Anda di halaman 1dari 72

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia saat ini menghadapi beban masalah kesehatan ganda, yaitu penyakit
menular dan Penyakit Tidak Menular (PTM). Perubahan pola penyakit tersebut
sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan, perilaku masyarakat, transisi
demografi, teknologi, ekonomi dan sosial budaya. Peningkatan beban akibat PTM
sejalan dengan meningkatnya faktor risiko peningkatan tekanan darah, gula darah,
indeks massa tubuh atau obesitas, pola makan tidak sehat, kurang aktivitas fisik,
merokok dan alkohol. Peningkatan beban ini akan menambah beban masyarakat
dan pemerintah, karena penanganannya membutuhkan biaya yang besar dan
memerlukan teknologi tinggi. Penyakit tidak menular yang mengalami peningktan
diantaranya HIV/AIDS, penyakit kardiovaskular, hipertensi, dan diabetes melitus
(Kemenkes, 2019).
Diabetes melitus adalah penyakit yang ditandai dengan terjadinya
hiperglikemia serta gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, protein yang
dihubungkan dengan kekurangan secara absolut atau relatif dari kerja dan sekresi
insulin. Gejala yang dikeluhkan pada penderita diabetes melitus yaitu polidipsia,
poliuria, polifagia serta penurunan berat badan (WHO, 2016).
WHO memperkirakan bahwa secara global, sekitar 422 juta orang dewasa
berusia di atas 18 tahun hidup dengan diabetes pada tahun 2014. Angka ini
meningkat 4 kali lipat dari 108 juta pada tahun 1980. Jumlah terbesar orang dengan
diabetes diperkirakan berasal dari Asia Tenggara dan Pasifik Barat, terhitung
sekitar setengah kasus diabetes di dunia. Indonesia sendiri menduduki peringkat ke-
7 jumlah pengidap diabetes melitus tertinggi di dunia. International Diabetes
Federation (IDF) menyebutkan bahwa pada tahun 2016 Indonesia memiliki sekitar
9,1 juta pengidap DM. (WHO, 2016).
Kemenkes RI (2013) menyebutkan bahwa Provinsi Jawa Timur mengalami
peningkatan prevalensi 1% bila dibandingkan dengan hasil Riskesdas tahun 2007
(Kemenkes RI, 2013). Diabetes merupakan 10 besar penyakit terbanyak di Provinsi
Jawa Timur. Jumlah penderita DM menurut Riskesdas mengalami peningkatan dari
tahun 2007 sampai tahun 2013 sebesar 330.512 penderita (Kemenkes RI, 2014).
2

Data pada bulan januari-juli tahun 2019 menunjukkan bahwa terdapat


peningkatan jumlah kunjungan pasien diabetes melitus dipuskesmas wagir
sebanyak 721 pasien. Desa Sidorahayu merupakan desa yang memiliki jumlah
penduduk tertinggi yaitu sebanyak 8.939 jiwa serta memiliki akses yang dekat
dengan pelayanan kesehatan, akan tetapi angka cakupan pelayanan kesehatan
penderita diabetes melitus di desa tersebut merupakan pencapaian terendah selama
empat bulan terakhir. Pencapaian cakupan pelayanannya mulai bulan April-Juli
2019 berturut-turut 6,2%, 5,03%, 5,04%, dan 7,8% dari 12 desa di Kecamatan
Wagir (Standar pelayanan minimal Puskesmas Wagir,2018; Laporan Bulanan Data
Pelayanan Kesehatan, 2019).
Hasil data tersebut berbanding terbalik dengan Program Pengelolaan Penyakit
Kronis (Prolanis) di Desa Sidorahayu, dimana prolanis di desa ini lebih terorganisir
dibanding desa lainnya. Hal ini dikarenakan sebelumnya desa Sidorahayu pernah
mendapatkan subsidi Obat hiperglikemi oral (OHO) dari program Smarthealth
fakultas kedokteran Universitas Brawijaya Malang, akan tetapi pada program
tersebut tidak ada monitoring kepatuhan penggunaan obat yang telah diberikan
(Dimas, wawancara 30 Juni 2019).
Berdasarkan wawancara pada warga desa Sidorahayu yang terkena diabetes,
kendala yang mempengaruhi kepatuhan pasien minum obat diantaranya yaitu
transportasi lansia ke puskesmas yang susah, dukungan keluarga untuk kontrol
kembali ke puskesmas yang kurang, lamanya antrian puskesmas, pasien sering lupa
waktu minum obat, dan pasien merasa dirinya tidak sakit sehingga merasa tidak
perlu berobat (Pasien Diabetes Melitus Desa Sidorahayu, Wawancara 12 Agustus
2019).
Pengendalian kadar gula darah merupakan hal yang penting dalam penanganan
DM. Pasien diabetes perlu memahami faktor-faktor yang berpengaruhi untuk
mengendalikan kadar gula darah, yaitu diet, aktivitas fisik, kepatuhan minum obat,
dan pengetahuan (Widodo, 2016).
Keberhasilan pengelolahaan DM untuk mencegah komplikasi dapat dicapai
salah satunya melalui kepatuhan dalam terapi farmakologi. Menurut penelitian
Cahyo Widodo, dkk tahun 2016 menyatakan bahwa terdapat hubungan kepatuhan
3

konsumsi obat anti glikemik dengan kadar gula darah pasien DM di Fasyankes
Primer Klaten dengan p value 0,006 (Widodo,2016).
Pada penelitian tersebut pada kelompok gula darah terkontrol memiliki
kepatuhan tinggi hingga sedang, kemudian pada kelompok gula darah tidak
terkontrol lebih banyak memiliki kepatuhan minum obat yang rendah. WHO
melaporkan bahwa rata-rata kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi jangka
panjang penyakit kronis di negara berkembang masih rendah, sedangkan di negara
maju mencapai 50%. Keberhasilan pengobatan dapat dibuktikan dengan hasil
laboratorium cek glukosa darah puasa mengalami penurunan menjadi 70-130 mg/dl
(Widodo,2016).
Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk meneliti “Pengaruh
Penggunaan Jam Pintar terhadap Tingkat Kepatuhan Minum Obat dan Kadar Gula
Darah Puasa pada Penderita Diabetes Melitus di Desa Sidorahayu Wagir”.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apakah terdapat perebedaan tingkat kepatuhan minum obat sebelum dan
sesudah penggunaan Jam pintar pada penderita diabetes melitus di Desa
Sidorahayu Wagir?
1.2.2 Apakah terdapat hubungan tingkat kepatuhan minum obat dengan kadar
gula darah puasa setelah penggunaan Jam Pintar pada penderita diabetes
melitus di Desa Sidorahayu Wagir?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh penggunaan jam pintar terhadap tingkat
kepatuhan minum obat dan kadar gula darah puasa pada penderita diabetes
melitus di desa Sidorahayu di wilayah kerja Puskesmas Wagir.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengetahui perebedaan tingkat kepatuhan minum obat sebelum dan
sesudah penggunaan jam pintar pada penderita diabetes melitus di Desa
Sidorahayu Wagir.
4

1.3.2.2 Mengetahui hubungan tingkat kepatuhan minum obat dengan kadar gula
darah puasa setelah penggunaan Jam Pintar pada penderita diabetes melitus
di Desa Sidorahayu Wagir.
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan masukan bagi pihak institusi
Puskesmas Wagir dalam menyelesaikan masalah terhadap penyakit diabetes
melitus.
1.4.2 Bagi Profesi Dokter
Hasil penelitian ini diharapkan sebagai tambahan kepustakaan untuk
penelitian lebih lanjut mengenai diabetes melitus.
1.4.3 Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan mengenai
diabetes melitus serta mencegah komplikasi yang terjadi akibat kadar gula
darah yang terlalu tinggi.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Mellitus
2.1.1 Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA), Diabetes Mellitus atau yang
sering disebut dengan kencing manis adalah suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik kadar glukosa darah di atas normal yang terjadi karena
defisiensi insulin oleh pankreas, penurunan efektivitas insulin atau kedua-duanya
(PERKENI, 2011).
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya. Menurut PERKENI (2011) seseorang dapat didiagnosa
diabetes melitus apabila mempunyai gejala klasik diabetes melitus seperti poliuria,
polidipsi dan polifagi disertai dengan kadar gula darah sewaktu ≥200 mg/dl dan
gula darah puasa ≥126 mg/dl.
2.1.2 Manifestasi Klinis
Beberapa gejala umum yang dapat ditimbulkan oleh penyakit DM diantaranya :
1) Pengeluaran urin (Poliuria)
Poliuria adalah keadaan dimana volume air kemih dalam 24 jam meningkat
melebihi batas normal. Poliuria timbul sebagai gejala DM dikarenakan kadar gula
dalam tubuh relatif tinggi sehingga tubuh tidak sanggup untuk mengurainya dan
berusaha untuk mengeluarkannya melalui urin. Gejala pengeluaran urin ini lebih
sering terjadi pada malam hari dan urin yang dikeluarkan mengandung glukosa
(PERKENI, 2011).
2) Timbul rasa haus (Polidipsia)
Poidipsia adalah rasa haus berlebihan yang timbul karena kadar glukosa terbawa
oleh urin sehingga tubuh merespon untuk meningkatkan asupan cairan (Subekti,
2009).
3) Timbul rasa lapar (Polifagia)
Pasien DM akan merasa cepat lapar dan lemas, hal tersebut disebabkan karena
glukosa dalam tubuh semakin habis sedangkan kadar glukosa dalam darah cukup
tinggi (PERKENI, 2011).
6

4) Peyusutan berat badan


Penyusutan berat badan pada pasien DM disebabkan karena tubuh terpaksa
mengambil dan membakar lemak sebagai cadangan energi (Subekti, 2009).
2.1.3 Klasifikasi Diabetes Mellitus
1) Diabetes tipe 1
Diabetes tipe 1 biasanya terjadi pada remaja atau anak, dan terjadi karena
kerusakan sel β (beta) (WHO, 2014). Canadian Diabetes Association (CDA) 2013
juga menambahkan bahwa rusaknya sel β pankreas diduga karena proses autoimun,
namun hal ini juga tidak diketahui secara pasti. Diabetes tipe 1 rentan terhadap
ketoasidosis, memiliki insidensi lebih sedikit dibandingkan diabetes tipe 2, akan
meningkat setiap tahun baik di negara maju maupun di negara berkembang (IDF,
2014).
2) Diabetes tipe 2
Diabetes tipe 2 biasanya terjadi pada usia dewasa (WHO, 2014). Seringkali
diabetes tipe 2 didiagnosis beberapa tahun setelah onset, yaitu setelah komplikasi
muncul sehingga tinggi insidensinya sekitar 90% dari penderita DM di seluruh
dunia dan sebagian besar merupakan akibat dari memburuknya faktor risiko seperti
kelebihan berat badan dan kurangnya aktivitas fisik (WHO, 2014).
3) Diabetes gestational
Gestational diabetes mellitus (GDM) adalah diabetes yang didiagnosis selama
kehamilan (ADA, 2014) dengan ditandai dengan hiperglikemia (kadar glukosa
darah di atas normal) (CDA, 2013 dan WHO, 2014). Wanita dengan diabetes
gestational memiliki peningkatan risiko komplikasi selama kehamilan dan saat
melahirkan, serta memiliki risiko diabetes tipe 2 yang lebih tinggi di masa depan
(IDF, 2014).
4) Tipe diabetes lainnya
Diabetes melitus tipe khusus merupakan diabetes yang terjadi karena adanya
kerusakan pada pankreas yang memproduksi insulin dan mutasi gen serta
mengganggu sel beta pankreas, sehingga mengakibatkan kegagalan dalam
menghasilkan insulin secara teratur sesuai dengan kebutuhan tubuh. Sindrom
hormonal yang dapat mengganggu sekresi dan menghambat kerja insulin yaitu
sindrom chusing, akromegali dan sindrom genetik (ADA, 2015).
7

2.1.4 Patofisiologi Diabetes Mellitus


1) Patofisiologi diabetes tipe 1
Pada DM tipe 1, sistem imunitas menyerang dan menghancurkan sel yang
memproduksi insulin beta pankreas (ADA, 2014). Kondisi tersebut merupakan
penyakit autoimun yang ditandai dengan ditemukannya anti insulin atau antibodi
sel anti-islet dalam darah (WHO, 2014). National Institute of Diabetes and
Digestive and Kidney Diseases (NIDDK) tahun 2014 menyatakan bahwa autoimun
menyebabkan infiltrasi limfositik dan kehancuran islet pankreas. Kehancuran
memakan waktu tetapi timbulnya penyakit ini cepat dan dapat terjadi selama
beberapa hari sampai minggu. Akhirnya, insulin yang dibutuhkan tubuh tidak dapat
terpenuhi karena adanya kekurangan sel beta pankreas yang berfungsi
memproduksi insulin. Oleh karena itu, diabetes tipe 1 membutuhkan terapi insulin,
dan tidak akan merespon insulin yang menggunakan obat oral.
2) Patofisiologi diabetes tipe 2
Kondisi ini disebabkan oleh kekurangan insulin namun tidak mutlak. Ini berarti
bahwa tubuh tidak mampu memproduksi insulin yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan yang ditandai dengan kurangnya sel beta atau defisiensi insulin resistensi
insulin perifer (ADA, 2014). Resistensi insulin perifer berarti terjadi kerusakan
pada reseptor-reseptor insulin sehingga menyebabkan insulin menjadi kurang
efektif mengantar pesan-pesan biokimia menuju sel-sel (CDA, 2013). Dalam
kebanyakan kasus diabetes tipe 2 ini, ketika obat oral gagal untuk merangsang
pelepasan insulin yang memadai, maka pemberian obat melalui suntikan dapat
menjadi alternatif.
3) Patofisiologi diabetes gestasional
Gestational diabetes terjadi ketika ada hormon antagonis insulin yang berlebihan
saat kehamilan. Hal ini menyebabkan keadaan resistensi insulin dan glukosa tinggi
pada ibu yang terkait dengan kemungkinan adanya reseptor insulin yang rusak
(NIDDK, 2014 dan ADA, 2014).
8

