PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu masalah gizi yang menjadi perhatian utama saat ini adalah stunting.
Stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi
kronis dan infeksi berulang, yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya berada
Menurut Joint Child Malnutrition Estimates (2018), pada tahun 2017 sekitar 150,8
juta balita (22,2%) mengalami stunting. Lebih dari setengah balita stunting di dunia
berasal dari Asia (55%), dimana Asia Tenggara menduduki proporsi stunting tertinggi
kedua (14,9%) setelah Asia Selatan (58,7%). Sedangkan dalam kawasan Asia Tenggara,
angka kejadian stunting di Indonesia lebih tinggi dari negara-negara lain seperti Myanmar
pendek terbanyak (Millennium Challenga Account Indonesia, 2014). Data Studi Status
penurunan sebesar 1,6 persen. Penurunan ini didapat dari 27.7 persen (2019) menjadi
24,4 persen pada 2021. Meski begitu, angka tersebut masih di atas standar yang
stunting di Provinsi Sumatera Utara berada diatas angka nasional yaitu 25,8%. Demikian
juga dengan prevalensi stunting di Kabupaten Dairi sekitar 34,2%. Dimana Kabupaten
Sumatera Utara.
Data terakhir pada pendataan stunting bulan Agustus 2022, prevalensi balita
stunted (berdasarkan panjang/tinggi badan dan umur balita), Puskesmas Pegagan Julu II
Kecamatan Sumbul sekitar 25,08, dan Desa Dolok Tolong merupakan salah satu desa
penyumbang angka stunted tertinggi, yaitu 37,63%, yaitu sebanyak 70 orang (Sumber
1
data: ePPGBM). Sementara batas ambang prevalensi stunting yang ditetapkan WHO
Stunting akibat kekurangan gizi yang terjadi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan
(HPK) tidak hanya menyebabkan hambatan pada pertumbuhan fisik dan meningkatkan
akan berpengaruh pada tingkat kecerdasan dan produktivitas anak serta risiko terjadinya
kualitas kerja yang tidak kompetitif hingga berakibat pada rendahnya produktifitas
meningkatkan kemiskinan dan ketimpangan. Akan tetapi apabila stunting terjadi pada
masa baduta, namun mendapatkan intervensi dengan benar sesuai dengan standar,
stunting disebabkan oleh berbagai faktor seperti pola pengasuhan yang kurang baik
meliputi pemberian makan dalam 2 tahun pertama setelah kelahiran, masih kurangnya
akses terhadap pelayanan kesehatan selama hamil dan setelah melahirkan, kurangnya
akses keluarga ke makanan bergizi, serta masih terbatasnya akses air bersih dan
sanitasi. Faktor lain disebabkan karena kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan
dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan serta setelah ibu melahirkan (Persagi, 2018).
Penyakit yang berulang seperti diare yang terkait dengan sanitasi yang buruk
Dairi banyak ditemukan pada balita, yaitu sekitar 19,1% (Profil Kesehatan Kabupaten
Dairi Tahun 2018). Kondisi ini akan mempengaruhi status gizi anak dengan mengurangi
menyatakan bahwa salah satu area prioritasnya adalah penurunan prevalensi balita
pendek (stunting). Hal ini sejalan dengan prioritas pembangunan kesehatan pada
2
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024, yang
Langkah awal yang paling penting untuk dilakukan adalah pemenuhan gizi pada
anak sejak dini, bahkan pada 1000 hari pertama kehidupannya, yang dimulai sejak fase
kehamilan hingga anak berusia dua tahun. Langkah ini tentunya dapat memutus mata
rantai stunting. Karena ketika anak stunting berusia di atas dua tahun, penyembuhannya
yang dapat mempengaruhi terjadinya stunting seperti memberikan intervensi paket gizi
lengkap untuk ibu hamil dan anak, pemanfaatan pelayaan kesehatan yang ada, pelatihan
pengasuhan anak, menyediakan makanan tambahan bagi ibu hamil dengan KEK
(Kekurangan Energi Kronik) dan balita kekurangan gizi, pembinaan sanitasi yang baik
dan penyediaan air bersih, sehingga diharapkan angka kejadian stunting dapat menurun
(Kemenkeu, 2018).
nyatanya tidaklah mudah untuk dilakukan. Masih terdapat beberapa hambatan dalam
melakukannya diantaranya adalah permasalah anak pendek dan gizi ibu hamil tidak
mudah untuk dilihat dan ketahui. Banyak pihak yang masih berpendapat bahwa status
gizi dengan kurangnya bahan makanan akibat dari kemiskinan, tetapi faktanya stunting
sekarang banyak terjadi pada kelompok menengah keatas. Perempuan tidak menyadari
akan pentingnya gizi saat kehamilan, menerima tablet gizi tetapi tidak mengonsumsi
selama 90 hari pada masa kahamilan. Keluarga yang tidak memiliki pengetahuan tentang
3
Bertitik tolak dari hal tersebut, maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan
judul: