Anda di halaman 1dari 17

PROPOSAL

KEGIATAN PENDIDIKAN DAN PENYULUHAN TENTANG PENCEGAHAN


KEJADIAN STUNTING DI WILAYAH KOTA BANDAR LAMPUNG

DISUSUN OLEH:

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2023

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu permasalahan kesehatan pada tahun 2018 saat ini sedang diperhatikan oleh

Pemerintah Nasional Indonesia yaitu masalah stunting. Stunting sendiri merupakan salah satu

masalah yang dapat menghambat perkembangan manusia secara global. Masalah stunting

sendiri merupakan masalah gizi kronis yang terjadi pada balita yang ditandai dengan tinggi

badan yang lebih pendek dibandingkan dengan anak seusia normal lainnya (Oktaviani et al,

2022). Anak yang menderita stunting tentu akan lebih rentan terhadap suatu penyakit dan

ketika dewasa beresiko untuk mengalami penyakit degeneratif. Dampak dari stunting itu

sendiri bukan hanya dapat mempengaruhi segi kesehatan tapi beresiko juga pada tingkat

kecerdasan anak. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, berdasarkan hasil

Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022, angka stunting mengalami penurunan yang

di tahun 2021 sebesar 24,4% kini menjadi 21,6% (Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia, 2022).

World Health Organization (WHO) secara global mengemukakan bahwa, pada tahun

(2021) sebanyak 22% atau sebanyak 149,2 juta pada tahun 2020 di dunia mengalami

stunting. Di Asia sendiri, ditemukan data sebanyak 87 juta balita mengalami stunting, di

Afrika sebanyak 59 juta, Amerika Latin dan Karibia sebanyak 6 juta, Afrika Barat sendiri

sebanyak 31,4%, Afrika Tengah sebanyak 32,5%, Afrika Timur sebanyak 36,7%, dan Asia

Selatan sebanyak 34,1% (World Health Organization, 2021).

Di Indonesia sendiri ternyata masih mengalami permasalahan terkait masalah gizi dan

tumbuh kembang yang terjadi pada anak. Indonesia termasuk dalam urutan ketiga dengan

prevalensi tertinggi angka stunting di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional

(SEAR). Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan,

2
prevalensi stunting di Indonesia mencapai 21,6% pada tahun 2022 angka ini turun sebanyak

2,8-point dari tahun sebelumnya. Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali menempati posisi

teratas dengan angka balita stunting sebesar 35,3%. Selanjutnya, Sulawesi Barat diperingkat

ke 2 dengan prevalensi balita stunting sebesar 35%. Lalu, papua barat dan Nusa Tenggara

Barat memiliki prevalensi balita stunting masing-masing sebesar 34,6% dan 32,7%.

Sedangkan angka prevalensi kejadian stunting yang paling terendah berada di provinsi Bali

sebesar 8%. Di provinsi Lampung sendiri angka kejadian stunting memiliki prevalensi

sebesar 15,2% (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2023).

Faktor yang menyebabkan terjadinya masalah stunting antara lain adalah rendahnya akses

terhadap makanan bergizi, rendahnya asupan vitamin dan mineral, buruknya keragaman

pangan dan sumber protein hewan. Faktor ibu dan pola asuh yang kurang baik terutama pada

perilaku dan praktek pemberian asupan makanan yang kurang memperhatikan asupan gizi

terhadap anaknya itu juga menjadi penyebab anak mengalami stunting. Ibu yang masa

remajanya kurang akan nutrisi, bahkan di masa kehamilan, dan laktasi juga sangat

berpengaruh pada pertumbuhan tubuh maupun otak seorang anak. Selain itu, rendahnya akses

terhadap pelayanan termasuk sanitasi dan air bersih menjadi salah satu faktor yang sangat

mempengaruhi pertumbuhan anak. Faktor dari ibu sendiri yang dapat mempengaruhi antara

lain postur tubuh ibu (pendek), infeksi yang terjadi pada ibu, gangguan mental pada ibu, jarak

kehamilan yang terlalu dekat, kehamilan remaja, masalah hipertensi, serta asupan nutrisi yang

kurang pada masa kehamilan. Usia kehamilan ibu yang sangat terlalu muda (<20 tahun)

beresiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR). Bayi BBLR tentunya bisa

mempengaruhi sekitar 20% dengan kejadian stunting (Saputri, 2019).