2.1.5 Faktor Risiko Diabetes Mellitus


1) Faktor risiko yang dapat diubah
a) Gaya hidup
Gaya hidup merupakan perilaku seseorang yang ditunjukkan dalam aktivitas
sehari-hari. Makanan cepat saji, olahraga tidak teratur dan minuman bersoda adalah
salah satu gaya hidup yang dapat memicu terjadinya DM tipe 2 (ADA, 2009).
b) Diet yang tidak sehat
Perilaku diet yang tidak sehat yaitu kurang olahraga, menekan nafsu makan,
sering mengkonsumsi makan siap saji (Abdurrahman, 2014).
b) Obesitas
Obesitas merupakan salah satu faktor risiko utama untuk terjadinya penyakit
DM. Menurut Kariadi (2009), obesitas dapat membuat sel tidak sensitif terhadap
insulin (resisten insulin). Semakin banyak jaringan lemak pada tubuh, maka tubuh
semakin resisten terhadap kerja insulin, terutama bila lemak tubuh terkumpul
didaerah sentral atau perut (central obesity).
c) Tekanan darah tinggi
Tekanan darah tinggi merupakan peningkatan kecepatan denyut jantung,
peningkatan resistensi (tahanan) dari pembuluh darah dari tepi dan peningkatan
volume aliran darah.
2) Faktor risiko yang tidak dapat diubah
a) Usia
Semakin bertambahnya usia maka semakin tinggi risiko terkena diabetes tipe 2.
DM tipe 2 terjadi pada orang dewasa setengah baya, paling sering setelah usia 45
tahun (American Heart Association [AHA], 2012). Meningkatnya risiko DM
seiring dengan bertambahnya usia dikaitkan dengan terjadinya penurunan fungsi
fisiologis tubuh.
b) Riwayat keluarga diabetes melitus
Seorang anak dapat diwarisi gen penyebab DM orang tua. Biasanya, seseorang
yang menderita DM mempunyai anggota keluarga yang juga terkena penyakit
tersebut. Fakta menunjukkan bahwa mereka yang memiliki ibu penderita DM
tingkat risiko terkena DM sebesar 3,4 kali lipat lebih tinggi dan 3,5 kali lipat lebih
9

tinggi jika memiliki ayah penderita DM. Apabila kedua orangtua menderita DM,
maka akan memiliki risiko terkena DM sebesar 6,1 kali lipat lebih tinggi.
c) Ras atau latar belakang etnis
Risiko DM tipe 2 lebih besar terjadi pada hispanik, kulit hitam, penduduk asli
Amerika, dan Asia (ADA, 2009).
d) Riwayat diabetes pada kehamilan
Mendapatkan diabetes selama kehamilan atau melahirkan bayi lebih dari 4,5 kg
dapat meningkatkan risiko DM tipe 2 (Ehsa, 2010).
2.1.6 Farmakoterapi Diabetes Mellitus
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat) serta disesuaikan dengan kadar HbA1c (Gambar 2.1).
Terapi farmakologis terdiri dari obat oral (table 2.1 dan 2.2) dan bentuk suntikan.
A. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5
golongan:
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
1.Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan berat
badan. Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi
hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati, dan ginjal).
2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari
2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial. Efek samping yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia.
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
1. Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer.
10

Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2. Dosis
Metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR 30- 60
ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan sperti:
GFR<30 mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien
dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis,
renjatan, PPOK,gagal jantung [NYHA FC III-IV]). Efek samping yang mungkin
berupa gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia.
2. Tiazolidindion (TZD).
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di
sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi
insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion meningkatkan
retensi cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal
jantung (NYHA FC III-IV) karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-
hati pada gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara
berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone.
c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan:
1. Penghambat Alfa Glukosidase.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan: GFR≤30ml/min/1,73
m2, gangguan faal hati yang berat, irritable bowel syndrome. Efek samping yang
mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga sering
menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek samping pada awalnya diberikan
dengan dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah Acarbose.
d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase- IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga
GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk
aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi
glukagon bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent). Contoh obat
golongan ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin.
11

e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)


Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis baru
yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara
menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan
ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.
Dapagliflozin baru saja mendapat approvable letter dari Badan POM RI pada bulan
Mei 2015.
Tabel 2.1 Profil Obat Hipoglikemi Oral yang Tersedia di Indonesia
(PERKENI, 2015).
12

Tabel 2.2 Obat Hipoglikemi Oral (PERKENI, 2015).


13

B. Obat Antihiperglikemia Suntik


Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan kombinasi
insulin dan agonis GLP-1.
a. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
 HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
14

 Penurunan berat badan yang cepat


 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Krisis Hiperglikemia
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
 Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontra indikasi dan atau alergi terhadap OHO
 Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
Jenis dan Lama Kerja Insulin
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni :
 Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
 Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
 Insulin kerja menengah (Intermediateacting insulin)
 Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
 Insulin kerja ultra panjang (Ultra longacting insulin)
Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat dengan
menengah (Premixed insulin).
Efek samping terapi insulin
 Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia
 Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bagian komplikasi akut DM
 Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insulin
15

Gambar 2.1 Bagan Algoritma Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2 (PERKENI,


2015)
2.2. Glukosa Darah
2.2.1. Pengertian Glukosa Darah
Glukosa darah adalah istilah yang mengacu kepada kadar glukosa dalam darah
yang konsentrasinya diatur ketat oleh tubuh. Glukosa yang dialirkan melalui darah
adalah sumber utama energi untuk selsel tubuh. Umumnya tingkat glukosa dalam
darah bertahan pada batas-batas 4-8 mmol/L/hari (70-150 mg/dl), kadar ini
meningkat setelah makan dan biasanya berada pada level terendah di pagi hari
sebelum orang-orang mengkonsumsi makanan (Mayes, 2003).
2.2.2. Kadar Glukosa Darah
Kadar glukosa darah sepanjang hari bervariasi dimana akan meningkat setelah
makan dan kembali normal dalam waktu 2 jam. Kadar glukosa darah yang normal
pada pagi hari setelah malam sebelumnya berpuasa adalah 70-110 mg/dL darah.
Kadar glukosa darah biasanya kurang dari 120-140 mg/dL pada 2 jam setelah
makan atau minum cairan yang mengandung glukosa maupun karbohidrat lainnya
(Price, 2005).
Kadar glukosa darah yang normal cenderung meningkat secara ringan tetapi
bertahap setelah usia 50 tahun, terutama pada orang-orang yang tidak aktif
16

bergerak. Peningkatan kadar glukosa darah setelah makan atau minum merangsang
pankreas untuk menghasilkan insulin sehingga mencegah kenaikan kadar glukosa
darah yang lebih lanjut dan menyebabkan kadar glukosa darah menurun secara
perlahan (Guyton, 2007).
2.2.3. Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Menurut ADA (2014), ada berbagai cara yang biasa dilakukan untuk memeriksa
kadar glukosa darah, di antaranya:
1. Glukosa darah puasa dan 2 jam setelah makan.
Pemeriksaan glukosa darah puasa adalah pemeriksaan glukosa yang
dilakukan setelah pasien berpuasa selama 8-10 jam dengan kadarnya dibagi
menjadi 3 kategori (Tabel 2.3), sedangkan pemeriksaan glukosa 2 jam setelah
makan adalah pemeriksaan yang dilakukan 2 jam dihitung setelah pasien
menyelesaikan makan (DepkesRI, 1999).
Tabel 2.3 Klasifikasi Kadar Glukosa Darah Puasa (ADA, 2014)
Hasil Kadar Glukosa Darah Puasa
Normal Kurang dari 100 mg/dL
Prediabetes 100-125 mg/Dl
Diabetes Sama atau lebih 126 mg/dL
2. Tes Glukosa Darah Sewaktu
Kadar glukosa darah sewaktu disebut juga kadar glukosa darah acak atau
kasual. Tes glukosa darah sewaktu dapat dilakukan kapan saja. Pemeriksaan
glukosa darah yang dilakukan setiap waktu sepanjang hari tanpa memperhatikan
makanan terakhir yang dimakan dan kondisi tubuh orang tersebut.. Kadar
glukosa darah sewaktu dikatakan normal jika tidak lebih dari 200 mg/dL
(Depkes RI, 1999)..
3. Uji Toleransi Glukosa Oral
Tes toleransi glukosa oral adalah tes yang mengukur kadar glukosa darah
sebelum dan dua jam sesudah mengkonsumsi glukosa sebanyak 75 gram yang
dilarutkan dalam 300 mL air.
4. Uji HBA1C
Uji HBA1C mengukur kadar glukosa darah rata-rata dalam 2 – 3 bulan
terakhir. Uji ini lebih sering digunakan untuk mengontrol kadar glukosa darah
pada penderita diabetes.
17

2.3 Kepatuhan Pasien


2.3.1. Definisi Kepatuhan
Ada beberapa macam terminologi yang biasa digunakan dalam literatur
untuk mendeskripsikan kepatuhan pasien diantaranya compliance, adherence, dan
persistence. Compliance adalah secara pasif mengikuti saran dan perintah dokter
untuk melakukan terapi yang sedang dilakukan (Osterberg & Blaschke dalam
Nurina, 2012). Adherence adalah sejauh mana pengambilan obat yang diresepkan
oleh penyedia layanan kesehatan. Tingkat kepatuhan (adherence) untuk pasien
biasanya dilaporkan sebagai persentase dari dosis resep obat yang benar-benar
diambil oleh pasien selama periode yang ditentukan (Osterberg & Blaschke dalam
Nurina, 2012).
Di dalam konteks psikologi kesehatan, kepatuhan mengacu kepada situasi
ketika perilaku seorang individu sepadan dengan tindakan yang dianjurkan atau
nasehat yang diusulkan oleh seorang praktisi kesehatan atau informasi yang
diperoleh dari suatu sumber informasi lainnya seperti nasehat yang diberikan dalam
suatu brosur promosi kesehatan melalui suatu kampanye media massa (Ian &
Marcus, 2011).
Banyak faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan ada 4 kategori faktor
pasien, faktor penyakit, faktor regimen terapi, dan faktor interaksi dengan praktisi
kesehatan (Brown & Bussell, 2011). Beberapa faktor yang umum adalah faktor
umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, durasi penyakit, penggunaan jaminan
kesehatan (Ainni dan Mutmainah, 2017).
2.3.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan
A. Faktor Umur
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ainni pada tahun 2017,
menunjukan bahwa korelasi antara usia dengan kepatuhan minum obat tidak
bermakna. Artinya tidak terjadi perubahan pada kepatuhan terhadap faktor umur.
Hal ini dikarenakan umur merupakan faktor yang tidak dapat dimodifikasi
(Kemenkes RI, 2014). Hasil penelitian ini juga sama dengan Puspitasari (2012),
yang menyatakan bahwa umur tidak berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan
dengan nilai p=0,863 (p>0,05). Menurut (Brown & Bussell, 2011), semakin
bertambahnya usia maka tingkat kepatuhan akan semakin rendah. Hal ini
18

disebabkan fungsi fisiologis terjadi penurunan akibat penuaan (Ainni dan


Mutmainah, 2017).
B. Faktor jenis kelamin
Ainni menyatakan bahwa korelasi antara jenis kelamin terhadap kepatuhan
minum obat tidak bermakna (Ainni, 2017). Hasil penelitian Sweileh et al. tahun
(2014) di Palestina juga menyebutkan bahwa tidak menunjukkan hubungan yang
bermakna antara kepatuhan minum obat terhadap jenis kelamin dengan nilai p=0,58
(p>0,05). Hasil ini dikarenakan jenis kelamin merupakan faktor resiko diabetes
melitus yang tidak dapat dimodifikasi (Kemenkes RI, 2014). Jadi, tidak terdapat
perubahan apabila jenis kelamin terhadap tingkat kepatuhan minum obat (Ainni dan
Mutmainah, 2017).
C. Faktor Pendidikan
Pada faktor pendidikan menunjukan korelasi terhadap kepatuhan minum obat
bermakna (Ainni, 2017). Hasil penelitian tersebut sama dengan Sweileh et al. tahun
(2014), bahwa pendidikan mempunyai hubungan yang bermakna dengan kapatuhan
minum obat pada pasien diabetes melitus dengan nilai p=0,012. Hal ini dikarenakan
karena pasien DM tipe-2 lebih paham mengenai informasi terapi pengobatan yang
diberikan oleh dokter (Ainni dan Mutmainah, 2017).
D. Faktor Pekerjaan
Berdasarkan penelitian Ainni tahun 2017 faktor pekerjaan mempunyai nilai
yang signifikan p=0,033, ini menunjukan bahwa korelasi antara pekerjaan terhadap
kepatuhan meminum obat memiliki hubungan yang bermakna (p<0,05). Hasil
penelitian tersebut sama dengan Adisa et al. (2009), bahwa pekerjaan mempunyai
pengaruh yang signifikan dengan nilai p=0,005 terhadap tingkat kepatuhan dalam
minum obat pada pasien DM tipe-2. Hal ini dikarenakan dengan adanya jadwal
kerja yang terlalu padat terutama pada pasien yang bekerja, membuat pengambilan
obat atau kontrol terapi pengobatan terlupakan, sehingga menyebabkan jadwal
minum obat yang tidak sesuai dengan aturan dokter (Ainni dan Mutmainah, 2017).
E. Faktor durasi atau lamanya penyakit DM tipe-2
Populasi penderita DM merupakan populasi penyakit kronis (PERKENI, 2011).
Hasil penelitian Ainni tahun 2017 didapatkan bahwa durasi atau lamanya penyakit
DM tipe-2 memiliki nilai yang tidak signifikan, yang menunjukan bahwa korelasi
19

atau hubungan antara lamanya penyakit terhadap kepatuhan minum obat tidak
bermakna. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil penelitian (Ulum,
Kusnanto, & Widyawati, 2014), yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna antara lamanya penyakit DM tipe-2 terhadap kepatuhan minum obat
dengan nilai p=0,618. Hal ini kemungkinan lamanya penyakit merupakan faktor
yang tidak dapat dimodifikasi. Menurut (Ulum et al., 2014), 9 juga menyatakan
bahwa bahwa individu yang terdiagnosa DM baik lama atau baru mempunyai emosi
yang sama seperti sering menyangkal, marah, dan rasa cemas (Ainni dan
Mutmainah, 2017).
F. Faktor penggunaan jaminan kesehatan
Berdasarkan penelitian Ainni tahun 2017 korelasi antara penggunaan jaminan
pengobatan terhadap kepatuhan minum obat tidak bermakna (p>0,05). Hasil
penelitian ini sejalan dengan Handayani (2012), yang menyatakan bahwa biaya
pengobatan tidak memiliki hubungan yang bermakna tingkat kepatuhan pada
pasien diabetes melitus tipe-2 dengan nilai p=0,182 (p>0,05). Hasil ini berbeda
dengan Abbas et al. (2015) yang menyatakan bahwa tingginya biaya pengobatan
pada pasien diabetes melitus tipe-2 ini masih dijadikan alasan penting dalam hal
mencegah tingkat kepatuhan yang kurang optimal (Ainni dan Mutmainah, 2017).
G. Pengaruh jumlah item obat terhadap skor kepatuhan pada pasien
diabetes melitus tipe-2
Jumlah item obat yang diberikan 1 bulan terhadap skor kepatuhan pada
pasien DM tipe-2 hanya memiliki pengaruh 11,6% sisanya sebesar 88,4%
dipengaruhi oleh faktor yang lain. Faktor lain ini bisa termasuk pada usia
dikarenakan rata rata pasien yang didapatkan kebanyakan berusia 45 tahun keatas
kemungkinan pada pasien lebih dari > 45 tahun keatas terdaat gangguan
metabolisme karbohidrat seperti resistensi insulin dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu penurunan massa otot dan peningkatan jaringan lemak, penurunan
aktivitas fisik sehingga reseptor insulin yang berikatan dengan insulin berkurang,
pola makan pasien yang lebih banyak makan karbohidrat akibat jumlah gigi yang
berkurang, dan perubahan neurohormonal IGF-1 (insulin-like growth factor-1) dan
DHEAS (dehidroepiandesteron) yang menyebabkan penurunan ambilan glukosa
(Ainni dan Mutmainah, 2017).
20

