Anda di halaman 1dari 17

A.

Latar Belakang
Penyakit Tidak Menular (PTM) adalah penyebab utama kematian dan bertanggung jawab
atas 38 juta (68%) dari 56 juta kematian di dunia pada tahun 2012. Faktor risiko yang dapat
dimodifikasi seperti pola makan yang buruk dan kurangnya aktifitas fisik adalah beberapa
penyebab paling umum dari PTM dan merupakan faktor risiko dari obesitas sebagai salah
satu faktor risiko terbesar PTM. Prevalensi obesitas meningkat secara global khususnya di
negara-negara berkembang. Pada tahun 2013, sekitar 37% pria dan 38% wanita di seluruh
dunia mengalami overweight atau obesitas.1,2
Sebagai negara berkembang, Indonesia juga mengalami tantangan serupa. Data WHO
(2014) dalam NCD Country Profiles 2014 menyebutkan sekitar 71% kematian di Indonesia
disebabkan oleh penyakit tidak menular, yang meliputi diabetes sekitar 6%, penyakit
pernapasan kronik sekitar 5%, kanker sekitar 13%, penyakit tidak menular lainnya sekitar
10% dan paling banyak kematian disebabkan penyakit kardiovaskular dengan proporsi sekitar
37%. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) terjadi kecenderungan
peningkatan prevalensi obesitas di Indonesia pada usia dewasa >18 tahun yaitu dari 10,5%
pada tahun 2007 menjadi 14,8% pada tahun 2013 dan meningkat menjadi 21,8% pada tahun
2018.3,4
Konsumsi gula yang berlebihan merupakan salah satu faktor penyebab overweight dan
obesitas. Penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara konsumsi gula makanan
dan penambahan berat badan. Terdapat bukti substansial dan konsisten yang menunjukkan
bahwa makanan padat energi, minuman manis, dan makanan cepat saji berkontribusi
terhadap penambahan berat badan, overweight, dan obesitas melalui peningkatan kalori
berlebih.1,2
Gula adalah karbohidrat yang secara alami terdapat di makanan tetapi juga dapat
ditambahkan ke dalam bahan makanan. Karbohidrat tersebut digunakan tubuh sebagai
sumber energi. Gula sederhana disebut monosakarida dan termasuk glukosa (juga dikenal
sebagai dektrosa), fruktosa, dan galaktosa. Gula yang paling umum digunakan adalah sukrosa
yang merupakan disakarida yang nantinya dipecah di dalam tubuh menjadi fruktosa dan
glukosa, sehingga dapat digunakan sebagai sumber energi. Secara umum, istilah “gula”
termasuk gula intrinsik, yaitu yang secara alami terkandung dalam struktur buah dan sayuran
utuh; gula dari susu (laktosa dan galaktosa); dan gula bebas (free sugar) yang merupakan
monosakarida dan disakarida yang ditambahkan (added sugar) ke dalam makanan dan
minuman oleh produsen, orang yang memasak atau konsumen, dan gula yang secara alami
terdapat dalam madu, sirup, jus buah, dan konsentrat jus buah. Sebagian besar gula bebas
yang dikonsumsi ditambahkan ke dalam makanan dan minuman.1,2
Karena tidak ada bukti yang dilaporkan tentang efek merugikan dari konsumsi gula
intrinsik dan gula yang secara alami ada dalam susu, maka pedoman konsumsi gula berfokus
terhadap efek asupan gula bebas (free sugar). Ada kekhawatiran yang meningkat bahwa
asupan gula bebas, terutama dalam bentuk minuman berpemanis, dapat meningkatkan asupan
energi secara keseluruhan namun mengurangi asupan makanan yang mengandung kalori yang
lebih bergizi, sehingga menyebabkan diet yang tidak sehat, penambahan berat badan dan
peningkatan resiko PTM. Kekhawatiran lainnya adalah hubungan gula bebas dan karies gigi
yang merupakan salah satu PTM paling umum dijumpai secara global.1,2
Pola makan yang buruk, rendah nutrisi, dan kalori tinggi berkorelasi dengan asupan tinggi
karbohidrat olahan yaitu sereal olahan termasuk gula bebas dan sereal olahan. Proses
pemurnian sereal diketahui menurunkan kepadatan nutrisi berupa senyawa bergizi dan
kandungan serat di dalamnya sehingga beresiko meningkatkan risiko obesitas dan kelainan
metabolisme lain temasuk PTM terutama Diabetes Mellitus. Berdasarkan uji klinis dan
beberapa studi longitudinal ditemukan bahwa gula dalam berbagai bentuk minuman, yaitu
minuman ringan dan sebagainya, mengarah pada kemungkinan kenaikan berat badan yang
lebih besar. Minuman dengan pemanis buatan juga tampaknya meningkatkan risiko diabetes
namun terutama dengan terlebih dahulu meningkatkan berat badan dan obesitas.1,2
Karena implikasi kesehatan dari konsumsi gula berlebih, maka pada bulan Maret 2015,
WHO mengeluarkan pedoman tentang gula, yang merekomendasikan agar orang dewasa dan
anak-anak membatasi asupan gula hingga kurang dari 10% dari total asupan energi per hari,
yang setara dengan sekitar 50 gram gula atau sekitar 12,5 sendok teh. Untuk manfaat
kesehatan gigi lebih lanjut, pedoman WHO menyarankan pengurangan konsumsi gula hingga
di bawah 5% dari total kalori per hari, setara dengan sekitar 25 gram gula atau sekitar 6
sendok teh.1
Di seluruh dunia, banyak negara yang mengonsumsi gula melebihi pedoman pembatasan
konsumsi gula oleh WHO, seperti Brazil, Kanada, Afrika Selatan, Inggris, dan Amerika
Serikat. Konsumsi gula meningkat terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan
menengah. Antara tahun 2000-2001 dan 2013-2014 konsumsi gula global meningkat dari
sekitar 130 menjadi 178 juta ton. Konsumsi gula yang berlebihan ini terjadi dalam rangka
pasokan gula yang murah dan melimpah di pasar dunia.2
Hasil survei konsumsi makanan individu di Indonesia tahun 2014, menunjukkan bahwa
penduduk Indonesia rata-rata mengonsumsi gula sebesar 14,2 gram, garam 3,6 gram, dan
minyak 20,6 gram. Indonesia menempati posisi ketiga dalam konsumsi minuman berpemanis/
Sugar-sweetened Beverages (SSB) di Asia Tenggara yaitu sebanyak 20,23 liter/orang.
Minuman berpemanis mencakup semua minuman yang mengandung gula bebas. Minuman
berpemanis dapat berupa minuman berkarbonasi, atau tidak berkarbonasi, sari buah/sayur,
konsentrat cair dan bubuk, air perasa, minuman olahraga, dan minuman energi, teh instan,
kopi instan, minuman kopi manis (es kopi dalam kemasan, kopi minuman dipesan dengan
sirup atau penyedap rasa) dan susu beraroma. Di Indonesia, minuman berpemanis dikonsumsi
setidaknya seminggu sekali oleh 62% anak-anak, 72% remaja, dan 61% orang dewasa,
dengan teh kemasan siap minum menjadi SSB yang paling sering dikonsumsi. Pasar besar
untuk menjual minuman tidak sehat ada di berbagai tempat, seperti sekolah, supermarket, dan
beberapa rumah sakit. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Indonesia
(Balitbangkes) tahun 2014, konsumsi harian minuman berkarbornasi sebanyak 2,4 ml/orang.
Konsumsi tertinggi pada kelompok umur 13-18 tahun yaitu 4,7 ml/orang/hari. Seperti yang
telah disebutkan sebelumnya, hasil studi kohort observasioanl melaporkan bahwa konsumsi
minuman berpemanis dikaitkan dengan insiden diabetes tipe 2, dan secara independen
berkaitan dengan obesitas.5,6
Pendekatan multidisiplin yang melibatkan pembuat kebijakan, media, kemitraan sosial,
akademisi dan lain-lain diperlukan dalam upaya mengurangi konsumsi karbohidrat olahan
termasuk asupan gula bebas yang berlebihan. Kebijakan yang komprehensif diperlukan untuk
mengurangi konsumsi gula. Kebijakan yang dibuat harus mencakup strategi pemasaran untuk
melawan asupan gula yang berlebihan, meningkatkan kesadaran pribadi masyarakat melalui
pemberian informasi, mengendalikan promosi makanan dan minuman bergula tinggi dan
tidak sehat, serta meningkatkan akses ke makanan sehat.7

