Anda di halaman 1dari 25

PERENCANAAN PROGRAM PENANGGULANGAN STUNTING

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stunting atau sering disebut kerdil atau pendek adalah kondisi gagal tumbuh pada anak
berusia di bawah lima tahun (balita) akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang
terutama pada periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu dari janin hingga anak
berusia 23 bulan. Anak tergolong stunting apabila panjang atau tinggi badannya berada di
bawah minus dua standar deviasi panjang atau tinggi anak seumurnya.1
Global Nutrition Report 2016 mencatat bahwa prevalensi stunting di Indonesia berada
pada peringkat 108 dari 132 negara. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian
Kesehatan pada 2018 menemukan 30,8% balita di Indonesia mengalami stunting. Walaupun
prevalensi stunting menurun dari angka 37,2% pada tahun 2013, namun angka stunting tetap
tinggi dan masih ada 2 (dua) provinsi dengan prevalensi di atas 40%.1
Untuk Provinsi Sumatera Utara, hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun
2019 menunjukkan hasil dimana prevalensi stunting pada balita di Provinsi Sumatera Utara
turun sekitar 1,7% menjadi 30,7% pada tahun 2019 dari prevalensi hasil Riskesdas tahun
2018 yaitu sebesar 32,4%. Angka ini juga menunjukkan penurunan signifikan bila
dibandingkan dengan hasil Riskesdas tahun 2013 yaitu sebesar 42,5%.2,3
Stunting dan kekurangan gizi lainnya yang terjadi pada 1.000 HPK di samping berisiko
pada hambatan pertumbuhan fisik dan kerentanan anak terhadap penyakit, juga menyebabkan
hambatan perkembangan kognitif yang akan berpengaruh pada tingkat kecerdasan dan
produktivitas anak di masa depan. Stunting merupakan ancaman utama terhadap kualitas
sumber daya manusia Indonesia, juga ancaman terhadap kemampuan daya saing bangsa.
Oleh karena itu, penanggulangan masalah stunting harus dilakukan dan dimulai jauh sebelum
seorang anak dilahirkan (periode 1.000 HPK) dan bahkan sejak ibu remaja untuk dapat
memutus rantai stunting dalam siklus kehidupan.1,4
Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting (Stranas Stunting) disusun agar semua
pihak di berbagai tingkatan dapat bekerja sama untuk mempercepat pencegahan stunting.
Stranas stunting terdiri dari lima pilar, yaitu: (1) Komitmen dan visi kepemimpinan; (2)
Kampanya nasional dan komunikasi perubahan perilaku; (3) Konvergensi program pusat,
daerah dan desa; (4) Ketahanan pangan dan gizi; (5) Pemantauan dan evaluasi. Stranas
stunting diwujudkan melalui kerangka intervensi stunting yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia yaitu intervensi gizi spesifik dan senstitif.1
Strategi dan kerangka intervensi stunting yang telah direncanakan sebagai upaya nasional
dalam menanggulangi stunting juga harus dilaksanakan secara terintegrasi melalui kerjasama
multisektor termasuk oleh pemerintah daerah untuk mencegah dan mengurangi prevalensi
stunting di Indonesia.1

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memaparkan program-program
penanggulangan stunting di Indonesia sekaligus untuk membuat perencanaan mengenai
pelaksanaan program penanggulangan stunting di daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

1.3 Manfaat Penulisan


Makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi penulis dan juga pembaca
mengenai program penanggulangan stunting di Indonesia dan mengetahui perencanaan
program penanggulangan stunting yang dilaksanakan di daerah Provinsi maupun
Kabupaten/Kota
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stunting
Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan gizi
kronis sehingga anak menjadi terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi dapat terjadi
sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir, tetapi kondisi stunting
baru terlihat setelah anak berusia 2 tahun.1
Pertumbuhan anak dapat dilihat dengan beberapa indikator status gizi. Secara umum
terdapat 3 indikator yang bisa digunakan untuk mengukur pertumbuhan bayi dan anak, yaitu
indikator berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat
badan menurut tinggi badan (BB/TB). Panjang badan atau tinggi badan menurut umur
merupakan pengukuran antopometri yang digunakan untuk pelacakan status stunting.5
Balita pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted) adalah balita dengan
panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan
standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) 2006. Sedangkan definisi
stunting menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah anak balita dengan nilai Z-
score kurang dari -2SD/Standar Deviasi (stunted/pendek) dan kurang dari -3SD (severely
stunted/sangat pendek).6