Faktor regimen terapi pada jumlah obat yang diterima pasien ternyata
berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan. Pada hasil penelitian menyebutkan bahwa
jika jumlah item obat meningkat maka nilai skor kepatuhan pada pasien DM tipe-2
akan menurun. Menurut penelitian peningkatan jumlah pil yang ditelan dalam
sehari dapat menurunkan tingkat kepatuhan. Untuk itu perlu adanya modifikasi
terapi seperti mempertimbangkan resep kombinasi dosis tetap jika itu
memungkinkan (Brown & Bussell, 2011). Namun, tentunya pengambilan untuk
terapi kombinasi ini harus rasional artinya harus memenuhi 4T (tepat obat, tepat
indikasi, tepat pasien, dan tepat dosis) contohnya, pemberian obat Gluvonance yang
berisi kombinasi Metformin HCL dan Glibenklamid, atau kombinasi lainnya adalah
Amaryl M yang berisi kombinasi Glimepirid dan Metformin HCL (Ainni dan
Mutmainah, 2017).
Masalah ketidakpatuhan penggunaan obat pada pasien diabetes melitus tipe-
2 masih banyak dilakukan baik disengaja maupun tidak disengaja, sehingga perlu
pengatasan seperti peran farmasi dalam memberikan edukasi yang bertujuan untuk
mengukur seberapa pemahaman, pengetahuan, keterampilan pasien dalam
menjalankan regimen terapi dan memonitoring. Sebagai contoh seperti membuat
leaflet, booklet, tentang pentingnya pengobatan pada penyakit DM tipe-2,
melakukan konseling atau pelayan informasi obat pada pasien DM tipe-2,dan
melakukan kunjungan dirumah, khususnya pada kelompok lansia dan pasien
dengan pengobatan penyakit kronis lainnya (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Sedangkan pada peran pasien adalah untuk mematuhi regimen terapi yang sudah
diberikan, ikut serta dalam memonitor efek samping obat, aktif dalam mencari
informasi dan membagi pengalaman dalam menjalankan terapi kepada farmasi
setiap kontrol pengobatan (Ainni dan Mutmainah, 2017).
2.4 Media Pengingat Minum Obat yang digunakan untuk Meningkatkan
Kepatuhan
Keberhasilan suatu pengobatan tidak hanya dipengaruhi oleh kualitas pelayanan
kesehatan, sikap dan keterampilan petugasnya, sikap dan pola hidup pasien beserta
keluarganya, tetapi dipengaruhi juga oleh kepatuhan pasien terhadap
pengobatannya (Susanto et al., 2017).
21

Menurut laporan WHO pada tahun 2003, rata-rata pasien yang menjalani terapi
jangka panjang di negara maju hanya sebesar 50% yang menjalani terapinya dengan
optimal, sedangkan di negara berkembang jumlahnya lebih rendah. Salah satu
faktor yang berperan dalam kegagalan pengontrolan glukosa darah pasien DM
adalah ketidakpatuhan pasien terhadap pengobatan (Susanto et al., 2017).
Beberapa intervensi yang dapat digunakan untuk membantu meningkatkan
kepatuhan minum obat pada pasien antara lain:
a. Konseling
Definisi Division of counseling Psychology, konseling adalah proses yang dapat
membantu individu untuk mengatasi hambatan-hambatan perkembangan dirinya
dan untuk mencapai perkembangan kemampuan pribadi yang dimilikinya secara
optimal (Sammulia, 2017).
b. Pemberian leaflet edukasi
Leaflet adalah bahan cetak tertulis berupa lembaran yang dilipat tapi tidak
dimatikan/dijahit. Agar terlihat menarik biasanya leaflet di desain secara cermat
dilengkapi dengan ilustrasi dan menggunakan bahasa yang sederhana, singkat serta
mudah dipahami (Sammulia, 2017).
c. Pemberian pesan singkat pengingat
Sistem pengingat pengobatan merupakan layanan medis yang dapat membantu
pasien untuk dapatmengingat jadwal minum obat beserta dengandosis obat tersebut.
Sistem ini biasanya diberikanoleh pihak medis dengan menggunakan
mediatelekomunikasi seperti melalui pesan singkat ke handphone pasien
(Wilieyam dan Sevani, 2013).
d. Pill box (Susanto et al., 2017)
Pill box juga dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalankan
penggobatannya. Pill box membantu pasien untuk memilah dan mengatur obat ke
dosis tunggal sesuai dengan waktu dan hari dalam seminggu (Sammulia et al,
2016). Berdasarkan hasil penelitian Sammulia (2016), didapatkan perbedaan yang
bermakna pada kelompok Pill box terhadap kepatuhan sebelum dan sesudah
intervensi.
22

e. Medical reminder chart


Alat tersebut adalah sebuah alat yang dapat membantu untuk mengatasi pasien
lupa minum obat, dengan cara memberikan tanda pada kolom yang tersedia pada
medication reminder chart setelah meminum obatnya (Gabriel et al., 1977; Conn
et al., 2009 dalam Sammulia et al, 2016). Pemberian medication reminder chart
dapat meningkatkan kepatuhan secara statistik pada pasien geriatri dengan
hipertensi (Sammulia et al, 2016).
f. Jam Pintar DM
Instrumen pengingat (medical reminder chart) yang digunakan untuk intervensi
kepatuhan minum obat pasien (Sammulia et al., 2016). Jam ini merupakan
modifikasi dari medical reminder chart berupa jam pengingat minum obat dalam
buku sadar diabetes melitus disertai dengan lembar kendali kontrol dan kantong
obat. Selain itu, buku juga berisikan pengertian & faktor risiko, tanda gejala,
pengobatan, komplikasi, dan pencegahan seperti diet dan latihan fisik.
23

BAB III
KERANGKA KONSEP PENELITIAN

3.1 KerangkaTeori

Sering kencing, haus,


lapar dan penurunan Diabetes
berat badan Obat antihiperglikemia oral
a. Insulin secretagogue
Sulfonilurea (i.g glibenclamide,
Kekurangan Insulin glimepiride, glipizide, glicazide), Glinid
b. Insulin Sensitizer
Biguanide (i.g. metformine),
Tiazolidindion
c. Inhibitor absorbs glukosa
Tatalaksana Diabetes Melitus Alfa glucosidase inhibitor (i.g. acarbose,
dengan diet, latihan jasmani, DPP-IV Inhibitor, SGLT2 Inhibitor
dan obat antihiperglikemi Obat antihiperglikemia suntik
a. Insulin

Faktor Risiko dapat


Faktor Risiko tidak
diubah :
Media cetak : Brosur, Leaflet, dapat diubah
1. Usia 1. Gaya hidup
Booklet, Medical Reminder 2. Riwayat genetik 2. Diet
Chart (Jam Pengingat), 3. Ras atau etnis 3. Pendidikan
4. Jenis Kelamin 4. Pekerjaan
media elektronik (TV, Video
5. Durasi lamanya 5. Penggunaan
edukasi) Jaminan Kesehatan
penyakit
6. Jumlah Item Obat

Informasi Kepatuhan

Kepatuhan Minum Obat Pada


Diabetes Melitus
Perilaku Kepatuhan - Waktu minum obat yang tepat
yang Benar - Waktu kontrol yang tepat
(pemeriksaan gula darah rutin,
pengambilan obat)
- Dosis yang tepat
Motivasi Kepatuhan - Pemilihan obat yang sesuai

- Motivasi pribadi
- Motivasi sosial
Health Outcomes
(keluarga/orang sekitar)
- Gula Darah yang
terkontrol
- Kualitas kesehatan
yang meningkat

Gambar 3.1 Kerangka Teori berdasarkan Information-Motivation-Behavior Skills


(Mayberry, 2014)
24

3.2 Kerangka Konsep

Variabel bebas
Tingkat Kepatuhan Minum Penggunaan Jam Pintar Tingkat Kepatuhan Minum
Obat Pasien Diabetes Mellitus Obat Paisen Diabetes Mellitus
(Sebelum) Diabetes Melitus (Sesudah)
Variabel terikat Variabel terikat

Quasi Eksperimen

Tingkat Kepatuhan Minum Obat


Kadar Gula Darah Puasa
Pasien Diabetes Mellitus

Variabel bebas Variabel terikat


Cross sectional

Diteliti Desain 1
Intervensi Desain 2

Gambar 3.2 Kerangka Konsep


25

3.3 Hipotesa Penelitian


Hipotesa yang dirancang dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Ho
1. Tingkat kepatuhan minum obat sebelum dan sesudah penggunaan Jam
Pintar pada penderita Diabetes Melitus di Desa Sidorahayu Wagir tidak
berbeda.
2. Tidak terdapat hubungan antara tingkat kepatuhan minum obat dengan
kadar gula darah puasa setelah penggunaan Jam Pintar pada penderita
Diabetes Melitus di Desa Sidorahayu Wagir.
H1
1. Tingkat kepatuhan minum obat sebelum dan sesudah penggunaan Jam
Pintar pada penderita Diabetes Melitus di Desa Sidorahayu Wagir
berbeda.
2. Terdapat hubungan antara tingkat kepatuhan minum obat dengan kadar
gula darah puasa setelah penggunaan Jam Pintar pada penderita Diabetes
Melitus di Desa Sidorahayu Wagir.
3.4 Variabel Penelitian
3.4.1 Variabel Independent
Pada desain penelitian quasi eksperimen variabel independent atau
variabel bebas adalah penggunaan jam pintar Diabetes Melitus pada
penderita Diabetes Melitus di Desa Sidorahayu Wagir. Pada desain
penelitian cross sectional variabel bebas adalah tingkat kepatuhan minum
obat pada penderita Diabetes Melitus di Desa Sidorahayu Wagir.
3.4.2 Variabel Dependent
Variabel Dependent atau variabel terikat dalam penelitian quasi
eksperimen adalah tingkat kepatuhan minum obat pada penderita Diabetes
Melitus di Desa Sidorahayu Wagir. Variabel Dependent atau variabel
terikat dalam penelitian cross sectional adalah kadar gula darah puasa
pada penderita Diabetes Melitus di Desa Sidorahayu Wagir
26

3.5 Definisi Operasional


Tabel 3.1 Definisi operasional
Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Variabel Bebas
Jam Pintar Instrumen pengingat (medical Jam Pintar sebagai alat - -
Diabetes reminder chart) yang digunakan yang digunakan untuk
Melitus untuk intervensi kepatuhan intervensi.
minum obat pasien (Sammulia et
al., 2016). Berupa jam pengingat
minum obat dalam buku sadar
diabetes melitus disertai dengan
lembar kendali kontrol dan
kantong obat. Selain itu, buku
juga berisikan pengertian &
faktor risiko, tanda gejala,
pengobatan, komplikasi, dan
pencegahan seperti diet dan
latihan fisik.
Variabel Terikat dan Bebas
Kepatuhan Kepatuhan minum obat adalah Assessment berupa soal Jumlah soal 8 buah. Ordinal
minum obat tindakan pasien yang meliputi pretest dan posttest. Jawaban dari tiap
compliance, adherence, dan Assessment merupakan point pertanyaan
persistence. Compliance kuesioner tingkat menggunakan skala
merupakan tindakan pasien kepatuhan binomial yaitu:
secara pasif yang mengikuti saran menggunakan Morisky 1 = Ya
serta nasihat dokter. Adherence Medication Adherence 0 = Tidak
merupakan tindakan pasien Scale 8-item (MMAS-8) Dengan klasifikasi :
sejauh mana untuk pengambilan (Morisky, 2014) Kepatuhan tinggi 0
obat yang diresepkan di Kepatuhan sedang 1-2
pelayanan kesehatan (Osterberg Kepatuhan rendah > 2
& Bkaschke dalam Nuria, 2012). (Morisky, 2014)
Variabel Terikat
Kadar Gula Kadar glukosa darah puasa Pengukuran dengan Berupa angka hasil Ordinal
Darah Puasa merupakan kadar glukosa yang glucometer berupa dari pengukuran
diambil melalui darah kapiler dan glucose stick merk Easy GDP.
setelah pasien berpuasa selama ± Touch sejumlah satu Gula darah diabetes ≥
8-10 jam tanpa makan, boleh buah yang akan diukur 126 mg/dL,
minum (ADA, 2014). sesudah intervensi prediabetes 125-100
selama 10 hari mg/dL, normal < 100
(Mayberry, 2014). mg/dL (PERKENI,
2015)
27

BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan dua desain penelitan.
Penelitian pertama menggunakan metode quasi eksperimen dengan desain One
Group Pretest-Posttest untuk membandingkan variable dependen berupa tingkat
kepatuhan minum obat sebelum dan setelah perlakuan (Dahlan, 2009). Pada
penelitian kedua menggunakan metode cross sectional. Penelitian ini
menghubungkan variable independent tingkat kepatuhan terhadap variable
dependen kadar gula darah puasa setelah pengunaan jam pintar (Salistyaningsih,
2011).
Skema Design Penelitian

Quasi
Experimental A Intervensi A’

Cross sectional

A’ B
=
Gambar 4.1 Skema Design Penelitian
Keterangan :
A : Tingkat kepatuhan minum obat pasien DM tipe 2 sebelum diintervensi
A’: Tingkat kepatuhan minum obat pasien DM tipe 2 setelah diintervensi
B: Kadar gula darah puasa pasien DM tipe 2

4.2 Waktu dan Tempat penelitian


Penelitian dilakukan pada bulan Agustus-September 2019. Tempat penelitian
dilakukan di rumah-rumah pasien pasien Diabetes Melitus tipe 2 secara door to
door. Waktu kegiatan dilakukans eperti pada tablel 4.1.
28

Tabel 4.1 Rencana Pelaksanaan Penelitian


Agustus September
No Jenis Kegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4
1 Pengambilan sampel
2 Pengisian Kuesioner kepatuhan minum
obat (pre-test) dan sosialisasi
penggunaan jam pintar DM
3 Intervensi jam pintar DM
4 Pengisian kuesioner kepatuhan minum
obat(post-test) dan pengukuran GDP
5 Melakukan analisa data

4.3Populasi dan Sampel


4.3.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien DM tipe 2 di desa Sidorahayu
yang didapat dari data perawat Sidorahayu bulan Agustus 2019 – September 2019.
4.3.2 Sampel
Besar sampel harus benar-benar diperhitungkan karena akan menentukan
manfaat dari penelitian. Besar sampel yang terlalu sedikit dapat menyebabkan hasil
penelitian tidak bermakna. Pada penelitian ini, sampel diambil melalui survey
kerumah pasien diabetes melitus yang didapat dari data perawat desa Sidorahayu
bulan Agustus 2018- Juli 2019.
4.3.3 Teknik PengambilanSampel
Teknik penarikan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Setelah
melalui survey dari 45 total populasi, didapatkan 31 sampel dengan kriteria inklusi
dan eksklusi berikut ini.
Kriteria Inklusi:
a. Pasien DM tipe 2 yang telah mendapat OHO
b. Pasien bersedia menjadi pasien
Kriteria eksklusi:
a. Pasien DM tipe 2 yang mendapat terapi lain selain OHO
b. Pasien tidak bersedia menjadi pasien.
29