B. Kebijakan Konsumsi Gula di Indonesia


Salah satu upaya Pemerintah dalam melindungi kesehatan masyarakat adalah melakukan
edukasi kepada masyarakat melalui informasi kandungan gula, garam, dan lemak, serta pesan
kesehatan yang dicantumkan dalam kemasan pangan olahan.3
Upaya tersebut diperkuat dengan diterbitkannya Permenkes No. 30 Tahun 2013 tentang
Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam dan Lemak serta Pesan Kesehatan untuk
Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji. Kebijakan tersebut mewajibkan industri pangan olahan
untuk menginformasikan kandungan total dari gula, garam, dan lemak, serta pesan kesehatan
pada label pangan olahan yang berbunyi “Konsumsi Gula lebih dari 50 gram, Natrium lebih
dari 2000 miligram, atau Lemak total lebih dari 67 gram per orang per hari berisiko
hipertensi, stroke, diabetes, dan serangan jantung”.3,8
Perubahan Permenkes No. 30 Tahun 2013 menjadi Permenkes No. 63 tahun 2015 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2013 tentang Percantuman
Informasi Kandungan Gula, Garam, dan Lemak serta Pesan Kesehatan untuk Pangan Olahan
dan Pangan Siap Saji. Dari penelitian yang menganalisis bentuk kemitraan pemerintah dan
swasta diperoleh hasil diskusi dengan pihak industri pangan yang siap melaksanakan
kebijakan pencantuman informasi kandungan gula, garam dan lemak pada pangan olahannya.
Beberapa masukan pihak industri pangan antara lain bahwa industri pangan perlu dorongan
agar dapat berperan aktif memproduksi pangan lebih sehat. Strategi yang ditawarkan berupa
peningkatan Citra Organisasi pangan melalui kerangka kerja sama melalui Kemitraan
Pemerintah-Swasta dalam rangka penurunan gula,garam,dan lemak pada produk pangan
olahan yang dilakukan secara bertahap. Contoh : Public Health Responsibility Deal yang
telah dilakukan di negara Inggris dan Millan Declaration di Swiss .
 Public Health Responsibility Deal merupakan Kemitraan Pemerintah-Swasta (KPS)
yang dilakukan melalui perjanjian kerjasama antara korporasi dan sektor publik di
Inggris, dimana model kerjasama tersebut saat ini banyak digunakan untuk mengatasi
masalah di bidang kesehatan masyarakat terkait untuk meningkatkan kesehatan
masyarakat itu sendiri di bidang makanan, alkohol, kesehatan kerja, dan aktivitas
fisik. Kelemahannya: Timbul kekhawatiran beberapa pihak industri tentang tidak
seimbangnya isi perjanjian kemitraan, usaha kecil dan menengah akan sulit masuk
dalam kemitraan tersebut.
 Milan Declaration yaitu tindakan menyerukan dukungan, dan tindakan nasional untuk
memerangi obesitas yang diikuti oleh 14 perusahaan makanan dan perdagangan ritel
untuk mereduksi jumlah gula pada produk yogurt dan breakfast coreals di akhir tahun
2018. Hasilnya berupa perjanjian untuk mengurangi gula tambahan di yogurt sebesar
2,5% dan menambahkan gula dalam sereal sarapan sebesar 5% pada akhir tahun
2018.3

