PENDAHULUAN
2.1 Stunting
Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan gizi
kronis sehingga anak menjadi terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi dapat terjadi
sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir, tetapi kondisi stunting
baru terlihat setelah anak berusia 2 tahun.1
Pertumbuhan anak dapat dilihat dengan beberapa indikator status gizi. Secara umum
terdapat 3 indikator yang bisa digunakan untuk mengukur pertumbuhan bayi dan anak, yaitu
indikator berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat
badan menurut tinggi badan (BB/TB). Panjang badan atau tinggi badan menurut umur
merupakan pengukuran antopometri yang digunakan untuk pelacakan status stunting.5
Balita pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted) adalah balita dengan
panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan
standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) 2006. Sedangkan definisi
stunting menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah anak balita dengan nilai Z-
score kurang dari -2SD/Standar Deviasi (stunted/pendek) dan kurang dari -3SD (severely
stunted/sangat pendek).6
Upaya penurunan stunting dilakukan melalui dua intervensi, yaitu intervensi gizi spesifik
untuk mengatasi penyebab langsung dan intervensi gizi sensitif untuk menggatasi penyebab
tidak langsung. Intervensi gizi spesifik merupakan kegiatan yang langsung mengatasi
terjadinya stunting seperti asupan makanan, infeksi, status gizi ibu, penyakit menular, dan
kesehatan lingkungan. Terdapat 3 kelompok intervensi gizi spesifik (Gambar 3):1,7
a. Intervensi prioritas, yaitu intervensi yang diidentifikasi memiliki dampak paling
besar pada pencegahan stunting dan ditujukan untuk menjangkau semua sasaran
prioritas;
b. Intervensi pendukung, yaitu intervensi yang berdampak pada masalah gizi dan
kesehatan lain yang terkait stunting dan diprioritaskan setelah intervensi prioritas
dilakukan.
c. Intervensi prioritas sesuai kondisi tertentu, yaitu intervensi yang diperlukan sesuai
dengan kondisi tertentu, termasuk untuk kondisi darurat bencana (program gizi
darurat).
dan lintas sektor, serta kapasitas untuk melaksanakan. Penurunan stunting memerlukan
pendekatan yang menyeluruh, yang harus dimulai dari pemenuhan prasyarat pendukung
sesuai dengan kerangka konseptual intervensi penurunan stunting terintegrasi.1,7
Gambar 5. Kerangka konseptual intervensi penurunan stunting terintegrasi7
Kejadian stunting merupakan salah satu masalah gizi yang dialami oleh balita di
Indonesia dan prevalensinya cenderung statis. Hasil Riskesdas Tahun 2007 menunjukkan
prevalensi balita stunting di Indonesia sebesar 36,8%. Pada tahun 2010, terjadi sedikit
penurunan menjadi 35,6% namun prevalensinya kembali meningkat di tahun 2013 menjadi
37,2%. Prevalensi balita stunting kembali menurun pada tahun 2018 menjadi 30,8%. Dari
hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2019, prevalensi stunting balita di
Indonesia berhasil ditekan menjadi 27,6%.1,7
Dalam menyusun perencanaan program penanggulangan stunting di tingkat daerah,
pemerintah daerah menjabarkan penurunan stunting yang merupakan prioritas nasional ke
dalam program dan kegiatan prioritas melalui mekanisme perencanaan dan penganggaran
daerah. Untuk meningkatkan keterpaduan/ terintegrasinya berbagai program/kegiatan antar
tingkat pemerintahan (pusat, provinsi, kabupaten/kota dan desa) yang sesuai dengan
kebutuhan lokasi fokus dan untuk penyampaian intervensi gizi prioritas bagi Rumah Tangga
1.000 HPK, pemerintah kabupaten/kota melaksanakan aksi integrasi meliputi: Aksi (1)