4.4 Instrumen Penelitian


Rancangan pengukuran variabel disusun dengan maksud agar penelitan ini
dapat dilakukan selektif mungkin dalam mengukur data dan pengolahan data.
Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah tingkat kepatuhan minum obat
dan kadar gula darah puasa. Sementara media intervensinya menggunakan jam
pintar dalam bentuk booklet.
4.4.1 Kadar Gula Darah Puasa
Pengukuran kadar gula darah puasa dilakukan dengan menggunakan
glukometer dengan pengambilan darah kapiler. Glukometer memiliki spesifikasi
alat dengan nama produk blood glucose monitor. Volume sampel 1 mikromili
dengan rentan pengukuran 10-600mg/dL. Waktu test 5 detik. Metode pengukuran
dengan fotometrik. Sistem kalibrasi menggunakan kode chip (Pradana, 2015).
4.4.2 Kuesioner Tingkat Kepatuhan Minum Obat
Pada kuesioner MMAS-8 (Modified Morisky Adherence Scale-8) digunakan
untuk mengukur tingkat kepatuhan pasien DM tipe 2. Kuesioner MMAS-8 ini
terdiri dari 8 pertanyaan, dengan 7 pertanyaan dengan hasil jawaban “ya” atau
“tidak”, dimana jawaban “ya” memiliki skor 1 dan jawaban “tidak” memiliki skor
0. Sedangkan pada pertanyaan nomor 8 memiliki beberapa pilihan jawaban, “tidak
pernah” memiliki skor 1; “sesekali” memiliki skor 0,75; “kadang-kadang” memiliki
skor 0,5; “biasanya” memiliki skor 0,25; dan “selalu” memiliki skor 0. Selanjutnya
skor dijumlahkan (Morisky et. al, 2011).
4.4.3 Media Intervensi Jam Pintar
Jam pintar merupakan media intervensi dimana pasien diberi ilustrasi jam
sebagai waktu pertanda minum obat sesuai dengan obat yang didapatkan dari
dokter. Jam minum obat pasien disesuaikan dengan mekanisme kerja obat serta
pemberian yang tepat sesuai interaksi dengan makanan. Di dalam jam pintar
dilengkapi dengan kantong obat sehingga pasien dapat dengan mudah
mengambilnya saat jam minum obat. Selain itu jam pintar didesain sebagai buklet
dan terdapat lembar informasi seputar penyakit diabetes melitus yang didapat dari
situs resmi kementrian kesehatan. Desain ini dibuat sedemikian rupa sehingga jam
mudah dilihat dan memiliki nilai guna yang lebih.
30

4.5. Uji Validitas dan Realibilitas


4.5.1 Uji Validitas Glukometer
Alat yang masih baru, telah dilakukan uji validitas oleh pabrik. Penggunaan alat
untuk pemeriksaan glukosa darah lebih dari 50 kali atau minimal 3 bulan sekali
dilakukan uji validitas dengan menggunakan alat khusus yang disebut dengan
Quality Control (QC) (Pradana, 2015).
4.5.2 Uji Validitas Kuesioner Tingkat Kepatuhan Minum Obat
Pada penelitian ini digunakan kuesioner MMAS-8 yang sudah tervalidasi.
Menurut penelitian Chaliks tahun 2012 tentang hubungan kepatuhan minum obat
dan kepuasan terapi dengan antidiabetik oral pada pasien diabetes melitus tipe 2
rawat jalan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dengan mengunakan kuisioner
MMAS-8 mendapatkan hasil validitas yang valid dan reliabel. Hal ini dapat dilihat
dengan hasil uji statistik berikut ini (Chaliks, 2012).
Tabel 4.2 Hasil Uji Statistik Kuisioner MMAS-8
Pertanyaan R hitung R tabel Validitas
Pertanyaan 1 0,60 0,3 Valid
Pertanyaan 2 0,374 0,3 Valid
Pertanyaan 3 0,537 0,3 Valid
Pertanyaan 4 0,556 0,3 Valid
Pertanyaan 5 0, 407 0,3 Valid
Pertanyaan 6 0,322 0,3 Valid
Pertanyaan 7 0,537 0,3 Valid
Pertanyaan 8 0,844 0,3 Valid
Hasil uji validitas dikatakan valid, apabila nilai correct item total correlation (r
hitung) pada pertanyaan lebih tinggi dari r tabel, dengan demikian kuesioner
MMAS-8 dinyatakan valid. Penelitian yang kami lakukan mengadopsi dari uji
validitas dan reabilitas penelitian Chaliks tahun 2012 karena memiliki karakteristik
sampel yang sama yakni pasien DM dengan terapi OHO (Chaliks, 2012). Penelitian
serupa yang mendukung yakni penelitian Ardanti tahun 2016 yang menguji
kepatuhan minum obat pasien DM dengan OHO. Dalam penelitian ini uji validitas
kuesioner kepatuhan minum obat sudah dinyatakan valid dengan nilai t > 0,63 yakni
0.83 ( Ardanti, 2016).
31

4.5.3 Uji Reliabilitas Kuesioner Tingkat Kepatuhan Minum Obat


Uji reliabilitas dilakukan untuk melihat sejauh mana alat ukur tersebut bisa
dipercaya (reliabel) dalam mengumpulkan data pasien. Uji reliabilitas dikatakan
reliabel apabila nilai uji Cronbach Alpha >0,6. Pada penelitian Chaliks tahun 2012,
didapatkan hasil nilai Cronbach Alpha 0,795. Nilai ini menunjukan bahwa data
primer yang didapatkan dari lapangan sudah reliable (Chaliks, 2012). Hal ini
didukung dengan penelitian Ardanti tahun 2016 yang juga menggunakan kuesioner
MMAS-8 dan telah dilakukan uji reabilitas menggunakan Cronbach Alpha dengan
hasil 0,76 sehingga dinyatakan reliabel karena nilainya lebih dari 0,6 (Ardanti,
2016). Maka dalam penelitian ini peneliti tidak perlu melakukan uji reliabilitas lagi.
4.5.4 Uji Validitas Jam Pintar
Sebelum diberikan kepada pasien, media intervensi harus dilakukan uji
validitas. Dalam penelitian ini, jam pintar di ujikan kepada 3 para ahli yang terdiri
dari 2 dokter sebagai ahli materi dan 1 dosen komunikasi visual sebagai ahli media.
Dengan format penilaian setiap aspek sebagai berikut :
a. Pilihan sangat baik (SB) dinilai 5
b. Pilihan baik (B) dinilai 4
c. Pilihan Cukup (C) dinilai 3.
d. Pilihan Kurang (K) dinilai 2
e. Pilihan Sangat Kurang (SK) dinilai 1
Untuk mengetahui kevalidan dari sebuah media intervensi perlu diketahui rata-rata
nilai dari para ahli . Adapun kriteria kevalidan yaitu : (Khaulah, 2016)
 1 < rata-rata < 2 dikatakan Tidak valid
 2 < rata-rata < 3 dikatakan Cukup valid
 > 3 dikatakan Valid
32

Tabel 4.3 Kuesioner Penilaian Ahli Materi


No. Aspek Penilaian Ahli Materi 1 Ahli Materi 2
1. a. Jam Pintar dapat digunakan sebagai 5 5
jam pengingat minum obat
b. Jam pintar dapat digunakan sebagai 4 2
acuan bagi pasien mengenai jadwal
minum obat secara terperinci
c. Jam pintar disajikan sesuai dengan teori 4 4
d. Ketepatan penggunaan kata/istilah 4 4
e. Jam pintardapat dengan mudah
dipahami dan digunakan oleh orang 5 4
awam
Jumlah 22 19
Rata-rata 4,4 3,8
Rata-rata 2 ahli materi 4,1
Dari hasil penilaian dari kedua ahli materi diperoleh hasil rata-rata sebesar 4,1
Dapat disimpulkan bahwa jam pintar dikatakan valid.
Table 4.4 Kuesioner Penilaian Ahli Media
Ahli
No. Aspek Penilaian
Media
1 Gambar
a. Ilustrasi jam sesuai dengan materi 4
b. Ilustrasi jam membantu pasien dalam menafsirkan materi 4
c. Ilustrasi jam membantu pasien mengingat materi 3
2. Desain
a. Desain ilustrasi jam menarik minat pasien 3
b. Jenis dan ukuran huruf dalam ilustrasi jam jelas 5
c. Gambar dalam ilustrasi jam jelas 5
d. Desain dan layout ilustrasi jam menarik dan tidak monoton 4
e. Menggunakan warna-warna yang nyaman dilihat dan tidak 5
membosankan
Jumlah 33
Rata-rata 4,125
Dari hasil penilaian dari ahli media diperoleh hasil rata-rata sebesar 4,125 Dapat
disimpulkan bahwa jam pintar dikatakan valid.
33

4.6 Pengolahan Data


Data yang telah dikumpulkan sebelum dianalisis, terlebih dahulu dilakukan
editing, coding, entri data, dan cleaning (Jilao, 2017).
a. Editing dilakukan untuk melihat kelengkapan data. Data yang belum lengkap
segera dilengkapi saat pertemuan berikutnya
b. Coding memberi kode dan mengelompokan kelompok yang memiliki
karakteristik sama. Pada data tingkat kepatuhan minum obat, tanda diberikan
pada masing-masing jawaban dengan kode angka, sehingga memudahkan proses
pemasukan data di komputer.
c. Entry data dimasukkan ke program komputer untuk dilakukan analisis
menggunakan softwere statistic
d. Cleaning dengan cara mengecek kembali apakah ada kesalahan atau tidak. Data
dipastikan telah benar maka dilanjutkan ke tahap analisis dengan menggunakan
komputer.
4.7 Analisis data.
Pada tahap ini dilakukan data yang telah dimasukkan dalam program
komputer sehingga dihasilkan informasi yang dapat digunakan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan penelitian
a. Analisis Univariat. Analisis univariat dilakukan untuk memberi gambaran dan
penjelasan terhadap mean, median, standar deviasi dari variable numerik yaitu
tingkat kepatuhan minum obat dan kadar gula darah puasa.
b. Analisis Bivariat.
Data yang digunakan merupakan data ordinal sehingga analisis bivariat data
menggunakan uji non parametrik. Analisa bivariat yang dilakukan :
 Untuk mengetahui perbedaan tingkat kepatuhan minum obat DM tipe 2
sebelum dan sesudah intervensi selama 10 hari menggunakan uji Wilcoxon.
 Untuk melihat hubungan antara tingkat kepatuhan minum obat terhadap kadar
glukosa darah puasa setelah penggunaan jam pintar menggunakan uji statistik
Fisher-exact dengan signifikansi p value < 0,05.
34

4.8 Etika Penelitian


Etika penelitian yang diterapkan pada penelitian ini adalah beneficience,
menghargai martabat manusia, dan mendapatkan keadilan (Polit and Beck, 2012) :
1. Beneficience (diatas segalanya, tidak boleh membahayakan).
Jenis penelitian ini adalah terapeutik yang artinya bahwa pasien mempunyai
potensi untuk mendapat manfaat melalui prosedur yang diberikan. Manfaat
kepatuhan minum obat dapat memaksimalkan kerja obat sehingga terjadi
penurunan gula darah.
2. Autonomy
Sebelum penelitian dilakukan, pasien mendapatkan penjelasan secara lengkap
yang meliputi tujuan, prosedur, gambaran resiko dan ketidaknyamanan yang
mungkin akan terjadi, serta keuntungan yang didapat. Kesediaan pasien untuk
menjadi pasien telah dibuktikan dengan menandatangani surat persetujuan menjadi
pasien penelitian. Pasien mempunyai hak untuk menentukan keikutsertaannya
dalam penelitian.
3. Justice
Pasien berhak mendapatkan perlakuan yang adil baik sebelum, selama dan
setelah berpartisipasi dalam penelitian. Semua pasien tetap menjalankan terapi
standar dari rumah sakit. Semua data yang dikumpulkan selama penelitian disimpan
dan dijaga kerahasiaannya. Nama, alamat dan nomor telepon tidak akan disalah
gunakan.
35

Alur Penelitian

Metode Kuantitatif

Desain penelitian Quasi ekperimental dan Cross sectional


kfklfdkkjkeksperimentaleksperimental
Populasi 45 pasien DM di desa sidorahayu
sidosidorahayudesasidorahayu sidorahayu
Purposive sampling

31 sampel

Inform consent dan menandatangani lembar persetujuan

(Pre-test)
Tingkat kepatuhan minum obat Pemberian Media
Intervensi “Jam Pintar”
Pemberian instrumen selama 10 hari
penelitian
(Pengisian Kuesioner (Post-test)
MMAS-8 Tingkat kepatuhan minum obat Uji validitas

“Jam Pintar”
Pemberian Kadar Gula Darah Puasa
Instrumen Glucotest
Pembuatan media
intervensi
Uji validitas & realibilitas Pengumpulan data

Kuesioner MMAS-8 Analisa data (Uji Wilcoxon dan Fisher-Exact)


dan
glukometer Hasil

Penentuan instrumen Pembahasan


penelitian
Kesimpulan

Gambar 4.2 Bagan Alur Penelitian


36

BAB V
HASIL
5.1 Karakteristik Pasien
Karakteristik dalam penelitian ini, peneliti membagi menjadi enam karakter
yaitu : Jenis Kelamin yaitu laki-laki atau perempuan, usia dengan pengelompokan
interval 10 tahun dimulai dari usia 41 tahun sampai 80 tahu, tingkat Pendidikan
yaitu tidak bersekolah, SD, SMP, atau SMA. Kemudian karakteristik mengenai
pekerjaan, Body Mass Index (BMI), dan lama terkena diabetes melitus.
Tabel 5.1 Karakteristik Pasien
Karateristik n %
Pasien
Jenis Kelamin (n=31)
Laki-laki 3 9,67
Perempuan 28 90,32
Usia (n=31)
41-50 tahun 1 3,22
51-60 tahun 13 41,93
61-70 tahun 14 45,16
71-80 tahun 3 9,67
Pendidikan (n=31)
Tidak Sekolah 3 9,67
SD 21 67,74
SMP 3 9,67
SMA 4 12,9
Pekerjaan (n=31)
Tidak Bekerja 8 25,8
Ibu Rumah Tangga 15 48,38
Swasta 8 25,8
Body Mass Index (BMI) (n=31)
Underweight 2 6,45
Normal 10 32,25
Overweight 16 51,61
Obese grade I 2 6,45
Obese grade II 1 3,225
Lama Terkena DM
< 1 Tahun 3 9,67
1-5 Tahun 17 54,83
11-20 Tahun 6 19,35
>20 Tahun 5 16,12
Total 31 100
Sumber : Data Primer, 2019

Karakteristik pasien penderita diabetes melitus di desa Sidorahayu


Puskesmas Wagir terdiri dari 31 orang, terdiri dari 3 laki-laki (9,67 persen) dan 28
perempuan (90,32 persen) dengan rentang usia terbanyak yaitu antara 61-70 tahun
37

(45,16 persen). Dilihat dari tingkat pendidikan, rata-rata tingkat pendidikan pasien
yaitu di sekolah dasar (SD) sebesar 67,74 persen dengan pekerjaan paling banyak
bekerja sebagai ibu rumah tangga sebanyak (48,38 persen). Untuk Body Mass
Index (BMI) paling banyak pasien termasuk dalam kategori overweight (51,61
persen). Dari waktu lamanya terkena diabetes melitus, pasien rata-rata mengalami
diabetes berkisar antara 1-5 tahun dengan persentase menunjukkan sebanyak
54,83 persen.
5.2 Distribusi Frekuensi Tingkat Kepatuhan Minum Obat Sebelum dan
Sesudah Penggunaan Jam Pintar pada Penderita Diabetes Melitus
Berdasarkan hasil pengisian kuesioner tingkat kepatuhan minum obat sebelum
dan sesudah penggunaan jam pintar pada penderita diabetes melitus didapatkan
hasil seperti yang terlihat pada tabel 5.2.

