Anda di halaman 1dari 66

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA

BALITA (1 - 59 BULAN) DI WILAYAH KERJA


PUSKESMAS ULANTA KECAMATAN SUWAWA
KABUPATEN BONE BOLANGO

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh


Gelar Sarjana Strata (S1) Keperawatan

Oleh :

SITTI MIFTAH RIVAI


841420154

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2021

1
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masa balita adalah usia penting untuk pertumbuhan fisik. Pertumbuhan pada

anak balita begitu pesat maka memerlukan asupan zat gizi yang sesuai dengan

kebutuhannya. Asupan zat gizi yang tidak memenuhi kebutuhan balita akan

menyebabkan kekurangan gizi hingga kegagalan nutrisi atau malnutrisi. Balita yang

mengalami kegagalan nutrisi dalam jangka waktu yang lama berisiko mengalami

tubuh pendek atau disebut stunting (Proverawati dan Kusumawati, 2011)

Stunting adalah salah satu kondisi kegagalan mencapai perkembangan fisik

yang diukur berdasarkan tinggi badan menurut umur. Batasan stunting menurut

World Health Organization yaitu tinggi badan tidak sesuai dengan umur atau

berdasarkan perhitungan Z‐score sama dengan atau kurang dari ‐2 SD (standar

deviasi) di bawah standar rata‐rata. (World Health Organization, 2013)

World Health Organization (WHO, 2017) mendapatkan kurang lebih 150,8 juta

(22,2%) anak-anak di bawah usia lima tahun mengalami hambatan dalam

pertumbuhannya. Kejadian stunting pada balita lebih sering mengenai balita pada

usia 12-59 bulan dibandingkan balita usia 0-24 bulan. Sekitar 162 juta anak balita

mengalami stunting. Negara berkembang menjadi sasaran penyumbang pevalensi

tinggi kejadian stunting. Lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari Asia

(55%), sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) berasal dari Afrika. Dari 84.6 juta

balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan (58,7%) dan

proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%). Data prevalensi balita stunting yang

dikumpulkan oleh WHO (2018), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan

2
prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR).

Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%.

(Kementerian Kesehatan RI, 2018 dan Wiliyanarti, Israfil dan Ruliati, 2020)

Laporan dari United Nation International Children’s Emergency Found

(UNICEF, 2009) Stunting (pendek) atau kurang gizi kronik adalah suatu bentuk

lain dari kegagalan pertumbuhan dan perkembangan. Anak balita yang mengalami

stunting sering terlihat memiliki badan normal yang proporsional, namun

sebenarnya tinggi badannya lebih pendek dari tinggi badan normal yang dimiliki

anak seusianya. Stunting merupakan proses kumulatif dan disebabkan oleh asupan

zat-zat gizi yang tidak tercukupi dan atau terjadi penyakit infeksi yang berulang

pada anak. Stunting dapat juga terjadi sebelum kelahiran dan disebabkan oleh

asupan gizi pada Ibu yang sangat kurang saat masa kehamilan, pola asuh makan

yang sangat kurang, rendahnya kualitas makanan sejalan dengan frekuensi infeksi

sehingga dapat menghambat pertumbuhan janin (dalam Larasati, 2017)

Hasil dari data Pemantauan Status Gizi (PSG, 2018) dalam 3 tahun terakhir,

masalah stunting merupakan angka tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi

lainnya seperti gizi kurus, gizi kurang dan gizi gemuk. Permasalahan stunting

adalah masalah baru yang berpengaruh buruk pada masalah gizi di Indonesia,

karena berpengaruh pada fisik dan fungsional tubuh balita serta meningkatkan

angka kesakitan dan kematian anak di dunia. Dalam penelitian Global Nutrition

Report tahun 2014 menyebutkan dari 117 negara yang dilakukan penelitian,

didapatkan bahwa Indonesia termasuk dalam 17 negara yang memiliki 3 masalah

gizi pada balita yaitu stunting (37,2%), wasting (12,1%) dan overweight (11,9%)

(Pusat Data Informasi Kemenkes RI, 2018 dan Stave, 2014)

9
Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah stunting dalam jangka

pendek adalah terganggunya perkembangan otak, pertumbuhan fisik, dan

gangguan metabolisme dalam tubuh anak. Sedangkan dalam jangka panjang yang

dapat ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar

anak, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan risiko tinggi untuk

munculnya penyakit seperti diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh

darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua, serta kualitas kerja yang tidak

kompetitif yang berakibat pada rendahnya pendapatan seseorang atau sumber

daya manusia yang kurang produktif (Kementerian Kesehatan RI, 2018)

Masalah stunting merupakan masalah gizi intergenerasi. Wanita yang

stunting akan melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah, yang kemudian

berkontribusi dalam siklus malnutrisi dalam kehidupan. Anak yang lahir dari ibu

dengan tinggi badan kurang dari 145 cm cenderung melahirkan bayi pendek lebih

banyak (42,2%) dibandingkan kelompok ibu dengan tinggi badan normal ≥145

(36%). Menurut penelitian yang dilakukan di Ghana dengan sampel anak berusia

dibawah lima tahun menunjukan bahwa anak yang memiliki Ibu dengan tinggi

badan kurang dari 145 cm berisiko menderita stunting. (World Health

Organization, 2013; Kementrian Kesehatan RI, 2020; Ali, Zakari, Saaka, Adams,

Kamwininaang, Abizard, 2017; Aryastami, Ni Ketut, Shankar Anuraj,

Kusumawardani Nunik, Besral Besral, Jahari Abas Basuni, Achadi Endang. 2017)

Terdapat faktor lain yang menyebabkan terjadinya stunting diantaranya

adalah Berat bayi lahir rendah, pemberian ASI eksklusif dan pendapatan keluarga

yang rendah. Pernyataan ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Ni’mah &

Nadhiroh tentang faktor penyebab stunting, yang dilakukan di wilayah kerja

10
Puskesmas Tanah Kali Kedinding Surabaya pada sampel sebanyak 34 balita

menunjukkan bahwa panjang badan lahir yang rendah OR=4,091; CI=1,162-

14,397, balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif OR=4,643; CI=1,328-

16,233, pendapatan keluarga yang rendah OR=3,250; CI=1,150-9,187 (Ni’mah &

Nadhiroh, 2015)

Dalam rangka mengurangi dan menangani masalah kekurangan gizi,

khususnya stunting, pemerintah telah menyusun berbagai kebijakan dan regulasi

yang diharapkan dapat berkontribusi dalam pecepatan penanganan stunting. Salah

satu pilar penting dalam pelaksanaan program percepatan penanganan stunting

adalah tersedianya data prevalensi stunting pada balita hingga level kabupaten/

kota secara kontinyu sehingga evaluasi program dapat dilakukan di tingkat

nasional hingga daerah. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan data

prevalensi stunting guna mengevaluasi program percepatan penurunan stunting

pada tahun 2019 dilaksanakan Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI).

Kegiatan SSGBI tahun 2019 pada pelaksanaannya diintegrasikan dengan Survei

Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Maret 2019 untuk memperoleh informasi

mengenai faktor-faktor yang memengaruhi stunting. Data dari laporan SUSENAS

dan SSGBI (2019), provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi di Indonesia

adalah Nusa Tenggara Timur yaitu sebesar 43,82%, setelah itu Sulawesi Barat

sebesar 40,38% dan Nusa Tenggara Barat sebesar 37,85%. Sementara itu,

Gorontalo berada pada urutan ke-4 dengan estimasi prevalensi stunting yaitu

sebesar 34,89% (Kementerian Kesehatan RI, 2019)

Jika dilihat dari data pemantauan status gizi atau PSG Kementerian

Kesehatan tahun 2017, jumlah prevalensi stunting provinsi Gorontalo, di

11
Kabupaten Kota Gorontalo menempati urutan pertama yaitu sebesar 36,2%,

disusul Kabupaten Pohuwato sebesar 33,2%, Kabupaten Boalemo dan Gorontalo

sebesar 32,4%, Kabupaten Gorontalo Utara sebesar 27,4 dan Kabupaten Bone

Bolango sebesar 25,6% (Direktorat Gizi Masyarakat, 2018)

Data pada tahun 2019, menunjukkan bahwa dari 6 kabupaten yang ada di

Provinsi Gorontalo, prevalensi stunting tertinggi adalah Kabupaten Kota

Gorontalo sebesar 37,80%, disusul Kabupaten Gorontalo sebesar 37,25%,

Kabupaten Boalemo sebesar 37,15% dan Kabupaten Gorontalo Utara sebesar

35,34%. Sedangkan prevalensi stunting terendah adalah Kabupaten Pohuwato

sebesar 33,28% dan Kabupaten Bone Bolango sebesar 25,34% (Kementerian

Kesehatan RI, 2019)

Pada tahun 2020, Kabupaten Bone Bolango berstatus zona merah sesuai

analisis situasi yang dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

bidang penelitian dan pengembangan atau BAPPEDA-LitBang. Dalam analisis

situasi tersebut, menetapkan 27 desa Lokasi Kasus Stunting 2021 di Kabupaten

Bone Bolango. Dengan ditetapkannya Lokasi Kasus tersebut, diharapkan semua

Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan desa dapat mengarahkan program

kegiatan pencegahan dan penanganan stunting di tahun 2021. Kasus terbanyak

pertama terjadi di wilayah kerja Puskesmas Suwawa Selatan dengan persentasi

26,26%, kedua wilayah kerja Puskesmas Bulango Timur dengan persentasi

24,32%, ketiga wilayah kerja Puskesmas Ulanta dengan persentasi 23,77%,

keempat wilayah kerja Puskesmas Bulango Selatan dengan persentasi 21,90 dan

yang kelima di wilayah kerja Puskesmas Bulango Ulu dengan persentasi 21,85%

(Data Sekunder: BAPPEDA Bone Bolango, 2020) Mudahnya akses transportasi,

12
hematnya waktu menuju wilayah kerja Puskesmas Ulanta, dekatnya

pemerintahan Kabupaten Bone Bolango dan masih terdapatnya kejadian stunting

di wilayah kerja Puskesmas Ulanta, membuat peneliti tertarik dalam melakukan

penelitian di wilayah kerja Puskesmas Ulanta.

Berdasarkan observasi awal data sekunder yang telah didapatkan peneliti

dari koordinator gizi Puskesmas Ulanta dalam rentang waktu sejak bulan April-

September tahun 2021, terdapat 69 balita yang berusia 1-59 bulan terdaftar

stunting dengan 2 kategori yaitu pendek sebanyak 50 balita, sedangkan kategori

sangat pendek sebanyak 19 balita. Dari hasil observasi dan wawancara peneliti

secara langsung dengan 15 orang tua dari balita yang berusia 1-59 bulan dengan

kategori pendek sebanyak 10 anak dan 5 anak kategori sangat pendek. Didapatkan

bahwa 2 (1 anak kategori pendek dan 1 sangat pendek) dari 3 Ayah yang memiliki

tinggi badan <158cm, sedangkan 10 (7 anak kategori pendek dan 3 sangat

pendek) dari 12 Ibu memiliki tinggi <145cm. Dalam berat badan lahir anak hanya

terdapat 2 (anak kategori pendek) dari 15 balita yang memiliki berat badan lahir

rendah dan 13 balita (8 anak kategori pendek dan 5 anak sangat pendek) memiliki

berat badan lahir normal. Dalam pemberian ASI eksklusif hanya terdapat 1 (anak

kategori pendek) dari 15 Ibu yang memberikan ASI secara eksklusif dan 14 Ibu

lainnya (10 anak kategori pendek dan 4 sangat pendek) sudah memberikan susu

formula sebagai tambahan bagi bayi. Sedangkan dalam pendapatan keluarga,

terdapat 6 (3 anak katgeori pendek dan 3 sangat pendek) dari 15 orangtua yang

memiliki pendapatan rata-rata perbulan sesuai dengan upah minimum provinsi

dan 9 orangtua (5 anak kategori pendek dan 4 sangat pendek) lainnya masih

13
dibawah upah minimum provinsi. (Data Primer & Sekunder: Puskesmas Ulanta,

2021)

1.2 Identifikasi Masalah

1. Pada tahun 2019 Gorontalo menjadi urutan ke-4 dengan angka prevalensi

stunting terbanyak, Kota Gorontalo sebagai urutan pertama dan Kabupaten

Bone Bolango berada di posisi urutan terakhir kabupaten yang memiliki jumlah

stunting.