Analisis Situasi Program Penurunan Stunting; Aksi (2) Penyusunan rencana kegiatan; dan
Aksi (3) Rembuk Stunting.7
Analisis Situasi
Analisis situasi program penurunan stunting adalah proses untuk mengidentifikasi
sebaran prevalensi stunting dalam wilayah kabupaten/kota, situasi ketersediaan program, dan
praktik manajemen layanan sebagai dasar dalam menentukan program/kegiatan yang
diprioritaskan alokasinya dan menentukan upaya perbaikan manajemen layanan untuk
meningkatkan akses rumah tangga 1.000 HPK secara simultan terhadap intervensi gizi
prioritas, baik berupa intervensi gizi spesifik maupun intervensi gizi sensitif.7
Dari hasil e-PPGM tahun 2020, diketahui bahwa prevalensi stunting pada balita di
Provinsi Sumatera Utara adalah sebesar 29,2%. Terjadi penurunan angka prevalensi apabila
dibandingkan dengan tahun 2019 yaitu 30,7%. Meskipun terjadi penurunan capaian, namun
prevalensi stunting di Sumatera Utara masih berada di atas angka prevalensi nasional dan
masih jauh dari besar prevalensi yang disarankan WHO yaitu di bawah 20%.9,10
Berikut ini adalah rencana kegiatan program-program gizi spesifik yang dapat dilakukan
oleh Pemerintah Sumatera Utara sebagai upaya penanggulangan stunting:6,11
1. Program terkait intervensi dengan sasaran ibu hamil, dilakukan melalui beberapa
program/kegiatan berikut:
Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pada ibu hamil untuk mengatasi
kekurangan energi dan protein kronis
Program untuk mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat
Program untuk mengatasi kekurangan iodium
Pemberian obat cacing untuk menanggulangi kecacingan pada ibu hamil
Program untuk melindungi ibu hamil dari malaria
Jenis kegiatan yang dilakukan meliputi pemberian suplementasi besi folat setiap hari
selama masa kehamilan atau minimal 90 tablet, memberikan dukungan kepada ibu hamil
untuk melakukan pemeriksaan kehamilan atau ANC minimal 4 kali, memberikan
imunisasi Tetanus Toksoid (TT), memberikan upaya penanggulangan cacingan pada ibu
hamil, memberikan kelambu serta pengobatan bagi ibu hamil yang positif malaria, dan
pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil.6
Program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pada ibu hamil bertujuan untuk
mengatasi gizi kurang pada ibu hamil dengan fokus zat gizi makro maupun mikro yang
diperlukan untuk mencegah Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan stunting. Makanan
tambahan yang diberikan dapat berbentuk makanan keluarga berbasis pangan lokal
dengan resep-resep yang dianjurkan maupun makanan tambhaan pabrikan yang lebih
praktis dengan komposisi zat gizi yang sudah baku.12
Makanan Tambahan pemulihan (MT Pemulihan) diberikan kepada ibu hamil yang
mengalami KEK (Kurang Energi Kronis) yang ditandai dengan LiLA < 23,5 cm, diberi
minimal selama 90 hari. Pada ibu hamil, jadwal pemberian terintegrasi dengan pelayanan
ANC. Pada kehamilan trimester I diberikan 2 keping biskuit lapis per hari. Pada
kehamilan trimester II dan III diberikan 3 keping biskuit lapis per hari. Setiap bungkus
MT ibu hamil berisi 3 keping biskuit lapis (60 gram). Pemberian MT sebagai MT
penyuluhan diberikan dengan waktu maksimal 1 bulan disertai dengan edukasi atau
kegiatan penyuluhan gizi baik secara kelompok maupun individu. Pemberian MT
dilakukan setiap kali posyandu atau melalui kader/bidan/petugas puskesmas/tenaga gizi
ataupun tenaga kesehatan lainnya.12
2. Program yang menyasar Ibu menyusui dan anak usia 0-6 bulan, termasuk di
antaranya mendorong Inisiasi Menyusui Dini (IMD) melalui pemberian ASI
