Anda di halaman 1dari 6

KERANGKA ACUAN

PROGRAM KEGIATAN PENURUNAN STUNTING


UPTD PUSKESMAS CILEGON TAHUN 2022

I. PENDAHULUAN
Masalah gizi pada hakikatnya adalah masalah kesehatan masyarakat,
tetapi penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis
dan pelayanan kesehatan saja. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah
multifaktor, karena itu pendekatan penanggulangannya harus melibatkan lintas
sektor dan lintas program yang terkait. Faktor penyebab masalah gizi lainnya
yaitu masalah kemiskinan, pemerataan, sosial, budaya, pola asuh keluarga dan
masalah kesempatan kerja (Supariasa et al, 2017). Masalah gizi di Indonesia di
negara berkembang pada umumnya masih didominasi oleh masalah Kurang
Energi Protein (KEP), masalah Anemia Besi, masalah Gangguan Akibat
Kekurangan Iodium (GAKI), masalah Kurang Vitamin A (KVA), dan masalah
obesitas terutama di kota-kota besar (Supariasa et al, 2017). Saat ini Indonesia
menghadapi masalah beban gizi ganda yang ditunjukkan dengan masih
tingginya masalah gizi kurang (19,6%) dan stunting (37,2%) serta semakin
meningkatnya masalah kegemukan pada Balita sebesar 11,8%. Kedua masalah
gizi tersebut erat kaitannya dengan masalah gizi dan kesehatan ibu hamil dan
menyusui, bayi baru lahir dan anak usia di bawah dua tahun (Baduta). Hal
tersebut dapat terlihat dari tingginya masalah kurang gizi pada masa pra hamil
yang ditandai tingginya prevalensi anemia pada remaja dan Wanita Usia Subur
(WUS) masing-masing sebesar 22,7% dan 37,1%, dan prevalensi Kurang
Energi Kronis (KEK) pada WUS dan ibu hamil sebesar 20,8% dan 24,2%.
Keadaan ini tentunya akan memberikan kontribusi terhadap terjadinya
gangguan gizi pada masa pre natal yang ditandai dengan tingginya angka
prevalensi bayi BBLR (<2500 gram) sebesar 10,2% dan bayi lahir pendek (<48
cm) sebesar 20,2% (Balitbangkes, 2013).
Kekurangan gizi yang terjadi pada masa kehamilan dan masa usia dini
maka dalam jangka pendek akan berpengaruh terhadap terjadinya: 1)
gangguan perkembangan sel-sel otak; 2) gangguan pertumbuhan fisik berupa
IUGR dan BBLR; 3) terganggunya proses metabolik dari berbagai komponen
seperti glukosa, lemak, protein, hormon, gen dan reseptor. Selanjutnya dalam
jangka panjang, ketiga gangguan tersebut secara paralel, masing-masing dapat
mengakibatkan :1) rendahnya kemampuan kognitif; 2) risiko tetap stunting pada
periode umur selanjutnya; serta 3) meningkatkan risiko untuk menderita
penyakit kronis pada usia dewasa, seperti hipertensi, DM, jantung coroner, dan
obesitas. Dampak yang ditimbulkan tersebut bersifat permanen dan tidak dapat
diperbaiki pada periode umur selanjutnya sehingga akan berpengaruh terhadap
rendahnya kualitas hidup manusia Indonesia (Rajagopalan, 2003).
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak usia di bawah lima tahun
(balita) akibat kekurangan gizi kronis, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial
yang tidak memadai terutama dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK),
yaitu dari janin hingga anak berusia dua tahun. Anak tergolong stunting apabila
panjang atau tinggi badannya berada di bawah minus dua standar deviasi
panjang atau tinggi anak seumurnya (Kementerian Kesehatan, 2018). Stunting
dan kekurangan gizi lainnya yang terjadi pada 1.000 HPK, disamping berisiko
menghambat pertumbuhan fisik dan rentan terhadap penyakit, juga
menghambat perkembangan kognitif yang akan berpengaruh pada tingkat
kecerdasan dan produktivitas anak di masa depan. Kondisi ini diperkirakan
dapat menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar 3 persen per tahun
(World Bank, 2014). Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, 37,2%
atau sekitar 9 juta balita menderita stunting.
Stunting menggambarkan status gizi kurang yang bersifat kronik pada
masa pertumbuhan dan perkembangan sejak awal kehidupan. Keadaan ini
dipresentasikan dengan nilai z-score tinggi badan menurut umur (TB/U) kurang
dari -2 standar deviasi (SD) berdasarkan standar pertumbuhan menurut WHO
(WHO, 2010). Secara global, sekitar 1 dari 4 balita mengalami stunting
(UNICEF, 2013). Anak dapat dikatakan sangat pendek (severely stunted) jika
tinggi atau panjang badan kurang dari 3 kali standar deviasi (<-3 SD)
sedangkan anak dikatakan pendek (stunted) apabila tinggi atau panjang
badannya -3 SD sampai dengan – 2 SD 2 . Prevalensi stunting meningkat dari
27,5% (2016) menjadi 29,6% (2017) . Menurut data Riskesdas (2018) yang
menunjukkan bahwa prevalensi balita pendek mengalami peningkatan dari
19,2% tahun 2013 menjadi 19,3% pada tahun 2018 sedangkan balita sangat
pendek mengalami penurunan dari 18% pada tahun 2013 menjadi 11,5% pada
tahun 2018. Kejadian stunting di Indonesia yang masih tinggi tersebar di
beberapa kota di seluruh provinsi di Indonesia salah satunya di Provinsi Banten
dengan prevalensi stunting 29,6%. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