Gambar 1. Dampak Stunting terhadap kualitas Sumber Daya Manusia7


Stunting menyebabkan organ tubuh tidak tumbuh dan berkembang secara optimal. Balita
stunting berkontribusi terhadap 1,5 juta (15%) kematian anak balita di dunia dan
menyebabkan 55 juta Disability-Adjusted Life Years (DALYs) yaitu hilangnya masa hidup
sehat setiap tahun. Dampak stunting (Gambar 1) yaitu:
 Dalam jangka pendek, stunting menyebabkan gagal tumbuh, hambatan perkembangan
kognitif dan motorik, tidak optimalnya ukuran fisik tubuh serta gangguan metabolisme.
 Dalam jangka panjang, stunting menyebabkan menurunnya kapasitas intelektual.
Gangguan struktur dan fungsi saraf dan sel-sel otak yang bersifat permanen dan
menyebabkan penurunan kemampuan menyerap pelajaran di usia sekolah yang akan
berpengaruh pada produktivitasnya saat dewasa. Selain itu, kekurangan gizi juga
menyebabkan gangguan pertumbuhan (pendek dan atau kurus) dan meningkatkan
resiko penyakit tidak menular seperti diabetes mellitus, hipertensi, jantung koroner, dan
stroke.7
Stunting disebabkan oleh faktor multidimensi dan tidak hanya disebabkan oleh faktor gizi
buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita (Gambar 2). Pertumbuhan dan
perkembangan anak dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor keturunan. Penelitian
menunjukkan bahwa faktor keturunan hanya sedikit (4-7% pada wanita) memengaruhi tinggi
badan seseorang saat lahir. Sebaliknya, pengaruh faktor lingkungan pada saat lahir ternyata
sangat besar (74-87% pada wanita). Hal ini membuktikan bahwa kondisi lingkungan yang
mendukung dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan anak termasuk dalam
mencegah kondisi stunting pada anak.1,7
Gambar 2. Kerangka Penyebab Stunting di Indonesia7
Penyebab langsung masalah gizi pada anak termasuk stunting adalah rendahnya
asupan gizi dan status kesehatan. Penurunan stunting menitikberatkan pada penanganan
penyebab masalah gizi, yaitu faktor yang berhubungan dengan ketahanan pangan khususnya
akses terhadap pangan bergizi (makanan), lingkungan sosial yang terkait dengan praktik
pemberian makanan bayi dan anak (pengasuhan), akses terhadap pelayanan kesehatan untuk
pencegahan dan pengobatan (kesehatan), serta kesehatan lingkungan yang meliputi
tersedianya sarana air bersih dan sanitasi (lingkungan). Keempat faktor tersebut
mempengaruhi asupan gizi dan status kesehatan ibu dan anak.1,7
Penyebab tidak langsung masalah stunting dipengaruhi oleh berbagai faktor, meliputi
pendapatan dan kesenjangan ekonomi, perdagangan, urbanisasi, globalisasi, sistem pangan,
jaminan sosial, sistem kesehatan, pembangunan pertanian dan pemberdayaan perempuan.1,7

2.2 Program Penanggulangan Stunting


Sejalan dengan komitmen pemerintah yang tinggi dalam pencegahan stunting, dalam
rapat koordinasi tingkat menteri pada tanggal 12 Juli 2017 diputuskan bahwa pencegahan
stunting penting dilakukan dengan pendekatan multisektor melalui sinkronisasi program-
program nasional, lokal, dan masyarakat di tingkat pusat maupun daerah.1,7
Kemudian dalam rangka percepatan penurunan stunting berdasarkan kerangka penyebab
masalah stunting, ditetapkan strategi nasional percepatan penurunan stunting yang
bertujuan :
- Menurunkan prevalensi stunting;
- Meningkatkan kualitas penyiapan kehidupan berkeluarga;
- Menjamin pemenuhan asupan gizi;
- Memperbaiki pola asuh;
- Meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan; dan
- Meningkatkan akses air minum dan sanitasi.1,8
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan
Penurunan Stunting menetapkan strategi nasional percepatan penurunan stunting untuk
mencapai target tujuan pembangunan berkelanjutan pada tahun 2030. Target nasional
prevalensi stunting dalam kurun waktu 2025-2030 ditetapkan berdasarkan hasil evaluasi
pencapaian target antara pada tahun 2024 yaitu sebesar 14%.8
Target tujuan pembangunan berkelanjutan pada tahun 2030 dicapai melalui pelaksanaan
5 (lima) pilar dalam strategi nasional percepatan penurunan stunting, meliputi:
1. Peningkatan komitmen dan visi kepemimpinan di kementerian/lembaga,
pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan pemerintah
desa;
2. Peningkatan komunikasi perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat;
3. Peningkatan konvergensi intervensi spesifik dan intervensi sensitif di
kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah
kabupaten/kota dan pemerintah desa;
4. Peningkatan ketahanan pangan dan gizi pada tingkat individu, keluarga, dan
masyarakat; dan
5. Penguatan dan pengembangan sistem, data, informasi, riset, dan inovasi.1,8
Sasaran prioritas Stranas stunting adalah ibu hamil, ibu menyusui, dan anak berusia 0-23
bulan atau rumah tangga 1.000 HPK. Kelompok sasaran lainnya meliputi: remaja; calon
pengantin, dan anak berusia 0-59 bulan.1,7,8
Gambar 3. Intervensi gizi spesifik percepatan penurunan stunting1,7

Upaya penurunan stunting dilakukan melalui dua intervensi, yaitu intervensi gizi spesifik
untuk mengatasi penyebab langsung dan intervensi gizi sensitif untuk menggatasi penyebab
tidak langsung. Intervensi gizi spesifik merupakan kegiatan yang langsung mengatasi
terjadinya stunting seperti asupan makanan, infeksi, status gizi ibu, penyakit menular, dan
kesehatan lingkungan. Terdapat 3 kelompok intervensi gizi spesifik (Gambar 3):1,7
a. Intervensi prioritas, yaitu intervensi yang diidentifikasi memiliki dampak paling
besar pada pencegahan stunting dan ditujukan untuk menjangkau semua sasaran
prioritas;
b. Intervensi pendukung, yaitu intervensi yang berdampak pada masalah gizi dan
kesehatan lain yang terkait stunting dan diprioritaskan setelah intervensi prioritas
dilakukan.
c. Intervensi prioritas sesuai kondisi tertentu, yaitu intervensi yang diperlukan sesuai
dengan kondisi tertentu, termasuk untuk kondisi darurat bencana (program gizi
darurat).

