DISUSUN OLEH:
1
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu permasalahan kesehatan pada tahun 2018 saat ini sedang diperhatikan oleh
Pemerintah Nasional Indonesia yaitu masalah stunting. Stunting sendiri merupakan salah satu
masalah yang dapat menghambat perkembangan manusia secara global. Masalah stunting
sendiri merupakan masalah gizi kronis yang terjadi pada balita yang ditandai dengan tinggi
badan yang lebih pendek dibandingkan dengan anak seusia normal lainnya (Oktaviani et al,
2022). Anak yang menderita stunting tentu akan lebih rentan terhadap suatu penyakit dan
ketika dewasa beresiko untuk mengalami penyakit degeneratif. Dampak dari stunting itu
sendiri bukan hanya dapat mempengaruhi segi kesehatan tapi beresiko juga pada tingkat
Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022, angka stunting mengalami penurunan yang
di tahun 2021 sebesar 24,4% kini menjadi 21,6% (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2022).
World Health Organization (WHO) secara global mengemukakan bahwa, pada tahun
(2021) sebanyak 22% atau sebanyak 149,2 juta pada tahun 2020 di dunia mengalami
stunting. Di Asia sendiri, ditemukan data sebanyak 87 juta balita mengalami stunting, di
Afrika sebanyak 59 juta, Amerika Latin dan Karibia sebanyak 6 juta, Afrika Barat sendiri
sebanyak 31,4%, Afrika Tengah sebanyak 32,5%, Afrika Timur sebanyak 36,7%, dan Asia
Di Indonesia sendiri ternyata masih mengalami permasalahan terkait masalah gizi dan
tumbuh kembang yang terjadi pada anak. Indonesia termasuk dalam urutan ketiga dengan
2
prevalensi stunting di Indonesia mencapai 21,6% pada tahun 2022 angka ini turun sebanyak
2,8-point dari tahun sebelumnya. Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali menempati posisi
teratas dengan angka balita stunting sebesar 35,3%. Selanjutnya, Sulawesi Barat diperingkat
ke 2 dengan prevalensi balita stunting sebesar 35%. Lalu, papua barat dan Nusa Tenggara
Barat memiliki prevalensi balita stunting masing-masing sebesar 34,6% dan 32,7%.
Sedangkan angka prevalensi kejadian stunting yang paling terendah berada di provinsi Bali
sebesar 8%. Di provinsi Lampung sendiri angka kejadian stunting memiliki prevalensi
Faktor yang menyebabkan terjadinya masalah stunting antara lain adalah rendahnya akses
terhadap makanan bergizi, rendahnya asupan vitamin dan mineral, buruknya keragaman
pangan dan sumber protein hewan. Faktor ibu dan pola asuh yang kurang baik terutama pada
perilaku dan praktek pemberian asupan makanan yang kurang memperhatikan asupan gizi
terhadap anaknya itu juga menjadi penyebab anak mengalami stunting. Ibu yang masa
remajanya kurang akan nutrisi, bahkan di masa kehamilan, dan laktasi juga sangat
berpengaruh pada pertumbuhan tubuh maupun otak seorang anak. Selain itu, rendahnya akses
terhadap pelayanan termasuk sanitasi dan air bersih menjadi salah satu faktor yang sangat
mempengaruhi pertumbuhan anak. Faktor dari ibu sendiri yang dapat mempengaruhi antara
lain postur tubuh ibu (pendek), infeksi yang terjadi pada ibu, gangguan mental pada ibu, jarak
kehamilan yang terlalu dekat, kehamilan remaja, masalah hipertensi, serta asupan nutrisi yang
kurang pada masa kehamilan. Usia kehamilan ibu yang sangat terlalu muda (<20 tahun)
beresiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR). Bayi BBLR tentunya bisa
Prevalensi kejadian stunting di Indonesia pada tahun 2021 adalah sebanyak 24,4 % Balita.
Sedangkan persebaran stunting di kota Bandar Lampung pada tahun 2021 adalah sebanyak
18,5% Balita. Persebaran kejadian stunting terbanyak di Kota Bandar Lampung tahun 2021
3
pada urutan pertama adalah Puskesmas Kota Karang dengan jumlah kejadian stunting
sebanyak 25,2%, urutan kedua adalah Puskesmas Susunan Baru yang berjumlah 20,4% dan
urutan terbanyak ketiga adalah di puskesmas Way Laga yaitu sebanyak 17,5% Balita yang
mengalami kejadian stunting (Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung, 2021). Berdasarkan
hasil pra survey di wilayah kerja Puskesmas Kota Karang peneliti melakukan observasi dan
mendapatkan hasil bahwa banyak balita yang mengalami stunting dengan jumlah 164
kejadian stunting di Kota karang, 46 kejadian stunting di Kota karang Raya, dan 19 kejadian
stunting di Perwata.