menetapkan 160 kabupaten/kota yang menjadi prioritas penanganan stunting.
Dalam rangka percepatan penurunan masalah kurang gizi, pemerintah
telah mengeluarkan berbagai kebijakan antara lain dengan diterbitkannya
Peraturan Presiden no 42 tahun 2013 yang berisi tentang upaya bersama
antara pemerintah dan masyarakat melalui penggalangan partisipasi dan
kepedulian pemangku kepentingan secara terencana dan terkoordinasi dalam
rangka percepatan perbaikan gizi masyarakat melalui Gerakan 1000 hari
pertama kehidupan (1000 HPK) dan berbagai kebijakan dan program di
Kementerian lain di luar Kesehatan, seperti di Kementerian Pertanian dan
Kementerian terkait lainnya. Adapun prinsip dari Gerakan 1000 HPK tersebut
adalah bagaimana upaya yang harus dilakukan agar dalam 1000 HPK yaitu
sejak masa 9 bulan kehamilan (270 hari) dan masa 2 tahun setelah lahir (730
hari) tersebut tidak terjadi kekurangan gizi (Kemenkumham, 2013).
Dampak buruk stunting dalam jangka pendek adalah terganggunya
perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan
metabolisme tubuh (Kementerian Kesehatan, Pemerintah RI, 2016). Selain itu,
dampak jangka panjangnya adalah anak dengan stunting akan tumbuh dengan
risiko tinggi menderita obesitas, diabetes, penyakit jantung dan pembuluh
darah, kanker, stroke, disabilitas pada usia tua, menurunnya kemampuan
kognitif dan prestasi belajar, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif dan
berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomi (Kementerian Kesehatan,
Pemerintah RI, 2016).
Menurut Riskesdas Tahun 2018 balita stunting di provinsi banten mencapai
30,8%. Balita Stunting dapat diketahui melalui EPPBGM (TB/U). untuk
mengetahui status gizi balita dibutuhkan sisitem pencatatan dan pelaporan
yang akurat dan menggambarkan tiap individu. Sistem informasi gizi terpadu
(Sigizi Terpadu) merupakan bagian besar dari sistem yang digunakan untuk
mencatat dan melaporkan data gizi baik data sasaran tiap individu, status gizi,
cakupan kinerja dan juga data PMT yang bersumber dari APBN maupun dari
APBD. Dengan adanya EPPBGM, pemantauan status gizi anak terutama
stunting dapat terpantau dengan setiap bulannya. Dari hasil EPPBGM
ditemukan balita stunting sebanyak 497 balita di Kecamatan Pulo Ampel tahun
2020. (Indikator TB/U <-3 SD). sedangkan di tahun 2021 balita stunting
mengalami kenaikan menjadi 734 balita stunting. Hal Ini disebabkan karena
setiap desa sudah dilakukan intervensi seperti pembentukan pos gizi, dan
pemerian PMT, Sosialisasi stunting dilakukan di setiap desa dengan
mengundang kader posyandu, penyuluhan dan pemantauan pertumbuhan dan
perkembangan di posyandu. kepada balita stunting. Sebelum dilakukan
kegiatan pos gizi, TPG, bidan desa dan kader harus melakukan validasi data
balita stunting dengan cara dilakukan pengukuran ulang. Untuk mencegah
stunting program gizi mengadakan kegiatan Pos gizi selama 3 bulan dengan
sasaran balita stunting dan balita gizi kurang. Tempat untuk kegiatan Pos gizi
dijadikan satu. Kegiatan lainnya untuk mencegah stunting yaitu penyuluhan dan
pemantauan pertumbuhan dan perkembangan di posyandu. Petugas gizi
dengan management membuatkan SK Stunting.
II. LATAR BELAKANG
Masalah gizi pada hakikatnya adalah masalah kesehatan masyarakat, tetapi
penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan
pelayanan kesehatan saja. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah
multifaktor, karena itu pendekatan penanggulangannya harus melibatkan lintas
sector dan lintas program yang terkait. Faktor penyebab masalah gizi lainnya
yaitu masalah kemiskinan, pemerataan, sosial, budaya, pola asuh keluarga dan
masalah kesempatan kerja (Supariasa et al, 2017). Masalah gizi di Indonesia di
negara berkembang pada umumnya masih didominasi oleh masalah Kurang
Energi Protein (KEP), masalah Anemia Besi, masalah Gangguan Akibat
Kekurangan Iodium (GAKI), masalah Kurang Vitamin A (KVA), dan masalah
obesitas terutama di kota-kota besar (Supariasa et al, 2017).
Saat ini Indonesia menghadapi masalah beban gizi ganda yang ditunjukkan
dengan masih tingginya masalah gizi kurang (19,6%) dan stunting (37,2%)
serta semakin meningkatnya masalah kegemukan pada Balita sebesar 11,8%.
Kedua masalah gizi tersebut erat kaitannya dengan masalah gizi dan kesehatan
ibu hamil dan menyusui, bayi baru lahir dan anak usia di bawah dua tahun
(Baduta). Hal tersebut dapat terlihat dari tingginya masalah kurang gizi pada
masa pra hamil yang ditandai tingginya prevalensi anemia pada remaja dan
Wanita Usia Subur (WUS) masing-masing sebesar 22,7% dan 37,1%, dan
prevalensi Kurang Energi Kronis (KEK) pada WUS dan ibu hamil sebesar
20,8% dan 24,2%. Keadaan ini tentunya akan memberikan kontribusi terhadap
terjadinya gangguan gizi pada masa pre natal yang ditandai dengan tingginya
angka prevalensi bayi BBLR (<2500 gram) sebesar 10,2% dan bayi lahir
pendek (<48 cm) sebesar 20,2% (Balitbangkes, 2013).