Gambar 4. Intervensi sensitif percepatan penuruan stunting7


Intervensi gizi sensitif (Gambar 4) mencakup: (a) Peningkatan penyediaan air bersih dan
sarana sanitasi; (b) Peningkatan akses dan kualitas pelayanan gizi dan kesehatan; (c)
Peningkatan esadaran, komitmen, dan praktik pengasuhan gizi ibu dan anak; serta (d)
Peningkatan akses pangan bergizi. Sasaran intervensi gizi sensitif adalah keluarga dan
masyarakat dan dilakukan umumnya di luar Kementerian Kesehatan.1,7
Selain mengatasi penyebab langsung dan tidak langsung, diperlukan prasyarat pendukung
yang mencakup komitmen politik dan kebijakan untuk pelaksanaan, keterlibatan pemerintah

dan lintas sektor, serta kapasitas untuk melaksanakan. Penurunan stunting memerlukan
pendekatan yang menyeluruh, yang harus dimulai dari pemenuhan prasyarat pendukung
sesuai dengan kerangka konseptual intervensi penurunan stunting terintegrasi.1,7
Gambar 5. Kerangka konseptual intervensi penurunan stunting terintegrasi7

Pada tingkat kabupaten/kota pelaksanaan aksi integrasi dilakukan sebagai pendekatan


intervensi percepatan pencegahan stunting secara terkoordinir, terpadu, dan bersama-sama
sehingga harus melibatkan lintas sektor dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan
kegiatan. Intervensi penurunan stunting terintegrasi dilaksanakan melalui 8 (delapan) aksi,
yaitu:
1. Analisis situasi program penurunan stunting;
2. Penyusunan rencana kegiatan;
3. Rembuk stunting;
4. Peraturan bupati/walikota tentang peran desa;
5. Pembinaan kader pembangunan manusia;
6. Sistem manajemen data stunting;
7. Pengukuran dan publikasi data stunting; dan
8. Reviu kinerja tahunan.1,7
Sumber pembiayaan dalam upaya pencegahan stunting mengikuti skema pembiayaan
pemerintah yang sudah ada, baik yang berasal dari dana desa (APBDesa), dana
kabupaten/kota (APBD kab/kota), Dana Alokasi Khusus (DAK), dana provinsi (APBD
Provinsi), dana kementerian/lembaga (APBN), maupun pendapatan lainnya yang sah.
Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2021 tentang
Percepatan Penurunan Stunting diketahui bahwa sumber pendanaan percepatan penurunan
stunting berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.1,7,8
Dalam hal evaluasi, target indikator utama dalam intervensi penurunan stunting
terintegrasi adalah:
1. Prevalensi stunting pada anak baduta dan balita
2. Persentase bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
3. Prevalensi kekurangan gizi (underweight) pada anak balita
4. Prevalensi wasting (kurus) anak balita
5. Persentase bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapat ASI eksklusif
6. Prevalensi anemia pada ibu hamil dan remaja putri
7. Prevalensi kecacingan pada anak balita
8. Prevalensi diare pada anak baduta dan balita1,7
PERENCANAAN PROGRAM PENANGGULANGAN STUNTING DI PROVINSI
SUMATERA UTARA

Kejadian stunting merupakan salah satu masalah gizi yang dialami oleh balita di
Indonesia dan prevalensinya cenderung statis. Hasil Riskesdas Tahun 2007 menunjukkan
prevalensi balita stunting di Indonesia sebesar 36,8%. Pada tahun 2010, terjadi sedikit
penurunan menjadi 35,6% namun prevalensinya kembali meningkat di tahun 2013 menjadi
37,2%. Prevalensi balita stunting kembali menurun pada tahun 2018 menjadi 30,8%. Dari
hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2019, prevalensi stunting balita di
Indonesia berhasil ditekan menjadi 27,6%.1,7
Dalam menyusun perencanaan program penanggulangan stunting di tingkat daerah,
pemerintah daerah menjabarkan penurunan stunting yang merupakan prioritas nasional ke
dalam program dan kegiatan prioritas melalui mekanisme perencanaan dan penganggaran
daerah. Untuk meningkatkan keterpaduan/ terintegrasinya berbagai program/kegiatan antar
tingkat pemerintahan (pusat, provinsi, kabupaten/kota dan desa) yang sesuai dengan
kebutuhan lokasi fokus dan untuk penyampaian intervensi gizi prioritas bagi Rumah Tangga
1.000 HPK, pemerintah kabupaten/kota melaksanakan aksi integrasi meliputi: Aksi (1)
Analisis Situasi Program Penurunan Stunting; Aksi (2) Penyusunan rencana kegiatan; dan
Aksi (3) Rembuk Stunting.7

Analisis Situasi
Analisis situasi program penurunan stunting adalah proses untuk mengidentifikasi
sebaran prevalensi stunting dalam wilayah kabupaten/kota, situasi ketersediaan program, dan
praktik manajemen layanan sebagai dasar dalam menentukan program/kegiatan yang
diprioritaskan alokasinya dan menentukan upaya perbaikan manajemen layanan untuk
meningkatkan akses rumah tangga 1.000 HPK secara simultan terhadap intervensi gizi
prioritas, baik berupa intervensi gizi spesifik maupun intervensi gizi sensitif.7
Dari hasil e-PPGM tahun 2020, diketahui bahwa prevalensi stunting pada balita di
Provinsi Sumatera Utara adalah sebesar 29,2%. Terjadi penurunan angka prevalensi apabila
dibandingkan dengan tahun 2019 yaitu 30,7%. Meskipun terjadi penurunan capaian, namun
prevalensi stunting di Sumatera Utara masih berada di atas angka prevalensi nasional dan
masih jauh dari besar prevalensi yang disarankan WHO yaitu di bawah 20%.9,10

Gambar 6. Prevalensi stunting pada


balita per kabupaten/kota di Provinsi
Sumatera Utara Tahun 20209

Penyusunan Rencana Kegiatan


Penyusunan rencana kegiatan merupakan salah satu bagian dari perencanaan program
penanggulangan stunting sebagai rencana tindak lanjut dari hasil analisis situasi. Rencana ini
berisikan program dan kegiatan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk meningkatkan
cakupan layanan intervensi dan kegiatan untuk meningkatkan integrasi intervensi oleh
kabupaten/kota dan desa pada tahun berjalan dan/atau satu tahun mendatang. Secara
operasional, rencana kegiatan ini juga meliputi target dan indikator kinerja, lokasi, anggaran,
waktu/jadwal kegiatan, penyediaan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia yang
dibutuhkan.7
Upaya yang dilakukan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara dalam menangani
stunting antara lain :
- Membuat Rencana Aksi Daerah (RAD) dalam rangka penurunan stunting yang
melibatkan lintas program dan lintas sektor
- Intervensi dilakukan pada bayi di bawah usia dua tahun (1.000 HPK) dimulai saat
ibu mulai hamil sampai usia bayi 2 tahun, karena ini merupakan periode emas
- Intervensi gizi spesifik dengan sasaran ibu hamil yakni dengan memberikan
makanan tambahan (PMT) pada ibu hamil, vitamin A dan tablet tambah darah
terhadap remaja dan ibu hamil untuk mengatasi kekurangan energi dan protein
kronis, mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat.
- Mendorong pelaksanaan Inisiasi Menyusui Dini/IMD terutama melalui pemberian
kolostrum serta mendorong pemberian ASI eksklusif.
- AGT (Asuhan Gizi Terstandar) bagi Tenaga Gizi Puskesmas di daerah lokus
stunting
- Melaksanakan promosi kesehatan melalui Kampanye Gerakan Masyarakat Hidup
Sehat (GERMAS) serta pemberdayaan masyarakat.
- Pembinaan kab/kota dalam peningkatan pelayanan ANC (Ante Natal Care),
peninkatan persalinan di fasyankes, peningkatan kunjungan neonatal, peningkatan
cakupan penduduk yang menjadi peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) Program
JKN
- Peningkatan surveilans gizi dan penyediaan makanan tambahan bagi balita
- Pembinaan pelaksanaan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM)9

Berikut ini adalah rencana kegiatan program-program gizi spesifik yang dapat dilakukan
oleh Pemerintah Sumatera Utara sebagai upaya penanggulangan stunting:6,11
1. Program terkait intervensi dengan sasaran ibu hamil, dilakukan melalui beberapa
program/kegiatan berikut:
 Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pada ibu hamil untuk mengatasi
kekurangan energi dan protein kronis
 Program untuk mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat
 Program untuk mengatasi kekurangan iodium
 Pemberian obat cacing untuk menanggulangi kecacingan pada ibu hamil
 Program untuk melindungi ibu hamil dari malaria
Jenis kegiatan yang dilakukan meliputi pemberian suplementasi besi folat setiap hari
selama masa kehamilan atau minimal 90 tablet, memberikan dukungan kepada ibu hamil
untuk melakukan pemeriksaan kehamilan atau ANC minimal 4 kali, memberikan
imunisasi Tetanus Toksoid (TT), memberikan upaya penanggulangan cacingan pada ibu
hamil, memberikan kelambu serta pengobatan bagi ibu hamil yang positif malaria, dan
pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil.6
Program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pada ibu hamil bertujuan untuk
mengatasi gizi kurang pada ibu hamil dengan fokus zat gizi makro maupun mikro yang
diperlukan untuk mencegah Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan stunting. Makanan
tambahan yang diberikan dapat berbentuk makanan keluarga berbasis pangan lokal
dengan resep-resep yang dianjurkan maupun makanan tambhaan pabrikan yang lebih
praktis dengan komposisi zat gizi yang sudah baku.12
Makanan Tambahan pemulihan (MT Pemulihan) diberikan kepada ibu hamil yang
mengalami KEK (Kurang Energi Kronis) yang ditandai dengan LiLA < 23,5 cm, diberi
minimal selama 90 hari. Pada ibu hamil, jadwal pemberian terintegrasi dengan pelayanan
ANC. Pada kehamilan trimester I diberikan 2 keping biskuit lapis per hari. Pada
kehamilan trimester II dan III diberikan 3 keping biskuit lapis per hari. Setiap bungkus
MT ibu hamil berisi 3 keping biskuit lapis (60 gram). Pemberian MT sebagai MT
penyuluhan diberikan dengan waktu maksimal 1 bulan disertai dengan edukasi atau
kegiatan penyuluhan gizi baik secara kelompok maupun individu. Pemberian MT
dilakukan setiap kali posyandu atau melalui kader/bidan/petugas puskesmas/tenaga gizi
ataupun tenaga kesehatan lainnya.12

2. Program yang menyasar Ibu menyusui dan anak usia 0-6 bulan, termasuk di
antaranya mendorong Inisiasi Menyusui Dini (IMD) melalui pemberian ASI
jolong/kolostrum dan memastikan edukasi kepada Ibu untuk terus memberikan ASI
ekslusif kepada anak balitanya. Kegiatan terkait termasuk memberikan pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan ahli, IMD, promosi menyusui ASI eksklusif (konseling
individu dan kelompok), imunisasi dasar, pantau tumbuh kembang secara rutin setiap
bulan dan penanganan bayi sakit secara tepat.6
IMD dilakukan dengan meletakkan bayi secara tengkurap di dada atau perut ibu
sehingga kulit bayi melekat pada kulit ibu yang dilakukan sekurang-kurangnya satu jam
segera setelah lahir. Hal ini dapat dibantu oleh tenaga kesehatan terutama yang
membantu pertolongan persalinan.3,6
ASI eksklusif berdasarkan PP Nomor 33 Tahun 2012 adalah ASI yang diberikan
kepada bayi sejak dilahirkan selama enam bulan, tanpa menambahkan/dan atau
mengganti dengan makanan atau minuman lain (kecuali obat, vitamin, dan mineral).3,10

3. Program intervensi yang ditujukan dengan sasaran Ibu menyusui dan anak usia 7-
23 bulan:6
 Mendorong penerusan pemberian ASI hingga usia 23 bulan didampingi oleh
pemberian MP-ASI
 Menyediakan obat cacing
 Menyediakan suplementasi Zinc
 Melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan
 Memberikan perlindungan terhadap malaria
 Memberikan imunisasi lengkap
 Melakukan pencegahan dan pengobatan diare

Program lainnya adalah Pemberian Makanan Tambahan (PMT) balita gizi kurang oleh
Kemenkes melalui Puskesmas dan Posyandu. Program terkait meliputi pembinaan posyandu
serta penyediaan makanan pendukung gizi untuk balita kurang gizi usia 6-59 bulan berbasis
pangan lokal (misalnya melalui Hari Makan Anak/HMA). Makanan Tambahan (MT)
Pemulihan bagi balita kurus atau gizi kurang usia 6-59 bulan (indeks BB/PB atau BB/TB
dengan Z-Score -3 SD sampai < -2 SD) diberikan selama minimal 90 hari. MT penyuluhan
diberikan ketika posyandu. MT dapat dikonsumsi bersama Makanan Pendamping Air Susu
Ibu (MP-ASI) berbasis pangan lokal.6,12,13
Pada usia 6-11 bulan diberikan 8 keping (2 bungkus) per hari. Usia 12-59 bulan diberikan
12 keping (3 bungkus) per hari. Tiap bungkus MT Balita berisi 4 keping biskuit (40 gr).
Biskuit dapat langsung dikonsumsi atau terlebih dahulu ditambah air matang dalam mangkok
bersih sehingga dapat dikonsumsi dengan menggunakan sendok. Pada kasus balita dengan
kategori kurus (indeks BB/PB atau BB/TB di bawah -2 SD) diberikan MT sampai status gizi
anak membaik (dinilai dengan pertambahan BB dan nilai Z-Score pada indeks BB/TB) dan
selanjutnya mengonsumsi makanan keluarga bergizi seimbang sesuai kebutuhan.12
Penimbangan balita di puskesmas atau posyandu juga sangat penting untuk pemantauan
pertumbuhan dan deteksi dini kasus gizi kurang dan gizi buruk, sehingga dapat langsung
dilakukan upaya pemulihan dan penanggulangan. Idealnya pemantauan perumbuhan dan
perkembangan anak pada kegiatan Posyandu dilakukan rutin setiap bulan sekali oleh tenaga
kesehatan dibantu oleh Kader Pembangunan Manusia (KPM) dan kader Posyandu. Namun
untuk pengukuran panjang bayi dan baduta (0-23 bulan) atau tinggi badan balita (24-59
bulan) dapat dilakukan minimal 3 bulan sekali. Pengukuran stunting dilakukan dengan
mengukur panjang badan utnuk anak di bawah dua tahun dan tinggi badan untuk anak berusia
dua tahun ke atas dengan menggunakan alat antopometri yang tersedia di Puskesmas (length
measuring board dalam posisi tidur untuk baduta dan microtoise dalam posisi berdiri untuk
anak balita). Kedua alat ini harus dikalibrasi secara rutin oleh tenaga kesehatan sebelum
digunakan. Umur anak juga harus dipastikan melalui catatan resmi seperti akta kelahiran atau
buku KIA. Jika alat pengukuran antopometri belum tersedia atau terbatas maka tikar
pertumbuhan dapat digunakan sementara sebagai alat deteksi dini risiko stunting. Bersama
Kader Posyandu dan/atau bidan, KPM memfasilitasi pengukuran tinggi badan dengan tikar
pertumbuhan di Posyandu. Tikar Pertumbuhan adalah penilaian pertumbuhan secara
kualitatif. Dari hasil pengukuran, anak yang terdeteksi stunting harus dirujuk ke Puskesmas
untuk validasi pengukuran oleh tenaga gizi atau bidan dan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
oleh dokter. Kader kemudian akan melakuakn tindak lanjut memberikan konseling yang
dibutuhkan di Posyandu. Jika anak/ orang tuanya tidak hadir di Posyandu, konseling
dilakukan melalui kunjungan ke rumah.5,7,14
Program lainnya adalah pemberian suplementasi kapsul vitamin A bagi balita usia 6-59
bulan. Menurut Permenkes Nomor 21 Tahun 2015 tentang standar Kapsul vitamin A bagi
bayi, balita, dan ibu nifas, kapsul vitamin A merupakan kapsul lunak dengan ujung (nipple)
yang dapat digunting, tidak transparan (opaque), dan mudah untuk dikonsumsi, termasuk ke
dalam mulut balita. Kapsul vitamin A bagi bayi usia 6-11 bulan berwarna biru dan
mengandung retinol (palmitat/asetat) 100.000 IU, sedangkan kapsul vitamin A untuk anak
balita usia 12-59 bulan dan ibu nifas berwarna merah dan mengandung retinol
(palmitate/asetat) 200.000 IU. Waktu pemberian kapsul vitamin A pada bayi dan anak balita
dilaksanakan serentak pada bulan Februari atau Agustus. Frekuensi pemberian vitamin A
pada bayi 6-11 bulan adalah 1 kali sedangkan pada anak balita 12-59 bulan sebanyak 2 kali.
Pada ibu nifas dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu satu kapsul segera setelah persalinan dan satu
kapsul lagi pada 24 jam setelah pemberian kapsul pertama.6,10,12
Kegiatan pengukuran panjang/tinggi badan seperti yang disebutkan sebelumnya dapat
dilakukan bersamaan dengan bulan penimbangan balita dan pemberian vitamin A yang
dilakukan dua kali setahun. Data ini juga dapat digunakan sebagai data surveilans gizi Dinas
Kesehatan kabupaten/kota.7
Rencana kegiatan program intervensi gizi sensitif dapat dilakukan oleh Pemerintah
Sumatera Utara melalui kerjasama dengan Kementerian/Lembaga (K/L) terkait, di
antaranya:6
1. Menyediakan dan memastikan akses pada air bersih melalui rogram PAMSIMAS
(Penyediaan Air Bersih dan Sanitasi Berbasis Masyarakat). Program ini dilakukan lintas
K/L termasuk Bappenas/Kementerian PPN, Kementerian Pekerjaan Umum, dan
Perumahan Rakyat, Kemenkes, dan Kemendagri. Jenis kegiatan program ini di
antaranya:
 Meningkatkan Praktik Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di masyarakat
 Meningkatkan jumlah masyarakat yang memiliki akses air minum dan sanitasi
berkelanjutan
 Meningkatkan kapasitas masyarakat dan kelembagaan lokal dalam
penyelenggaraan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat
 Meningkatkan efektifitas dan kesinambungan jangka panjang pembangunan
sarana dan prasarana air minum dan sanitasi berbasis masyarakat
2. Menyediakan dan memastikan akses pada sanitasi melalui kebijakan Sanitasi Total
Berbasis Masyarakta (STBM) yang terdiri dari 5 pilar yaitu: (1) Stop Buang Air Besar
Sembarangan; (2) Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS); (3) Mengelola makanan dan
minuman di rumah tangga; (4) Mengelola sampah di rumah tangga; dan (5) Mengelola
limbah cair di rumah tangga.
3. Melakukan fortifikasi bahan pangan (garam, terigu, dan minyak goreng) yang
melibatkan Kementerian Pertanian.
4. Menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga Berencana (KB)
melalui dua program:
 Program KKBPK (Kependudukan, KB, dan Pembangunan Keluarga) oleh
BKKBN bekerja sama dengan pemerintah daerah. Kegiatan meliputi:
o Penguatan advokasi dan KIE terkait program KKBPK
o Peningkatan akses dan kualitas pelayanan KB yang merata
o Peningkatan pemahaman dan kesadaran remaja mengenai kesehatan
reproduksi dan penyiapan kehidupan berkeluarga
o Penguatan landasan hukum dalam rangka optimalisasi pelaksanaan
pembangunan bidang Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB)
o Penguatan data dan informasi kependudukan, dan KB
 Program layanan KB dan Kesehatan Seksual serta Reproduksi (Kespro) oleh
LSM. Kegiatan yang dilakukan:
o Menyediakan pelayanan kespro yang terjangkau oleh seluruh lapisan
masyarakat, termasuk difabel dan kelompok marjinal termasuk remaja
o Menyediakan pelayanan penanganan kehamilan tak diinginkan yang
komprehensif dan terjangkau
o Mengembangkan standar pelayanan yang berkualitas di semua strata
pelayanan, termasuk mekanisme rujukan pelayanan kespro
o Mengembangkan model pelayanan KB dan Kespro melalui pendekatan
pengembangan masyarakat
5. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
6. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal) bersama dengan Kemenkes
dengan memberikan layanan kesehatan kepada ibu hamil dari keluarga/rumah tangga
miskin yang belum mendapatkan JKN-Penerima Bantuan Iuran (PBI).
7. Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua
8. Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universal bersama dengan
Kemendikbud. Kegiatan yang dilakukan dalam program ini berupa:
 Perluasan dan peningkatan mutu satuan PAUD
 Peningkatan jumlah dan mutu pendidik dan tenaga kependidikan PAUD
 Penguatan orang tua dan masyarakat
 Penguatan dan pemberdayaan mitra (Pemangku kepentingan, stakeholders)
9. Memberikan pendidikan gizi masyarakat bekerjasama dengan Kemenkes melalui
Puskesmas dan Posyandu. Kegiatan yang dilakukan berupa:
 Peningkatan pendidikan gizi
 Penanggulangan KEP
 Menurunkan prevalensi anemia, mengatasi kekurangan Zinc dan zat besi,
mengatasi Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) serta kekurangan
vitamin A
 Perbaikan keadaan zat gizi lebih
 Peningkatan surveilans gizi
 Pemberdayaan usaha perbaikan gizi/keluarga masyarakat
10. Memberikan edukasi Kespro serta Gizi pada Remaja melalui Pelayanan Kesehatan
Peduli Remaja (PKPR) termasuk pemberian layanan konseling dan peningkatan
kemampuan remaja dalam menerapkan Pendidikan dan Keterampilan Hidup Sehat
(PKHS).
11. Menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin, misalnya melalui
Program Subsidi Beras Masyarakat Beerpenghasilan Rendah (Raskin/Rastra) dan
Program Keluarga Harapan (PKH) bekerjasama dengan Kemensos. Kegiatan program ini
dapat berupa pemberian subsidi untuk mengakses pangan (beras dan telur) dan
pemberian bantuan tunai bersyarat kepada Ibu hamil menyusui dan balita.
12. Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi, bekerjasama dengan Kementerian
Pertanian, Kementerian Koperasi, Kemendagri. Kegiatan yang dilakukan berupa:
 Menjamin akses pangan yang memenuhi kebutuhan gizi terutama ibu
hamil,ibu menyusui, dan anak-anak
 Menjamin pemanfaatan optimal pangan yang tersedia bagi semua golongan
penduduk
 Memberi perhatian pada petani kecil, nelayan, dan kesetaraan gender
 Pemberdayaan ekonomi mikro bagi keluarga dengan ibu hamil KEK
 Peningkatan layanan KB.