Beberapa dukungan pemerintah dalam pelaksanaan Permenkes No. 30 tahun 2013:

1. Reduksi gula melalui strategi intervensi berbasis masyarakat dan pengenaan pajak
impor
2. Reduksi garam melalui pendekatan reformulasi pangan
3. Deregulasi Trans-fat Bans3
Indonesia belum menyediakan sistem regulasi untuk mengurangi tingginya konsumsi
produk SSB. Selain itu, definisi dari standar SSB dalam satu regulasi juga belum tersedia.
Penjelasan mengenai SSB hanya tersedia dalam Peraturan Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) Nomor 21 Tahun 2018 tentang Kategori Pangan yang menyatakan SSB
terdiri dari beberapa bentuk antara lain minuman olahan (berkarbornasi dan nonkarbornasi),
jus buah, konsentrat dan jus buah. Kementerian Kesehatan dan BPOM memiliki kewenangan
teknis untuk menetapkan konsep asupan gula bagi tubuh manusia tetapi tidak memiliki
pernyataan yang sama tentang standar maksimum nilai ambang batas gula tersebut.
Kemenkes telah menetapkan peraturan nasional yang menyebutkan bahwa konsumsi gula
tidak boleh lebih dari 50 gram per hari per orang (setara dengan 4 sendok makan). Angka ini
sama besarnya dengan indeks asupan gula yang ditentukan oleh WHO, yaitu rekomendasi
bagi orang dewasa dan anak-anak untuk mengurangi konsumsi gula hingga kurang dari 10%
dari asupan energi harian (setara dengan 12 sdt untuk orang dewasa). Di sisi lain, regulasi
BPOM juga mendorong perusahaan melakukan reformulasi dengan menurunkan kadar gula
menjadi 6 gram per 100 ml. Perusahaan minuman yang mengikuti anjuran akan mendapatkan
label yang lebih sehat pada kemasannya.6
Kemenkes juga telah berupaya mengurangi tingginya konsumsi SSB dengan memberikan
edukasi dalam program “Germas” (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat) yang mengajak
masyarakat untuk mengurangi konsumsi gula, minuman berpemanis, garam, dan kandungan
lemak berlebih tetapi kebijakan ini masih hanya sebatas upaya promosi kesehatan untuk
mendorong perubahan perilaku di masyarakat.6
Indonesia juga masih mengalami kesulitan dalam menerapkan cukai untuk minuman
berpemanis atau SSB, hal ini ditandai dengan kegagalan Kementerian Keuangan dalam
mengadvokasi pajak SSB pada tahun 2012 dan 2016. Di Indonesia juga masih belum terdapat
peraturan atau undang-undang khusus yang mengatur tentang periklanan khususnya
periklanan bagi anak-anak. Iklan minuman gula termasuk iklan promosi ditayangkan secara
luas di stasiun televisi swasta di Indonesia, yang banyak menayangkan program anak-anak,
sehingga rata-rata seorang anak yang menonton televisi di Indonesia dapat melihat satu iklan
makanan/minuman yang tidak sehat setiap 4 menit. Sampel minuman yang mengandung
sakarin (pemanis buatan) dan siklamat yang diteliti di sekolah-sekolah di Semarang,
Indonesia merupakan salah satu bukti belum terdapatnya kebijakan yang melakukan
pengawasan dan pembinaan kepada pedagang terutama yang ada di lingkungan sekolah untuk
mengurangi konsumsi SSB.6
C. Kebijakan Konsumsi Gula di Berbagai Negara
Banyak pemerintah-pemerintah negara yang telah memperkenalkan dan
mengimplementasikan kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi konsumsi gula, untuk
mengatasi meningkatkan obesitas dan PTM.
Kebijakan-kebijakan yang dilakukan di antaranya:
1. Menetapkan pajak minuman berpemanis
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa intervensi pemerintah dalam bentuk
cukai atau subsidi cukup efektif dalam mentransformasi pola konsumsi terkait
obesitas dan penyakit kronis. Intervensi ini tidak hanya mengupayakan peningkatan
pendapatan dari produk tersebut, tetapi sebagai instrumen pengendalian fiscal, juga
mendorong dan mengubah perilaku masyarakat menuju gaya hidup sehat. Bukti
penelitian yang dilakukan WHO menunjukkan bahwa pajak minuman berpemanis
yang menaikkan harga sebesar 20% dapat menyebabkan penurunan konsumsi sekitar
20% sehingga mencegah obesitas dan diabetes.6
Di negara Prancis, pajak minuman bersoda sebesar 11 sen euro untuk 1,5 liter
soda telah berlaku sejak 1 Januari 2012. Sebagai pajak cukai diharapkan produsen
atau penjual (yang harus membayar pajak kepada pemerintah) akan membebankan
pajak kepada konsumen dengan menaikkan harga produk sehingga mengurangi minat
konsumen untuk mengonsumsi minuman bersoda atau minuman ringan berpemanis
lainnya yang sudah dikenakan pajak. Penelitian di negara tersebut menunjukkan
bahwa pajak secara signifikan meningkatkan harga minuman yang dikenakan pajak
(semua minuman non-alkohol dengan tambahan gula atau pemanis, misalnya soda,
minuman rasa buah, air beraroma dan minuman diet). Enam bulan setelah
implementasi kebijakan, pajak sepenuhnya telah dialihkan kepada harga produk
minuman bersoda tetapi hanya 60% produk minuman buah dan 85% produk air
beraroma yang mengalami kenaikan harga akibat kebijakan pajak. Sebuah penelitian
yang membandingkan harga produk minuman ringan bersoda di Prancis menemukan
peningkatan harga sebesar 4,7-5,6% setelah penerapan kebijakan dan terdapat rata-
rata total pengurangan jumlah pembelian minuman kena pajak adalah sekitar 9
centiliter per minggu per orang, yaitu sekitar satu kaleng soda standar per bulan.2,6