III. TUJUAN UMUM DAN KHUSUS


1. Tujuan Umum
Mencegah balita stunting
2. Tujuan Khusus
IV.KEGIATAN POKOK DAN RENCANA KEGIATAN
Jenis Pelayanan Kegiatan Standar Indikator

V. SASARAN
Bayi, balita , ibu hamil , remaja putri

VI. CARA MELAKSANAKAN KEGIATAN


Kegiatan percepatan penurunan stunting dilaksanakan melalui kegiatan pos gizi
selama 3 bulan berturut-turut menggunakan dana CSR.
VII. JADWAL PELAKSAAN KEGIATAN

Bulan
No Kegiatan Ja Feb Mar Ap Mei Jun Jul Ag Sep Okt Nov Des
n r s
1. Pembentukan √
Tim
2. Sosialisasi √
Stunting
Tingkat
Kecamatan
Sosialisasi √ √
Stunting
Tingkat Desa
Melakukan √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
pengukuran
tinggi
badan/Panjang
pada di
posyandu
Mengumpulka √
n data sasaran
stunting
Validasi √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
pengukuran
ulang balita
stunting
Pos Gizi √ √ √

VIII. EVALUASI PELAKSANAAN DAN PELAPORAN


Monitoring evaluasi dilaksanakan setiap bulan

IX. PENCATATAN, PELAPORAN DAN EVALUASI KEGIATAN


A. Pencatatan : dilakukan melalui aplikasi eppbgm , daftar hadir ,
dokumentasi , Rekapan data porsi balita di pos gizi ,
B. Pelaporan : dilakukan melalui aplikasi eppgbm
C. Evaluasi : setiap akhir pelaksanaan kegiatan

Anda mungkin juga menyukai