2. Pada tahun 2019, Kabupaten Bone Bolango berstatus zona merah dengan

kejadian stunting terbanyak lebih dari 25%.

3. Pada tahun 2020, telah ditetapkan 27 desa lokasi kasus stunting yang terbagi di

20 wilayah kerja Puskesmas di Bone Bolango. Urutan 5 teratas yaitu wilayah

kerja Puskesmas Suwawa Selatan 26,26%, wilayah kerja Puskesmas Bulango

Timur 24,32%, wilayah kerja Puskesmas Ulanta 23,77%, wilayah kerja

Puskesmas Bulango Selatan 21,90 dan wilayah kerja Puskesmas Bulango Ulu

21,85%.

4. Data sekunder yang didapatkan dari koordinator gizi Puskesmas Ulanta dalam

rentang waktu sejak bulan Januari-Agustus tahun 2021, terdapat 70 balita yang

berusia 1-59 bulan terdaftar stunting dengan 2 kategori yaitu pendek sebanyak

42 balita, sedangkan kategori sangat pendek sebanyak 28 balita.

5. 15 orang tua dari balita yang berusia 1-59 bulan dengan kategori pendek

sebanyak 10 anak dan 5 anak kategori sangat pendek. Didapatkan bahwa 2 (1

anak kategori pendek dan 1 sangat pendek) dari 3 Ayah yang memiliki tinggi

badan <158cm, sedangkan 10 (7 anak kategori pendek dan 3 sangat pendek)

dari 12 Ibu memiliki tinggi <145cm. Dalam berat badan lahir anak hanya

14
terdapat 2 (anak kategori pendek) dari 15 balita yang memiliki berat badan

lahir rendah dan 13 balita (8 anak kategori pendek dan 5 anak sangat pendek)

memiliki berat badan lahir normal. Dalam pemberian ASI eksklusif hanya

terdapat 1 (anak kategori pendek) dari 15 Ibu yang memberikan ASI secara

eksklusif dan 14 Ibu lainnya (10 anak kategori pendek dan 4 sangat pendek)

sudah memberikan susu formula sebagai tambahan bagi bayi. Sedangkan

dalam pendapatan keluarga, terdapat 6 (3 anak katgeori pendek dan 3 sangat

pendek) dari 15 orangtua yang memiliki pendapatan rata-rata perbulan sesuai

dengan upah minimum provinsi dan 9 orangtua (5 anak kategori pendek dan 4

sangat pendek) lainnya masih di bawah upah minimum provinsi. (Data Primer

& Sekunder: Puskesmas Ulanta, 2021)

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan

masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian ini yaitu : apakah faktor

Tinggi badan Ayah/Ibu, Berat badan lahir anak, pemberian ASI eksklusif dan

pendapatan keluarga berhubungan dengan kejadian stunting pada balita usia 1-59

bulan di wilayah kerja Puskesmas Ulanta?”

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Diketahuinya faktor yang berhubungan dengan kejadian Stunting

pada Balita usia 1-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Ulanta,

Kecamatan Suwawa, Kabupaten Bone Bolango.

1.4.2 Tujuan Khusus :

15
1. Menganalisis hubungan tinggi badan Ayah/Ibu dengan kejadian

stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Ulantha

2. Menganalisis hubungan berat badan lahir anak dengan kejadian stunting

di Wilayah Kerja Puskesmas Ulantha

3. Menganalisis hubungan ASI eksklusif dengan kejadian stunting di

Wilayah Kerja Puskesmas Ulantha

4. Menganalisis hubungan pendapatan keluarga dengan kejadian stunting

di Wilayah Kerja Puskesmas Ulantha

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dalam penulisan proposal ini adalah sebagai berikut :

1.5.1 Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah bukti secara empiris

tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada

Balita.

1.5.2 Manfaat praktik

1. Bagi Puskesmas Ulantha

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi

kepada tenaga kesehatan Puskesmas Ulanta dalam melakukan upaya

promotif, preventif dan skrining untuk menurunkan masalah stunting.

2. Bagi Peneliti Selanjutnnya

16
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi dan kajian

banding bagi peneliti lain atau peneliti lanjutan.

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Teoritis

2.1.1 Pengertian Stunting

Tinggi badan rendah dibanding usianya adalah stunting. Hal ini terjadi

karena kekurangan gizi kronis atau kekurangan gizi berulang, biasanya terkait

17
dengan kondisi sosial ekonomi yang buruk akibat dari pendapatan yang rendah,

kesehatan dan gizi Ibu yang buruk, penyakit yang sering terjadi, dan atau bayi

yang terlalu kecil dan belum pantas diberi makan dan perawatan anak di awal

kehidupan yang kurang baik. Stunting membuat terbatasnya anak-anak untuk

mencapai potensi fisik dan kognitif mereka (World Health Organization,

2018).

Anak balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh

banyak faktor seperti kondisi pendapatan keluarga kurang, gizi Ibu saat hamil,

kesakitan pada bayi dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita stunting di

masa yang akan datang akan mengalami kesulitan dalam mencapai

perkembangan fisik dan kognitif yang optimal (Sekretaris Jenderal

Kementerian Kesehatan RI, 2018).

Menurut Candra (2020), Stunting adalah kondisi tinggi badan seseorang

yang kurang dari normal berdasarkan usia dan jenis kelamin. Tinggi badan

merupakan salah satu jenis pemeriksaan antropometri dan menunjukkan status

gizi seseorang. Stunting merupakan akibat dari malnutrisi kronis yang sudah

berlangsung bertahun-tahun. Seseorang yang mengalami stunting sejak dini

18
dapat juga mengalami gangguan akibat malnutrisi berkepanjangan seperti

gangguan mental, psikomotor, dan kecerdasan.

2.1.2 Faktor- faktor yang mempengaruhi Stunting

Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan keberhasilan

pemberian intervensi paling menentukan pada 1.000 HPK (1000 Hari Pertama

Kehidupan). Faktor yang mempengaruhi kejadian stunting diantaranya sebagai

berikut :

1. Tinggi badan orangtua

Kelompok Ibu dengan tinggi badan <145 cm cenderung melahirkan

bayi pendek, dibandingkan kelompok Ibu dengan tinggi normal.

Melahirkan di usia terlalu muda (<20 tahun), berpotensi besar untuk

melahirkan bayi yang pendek juga, karena Ibu melahirkan sebelum proses

pertumbuhan berhenti dan Ibu yang pendek cenderung melahirkan bayi

yang pendek juga. Menikah setelah masa pertumbuhan berhenti, dengan

tinggi badan sewaktu hamil yang sudah >145 cm dan berat badan >45kg,

memperkecil risiko melahirkan bayi yang stunting (Candra, 2020 &

Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, 2019)

Secara umum heritabilitas lebih bermanfaat dalam mengkarakterisasi

efek genetik dari sifat-sifat yang terus-menerus didistribusikan, seperti

tinggi badan atau berat badan. Adanya pengaruh genetik terhadap kejadian

stunting, menunjukkan bahwa tinggi badan anak dipengaruhi oleh tinggi

badan orangtuanya. (Candra, 2020 & Kementerian Kesehatan RI, 2018)

Perawakan pendek yang disebabkan karena genetik dikenal sebagai

familial short stature (perawakan pendek keluarga). Tinggi badan orang tua

10
maupun pola pertumbuhan orang tua merupakan kunci untuk mengetahui

pola pertumbuhan anak. Faktor genetik tidak tampak saat lahir namun akan

bermanifestasi setelah usia 2-3 tahun. Perawakan pendek familial ditandai

oleh pertumbuhan yang selalu berada di bawah persentil 3, kecepatan

pertumbuhan normal, usia tulang normal, tinggi badan orang tua atau salah

satu orang tua pendek dan tinggi di bawah persentil 3 (Trihono et. al, 2015;

Candra, 2020; Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, 2019

& Kementerian Kesehatan RI, 2018)

2. Berat badan lahir anak

Ibu yang terlalu muda (dibawah usia 20 tahun) berisiko melahirkan

bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Anak-anak dengan berat

badan saat lahir <2500 gram, menyebabkan prevalensi pendek lebih banyak

dibandingkan dengan anak yang lahir normal dan lahir dengan berat badan

>4000 gram. Ini berarti kejadian double burden (beban ganda) sudah mulai

nampak pada bayi saat lahir. Akibatnya, pertumbuhan bayi pendek selalu

tertinggal dibanding bayi normal dan menjauhi standar pertambahan

panjang bayi. Menjaga bayi dengan lahir normal menjadi sangat penting,

agar status gizi bisa menjadi lebih baik (Trihono et. al, 2015 & Direktorat

Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, 2019)

Riwayat BBLR merupakan faktor risiko stunting pada anak 1-2 th.

Berat badan lahir rendah menandakan janin mengalami malnutrisi di dalam

kandungan, sedangkan underweight menandakan kondisi malnutrisi yang

akut. Stunting sendiri terutama disebabkan oleh malnutrisi yang lama. Bayi

yang lahir dengan berat badan kurang dari normal (<2500 gram) masih

11
memiliki panjang badan normal pada waktu dilahirkan. Stunting baru akan

terjadi beberapa bulan kemudian, walaupun hal ini sering tidak disadari

oleh orangtua. Orang tua baru mengetahui bahwa anaknya stunting

umumnya setelah anak mulai bergaul dengan teman-temannya sehingga

terlihat anak lebih pendek dibanding teman-temannya. Oleh karena itu anak

yang lahir dengan berat badan kurang atau anak yang sejak lahir berat

badannya di bawah normal harus diwaspadai akan menjadi stunting.

Semakin awal dilakukan penanggulangan malnutrisi maka semakin kecil

risiko menjadi stunting (Trihono et. al, 2015; Candra, 2020; Direktorat

Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, 2019 & Kementerian

Kesehatan RI, 2018)

3. ASI eksklusif

Nutrisi yang diperoleh sejak bayi lahir tentunya sangat berpengaruh

terhadap pertumbuhannya termasuk risiko terjadinya stunting. Air Susu Ibu

(ASI) merupakan makanan utama bagi bayi. Inisiasi Menyusu Dini (IMD)

sudah mulai digalakkan, ini merupakan media yang baik untuk

menyampaikan bahwa ASI adalah yang terbaik buat sang bayi. ASI

Eksklusif harus terus dianjurkan agar bayi terjamin tumbuh-kembangnya.

Namun di Indonesia, terdapat 60% dari anak usia 0-6 bulan tidak

mendapatkan ASI eksklusif. Gagalnya pemberian air susu ibu (ASI) yang

eksklusif, dan proses penyapihan dini dapat menjadi salah satu faktor

terjadinya stunting. Oleh karena itu, kuantitas dan kualitas ASI tidak boleh

kurang. Kualitas dan kuantitas ASI sangat tergantung pada asupan gizi ibu

12
menyusui. (Trihono et. al, 2015; Direktorat Jenderal Informasi dan

Komunikasi Publik, 2019 dan Kementerian Kesehatan RI, 2018)

4. Pendapatan keluarga

Permasalahan kekurangan gizi pada anak erat kaitannya dengan

tingkat pendapatan keluarga. Keluarga dengan tingkat pendapatan yang

rendah pada umumnya memiliki masalah dalam hal akses terhadap bahan

makanan terkait dengan daya beli yang rendah. (Trihono et. al, 2015 &

Candra, 2020)

Negara dengan pendapatan menengah ke-atas mampu menurunkan

angka stunting. Sedangkan pada negara dengan pendapatan rendah justru

mengalami peningkatan kejadian stunting. Lebih lanjut dikatakan bahwa

stunting akan berdampak dan dikaitkan dengan proses kembang otak yang

terganggu, dimana dalam jangka pendek berpengaruh pada kemampuan

kognitif. Jangka panjang mengurangi kapasitas untuk berpendidikan lebih

baik dan hilangnya kesempatan untuk peluang kerja dengan pendapatan

lebih baik (Trihono et. al, 2015; Candra, 2020 & Direktorat Jenderal

Informasi dan Komunikasi Publik, 2019)

5. Asupan gizi kurang

Harga makanan bergizi yang mahal, membuat orangtua menyediakan

makanan yang kurang bergizi dan seringkali tidak beragam. Dalam jangka

panjang masalah ini akan menjadi penyebab meningkatnya prevalensi

stunting, ada proses gagal tumbuh yang kejadiannya diawali pada

kehamilan, sebagai dampak kurangnya asupan gizi sebelum dan selama

kehamilan. Stunting terjadi mulai dari pra-konsepsi ketika seorang remaja

13
menjadi ibu yang kurang gizi (Trihono et. al, 2015; Candra, 2020 &

Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, 2019)

