Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu masalah gizi yang menjadi perhatian utama saat ini adalah stunting.

Stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi

kronis dan infeksi berulang, yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya berada

di bawah standar yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan

pemerintahan di bidang kesehatan (Perpres No 72 Tahun 2021).

Menurut Joint Child Malnutrition Estimates (2018), pada tahun 2017 sekitar 150,8

juta balita (22,2%) mengalami stunting. Lebih dari setengah balita stunting di dunia

berasal dari Asia (55%), dimana Asia Tenggara menduduki proporsi stunting tertinggi

kedua (14,9%) setelah Asia Selatan (58,7%). Sedangkan dalam kawasan Asia Tenggara,

angka kejadian stunting di Indonesia lebih tinggi dari negara-negara lain seperti Myanmar

(35%), Philipina (34%) dan Thailand (16%) (Kemenkes RI, 2018).

Negara Indonesia menempati peringkat ke lima dunia dengan jumlah anak

pendek terbanyak (Millennium Challenga Account Indonesia, 2014). Data Studi Status

Gizi Indonesia (SSGI) 2021 menunjukan angka stunting secara nasional mengalami

penurunan sebesar 1,6 persen. Penurunan ini didapat dari 27.7 persen (2019) menjadi

24,4 persen pada 2021. Meski begitu, angka tersebut masih di atas standar yang

ditoleransi Badan Kesehatan Dunia (WHO), yaitu di bawah 20 persen. Prevalensi

stunting di Provinsi Sumatera Utara berada diatas angka nasional yaitu 25,8%. Demikian

juga dengan prevalensi stunting di Kabupaten Dairi sekitar 34,2%. Dimana Kabupaten

Dairi berada pada urutan ke 6 dengan stunting terbanyak dari 33 kabupaten/kota di

Sumatera Utara.

Data terakhir pada pendataan stunting bulan Agustus 2022, prevalensi balita

stunted (berdasarkan panjang/tinggi badan dan umur balita), Puskesmas Pegagan Julu II

Kecamatan Sumbul sekitar 25,08, dan Desa Dolok Tolong merupakan salah satu desa

penyumbang angka stunted tertinggi, yaitu 37,63%, yaitu sebanyak 70 orang (Sumber

1
data: ePPGBM). Sementara batas ambang prevalensi stunting yang ditetapkan WHO

sebesar 20% (UNICEF, 2017).

Stunting akibat kekurangan gizi yang terjadi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan

(HPK) tidak hanya menyebabkan hambatan pada pertumbuhan fisik dan meningkatkan

kerentanan terhadap penyakit, namun juga mengancam perkembangan kognitif yang

akan berpengaruh pada tingkat kecerdasan dan produktivitas anak serta risiko terjadinya

gangguan metabolik yang berdampak pada risiko terjadinya penyakit degeneratif

(diabetes melitus, hiperkolesterol, hipertensi) di usia dewasa. Hal ini menyebabkan

kualitas kerja yang tidak kompetitif hingga berakibat pada rendahnya produktifitas

ekonomi mereka. Imbasnya adalah menghambat pertumbuhan ekonomi serta

meningkatkan kemiskinan dan ketimpangan. Akan tetapi apabila stunting terjadi pada

masa baduta, namun mendapatkan intervensi dengan benar sesuai dengan standar,

akan mampu meminimalisir segala dampak tersebut.

Menurut Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemisikinan (TNPK), 2017,

stunting disebabkan oleh berbagai faktor seperti pola pengasuhan yang kurang baik

meliputi pemberian makan dalam 2 tahun pertama setelah kelahiran, masih kurangnya

akses terhadap pelayanan kesehatan selama hamil dan setelah melahirkan, kurangnya

akses keluarga ke makanan bergizi, serta masih terbatasnya akses air bersih dan

sanitasi. Faktor lain disebabkan karena kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan

dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan serta setelah ibu melahirkan (Persagi, 2018).

Penyakit yang berulang seperti diare yang terkait dengan sanitasi yang buruk

berkontribusi terhadap terhambatnya pertumbuhan anak. Kejadian diare di Kabupaten

Dairi banyak ditemukan pada balita, yaitu sekitar 19,1% (Profil Kesehatan Kabupaten

Dairi Tahun 2018). Kondisi ini akan mempengaruhi status gizi anak dengan mengurangi

nafsu makan, mengurangi penyerapan nutrisi dan meningkatkan kehilangan nutrisi.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2016 tentang

Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga

menyatakan bahwa salah satu area prioritasnya adalah penurunan prevalensi balita

pendek (stunting). Hal ini sejalan dengan prioritas pembangunan kesehatan pada

2
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024, yang

mengharapkan prevalensi stunting pada tahun 2024 turun menjadi 14%.

Langkah awal yang paling penting untuk dilakukan adalah pemenuhan gizi pada

anak sejak dini, bahkan pada 1000 hari pertama kehidupannya, yang dimulai sejak fase

kehamilan hingga anak berusia dua tahun. Langkah ini tentunya dapat memutus mata

rantai stunting. Karena ketika anak stunting berusia di atas dua tahun, penyembuhannya

akan lebih sulit.

Dalam upaya penurunan kejadian stunting pemerintahan Indonesia juga

melakukan pengalokasian dana tersendiri untuk mangatasi permasalahan ini.

Pengalokasian dana yang dilakukan pemerintah digunakan untuk memperbaiki faktor

yang dapat mempengaruhi terjadinya stunting seperti memberikan intervensi paket gizi

lengkap untuk ibu hamil dan anak, pemanfaatan pelayaan kesehatan yang ada, pelatihan

pengasuhan anak, menyediakan makanan tambahan bagi ibu hamil dengan KEK

(Kekurangan Energi Kronik) dan balita kekurangan gizi, pembinaan sanitasi yang baik

dan penyediaan air bersih, sehingga diharapkan angka kejadian stunting dapat menurun

(Kemenkeu, 2018).

Intervensi yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi kejadian stunting

nyatanya tidaklah mudah untuk dilakukan. Masih terdapat beberapa hambatan dalam

melakukannya diantaranya adalah permasalah anak pendek dan gizi ibu hamil tidak

mudah untuk dilihat dan ketahui. Banyak pihak yang masih berpendapat bahwa status

gizi dengan kurangnya bahan makanan akibat dari kemiskinan, tetapi faktanya stunting

sekarang banyak terjadi pada kelompok menengah keatas. Perempuan tidak menyadari

akan pentingnya gizi saat kehamilan, menerima tablet gizi tetapi tidak mengonsumsi

selama 90 hari pada masa kahamilan. Keluarga yang tidak memiliki pengetahuan tentang

gizi dan perilaku kesehatan.

3
Bertitik tolak dari hal tersebut, maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan

judul:

1. FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN STUNTED

PADA BALITA USIA 24-59 BULAN DI DESA DOLOK TOLONG WILAYAH

PUSKESMAS PEGAGAN JULU II, KECAMATAN SUMBUL, KABUPATEN

DAIRI TAHUN 2022”.

2. HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG GERAKAN 1000 HARI

PERTAMA KEHIDUPAN DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA DI

DESA DOLOK TOLONG WILAYAH PUSKESMAS PEGAGAN JULU II,

KECAMATAN SUMBUL, KABUPATEN DAIRI TAHUN 2022

Anda mungkin juga menyukai