Dalam pelaksanaan program pencegahan stunting diperlukan keterlibatan dan


ketersediaan sumber daya manusia (SDM), sarana, prasarana dan fasilitas yang memadai.
Tenaga kesehatan berperan penting dalam sebagian besar program penanggulangan stunting
yang direncanakan terutama tenaga kesehatan di Puskesmas dan Posyandu. Dokter, bidan,
tenaga gizi, kepala lingkungan, kader posyandu dan orangtua balita adalah sumber daya
manusia yang harus dilibatkan dalam upaya pencegahan stunting. Adanya ketersediaan
fasilitas seperti alat-alat kesehatan berupa alat ukur tinggi badan dan berat badan, ruangan
pemeriksaan untuk Puskesmas dan Posyandu, alat-alat dan media untuk melakukan
penyuluhan, ketersediaan alat dan laboratorium untuk pemeriksaan darah dan feses juga
menentukan keberhasilan pelaksanaan program pencegahan stunting.13
Pengorganisasian merupakan unsur manajemen yang penting untuk memberi arah
sehingga intervensi penurunan stunting terintegrasi bisa berjalan dengan baik mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, serta reviu kinerja. Di tingkat provinsi:
a. Pemerintah provinsi memfasilitasi pembinaan, pemantauan, evaluasi, dan tindak
lanjut provinsi atas kebijakan dan pelaksanaan program dan anggaran penyediaan
intervensi gizi prioritas di wilayah kabupaten/kota
b. Pemerintah provinsi memberikan fasilitas dan dukungan teknis bagi peningkatan
kapasitas kabupaten/kota dalam penyelenggaraan aksi integrasi yang efektif dan
efisien
c. Pemerintah provinsi mengoordinasikan pelibatan institusi non-pemerintah untuk
mendukung aksi integrasi percepatan pencegahan stunting
d. Pemerintah provinsi melaksanakan penilaian kinerja kabupaten/kota dalam
penyelenggaraan pencegahan stunting, termasuk memberikan feedback serta
penghargaan kepada kabupaten/kota sesuai kapasitas provinsi yang bersangkutan.
Pengorganisasian di tingkat kabupaten/kota meliputi :
a. Pemerintah kabupaten/kota memastikan perencanaan dan penganggaran
program/kegiatan untuk intervensi prioritas
b. Pemerintah kabupaten/kota memperbaiki pengelolaan layanan untuk intervensi gizi
prioritas
c. Pemerintah kabupaten/kota mengoordinasikan kecamatan dan pemerintah desa
dalam menyelenggarakan intervensi prioritas, termasuk dalam mengoptimalkan
sumber daya, sarana prasarana, pendanaan dan pemutakhiran data
d. Pemerintah kabupaten/kota menyusun kebijakan daerah yang memuat kampanye
publik dan komunikasi perubahan perilaku publik dan masyarakat
Pengorganisasian di tingkat desa meliputi:
a. Pemerintah desa melakukan sinkronisasi dalam perencanaan dan penganggaran
program dan kegiatan pembangunan desa untuk mendukung pencegahan stunting
b. Pemerintah desa memastikan setiap sasaran prioritas menerima dan memanfaatkan
paket layanan intervensi gizi prioritas
c. Pemerintah desa memperkuat pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pelayanan
kepada seluruh sasaran prioritas serta mengoordinasikan pendataan sasaran dan
pemutakhiran data secara rutin7

Sumber pembiayaan dalam upaya pencegahan stunting mengikuti skema pembiayaan


pemerintah yang sudah ada, baik yang berasal dari dana desa (APBDesa), dana
kabupaten/kota (APBD kab/kota), Dana Alokasi Khusus (DAK), dana provinsi (APBD
Provinsi), dana kementerian/lembaga (APBN), maupun pendapatan lainnya yang sah.
Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2021 tentang
Percepatan Penurunan Stunting diketahui bahwa sumber pendanaan percepatan penurunan
stunting berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.1,7,8
Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2021 tentang
Percepatan Penurunan Stunting, indikator sasaran percepatan penurunan stunting melalui
program intervensi gizi spesifik dan sensitif di antaranya:8
1. Indikator sasaran tersedianya layanan intervensi spesifik
 Persentase ibu hamil KEK yang mendapatkan tambahan asupan gizi
 Persentase ibu hamil yang mengonsumsi Tablet Tambah Darah (TTD) minimal
90 tablet selama masa kehamilan
 Persentase remaja putri yang mengonsumsi Tablet Tambah Darah (TTD)
 Persentase bayi usia kurang dari 6 bulan mendapat ASI eksklusif
 Persentase anak usia 6-23 bulan yang mendapat MP-ASI
 Persentase anak balita gizi buruk yang mendapat tata laksana gizi buruk
 Persentase anak balita yang dipantau pertumbuhan dan perkembangannya
 Persentase anak balita yang memperoleh imunisasi dasar lengkap
2. Indikator sasaran tersedianya layanan intervensi sensitif
 Persentase pelayanan KB pasca persalinan
 Persentase kehamilan tidak direncanakan
 Cakupan calon Pasangan Usia Subur (PUS) yang memperoleh pemeriksaan
kesehatan sebagai bagian dari pelayanan nikah
 Persentase rumah tangga yang mendapat akses air minum layak
 Persentase rumah tangga yang mendapatkan akses sanitasi layak
 Cakupan PBI JKN
 Cakupan keluarga berisiko stunting yang memperoleh pendampingan
 Jumlah keluarga miskin dan rentan yang memperoleh bantuan tunai bersyarat
 Persentase target sasaran yang memiliki pemahaman yang baik tentang stunting
 Jumlah keluarga miskin dan rentan yang menerima bantuan sosial pangan
 Persentase desa/kelurahan Stop Buang Air Besar Sembarangan (BABS) atau
Open Defecation Free (ODF)
Pada tingkat desa, kegiatan-kegiatan intervensi gizi spesifik maupun intervensi gizi
sensitif bagi sasaran rumah tangga 1.000 HPK dapat dikelompokkan ke dalam 5 paket
layanan intervensi yaitu: (1) Kesehatan Ibu dan Anak (KIA); (2) Konseling Gizi Terpadu;
(3) Air Bersih dan Sanitasi; (4) Perlindungan Sosial; dan (5) Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD). Contoh perencanaan kebutuhan kegiatan pencegahan stunting dapat dilihat pada
tabel di bawah.15
Gambar 7. Contoh perencanaan kebutuhan kegiatan pencegahan stunting15
Implementasi kegiatan dilakukan berkerja sama dengan Kader Pembangunan Manusia
(KPM), pendamping Program Keluarga Harapan (PKH), petugas Puskesmas dan bidan desa,
serta petugas KB. Kader Pembangunan Manusia (KPM) adalah kader yang berfungsi untuk
membantu desa dalam memfasilitasi pelaksanaan integrasi intervensi penurunan stunting.
Kader tersebut berasal dari masyarakat sendiri seperti kader Posyandu, guru PAUD, dan
kader lainnya yang terdapat di desa.7
Selanjutnya dalam setiap paket layanan tersebut ditetapkan indikator-indikator yang akan
dipantau untuk memastikan sasaran 1.000 HPK mendapatkan layanan intervensi yang sesuai,
seperti yang terlihat dalam tabel di bawah ini:15