Asupan gizi pada WUS (wanita usia subur) yang berisiko KEK

(kekurangan energi kronis) harus ditingkatkan sehingga dapat memiliki

berat badan yang ideal saat hamil. Pada Ibu hamil, asupan kalori sangat

penting terutama pada Ibu hamil yang berusia <20 tahun karena sangat

beresiko terjadi KEK. Sedangkan untuk Ibu hamil KEK sudah ada program

perbaikan gizi yang ditetapkan pemerintah yaitu dengan pemberian

makanan tambahan berupa biskuit yang mengandung protein, asam

linoleat, karbohidrat, dan diperkaya dengan 11 vitamin dan 7 mineral sesuai

dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2016 tentang

Standar Produk Suplementasi Gizi (Trihono et. al, 2015 & Candra, 2020)

Kebutuhan asupan zat gizi selama menyusui hampir sama dengan

kebutuhan zat gizi saat hamil. Sedangkan dari sisi pemberian makanan

pendamping ASI (MP-ASI) hal yang perlu diperhatikan adalah kuantitas,

kualitas, dan keamanan pangan yang diberikan. Namun orangtua

memberikan MP-ASI anak yang banyak dari kelompok serealia

(karbohidrat), sangat kurang dari kelompok protein, buah, dan sayur

(Candra, 2020; Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, 2019

& Kementerian Kesehatan RI, 2018)

6. Air bersih dan sanitasi

Faktor penting lain yang mempengaruhi terjadinya masalah

kekurangan gizi pada anak balita adalah buruknya kondisi lingkungan

seperti akses sanitasi dan air bersih. Faktor kebersihan dan kesehatan

14
lingkungan berpengaruh terhadap kejadian stunting. Perbaikan akses

sanitasi dan penyediaan air bersih akan menurunkan masalah pendek pada

balita. Mikotoksin sebagai produk alami bawaan makanan, kurangnya

sanitasi yang memadai, lantai tanah di rumah, bahan bakar memasak

berkualitas rendah, dan pembuangan limbah lokal yang tidak memadai

terkait dengan peningkatan risiko pengkerdilan anak. Penggunaan bahan

bakar padat dan mikotoksin bawaan pada makanan sebagai faktor risiko

lingkungan yang berpotensi memiliki efek langsung pada pertumbuhan

anak (Trihono et. al, 2015; Candra, 2020 & Direktorat Jenderal Informasi

dan Komunikasi Publik, 2019)

7. Riwayat infeksi

Rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan, mendekatkan anak

pada risiko ancaman penyakit infeksi. Seringnya menderita penyakit

infeksi, membuat pertumbuhan anak terganggu. Banyak faktor yang

menyebabkan hal ini, namun karena mereka sangat tergantung pada

Ibu/keluarga, maka kondisi keluarga mempengaruhi status gizinya.

Pengurangan status gizi terjadi karena asupan gizi yang kurang dan sering.

Jadi faktor lingkungan, keadaan dan perilaku keluarga yang mempermudah

infeksi berpengaruh pada status gizi balita (Trihono et. al, 2015; Direktorat

Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, 2019 & Kementerian

Kesehatan RI, 2018)

2.1.3 Patofisiologi Stunting

Masalah gizi pada anak balita tidak mudah dikenal oleh pemerintah, atau

masyarakat bahkan keluarga karena anak tidak tampak sakit. Terjadinya kurang

15
gizi tidak selalu didahului oleh terjadinya bencana kurang pangan dan

kelaparan seperti kurang gizi pada dewasa. Hal ini berarti dalam kondisi

pangan melimpah masih mungkin terjadi kasus kurang gizi pada anak balita.

Stunting merupakan retardasi pertumbuhan linier dengan defisit dalam panjang

atau tinggi badan sebesar < 2 Z-score atau lebih menurut buku rujukan

pertumbuhan World Health Organization/ National Centerfor Health Statistics

(WHO/NCHS). Stunting disebabkan oleh campuran episode stress yang sudah

berlangsung lama (misalnya infeksi dan asupan makanan yang buruk), yang

kemudian tidak terimbangi oleh catchup growth (kejar tumbuh). Dampak dari

kekurangan gizi pada awal kehidupan anak akan berlanjut dalam setiap siklus

hidup manusia. Wanita usia subur (WUS) dan Ibu hamil yang mengalami

kekurangan energi kronis (KEK) akan melahirkan bayi dengan berat badan

lahir rendah (BBLR). BBLR ini akan berlanjut menjadi balita gizi kurang

(stunting) dan berlanjut ke-usia anak sekolah dengan berbagai konsekuensinya.

(World Health Organization, 2021)

2.1.4 Dampak Terjadinya Stunting

1. Jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan,

gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme tubuh balita.

2. Jangka panjang adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi

belajar anak, menurunnya kekebalan tubuh sehingga anak mudah sakit, dan

risiko tinggi munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung

dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua.

16
Kesemuanya itu akan menurunkan kualitas sumber daya manusia

Indonesia, produktifitas, dan daya saing bangsa (Direktorat Jenderal Informasi

dan Komunikasi Publik. 2019)

2.1.5 Balita

1. Pengertian Balita

Balita adalah individu atau sekelompok individu dari suatu penduduk

yang berada dalam rentan usia tertentu. Usia balita dapat dikelompokkan

menjadi tiga golongan yaitu golongan usia bayi (0-2 tahun), golongan batita

(2-3 tahun) dan golongan prasekolah (>3-5 tahun). Adapun menurut WHO,

kelompok balita adalah 0-60 bulan (Adriani & Wirjatmadi, 2014).

2. Kebutuhan Gizi Balita

Asupan zat gizi dan pengeluarannya haruslah seimbang, sehingga

memperoleh status gizi yang baik. Status gizi balita dapat dipantau dengan

penimbangan anak setiap bulan dan dicocokkan dengan Kartu Menuju Sehat

( KMS) (Proverawati & Kusumawati, 2010).

a. Energi

Kebutuhan energi pada tahun pertama ± 100-200 Kkal/ kg BB.

Untuk tiap tiga tahun pertambahan umur, kebutuhan energi sekitar 10

Kkal/kg BB (Adriani & Wirjatmadi, 2014).

b. Protein

Protein diperlukan sebagai zat pembangun, yaitu untuk

pertumbuhan dan sumber energi. Masalah rendahnya konsumsi energi

dan protein (KEP) dapat juga diketahui dari lambatnya pertumbuhan

17
tinggi badan anak yang tercermin dari panjang atau tinggi badan.

Disarankan ± 2,5-3 g/kg BB bagi bayi dan 1,5-2 g/kg BB bagi anak

sekolah (Adriani & Wirjatmadi, 2014).

c. Lemak

Kebutuhan lemak tidak dinyatakan dalam angka mutlak.

Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi atau AKG (2013), lemak pada balita

usia 1-3 tahun, ± 44 g/ kg BB dan balita usia 4-6 tahun, ±62 g/kg BB.

(Herliafifah, 2021).

d. Karbohidrat

Terdapat dua jenis karbohidrat yaitu karbohidrat sederhana dan

karbohidrat kompleks. Karbohidrat sederhana adalah nama lain dari gula,

sedangkan karbohidrat kompleks adalah jenis zat yang membutuhkan

waktu lebih lama untuk dicerna dan membuat anak lebih cepat kenyang.

Kebutuhannya ± 155 g/kg BB (Herliafifah, 2021).

2.1.5 Penilaian Status Gizi Balita Berdasarkan Antropometri

Standar antropometri digunakan untuk menilai atau menentukan status

gizi anak. Penilaian dilakukan dengan membandingkan hasil pengukuran berat

badan dan panjang/ tinggi badan dengan Standar Antropometri Anak. Standar

Antropometri yang digunakan berdasarkan kategori status gizi pada WHO

Child Growth Standard untuk anak usia 0-5 tahun (Kementrian Kesehatan RI.

2020)

Penilaian status gizi secara antropometri merupakan penilaian status gizi

secara langsung yang paling sering digunakan di masyarakat. Antropometri

dikenal sebagai indikator untuk penilaian status gizi perseorangan maupun

18
masyarakat. Pengukuran antropometri dapat dilakukan oleh siapa saja dengan

hanya melakukan latihan sederhana. Selain itu, antropometri memiliki metode

yang tepat, akurat karena memiliki ambang batas dan rujukan yang pasti,

mempunyai prosedur yang sederhana, dan dapat dilakukan dalam jumlah

sampel yang besar. (Larasati, 2018).

Standar Antropometri Anak didasarkan pada parameter berat badan dan

panjang/tinggi badan yang terdiri atas 4 (empat) indeks, meliputi:

1. Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U)

Indeks BB/U ini menggambarkan berat badan relatif dibandingkan

dengan umur anak. Indeks ini digunakan untuk menilai anak dengan berat

badan kurang (underweight) atau sangat kurang (severely underweight),

tetapi tidak dapat digunakan untuk mengklasifikasikan anak gemuk atau

sangat gemuk. Penting diketahui bahwa seorang anak dengan BB/U rendah,

kemungkinan mengalami masalah pertumbuhan, sehingga perlu

dikonfirmasi dengan indeks BB/PB atau BB/TB atau IMT/U sebelum

diintervensi.

2. Indeks Panjang Badan menurut Umur atau Tinggi Badan menurut Umur

(PB/U atau TB/U)

Indeks PB/U atau TB/U menggambarkan pertumbuhan panjang atau

tinggi badan anak berdasarkan umurnya. Indeks ini dapat mengidentifikasi

anak-anak yang pendek (stunted) atau sangat pendek (severely stunted),

yang disebabkan oleh gizi kurang dalam waktu lama atau sering sakit.

Anak-anak yang tergolong tinggi menurut umurnya juga dapat

diidentifikasi. Anak-anak dengan tinggi badan di atas normal (tinggi sekali)

19
biasanya disebabkan oleh gangguan endokrin, namun hal ini jarang terjadi

di Indonesia.

Anak dengan PB/U atau TB/U dibawah minus dua standar deviasi (<-

2SD) adalah anak dengan perawakan pendek (short stature). Anak ini wajib

ditindaklanjuti dengan tatalaksana stunting dan dirujuk. Pada anak dengan

PB/U atau TB/U terletak di atas tiga standar deviasi (> +3 SD), artinya anak

berperawakan tinggi dan perlu dirujuk ke fasyankes yang lebih tinggi untuk

deteksi dini penyebabnya sehingga dapat ditatalaksana segera (misalnya

anak yang sangat tinggi menurut umurnya sedangkan tinggi orang tua

normal).

3. Indeks Berat Badan menurut Panjang Badan/Tinggi Badan (BB/PB atau

BB/TB)

Indeks BB/PB atau BB/TB ini menggambarkan apakah berat badan

anak sesuai terhadap pertumbuhan panjang/tinggi badannya. Indeks ini

dapat digunakan untuk mengidentifikasi anak gizi kurang (wasted), gizi

buruk (severely wasted) serta anak yang memiliki risiko gizi lebih (possible

risk of overweight). Kondisi gizi buruk biasanya disebabkan oleh penyakit

dan kekurangan asupan gizi yang baru saja terjadi (akut) maupun yang telah

lama terjadi (kronis).

4. Indeks Masa Tubuh menurut Umur (IMT/U)

Indeks IMT/U digunakan untuk menentukan kategori gizi buruk, gizi

kurang, gizi baik, berisiko gizi lebih, gizi lebih dan obesitas. Grafik IMT/U

dan grafik BB/PB atau BB/TB cenderung menunjukkan hasil yang sama.