Prevalensi kejadian stunting di Indonesia pada tahun 2021 adalah sebanyak 24,4 % Balita.

Sedangkan persebaran stunting di kota Bandar Lampung pada tahun 2021 adalah sebanyak

18,5% Balita. Persebaran kejadian stunting terbanyak di Kota Bandar Lampung tahun 2021

3
pada urutan pertama adalah Puskesmas Kota Karang dengan jumlah kejadian stunting

sebanyak 25,2%, urutan kedua adalah Puskesmas Susunan Baru yang berjumlah 20,4% dan

urutan terbanyak ketiga adalah di puskesmas Way Laga yaitu sebanyak 17,5% Balita yang

mengalami kejadian stunting (Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung, 2021). Berdasarkan

hasil pra survey di wilayah kerja Puskesmas Kota Karang peneliti melakukan observasi dan

mendapatkan hasil bahwa banyak balita yang mengalami stunting dengan jumlah 164

kejadian stunting di Kota karang, 46 kejadian stunting di Kota karang Raya, dan 19 kejadian

stunting di Perwata.

1.2. Tujuan Kegiatan

1.2.1. Tujuan Umum

Setelah dilakukan penyuluhan diharapkan orang tua anak dapat mengetahui dan

memahami bagaimana mencegah stunting.

1.2.2. Tujuan Khusus

Setelah dilakukan penyuluhan kesehatan diharapkan orangtua mampu mengerti tentang:

1) Definisi dari masalah stunting

2) Indikator stunting

3) Diagnosa dan Klasifikasi stunting

4) Ciri-Ciri stunting

5) Penyebab Stunting

6) Dampak stunting

7) Cara mencegah stunting

4
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1. Definisi Stunting

Menurut World Health Organization (WHO) stunting adalah kegagalan pertumbuhan

dan perkembangan yang dialami anak karena kekurangan nutrisi, terkena infeksi yang

berulang, dan kurang mendapat stimulasi psikososial (Kemendikbud, 2019). Stunting adalah

kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah lima tahun) akibat dari kekurangan gizi

kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya (Setiawan, 2018).

Menurut Kementerian Kesehatan stunting adalah anak balita stunted apabila nilai z• skor

nya kurang dari -2SD (standar deviasi) dan severely stunted apabila kurang dari -3SD.

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis

terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) (Kementerian PPN, 2018). Stunting

atau sering disebut kerdil atau pendek adalah kondisi gagal tumbuh pada anak berusia di

bawah lima tahun (balita) akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang terutama pada

periode 1.000 HPK, yaitu dari janin hingga anak berusia 23 bulan (Kementerian

Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, 2018). Jadi stunting adalah

kondisi seorang anak yang lebih pendek dibanding anak tumbuh normal yang seumur, akibat

dari kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang yang berpengaruh terhadap perkembangan

dan pertumbuhan anak balita.

2.2. Indikator Stunting

Status gizi balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB).

Untuk memperoleh data berat badan dapat digunakan timbangan dacin ataupun timbangan

5
injak yang memiliki presisi 0, 1 kg. Timbangan dacin atau timbangan anak digunakan untuk

menimbang anak sampai umur 2 tahun atau selama anak masih bisa dibaringkan/duduk

tenang. Panjang badan diukur dengan length-board dengan presisi 0,1 cm dan tinggi badan

diukur dengan menggunakan microtoice sedengan presisi 0,1 cm. Variabel BB dan TB anak

ini dapat disajikan dalam bentuk tiga indikator anthropometry, yaitu: berat badan menurut

umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan

(BB/TB) (Majestika Septikasari, 2018). Sedangkan indikator dari stunting ada 2 yaitu:

1) Tinggi Badan (TB) atau Panjang Badan (PB)

2) Umur

Sifat indikator indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) yaitu:

1) Memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan

yang berlangsung lama.

2) Misalnya: Kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan asupan makanan kurang dalam

waktu yang lama sehingga mengakibatkan anak menjadi pendek.