jolong/kolostrum dan memastikan edukasi kepada Ibu untuk terus memberikan ASI
ekslusif kepada anak balitanya. Kegiatan terkait termasuk memberikan pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan ahli, IMD, promosi menyusui ASI eksklusif (konseling
individu dan kelompok), imunisasi dasar, pantau tumbuh kembang secara rutin setiap
bulan dan penanganan bayi sakit secara tepat.6
IMD dilakukan dengan meletakkan bayi secara tengkurap di dada atau perut ibu
sehingga kulit bayi melekat pada kulit ibu yang dilakukan sekurang-kurangnya satu jam
segera setelah lahir. Hal ini dapat dibantu oleh tenaga kesehatan terutama yang
membantu pertolongan persalinan.3,6
ASI eksklusif berdasarkan PP Nomor 33 Tahun 2012 adalah ASI yang diberikan
kepada bayi sejak dilahirkan selama enam bulan, tanpa menambahkan/dan atau
mengganti dengan makanan atau minuman lain (kecuali obat, vitamin, dan mineral).3,10
3. Program intervensi yang ditujukan dengan sasaran Ibu menyusui dan anak usia 7-
23 bulan:6
Mendorong penerusan pemberian ASI hingga usia 23 bulan didampingi oleh
pemberian MP-ASI
Menyediakan obat cacing
Menyediakan suplementasi Zinc
Melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan
Memberikan perlindungan terhadap malaria
Memberikan imunisasi lengkap
Melakukan pencegahan dan pengobatan diare
Program lainnya adalah Pemberian Makanan Tambahan (PMT) balita gizi kurang oleh
Kemenkes melalui Puskesmas dan Posyandu. Program terkait meliputi pembinaan posyandu
serta penyediaan makanan pendukung gizi untuk balita kurang gizi usia 6-59 bulan berbasis
pangan lokal (misalnya melalui Hari Makan Anak/HMA). Makanan Tambahan (MT)
Pemulihan bagi balita kurus atau gizi kurang usia 6-59 bulan (indeks BB/PB atau BB/TB
dengan Z-Score -3 SD sampai < -2 SD) diberikan selama minimal 90 hari. MT penyuluhan
diberikan ketika posyandu. MT dapat dikonsumsi bersama Makanan Pendamping Air Susu
Ibu (MP-ASI) berbasis pangan lokal.6,12,13
Pada usia 6-11 bulan diberikan 8 keping (2 bungkus) per hari. Usia 12-59 bulan diberikan
12 keping (3 bungkus) per hari. Tiap bungkus MT Balita berisi 4 keping biskuit (40 gr).
Biskuit dapat langsung dikonsumsi atau terlebih dahulu ditambah air matang dalam mangkok
bersih sehingga dapat dikonsumsi dengan menggunakan sendok. Pada kasus balita dengan
kategori kurus (indeks BB/PB atau BB/TB di bawah -2 SD) diberikan MT sampai status gizi
anak membaik (dinilai dengan pertambahan BB dan nilai Z-Score pada indeks BB/TB) dan
selanjutnya mengonsumsi makanan keluarga bergizi seimbang sesuai kebutuhan.12
Penimbangan balita di puskesmas atau posyandu juga sangat penting untuk pemantauan
pertumbuhan dan deteksi dini kasus gizi kurang dan gizi buruk, sehingga dapat langsung
dilakukan upaya pemulihan dan penanggulangan. Idealnya pemantauan perumbuhan dan
perkembangan anak pada kegiatan Posyandu dilakukan rutin setiap bulan sekali oleh tenaga
kesehatan dibantu oleh Kader Pembangunan Manusia (KPM) dan kader Posyandu. Namun
untuk pengukuran panjang bayi dan baduta (0-23 bulan) atau tinggi badan balita (24-59
bulan) dapat dilakukan minimal 3 bulan sekali. Pengukuran stunting dilakukan dengan
mengukur panjang badan utnuk anak di bawah dua tahun dan tinggi badan untuk anak berusia
dua tahun ke atas dengan menggunakan alat antopometri yang tersedia di Puskesmas (length
measuring board dalam posisi tidur untuk baduta dan microtoise dalam posisi berdiri untuk
anak balita). Kedua alat ini harus dikalibrasi secara rutin oleh tenaga kesehatan sebelum