Namun indeks IMT/U lebih sensitif untuk penapisan anak gizi lebih dan

20
obesitas. Anak dengan ambang batas IMT/U >+1SD berisiko gizi lebih

sehingga perlu ditangani lebih lanjut untuk mencegah terjadinya gizi lebih

dan obesitas. (Kementrian Kesehatan RI. 2020:15)

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI tahun 2010 maka gizi

kurang dikategorikan seperti dalam tabel di bawah ini :

Tabel 2.1 Kategori status gizi berdasarkan indeks antropometri

Kategori Ambang Batas (Z-


INDEKS
Status Gizi score)
Gizi Buruk < -3 SD
Berat Badan menurut Umur
Gizi Kurang -3 SD s.d < -2 SD
(BB/U)
Gizi Baik -2 SD s.d 2 SD
Anak umur 0-60 bulan
Gizi Lebih >2 SD
Panjang Badan menurut Umur Sangat Pendek <-3 SD
(PB/U) atau Tinggi Badan Pendek -3 SD s.d < -2 SD
(TB/U) Normal -2 SD s.d 2 SD
Anak umur 0-60 bulan Tinggi >2 SD
Berat Badan menurut Panjang Sangat Kurus < -3 SD
Badan (BB/PB) atau Berat Kurus -3 SD s.d < -2 SD
Badan menurut Tinggi Badan Normal -2 SD s.d 2 SD
(BB/TB)
Gemuk >2 SD
Anak Umur 0-60 Bulan
Sangat Kurus <-3 SD
Indeks Masa Tubuh menurut
Kurus -3 SD s.d > -2 SD
Umur (IMT/U)
Normal -2 SD s.d 2 SD
Anam Umur 0-60 Bulan
Gemuk >2 SD
Sangat Kurus <-3 SD
Indeks Masa Tubuh menurut Kurus -3 SD s.d < -2 SD
Umur (IMT/U) Normal -2 SD s.d 2 SD
Anam Umur 5-18 Bulan Gemuk <1 SD s.d 2 SD
Obesitas >2 SD

21
2.2 Kajian Penelitian Relevan

Tabel 2.2 Tabel Kajian Penelitian Relevan

JUDUL JUMLAH
NO NAMA PENELITI VARIABEL PENELITIAN METODE PENELITIAN
PENELITIAN RESPONDEN
Nadia Nabila Larasati Faktor - Faktor Yang Independen : - Jenis Penelitian: 152 sampel, terbagi 2
1. (2018) Berhubungan Dengan 1. Tinggi badan Ibu Case control kelompok :
Kejadian Stunting 2. Tingkat pendidikan Ibu - Teknik pengambilan 1. 76 sampel kontrol
Pada Balita Usia 25- 3. Status ekonomi sampel yaitu dengan 2. 76 sampel kasus
59 Bulan Di Posyandu 4. Pemberian ASI eksklusif simple random sampling.
Wilayah Puskesmas 5. Berat bayi lahir
Wonosari II Tahun 6. Jenis kelamin
2017 Dependen :
Kejadian Stunting
Venny Marisai Kullu, Faktor - Faktor Yang Independen: - Jenis penelitian ini adalah 80 sampel
2. Yasnani, dan Hariati Berhubungan Dengan 1. Pola Asuh Ibu observasional analitik
Lestari (2018) Kejadian Stunting 2. Riwayat penyakit infeksi - Teknik pengambilan
Pada Balita Usia 24- 3. Rangsangan psikososial sampel yaitu dengan
59 Bulan Di Desa Dependen : Exhaustive Sampling
Wawatu Kecamatan Kejadian Stunting
Moramo Utara
Kabupaten Konawe
Selatan Tahun 2017

22
Wiwin Barokhatul
Faktor yang Independen: - Jenis penelitian ini, yaitu 76 sampel
3. Maulidah, Ninnaberhubungan dengan 1. Tingkat konsumsi energi, analitik observasional
Rohmawati, dankejadian stunting pada protein, zink dan kalsium. - Teknik pengambilan
Sulistiyani (2019) balita di Desa 2. Riwayat penyakit kronis. sampel menggunakan
Panduman Kecamatan 3. Riwayat BBLR teknik simple random
Jelbuk Kabupaten Dependen: sampling.
Jember Kejadian Stunting
Eko Setiawan, Faktor-Faktor yang Independen: - Jenis penelitian ini adalah 74 sampel
4. Rizanda Machmud, Berhubungan dengan 1. Tingkat asupan energi studi analitik
dan Masrul (2018) Kejadian Stunting 2. Riwayat durasi penyakit observasional
pada Anak Usia 24-59 infeksi - Teknik pengambilan
Bulan di Wilayah 3. Berat Lahir Bayi sampel simple random
Kerja Puskesmas 4. Tingkat pendidikan Ibu sampling.
Andalas Kecamatan 5. Tingkat ekonomi
Padang Timur, Kota Dependen:
Padang Tahun 2018 Kejadian Stunting

23
Berdasarkan ke empat jurnal pada tabel kajian penelitian relevan tersebut di

atas, perbedaan penelitian ini dengan ke empat penelitian tersebut dapat dilihat dari

Variabel Independen, Jenis Penelitian, Teknik Pengambilan Sampel dan Jumlah

Responden.

Penelitian pertama, terdapat 6 variabel independen yang digunakan,

menggunakan jenis penelitian case control dengan teknik pengambilan sampel

simple random sampling pada 152 responden. Penelitian kedua, hanya terdapat 3

variabel, jenis penelitian yang digunakan observational analitik, dengan teknik

pengambilan sampel exhaustive sampling dan memiliki jumlah responden 80

sampel. Penelitian ketiga, hanya terdapat 3 variabel, jenis penelitian yang digunakan

observational analitik, dengan teknik pengambilan sampel menggunakan simple

random sampling dan jumlah responden sebanyak 76 sampel. Penelitian terakhir,

memiliki 5 variabel, dengan jenis penelitian yang sama dengan jurnal kedua dan

ketiga, untuk teknik pengambilan sampel sama dengan jurnal ketiga, dan jumlah

responden yang digunakan sebanyak 74 sampel.

Persamaan penelitian ini dengan ke empat jurnal penelitian sebelumnya, dapat

dilihat pada variabel dependen. Pada penelitian sebelumnya dan penelitian ini,

variabel dependen yang digunakan yaitu kejadian stunting pada kelompok usia

Balita. Namun terdapat perbedaan dalam memilih usia berdasarkan bulan, karena

berkaitan dengan kebijakan karakteristik populasi tempat penelitian.

24
2.3 Kerangka Berpikir/ Teori

Tinggi badan STUNTING FAKTOR RISIKO


Orangtua/ familial
- Asupan gizi Ibu/ Anak
short stature
- Riwayat Infeksi
- Pendapatan keluarga
- Air bersih dan sanitasi

- ASI Eksklusif
- Berat Badan Lahir
Anak

Jangka Panjang Jangka Pendek

Hambatan Kapasitas Belajar/


Pertumbuhan dan Study Performance
Perkembangan Anak

Gambar 2.1 Peyebab Stunting di Indonesia

Sumber : Trihono et. al, 2015; Candra, 2020 & Direktorat Jenderal Informasi dan
Komunikasi Publik, 2019)

28
2.4 Kerangka Konsep

Tinggi Badan Ayah/ Ibu

Berat Badan Lahir Anak

ASI Eksklusif
Stunting
Pendapatan Keluarga

Asupan Gizi

Penyakit Infeksi

Air bersih dan sanitasi

Keterangan :
Variabel Independen

Variabel Dependen

Hubungan antar Variabel


Variabel pengganggu/ yang tidak diteliti

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

29
2.5 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

a. Ada hubungan antara faktor tinggi badan Ayah / Ibu dengan kejadian

stunting di wilayah kerja Puskesmas Ulanta.

b. Ada hubungan antara faktor Berat Badan Lahir Anak dengan kejadian

stunting di wilayah kerja Puskesmas Ulanta.

c. Ada hubungan antara faktor pemberian ASI eksklusif dengan kejadian di

wilayah kerja Puskesmas Ulanta.

d. Ada hubungan antara faktor pendapatan keluarga dengan kejadian stunting

di wilayah kerja Puskesmas Ulanta.

30
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini dilaksanakan di tiap POSYANDU yang terdapat di

Wilayah Kerja Puskesmas Ulanta, sebanyak 5 Pos. Terdapat 2 Pos di Desa Ulanta,

1 Pos di tiap Desa Huluduotamo, Helumo dan Bube baru. Waktu penelitian

dilakukan selama 2 minggu dengan mengikuti jadwal Posyandu pada bulan

Desember 2021.

3.2 Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan peneliti adalah metode survei analitik.

Metode survei adalah metode penelitian kuantitatif yang digunakan untuk

mendapatkan data yang terjadi pada masa lampau atau saat ini, tentang keyakinan,

pendapat, karakteristik, perilaku, hubungan variabel dan untuk menguji beberapa

hipotesis tentang hubungan antar variabel sosiologis dan psikologis dari sampel

yang diambil dari populasi tertentu. Teknik pengumpulan data dengan

menggunakan instrumen yang berupa test, observasi, wawancara dan kuesioner

tertutup (Sugiyono & Puspandhani, 2020)

3.3 Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang

ditetapkan oleh peneliti. Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu :

3.3.1 Variabel Independen :

31
Variabel independen atau variabel bebas adalah variabel yang

mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya

32
variabel dependen terikat. (Sugiyono, 2016) Variabel independen dalam penelitian

ini yaitu :

1. Tinggi Badan Ayah/ Ibu

2. Berat Badan Lahir Anak

3. Pemberian ASI Eksklusif

4. Pendapatan Keluarga

3.3.2 Variabel Dependen

Variabel dependen atau variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi

atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2016). Variabel

terikat dalam penelitian ini adalah Kejadian Stunting di Puskesmas Ulanta.

3.4 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian

SKALA/
N VARIA DEFINISI ALAT
HASIL UKUR JENIS
O BEL OPERASIONAL UKUR
DATA
1 Variabel Keadaan status gizi - Stadiome - Skor 1 = Pendek (<- Nominal
Depende seseorang berdasarkan z- ter 2 SD)
n: skor tinggi badan (TB) - Skor 2 = Sangat
Stunting terhadap umur (U) dimana Pendek (<-3 SD)
terletak pada <- 2 SD.
Diperoleh dari pengukuran.
2 Variabel Tinggi Badan Ayah atau Ibu - Stadiome - Skor 1 = rendah Nominal
Indepen terakhir pengukuran ter ( jika Ayah < 158
den: (minimal 6 bulan terakhir) cm dan Ibu <145
Tinggi cm)
Badan - Skor 2 = tinggi (jika
Ayah/ Ayah ≥ 158 cm dan
Ibu Ibu ≥>145 cm)

3 Berat Ukuran dari berat atau masa - Buku - Skor 1 = rendah Nominal
Badan bayi yang ditimbang dalam KIA (<2500 gram)
Lahir bentuk gram pada waktu 1 (rekam - Skor 2 = normal
Anak jam pertama setelah lahir. medis) (mulai dari 2500
Diperoleh dari data primer - Kuesione gram)
(buku KIA) dengan angket. r

4 Pemberia Cara pemberian ASI Kuesioner - Skor 1 = Tidak Nominal

63
n ASI eksklusif pada bayi dalam Eksklusif
eksklusif kurun 6 bulan pertama - Skor 2 = Ya,
setelah lahir tanpa makanan Eksklusif
tambahan/ pendamping/
susu formula. Diperoleh
dengan data primer dan
menggunakan angket.

5 Status Gaji atau pendapatan rata- Cheklist - Skor 1 = Rendah Nominal


Pendapat rata perbulan yang didapat (bila jumlah rata-
an Ayah dan Ibu saat masa rata pendapatan
keluarga kehamilan. keluarga
pebulannya <Rp.
2.586.900)
- Skor 2 = Tinggi
(bila jumlah rata-
rata pendapatan
keluarga
perbulannya mulai
dari Rp. 2.586.900)

(Sumber : Peraturan
Menteri Tenaga
Kerja dan
Transmigrasi No. 7
tahun 2013)

3.5 Populasi dan Sampel

3.5.1 Populasi

Menurut Corper, Donald, R; Schindler PamelasS; (dalam Sugiyono dan

Puspandhani, 2020) Populasi adalah keseluruhan elemen yang akan dijadikan

wilayah inferensiasi/ generalisasi. Elemen populasi adalah keseluruhan subyek yang

akan diukur, yang merupakan unit yang diteliti. Populasi pada penelitian ini adalah

semua Orangtua dari BALITA (usia 1-59 bulan) yang terdaftar stunting di wilayah

kerja Puskesmas Ulanta dengan kategori “pendek” sebanyak 42 anak dan “sangat

pendek” sebanyak 28 anak, yang terdaftar sejak bulan Maret sampai bulan Agustus

sebanyak 68 orangtua dari 70 anak Balita.

64
3.5.2 Sampel

Menurut Sugiyono & Puspandhani (2020) Sampel adalah bagian dari jumlah

dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Bila populasi besar, dan peneliti tidak

mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan

dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari

populasi itu.

Adapun Sampel pada penelitian ini adalah orangtua yang representatif

berdasarkan data sekunder dan yang peneliti temui di lokasi penelitian atau peneliti

kunjungi dari rumah ke rumah.