Berdasarkan indikator tersebut, terdapat istilah terkait status gizi yang sering digunakan

(Kementerian Kesehatan RI, 2011) yaitu pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang

didasarkan pada indeks panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur

(TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted/pendek dan severely stunted/sangat pendek

(Majestics Septikasari, 2018).

2.3. Diagnosa dan Klasifikasi Stunting

Tinggi badan merupakan anthropometry yang menggambarkan keadaan pertumbuhan

skeletal. Dalam keadaan normal, pertumbuhan tinggi badan sejalan dengan pertambahan

umur. Tidak seperti berat badan, pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap

masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Sehingga pengaruh defisiensi zat gizi

6
terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama. Dengan demikian maka

indikator TB/U lebih tepat untuk menggambarkan pemenuhan gizi pada masa lampau

indikator TB/U sangat baik untuk melihat keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan

dengan keadaan berat badan lahir rendah dan kurang gizi pada masa balita. Selain itu

indikator TB/U juga berhubungan erat dengan status sosial ekonomi dimana indikator

tersebut dapat memberikan gambaran keadaan lingkungan yang tidak baik, kemiskinan serta

akibat perilaku tidak sehat yang bersifat menahun. Berikut ini merupakan klasifikasi status

gizi berdasarkan indikator TB/U:

1) Sangat Pendek : z-score <-3,0

2) Pendek : z-score -3,0 s/d Z-score <-2,0

3) Normal : z-score -2,0

4) Tinggi : z-score > 2,0

2.4. Ciri-Ciri Stunting

Stunting terjadi karena anak mengalami malnutrisi kronis, sehingga ciri-ciri utamanya

anak terlihat lebih pendek dibanding dengan anak seusia nya dengan jenis kelamin yang

sama. Selain itu, anak juga akan terlihat lebih kurus. Sedangkan gejala klinis lain tidak

spesifik. Tetapi, apabila dilakukan pemeriksaan laboratorium mungkin saja anak mengalami

kekurangan (defisiensi) makro nutrien. Khususnya protein dan beberapa mikronutrien seperti

vitamin A, vitamin D, atau mineral seperti zat besi, zink, dll. Selain penjelasan di atas, anak-

anak yang mengalami stunting bisa dilihat dari beberapa ciri seperti berikut ini:

1) Tanda pubertas terlambat

2) Kemampuannya buruk dalam menyerap pelajaran

3) Pertumbuhan gigi terlambat

4) Anak menjadi lebih pendiam

7
5) Anak tidak banyak melakukan kontak mata dengan orang di sekitarnya

6) Wajah anak lebih muda dari usianya

7) Pertumbuhan tinggi terhambat

2.5. Penyebab Stunting

Kekurangan gizi pada anak bukan hanya disebabkan oleh kurangnya asupan makanan

yang memadai dan bergizi tetapi karena seringnya sakit, praktik pola asuh yang kurang baik

dan kurang akses pelayanan kesehatan maupun sosial lainnya. Mengacu pada “The

Conceptual Framework of Determinan of Child Undernutrition" dalam Kementerian

PPN/Bappenas, 2018 bahwa penyebab stunting terdiri dari penyebab langsung, penyebab

tidak langsung dan penyebab dasar, sebagai berikut:

1) Penyebab langsung masalah gizi pada anak termasuk stunting: Rendahnya atau

kurangnya asupan gizi dan status kesehatan, seperti penyakit terutama penyakit

infeksi klinis seperti infeksi pernafasan dan pencemaan (diare dan ISPA) TBC,

malaria, demam berdarah, dan HIV/AIDS (Kemendikbud, 2019). Penyakit infeksi ini

mengakibatkan terganggunya penyerapan asupan zat gizi sehingga terjadilah gizi

kurang bahkan jika terns berlangsung dalam waktu lama akan menyebabkan gizi

buruk, yang dapat mengurangi daya tahan tubuh anak sehingga mudah terserang

penyakit (Trihono, 2015).