Setelah dilakukan penyuluhan diharapkan orang tua anak dapat mengetahui dan
2) Indikator stunting
4) Ciri-Ciri stunting
5) Penyebab Stunting
6) Dampak stunting
4
BAB II
TINJAUAN TEORI
dan perkembangan yang dialami anak karena kekurangan nutrisi, terkena infeksi yang
berulang, dan kurang mendapat stimulasi psikososial (Kemendikbud, 2019). Stunting adalah
kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah lima tahun) akibat dari kekurangan gizi
Menurut Kementerian Kesehatan stunting adalah anak balita stunted apabila nilai z• skor
nya kurang dari -2SD (standar deviasi) dan severely stunted apabila kurang dari -3SD.
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis
terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) (Kementerian PPN, 2018). Stunting
atau sering disebut kerdil atau pendek adalah kondisi gagal tumbuh pada anak berusia di
bawah lima tahun (balita) akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang terutama pada
periode 1.000 HPK, yaitu dari janin hingga anak berusia 23 bulan (Kementerian
Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, 2018). Jadi stunting adalah
kondisi seorang anak yang lebih pendek dibanding anak tumbuh normal yang seumur, akibat
dari kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang yang berpengaruh terhadap perkembangan
Status gizi balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB).
Untuk memperoleh data berat badan dapat digunakan timbangan dacin ataupun timbangan
5
injak yang memiliki presisi 0, 1 kg. Timbangan dacin atau timbangan anak digunakan untuk
menimbang anak sampai umur 2 tahun atau selama anak masih bisa dibaringkan/duduk
tenang. Panjang badan diukur dengan length-board dengan presisi 0,1 cm dan tinggi badan
diukur dengan menggunakan microtoice sedengan presisi 0,1 cm. Variabel BB dan TB anak
ini dapat disajikan dalam bentuk tiga indikator anthropometry, yaitu: berat badan menurut
umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan
(BB/TB) (Majestika Septikasari, 2018). Sedangkan indikator dari stunting ada 2 yaitu:
2) Umur
1) Memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan
2) Misalnya: Kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan asupan makanan kurang dalam
Berdasarkan indikator tersebut, terdapat istilah terkait status gizi yang sering digunakan
(Kementerian Kesehatan RI, 2011) yaitu pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang
didasarkan pada indeks panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur
(TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted/pendek dan severely stunted/sangat pendek
skeletal. Dalam keadaan normal, pertumbuhan tinggi badan sejalan dengan pertambahan
umur. Tidak seperti berat badan, pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap
masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Sehingga pengaruh defisiensi zat gizi
6
terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama. Dengan demikian maka
indikator TB/U lebih tepat untuk menggambarkan pemenuhan gizi pada masa lampau
indikator TB/U sangat baik untuk melihat keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan
dengan keadaan berat badan lahir rendah dan kurang gizi pada masa balita. Selain itu
indikator TB/U juga berhubungan erat dengan status sosial ekonomi dimana indikator
tersebut dapat memberikan gambaran keadaan lingkungan yang tidak baik, kemiskinan serta
akibat perilaku tidak sehat yang bersifat menahun. Berikut ini merupakan klasifikasi status
Stunting terjadi karena anak mengalami malnutrisi kronis, sehingga ciri-ciri utamanya
anak terlihat lebih pendek dibanding dengan anak seusia nya dengan jenis kelamin yang
sama. Selain itu, anak juga akan terlihat lebih kurus. Sedangkan gejala klinis lain tidak
spesifik. Tetapi, apabila dilakukan pemeriksaan laboratorium mungkin saja anak mengalami
kekurangan (defisiensi) makro nutrien. Khususnya protein dan beberapa mikronutrien seperti
vitamin A, vitamin D, atau mineral seperti zat besi, zink, dll. Selain penjelasan di atas, anak-
anak yang mengalami stunting bisa dilihat dari beberapa ciri seperti berikut ini:
7
5) Anak tidak banyak melakukan kontak mata dengan orang di sekitarnya
Kekurangan gizi pada anak bukan hanya disebabkan oleh kurangnya asupan makanan
yang memadai dan bergizi tetapi karena seringnya sakit, praktik pola asuh yang kurang baik
dan kurang akses pelayanan kesehatan maupun sosial lainnya. Mengacu pada “The
PPN/Bappenas, 2018 bahwa penyebab stunting terdiri dari penyebab langsung, penyebab
1) Penyebab langsung masalah gizi pada anak termasuk stunting: Rendahnya atau
kurangnya asupan gizi dan status kesehatan, seperti penyakit terutama penyakit
infeksi klinis seperti infeksi pernafasan dan pencemaan (diare dan ISPA) TBC,
malaria, demam berdarah, dan HIV/AIDS (Kemendikbud, 2019). Penyakit infeksi ini
kurang bahkan jika terns berlangsung dalam waktu lama akan menyebabkan gizi
buruk, yang dapat mengurangi daya tahan tubuh anak sehingga mudah terserang
2) Penyebab tidak langsung masalah gizi pada anak termasuk stunting: Faktor yang
pola asuh, dan pola makan keluarga. Lingkungan pemukiman atau kesehatan
8
lingkungan untuk mempertahankan kesehatan fisik rumah seperti tersedianya sarana
air bersih dan sanitasi serta pengelolaan sampah. Dan akses terhadap pelayanan
3) Penyebab dasar masalah gizi pada anak termasuk stunting: Meliputi pendidikan,
(Trihono, 2015).
Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh faktor
gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Intervensi yang paling
menentukan untuk dapat mengurangi prevalensi stunting oleh karenanya perlu dilakukan
pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita. Beberapa faktor yang menjadi
2017):
2) Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC (Antenatal Care) dan
Dampak dari stunting terbagi menjadi dua, yaitu dampak jangka panjang dan dampak
jangka pendek.
1) Jangka Pendek
b) IQ rendah
9
2) Jangka Panjang
a) Perawakan pendek
d) Produktifitas menurun
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013-2018, pemberian nutrisi segera setelah lahir pada
anak di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Hal ini terlihat dari rata-rata bayi yang
memperoleh inisiasi menyusui dini sesuai rekomendasi WHO yakni ≥1 jam setelah lahir,
hanya sebanyak 15,9%. Padahal, dengan pemberian IMD bayi dapat memperoleh kolostrum,
yakni ASI yang kaya akan daya tahan tubuh, antibodi terhadap infeksi, pertumbuhan usus dan
asupan gizi yang penting untuk pertumbuhan anak (Permadi et al., 2017). Serta, dapat
menstimulasi ASI keluar dengan baik, dan membantu keberhasilan pemberian ASI eksklusif
Memasuki usia 0-6 bulan, pemberian nutrisi sebaiknya dilakukan dengan pemberian ASI
eksklusif. Indikasi eksklusif jika bayi hanya diberikan ASI tanpa suplementasi makanan
maupun minuman lain, baik berupa air putih, jus ataupun susu, kecuali obat, vitamin dan
mineral (Millennium challenge count [MAC] Indonesia, 2013; IDAI, 2015). Berdasarkan
literatur, pemberian ASI eksklusif dapat memenuhi kebutuhan asupan gizi bayi selama 6
bulan pertama, sampai mencapai tumbuh kembang yang optimal (IDAI, 2015). Sehingga,
pemenuhan nutrisi pada masa ini cukup hanya dengan ASI eksklusif. Namun, hal tersebut
sepertinya belum dianggap penting oleh sebagian besar masyarakat. Hal ini terlihat dari data
Riskesdas tahun 2013-2018. Dimana, hanya 21,2% bayi pada tahun 2013 yang memperoleh
ASI eksklusif, dan pada tahun 2018 menjadi 37,3%. Kondisi tersebut sangat memprihatinkan
10
dan merugikan bayi dan keluarga. Untuk itu, diperlukan upaya dalam meningkatkan hal
tersebut.
Selama 1000 hari pertama kehidupan anak, dimulai dari awal kehamilan hingga 2 tahun
setelah lahir sangat penting untuk memenuhi kebutuhan dasar agar tumbuh kembang optimal.
kebutuhan kasih sayang/emosi (asih) dan kebutuhan stimulasi (asuh.) Salah satu kebutuhan
asuh yang penting adalah nutrisi, terutama untuk anak usia sampai 2 tahun. Dua tahun
pertama kehidupan merupakan periode kritis/critical window, di fase ini anak harus mendapat
Pemenuhan nutrisi anak ini kemudian terbagi menjadi beberapa fase. Dimulai dari
pemberian ASI sampai usia 6 bulan. Dilanjutkan dengan ASI dan MP-ASI untuk anak usia 6-
12 bulan. Kemudian, ASI ditambah makanan keluarga untuk anak usia12-24 bulan.
Mencukupi kebutuhan anak dalam periode ini akan membentuk gizi baik dan tinggi badan
normal. Bunda bisa memberikan ikan laut dan daging, untuk memenuhi asupan asam lemak
esensial (DHA & ARA) yang mencukupi. Sedangkan untuk anak usia di bawah 1 tahun, lebih
dianjurkan agar diberikan makanan yang dibuat sendiri di rumah. Hindari memberikan MP-
ASI yang tidak jelas proses pembuatannya. Terutama terkait segi keamanan dan pemenuhan
zat gizi.