Di Meksiko pajak minuman berpemanis berlaku sejak Januari 2014 dan
menaikkan harga minuman berpemanis sekitar 10%, yaitu sebesar 1 peso (0,07 dollar)
per liter. Minuman berpemanis didefinisikan secara legal sebagai semua minuman
dengan tambahan gula, tidak termasuk susu atau yoghurt. Hasil awal dari pajak
minuman bersoda di Meksiko menunjukkan bahwa pada kuartal pertama tahun 2014,
terjadi penurunan sekitar 10% dalam penjualan minuman yang dikenakan pajak.2
Chili adalah salah satu konsumen terbesar konsumsi minuman berpemanis di
dunia. Menurut data dari Euromonitor Passport Basis Data, Chili menempati
peringkat pertama di antara sampel global negara-negara di dalam hal kalori minuman
berpemanis yang terjual per kapita per hari pada tahun 2014. Chili menerapkan
kebijakan pajak minuman soft drink untuk mempromosikan diet sehat di 2014 Pada
Oktober 2014 pemerintah meningkatkan ad-valorem atau pajak pertambahan nilai
(ppn) yang ada untuk minuman ringan tinggi gula sebesar 5% dari 13% menjadi 18%
dan menurunkan 3% pajak untuk minuman ringan rendah gula menjadi 10%,
berdasarkan ambang batas gula 6.25 gr /100 ml . Hal ini berlaku juga untuk semua
minuman non-alkohol, minuman energi, dan air. Kebijakan ini efektif untuk
menaikkan harga dan mengurangi konsumsi terhadap minuman ringan dengan
berpemanis buatan.9
Pemerintah Inggris telah mengumumkan adanya the soft drinks industry level
(SDIL) pada tahun 2016 atau lebih dikenal dengan sebutan sugar tax. Aturan tersebut
diberlakukan mulai tahun 2018 yang berisi bahwa pajak tambahan akan dikenakan
untuk setiap minuman dengan kandungan gula sebanyak 5 gr atau lebih untuk setiap
100 ml minuman dan tambahan biaya yang lebih tinggi lagi pada minuman dengan
kandungan gula 8 gr atau lebih untuk setiap 100 ml minuman. Setelah menetapkan
pajak minuman berpemanis tahun 2018, perusahaan manufaktur telah melakukan
reformulasi produk dengan memangkas tingkat gula yang ditambahkan ke produk
mereka hingga setengahnya dan mendorong persaingan antar perusahaan, baik dalam
hal penurunan kadar gula untuk menjaga harga tetap rendah maupun menawarkan
produk yang lebih sehat.10
Pada tanggal 8 Juli 2016, Economics Tax Analysis Chief Directorate Republik
Afrika Selatan telah mengeluarkan Policy Paper dengan judul taxation of sugar
sweetened beverages (pajak atas minuman berpemanis) yang dijalankan sejak tahun
2017. Jenis barang yang akan dikenakan pajak adalah minuman yang mengandung
tambahan pemanis seperti sukrosa, high-fructose corn syrup (HFCS) atau konsentrat
jus buah dengan tarif sebesar 2,29 sen Rand tiap gram gula yang terkandung pada
minuman untuk mengurangi masalah obesitas di negara tersebut.10
Di Srilanka, mayoritas penduduk yang mengonsumsi minuman berpemanis adalah
masyarakat miskin dan kelas menengah, sehingga sebagai upaya untuk mengatasinya,
negara tersebut menetapkan PPN 15% untuk minuman berpemanis.2
Pemerintah Thailand juga menerapkan pajak SSB yaitu mulai tanggal 16
September 2017. Menurut UU Cukai ini, produsen minuman akan dikenakan pajak
sesuai dengan jumlah gula dalam produk mereka. Perhitungan pajak didasarkan pada
tarif ad valorem (PPN) dan spesifikasi tarif berdasarkan kuantitas atau berat produk
dan direncanakan tarif spesifik pajak ini akan terus ditingkatkan setiap dua tahun
hingga tahun 2023. Tarif cukai pada minuman berpemanis dengan kandungan gula
10-14 gram per 100 ml dikenakan pajak 10%, yaitu sebesar 0,5 Baht per liter. Sebagai
contoh, 1 botol minuman teh 500 ml yang mengandung gula 54,5 gram akan
dikenakan pajak 10% atau 0,5 Baht per liter. Tujuan dari penerapan pajak cukai ini
diharapkan tidak hanya dapat mengubah perilaku konsumen dalam mengurangi
konsumsi SSB namun juga diharapkan untuk memengaruhi produsen untuk
memformulasi ulang dengan mengurangi kandungan gula dalam produk minuman
mereka untuk memenuhi syarat minuman berpemanis dengan kandungan gula yang
tidak kena pajak.11
Di antara tahun 2010 dan 2020, California mengusulkan berbagai inisiatif pajak
SSB di tingkat negara bagian dan lokal, serta inisiatif terkait seperti peningkatan label
peringatan produk. Barkeley menjadi kota pertama di California yang mengesahkan
pajak cukai SSB sebesar 0,01 dolar per ons pada tahun 2-14 dan diikuti oleh 3 kota
lainnya di California pada tahun 2016. Keterlibatan dokter gigi terkait kebijakan
pembatasan gula dan penetapan pajak SSB memiliki peranan dan perlu ditingkatkan
sebagai upaya mengurangi kejadian karies gigi akibat konsumsi gula dan minuman
berpemanis yang berlebih. Upaya peningkatan keterlibatan dokter gigi di California
untuk meningkatkan dukungan terhadap pembatasan konsumsi gula salah satunya
adalah melalui advokasi media. Para dokter gigi memerlukan kemauan dan
kepercayaan untuk bertindak dalam memberi informasi melalui media untuk
meningkatkan dukungan publik terhadap adopsi kebijakan pembatasan gula. Selain
itu, dukungan dari organisasi profesi kedokteran gigi juga dibutuhkan sebagai izin
untuk berbicara melalui media baik melalui media tradisional atau melalui postingan
ke media sosial.12