2) Penyebab tidak langsung masalah gizi pada anak termasuk stunting: Faktor yang

berhubungan dengan ketahanan pangan khususnya akses terhadap pangan bergizi

untuk mempertahankan ketahanan fisik keluarga dan ketahanan ekonomi seperti

ketersediaan, keterjangkauan, dan akses pangan bergizi. Lingkungan sosial untuk

mempertahankan keutuhan keluarga dan ketahanan sosio psikologi seperti norma,

pola asuh, dan pola makan keluarga. Lingkungan pemukiman atau kesehatan

8
lingkungan untuk mempertahankan kesehatan fisik rumah seperti tersedianya sarana

air bersih dan sanitasi serta pengelolaan sampah. Dan akses terhadap pelayanan

kesehatan untuk pencegahan dan pengobatan (Kementerian PPN/Bappenas, 2018).

3) Penyebab dasar masalah gizi pada anak termasuk stunting: Meliputi pendidikan,

kemiskinan, disparitas, sosial budaya, kebijakan pemerintah, politik dan lain-lain

(Trihono, 2015).

Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh faktor

gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Intervensi yang paling

menentukan untuk dapat mengurangi prevalensi stunting oleh karenanya perlu dilakukan

pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita. Beberapa faktor yang menjadi

penyebab stunting sebagai berikut (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan,

2017):

1) Praktik pengasuhan yang kurang baik

2) Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC (Antenatal Care) dan

PNC (Post Natal Care)

3) Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi

4) Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi

2.6. Dampak Stunting

Dampak dari stunting terbagi menjadi dua, yaitu dampak jangka panjang dan dampak

jangka pendek.

1) Jangka Pendek

a) Gangguan tumbuh kembang otak

b) IQ rendah

c) Gangguan sistem imun

9
2) Jangka Panjang

a) Perawakan pendek

b) Resiko penyakit diabetes dan kanker meningkat

c) Kematian usia muda

d) Produktifitas menurun

2.7. Cara Mencegah Stunting

Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013-2018, pemberian nutrisi segera setelah lahir pada

anak di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Hal ini terlihat dari rata-rata bayi yang

memperoleh inisiasi menyusui dini sesuai rekomendasi WHO yakni ≥1 jam setelah lahir,

hanya sebanyak 15,9%. Padahal, dengan pemberian IMD bayi dapat memperoleh kolostrum,

yakni ASI yang kaya akan daya tahan tubuh, antibodi terhadap infeksi, pertumbuhan usus dan

asupan gizi yang penting untuk pertumbuhan anak (Permadi et al., 2017). Serta, dapat

menstimulasi ASI keluar dengan baik, dan membantu keberhasilan pemberian ASI eksklusif

(Priluana & Fikawati, 2018).

Memasuki usia 0-6 bulan, pemberian nutrisi sebaiknya dilakukan dengan pemberian ASI

eksklusif. Indikasi eksklusif jika bayi hanya diberikan ASI tanpa suplementasi makanan

maupun minuman lain, baik berupa air putih, jus ataupun susu, kecuali obat, vitamin dan

mineral (Millennium challenge count [MAC] Indonesia, 2013; IDAI, 2015). Berdasarkan

literatur, pemberian ASI eksklusif dapat memenuhi kebutuhan asupan gizi bayi selama 6

bulan pertama, sampai mencapai tumbuh kembang yang optimal (IDAI, 2015). Sehingga,

pemenuhan nutrisi pada masa ini cukup hanya dengan ASI eksklusif. Namun, hal tersebut

sepertinya belum dianggap penting oleh sebagian besar masyarakat. Hal ini terlihat dari data

Riskesdas tahun 2013-2018. Dimana, hanya 21,2% bayi pada tahun 2013 yang memperoleh

ASI eksklusif, dan pada tahun 2018 menjadi 37,3%. Kondisi tersebut sangat memprihatinkan

10
dan merugikan bayi dan keluarga. Untuk itu, diperlukan upaya dalam meningkatkan hal

tersebut.

Selama 1000 hari pertama kehidupan anak, dimulai dari awal kehamilan hingga 2 tahun

setelah lahir sangat penting untuk memenuhi kebutuhan dasar agar tumbuh kembang optimal.

Kebutuhan dasar dikelompokkan menjadi 3 golongan yaitu kebutuhan fisis-biomedis (asuh),

kebutuhan kasih sayang/emosi (asih) dan kebutuhan stimulasi (asuh.) Salah satu kebutuhan

asuh yang penting adalah nutrisi, terutama untuk anak usia sampai 2 tahun. Dua tahun

pertama kehidupan merupakan periode kritis/critical window, di fase ini anak harus mendapat

asupan makanan dengan gizi optimal.