Tabel 5.2 Jumlah Tingkat Kepatuhan Minum Obat Sebelum dan Sesudah
PenggunaanJam Pintar pada Penderita Diabetes Melitus
Sebelum Sesudah
Tingkat Kepatuhan Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Rendah 12 38,7 % 2 6,45%
Sedang 13 41,93 % 10 32,25%
Tinggi 6 19,35 % 19 61,29%
Total 31 100% 31 100%

Berdasarkan tabel diatas dari 31 pasien diabetes melitus didapatkan jumlah


tingkat kepatuhan minum obat sebelum penggunaan jam pintar dengan kriteria
tingkat kepatuhan rendah sebanyak 12 pasien (38,7 %), sedang 13 pasien (41,93
%), tinggi 6 pasien (19,35%). Selanjutnya di hitung persentase tingkat kepatuhan
minum obat setelah penggunaan jam pintar dengan kriteria tingkat kepatuhan
rendah sebanyak 2 pasien (6,45%), sedang 10 pasien (32,25%), dan tinggi 19 pasien
(61,29%).
Tabel 5.3 Perbedaan Tingkat Kepatuhan Minum Obat Sebelum dan Sesudah
Penggunaan Jam Pintar pada Penderita Diabetes Melitus

Tingkat Kepatuhan Jumlah Persentase


Tetap Rendah 2 6,45 %
Tetap sedang 4 12,9 %
Tetap tinggi 5 16,12 %
Meningkat 20 64,5 %
Total 31 100%
38

Berdasarkan tabel setelah intervensi penggunaan jam pintar selama 10 hari


pada tingkat kepatuhan rendah terjadi penurunan sebanyak 10 pasien, pada tingkat
kepatuhan sedang juga menurun sebanyak 3 pasien, namun terjadi peningkatan
tingkat kepatuhan tinggi sebanyak 13 pasien. Jika di dilakukan perhitungan
presentase tiap individu pada 31 sampel terjadi peningkatan kepatuhan minum obat
sebanyak 64,5% (20 pasien), tetap di tingkat kepatuhan rendah 6,45% (2 pasien),
tetap di tingkat kepatuhan sedang 12,9% (4 pasien), tetap di tingkat kepatuhan
tinggi dan 16,12% (5 pasien).
5.3 Analisa Data Tingkat Kepatuhan Minum Obat Sebelum dan Sesudah
Penggunaan Jam Pintar pada Penderita Diabetes Melitus
Hasil data akan diujikan dengan analisis statistik uji Wilcoxon . Uji ini melihat
ada tidaknya perbedaan antara sebelum dan sesudah pemberian perlakuan pada
sekelompok sampel yang sama. Dasar pengambilan keputusan dilihat dari nilai Z
hitung dan nilai signifikansi (p-value). Nilai Z hitung yang lebih besar dari t tabel
atau nilai signifikansi (p-value) yang lebih kecil dari alpha sebesar 5%
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rata-rata antara sebelum dan sesudah
pemberian perlakuan pada kelompok sampel yang sama.
Tabel 5.4 Analisis Data Deskriptif berdasarkan standar deviasi tingkat kepatuhan
minum obat sebelum dan sesudah penggunaan jam pintar.
Jumlah Mean Std. Deviation Minimum Maximum
Pretest Tingkat
31 1.74 .729 1 3
Kepatuhan
Posttest Tingkat
31 2.55 .624 1 3
Kepatuhan

Berdasarakan tabel 5.4 nilai rata-rata tingkat kepatuhan sesudah penggunaan


jam pintar meningkat sebanyak 2.55 dengan standar deviasi yang menurun sanpai
0.624. sedangkan pada tingkat kepatuhan sebelum penggunaan jampintar memiliki
rerata 1,74 dan standar deviasi yang lebih tinggi yaitu 0,729. Jika dijelaskan dengan
nilai posttest dan pretest didapatkan data antara lain nilai posttest < pretest
sebanyak 0 pasien, nilai posttest = pretest sebanyak 11 pasien, dan nilai posttest >
pretest sebanyak 20 pasien, sehingga terlihat peningkatan yang cukup banyak.
39

Tabel 5.5 Analisis Data berdasarakan Uji Wilcoxon pada perbedaan tingkat
kepatuhan sebelum dan sesudah penggunaan jam pintar.
Frekuensi
Posttest
Posttest = Pretest > Z Z
< pretest p-value
pretest posttest hitung table
(n)
Tingkat 0 11 20 -4.134 1,96 0,000
Kepatuhan

Berdasarkan tabel diatas, uji Wilcoxon signed ranks test dengan taraf nyata α
= 5% pada variabel tingkat kepatuhan didapatkan nilai Z hitung sebesar -4,314
dengan nilai signifikansi sebesar 0,000. Nilai Z hitung ini lebih besar dari Z tabel
(1,96) atau nilai signifikansi lebih kecil dari taraf nyata 0,05 yang berarti hipotesis
diterima sehingga dapat disimpulkan penggunaan jam pintar mempengaruhi tingkat
kepatuhan minum obat pasien diabetes melitus.
5.4 Distribusi Frekuensi Kadar Gula Darah Puasa
Tabel 5.6 Kadar Gula Darah Puasa Setelah Penggunaan Jam Pintar

Kriteria GDP Jumlah Persentase


Normal 6 19,35 %
Pre Diabetes 6 19,35 %
Diabetes 19 61,29 %
Total 31 100%

Berdasarkan Tabel 5.6 hasil kadar gula darah setelah penggunaan jam pintar
dikategorikan berdasarkan kriteria PERKENI tahun 2015, dengan kriteria normal
(<100 mg/dL), pre diabetes (100-125 mg/dL), dan diabetes (>126 mg/dL). Dari 31
pasien menunjukan nilai kadar gula darah puasa (GDP) normal sebanyak 6 pasien
dengan persentase 19,35%, pre-diabetes sebanyak 6 pasien dengan persentase
19,35%, diabetes sebanyak 19 pasien dengan persentase 61,29%.
5.5 Analisa Data Hubungan Tingkat Kepatuhan Minum Obat Dengan
Kadar Gula Darah Puasa Setelah Penggunaan Jam Pintar
Tabel 5.7 Hubungan Tingkat Kepatuhan Minum Obat dengan Kadar Gula
Darah Puasa setelah Penggunaan Jam Pintar
Kadar Gula Darah Puasa Uji
Total
Tingkat Kepatuhan Diabetes Prediabetes Normal Fisher
Kepatuhan rendah 2 0 0 2 p = 0,69
Kepatuhan sedang 5 2 3 10
Kepatuhan tinggi 12 4 3 19
Total 19 6 6 31
40

Pada tabel 5.7 didapatkan data tingkat kepatuhan minum obat pada 31 pasien
yang diklasifikasikan menjadi kategori kepatuhan rendah, sedang dan tinggi.
Masing-masing kategori kepatuhan diharapkan memiliki hubungan dengan
klasifikasi kadar gula darah puasa yang juga terdiri dari tiga kategori yaitu diabetes,
prediabetes, dan normal.
Berdasarkan tabel 5.7 pasien dengan kategori kepatuhan rendah didapatkan
hasil sebanyak 2 dari 31 pasien yang memiliki kadar gula darah puasa hanya pada
kategori diabetes. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat 2 orang yang memiliki
kadar gula darah puasa >126 mg/dL dengan tingkat kepatuhan rendah. Pada tingkat
kepatuhan sedang terdapat 10 pasien dari 31 pasien dengan hasil gula darah puasa
yaitu 5 pasien kategori diabetes (gula darah puasa > 126 mg/dL), 2 pasien kategori
prediabetes (kadar gula darah puasa 125-100 mg/dL) dan 3 kategori normal (< 100
mg/dL). Sedangkan 19 pasien dengan tingkat kepatuhan tinggi dari total 31 pasien
menunjukkan hasil gula darah puasa paling banyak dalam kategori diabetes yaitu
sebanyak 12 pasien dan sisanya 4 pasien dalam kategori prediabetes serta 3 pasien
dalam kategori normal.
Analisa hubungan tingkat kepatuhan minum obat dengan kadar gula darah
puasa setelah penggunaan jam pintar dengan uji statistik fisher-exact. Hal ini
dikarenakan pada beberapa kolom berisikan data yang 0 atau missing cell sehingga
data diasumsikan < 30 sampel. Hasil analisis menunjukkan bahwa hubungan
tingkat kepatuhan minum obat dengan kadar gula darah puasa setelah penggunaan
jam pintar tidak signifikan (p=0.69, p>0.05). Pada penelitian ini disimpulkan bahwa
tingkat kepatuhan minum obat tidak berhubungan dengan kadar gula darah puasa
setelah penggunaan jam pintar selama 10 hari.
41

BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Karateristik Pasien
Jenis kelamin berdasarkan Tabel 5.1 menunjukkan pasien yang menderita
diabetes melitus lebih banyak perempuan (90,32 %) dibandingkan dengan laki-
laki. Hal ini sesuai dengan pernyataan Taylor (2010), yang menyatakan bahwa
penyebab utama banyaknya perempuan terkena diabetes tipe 2 karena terjadinya
penurunan hormon estrogen terutama saat masa menopause. Hormon estrogen dan
progesteron memiliki kemampuan untuk meningkatkan respons insulin di dalam
darah. Pada saat masa menopause terjadi, maka respons akan insulin menurun
akibat hormon estrogen dan progesteron yang rendah. Faktor-faktor lain yang
berpengaruh adalah body mass index perempuan yang sering tidak ideal sehingga
hal ini dapat menurunkan sensitivitas respons insulin. Hal inilah yang membuat
wanita sering terkena diabetes daripada laki-laki (Taylor, 2010).
Berdasarkan Tabel 5.1, didapatkan usia 61-70 tahun (45,16 persen) merupakan
usia terbanyak dari pasien yang didapat pada penderita diabetes melitus didesa
Sidorahayu, Wagir. Menurut Smeltzer & Bare (2014) bahwa usia memiliki kaitan
erat dengan kenaikan jumlah gula darah, semakin bertambah usia maka risiko
untuk mengalami DM tipe 2 semakin tinggi. Proses menua dapat mengakibatkan
perubahan sistem anatomi, fisiologi dan biokimia tubuh yang salah satu
dampaknya adalah peningkatan resistensi insulin (Smeltzer, 2014).
Sebagian besar pendidikan pasien berdasarkan Tabel 5.1 adalah lulusan SD
(67,74 persen). Angka tersebut mencerminkan bahwa secara garis besar tingkat
pendidikan peserta penderita diabetes melitus di Puskesmas Wagir termasuk
masih rendah. Tingkat pendidikan yang rendah akan mengakibatkan masyarakat
susah mencerna pesan atau informasi yang disampaikan. Masyarakat
berpendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan atau informasi yang
disampaikan orang lain karena berdasarkan pengalaman dan budaya yang ada
pada masyarakat setempat. Kecenderungan memiliki pola makan yang tidak
teratur dan tidak sehat karena dari tingkat pendidikan mempengaruhi tingkat
pekerjaan sehingga pendapatan yang dirasa kurang mengakibatkan konsumsi
makanan yang rutin di beli sangat jauh dari aspek kesehatan. Rutin memberikan
42

sosialisasi, memberi penyuluhan, serta kelas kesehatan mampu menambah


pengetahuan mereka terkait penyakit Diabetes Melitus (Nina,2016).
Pekerjaan pasien yang paling banyak pada penelitian ini adalah sebagai Ibu
Rumah Tangga (48,38 persen). Pada penelitian ini pasien didominasi oleh ibu
rumah tangga. Hal ini dapat dimaklumi karena sebagian besar penderita diabetes
berusia 40 tahun ke atas. Ibu rumah tangga cenderung tidak memiliki aktivitas
fisik yang intens ataupun berat. Aktifitas fisik yang ringan mengakibatkan insulin
semakin meningkat sehingga kadar gula dalam darah akan berkurang. Jika insulin
tidak mencukupi untuk mengubah glukosa menjadi energi maka akan rentan
terkena diabetes mellitus (Zainuddin, 2015).
Untuk Body Mass Index (BMI) pasien terbanyak pada kategori Overweight
(51,61 persen). Hal ini menunjukkan sebagian besar pasien memiliki angka berat
badan yang berlebih. Menurut D’adamo (2008) orang yang mengalami kelebihan
berat badan cenderung memiliki kadar leptin dalam tubuh akan meningkat. Leptin
adalah hormon yang berhubungan dengan gen obesitas. Leptin berperan
dihipotalamus untuk mengatur tingkat lemak tubuh, kemampuan untuk membakar
lemak menjadi energi, dan rasa kenyang. Kadar leptin dalam plasma meningkat
dengan meningkatnya berat badan. Peran leptin terhadap terjadinya resistensi
insulin yaitu leptin menghambat fosforilasi insulin receptor substrate-1 (IRS)
yang akibatnya dapat menghambat ambilan glukosa sel, sehingga tubuh
mengalami peningkatan kadar gula dalam darah.
Lingkar perut merupakan salah satu metode antropometri yang digunakan
pada pasien obesitas abdominal atau obesitas sentral. Ukuran lingkar perut pasien
penderita diabetes melitus di desa Sidorahayu menunjukkan angka terbanyak
antara 91-100 cm (38,7 persen). Ukuran linggar pinggang digunakan untuk
menentukan obesitas sentral dan kriteria untuk Asia Pasifik yaitu ≥ 90 cm untuk
pria dan ≥ 80 cm untuk wanita. Obesitas sentral merupakan faktor risiko dari
penyebab terjadinya penyakit kardiovaskular, stroke dan DM tipe II (Mertien
2018). Pengukuran lingkar perut dapat menunjukkan timbunan lemak yang berada
pada bagian visceral tubuh. Semakin besarnya lingkar perut menunjukkan adanya
penimbunan lemak yang berlebih pada bagian visceral tubuh yang pada akhirnya
dapat meningkatkan kadar gula darah tubuh (Mertien, 2018).
43

Rentang waktu terkena diabetes melitus pasien di desa Sidorahayu terbanyak


adalah 1-5 tahun (54,83 persen). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Ertana (2016), menunjukkan rata-rata 6-10 tahun pada pasien di Puskesmas Gatak
pada tahun 2015 yang mengalami diabetes melitus. Penyakit diabetes melitus yang
tidak ditangani dengan baik dan tepat dapat menimbulkan berbagai macam
komplikasi pada organ tubuh seperti mata, jantung, ginjal, pembuluh darah dan
saraf yang akan membahayakan jiwa dari penderita diabetes. Komplikasi yang
didapat pada seseorang karena lamanya diabetes mellitus yang diderita
menimbulkan sifat akut maupun kronis. Komplikasi akut timbul saat terjadi
penurunan atau peningkatan kadar glukosa darah secara tiba-tiba sedangkan
komplikasi kronis yaitu pada kardiovaskuler, ginjal, penyakit mata dan komplikasi
neuropatik.
6.2 Kepatuhan Minum Obat Sebelum dan Sesudah Penggunaan Jam Pintar
pada Pasien Diabetes Mellitus
Berdasarkan penghitungan skor MMAS-8, didapatkan hasil penelitian
menunjukkan kepatuhan minum obat setelah intervensi penggunaan booklet jam
pintar selama 10 hari pada tingkat kepatuhan rendah terjadi penurunan sebanyak 10
pasien, pada tingkat kepatuhan sedang juga menurun sebanyak 3 pasien, serta
terjadi peningkatan tingkat kepatuhan tinggi sebanyak 13 pasien.
Dari total 31 pasien didapatkan data adanya peningkatan kepatuhan minum
obat sebelum dan sesudah intervensi sebanyak 21 pasien yang jika dipresentasekan
mencapai angka 64,5%. Berdasarkan hasil analisa statistik dengan uji Wilcoxon,
didapatkan perbedaan yang signifikan atau p-value 0,00 (p<0,05) pada tingkat
kepatuhan sebelum dan sesudah intervensi. Hal tersebut menunjukkan bahwa
penggunaan booklet jam pintar secara signifikan mampu mempengaruhi tingkat
kepatuhan minum obat pada pasien diabetes mellitus. Hal tersebut sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Presetiawati et al. pada tahun 2017 bahwa terdapat
perbedaan signifikan tingkat kepatuhan minum obat sebelum dan sesudah
intervensi pemberian booklet dan konseling. Pada penelitian tersebut didapatkan
penurunan skor MMAS-8 sebelum intervensi yaitu 2.6±1.5 menjadi 0.7±1.18
(Presetiawati et al., 2017).
44