2. Mengurangi ketersediaan produk berpemanis di sekolah


Produk minuman berpemanis (SSB) banyak tersedia dan terjangkau di
masyarakat. Lokasi yang sering menyediakan SSB adalah mesin penjual minuman
otomatis (vending machine) atau kantin di sekolah, rumah sakit, dan supermarket.
Ketersediaan dan aksesibilitas SSB yang mudah dijangkau membuat jumlah konsumsi
masyarakat semakin tinggi. Maka perlu dilakukan intervensi untuk mengontrol
kedekatan dan jumlah minuman berpemanis di lokasi-lokasi tersebut.6
Kebijakan yang mengadopsi pendekatan tersebut di antaranya yang telah
diberlakukan di Queensland, Australia yang disebut sebagai “Smart Choices”. Smart
Choices diluncurkan pada tahun 2005 dan sejak tahun 2007 wajib diberlakukan di
semua 1.275 sekolah dasar dan menengah di negara bagian Queensland, Australia.
Smart Choices adalah standar nutrisi sekolah yang memisahkan makanan dan
minuman menjadi tiga kategori ‘hijau, kuning, dan merah’ berdasarkan kandungan
energi, lemak jenuhm gula, natrium, dan seratnya. Smart Choices memastikan bahwa
makanan dan minuman ‘merah’ (tinggi lemak jenuh, tambahan gula atau garam)
dihilangkan di lingkungan sekolah (misalnya di vending machine, kedai sekolah,
acara sekolah, sponsor, iklan dan kantin sekolah). Setelah 6 bulan implementasi
standar nutrisi Smart Choices di sekolah, sebanyak 97% pemilik kedai sekolah
melaporkan bahwa semua makanan ‘merah’ telah dihapus dan 91% pemilik kedai
sekolah melaporkan bahwa ketersediaan makanan ‘hijau’ telah meningkat. Sebanyak
56% dari asosiasi orang tua dan warga yang biasanya mengoperasikan kedai dan
kantin sekolah mengatakan bahwa keuntungan setelah penerapan kebijakan ini tidak
berubah atau meningkat. Oleh karena itu, kebijakan “Smart Choices” secara efektif
mengurangi ketersediaan makanan tidak sehat di lingkungan sekolah, terutama
minuman berpemanis dan permen. Menargetkan vending machine sangat efektif
dalam mengurangi pasokan minuman berpemanis.2
Di negara Prancis terdapat larangan mesin penjual otomatis (vending machine) di
sekolah-sekolah berdasarkan UU Kesehatan Masyarakat Prancis Tahun 2004 yang
diberlakukan sejak September 2005. Sebelum larangan tersebut, vending machine
dijumpai di 89,4% sekolah umum (siswa usia 14-17 tahun) dan 39,3% sekolah
perguruan tinggi umum (siswa usia 11-13 tahun). Membandingkan data dari tahun
1998 dan 2006 (sebelum dan sesudah larangan diberlakukan), terdapat penurunan
yang signifikan dalam asupan kalori (antara 90-115 kal), lemak, natrium dan terutama
asupan gula bebas (10-12 gr) yang diamati selama jam istirahat pagi setelah larangan
tersebut berlaku.2
Kebijakan larangan penyediaan minuman soda di sekolah yang bertujuan untuk
membatasi SSB terutama yang berkarbornasi juga diberlakukan di sekolah dasar
negeri di Thailand. Kebijakan ini diberlakukan sejak tahun 2008 dan melibatkan
sektor non pemerintah, misalnya dukungan dari asosiasi professional Sweet Enough
Network (SEN). SEN bertindak sebagai media yang memfasilitasi keterlibatan
pemerintah, professional kesehatan (seperti dokter gigi), Kementerian, pemerintah
daerah dan masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan.11
Di Inggris, makanan tinggi lemak, garam, atau gula tidak diizinkan untuk dijual di
sekolah-sekolah.13