Pemenuhan nutrisi anak ini kemudian terbagi menjadi beberapa fase. Dimulai dari

pemberian ASI sampai usia 6 bulan. Dilanjutkan dengan ASI dan MP-ASI untuk anak usia 6-

12 bulan. Kemudian, ASI ditambah makanan keluarga untuk anak usia12-24 bulan.

Mencukupi kebutuhan anak dalam periode ini akan membentuk gizi baik dan tinggi badan

normal. Bunda bisa memberikan ikan laut dan daging, untuk memenuhi asupan asam lemak

esensial (DHA & ARA) yang mencukupi. Sedangkan untuk anak usia di bawah 1 tahun, lebih

dianjurkan agar diberikan makanan yang dibuat sendiri di rumah. Hindari memberikan MP-

ASI yang tidak jelas proses pembuatannya. Terutama terkait segi keamanan dan pemenuhan

zat gizi.

Apabila ingin memberikan makanan siap saji, harus dipastikan makanan tersebut terdaftar

di Kementerian Kesehatan atau Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pemberian

makanan selingan (snack) pada anak juga harus diperhatikan, Bunda. pemberian snack yang

kurang tepat dapat mengganggu waktu makan, sehingga asupan makanan anak menjadi

kurang. Snack sebaiknya diberikan hanya 2 kali sehari, di antara waktu makan. Artinya,

snack tidak boleh diberikan menjelang waktu makan. Selain itu, pastikan juga bahwa snack

memiliki nilai gizi yang baik. Untuk amanya lebih baik berikan buah, pudding, dan biskuit.

11
Apakah madu boleh diberikan pada anak? Boleh tapi untuk anak usia di atas 1 tahun, dan

Bunda yakin bahwa madu tersebut diproses melalui pembuatan yang higienis. Sehingga si

kecil aman dari pencemaran bakteri yang menyebabkan keracunan. Penting untuk diingat,

pola makan dapat menyebabkan terjadinya stunting. Praktik pemberian makan yang tidak

tepat, akan menyebabkan anak mengalami gagal tumbuh. Jadi, Bunda perlu juga memberikan

makan secara tepat waktu, pas dengan jumlah yang dibutuhkan anak, aman, dan higienis.

Selain itu, perhatikan juga sinyal lapar dan kenyang dari anak.

2.8. Peran Orang Tua dalam Mencegah Stunting

Wanita hamil yang mengalami stunted, berisiko melahirkan bayi yang stunted pula. Bayi

yang stunted akan menjadi anak balita yang stunted, dan balita yang stunted akan menjadi

anak usia sekolah yang stunted. Hingga akhirnya menjadi stunted pula. Oleh karena itu, orang

tua sengat berperan dalam pencegahan stunting sejak dalam kandungan. Caranya dengan

kontrol kehamilan secara teratur agar janin tumbuh kembang optimal. Setelah bayi lahir

dipantau tumbuh kembangnya, dengan mengukur setidaknya berat badan dan panjang badan

setiap bulan sampai usia 12 bulan. Selanjutnya pada usia 1-5 tahun berat badan dan panjang

badan diukur tiap 3 bulan sekali. Sedangkan pada usia sekolah/remaja diukur setiap 6-12

bulan. Apabila diketahui berat badan anak tidak naik untuk periode waktu tertentu, maka

sebaiknya bayi/anak dibawa ke fasilitas kesehatan/dokter untuk diidentifikasi faktor

penyebab dan dilakukan intervensi sesuai penyebabnya. (DR.Dr. Aryono Hendarto, SpA(K),

MPH).

12
BAB III

METODE PELAKSANAAN

3.1. Metode Pelaksanaan

3.1.1. Kegiatan

Strategi atau langkah pelaksanaan kegiatan yaitu:

a) Kegiatan Awal

- Registrasi peserta

- Pembukaan

- Penjelasan tujuan diadakannya pendidikan dan penyuluhan

- Pre-test

b) Kegiatan Inti

- Pemaparan materi

- Diskusi dan sesi tanya jawab

c) Kegiatan Penutup

- Post-test

- Membuat RTL

- Penutupan

3.1.2. Metode Penyuluhan

a) Ceramah

b) Diskusi

c) Tanya jawab

3.1.3. Media

a) Power point

b) Alat tulis

13
c) Media leaflet/poster

3.2. Waktu dan Pelaksanaan

3.2.1. Tempat Pelaksanaan

Pelaksanaan penyuluhan akan dilakukan di wilayah Kota Karang Bandar Lampung

3.2.2. Waktu Pelaksanaan

Waktu pelaksanaan akan dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dan mendapat

Acc dari dosen pembimbing maupun persetujuan dari lokasi yang ingin dijadikan

sebagai tempat penyuluhan.

