Anda di halaman 1dari 4

Eksploratif Pengalaman Penanggulangan Stunting di Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya

PENDAHULUAN
Saat ini Indonesia masih menghadapi permasalahan gizi yang berdampak serius
terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM). Salah satu masalah kekurangan gizi yang
masih cukup tinggi di Indonesia adalah pendek (stunting) dan kurus (wasting) pada balita
serta masalah anemia dan kurang energi kronik (KEK) pada ibu hamil. Masalah kekurangan
gizi pada ibu hamil tersebut pada akhirnya dapat menyebabkan berat badan bayi lahir rendah
(BBLR) dan kekurangan gizi pada balita. Permasalahan gizi disebabkan oleh penyebab
langsung seperti asupan makanan yang tidak adekuat dan penyakit infeksi. Sedangkan
penyebab tidak langsung permasalahan gizi adalah masih tingginya kemiskinan, rendahnya
sanitasi lingkungan, ketersediaan pangan yang kurang, pola asuh yang kurang baik, dan
pelayanan kesehatan yang belum optimal (Kemenkes RI, 2017).
Dampak yang ditimbulkan stunting dapat dibagi menjadi dampak jangka pendek
dan jangka panjang (WHO, 2018). Dampak jangka pendek yang ditimbulkan stunting
dapat berupa peningkatan kejadian kesakitan dan kematian, gangguan perkembangan
kognitif, motorik, dan verbal pada anak, serta dampak ekonomi. Sedangkan
dampak jangka panjang akibat stunting yaitu postur tubuh yang tidak optimal saat
dewasa (tubuh lebih pendek dari yang seharusnya), risiko terkena penyakit tidak
menular, gangguan kesehatan reproduksi, kemampuam belajar dan performa yang
kurang saat masa sekolah, dan produktivitas serta kinerja kerja yang tidak
optimal (Kemenkes RI, 2018).
Meskipun angka stunting secara nasional menunjukkan perbaikan dimana pada
tahun 2019 sebesar 27,7 persen telah turun menjadi 24,4 persen pada tahun 2021,
namun angka stunting di hampir seluruh provinsi di Indonesia masih jauh dari
standar yang diamanatkan pemerintah dalam RPJMN 2020-2024 menjadi angka 14
persen pada tahun 2024 atau dibawah angka 20 persen menurut standar WHO
(Kemenkes RI, 2020.)
Angka stunting di Kota Tasikmalaya mengalami peningkatan selama 2020. Dinas
Kesehatan Kota Tasikmalaya mencatat, terdapat 17,58 persen atau 7.731 balita yang mengalami
stuntung selama 2020, bertambah dibandingkan kasus pada 2019 yang hanya ada 10,95 persen
atau 5.373 balita. Adapun di puskesmas purbaratu sendiri angka stunting pada tahun 2022
sebanyak 462 balita yang tersebar di tiap-tiap kelurahan. Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat
Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya, Suryaningsih mengatakan, peningkatan angka stunting di
Kota Tasikmalaya kemungkinan akibat dari pandemi Covid-19. Sebab, selama pandemi Covid-
19 layanan posyandu secara tatap muka sempat dihentikan. Layanan posyandu dialihkan secara
daring. "Itu bisa jadi salah satu penyebab kurangnya pemantauan.
Puskesmas merupakan wadah kesehatan yang paling dekat langsung menyentuh
masyarakat karena memiliki program-program kunjungan rumah. Karena itu petugas
puskesmas merupakan elemen masyarakat yang dapat menjembatani kerja sama
lintas sektoral untuk penanganan kasus stunting di Kota Tasikmalaya. Karena penanganan
stunting dengan melibatkan kerja sama lintas sektoral sangat penting sebagai bentuk
tanggung jawab bersama dalam menekan angka stunting di Kota Tasikmalaya. Studi
kualitatif mengenai peran dan pengalaman petugas puskesmas tentang pencegahan
dan penatalaksanaan stunting pada anak di kota Tasikmalaya belum banyak dilakukan.