3. Mengurangi ketersediaan produk berpemanis di lingkungan retail


Salah satu bentuk kebijakannya adalah penerapan Toko Sehat (Shop Healthy) di
New York City (NYC), Amerika Serikat. Shop healthy NYC adalah inisiatif
Departemen Kesehatan Kota New York yang bertujuan untuk meningkatkan akses ke
makanan sehat serta melibatkan penduduk dan organisasi dalam mendukung
perubahan retail makanan berkelanjutan di komunitas mereka. Untuk memastikan
dampak jangka panjang, program ini bertujuan untuk mempengaruhi permintaan dan
penawaran dengan: 1) menjangkau pengecer makanan untuk meningkatkan stok dan
mempromosikan makanan sehat, termasuk bekerja secara intensif dengan toko-toko
untuk memenuhi kriteria makanan sehat tertentu; 2) bekerja sama dengan distributor
dan pemasok untuk memfasilitasi pembelian grosir dan promosi makanan sehat secara
luas; 3) melibatkan pelanggan (masyarakat) untuk mendukung pengecer yang
berpartisipasi dalam meningkatkan akses ke makanan sehat. Evaluasi Shop Healthy
NYC – yang diterapkan di lingkungan Bronx – menemukan bahwa di 170 toserba
(toko serba ada) dan supermarket yang berpartisipasi, 75% menampilkan minuman
dan air berpendingin rendah kalori setinggi mata (dibandingkan dengan 45% di awal);
rasio iklan tidak sehat terhadap iklan sehat bergeser dari 11:1 menjadi 1:1; toko yang
mengiklankan pilihan sehat (misalnya makanan ringan dengan batasan kalori, lemak,
garam, dan gula) meningkat dari 42% menjadi 90%; iklan minuman berpemanis turun
dari 85% iklan menjadi 52% iklan; iklan air minum meningkat dari 3% iklan menjadi
12% iklan; dan 64% pelanggan yang melihat materi Shop Healthy NYC mengatakan
bahwa materi tersebut membuat mereka mempertimbangkan untuk membeli opsi
makanan sehat yang diiklankan, dengan 49% akhirnya membeli produk lebih sehat
yang diiklankan. Secara umum, pemilik toko yang berpartisipasi dalam inisiatif ini
belajar bagaimana menjual dan mempromosikan makanan yang lebih sehat secara
efektif melalui tampilan barang dagangan dan papan nama yang lebih baik.2

4. Meningkatkan konsumsi buah-buahan dan sayuran sebagai pengganti makanan


ringan berpemanis
Di Belanda terdapat program yang dinamakan The Dutch SchoolGruiten Program
yang dilaksanakan pada tahun 2003 dengan masa trial 3 tahun melalui pemberian satu
porsi buah atau sayuran dua kali seminggu tanpa biaya kepada anak-anak sekolah.
Anak-anak dari sekolah yang menerapkan program intervensi ini membawa buah dan
sayuran dan lebih sedikit jajanan tidak sehat dari rumah, secara signifikan lebih sering
dibandingkan anak-anak di sekolah yang tidak menerapkan program ini. Sejak tahun
2006, Program SchoolGruiten ini diluncurkan secara nasional dengan biaya buah dan
sayuran dibebankan ke sekolah, orang tua atau pihak ketiga. Kebijakan ini berjalan
hingga tahun 2013 dan banyak diadaptasi.2
Program buah di sekolah-sekolah di Norwegia (Norway’s School Fruit
Programmes) dimulai pada tahun 1996 dan diberlakukan secara nasional pada tahun
2003, untuk siswa kelas 1-10. Pada tahun 2007, program buah gratis di sekolah juga
dilaksanakan secara nasional di semua sekolah dasar menengah (kelas 8-10) dan
sekolah gabungan (kelas 1-10). Dalam kedua program tersebut, sepotong buah atau
sayur diberikan setiap hari sekolah kepada siswa. Penelitian menunjukkan bahwa
siswa yang terdaftar di sekolah yang menerapkan program ini meningkatkan asupan
buah dan sayuran secara keseluruhan dan mengurangi frekuensi konsumsi makanan
ringan yang tidak sehat (minuman manis, permen, dan keripik kentang). Pada
program pemberian buah gratis, penurunan frekuensi konsumsi jajanan tidak sehat
terutama terlihat pada siswa dengan orang tua dengan tingkat pendidikan rendah.2

5. Meningkatkan konsumsi air sebagai pengganti minuman berpemanis


Hungarian Aqua Promoting Program in the Young (HAPPY) diimplementasikan
pada awalnya sebagai program intervensi dua bulan pada tahun 2007, HAPPY
bertujuan untuk meningkatkan popularitas air minum di kalangan siswa sekolah dasar
berusia 7 hingga 10 tahun. Program ini mempromosikan konsumsi air dengan
mendidik siswa tentang konsumsi cairan yang memadai dan menyediakan air gratis
(dalam air pendingin) di lingkungan sekolah. Di akhir intervensi, terjadi peningkatan
yang signifikan dalam pengetahuan anak tentang asupan cairan, penurunan yang
signifikan dalam konsumsi minuman manis, dan peningkatan konsumsi air (hampir
dua pertiga siswa mengurangi jumlah minuman manis yang mereka konsumsi). Selain
itu, lebih sedikit siswa yang membawa minuman manis ke sekolah dan lebih banyak
siswa yang membawa air ke sekolah setelah intervensi. Berdasarkan keberhasilan
percontohan, pada tahun 2010 Institut Nasional untuk Ilmu Pangan dan Gizi
memperluas HAPPY secara nasional untuk diadopsi secara sukarela oleh sekolah.
Pada tahun 2014, sekitar 144 sekolah telah melaksanakan program ini.2