3.3. Kepanitiaan

Ketua :

Sekretaris :

Bendahara :

Sie. Acara :

Sie. Perlengkapan :

Sie. Humas :

Dokumentasi :

14
BAB IV

BIAYA DAN JADWAL KEGIATAN

4.1. Anggaran Biaya

Jenis Jumlah Harga Total

Proposal dan Surat - Rp. 50.000 Rp. 50.000

Banner 1 barang Rp. 100.000 Rp. 100.000

Leaflet 30 Lembar Rp. 45.000 Rp. 45.000

Gift/Hadiah Peserta 10 peserta Rp. 15.000 Rp. 150.000


Konsumsi Peserta 30 peserta Rp. 10.000 Rp. 300.000

Biaya Tak Terduga - - Rp. 100.000

Total Rp. 745.000

4.2. Jadwal Kegiatan

Waktu Acara Penanggung Jawab


07.00-08.00 Persiapan Panitia Ketua Panitia
08.00-08.20 Pembukaan dan Salam Seksi Acara
Pembuka
08.20-08.30 Sambutan I Perwakilan Mahasiswa/i
08.30-08.40 Sambutan II Penanggung jawab atau
perwakilan di Lokasi
Penyuluhan
08.40-10.00 Penyampaian Materi dan Seksi Seksi Acara
Tanya Jawab
10.00-10.15 Games/Kuis Seluruh Panitia
10.15-10.25 Pemberian Cendera Mata 1. Seksi Acara
2. Seksi Dokumentasi
3. Seksi Perlengkapan
10.25-10.40 Penutupan dan Dokumentasi Seksi Dokumentasi

15
DAFTAR PUSTAKA

Adriani, M., Wirjatmadi B. (2014). Gizi dan kesehatan balita. Jakarta: Kencana.

Almatsier, S. (2001). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Anggryni, Meri, dkk 2021. Faktor Pemberian Nutrisi Masa Golden Age dengan Kejadian

Stunting pada balita di Negara Berkembang. Jurnal keperawatan Anak Universitas

Padjajaran. Jurnal Keperawatan Anak Universitas Padjajaran

Bappenas dan TNP2K. (2018). Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Anak Kerdil

(Stunting) Periode 2018-2024. www.tnp2k.go.id.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2012.

Jakarta: Kemenkes RI.

Dinas kesehatan kabupaten pringsewu (2019) Profil Kesehatan Provinsi Lampung Tahun

2019. Bandar Lampung: Dinas Kesehatan Provinsi Lampung.

Espo M., T, Kulmala, K. Maleta, T. Cullinan, M-L Salin, P Ashorn. 2002. Determinants of

linear growth and predictors of severe stunting during infancy in rural Malawi. Acta

Paediatr, 91: 1364-1370

Fikawati,S., Syafiq, A., Karima.,K. (2015). Gizi ibu dan bayi. Jakarta: PT Grafindo Persada.

Kemenkes (2016). Situasi Balita Pendek 2016. Jakarta: Kementerian Kesehatan.

Kemenkes. (2019). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017. Jakarta: Kementerian Kesehatan

RI.

UNICEF. (2012). Ringkasan Kajian Gizi. Jakarta: Pusat Promosi Kesehatan

Kementerian Kesehatan RI. (2017). Levels and Trends in Child Malnutrition. Geneva.

https://data.unicef.org-JME-2017-brochure.

16
World Health Organization. (2010). Nutrition Landscape Information System (NLIS)

Country Profile: Indicators Interpretation Guide.

WHO Document Production Services Geneva, Switzerland. (2014). Global Nutrition Targets

202 5: Stunting Policy Brief.

17

Anda mungkin juga menyukai