3.5.3 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik sensus/ sampling

total. Menurut Sugiyono & Puspandhani (2020), Sensus/ sampling total adalah

teknik pengembalian sampel dimana seluruh anggota populasi dijadikan sampel

semua. Hal ini sering dilakukan bila jumlah populasi relative kecil, kurang dari 100

orang atau penelitian yang ingin membuat generalisasi dengan kesalahan yang sangat

kecil.

Dengan merujuk pendapat Sugiyono tersebut dan melihat jumlah populasi

yang akan diteliti kurang dari 100, yaitu sebanyak 66 orangtua dari 70 balita berusia

1-59 bulan. Maka sampel dalam penelitian ini sebanyak 66 orangtua dengan terdapat

2 Ibu diantaranya meliki anak yang kembar dan terdaftar stunting.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

3.6.1 Data Primer

Data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada

pengumpul data. Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila

65
peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang

harus diteliti dan utuk mengetahui hal-hal dari responden yang lebih dalam dan jika

jumlah respondennya sedikit/ kecil serta dapat dilakukan secara terstruktur maupun

tidak terstruktur atau dapat dilakukan melalui tatap muka maupun menggunakan

telepon. Kuesioner atau angket sebagai teknik pengumpulan data yang dilakukan

dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada

responden untuk dijawabnya (Sugiyono & Puspandhani, 2020).

Pengumpulan data didapatkan dari seluruh orangtua balita yang terdaftar

stunting di wilayah kerja Puskesmas Ulantha. Pengumpulan data dilakukan saat

Ayah dan Ibu berkunjung ke Pos Pelayanan Terpadu (POSYANDU). Peneliti

menemui kader kesehatan, kemudian memperkenalkan diri, menjelaskan maksud,

tujuan dan manfaat penelitian, serta kerahasiaan responden. Setelah responden

setuju, maka selanjutnya responden diberikan Inform concent untuk ditanda

tangani sebelum melakukan pengisisan kuesioner. Peneliti juga menjelaskan

gambaran dari isi kuesioner. Responden diberikan waktu untuk mengisi jawaban

selama 10-15 menit. Peneliti dan kader kesehatan juga membantu untuk

memberikan pemahaman pertanyaan dalam kuesioner. Setelah kuesioner terisi,

peneliti mengambil kuesioner tersebut dan mengecek kelengkapan pengisian

kuesioner. Peneliti mempersilahkan responden untuk melengkapi kuesioner yang

tidak lengkap dan juga bekerja sama dengan kader kesehatan melakukan kunjungan

rumah kepada responden yang berkunjung tapi tidak melengkapi kuesioner dan

kepada orangtua yang tidak berkunjung ke Posyandu. Peneliti mengucapkan terima

kasih kepada responden setiap selesai melakukan penelitian.

3.6.2 Data Sekunder

66
Data sekunder ini merupakan sumber data yang tidak langsung memberikan

data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen

(Sugiyono & Puspandhani, 2020). Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari

buku KIA, laporan Petugas Kesehatan dan Kader POSYANDU yang ada di wilayah

kerja Puskesmas Ulanta.

3.7 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat-alat yang digunakan untuk pengumpulan data

(Arikunto, 2016). Instrumen yang digunakan untuk mendapatkan data primer yaitu

kuesioner (angket) yang telah ditambahkan oleh peneliti dari peneliti sebelumnya.

Kuesioner merupakan alat ukur berupa angket dengan beberapa pertanyaan, dimana

pertayaan-pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner mampu menggali hal-hal yang

bersifat rahasia. Pembuatan kuesioner ini mengacu pada parameter yang sudah dibuat oleh

peneliti-peneliti sebelumnya yang sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan.

Instrumen dalam penelitian ini merupakan instrument yang tidak memerlukan uji validitas

maupun uji reliabilitas diantaranya. Karena instrumen yang digunakan adalah berdasarkan

data primer dan sekunder yang dapat diukur dan dilihat secara langsung. Instrumen

penelitian ini adalah :

3.7.1 Standar Antropometri Status Gizi

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur anak balita dengan kategori

perawakan pendek (short stature) atau stunting, jika anak dengan hasil PB/U atau

TB/U dibawah minus dua standar deviasi (<-2SD) berdasarkan tabel Kategori dan

Ambang Batas Status Gizi Anak (Kementrian Kesehatan RI, 2020)

3.7.2 Penilaian Tinggi badan Ayah atau Ibu

67
Alat ukur yang akan digunakan adalah stadiometer/ pita pengukur yang

ditempel ke dinding dengan tingkat ketinggian 0,1 cm (centimeter). Pita diletakkan

vertikel di dinding, dan responden akan berdiri tegak tanpa alas kaki, menghadap

kedepan dan platform stadiometer ditrunkan hingga menyentuh bagian atas kepala

(Siswanto, 2014)

3.7.3 Berat Badan Lahir Anak

Alat yang digunakan adalah dengan melihat hasil rekam medis yang tercatat di

buku KIA anak untuk melihat berat badan lahir anak. Peneliti memberikan 2

kategori, kategori berisiko jika berat <2500 gram (BBLR). Sedangkan kategori tidak

berisiko, jika berat mulai dari 2500 gram. (World Health Organization, 2013)

3.7.4 Pemberian ASI eksklusif

Alat yang digunakan adalah lembaran pertanyaan kepada Ibu tentang

pemberian ASI eksklusif, yang berisi 1 butir pertanyaan yang akan ditambahkan oleh

peneliti. Pertanyaannya akan menghasilkan skor 1 jika Ibu tidak memberikan ASI

eksklusif kepada anaknya, dan diberi skor 2 jika Ibu memberikan ASI eksklusif

kepada anaknya (0-6 bulan tanpa campuran) (Kementrian Kesehatan RI, 2020)

3.7.5 Pendapatan keluarga

Alat ukur yang digunakan adalah berdasarkan atas keputusan peraturan

pemerintah tentang pengupahan nomor 78 tahun 2015. Pendapatan keluarga, memuat

2 kategori. Kategori rendah jika rata-rata pendapatan keluarga perbulannya di bawah

Upah minimum provinsi yaitu < Rp.2.586.900. Sedangkan kategori tinggi jika rata-

rata pendapatan keluarga sesuai dengan UMP atau > Rp. 2.586.900

68
3.8 Metode Pengolahan Data dan Teknik Analisis Data

3.8.1 Metode Pegolahan Data

Menurut Saryono & Setiawan (2013), sebelum dianalisis, data diolah terlebih

dahulu dengan tahapan sebagai berikut :

1. Editing

Editing adalah memeriksa daftar pertanyaan atau pernyataan dan

kelengkapan jawaban yang telah diserahkan oleh para pengumpul data yang

bertujuan untuk mengurangi kesalahan atau kekurangan yang ada di daftar

pertanyaan. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan proses editing pada saat

setelah responden mengumpulkan kuesioner sehingga mengurangi kemungkinan

tejadinya missing data.

2. Coding

Coding adalah mengklasifikasikan jawaban dari para responden ke dalam

kategori.

Berikut ini kode yang diberikan dari hasil pengumpulan data:

a. Variabel Tinggi Badan Ayah atau Ibu

1) Tinggi Badan Ibu Rendah diberi kode 1

2) Tinggi Badan Ibu Tinggi diberi kode 2

b. Variabel Berat Badan Lahir Anak

1) Berat Badan Lahir Anak Rendah diberi kode 1

2) Berat Badan Lahir Anak Normal diberi kode 2

c. Variabel Pemberian ASI Ekklusif

1) Tidak ASI Eksklusif dieri kode 1

2) ASI Eksklusif diberi kode 2

d. Variabel pendapatan Keluarga

69
1) Status Pendapatan Keluarga Rendah diberi kode 1

2) Status Pendapatan Keluarga Tinggi diberi kode 2

e. Variabel Stunting

1) Stunting kategori pendek diberi kode 1

2) Stunting kategori sangat pendek diberi kode 2

3. Entry

Tahap ini dilakukan dengan cara memasukan data berdasarkan variabel

yang diteliti ke dalam komputer.

4. Tabulating

Tabulating adalah pekerjaan membuat tabel. Semua data-data yang telah

dikumpulkan disusun dalam bentuk tabel untuk kemudian dianalisis.

3.8.2 Analisis univariat

Menurut Notoatmojo (dalam Nadia Nabila Larasati, 2018) menjelaskan bahwa

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik

setiap variabel penelitian. Analisis ini menghasilkan Distribusi frekuensi dan

persentase dari tiap variabel. Dalam penelitian analisis univariat terdiri dari tinggi

badan Ayah/ Ibu, Berat Badan Lahir Anak, pemberian ASI Eksklusif, dan

Pendapatan Keluarga.

Rumus yang digunakan :

x
P= 100 %
y

Keterangan :

P : Persentasi subjek pada kategori tertentu

70
X : ∑ ❑sampel dengan karakteristik tertentu

Y : ∑ ❑sampel total

3.8.3 Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan pada dua variabel yang diduga berhubungan.

Analisis bivariat dilakukan setelah ada perhitungan analisis univariat (Notoatmojo,

2010). Dalam penelitian ini menggunakan uji statistik untuk mengetahui hubungan

antara tinggi badan Ayah/ Ibu, Berat Badan Lahir Anak, pemberian ASI Eksklusif,

dan Pendapatan Keluarga dengan kejadian stunting pada balita usia 1-59 bulan. Uji

statistik sebagai berikut:

1. Chi-square

Data yang diperoleh akain diuji dengan Chi-square, apabila memenuhi

syarat uji Chi-square yaitu tidak ada nilai expected yang kurang dari 5. Jika

syarat uji Chi-square tidak terpenuhi, maka dapat dipakai uji alternatifnya

yaitu uji Fisher’s Exact Test. Kedua variabel yang diuji dikatakan memiliki

hubungan yang signifikan apabila dengan tingkat kepercayaan 95%,

didapatkan nilai p-value kurang dari 0,05.

Rumus perhitungan Chi-square :

Keterangan :

= Chi Kuadrat

= Frekuensi yang diobservasi

= Frekuensi yang diharapkan

71
3.9 Hipotesis Statistik

3.9.1 Bila t <0,05artinya H0 ditolak dan Ha diterima maka terdapat hubungan antara

faktor tinggi badan Ayah/ Ibu, berat badan lahir anak, pemberian ASI eksklusif dan

pendapatan keluarga dengan kejadian stunting di Puskesmas Ulanta.

3.9.2 Bila t >0,05 artinya H0 diterima dan Ha ditolak maka tidak terdapat hubungan

antara faktor tinggi badan Ayah/ Ibu, berat badan lahir anak, pemberian ASI

eksklusif dan pendapatan keluarga dengan kejadian stunting di Puskesmas Ulanta.

3.10 Etika Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, peneliti memperhatikan etika dalam penelitian

karena merupakan masalah yang sangat penting mengingat penelitian ini berhubungan

langsung dengan manusia yang mempunyai hak asasi dalam kegiatan penelitian, sebelum

meminta persetujuan dari responden. Adapun bentuk etika penelitian yang penting

dilakukan menurut (Hidayat, 2014) adalah :

3.10.1 Informed Concent

Informed concent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan

responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Peneliti memberikan

Informed concent kepada responden sebelum penelitian dilakukan. Tujuan

informed concent adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian serta

mengetahui dampaknya.

3.10.2 Anonimity (tanpa nama)

Masalah dalam etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan

jaminan penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau

mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menulis kode pada

lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang disajikan. Anonimity dalam

72
penelitian ini dengan mengganti identitas responden menjadi nomor responden

(angka 1 s.d 70 orangtua)

3.10.3 Beneficiency (manfaat/ baik)

Peneliti memperhatikan keuntungan dan kerugian yang bisa ditimbulkan oleh

responden. Keuntungan bagi responden adalah responden dapat mengetahui

bagaimana pengetahuan tentang faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting.

Penelitian ini merupakan upaya untuk mewujudkan ilmu pengetahuan,

kesejahteraan, martabat, dan peradaban manusia, serta terhindar dari segala sesuatu

yang menimbulkan kerugian atau membahayakan subyek penelitian atau masyarakat

pada umumnya. Penelitian ini dapat memberikan manfaat pada pada peneliti, subyek

penelitian dan masyarakat serta tidak merugikan dan membahayakan bagi subyek

penelitian.

73
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Lokasi Penelitian

Puskesmas Ulantha adalah puskesmas pemekaran dari Puskesmas induk

Puskesmas Suwawa sejak bulan Januari Tahun 2012. Dan Telah diresmikan (Definitif)

oleh Bapak Bupati Hamim Pou sejak tanggal 9 Januari 2012. Puskesmas Ulantha

merupakan salah satu dari 20 Puskesmas yang ada di Kabupaten Bone Bolango

Provinsi Gorontalo.