6. Meningkatkan kesadaran akan kandungan gula dalam produk makanan atau


minuman
Kampanye “Sugar Pack” Los Angeles Country bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran akan jumlah “sugar packs” (paket berisi tiga gram gula, yang biasa
ditemukan di restoran) dalam minuman manis, serta dampak buruk obesitas bagi
kesehatan. Kampanye berlangsung antara Oktober 2011 dan Desember 2012 dan
menggunakan pesan media berbayar yang ditempatkan di papan reklame, bus, dan
kereta api, video pendek di TV publik, situs web yang menyertakan kalkulator gula,
dan media sosial. Visual dan pesan kampanye telah diuji sebelumnya pada target
audiens yang dituju, dan materi kampanye serta sumber daya diproduksi dalam bahasa
Inggris dan Spanyol. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa kampanye meningkatkan
pengetahuan masyarakat tentang jumlah kemasan gula dalam minuman dan efek
kesehatan dari obesitas. Kampanye tersebut juga menghasilkan pengakuan yang baik
terhadap pesan kesehatan, dan lebih dari 60% responden melaporkan bahwa mereka
cenderung atau sangat mungkin mengurangi asupan minuman berpemanis setiap hari.2
Di Inggris, kebijakan seperti pelabelan makanan wajib ditujukan untuk
meningkatkan pengetahuan tentang kandungan nutrisi dalam produk, dan kebijakan
seperti kampanye lima hari ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan konsumen
tentang apa yang dimaksud dengan diet sehat. Contohnya adalah kebijakan sistem
pelabelan makanan lampu lalu lintas , yang diperkenalkan di Inggris pada tahun 2013.
Label terdiri dari serangkaian label berwarna hijau, kuning atau merah di bagian
depan kemasan produk, yang menunjukkan apakah produk tersebut memiliki jumlah
lemak, lemak jenuh, gula dan garam yang rendah (hijau), sedang (kuning), atau tinggi
(merah). Penelitian yang melihat pengaruh pelabelan lampu lalu lintas pada
pembelian di kafetaria di rumah sakit menunjukkan bahwa pengenalan pelabelan
lampu lalu lintas menyebabkan peningkatan penjualan makanan sehat (label hijau)
dan penurunan penjualan makanan tidak sehat (label merah). Sistem pelabelan lalu
lintas ini juga diharapkan dapat mempermudah penafsiran informasi mengenai
kandungan nutrisi dalam makanan dibandingkan dengan tampilan pelabelan numerik
misalnya dalam bentuk persentase. Penelitian Capacci dan Mazzocchi (2011) melihat
efek dari kampanye informasi lima hari, yang bertujuan untuk mendorong lebih
banyak konsumsi buah dan sayuran di Inggris. Mereka menemukan bahwa rata-rata
kampanye menghasilkan konsumsi tambahan 0,3 porsi buah dan sayuran per orang
per hari dibandingkan dengan rata-rata konsumsi awal yang hanya di bawah 4 porsi.13
7. Promosi Kesehatan
Di negara Prancis terdapat kebijakan Program Gizi dan Kesehatan Nasional
(PNNS). Program ini mempromosikan kesehatan di seluruh populasi dan
menggunakan sejumlah kebijakan dengan komponen yang bertujuan untuk
mengurangi asupan gula dalam rangka memperbaiki pola makan total. Program
tersebut mencakup sembilan tujuan, salah satunya adalah mengurangi konsumsi gula
tambahan sebesar 25%. Ini melibatkan kolaborasi di berbagai sektor, termasuk
pemerintah, industri makanan, penelitian, komunitas pendidikan, konsumen, dan
organisasi perawatan kesehatan. PNNS dilaksanakan pada tahun 2001 dan merupakan
program berkelanjutan. Kampanye media massa yang diselenggarakan dalam PNNS
tahap pertama (2001-2005) bertujuan untuk mendorong konsumsi buah dan sayur,
aktivitas fisik dan konsumsi makanan kaya gandum, sekaligus mengurangi konsumsi
makanan dengan tambahan gula. Food Quality Observatory (Oqali) dibentuk pada
tahun 2008 sebagai bagian dari PNNS tahap kedua. Oqali menilai komposisi nutrisi
makanan yang dijual di Prancis, mengikuti perubahan nutrisi dan pelabelan dalam
pasokan makanan (termasuk reformulasi makanan), dan meluncurkan piagam
komitmen sukarela PNNS untuk perbaikan nutrisi yang ditandatangani oleh industri
makanan. Piagam komitmen sukarela (diluncurkan pada PNNS tahap kedua) telah
menghasilkan reformulasi produk, termasuk pengurangan gula yang signifikan di
beberapa kategori makanan. Misalnya, antara 2001 dan 2008 di antara sereal sarapan,
ada pengurangan 10% kandungan gula (seperempat sereal yang dijual telah
mengurangi kandungan gula sebesar 1,5 – 9,0 gram per 100 gram). Berdasarkan 15
piagam komitmen pertama yang ditandatangani, diperkirakan 11.700 hingga 13.000
ton gula dikeluarkan dari pasar makanan Prancis selama periode dua tahun (2008-
2010). Pada tahun 2010, pedoman wajib tentang komposisi gizi makanan yang
disajikan di sekolah (termasuk gula) telah diterapkan.2
Di Afrika Selatan, peningkatan konsumsi minuman manis telah berhubungan
dengan peningkatan angka obesitas. Kampanye media massa dapat memainkan peran
penting dalam meningkatkan pengetahuan, perubahan sikap, dan membangun
dukungan untuk tindakan pemerintah dalam mengurangi gula konsumsi minuman.
Kampanye adalah intervensi yang efektif untuk pencegahan obesitas. Selain
menambah pengetahuan dan mengubah sikap, kampanye media dapat secara efektif
membangun dukungan publik untuk pemerintahan yang kuat tindakan dan karena itu
harus menjadi komponen dari pendekatan pencegahan obesitas yang komprehensif.
Sejumlah besar bukti telah menemukan bahwa kampanye media massa memainkan
peran penting dalam memajukan kesehatan masyarakat. Secara tradisional, kampanye
media telah digunakan untuk mempromosikan perubahan sosial dan perilaku, dari
pencegahan dan pengendalian penyakit menular hingga keluarga berencana, hingga
baru-baru ini, menangani penyakit tidak menular.14
"Are you drinking yourself sick?” merupakan kampanye yang ditayangkan di
Afrika Selatan dari Oktober 2016 hingga Juni 2017 untuk menggeser sikap terhadap
minuman manis, membangun persepsi risiko pribadi tentang bahaya kesehatan dari
mengkonsumsi minuman manis, dan membangun dukungan publik untuk usulan
pajak minuman manis. Berdasarkan penelitian mengenai dampak kampanye tersebut,
lebih dari setengah populasi yang disurvei mengingat kampanye tersebut, dan
diterima dengan baik. Responden yang sadar kampanye secara akurat mengingat
pesan kampanye, mereka menganggapnya dapat dipercaya dan relevan, dan itu
meningkatkan kekhawatiran mereka tentang bahaya gula minuman. Lebih dari
setengah responden yang sadar kampanye mendiskusikan pesan utamanya dengan
orang lain, dan 81% responden sadar kampanye mengatakan bahwa kampanye
membuat mereka lebih mendukung pemerintah tindakan untuk mengurangi konsumsi
minuman manis.14
Terdapat peningkatan yang signifikan dalam pengetahuan, sikap, dan perilaku
antara pra- dan periode pasca kampanye serta pengakuan masalah obesitas masa
kanak-kanak, peningkatan pengetahuan tentang bahaya minuman manis bagi
kesehatan orang dewasa dan anak-anak. Peningkatan dukungan ini diamati dari
sebelum hingga periode pasca-kampanye: misalnya, ada peningkatan yang signifikan
dalam dukungan orang Afrika Selatan untuk tindakan pemerintah yang mencegah
konsumsi minuman manis dan junk food dan mendukung untuk pajak minuman manis
jika uang yang dikumpulkan diinvestasikan dalam program publik. Kampanye media
melibatkan warga dan membangun dukungan publik untuk tindakan kebijakan
pemerintah untuk mengurangi obesitas, khususnya melalui makanan manis pajak
minuman. Kampanye media dapat meningkatkan pengetahuan, sikap, dan
menghasilkan percakapan publik dengan mengkomunikasikan kebutuhan kesehatan
masyarakat, seperti perlunya mengurangi konsumsi minuman manis untuk
mengurangi obesitas, sehingga mereka dapat membantu pemerintah membangun
dukungan publik untuk kebijakan yang diterapkan.14

