhana, hal
ini bisa mencukup kebutuhan anak dan pertumbuhan anak juga akan menjadi baik.
91
Dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa, tingkat pendapatan yang tinggi belum
tentu bisa menjamin status gizi baik bagi balita, karena tingkat pendapatan yang tinggi
belum tentu teralokasikan dengan cukup untuk kebutuhan asupan gizi yang seimbang
keluarga.
stunting pada balita di Aceh. Anak pada keluarga dengan pendapatan yang rendah
cenderung mengonsumsi makanan dalam segi kuantitas, kualitas dan variasi yang
kurang. Status ekonomi yang tinggi membuat seseorang memilih dalam membeli
terjadi di Indonesia sebenarnya tidak hanya dialami oleh rumah tangga/ keluarga
yang miskin dan kurang mampu, karena stunting juga dialami oleh sejumlah rumah
tangga/ keluarga yang tidak miskin/ yang berada di atas 40% tingkat kesejahteraan
sosial dan ekonominya. Berdasarkan estimasi dari Riskesdas (tingkat stunting) dan
proyeksi populasi BPS mengemukakan bahwa kondisi anak stunting juga dialami
oleh keluarga/ rumah tangga yang tidak miskin atau keluarga dengan pendapatan
≥UMP.
Dari data di atas peneliti berpendapat bahwa anak dengan latar belakang
pendapatan atau status ekonomi rendah, tidak selalu berhubungan dengan kejadian
stunting. Karena kejadian stunting juga terjadi dalam keluarga dengan pendapatan
tinggi. Seperti roda yang berputar antara pendapatan keluarga rendah atau tinggi
dengan kejadian stunting bisa saling mempengaruhi dan akan terjadi dalam waktu
yang berbeda. Jika ditinjau dari karakteristik responden yang cenderung adalah Ibu
92
Rumah Tangga sebanyak 48 responden (68,6 %) hingga pendapatan keluarga,
bahwa akar masalah dari dampak pertumbuhan bayi dan berbagai masalah gizi
beberapa keterbatasan yang dialami dan dapat menjadi faktor agar dapat lebih
penenlitiannya karena penelitian ini tentu memiliki kekurangan yang perlu terus
diperbaiki untuk penelitian kedepannya. Keterbatasan dalam penelitian ini, antara lain:
1. Peneliti tidak mendapatkan data responden Tinggi badan dari Ayah dikarenakan
2. Waktu penelitian yang terbatas bergantung pada jadwal posyandu yang hanya
data.
3. Variabel penelitian yang hanya difokuskan pada 4 variabel terikat dari banyaknya
93
BAB V
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdapat 4 faktor berisiko yanag
hasil analisis:
1. Dari hasil analisis uji statistik diperoleh hasil p-value 1,000 = >0,05 yang berarti
tidak ada hubungan yang signifikan antara tinggi badan Ibu dengan Kejadian
Stunting.
2. Dari hasil analisis uji statistik diperoleh hasil p-value 0,958 >0,05 yang berarti tidak
ada hubungan yang signifikan antara Berat Badan Lahir Anak dengan Kejadian
Stuntin.
3. Dari hasil analisis uji statistik diperoleh hasil p-value 0,558 >0,05 yang berarti tidak
ada hubungan yang signifikan antara pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian
Stunting.
4. Dari hasil analisis uji statistik diperoleh hasil p-value 0,329 > 0,05 yang berarti tidak
ada hubungan yang signifikan antara pendapatan keluarga dengan Kejadian Stunting.
5.2 Saran
94
1. Diharapkan dapat menjadi masukan bagi Puskesmas dalam meningkatkan
stunting.
95
2. Disarankan dilakukan pemantauan secara berkala pada anak dengan risiko
stunting agar dapat meningkatkan status gizi yang baik pada keluarga.
(kelompok kontrol dan kelompok kasus), hal ini agar dapat melihat nilai
2. Disarankan untuk mengambil sampel dengan jumlah yang banyak >100, hal
ini bertujuan untuk keakuratan data yang lebih baik dalam penelitiannya.
96