Booklet merupakan media untuk menyampaikan pesan dalam bentuk buku, baik
tulisan maupun gambar. Kelebihan media tersebut adalah individu dapat lebih jelas
menerima informasi karena dilengkapi tulisan dan gambar. Selain itu, desain bisa
lebih menarik disesuaikan dengan sasaran. Sedangkan kekurangannya adalah
pembuatan booklet membutuhkan lebih banyak biaya daripada media jenis lain
seperti leaflet (Notoadmojo, 2003).
Tingkat kepatuhan minum obat pasien diukur menggunakan alat ukur MMAS-
8 yang diterbitkan oleh WHO dan telah tervalidasi dan sering digunakan oleh
peneliti-peneliti. Kuesioner MMAS-8 terdiri dari tiga buah aspek kepatuhan, yaitu
diantaranya lupa akan kebutuhan minum obat, keinginan berhenti minum obat
tanpa sepengetahuan petugas medis, dan kemampuan untuk melanjutkan konsumsi
obat-obatan. Kelemahan dari kuesioner MMAS-8 yaitu jawaban pasien dapat
bersifat subjektif, sehingga pasien mungkin dapat menyembunyikan sikapnya yang
sebenarnya (Presetiawati et al., 2017).
Berdasarkan hasil wawancara, beberapa alasan yang mempengaruhi rendahnya
tingkat kepatuhan minum obat yaitu diantaranya pasien sering lupa minum obat,
pasien merasa tidak sakit sehingga tidak perlu minum obat, kurangnya dukungan
keluarga dalam peran sebagai pengawas minum obat, dan kendala transportasi pada
pasien lanjut usia untuk mengambil obat di fasilitas pelayanan kesehatan. Beberapa
alasan tersebut sesuai dengan alasan yang ditemukan dalam penelitian Presetiawati
pada tahun 2017 dan Keban pada tahun 2013 yaitu lupa, ketidakmampuan
memenuhi kebutuhan obat, jumlah obat yang banyak, bergantung pada bantuan
orang lain, dan puasa.
Berdasarkan hasil tersebut peningkatan kepatuhan pada pasien Diabetes Melitus
terjadi setelah pemberian booklet Jam Pintar. Hal ini sesuai dengan penelitian
Lailatushifah pada tahun 2012 yang menyatakan bahwa cara meningkatkan
kepatuhan individu diantaranya adalah memberikan informasi kepada pasien akan
manfaat dan pentingnya kepatuhan untuk mencapai keberhasilan pengobatan,
memberikan informasi tentang resiko ketidakpatuhan dan mengingatkan pasien
untuk melakukan segala sesuatu yang harus dilakukan demi keberhasilan
pengobatan dengan alat komunikasi. Alat komunikasi tersebut salah satunya dapat
berupa booklet (Lailatushifah, 2012).
45

6.3 Distribusi Kadar Gula Darah Puasa


Salah satu tujuan jangka pendek dalam tatalaksana diabetes melitus adalah
untuk menghilangkan tanda dan gejala keluhan DM, mempertahankan rasa
nyaman, dan terkontrolnya kadar gula atau glukosa dalam tubuh. Terkontrolnya
kadar gula ini tentunya akan berdampak dalam tatalaksana jangka panjang yaitu
mencegah terjadinya komplikasi mikroangiopati, makroangipati, dan neuropati.
Kadar gula darah dalam tubuh manusia dipengaruhi oleh faktor endogen hormonal
baik hormone insulin, glucagon, kortisol ataupun akibat faktor eksogen berupa
makanan yang mengandung gula berlebih, atau kurangnya kativitas fisik yang
menyebabkan terjadinya resistensi insulin dan atau disfungsi sel B pankreas
(Fatimah, 2015).
Kadar gula darah puasa pada orang diabetes diklasifikasikan dalam tiga kategori
oleh PERKENI tahun 2015 yaitu dikatakan diabetes jika > 126 mg/dL, prediabetes
jika 100-125 mg/dL, dan normal jika < 100 mg/dL. Pengendalian kadar gula darah
dalam tubuh dipengaruhi oleh diet makanan, aktifitas fisik, tingkat edukasi
kesehatan, dan pemberian obat hipoglikemi oral (Fatimah, 2015). Penggunaan obat
hipoglikemi oral pada penelitian ini menggunakan golongan sulfonil urea berupa
glibenclamide 5 mg dan glimepiride 2 mg; golongan biguanid berupa metformine
500 mg; dan golongan alfa glucosidase berupa acarbose 100 mg. Kinerja obat dan
ketepatan waktu minum obat juga mempengaruhi kadar gula darah pada penderita
diabetes.
Golongan sulfonylurea berfungsi dalam meningkatkan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas dengan cara minumnya 30 menit sampai satu jam sebelum makan.
Obat ini memiliki durasi kerja selama 12-24 jam, sehingga dapat diberikan sekali
atau dua kali dalam sehari. Metformin merupakan golongan obat yang
meningkatkan senditivitas insulin, dimana efek utamanya mengurangi produksi
glukosa hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan
perifer. Metformin diminum dengan cara setelah satu suapan makan pertama atau
sesudah makan. Obat ini memiliki durasi kerja dengan waktu paruh elemininasi
setelah 6,2 jam. Berdasarkan guideline, metformin merupakan pilihan pertama pada
sebagian besar kasus DMT2. Acarbose sendiri merupakan obat yang bekerja
dengan cara memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus, sehingga
46

mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan dengan cara
minum sesudah makan. Obat ini memiliki durasi kerja 1-3 jam (Lestari, 2013).
Berdasarkan hasil kadar gula darah puasa pasien yang telah diintervensi dengan
penggunaan jam pintar sebanyak 61,29% (19 pasien) yang masih dalam kategori
diabetes. Hasil ini masih mendominasi dibandingkan hasil prediabetes dan normal.
Hal ini dapat dipengaruhi dengan ketepatan waktu minum obat, ketepatan
pemilihan obat, atau kurangnya dosis obat yang diberikan. Faktor ekternal berupa
diet makanan rendah gula yang masih belum terkontrol sebelum puasa, atau
aktivitas fisik yang kurang. Lama waktu puasa juga mempengaruhi kadar gula
darah yang beberapa penelitian menyebutkan bahwa pengecekan kadar gula kurang
dari 10 jam puasa terkadang masih belum akurat (Ghazanfari, 2010). Sekalipun
beberapa penelitian menyebutkan waktu puasa untuk pengecekan kadar gula darah
puasa antaar 8-12 jam (Syauky, 2015). Selain itu, faktor usia, indeks massa tubuh
(IMT), dan dan jenis kelamin juga berpengaruh dalam penentuan kadar gula darah
seseorang (Lestari, 2013). Hal ini sesuai dengan penelitian Lipoeto dkk., 2007
bahwa seseorang dengan IMT yang normal memiliki kadar glukosa rendah atau
normal karena simpanan glikogen dalam tubuh juga dalam kadar yang normal.
Seseorang yang obesitas akan mengalami resistensi insulin atau berkurangnya
sesnsitivitas insulin. Usia yang muda juga menentukan fungsi organ yang masih
baik, sehingga fungsi sel pancreas dalam sekresi insulin tidak berkurang dan
kemampuan ambilan glukosa dalam sel-sel atau jaringan sasaran dalam kondisi
optimal. World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa tiap kenaikan satu
dekade umur pada seseorang yang telah melampaui usia 30, kadar glukosa darah puasa
akan naik sekitar 1-2 mg/dL (Rochmah, 2010). Hormone estrogen pada wanita
memiliki kemampuan untuk membantu proses regulasi sensitivitas insulin dalam
uptake glukosa, sehingga pada keadaan menopause dapat terjadi resistensi insulin
akibat produksi hormone yang berkurang (Skrzypczak, 2007)
6.4 Hubungan Tingkat Kepatuhan Minum Obat terhadap Kadar Gula Darah
Puasa Setelah Penggunaan Jam Pintar
Pada penelitian ini kami menggunakan media intervensi berupa jam pintar
dimana dalam jam pintar terdapat jam pengingat minum obat sehingga mampu
meningkatkan tingkat kepatuhan minum obat yang nantinya berdampak pada
47

penurunan kadar gula darah puasa. Berdasarkan tabel 5.6 setelah penggunaan jam
pintar selama 10 hari, 2 pasien yang tingkat kepatuhannya rendah memiliki kadar
gula darah puasa kategori diabetes (gula darah puasa>126 mg/dL). Hasil ini sesuai
dengan teori bahwa pasien yang memiliki tingkat kepatuhan rendah memiliki kadar
gula darah puasa tinggi (Astari, 2016). Sedangkan 10 pasien dengan tingkat
kepatuhan sedang memiliki kadar gula darah puasa kategori normal 2 pasien,
kategori prediabetes 3 pasien, dan diabetes 5 pasien. Selanjutnya 19 pasien dengan
tingkat kepatuhan tinggi memiliki kadar gula darah puasa kategori normal 3 pasien,
kategori prediabetes 4 pasien, dan kategori diabetes 12 pasien.
Dari data diatas pada tingkat kepatuhan sedang justru memiliki kadar gula darah
puasa paling banyak dengan kategori diabetes (5 pasien). Begitu juga dengan
kategori tingkat kepatuhan tinggi justru memiliki kadar gula darah puasa paling
banyak dengan kategori diabetes (12 pasien) dari pada kategori lainnya.
Berdasarkan konsesnsus PERKENI tahun 2015 mengenai pilar diabetes
mellitus, bahwa penurunnan kadar gula darah dipengaruhi oleh 4 pilar yakni
pengetahuan tentang diabetes mellitus, pola makan yang benar, aktivitas fisik dan
penggunaan obat (Konsensus PERKENI,2015). Dalam penelitian ini kami hanya
mengambil tingkat kepatuhan minum obat, dimana masih ada 3 pilar lainnya yang
dapat mempengaruhi penurunan kadar gula darah puasa yakni pengetahuan tentang
diabetes mellitus, pola makan yang benar, dan aktivitas fisik
Pada hasil penelitian ini setelah dianalisa dengan uji statistik fisher didapatkan
hasil bahwa tingkat kepatuhan minum obat setelah penggunaan jam pintar
menunjukan hubungan yang tidak signifikan (p=0.69, p>0.05). Dari analisa ini
dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat kepatuhan minum obat
setelah penggunaan jam pintar terhadap kadar gula darah puasa. Hasil penelitian ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Qiyam dan Adikusuma pada tahun
2017, dimana penelitian ini meneliti hubungan tingkat kepatuhan minum obat
terhadap kadar HbA1c dan didapatkan hasil bahwa tingkat kepatuhan minum obat
tidak berhubungan dengan kadar HbA1c (Adikusuma dan Qiyam, 2017).
Hal ini dapat terjadi karena data yang kami pakai adalah data ordinal dengan
klasifikasi kadar gula darah sesuai dengan kategori PERKENI 2015 yakni kategori
normal (<100mg/dL), prediabetes (100-126mg/dL), dan diabetes > 126mg/dL).
48

Sehingga jika terjadi penurunan kadar gula darah puasa namun penurunannya
belum mencapai <126mg/dL maka tetap dikategorikan dalam kriteria diabetes
melitus.
Selain itu pada penelitian ini kami tidak meneliti kadar gula darah puasa
sebelum penggunaan jam pintar. Sehingga bila terjadi penurunan dari kadar gula
darah puasa sebelumnya tapi penurunannya masih belum mencapai kadar gula
darah puasa <126mg/dL maka pasien tetap dikategorikan diabetes mellitus. Hal
ini didukung oleh data sekunder yang kami dapat dari rekam medis pasien dimana
kadar gula darah pasien sebelum penggunaan jam pintar lebih tinggi jika
dibandingkan sesudah pengguanaan jam pintar (Data sekunder, 2019). Akan tetapi
penurunannya masih belum mencapai kadar gula darah puasa <126mg/dL, sehingga
pasien dengan kepatuhan tinggi masih dapat dikategorikan dalam kategori diabetes
mellitus meskipun telah terjadi penurunan kadar gula darah puasa.
Perbedaan pengetahuan antara pasien dapat juga terjadi karena dalam teknis
pemberian intervensi kami melakukannya dengann sistem door to door. Kami
membagi menjadi 2 tim, masing-masing tim terdiri dari 2 orang. Masing masing
tim bertugas melakukan pemberian intervensi pada 15 rumah yang dibagi dalam 2
hari. Hal ini memungkinkan adanya ketidaksamaan dalam penyampaian materi ke
pasien antara tim satu dan tim yang lain. Untuk meminimalisir bias penelitian
tersebut, sebelum melakukan intervensi kami melakukan persamaan persepsi
mengenai intervensi yang akan kami berikan. Persamaan persepsi meliputi : Cara
pengisian kuesioner tingkat kepatuhan minum obat dan protap intervensi
penggunaan jam pintar. Selain itu ketika pengecekan gula darah post intervensi
kami melakukan persamaan persepsi juga berupa protap cara pemeriksaan gula
darah puasa.
49

BAB VII
PENUTUP

7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa :
1. Terdapat perbedaan tingkat kepatuhan minum obat sebelum dan sesudah
penggunan jam pintar pada penderita diabetes melitus di Desa Sidorahayu.
2. Tidak terdapat hubungan antara tingkat kepatuhan minum obat dengan kadar
gula darah puasa setelah penggunaan jam pintar pada penderita diabetes
melitus di Desa Sidorahayu.
Hal ini didasarkan bahwa ada banyak faktor yang terlibat dalam hubungan
tersebut termasuk ketepatan waktu minum obat, ketepatan jumlah obat yang
diminum, ketepatan jenis obat yang dipilih, dan ketepatan dosis yang digunakan.
Selain itu faktor lima pilar kendali tatalaksana diabetes melitus seperti diet pola
makan, aktivitas fisik, tingkat edukasi kesehatan, dan pemebrian obat hipoglikemi
oral. Karakteristik pasien juga dapat mempengaruhi kadar gula darah mulai dari
usia, jenis kelamin, indeks masa tubuh, lamanya terkena diabetes, dll.
7.2 Saran
Peneliti menyarankan hal – hal berikut untuk menunjang penelitian
selanjutnya guna pengembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan.
1. Untuk puskesmas program ini dapat dikembangkan sebagai program inovasi
dalam mengontrol dan pendataan masyarakat yang terkena PTM (penyakit
tidak menular) dengan pemberian booklet jam pintar untuk membantu
memantau tingkat kepatuhan minum obat pasien.
2. Untuk dinas kesehatan diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai
acuan dalam membantu petugas kesehatan untuk memonitor pelaksanaan
regimen terapeutik penyandang Diabetes Melitus serta meningkatkan
kepatuhan minum obat.
3. Untuk mahasiswa dalam penelitian lebih lanjut sebaiknya dilakukan
pengukuran kadar gula darah puasa sebelum intervensi, agar penurunan kadar
gula darah baik sebelum dan sesudah intervensi tetap bermakna sekalipun
masih dalam kriteria diabetes. Pemberian edukasi kesehatan sebaiknya juga
50

dilakukan dalam satu forum untuk menghindari bias dan penyamarataan kadar
pengetahuan tentang booklet. Waktu penelitian dapat dilakukan lebih lama
dan dilakukan monitoring setiap minggunya oleh pengawas minum obat.
51

Daftar Pustaka

Abdurrahman, Fadlullah. (2014). Faktor Pendorong Perilaku Diet Tidak Sehat Pada
Mahasiswi. Ejournal Psikologi, Vol 2, No 2: 163-170, 2014.