8. Pembatasan iklan
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah negara, termasuk Inggris, Kanada, Chili,
Norwegia dan Meksiko telah memberlakukan pembatasan iklan makanan tidak sehat
kepada anak-anak dengan tujuan mengurangi konsumsi gula anak-anak. Alasan yang
memotivasi memperkenalkan pembatasan tersebut adalah bahwa iklan dapat bertindak
untuk ‘membujuk’ orang untuk membuat keputusan pembelian. Di Inggris, makanan
dan minuman tinggi lemak, gula, atau garam tidak dapat diiklankan selama program
penayangan program anak-anak, yaitu tayangan dimana anak-anak menjadi target
pemirsa atau merupakan lebih dari 25% penonton. Namun kebijakan ini masih dinilai
belum efektif oleh karena sebagian besar acara televisi yang ditonton anak-anak
bukan pada program anak-anak dan setengah dari iklan makanan dan minuman yang
dilihat anak-anak di televisi adalah produk makanan atau minuman yang kurang sehat
serta merupakan iklan restoran cepat saji. Selain itu, pembatasan yang awalnya
ditujukan untuk anak-anak ini pada akhirnya bergantung pada keputusan orang
dewasa atau orang tua dalam memberikan konsumsi gula bagi anak-anak di rumah
tangga.13
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Guideline: Sugars intake for adults and children. Geneva: World Health
Organization. 2015. 59pp.
2. World Cancer Research Fund International. Curbing global sugar consumption: Effective
food policy actions to help promote healthy diets and tackle obesity. London: World
Cancer Fund International. 2015. 20pp.
3. Kusnali A, Puspasari H, Rustika. Kemitraan Pemerintah-Swasta dalam Industri Pangan
untuk Menurunkan Kandungan Gula, Garam dan Lemak dalam Pangan Olahan. Jurnal
Kedokteran dan Kesehatan. Jul 2019; 15(2): 102-17.
4. Haning M, Arundhana A, Muqni A. The government policy related to sugar-sweetened
beverages in Indonesia. Indian Journal of Community Health. Sept 2016; 28(3): 222-7.
5. Triandhini R, Rahardjo M, Putranti M. Gambaran konsumsi gula, daram dan lemak
penduduk Dusun Batur Kidul Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. Journal of
Health. 2019; 5(1): 1-11.
6. Fanda RB, Solim A, Muhartini T, Utomo KP, Dewi SL, Abou S. Policy Brief: Mengatasi
tingginya konsumsi minuman berpemanis di Indonesia. PKMK. 2020: 51pp.
7. Jawaldeh A, Mallah C, Obeid O. Regional policies on sugar intake reduction at
population levels to address obesity in the Eastern Mediterranean. JSM Nutr Disord.
2018; 2(1): 1006.
8. Permenkes RI. Nomor 30 Tahun 2013 tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula,
Garam, dan Lemak serta Pesan Kesehatan untuk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji.
Jakarta: Kemenkes. 2013. 8pp.
9. Cuadrado C, Dunstan J, Illanes N, Mirelman A, Nakamura R, Suhrcke. Effects of a
sugar-sweetened beverage tax on prices and affordability of soft drink in Chile: A time
series analysis. Social Science & Medicine. 2020; 245: 9pp.
10. Rosyada H, Ardiansyah B. Analisis fisibilitas pengenaan cukai atas minuman berpemanis
(sugar-sweetened beverages). Kajian Ekonomi & Keuangan. 2017; 1(3): 229-41.
11. The World Bank. Lesson learned from Thailand’s Obesity Prevention and Control
Policies. 2019: 17p.
12. Kearns C, Urata J, Chaffee B. California Dentists’ Engagement in Media Advocacy for
Sugar Restriction Policies. JDR Clinical & Translational Research. 2021; 20(10):10 pp.
13. Griffith R, O’Connell M, Smith K, Stroud R. What’s on the Menu? Policies to reduce
young people’s sugar consumption. Fiscal Studies. 2020; 41(1): 165-97.
14. Murukutla N, Cotter T, et al. Results of a mass media campaign in South Africa to
Promote a Surgary Drinks Tax. Nutrients. 2020; 12: 1878.

Anda mungkin juga menyukai