Oleh :
Belva Ulayya dan Putri Asyifa K.N
SMA NEGERI 2 KOTA KEDIRI
A. PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Dalam era digital saat ini, isu mengenai gangguan kesehatan
anak masih menjadi permasalahan serius di Indonesia. Masalah
tersebut telah mendominasi 9/10 anak, yang mengalami gangguan
seperti gangguan mental, penyakit infeksi, bahkan kekurangan gizi
atau yang biasa kita sebut dengan stunting. Secara global,
gangguan stunting telah mendominasi seluruh wilayah Indonesia
dan menjadi gangguan kesehatan anak yang pertama di Indonesia.
Stunting merupakan masalah gizi kronis pada bayi dan balita
yang ditandai dengan tinggi badan yang lebih pendek
dibandingkan dengan anak seusianya. Bayi yang menderita
stunting akan lebih rentan terhadap penyakit dan ketika dewasa
berisiko untuk mengidap penyakit degeneratif. Dampak stunting
tidak hanya pada segi Kesehatan, tetapi juga mempengaruhi
tingkat kecerdasan anak (Budijanto, D. 2018)
Hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) menunjukkan
persentase stunting di Indonesia pada tahun 2019 mencapai
27,67% . Walaupun terjadi penurunan data dari tahun 2018
sebesar 30,8%, angka tersebut masih dinilai tinggi mengingat
WHO menargetkan angka stunting tidak boleh lebih dari 20%.
Menurut laporan pada Januari 2021, Indonesia telah mendapat
data sebesar 2 juta jiwa bayi dan balita telah menderita gizi buruk
dan 5 juta jiwa balita menderita stunting. Berdasarkan laporan
tersebut, World Health Organization menegaskan bahwa kondisi
stunting ini diukur dari panjang atau tinggi badan yang lebih dari
minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak.
Dalam beberapa penelitian, bayi dan balita yang rentan mengalami
gangguan stunting, biasanya memiliki masalah gizi kronik yang
disebabkan oleh beberapa faktor seperti masalah ekonomi,
kurangnya gizi ibu saat hamil, bayi yang mengidap penyakit, dan
kurangnya asupan gizi pada bayi, dan minimnya kualitas air
bersih.
Berdasarkan hal tersebut, pemerintah telah mencanangkan
aksi 1000 HPK dalam pencegahan stunting yang melibatkan lintas
kementerian dan lembaga. Namun, dengan adanya pandemi
COVID-19 aksi tersebut tidak dapat terlaksana dengan baik pada
sebagian besar wilayah Indonesia. Oleh sebab itu, guna
mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs) 2025
Indonesia Bebas Stunting, dibutuhkan adanya perubahan pola aksi
1000 HPK dengan cara penyuluhan yang lebih merata melalui
media sosial, serta adanya pihak pemangku kepentingan seperti
Ahli Gizi. Salah satu pihak terpenting yang terlibat dalam program
Penyuluhan Gerakan Anti Stunting (Genting) ini adalah
masyarakat, dengan sasaran utamanya adalah para wanita yang
sudah menikah dan calon ibu agar mereka dapat mengenal lebih
dekat mengenai bahaya stunting dan cara pencegahannya sejak
dini.
2. IDENTIFIKASI TOPIK BAHASAN
a. Permasalahan Stunting yang mendominasi wilayah Indonesia.
b. Dampak Stunting pada tumbuh kembang anak dan kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia.
c. Aksi 1000 HPK dalam rangka pencegahan Stunting.
d. Inovasi program penyuluhan Stunting berdasarkan aksi 1000
HPK.
B. ISI
PEMBAHASAN DAN ANALISIS
a. Permasalahan Stunting yang mendominasi wilayah Indonesia.
Stunting pada balita dipengaruhi beberapa faktor utama seperti
kemiskinan, asupan gizi, kesehatan, sanitasi, dan lingkungan. Tingkat
pemahaman ibu hamil di daerah pedesaan mengenai asupan gizi pada
anak adalah sebesar 64,5% yang mana persentase tersebut termasuk
dalam kategori kurang. Sedangkan (bisa dihilangkan atau diganti)
di daerah perkotaan persentasenya lebih tinggi yaitu sekitar 86,7%.
Berdasarkan data tersebut terdapat hubungan antara latar belakang
pendidikan, pendapatan keluarga, dan pengetahuan ibu mengenai
kasus Stunting pada balita. Wilayah dengan akses air bersih yang
susah juga menjadi permasalahan yang dapat menimbulkan
ketidaktersediaan air minum yang layak. Sementara itu, sepanjang
masa kehamilan, seorang ibu harus menjaga suhu tubuh internal tetap
normal. Apabila ketersediaan air layak minum rendah, ibu hamil dapat
mengalami dehidrasi yang menyebabkan masalah mulai dari sakit
kepala hingga persalinan prematur.
Berdasarkan data tahun 2020, terdapat 10 provinsi yang
menjadi fokus pemerintah dalam menurunkan angka Stunting, yakni
Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Sulawesi
Barat, Gorontalo, Aceh, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat,
Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah. Prevalensi atau jumlah
keseluruhan kasus penyakit di 10 provinsi tersebut masih tinggi
walaupun pada tahun 2019 persentase Stunting di Indonesia turun
menjadi 27,67%. Namun, angka tersebut diklaim Jokowi masih tidak
cukup dan harus diturunkan lebih cepat, (dihapus) sehingga Jokowi
meminta Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto, untuk
mempercepat penurunan angka Stunting menjadi 14% pada 2024.
b. Dampak Stunting pada tumbuh kembang anak dan kualitas Sumber
Daya Manusia (SDM) Indonesia
Penyebab utama Stunting pada anak adalah kekurangan gizi
kronis. Anak-anak yang mengalami kekurangan gizi kronis akan
terlihat lemah secara fisik. Hasil penelitian oleh beberapa ahli
menunjukkan bahwa anak yang mengalami Stunting memiliki masalah
perkembangan kognitif dan motorik. Pertumbuhan kognitif yang
terganggu akan menyebabkan anak mengalami penurunan fungsi
intelektual, kesulitan memproses informasi, dan susah berkomunikasi.
Tentu hal ini mempengaruhi proses belajar anak di sekolah, rumah,
maupun masyarakat. Adapun pertumbuhan motorik yang terganggu
akan menyebabkan anak tidak mampu mengendalikan otot di lengan,
kaki, dan tangan. Hal ini disebabkan karena anggota gerak anak yang
mengalami Stunting lebih pendek daripada anak lain seumurannya.
Berdasarkan informasi di atas, permasalahan kesehatan berupa
Stunting sangat mempengaruhi kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)
Indonesia ke depannya. Pendidikan, baik formal maupun informal,
yang menjadi dasar utama terbentuknya individu unggul tidak akan
terlaksana dengan baik. Jika masalah ini tetap dibiarkan, dalam 15
tahun ke depan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia akan
menurun.