digunakan. Umur anak juga harus dipastikan melalui catatan resmi seperti akta kelahiran atau
buku KIA. Jika alat pengukuran antopometri belum tersedia atau terbatas maka tikar
pertumbuhan dapat digunakan sementara sebagai alat deteksi dini risiko stunting. Bersama
Kader Posyandu dan/atau bidan, KPM memfasilitasi pengukuran tinggi badan dengan tikar
pertumbuhan di Posyandu. Tikar Pertumbuhan adalah penilaian pertumbuhan secara
kualitatif. Dari hasil pengukuran, anak yang terdeteksi stunting harus dirujuk ke Puskesmas
untuk validasi pengukuran oleh tenaga gizi atau bidan dan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
oleh dokter. Kader kemudian akan melakuakn tindak lanjut memberikan konseling yang
dibutuhkan di Posyandu. Jika anak/ orang tuanya tidak hadir di Posyandu, konseling
dilakukan melalui kunjungan ke rumah.5,7,14
Program lainnya adalah pemberian suplementasi kapsul vitamin A bagi balita usia 6-59
bulan. Menurut Permenkes Nomor 21 Tahun 2015 tentang standar Kapsul vitamin A bagi
bayi, balita, dan ibu nifas, kapsul vitamin A merupakan kapsul lunak dengan ujung (nipple)
yang dapat digunting, tidak transparan (opaque), dan mudah untuk dikonsumsi, termasuk ke
dalam mulut balita. Kapsul vitamin A bagi bayi usia 6-11 bulan berwarna biru dan
mengandung retinol (palmitat/asetat) 100.000 IU, sedangkan kapsul vitamin A untuk anak
balita usia 12-59 bulan dan ibu nifas berwarna merah dan mengandung retinol
(palmitate/asetat) 200.000 IU. Waktu pemberian kapsul vitamin A pada bayi dan anak balita
dilaksanakan serentak pada bulan Februari atau Agustus. Frekuensi pemberian vitamin A
pada bayi 6-11 bulan adalah 1 kali sedangkan pada anak balita 12-59 bulan sebanyak 2 kali.
Pada ibu nifas dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu satu kapsul segera setelah persalinan dan satu
kapsul lagi pada 24 jam setelah pemberian kapsul pertama.6,10,12
Kegiatan pengukuran panjang/tinggi badan seperti yang disebutkan sebelumnya dapat
dilakukan bersamaan dengan bulan penimbangan balita dan pemberian vitamin A yang
dilakukan dua kali setahun. Data ini juga dapat digunakan sebagai data surveilans gizi Dinas
Kesehatan kabupaten/kota.7
Rencana kegiatan program intervensi gizi sensitif dapat dilakukan oleh Pemerintah
Sumatera Utara melalui kerjasama dengan Kementerian/Lembaga (K/L) terkait, di
antaranya:6
1. Menyediakan dan memastikan akses pada air bersih melalui rogram PAMSIMAS
(Penyediaan Air Bersih dan Sanitasi Berbasis Masyarakat). Program ini dilakukan lintas
K/L termasuk Bappenas/Kementerian PPN, Kementerian Pekerjaan Umum, dan
Perumahan Rakyat, Kemenkes, dan Kemendagri. Jenis kegiatan program ini di
antaranya:
Meningkatkan Praktik Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di masyarakat
Meningkatkan jumlah masyarakat yang memiliki akses air minum dan sanitasi
berkelanjutan
Meningkatkan kapasitas masyarakat dan kelembagaan lokal dalam
penyelenggaraan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat
Meningkatkan efektifitas dan kesinambungan jangka panjang pembangunan
sarana dan prasarana air minum dan sanitasi berbasis masyarakat
2. Menyediakan dan memastikan akses pada sanitasi melalui kebijakan Sanitasi Total
Berbasis Masyarakta (STBM) yang terdiri dari 5 pilar yaitu: (1) Stop Buang Air Besar
Sembarangan; (2) Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS); (3) Mengelola makanan dan
minuman di rumah tangga; (4) Mengelola sampah di rumah tangga; dan (5) Mengelola
limbah cair di rumah tangga.
3. Melakukan fortifikasi bahan pangan (garam, terigu, dan minyak goreng) yang
melibatkan Kementerian Pertanian.
4. Menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga Berencana (KB)
melalui dua program:
Program KKBPK (Kependudukan, KB, dan Pembangunan Keluarga) oleh
BKKBN bekerja sama dengan pemerintah daerah. Kegiatan meliputi:
o Penguatan advokasi dan KIE terkait program KKBPK
o Peningkatan akses dan kualitas pelayanan KB yang merata
o Peningkatan pemahaman dan kesadaran remaja mengenai kesehatan
reproduksi dan penyiapan kehidupan berkeluarga
o Penguatan landasan hukum dalam rangka optimalisasi pelaksanaan
pembangunan bidang Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB)
o Penguatan data dan informasi kependudukan, dan KB
Program layanan KB dan Kesehatan Seksual serta Reproduksi (Kespro) oleh
LSM. Kegiatan yang dilakukan:
o Menyediakan pelayanan kespro yang terjangkau oleh seluruh lapisan
masyarakat, termasuk difabel dan kelompok marjinal termasuk remaja
o Menyediakan pelayanan penanganan kehamilan tak diinginkan yang
komprehensif dan terjangkau
o Mengembangkan standar pelayanan yang berkualitas di semua strata
pelayanan, termasuk mekanisme rujukan pelayanan kespro
o Mengembangkan model pelayanan KB dan Kespro melalui pendekatan
pengembangan masyarakat
5. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
6. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal) bersama dengan Kemenkes
dengan memberikan layanan kesehatan kepada ibu hamil dari keluarga/rumah tangga
miskin yang belum mendapatkan JKN-Penerima Bantuan Iuran (PBI).
7. Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua
8. Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universal bersama dengan
Kemendikbud. Kegiatan yang dilakukan dalam program ini berupa:
Perluasan dan peningkatan mutu satuan PAUD
Peningkatan jumlah dan mutu pendidik dan tenaga kependidikan PAUD
Penguatan orang tua dan masyarakat
Penguatan dan pemberdayaan mitra (Pemangku kepentingan, stakeholders)
9. Memberikan pendidikan gizi masyarakat bekerjasama dengan Kemenkes melalui
Puskesmas dan Posyandu. Kegiatan yang dilakukan berupa:
Peningkatan pendidikan gizi
Penanggulangan KEP
Menurunkan prevalensi anemia, mengatasi kekurangan Zinc dan zat besi,
mengatasi Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) serta kekurangan
vitamin A
Perbaikan keadaan zat gizi lebih
Peningkatan surveilans gizi
Pemberdayaan usaha perbaikan gizi/keluarga masyarakat
10. Memberikan edukasi Kespro serta Gizi pada Remaja melalui Pelayanan Kesehatan
Peduli Remaja (PKPR) termasuk pemberian layanan konseling dan peningkatan
kemampuan remaja dalam menerapkan Pendidikan dan Keterampilan Hidup Sehat
(PKHS).
11. Menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin, misalnya melalui
Program Subsidi Beras Masyarakat Beerpenghasilan Rendah (Raskin/Rastra) dan
Program Keluarga Harapan (PKH) bekerjasama dengan Kemensos. Kegiatan program ini
dapat berupa pemberian subsidi untuk mengakses pangan (beras dan telur) dan
pemberian bantuan tunai bersyarat kepada Ibu hamil menyusui dan balita.
12. Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi, bekerjasama dengan Kementerian
Pertanian, Kementerian Koperasi, Kemendagri. Kegiatan yang dilakukan berupa:
Menjamin akses pangan yang memenuhi kebutuhan gizi terutama ibu
hamil,ibu menyusui, dan anak-anak
Menjamin pemanfaatan optimal pangan yang tersedia bagi semua golongan
penduduk
Memberi perhatian pada petani kecil, nelayan, dan kesetaraan gender
Pemberdayaan ekonomi mikro bagi keluarga dengan ibu hamil KEK
Peningkatan layanan KB.
Stunting atau sering disebut kerdil atau pendek adalah kondisi gagal tumbuh pada anak
berusia di bawah lima tahun (balita) akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang
terutama pada periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu dari janin hingga anak
berusia 23 bulan. Prevalensi stunting balita di Indonesia tahun 2019 adalah sebesar 27,6%.