Ainni , A.N. dan Mutmainah N. 2017.Studi Kepatuhan Penggunaan Obat Pada


Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Instalasi Rawat Jalan Rsud Dr. Tjitrowardojo
Purworejo Tahun 2017. Fakultas Farmasi Universitas Muhamadiyah Surakarta

American Diabetes Association (Ada) (2015). Diagnosis And Classification Of


Diabetes Mellitus. American Diabetes Care, Vol.38, Pp: 8-16.

American Heart Association (Aha). (2012). Heart Disease And Stroke Statistics-
2012 Update.

Ardanti, R.F. 2016.Hubungan Persepsi Dukungan Keluarga Terhadap Kepatuhan


Minum Obat Pada Pasien Diabetes Melitus Di Puskesmas 1
Gamping.Yogyakarta: FKIK UMY

Astari, Rani. 2016. Hubungan Antara Kepatuhan Terapi Diet Dan Kadar Gula
Darah Puasa Pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Di Wilayah Kerja
Puskesmas Purnama Pontianak. Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Tanjungpura Pontianak.

Brown M.T. And Bussell J.K., 2011, Medication Adherence: Who Cares?, Mayo
Clinic Proceedings, 86 (4), 304–314.

Buraerah, Hakim. Analisis Faktor Risiko Diabetes Melitus tipe 2 di Puskesmas


Tanrutedong, Sidenreg Rappan,. Jurnal Ilmiah Nasional;2010 [cited 2010 feb
17]. Available from :http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=
61&src=a&id=186192

Chaliks R. 2012. Kepatuhan dan Kepuasan Terapi dengan Antidiabetik Oral Pada
Pasien Diabetes Melitus Tipe-2 Rawat Jalan di RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta,
Thesis, S2 magister Farmasi Klinik, Perpustakaan Pusat UGM.

Clinical Diabetes Association [Cda]. 2013. Clinical Practice Guidelines For The
Prevention And Management Of Diabetes In Canada.

D’adamo, Peter, J. 2008.Diet Sehat Diabetes sesuai Golongan


Darah.Yogyakarta:Delapratasa

Dahlan M.S. 2009, Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian
Kedokteran dan Kesehatan, Salemba Medika, Jakarta.

Ertana J. 2016. Hubungan Lama Menderita dan Komplikasi Diabetes Melitus


dengan Kualitas Hidup pada Penderita Diabetes Melitus di Wilayah Puskesmas
52

Gatak Sukoharjo. Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhamadiyah


Surakarta.

Fatimah, Restyana Noor. 2015. “Diabetes Melitus Tipe 2”. Artikel Review. J
MAJORITY, Vol. 5 No. 4. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Galveia, A., Cruz, S., & Deep, C. 2012. Impact of social demographic variables on
adherence to diabetes treatment and in the prevalence of stress, anxiety and
depression. Advanced Research in Scientific Areas, 3 (7), 2145– 2152

Ghazanfari, Zahra, Ali Akbar Haghdoost, danFarzaneh Zolala. “A Comparison of


HbA1c and Fasting Blood Sugar Tests in General Population”. International
Journal of Preventive Medicine, 2010 Summer; 1(3): 187-194. Wolters
Kluwer-Medknow Publication.

Guyton, A.C dan Hall, JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta:
EGC.

Ian P. & Marcus. 2011. Psikologi Kesehatan, Panduan Lengkap Dan Komprehensif
Bagi Studi Psikologi Kesehatan. Jakarta : Mitra Setia

International Diabetes Federation [Idf]. (2014). Idf Diabetes Atlas 4th Edition.
Isbn-13: 978-2-930229-71-3.

Inung E. 2008. “Pengaruh Reiki terhadap Kadar Gula Darah Acak” dalam
Lemeshow. 1997. Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan (terjemahan).
Gadjahmada University Press : Yogyakarta,.

Kadowaki T, Yamauchi T. 2005. Adiponectin and Adiponectin Reseptor.


Endocrine Reviews26(3):439-451 (online)
(http://wp.ufpel.edu.br/obesidadediabetes/files/2013/10/Adiponection-and
Adiponectin-Receptors.pdf)

Kariadi, Sri Hastuti. 2009. Diabetes: Panduan Lengkap Untuk Diabetisi. Jakarta:
Mizan Media Utama.

Keban SA, Purnomo LF, Mustofa M. 2013. Evaluation of Pharmacist education to


type 2 diabetes mellitus patients in Dr. Sardjito Hospital Yogyakarta. J Ilmu
Kefarmasian Indonesia Vol 11:45-52.

Kemenkes RI, 2014, Situasi Dan Analisis Diabetes, Pusat Data Dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI.

Kemenkes, RI. 2014. Infodatin Diabetes. Jakarta: Pusat data dan informasi
Kemenkes RI. Tersedia di: http://www.depkes.go.id/download. php?fi
le=download/pusdatin/infodatin-diabetes.pdf. [Sitasi: 30 Juli 2019].
53

Kemenkes. 2019. Buku pedoman manajemen penyakit tidak menular. Direktorat


Jenderal Pencegahan dan Pengendalia Penyakit, Jakarta.

Khaulah A. 2016. Pengembangan Aplikasi Bulaker Adventure Game Sebagai


Media Belajar Berbasis Android Pada Materi Bangun Ruang Sisi Lengkung.
Mathedunesa Journal. 3(5) : 36-42.

Lailatushifah S N. 2012. Kebutuhan Pasien yang Menderita Penyakit Kronis dalam


Mengkonsumsi Obat Harian. Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana
Yogyakarta

Lestari, Dita Devi, Diana S. Purwanto, Stefana H.M. Kaligis. 2013. “Gambaran
Kadar Glukosa Darah Puasa Pada Mahasiswa Angkatan 2011 Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi dengan Indeks Massa Tubuh 18,5-22,9
kg/m2. Journal e-Biomedik (e-BM), Vol. 1, No. 2, Juli 2013, hal. 991-996.

Lestari, Wahyu Putri. 2013. “Gambaran Efektifitas Penggunaan Obat Antidiabetik


Tunggal dan Kombinasi dalam Mengendalikan Gula Darah Pada Pasien
Diabetes Melitus Tipe II di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Tahun 2012”.
Skripsi. Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Jakarta.

Lipoeto NI, Yerizel E, Edward Z, Widuri I. 2007. “Hubungan Nilai Antropometri


dengan Kadar Glukosa Darah”. Jurnal Kedokteran Indonesia.33:23-28.

Mareya J. 2017. Tingkat Kepatuhan Penggunaan Obat Antidiabetes Oral Pada


Pasien Diabetes Melitus. Central Library Of Maulana Malik Ibrahim State
Islamic University Of Malang.

Mayberry, Lindsay S. dan Chandra Y. Osborn. 2014. “Empirical Validation of the


Information–Motivation–Behavioral Skills Model of Diabetes Medication
Adherence: A Framework for Intervention”. Diabetes Care 2014;37:1246–
1253 [DOI: 10.2337/dc13-1828].

Mayes, PA. 2003. Glikoneogenesis dan pengontrolan kadar glukosa darah. Dalam:
Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. Biokimia Harper. Edisi ke
25. Jakarta: EGC, pp 195-205

Mertien S, Darwati P, Laras S. 2018. Hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dan
Rasio Lingkar Pinggang Pinggul (RLPP) dengan Kadar Glukosa Darah Puasa
Penderita Diabetes Melitus Tipe II di Puskesmas Kebayoran Lama, Jakarta
Selatan. Nutrire Diaita Volume 10 Nomor 1, April 2018

Morisky D.E., Ang A., Krousel-Wood M. and Ward H.J., 2011, The Morisky 8-
Item Self-Report Measure of Medication-Taking Behavior (MMAS-8), Journal
of Clinical Epidemiology. 64: 262-263
54

National Institute For Diabetes And Digestive And Kidney Diseases (Niddk).
(2014). Cause Of Diabetes. Nih Publication.

Nina Widyasari. 2016. Hubungan Karakteristik Pasien dengan Risiko Diabetes


melitus dan Dislipidemia Kelurahan Tanah Kalikedindin.. Jurnal Berkala
Epidemiologi, Volume 5 Nomor 1, Januari 2017, hlm. 130-141

Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan Perilaku kesehatan. Jakarta PT Rineka


Cipta

Nugroho, K., Mulyadi., masi, G. Hubungan aktifitas fisik dan pola makan dengan
perubahan indeks masa tubuh. E-journalKP. 4(2) : 1-4.

Nurina, Dewi Pratita,. (2012). Hubungan Dukungan Pasangan Dan Health Locus
Of Control Dengan Kepatuhan Dalam Menjalani Proses Pengobatan Pada
Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2. Jurnal Ilmiah Mahasiswa. Universitas
Surabaya.

Osterberg, L. & Blaschke, T., 2005. Adherence to Medication, The New England
Journal of Medicine, 353,487-97

Perkeni. 2015. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2


Di Indonesia. Jakarta. Pb Perkeni.

Perkeni. 2011.Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di


Indonesia. Jakarta: Perkeni.

Polit, D. F., & Beck, C. T. 2012. Nursing: generating and assessing evidence for
practice. Ninth Edition.

Pradana I.P.A., 2015, Hubungan Karakterisktik Pasien dengan Tingkat Kepatuhan


dalam Menjalani Terapi Diabetes Mellitus di Puskesmas Tembuku Kabupaten
Bangli Bali. 2015. Skripsi Fakultas Kedokteran. Universitas Udayana Bali.

Presetiawati I., Andrajati* R., dan Sauriasari R. 2017. Effectiveness Of A


Medication Booklet And Counseling On Treatment Adherence In Type 2
Diabetes Mellitus Patients. International Journal of Applied Pharmaceutics.
Vol. 9, Suppl. 1

Price, SA dan Wilson, LM. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Edisi 6. Vol.2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta

Adikusuma, Wirawan, dan Qiyam Nurul. 2017. Hubungan Tingkat Kepatuhan


Minum Obat Diabetikoralterhadap Kadar Hba1c Pada Pasien Diabetes Mellitus
Tipe 2. Jurnal Ilmiah Ibnu Sina. 2(2) : 279-286

Rochmah W. 2010. Diabetes Melitus pada Usia Lanjut. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S,editor. Buku Ajar Ilmu
55

Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi 5. Jakarta:Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit


Dalam;.hal.1967-72

Salistyaningsih, Wiwik., Theresia, Spitawati., Kurniawan, Nugroho. 2011


Hubungan Tingkat Kepatuhan Minum Obat Hipoglikemik Oral Dengan Kadar
Glukosa Darah Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2. Berita Kedokteran
Masyarakat. 27(4): 215- 219.
Sammulia, S.F, Rahmawati, F. dan Andayani T.M. 2016. Perbandingan Pill Box
dan Medication Chart dalam Meningkatkan Kepatuhan dan Outcome Klinik
Geriatri Kota Batam. Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi. Vol. 6 No.4

Skrzypczak M, Szwed A, Pawlinska-Chmara R, Skrzypulec. 2007. “Assessment of


BMI, WHR and W/Ht in pre-and Postmenopausal women”. Anthropological
Review:70;3-13.

Smeltzer, Susan C& Bare. (2014). Buku Keperawatan Medikal BedahEdisi


12Brunner Suddarth. Jakarta : EGC.

Subekti, I., 2009. Neuropati Diabetik: Sudoyo, A., Setiyohadi, B., Alwi, I.,
Simadibrata, M., Setiati, S., Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. 5th
Ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Pp.1947-51.

Susanto Y, Alfian R, Riana, R dan Rusmana I. 2017. Pengaruh Layanan Pesan


Singkat Pengingat terhadap Kepatuhan Konsumsi Obat Pasien DM Tipe 2 di
Puskesma Melati Kabupaten Kapuas. Jurnal Ilmiah Manuntung. Vol. 3 No. 1

Syauqy, Ahmad. 2015. “Perbedaan kadar glukosa darah puasa pasien diabetes
melitus berdasarkan pengetahuan gizi, sikap dan tindakan di poli penyakit
dalam rumah sakit islam Jakarta”. Jurnal Gizi Indonesia. Vol. 3, No. 2, Juni
2015. Hal. 60-67.

Taylor, C., Lillis, C., Lemone, P., & Lynn, P. 2010. Fundamental of nursing: The
Art and Science of Nursing Care(7th). Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.

WHO Fact Sheet of Diabetes, 2016

WHO. 2003. Adherence To Long-Term Therapies : Evidence For Action. World


Health Organization http://www.who.int/chp/knowledge/publications/adhe.

Wilieyam dan Sevani, 2013. SMS Based Gateway Patient Medication Reminder
Application Aplikasi Reminder Pengobatan Pasien Berbasis SMS Gateway.
INKOM, Vol. 7, No. 1, Article 215,

Widodo, C. 2016. Anti Diabetik Oral Dengan Kadar Gula Darah Pasien Diabetes
Program Pascasarjana Surakarta.
56

World Health Organization. 2014. Prevention Of Blindness From Diabetes


Mellitus: Report Of A Who Consultation In Geneva, Switzerlan 9-11 November
2005. Jenewa: WHO.