Apabila ingin memberikan makanan siap saji, harus dipastikan makanan tersebut terdaftar
di Kementerian Kesehatan atau Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pemberian
makanan selingan (snack) pada anak juga harus diperhatikan, Bunda. pemberian snack yang
kurang tepat dapat mengganggu waktu makan, sehingga asupan makanan anak menjadi
kurang. Snack sebaiknya diberikan hanya 2 kali sehari, di antara waktu makan. Artinya,
snack tidak boleh diberikan menjelang waktu makan. Selain itu, pastikan juga bahwa snack
memiliki nilai gizi yang baik. Untuk amanya lebih baik berikan buah, pudding, dan biskuit.
11
Apakah madu boleh diberikan pada anak? Boleh tapi untuk anak usia di atas 1 tahun, dan
Bunda yakin bahwa madu tersebut diproses melalui pembuatan yang higienis. Sehingga si
kecil aman dari pencemaran bakteri yang menyebabkan keracunan. Penting untuk diingat,
pola makan dapat menyebabkan terjadinya stunting. Praktik pemberian makan yang tidak
tepat, akan menyebabkan anak mengalami gagal tumbuh. Jadi, Bunda perlu juga memberikan
makan secara tepat waktu, pas dengan jumlah yang dibutuhkan anak, aman, dan higienis.
Selain itu, perhatikan juga sinyal lapar dan kenyang dari anak.
Wanita hamil yang mengalami stunted, berisiko melahirkan bayi yang stunted pula. Bayi
yang stunted akan menjadi anak balita yang stunted, dan balita yang stunted akan menjadi
anak usia sekolah yang stunted. Hingga akhirnya menjadi stunted pula. Oleh karena itu, orang
tua sengat berperan dalam pencegahan stunting sejak dalam kandungan. Caranya dengan
kontrol kehamilan secara teratur agar janin tumbuh kembang optimal. Setelah bayi lahir
dipantau tumbuh kembangnya, dengan mengukur setidaknya berat badan dan panjang badan
setiap bulan sampai usia 12 bulan. Selanjutnya pada usia 1-5 tahun berat badan dan panjang
badan diukur tiap 3 bulan sekali. Sedangkan pada usia sekolah/remaja diukur setiap 6-12
bulan. Apabila diketahui berat badan anak tidak naik untuk periode waktu tertentu, maka
penyebab dan dilakukan intervensi sesuai penyebabnya. (DR.Dr. Aryono Hendarto, SpA(K),
MPH).
12
BAB III
METODE PELAKSANAAN
3.1.1. Kegiatan
a) Kegiatan Awal
- Registrasi peserta
- Pembukaan
- Pre-test
b) Kegiatan Inti
- Pemaparan materi
c) Kegiatan Penutup
- Post-test
- Membuat RTL
- Penutupan
a) Ceramah
b) Diskusi
c) Tanya jawab
3.1.3. Media
a) Power point
b) Alat tulis
13
c) Media leaflet/poster
Acc dari dosen pembimbing maupun persetujuan dari lokasi yang ingin dijadikan
3.3. Kepanitiaan
Ketua :
Sekretaris :
Bendahara :
Sie. Acara :
Sie. Perlengkapan :
Sie. Humas :
Dokumentasi :
14
BAB IV
15
DAFTAR PUSTAKA
Adriani, M., Wirjatmadi B. (2014). Gizi dan kesehatan balita. Jakarta: Kencana.
Almatsier, S. (2001). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Anggryni, Meri, dkk 2021. Faktor Pemberian Nutrisi Masa Golden Age dengan Kejadian
Bappenas dan TNP2K. (2018). Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Anak Kerdil
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2012.
Dinas kesehatan kabupaten pringsewu (2019) Profil Kesehatan Provinsi Lampung Tahun
Espo M., T, Kulmala, K. Maleta, T. Cullinan, M-L Salin, P Ashorn. 2002. Determinants of
linear growth and predictors of severe stunting during infancy in rural Malawi. Acta
Fikawati,S., Syafiq, A., Karima.,K. (2015). Gizi ibu dan bayi. Jakarta: PT Grafindo Persada.
Kemenkes. (2019). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017. Jakarta: Kementerian Kesehatan
RI.
Kementerian Kesehatan RI. (2017). Levels and Trends in Child Malnutrition. Geneva.
https://data.unicef.org-JME-2017-brochure.
16
World Health Organization. (2010). Nutrition Landscape Information System (NLIS)
WHO Document Production Services Geneva, Switzerland. (2014). Global Nutrition Targets
17