Di Sumatera Utara prevalensi stunting pada balita tahun 2020 melebihi prevalensi nasional
yaitu sebesar 29,2%. Stunting merupakan ancaman utama terhadap kualitas sumber daya
manusia Indonesia, juga ancaman terhadap kemampuan daya saing bangsa. Oleh karena itu,
penanggulangan masalah stunting harus dilakukan dan dimulai jauh sebelum seorang anak
dilahirkan (periode 1.000 HPK).
Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting (Stranas Stunting) disusun agar semua
pihak di berbagai tingkatan dapat bekerja sama untuk mempercepat pencegahan stunting.
Stranas stunting terdiri dari lima pilar, yaitu: (1) Komitmen dan visi kepemimpinan; (2)
Kampanye nasional dan komunikasi perubahan perilaku; (3) Konvergensi program pusat,
daerah dan desa; (4) Ketahanan pangan dan gizi; (5) Pemantauan dan evaluasi. Stranas
stunting diwujudkan melalui kerangka intervensi stunting yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia yaitu intervensi gizi spesifik dan sensitif.
Perencanaan program penanggulangan stunting melalui intervensi gizi spesifik dan
sensitif baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota, maupun desa meliputi analisis situasi,
penyusunan rincian kegiatan, sumber daya manusia, penyediaan sarana dan prasanana,
pengorganisasian, pendanaan, dan penetapan kriteria/indikator keberhasilan. Program
kegiatan intervensi stunting yang telah direncanakan harus dilaksanakan secara terintegrasi
melalui kerjasama multisektor termasuk oleh pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota
hingga tingkat desa untuk mengurangi angka prevalensi stunting di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementerian/Lembaga Pelaksana Program/Kegiatan Pencegahan Anak Kerdil. Strategi
Nasional Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting) Periode 2018-2024. Jakarta:
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. 2018. 96p.
2. Sudikno, dkk. Laporan Akhir Penelitian Studi Status Gizi Balita di Indonesia Tahun
2019. Jakarta: Kemenkes. 2019. 190p.
3. Kemenkes RI. Laporan Provinsi Sumataera Utara Riskesdas 2018. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2019. 596p.
4. Badan Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Rencana
Strategis (Renstra) Sumatera Utara 2020-2024. Medan: BKKBN. 2020. 63p.
5. Rahayu A, Yulidasari F, Putri A, Anggraini L. Study Guide-Stunting dan Upaya
Pencegahannya bagi Mahasiswa Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta: CV Mine. 2018.
140p.
6. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. 100 Kabupaten/Kota Prioritas
untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting). Jakarta: TNP2K. 2017. 367p.
7. Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan
Pembangunan Nasional. Pedoman Pelaksanaan Intervensi Penurunan Stunting
Terintegrasi di Kabupaten/Kota. Jakarta: KemenPPN/Bappenas. 2018.59p.
8. Presiden RI. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2021 tentang
Percepatan Penurunan Stunting. Jakarta: 2021. 75p.
9. Dinas Kesehtaan Provinsi Sumatera Utara. Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKIP)
Tahun 2020. Medan: Dinkes Prov Sumut. 2021.144p.
10. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara
Tahun 2019. Medan: Dinkes Prov Sumut. 2019. 379p.
11. Walikota Medan. Peraturan Walikota Medan Nomor 18 Tahun 2020 Tentang
Konvergensi Pencegahan Stunting di Kota Medan. Medan: Walikota Medan. 2020. 11p.
12. Kemenkes RI. Petunjuk Teknis Pemberian Makanan Tambahan Berupa Biskuit Bagi
Balita Kurus dan Ibu Hamil Kurang Energi Kronis (KEK) Tahun 2020. Jakarta:
Kemenkes. 2020. 62p.
13. Saputri R. Upaya Pemerintah Daerah dalam Penanggulangan Stunting di Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung. Jurnal Dinamika Pemerintahan. Agustus 2019; 2(2):152-68.
14. Trisira N. Monitoring Program Penanggulangan Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas
Medan Sunggal Tahun 2020. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. 2021. 123p.
15. Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Panduan
Failitasi Konvergensi Pencegahan Stunting di Desa. Jakarta: Kementerian Desa,
pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. 2018. 38p.