Zainuddin, Mhd.; Utomo, W; Herlina. 2015. Hubungan Stres Dengan Kualitas


Hidup Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2. Jurnal JOM Vol 2 No 1, Februari
2015
57

LAMPIRAN I
1. Lampiran form survey data sampel

Survey Data Pengambilan Sampel


Nama :
Alamat :
Usia` :
Jenis Kelamin :
Pekerjaan :
Berapa lama terkena DM :
Terapi yang pernah digunakan :
Apakah obat diminum rutin sesuai anjuran dokter ? Iya / Kadang/ Tidak
Riwayat keluarga terkena DM :
Riwayat Penyakit lain, sebutkan
No Telpon :
Data Pasien
Nama :
Alamat :
Usia` :
Jenis Kelamin : L/P
Pekerjaan :
Pendidikan Terakhir :
Berapa lama terkena DM :
Terapi yang pernah digunakan :
Apakah obat diminum rutin sesuai anjuran dokter ? Iya / Kadang/ Tidak
Riwayat keluarga terkena DM :
Riwayat Penyakit lain, sebutkan :
No Telpon :
Pre- Test Post-Test
BB : BB :
TB : TB :
BMI : BMI :
GDP : GDP :
Tingkat Kepatuhan
2. Lampiran SOP: Pelaksanaan Intervensi
Tingkat Kepatuhan :
58

LAMPIRAN II
a. PROTAP INTERVERSI PENGGUNAAN JAM PINTAR
Pengertian Intervensi penggunaan jam pintar
Tujuan Menambah ilmu pengetahuan pasien DM mengenai cara penggunaan
jam pintar
Kebijakan 1. Dilakukan oleh dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas
Islam Malang
2. Komunikasi efektif menggunakan bahasa sederhana (mudah
diterima orang lain) dan menjaga kesopanan
Prosedur Alat:
Media jam Pintar
Prosedur:
1. Berkomunikasi dengan pasien menggunakan bahasa yang mudah
dimengerti
2. Bertanya mengenai obat OHO apa yang dipakai
3. Membagikan media yang dibuat
4. Menyusun panah penggunaan jam minum obat sesuai dengan obat
yang digunakan
5. Menjelaskan isi konten booklet secara sistematis dengan durasi
waktu maksimal 10 menit
6. Menggunakan cara diskusi
7. Memberikan umpan balik
8. Mengadakan evaluasi
9. Menyusun perencanaan lanjutan
59

LAMPIRAN II
b. PROTAP INTERVERSI PENGECEKAN KADAR GULA DARAH
PUASA KAPILER
Pengertian Intervensi pengecekan kadar gula darah puasa kapiler menggunakan alat gluco
stick setelah berpuasa minimal 8 jam tanpa makan.
Tujuan Mengevaluasi perubahan kadar gula darah puasa setelah teratur minum obat
selama 10 hari
Kebijakan 1. Dilakukan oleh dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Islam Malang
2. Komunikasi efektif menggunakan bahasa sederhana (mudah diterima orang
lain) dan menjaga kesopanan
Prosedur Alat:
1 Gluco stick
2. Kapas Alkohol
3. Hand scone
4. Strip tes glukosa darah
5. Lanset / jarum penusuk
6. Tempat sampah medis
8. Makanan dan minuman secukupnya
Prosedur
1. Memastikan jika pasien benar-benar puasa 8 jam atau lebih
1. Menjelaskan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien.
2. Memakai handscone
4. Atur posisi pasien senyaman mungkin.
5. Dekatkan alat di samping pasien.
6. Pastikan alat bisa digunakan.
7. Pasang stik GDA pada alat glukometer.
8. Mengurut jari yang akan ditusuk (darah diambil dari salah satu ujung jari
telunjuk, jari tengah, jari manis tangan kiri / kanan).
9. Desinfeksi jari yang akan ditusuk dengan kapas alkohol
10. Menusukkan lanset di jari tangan pasien, dan biarkan darah mengalir secara
spontan
11. Tempatkan ujung strip tes glukosa darah (bukan diteteskan ) secara otomatis
terserap ke dalam strip
12. Menghidupkan alat glukometer yang sudah terpasang strip.
13. Menutup bekas tusukkan lanset menggunakan kapas alkohol.
14. Alat glukometer akan berbunyi dan bacalah angka yang tertera pada
monitor.
15. Keluarkan strip tes glukosa dari alat monitor
16. Matikan alat monitor kadar glukosa darah
17. Membereskan alat.
18. Mencuci tangan.
19. Dokumentasi : catat hasil pada buku catatan
60

LAMPIRAN III
3. Lampiran Kuesioner Tingkat Kepatuhan Minum Obat Morisky
Medication Adherence Scale-8
No Pertanyaan Jawaban Skor

1 Apakah Bapak/Ibu/Saudara terkadang lupa minum obat? Ya 1


Tidak 0
2 Selama dua minggu terakhir adakah Bapak/Ibu pada suatu hari tidak Ya 1
meminum obat? Tidak 0

3 Apakah Bapak/Ibu pernah mengurangi atau menghentikan penggunaan Ya 1


obat tanpa memberi tahu ke dokter Karena merasakan kondisi lebih Tidak 0
buruk/tidak nyaman saat menggunakan obat

4 Saat melakukan perjalanan atau meninggalkan rumah, apakah Bapak Ya 1


/Ibu terkadang lupa untuk membawa serta obat? Tidak 0

5 Apakah Bapak/Ibu kemarin tidak meminum semua obat? Ya 1


Tidak 0
6 Saat merasa keadaan membaik,apakah Bapak/Ibu terkadang memilih Ya 1
untuk berhenti meminum semua obat? Tidak 0

7 Sebagian orang merasa tidak nyaman jika harus meminum obat setiap Ya 1
hari, apakah Bapak/Ibu pernah merasa terganggu karena keadaan seperti Tidak 0
itu ?
8 Berapa kali Bapak/Ibulupaminumobat a. Tidak 0
Tidak pernah = Tidak pernah lupa pernah
Sesekali = 1 kali dalam seminggu b. Sesekali 1
Kadang = 2-3kali dalam seminggu c. Kadang 1
Biasanya = 4-6 kali dalam seminggu d. Biasanya 1
Selalu = 7 kali dalm seminggu e. Selalu 1

Keterangan :
Skor 0 : Kepatuhan Tinggi
Skor 1-2 : Kepatuhan Sedang
Skor >2 : Kepatuhan Rendah
61

LAMPIRAN IV Lampiran Persetujuan Pasien


LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI PASIEN
(Informed Consent)

Assalamualaikum Wr. Wb.


Dengan hormat,
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Perwakilan mahasiswa Program Studi Profesi
Dokter Fakultas Kedokteran, yang sedang menempuh pendidikan dokter muda
departement Ilmu Kesehatan Masyarakat Kedokteran Keluarga di Puskesmas Wagir
Malang periode 2019
Nama :
NIM :

Bermaksud mengadakan penelitian dengan judul “Pengaruh Jam pintar Terhadap


Tingkat Kepatuhan Minum Obat dan Kadar Gula Darah Puasa Pasien Diabetes Mellitus
di Desa Sidorahayu Kecamatan Wagir”. Untuk terlaksananya kegiatan tersebut, Kami
mohon kesediaan Saudara untuk berpartisipasi dengan cara mengisi kuesioner,
menggunakan jam pintar diabetes mellitus sebagaimana yang telah dijelaskan dan
pengecekan gula darah. Data yang kami peroleh dari Saudara kami jamin
kerahasiaannya dan hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian. Apabila
Saudara berkenan dengan ketentuan di atas, mohon kiranya Saudara terlebih dahulu
bersedia menandatangani lembar persetujuan menjadi pasien (informed consent).
Demikianlah permohonan Kami, atas perhatian serta kerjasama Saudara, Saya ucapkan
terimakasih. Wassalamualaikum Wr. Wb.
Peneliti,

(…………….)
62

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama : ........................................................................................................
Umur : ........................................................................................................
Jenis Kelamin : ........................................................................................................
Alamat : ........................................................................................................
Pekerjaan : .......................................................................................................

Dengan ini menyatakan bersedia untuk menjadi pasien penelitian yang dilakukan oleh
dokter muda departement Ilmu Kesehatan Masyarakat Kedokteran Keluarga di
Puskesmas Wagir Malang periode 2019 yang berjudul “Pengaruh Jam pintar Terhadap
Tingkat Kepatuhan Minum Obat dan Kadar Gula Darah Puasa Pasien Diabetes Mellitus
di Desa Sidorahayu Kecamatan Wagir”. Saya mengerti dan memahami bahwa
penelitian ini tidak akan berakibat negatif terhadap saya, oleh karena itu saya bersedia
untuk menjadi pasien pa dada penelitian ini.
Malang,.......................2019
Pasien

(…………….. )
63

LAMPIRAN V
5. Lampiran Data Karakteristik Sampel
Tanggal
Tingkat
Lama Riwayat Lingkar Tekanan Pemeriksaan GDP
Usia Alamat Pendidikan Riwayat Riwayat Penyakit BB TB BMI Kepatuhan
No. Nama Pekerjaan Diabetes Keluarga Kategori Perut Darah (mg/dL)
(th) (Rt/Rw) Terakhir Merokok Lainnya (kg) (cm) (kg/m2)
Melitus DM (cm) (mmHg) post Pre Post
pre test
test test test
1 Ny. Tumini 80 10/02 Tidak Bekerja SD 12 th - - HT 42 146 19.7 Normal 84 110/70 GDP 109 124 3 1
2 Ny. Mesiah 67 11/2 Tidak Bekerja SD 1 th - - HT 50 149 22.5 Normal 87 140/90 lupa 271 3 2
3 Ny. Maini 55 22/6 IRT SLTA 5 th - - - 54 150 24.0 Normal 84 140/80 GDA 380 300 6 4

HT,
4 Ny. Patilah 66 6/1 Penjahit SR 11 th + - 51 147 23.6 Normal 98 140/90 GDP 206 138 1 0
Hiperkolesterolemia
Over
5 Tn. Senan 66 6/1 Tidak Bekerja SD 7 thn - + HT 65 155 27.1 99 140/90 GDA 179 216 3 1
weight
HT, Over
6 Ny. Sriamah 56 28/4 IRT SD 10 th + - 70 160 27.3 101 150/80 GDA 170 121 3 0
Hiirrkolesterolemia weight
Ny. Sri Over
7 60 28/4 IRT SD 3 bln + - - 63 157 25.6 99 140/80 GDP 224 115 3 2
Bawon weight
8 Ny. Yuliati 60 17/4 IRT SD 10 th - - - 50 155 20.8 Normal 89 100/80 GDP 270 271 2 0
9 Ny. Sumirah 62 17/4 IRT SD 7 th - - HT tidak terkontrol 59 159 23.3 Normal 94 150/80 GDP 130 176 1 0
Over
10 Ny. Suliatin 45 17/4 IRT SD 6 th + - - 75 160 29.3 102 140/90 GDP 69 112 0 0
weight
11 Ny. Sunatem 55 28/4 IRT SD 7 th - - Hiperuricemia 48 150 21.3 Normal 89 140/80 GDP 400 238 3 2
Pengupas Over
12 Ny. Minarsi 67 1/1 SD 11 th - - HT 57 150 25.3 94 120/80 GDP 260 94 1 0
Bawang weight
13 Tn. Sardi 54 9/1 Tidak Bekerja SD 15 th + + HT 55 165 20.2 Normal 83 150/100 GDP 375 264 3 0
Obes
14 Ny. Sutik 58 9/1 Buruh pabrik SD 3 th + - HT 77 150 34.2 102 130/90 lupa 97 2 1
grade 1
obese
15 Ny. Murti 58 12/3 Buruh pabrik SLTA 2 th - - HT 85 168 30.1 102,5 170/100 GDA 134 103 2 0
grade 1
64

16 Ny. Mujiati 65 4/1 Tidak Bekerja SD 1 th - - HT 66 150 29.3 overweight 107 150/90 GDA 150 278 2 1
Ny.
17 51 6/1 IRT SLTA 5 th - - HT tidak terkontrol 61 149 27.5 overweight 97 140/80 GDA 357 115 7 3
Khoiriyah
18 Ny. Paimah 74 8/1 Tidak Bekerja - 2 th - - HT 62 150 27.6 overweight 97 130/80 GDP 182 70 2 0
19 Ny. Suliati 56 2/1 Buruh pabrik SD 3 th - - Osteoporosis 67 150 29.8 overweight 113 120/80 GDP 105 97 4 2
rt 17, Over
20 Ny. Jumani 70 ART SD 2 bulan + - HT 60 153 25.6 87 160/90 GDP 210 244 0 0
rw 4 weight
rt 13, Over
21 Ny. Priati 62 IRT SMP 5 tahun + - HT 58 150 25.8 98 137/ 80 GDP 120 67 2 1
rw 4 weight
Ny. rt 28, Over
22 61 IRT SD 2 th + - HT 65 156 26.7 98 150/100 GDA 217 236 3 0
Suhariani rw 4 weight
rt 17/ tidak Under
23 Ny. Bawon 64 Penjahit 5 th - - HT 40 153 17.1 87 150/90 GDA 350 148 2 2
rw 3 sekolah Weight
rt 19, Tidak
24 Ny. Sariah 75 IRT 20 tahun - - HT tidak terkontrol 45 150 20.0 Normal 81 200/80 GDA 250 168 0 0
rw 4 sekolah
rt 19,
25 Ny.Lilikati 54 IRT SD 5 th - - - 53 150 23.6 Normal 81 140/80 GDA 240 284 0 0
rw 4
rt 12, Over
26 Ny. Sulastri 61 IRT SMP 1 th - - HT 60 150 26.7 101 150/90 GDP 175 156 4 3
rw 3 weight
Ny. rt 31, HT, Over
27 56 IRT SD 1 th + - 66 150 29.3 101 140/ 100 GDP 315 353 2 0
Chamamah rw 7 Hiperkolesterolemia weight
Ny. rt 2, rw karyawan Over
28 54 SD 2 bln - - HT, Gastritis 65 150 28.9 100 150/ 90 GDP 140 133 0 0
Turiningsih 1 swasta weight
rt 2, rw Over
29 Ny. Mujiati 63 IRT SMP 5 th - - PreHT 64 151 28.1 93 140/80 GDP 315 97 3 2
1 weight
30 Tn. Buari 61 27/ Tidak Bekerja SD 5 th - - HT 62 170 21.5 normal 91 150/90 lupa 156 1 0
Ny. Siti obese
31 64 3/1 Tidak Bekerja SPG 3 th - - - 84 150 37.3 115 130/80 GDP 165 199 2 0
Rukayah grade 2
65

LAMPIRAN VI
6. Lampiran Hasil Analisis Statistik
a. Uji Wilcoxon
b. Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

Pretest Tingkat Kepatuhan 31 1.74 .729 1 3


Posttest Tingkat Kepatuhan 31 2.55 .624 1 3

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks

Posttest Tingkat Kepatuhan Negative Ranks 0a .00 .00


- Pretest Tingkat Kepatuhan Positive Ranks 20b 10.50 210.00

Ties 11c

Total 31

a. Posttest Tingkat Kepatuhan < Pretest Tingkat Kepatuhan


b. Posttest Tingkat Kepatuhan > Pretest Tingkat Kepatuhan
c. Posttest Tingkat Kepatuhan = Pretest Tingkat Kepatuhan

Test Statisticsa

Posttest Tingkat
Kepatuhan -
Pretest Tingkat
Kepatuhan

Z -4.134b
Asymp. Sig. (2-tailed) .000

a. Wilcoxon Signed Ranks Test


b. Based on negative ranks.

b. Uji Fisher Exact


Tingkat Kepatuhan Setelah Penggunaan Jam Pintar * Kadar Gula Darah Puasa Crosstabulation
Count

Kadar Gula Darah Puasa

Diabetes Prediabetes Normal Total

Tingkat Kepatuhan Setelah Kepatuhan rendah 2 0 0 2


Penggunaan Jam Pintar Kepatuhan sedang 5 2 3 10

Kepatuhan tinggi 12 4 3 19
Total 19 6 6 31
66

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2-


Value df sided)

Pearson Chi-Square 2.223a 4 .695


Likelihood Ratio 2.854 4 .582
Linear-by-Linear Association .002 1 .963
N of Valid Cases 31

a. 7 cells (77,8%) have expected count less than 5. The minimum


expected count is ,39.
67

LAMPIRAN VII
Booklet Jam Pintar
68
69

LAMPIRAN VIII
Foto Kegiatan
a. Survey Penelitian

Gambar Survey Data Sampel Awal pada penderita Diabetes Melitus di Desa
Sidorahayu
70

b. Persamaan Persepsi antara Kepala Puskesmas dan Dokter Muda sebelum


terjun langsung intervensi

Persamaan persepsi tentang SOP KIE Intervensi dan Pemeriksaan Tekanan


Darah di Puskesmas Wagir
c. Pemberian intervensi booklet “Jam Pintar” dan pemberian obat

Pemberian edukasi terkait penjelasan isi buku, penggunaan jam pintar terhadap
waktu minum obat, dan pengisian lembar kontrol.
71

Pengisian lembar persetujuan pasien

Pemberian obat dan kantong obat.

Pengisian Kuesioner Tingkat Kepatuhan Minum Obat


72

d. Pengukuran Gula Darah Puasa dan pemberian obat

Pengecekan Kadar Gula Darah Puasa

Pengukuran Lingkar Perut

Anda mungkin juga menyukai