Gambar 4.1 Peta Kecamatan Suwawa

1. Letak

Dengan batas sebagai berikut :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kab Bolaang Mongondow Utara

74
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Suwawa Selatan

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Suwawa Tengah

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Tilongkabila

2. Luas Wilayah

Luas wilayah kerja Puskesmas Ulantha adalah sebesar 23,8 km 2. Desa

Huluduotamo memiliki luas 2,8 km2 , Desa Helumo memiliki luas 1,5 km2,

Desa Ulantha memiliki luas 1,3 km2, dan Desa Bube Baru memiliki luas 18,2

km2.

3. Pelayanan Kesehatan Dasar

Berbagai pelayanan kesehatan dasar yang dilaksanakan di Puskesmas

Ulantha adalah sebagai berikut:

1. Program KIA/KB

2. Program Kesehatan Lingkungan

3. Program Gizi

4. Program Promkes

5. Program Pengendalian Penyakit

6. Program Kesehatan Lainnya

a. Farmamin

b. Kesehatan Lansia

c. PTM (Penyakit Tidak Menular)

d. Upaya Kesehatan Sekolah (UKS)

e. Manajemen Puskesmas.

Jumlah kunjungan tahun 2020 sebanyak 3.498 orang yang meliputi pasien

umum dan juga yang memiliki kartu jaminan kesehatan. Jumlah kunjungan

75
terbanyak di bulan Februari yaitu 540 pasien dan paling sedikit di bulan Juni

sebanyak 198 pasien.

4.2 Hasil Penelitian

4.2.2 Karakteristik Responden

Adapun beberapa karakteristik responden yaitu Distribusi berdasarkan

Pendidikan terakhir orangtua, Pekerjan orangtua, jenis kelamin anak dan usia

anak.

1. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir Ibu

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap orang tua balita

di wilayah kerjaPuskesmas Ulantha diperoleh Distribusi frekuensi

responden berdasarkan klasifikasi jenjang pendidikan terakhir orang tua

balita yaitu Ibu menurut Undang – Undang nomor 20 (2003).

Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir Ibu di


wilayah kerja Puskesmas Ulanta
No Pendidikan Terakhir Jumlah (n) Persentase (%)
1 S1 5 7,1
2 SMA 30 42,9
3 SMP 15 21,4
4 SD 20 28,6
Jumlah 70 100%
Sumber: Data Primer, 2021.

Berdasarkan tabel 4.1 dapat dilihat Distribusi frekuensi berdasarkan

tingkat pendidikan orang tua yaitu Ibu. Pendidikan Ibu yang paling banyak

adalah tamat SMA sebanyak 30 responden (42,9 %) , sedangkan yang

paling sedikit adalah Ibu yang berpendidikan S1 sebanyak 5 responden (7,1

%).

2. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Ibu

76
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap orang tua balita

di wilayah kerja Puskesmas Ulantha diperoleh distribusi frekuensi

responden berdasarkan pekerjaan Ibu menurut Sunyoto (2013).

Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Ibu di wilayah


Kerja Puskesmas Ulanta
No Pekerjaan Jumlah (n) Persentase (%)
1 Ibu Rumah Tangga (IRT) 48 68,6
2 Honorer 8 11,4
3 Buruh 5 7,1
4 Karyawan 5 7,1
5 Pedagang 2 2,9
6 Petani 2 2,9
Jumlah 70 100%
Sumber: Data Primer, 2021.

Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat Distribusi frekuensi berdasarkan

pekerjaan Ibu. Hasil yang didapatkan pekerjaan Ibu yang paling banyak

adalah Ibu rumah tangga sebanyak 48 responden (68,6 %), sedangkan yang

paling sedikit adalah Ibu yang bekerja sebagai petani dan pedagang masing

– masing sebanyak 2 responden (2,9 %).

3. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Anak

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap balita di

wilayah kerjaPuskesmas Ulanta diperoleh Distribusi frekuensi responden

berdasarkan jenis kelamin.

Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Anak di


wilayah kerja Puskesmas Ulanta
No Jenis Kelamin Jumlah (n) Persentase (%)
1 Laki-laki 36 51,4
2 Perempuan 34 48,6
Jumlah 70 100
Sumber: Data Primer, 2021.

Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat Distribusi frekuensi berdasarkan

jenis kelamin anak. Hasil yang didapatkan jenis kelamin yang paling

77
banyak adalah laki - laki sebanyak 36 responden (51,4 %) , sedangkan

perempuan sebanyak 34 responden (48,6 %).

4. Distribusi Responden Berdasarkan Usia Anak

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap balita di

wilayah kerjaPuskesmas Ulanta diperoleh Distribusi frekuensi responden

berdasarkan usia anak menurut Kemenkes (2019).

Tabel 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Usia Anak di wilayah kerja


Puskesmas Ulanta
Jumlah Persentase
No Usia Anak
(n) (%)
1 1-23 bulan (Anak di bawah 2 tahun) 41 58,6
2 24-35 bulan ( Anak di bawah 3 tahun) 16 22,9
3 36-59 bulan (Anak di bawah 5 tahun) 13 18,6
Jumlah 70 100
Sumber: Data Primer, 2021.

Berdasarkan tabel 4.4 dapat dilihat Distribusi frekuensi berdasarkan

usia anak. Hasil yang didapatkan usia anak yang paling banyak adalah usia

1-23 bulan sebanyak 41 responden (58,6%) , sedangkan yang paling sedikit

adalah usia 36-59 bulan sebanyak 13 responden (18,6 %).

4.2.3 Analisis Univariat

1. Distribusi Responden Berdasarkan Tinggi Badan Ayah atau Ibu

Tabel 4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Tinggi Badan Ibu di wilayah


kerja Puskesmas Ulanta
No Kategori Jumlah (n) Persentase (%)
1 Tinggi (≥145 cm) 59 84,3
2 Rendah (<145 cm) 11 15,7
Jumlah 70 100
Sumber: Data Primer, 2021.

Berdasarkan tabel 4.5 menunjukkan bahwa dari 70 responden Ibu

yang diteliti, didapatkan sebagian besar responden memiliki Tinggi badan

78
dalam kategori tinggi (≥ 145 cm) sebanyak 59 responden (84,3%), dan

dalam kategori rendah (<145 cm) sebanyak 11 responden (15,7 %). Tidak

didapatkan tinggi badan dari Responden Ayah.

2. Distribusi Responden Berdasarkan Berat Badan Lahir Anak

Tabel 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Berat Badan Lahir Anak di


wilayah kerja Puskesmas Ulanta
No Kategori Jumlah (n) Persentase (%)
1 Berat Badan Lahir Normal 49 70
2 Berat Badan Lahir Rendah 21 30
Jumlah 70 100
Sumber: Data Primer, 2021.

Berdasarkan tabel 4.6 menunjukkan bahwa dari 70 responden yang

diteliti, didapatkan sebagian besar responden memiliki riwayat berat badan

lahir dalam kategori normal (≥ 2500 gr) sebanyak 49 responden (70 %),

dan yang memiliki riwayat berat badan lahir dalam kategori rendah (<2500

gr) sebanyak 21 responden (30 %) .

3. Distribusi Responden Berdasarkan ASI Eksklusif

Tabel 4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat Pemberian ASI


Eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Ulanta
No Kategori Jumlah (n) Persentase (%)
1 Tidak ASI Eksklusif 59 84,3
2 ASI Eksklusif 11 30
Jumlah 70 100
Sumber: Data Primer, 2021.

Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa dari 70 responden yang

diteliti, didapatkan sebagian besar responden dalam kategori tidak ASI

Ekslusif sebanyak 49 responden (70 %), dan yang dalam kategori

mendapatkan ASI Ekslusif hanya sebanyak 21 responden (30 %) .

4. Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan Keluarga

79
Tabel 4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan Keluarga di
wilayah kerja Puskesmas Ulanta
No Kategori Jumlah (n) Persentase (%)
1 Rendah (< UMP Rp.2.586.900 ) 46 65,7
2 Tinggi (≥ UMP Rp. 2.586.900) 24 34,3
Jumlah 70 100
Sumber: Data Primer, 2021.

Berdasarkan tabel 4.8 menunjukkan bahwa dari 70 responden yang

diteliti, didapatkan sebagian besar pendepatan keluarga dalam kategori

rendah sebanyak 46 responden (65,7 %), dan pendapatan keluarga dalam

kategori tinggi sebanyak 24 responden (34,3 %) .

5. Distribusi Responden Berdasarkan Stunting pada Anak

Tabel 4.9 Distribusi Responden Berdasarkan Stunting Pada Anak di wilayah


kerja Puskesmas Ulanta
No Kategori Jumlah (n) Persentase (%)
1 Sangat Pendek 28 40
2 Pendek 42 60
Jumlah 70 100
Sumber: Data Primer, 2021.

Berdasarkan tabel 4.9 menunjukkan bahwa dari 70 responden yang

diteliti, didapatkan sebagian besar anak stunting dalam kategori pendek

sebanyak 42 responden (60 %), dan sebagaian kecil anak stunting dalam

kategori sangat pendek sebanyak 28 responden (40 %) .

4.2.4 Analisis Bivariat

1. Hubungan Tiggi Badan Ibu dengan kejadian Stunting pada balita (1-59

bulan) di wilayah kerja Puskesmas Ulanta

Tabel 4.10 Hubungan Tiggi Badan Ibu dengan kejadian Stunting pada balita
(1-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Ulanta
Stunting
Sangat Jumlah
Pendek P CI
Variabel Kategori Pendek OR
Value (95%)
N % N % N %

80
Tinggi Tinggi 23 32,9 35 50 58 82,9
0,308-
Badan 1,000 1,087
3,841
Ibu Rendah 5 7,1 7 10 12 17,1

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan data bahwa Ibu dengan tinggi

badan kategori tinggi sebanyak 58 responden (82,9%) cenderung memiliki

balita stunting kategori pendek yaitu sebanyak 35 responden (50%) dan

berkategori sangat pendek sebanyak 23 responden (32,9%). Sedangkan Ibu

dengan tinggi badan kategori rendah sebanyak 12 responden (17,1%) yang

cenderung memiliki balita stunting kategori pendek sebanyak 5 responden

(7,1%) dan kategori sangat pendek sebanyak 7 responden (10 %).

2. Hubungan Berat Badan Lahir Anak dengan kejadian Stunting pada

balita (1-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Ulanta

Tabel 4.11 Hubungan Berat Badan Lahir Anak dengan kejadian Stunting
pada balita (1-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Ulanta
Stunting
Sangat Jumlah P
Variabe Pendek CI
Kategori Pendek Valu OR
l 95%
e
N % N % N %

Berat
Rendah 9 12,9 12 17,1 21 30 0,419
Badan
0,958 1,184 -
Lahir
Normal 19 27,1 30 42,9 49 70 3,343
Anak

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan data bahwa anak dengan

riwayat berat badan lahir kategori rendah sebanyak 30 responden (30%)

cenderung dimiliki balita stunting kategori pendek yaitu sebanyak 12

responden (17,1%) dan kategori sangat pendek sebanyak 9 responden

(12,9%). Sedangkan anak dengan riwayat berat badan lahir kategori normal

sebanyak 49 responden (70%) cenderung dimiliki balita stunting kategori

81
pendek yaitu sebanyak 30 responden (42,9%) dan kategori sangat pendek

sebanyak 19 responden (27,1%).

3. Hubungan riwayat pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian Stunting

pada balita (1-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Ulanta

Tabel 4.12 Hubungan riwayat pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian


Stunting pada balita (1-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas
Ulanta
Stunting
Sangat Jumlah
Pendek P
Pendek
Variabel Kategori Val OR CI 95%
ue
N % N % N %

Tidak ASI
Pemberian 23 32,9 36 51,4 59 84,3
Eksklusif 0,210-

0,767
0,745
ASI
2,805
Eksklusif ASI
5 7,1 6 8,6 11 15,7
Eksklusif

Berdasarkan tabel hasil penelitian 4.12 didapatkan data bahwa anak

dengan pemberian ASI kategori tidak eksklusif sebanyak 59 responden

(84,3%) cenderung dimiliki balita stunting kategori pendek yaitu sebanyak 36

responden (51,4%) dan kategori sangat pendek sebanyak 23 responden

(32,9%). Dan anak dengan pemberian ASI kategori Eksklusif sebanyak 11

responden (15,7%) cenderung dimiliki balita stunting kategori pendek yaitu

sebanyak 6 responden (8,6%) dan kategori sangat pendek sebanyak 5

responden (7,1%).