Gambar 8. Indikator pemantauan paket layanan pencegahan stunting1


KESIMPULAN

Stunting atau sering disebut kerdil atau pendek adalah kondisi gagal tumbuh pada anak
berusia di bawah lima tahun (balita) akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang
terutama pada periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu dari janin hingga anak
berusia 23 bulan. Prevalensi stunting balita di Indonesia tahun 2019 adalah sebesar 27,6%.
Di Sumatera Utara prevalensi stunting pada balita tahun 2020 melebihi prevalensi nasional
yaitu sebesar 29,2%. Stunting merupakan ancaman utama terhadap kualitas sumber daya
manusia Indonesia, juga ancaman terhadap kemampuan daya saing bangsa. Oleh karena itu,
penanggulangan masalah stunting harus dilakukan dan dimulai jauh sebelum seorang anak
dilahirkan (periode 1.000 HPK).
Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting (Stranas Stunting) disusun agar semua
pihak di berbagai tingkatan dapat bekerja sama untuk mempercepat pencegahan stunting.
Stranas stunting terdiri dari lima pilar, yaitu: (1) Komitmen dan visi kepemimpinan; (2)
Kampanye nasional dan komunikasi perubahan perilaku; (3) Konvergensi program pusat,
daerah dan desa; (4) Ketahanan pangan dan gizi; (5) Pemantauan dan evaluasi. Stranas
stunting diwujudkan melalui kerangka intervensi stunting yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia yaitu intervensi gizi spesifik dan sensitif.
Perencanaan program penanggulangan stunting melalui intervensi gizi spesifik dan
sensitif baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota, maupun desa meliputi analisis situasi,
penyusunan rincian kegiatan, sumber daya manusia, penyediaan sarana dan prasanana,
pengorganisasian, pendanaan, dan penetapan kriteria/indikator keberhasilan. Program
kegiatan intervensi stunting yang telah direncanakan harus dilaksanakan secara terintegrasi
melalui kerjasama multisektor termasuk oleh pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota
hingga tingkat desa untuk mengurangi angka prevalensi stunting di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementerian/Lembaga Pelaksana Program/Kegiatan Pencegahan Anak Kerdil. Strategi
Nasional Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting) Periode 2018-2024. Jakarta:
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. 2018. 96p.
2. Sudikno, dkk. Laporan Akhir Penelitian Studi Status Gizi Balita di Indonesia Tahun
2019. Jakarta: Kemenkes. 2019. 190p.
3. Kemenkes RI. Laporan Provinsi Sumataera Utara Riskesdas 2018. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2019. 596p.
4. Badan Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Rencana
Strategis (Renstra) Sumatera Utara 2020-2024. Medan: BKKBN. 2020. 63p.
5. Rahayu A, Yulidasari F, Putri A, Anggraini L. Study Guide-Stunting dan Upaya
Pencegahannya bagi Mahasiswa Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta: CV Mine. 2018.
140p.
6. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. 100 Kabupaten/Kota Prioritas
untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting). Jakarta: TNP2K. 2017. 367p.
7. Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan
Pembangunan Nasional. Pedoman Pelaksanaan Intervensi Penurunan Stunting
Terintegrasi di Kabupaten/Kota. Jakarta: KemenPPN/Bappenas. 2018.59p.
8. Presiden RI. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2021 tentang
Percepatan Penurunan Stunting. Jakarta: 2021. 75p.
9. Dinas Kesehtaan Provinsi Sumatera Utara. Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKIP)
Tahun 2020. Medan: Dinkes Prov Sumut. 2021.144p.
10. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara
Tahun 2019. Medan: Dinkes Prov Sumut. 2019. 379p.
11. Walikota Medan. Peraturan Walikota Medan Nomor 18 Tahun 2020 Tentang
Konvergensi Pencegahan Stunting di Kota Medan. Medan: Walikota Medan. 2020. 11p.
12. Kemenkes RI. Petunjuk Teknis Pemberian Makanan Tambahan Berupa Biskuit Bagi
Balita Kurus dan Ibu Hamil Kurang Energi Kronis (KEK) Tahun 2020. Jakarta:
Kemenkes. 2020. 62p.
13. Saputri R. Upaya Pemerintah Daerah dalam Penanggulangan Stunting di Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung. Jurnal Dinamika Pemerintahan. Agustus 2019; 2(2):152-68.
14. Trisira N. Monitoring Program Penanggulangan Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas
Medan Sunggal Tahun 2020. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. 2021. 123p.
15. Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Panduan
Failitasi Konvergensi Pencegahan Stunting di Desa. Jakarta: Kementerian Desa,
pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. 2018. 38p.

Anda mungkin juga menyukai