Menurut informasi saat studi pendahuluan di Puskesmas Purbaratu, penanganan stunting
di wilayah kerja puskesmas Purbaratu melibatkan tim kesehatan puskesmas yang terdiri
dari berbagai disiplin ilmu, seperti dokter, perawat, bidan dan ahli gizi. Oleh karena itu,
penelitian terkait pengalaman petugas kesehatan puskesmas dalam pencegahan dan
penatalaksanaan stunting pada anak di kecamatan Purbaratu perlu dilakukan untuk
mendapatkan gambaran dilapangan sehingga diharapkan dapat menemukan solusi yang
tepat untuk penanganan dan pencegahan stunting pada anak di kecamatan purbaratu
Kota Tasikmalaya.
KONSEP TEORI
Definisi Stunting
Stunting adalah kondisi tinggi badan seseorang lebih pendek dibanding tinggi badan
orang lain pada umunya (yang seusia). Stunted (short stature) atau tinggi/panjang badan
terhadap umur yang rendah digunakan sebagai indikator malnutrisi kronik yang
menggambarkan riwayat kurang gizi balita dalam jangka waktu lama (Sudargo, 2010).
Menurut Dekker et al (2010), bahwa stunting pada balita atau rendahnya tinggi/panjang
badan menurut umur merupakan indikator kronis malnutrisi (Dekkar, 2010). Menurut CDC
(2000) short stature ditetapkan apabila panjang/tinggi badan menurut umur sesuai dengan
jenis kelamin balita
Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan
gizi kronis sehingga anak menjadi terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi dapat
terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah anak lahir, tetapi baru
nampak setelah anak berusia 2 tahun, di mana keadaan gizi ibu dan anak merupakan faktor
penting dari pertumbuhan anak. Periode 0-24 bulan usia anak merupakan periode yang
menentukan kualitas kehidupan sehingga disebut dengan periode emas. Periode ini
merupakan periode yang sensitif karena akibat yang ditimbulkan terhadap bayi masa ini
bersifat permanen, tidak dapat dikoreksi. Diperlukan pemenuhan gizi adekuat usia ini.
Mengingat dampak yang ditimbulkan masalah gizi ini dalam jangka pendek adalah
terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan
metabolisme dalam tubuh. Jangka panjang akibat dapat menurunnya kemampuan kognitif
dan prestasi belajar, dan menurunnya kekebalan tubuh (Branca F, Ferrari M, 2002; Black dkk,
2008). Pertumbuhan dapat dilihat dengan beberapa indikator status gizi. Secara umum
terdapat 3 indikator yang bisa digunakan untuk mengukur pertumbuhan bayi dan anak, yaitu
indikator berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat
badan menurut tinggi badan (BB/TB). Stunting merupakan salah satu masalah gizi yang
diakibatkan oleh kekurangan zat gizi secara kronis. Hal ini ditunjukkan dengan indikator
TB/U dengan nilai skor-Z (Z- score) di bawah minus 2.
Ciri-ciri Anak Stunting
Agar dapat mengetahui kejadian stunting pada anak maka perlu diketahui ciri-ciri
anak yang mengalami stunting sehingga jika anak mengalami stunting dapat ditangani
sesegera mungkin.
1. Tanda pubertas terlambat
2. Usia 8-10 tahun anak menjadi lebIh pendiam, tidak banyak melakukan eye contact
3. Pertumbuhan terhambat
4. Wajah tampak lebih muda dari usianya
5. Pertumbuhan gigi terlambat
6. Performa buruk pada tes perhatian dan memori belajar
Pubertas merupakan salah satu periode dalam proses pematangan seksual dengan hasil
tercapainya kemampuan reproduksi. Pubertas ditandai dengan munculnya karateristik seks
sekunder dan diakhiri dengan datangnya menars pada anak perempuan dan lengkapnya
perkembangan genital pada anak laki-laki. Usia awal pubertas pada anak laki-laki berkisar
antara 9–14 tahun dan perempuan berkisar 8–13 tahun. Pubertas terlambat apabila perubahan
fisik awal pubertas tidak terlihat pada usia 13 tahun pada anak perempuan dan 14 tahun pada
anak laki-laki, karena keterlambatan pertumbuhan dan maturasi tulang (Lee P.A, 1996).