4. Hubungan Pendapatan Keluarga dengan kejadian Stunting pada balita

(1-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Ulanta

Tabel 4.13 Hubungan Pendapatan Keluarga dengan kejadian Stunting pada


balita (1-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Ulanta

82
Stunting
Sangat Jumlah
Pendek P
Variabel Kategori Pendek OR CI 95%
Value
N % N % N %

Pendapat Rendah 20 28,6 33 47,1 53 75,7


0,226-
an 0,690 0,682
2,053
Keluarga Tinggi 8 11,4 9 12,9 17 24,3

Berdasarkan hasil tabel penelitian 4.13 didapatkan data bahwa anak

dengan pendapatan keluarga kategori rendah sebanyak 53 responden (75,7%

cenderung dimiliki balita stunting kategori pendek yaitu sebanyak 33

responden (47,1%) dan kategori sangat pendek sebanyak 20 responden

(28,6%). Pada anak dengan pendapatan keluarga kategori tinggi sebanyak 17

responden (24,3%) memiliki hasil yang sama, balita stunting kategori pendek

yaitu sebanyak 9 responden (12,9%) dan kategori sangat pendek sebanyak 8

responden (11,4%).

4.3 Pembahasan

Sampel dalam penelitian ini adalah anak balita usia 1-59 bulan dengan Ibu sebagai

responden. Dipilihnya rentang usia tersebut karena stunting akan tampak dalam kurun

waktu yang lama dan untuk mengintervensi risiko terjadinya stunting sedini mungkin.

Hal ini juga didukung penelitian yang dilakukan oleh Haile (2016) menyatakan bahwa

kelompok balita usia 24 bulan keatas lebih berisiko menderita stunting dibandingkan

balita dengan usia dibawah satu tahun. Sedangkan anak balita usia 0-23 bulan memiliki

risiko rendah terhadap kejadian stunting. Peneliti tidak mendapatkan responden Ayah

saat berkunjung ke Posyandu maupun kunjungan dari rumah ke rumah dikarenakan

keterbatasan waktu penelitian yang dilakukan saat jam kerja.

83
1. Hubungan Tinggi Badan Ibu dengan kejadian Stunting pada balita (1-59 bulan)

di wilayah kerja Puskesmas Ulanta

Hasil penelitian diketahui bahwa Ibu dengan tinggi badan kategori tinggi lebih

banyak memiliki balita dengan stunting “pendek” sebanyak 35 anak (50 %) dan

stunting “sangat pendek” sebanyak 23 anak (32,9 %). Dari 58 Ibu dengan tinggi badan

ketegori tinggi ditunjukkan oleh sebagian besar responden dengan latar belakang

pendidikan SMA atau berpendidikan tinggi, yaitu sebanyak 28 Ibu (40%). Sedangkan

Ibu dengan tinggi badan kategori rendah yang memiliki anak dengan stunting

“pendek” sebanyak 7 anak (10 %) dan stunting “sangat pendek” sebanyak 5 (7,1 %)

dimiliki oleh Ibu dengan latar pendidikan SMP atau rendah, yaitu sebanyak 7 Ibu

(10%).

Dalam hasil penelitian Dalimunthe (2015) menyatakan bahwa tinggi rendahnya

pendidikan Ibu memiliki dampak terhadap pengetahuan khususnya tentang kesehatan.

Mulai dari pengetahuan Ibu tentang kehamilan sampai kesadaran terhadap gizi anak.

Pendidikan juga diperlukan agar Ibu lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi yang

dapat meningkatkan gizi anak, bisa mengambil keputusan tindakan cepat dan akhirnya

dapat memperbaiki pertumbuhan fisik anak. Namun, jika Ibu memiliki pendidikan

yang rendah, Ibu akan sulit menerima hal-hal baru, sulit beradaptasi dengan teknologi

baru lebih khususnya dalam bidang kesehatan dan akhirnya bisa menyebabkan

turunnya derajat kesehatan anak karena lebih cenderung percaya kepada cerita atau

mitos orangtua terdahulu.

Selain pendidikan, pengaruh pekerjaan juga memiliki hubungan dalam

pemberian asupan gizi yang baik pada anak. Dari 58 responden tersebut, mayoritas

adalah Ibu Rumah Tangga atau tidak bekerja sebanyak 38 Ibu. Dalimunthe (2015)

menyatakan bahwa Ibu rumah tangga seharusnya memiliki waktu yang lebih banyak

84
untuk menjaga anak-anak mereka di rumah. Sedangkan Ibu yang bekerja tidak

memiliki waktu yang cukup untuk mengurus anak, sehingga Ibu kurang

memperhatikan asupan gizi yang baik untuk anak. Namun, fakta di lapangan yang

didapatkan peneliti bahwa banyak Ibu Rumah Tangga dan anaknya terdaftar stunting.

Dari hasil analisis uji statistik diperoleh hasil p-value 1,000 = >0,05 yang berarti

tidak ada hubungan yang signifikan antara tinggi badan Ibu dengan Kejadian Stunting

kategori sangat pendek dan pendek pada balita stunting di Wilayah Kerja Puskesmas

Ulanta. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ngaisyah

dan Septriana (2015) yang menunjukkan bahwa tinggi badan ibu tidak berhubungan

signifikan dengan kejadian stunting pada balita. Keduanya menjelaskan bahwa orang

tua yang pendek akibat kondisi patologis atau kekurangan zat gizi bukan karena

kelainan gen dalam kromosom. Menurut Mamabolo et al (2005) menjelaskan bahwa

orang tua yang pendek karena memiliki gen dalam kromosom yang membawa sifat

pendek besar kemungkinan akan menurunkan gen pendek kepada naknya. Namun,

apabila sifat pendek orang tua disebabkan masalah gizi maupun patologis, maka gen

pendek tersebut tidak akan diturunkan kepada anaknya selama tidak terpapar faktor

risiko yang lain. Penelitian ini tidak meneliti tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi tinggi badan orang tua saat ini, apakah dipengaruhi oleh genetik atau

dipengaruhi oleh kondisi patologis maupun kekurangan gizi.

Dari hasil penelitian, pendapat para ahli dan penelitian yang telah dilakukan

sebelumnya, peneliti berasumsi bahwa pendidikan dan tinggi badan Ibu bukanlah

faktor penentu yang membuat anak memiliki tinggi badan rendah dibanding usianya

(stunting), melainkan ada faktor lain yang mempengaruhi tinggi badan anak balita

yang terdaftar stunting. Hal ini berdasarkan responden yang memiliki tinggi badan

rendah dapat melahirkan anak dengan tinggi badan normal dan sebaliknya Ibu yang

85
memiliki tinggi badan normal juga berisiko melahirkan anak dengan tinggi badan

rendah.

2. Hubungan Berat Badan Lahir Anak dengan kejadian Stunting pada balita (1-59

bulan) di wilayah kerja Puskesmas Ulanta

Riwayat berat badan lahir anak dari 49 anak (70%) dengan kategori “normal”

lebih cenderung dimiliki oleh anak balita stunting ”pendek” sebanyak 30 anak (42,9

%) dan stunting “sangat pendek” sebanyak 19 anak (27,1 %). Sedangkan dari 21 anak

(30%) dengan berat badan lahir kategori “rendah” hanya dimiliki oleh anak dengan

stunting “pendek” sebanyak 12 anak (17,1 %) dan stunting “sangat pendek” sebanyak

9 anak (12,9 %).

Dari 49 Ibu yang melahirkan berat badan bayi normal, sebanyak 19 Ibu (27,1%)

dengan latar pendidikan SMA atau pendidikan tinggi dan tidak sedikit juga yang

berpendidikan rendah, yaitu pendidikan SD sebanyak 14 Ibu (20%). Tinggi rendahnya

tingkat pendidikan Ibu dapat mempengaruhi pemahaman Ibu khususnya dalam proses

kehamilan dan pasca persalinan.

Berat badan lahir anak merupakan penilaian awal sebagai salah satu indikator

penentu untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan, serta kesehatan

jangka panjang. Anak yang terlahir dengan berat badan rendah atau BBLR

menandakan bahwa janin mengalami kekurangan gizi saat masih dalam kandungan

Ibu dan jika masalah ini tidak segera diatasi maka besar kemungkinan anak

mengalami stunting. Sedangkan jika anak yang terlahir dengan berat badan normal

dan terdeteksi stunting, maka hal ini juga menjadi masalah penyimpangan baru yang

dapat menunjukkan bahwa terdapat asupan gizi yang kurang pada anak. Hubungannya

dengan tingkat pendidikan Ibu berarti, tugas Ibu bukan hanya dapat memahami

pentingnya asupan anak saat dalam kandungan namun harus tetap menjaga asupan

86
nutrisi anak setelah lahir sampai anak tumbuh dewasa (Dalimunthe, 2015 & Candra,

2020).

Dari hasil analisis uji statistik diperoleh hasil p-value 0,958 >0,05 yang berarti

tidak ada hubungan yang signifikan antara Berat Badan Lahir Anak dengan Kejadian

Stunting kategori sangat pendek dan pendek pada balita stunting di Wilayah Kerja

Puskesmas Ulanta. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Ni’mah dan Nadhiroh (2015) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang

bermakna antara berat badan lahir dengan kejadian stunting di Wilayah Kerja

Puskesmas Tanah Kali Kedinding, Surabaya. Mereka menyatakan berat lahir pada

hasil penelitiannya kemungkinan dapat disebabkan oleh banyak faktor yang lebih

besar pengaruhnya dengan kejadian stunting balita seperti ketidakcukupan gizi serta

infeksi. Selain itu efek berat badan lahir terhadap pertumbuhan tinggi badan paling

besar terdapat pada usia 6 bulan pertama. Jika pada 6 bulan pertama balita dapat

memperbaiki status gizinya, maka terdapat kemungkinan bahwa tinggi badan balita

dapat tumbuh dengan normal dan terhindar dari kejadian stunting di usia selanjutnya.

Dalam penelitian terpisah di Metro Cebu, status BBLR meningkatkan

kemungkinan stunting pada usia 6-12 bulan. Namun, sebuah studi kohort di Tanzania

menemukan bahwa bayi dengan berat badan lahir normal memiliki risiko dua kali

lebih besar untuk stunting dan wasting dibandingkan dengan bayi baru lahir lainnya

selama 18 bulan pertama kehidupan. (Blake, Baltazar, Ayaso, Monterd, Acosta et al.

2016)

Dari hasil penelitian diatas, menurut peneliti anak dengan berat badan lahir

normal maupun rendah, keduanya memiliki risiko mengalami stunting. Orangtua

dengan tingkat pendidikan tinggi maupun rendah, belum bisa dipastikan apakah dapat

menjaga asupan gizi saat hamil dan bisa mencegah anaknya mengalami stunting.

87
3. Hubungan riwayat pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian Stunting pada

balita (1-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Ulanta

Dari hasil penelitian diketahui bahwa hanya 11 anak (15,7%) yang mendapatkan

ASI Eksklusif. Hal ini berarti, terdapat lebih dari 50% anak yang tidak mendapatkan

ASI Eksklusif terdaftar stunting di wilayah kerja Puskesmas Ulantha. Dari 59 Ibu

yang tidak melakukan ASI eksklusif, memiliki latar pendidikan pendidikan tinggi

yaitu pendidikan SMA sebanyak 22 Ibu (31,4%) dan pendidikan S1 sebanyak 5 Ibu

(7,1%).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Haile (2013) yang menyatakan bahwa

balita yang terlahir dari orang tua yang berpendidikan rendah (SD dan SMP) berisiko

menderita stunting dibandingkan balita yang memiliki orang tua yang tidak

berpendidikan. Hal ini dikarenakan orang tua yang memiliki pendidikan tinggi akan

lebih mudah untuk menerima tentang pengetahuan khususnya kesehatan selama

kehamilan. Pengetahuan Ibu akan pemberian ASI eksklusif sangat berpengaruh

terhadap asupan gizi anak, karena ASI merupakan makanan utama bagi bayi.

Pengetahuan Ibu menyusui tentang kebutuhan zat gizi yang harus harus

dikonsumsinya selama hamil dan pasca melahirkan juga menentukan pemberian ASI

yang berkualitas dan berkuantitas. (Candra, 2020) Namun, hasil wawancara yang

peneliti dapatkan bahwa dari 22 Ibu (31,4%) yang berpendidikan SMA menyatakan

bahwa makanan yang dikonsumsinya saat hamil dan setelah hamil sama seperti saat

sebelum hamil. Hal ini menunjukkan bahwa asupan gizi dari 31,4% Ibu tidak

tercukupi.

Selain tingkat pendidikan, terdapat fakor lain yang mempengaruhi Ibu dalam

menyusui yaitu dukungan tempat pelayanan Kesehatan yang didapatkan dari hasil

penelitian oleh Astuti, Widiastuti, Komariyah, Fatmayanti (2020) menyatakan bahwa

88
terdapat hubungan yang signifikan (p=0,000). Adanya peran serta dari petugas

kesehatan di tempat pelayanan kesehatan akan berpengaruh terhadap respon dan

motivasi Ibu untuk memberikan ASI kepada anaknya.

Dari hasil analisis uji statistik diperoleh hasil p-value 0,745 >0,05 yang berarti

tidak ada hubungan yang signifikan antara pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian

Stunting kategori sangat pendek dan pendek pada balita stunting di Wilayah Kerja

Puskesmas Ulanta. Hasil penelitian ini sejalan dengan Hindrawati dan Rusdiarti

(2018) yang dilakukan di Desa Menduran, Kecamatan Brati, Kabupaten Grobogan,

Provinsi Jawa Tengah, mendapatkan dimana status pemberian ASI eksklusif bukan

merupakan faktor risiko stunting pada anak usia 1-3 tahun dan juga menjelaskan

bahwa keadaan stunting tidak hanya ditentukan oleh faktor status pemberian ASI

eksklusif, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti: dukungan keluarga.

Dukungan keluarga juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi Ibu

untuk memberikan ASI Eksklusif pada anak. Pernyataan ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Astuti et al (2013) bahwa terdapat hubungan yang signifikan

(p=0,00). Dukungan keluarga yang dapat diberikan pada Ibu menyusui seperti

membantu pekerjaan rumah, membantu merawat bayi, dan menyediakan waktu untuk

Ibu beristirahat sehingga beban Ibu berkurang, Ibu dapat memberikan ASI Eksklusif

secara maksimal dan asupan gizi anak terpenuhi.

Dengan didukung beberapa penelitian sebelumnya oleh Italey, Hapsari dan

Muasyaroh (2019) yang menunjukkan hasil serupa dengan penelitian ini. Analisis data

Riskesdas 2010 dan 2013 pada anak usia 12-23 bulan tidak menunjukkan hubungan

ASI eksklusif dengan stunting (p = 0.147). Sebuah studi longitudinal yang dilakukan

oleh Aryastami dkk (2017) di Bogor juga tidak menunjukkan hubungan ASI eksklusif

dengan stunting.

89
Berbagai hasil ini kemudian diperkuat dengan hasil meta analisis yang

menyatakan bahwa ASI eksklusif tidak berdampak pada stunting. Namun, beberapa

penelitian skala besar tetap mampu menemukan hubungan protektif ASI eksklusif

terhadap stunting. Diperlukan analisis mendalam untuk menelaah faktor kualitas ASI

yang menyebabkan tidak ditemukannya hubungan tersebut pada beberapa populasi.

Beberapa peneliti menduga bahwa efek ASI eksklusif terhadap stunting bukan berasal

dari aspek asupan nutrisi, melainkan dari upaya pencegahan infeksi. Teori lain yang

berkaitan adalah sebuah model dari para ahli yang menunjukkan bahwa ASI eksklusif

saja tidak akan mampu menurunkan kejadian stunting (Black, Victora, Bhutta,

Christian, de Onis dkk. 2013)

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan

oleh Ni’mah dan Nadhiroh (2015) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan

antara pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian stunting. Meskipun demikian

ternyata ASI ekslusif bukan sebagai faktor resiko terjadinya stunting berdasarkan

analisis data multivariat oleh Ni’mah dan Nadhiroh tahun (2015).

Dari hasil penelitian di atas dan banyaknya penelitian yang dilakukan

sebelumnya, peneliti berpendapat bahwa, pemberian ASI eksklusif pada anak

sangatlah penting, yang merupakan hak setiap anak dan makanan utama bagi bayi,

terlepas dari ada tidaknya hubungan dengan kejadian stunting.

4. Hubungan Pendapatan Keluarga dengan kejadian Stunting pada balita (1-59

bulan) di wilayah kerja Puskesmas Ulanta

Hasil penelitian diketahui bahwa anak dengan latar belakang pendapatan

keluarga rendah (< UMP: Rp. 2.586.900) sebanyak 53 anak (75,7%). Sedangkan anak

dengan pendapatan keluarga tinggi (≥UMP: Rp. 2.586.900) sebanyak 17 anak (24,3

90
%). Dengan kata lain, terdapat lebih dari 50% anak dengan latar belakang status

ekonomi lemah yang terdaftar stunting di wilayah kerja Puskesmas Ulantha.

Dari hasil wawancara yang dilakukan pada responden dengan pendapatan

keluarga dibawah UMP saat mengisi kuesioner, terdapat Ibu sebanyak 38 (54,3%)

yang tidak bekerja dan bergantung pada penghasilan suami saja. Sebanyak 14 Ibu

(20%) mengatakan bahwa memiliki penghasilan <UMP yang tidak menentu dan

bahkan terdapat 2 suami (2,9%) yang pernah tidak memiliki penghasilan dalam

sebulan.

Pendapatan keluarga yang rendah atau status ekonomi yang kurang dapat

diartikan daya beli dari keluarga juga rendah sehingga kemampuan keluarga membeli

bahan makanan yang baik dan sehat juga rendah. Kualitas dan kuantitas makanan

yang kurang menyebabkan kebutuhan zat gizi pada anak tidak terpenuhi, akibatnya

pertumbuhan dan perkembangan anak terganggu (Candra, 2020)

Dari hasil analisis uji statistik diperoleh hasil p-value 0,329 > 0,05 yang berarti

tidak ada hubungan yang signifikan antara pendapatan keluarga dengan Kejadian

Stunting kategori sangat pendek dan pendek pada balita stunting di Wilayah Kerja

Puskesmas Ulanta. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Rahmawati, Hardy dan Purbasari (2020) bahwa tidak terdapat hubungan yang

signifikan antara pendapatan keluarga dengan stunting pada balita di Kecamatan

Sawah Besar Kota Jakarta Pusat. Hal ini juga didukung penelitian oleh Windi dan

Larasati (2018) yang menyatakan bahwa pendapatan keluarga tidak memiliki

hubungan yang signifikan dengan balita stunting kategori sangat pendek dan pendek.

Dalam penelitiannya menyatakan bahwa keluarga dengan pendapatan yang rendah

mampu mengolah makanan yang bergizi dengan bahan yang murah dan sederhana, hal

ini bisa mencukup kebutuhan anak dan pertumbuhan anak juga akan menjadi baik.

91
Dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa, tingkat pendapatan yang tinggi belum

tentu bisa menjamin status gizi baik bagi balita, karena tingkat pendapatan yang tinggi

belum tentu teralokasikan dengan cukup untuk kebutuhan asupan gizi yang seimbang

keluarga.

Berbeda halnya dengan penelitian Rahmad dan Miko, (2016) yang

menyimpulkan bahwa pendapatan keluarga yang rendah berhubungan dengan

stunting pada balita di Aceh. Anak pada keluarga dengan pendapatan yang rendah

cenderung mengonsumsi makanan dalam segi kuantitas, kualitas dan variasi yang

kurang. Status ekonomi yang tinggi membuat seseorang memilih dalam membeli

makanan yang bergizi dan bervariasi (Setiawan, Machmud dan R, 2018).

Hasil analisis yang didapatkan oleh Tim Nasional Percepatan

Penanggulangan Kemiskinan, juga menyatakan bahwa anak kerdil/ pendek yang

terjadi di Indonesia sebenarnya tidak hanya dialami oleh rumah tangga/ keluarga

yang miskin dan kurang mampu, karena stunting juga dialami oleh sejumlah rumah

tangga/ keluarga yang tidak miskin/ yang berada di atas 40% tingkat kesejahteraan

sosial dan ekonominya. Berdasarkan estimasi dari Riskesdas (tingkat stunting) dan

proyeksi populasi BPS mengemukakan bahwa kondisi anak stunting juga dialami

oleh keluarga/ rumah tangga yang tidak miskin atau keluarga dengan pendapatan

≥UMP.

Dari data di atas peneliti berpendapat bahwa anak dengan latar belakang

pendapatan atau status ekonomi rendah, tidak selalu berhubungan dengan kejadian

stunting. Karena kejadian stunting juga terjadi dalam keluarga dengan pendapatan

tinggi. Seperti roda yang berputar antara pendapatan keluarga rendah atau tinggi

dengan kejadian stunting bisa saling mempengaruhi dan akan terjadi dalam waktu

yang berbeda. Jika ditinjau dari karakteristik responden yang cenderung adalah Ibu

92
Rumah Tangga sebanyak 48 responden (68,6 %) hingga pendapatan keluarga,

bahwa akar masalah dari dampak pertumbuhan bayi dan berbagai masalah gizi

lainnya salah satunya disebabkan dan berasal dari krisis ekonomi.

4.4 Keterbatasan Penelitian

Berdasarkan pengalaman langsung peneliti dalam proses penelitian ini, ada

beberapa keterbatasan yang dialami dan dapat menjadi faktor agar dapat lebih

diperhatikan bagi peneliti-peneliti selanjutnya dalam lebih menyempurnakan

penenlitiannya karena penelitian ini tentu memiliki kekurangan yang perlu terus

diperbaiki untuk penelitian kedepannya. Keterbatasan dalam penelitian ini, antara lain:

1. Peneliti tidak mendapatkan data responden Tinggi badan dari Ayah dikarenakan

waktu pengumpulan data sama dengan waktu kerja Ayah.

2. Waktu penelitian yang terbatas bergantung pada jadwal posyandu yang hanya

dilakukan 1 kali dalam 1 bulan, membuat terlambatnya peneliti dalam menganalisis

data.

3. Variabel penelitian yang hanya difokuskan pada 4 variabel terikat dari banyaknya

faktor utama yang menyebabkan Stunting.

93
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdapat 4 faktor berisiko yanag

berhubungan dengan kejadian stunting di wilayah Kerja Puskesmas Ulantha dengan

hasil analisis:

1. Dari hasil analisis uji statistik diperoleh hasil p-value 1,000 = >0,05 yang berarti

tidak ada hubungan yang signifikan antara tinggi badan Ibu dengan Kejadian

Stunting.

2. Dari hasil analisis uji statistik diperoleh hasil p-value 0,958 >0,05 yang berarti tidak

ada hubungan yang signifikan antara Berat Badan Lahir Anak dengan Kejadian

Stuntin.

3. Dari hasil analisis uji statistik diperoleh hasil p-value 0,558 >0,05 yang berarti tidak

ada hubungan yang signifikan antara pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian

Stunting.

4. Dari hasil analisis uji statistik diperoleh hasil p-value 0,329 > 0,05 yang berarti tidak

ada hubungan yang signifikan antara pendapatan keluarga dengan Kejadian Stunting.

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa saran diantaranya :

5.2.1 Bagi Puskesmas Ulantha

94
1. Diharapkan dapat menjadi masukan bagi Puskesmas dalam meningkatkan

upaya promosi, pencegahan dan deteksi dini untuk menurunkan masalah

stunting.

95
2. Disarankan dilakukan pemantauan secara berkala pada anak dengan risiko

stunting agar dapat meningkatkan status gizi yang baik pada keluarga.

5.2.2 Bagi Peneliti Selanjutnya

1. Dalam penelitian selanjutnya disarankan menggunakan 2 kelompok

(kelompok kontrol dan kelompok kasus), hal ini agar dapat melihat nilai

perbedaan dalam setiap kelompok.

2. Disarankan untuk mengambil sampel dengan jumlah yang banyak >100, hal

ini bertujuan untuk keakuratan data yang lebih baik dalam penelitiannya.

3. Disarankan untuk menambah variabel seperti: Pengetahuan Ibu tentang gizi,

tinggi badan ayah, pengetahuan orangtua tentang stunting, ketersediaan

bahan makanan, penyakit infeksi/ riwayat penyakit anak, kesehatan

lingkungan, sanitasi dan air bersih, karena secara teori variabel-variabel

tersebut berhubungan dengan kejadian stunting.

96

Anda mungkin juga menyukai