Calon ibu yang menderita anemia, kekurangan gizi, atau kehilangan berat badan secara
drastis di masa kehamilan akan meningkatkan resiko sang calon bayi untuk mengalami
gangguan pertumbuhan. Kondisi ini dapat diperburuk bila sang ibu menolak untuk
memberikan ASI kepada bayi, yang membuatkan kehilangan banyak nutrisi penting yang
dibutuhkannya untuk bertumbuh dan berkembang.
Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh stunting:
1. Jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan
pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh.
2. Dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya
kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah
sakit, dan resiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan
pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua.

INTERVENSI
Secara umum, ada dua jenis intervensi yang dilakukan pemerintah untuk menangani
masalah stunting, yaitu Intervensi Gizi Spesifik (berkontribusi 30 %) dan Intervensi Gizi
Sensitif (berkontribusi 70 %). Intervensi Gizi Spesifik adalah intervensi yang ditujukan
kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Kegiatan ini umumnya dilakukan
oleh sector kesehatan. Intervensi spesifik bersifat jangka pendek, hasilnya dapat dicatat dalam
waktu relatif pendek. Intervensi Gizi Sensitif adalah intervensi yang ditujukan melalui
berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan. Sasarannya adalah masyarakat
umum, dan tidak khusus untuk 1.000 hari pertama kehidupan. Intervensi Gizi Spesifik
menyasar pada tiga target sasaran, yaitu ibu hamil, ibu menyusui dan anak usia 0-6 bulan, dan
ibu menyusui dan anak usia 7-23 bulan.
Beberapa hal yang dilakukan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan antara lain
memberikan makanan tambahan pada ibu hamil untuk mengatasai kekurangan energi dan
protein kronis, mendorong inisiasi menyusui dini (IMD) dan pemberian ASI eksklusif, serta
mendorong penerusan pemberian ASI hingga usia 23 bulan didampingi oleh pemberian
makanan pendamping ASI (MP-ASI). Intervensi Gizi Sensitif antara lain dilakukan dengan
menyediakan dan memastikan akses pada air bersih dan sanitasi, memberikan Pendidikan
pengasuhan pada orang tua, memberikan pendidikan gizi masyarakat, memberikan edukasi
kesehatan seksual dan reproduksi serta gizi pada remaja, dan menyediakan bantuan dan
jaminan sosial bagi keluarga miskin.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif dengan metode pengumpulan
data melalui wawancara. Dalam penelitian ini, teknik pemilihan peserta penelitian
adalah dengan cara purposive sampling. Partisipan dalam penelitian ini merupakan
petugas kesehatan di puskesmas yang merupakan tim percepatan penurunan stunting
yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Analisa Data menggunakan tematik analisis yang terdiri dari 6 langkah Clarke dan
Braun (2006). Tematik analisis merupakan metode yang sangat efektif jika
sebuah penelitian bermaksud untuk mengupas secara detail data-data kualitatif yang
ada untuk mendapatkan keterkaitan pola-pola dalam sebuah fenomena penelitian dan
bagaimana fenomena tersebut terjadi menurut sudut pandang peneliti (Fereday &
Muir-Cochrane, 2006). Data yang telah di analisis menggunakan tematik analisis
nantinya akan terbentuk menjadi beberapa tema penelitian sesuai dengan pertanyaan
penelitian setelah melalui beberapa tahapan termasuk, pengkategorian dan pengkodean,
Clarke dan Braun (2006). Tema-tema akhir yang terbentuk akan menjadi hasil
penelitian dan akan dibahas dalam pembahasan.

Anda mungkin juga menyukai