Anda di halaman 1dari 34

PROPOSAL PENELITIAN

PENGARUH KONSUMSI NUGET IKAN LAMBAK DAN DAUN


KELOR UNTUK PERBAIKAN STATUS GIZI BALITA DALAM
UPAYA PENCEGAHAN STUNTING DI KELURAHAN
JELUTUNG KOTA JAMBI
TAHUN 2023

Oleh:
FITRI SHYLVIANA
NIM.PO71241220133

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAMBI


JURUSAN KEBIDANAN PRODI SARJANA TERAPAN
2023

i
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan dalam periode tahun 2015-2019 difokuskan

pada empat program prioritas, yaitu penurunan angka kematian ibu dan bayi,

penurunan prevalensi balita pendek (stunting), pengendalian penyakit menular

dan pengendalian penyakit tidak menular. Upaya peningkatan status gizi

masyarakat termasuk termasuk penurunan prevalensi stunting menjadi salah

satu prioritas pembangunan nasional yang tercantum di dalam sasaran pokok

Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2015-2019. Target

penurunan prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada anak dibawah

dua tahun (Baduta) adalah 28% (Kemenkes RI, 2018).

World Health Organitation (WHO) mendefinisikan stunting sebagai

kegagalan pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak-anak akibat

asupan gizi yang kurang dalam waktu lama, penyakit infeksi berulang dan

stimulasi psikososial yang tidak adekuat. Anak yang mengalami stunting,

terutama pada usia dini, kemungkinan juga mengalami hambatan pertumbuhan

organ lainnya termasuk otak (Achadi, 2020).

Data dunia balita yang mengalami stunting pada tahun 2017 sebesar

22,2% atau sekitar 150,8 juta balita. Namun angka ini sudah mengalami

penurunan jika dibandingkan dengan angka stunting pada tahun 2000 yaitu

32,6%. Pada tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal

dari Asia (55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di Afrika.
2

Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia

Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%).

Berdasarkan data yang diterbitkan oleh Pusdatin Kemenkes RI (2018),

prevalensi balita pendek di Indonesia adalah 29%. Angka ini mengalami

penurunan pada tahun 2016 menjadi 27.5%. namun prevalensi balita pendek

kemabli meningkat menjadi 29.6% pada tahun 2017. Sedangkan prevalensi

balita sangat pendek dan pendek pada usia 0 – 23 bulan di Indonesia tahun

2017 adalah 9.8% dan 19.8%. kondisi ini meningkat dari tahun sebelumnya

yaitu pravelansi balita sangat pendek sebesar 8.5% dan balita pendek 19 %.

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Indonesia prevalensi balita

stunting di Indonesia juga menjadi ukuran keberhasilan program yang sudah

diupayakan oleh pemerintah. Survei PSG diselenggarakan sebagai monitoring

dan evaluasi kegiatan dan capaian program. Berdasarkan hasil PSG tahun

2015, prevalensi balita pendek di Indonesia adalah 29%. Angka ini mengalami

penurunan pada tahun 2016 menjadi 27,5%. Namun prevalensi balita pendek

kembali meningkat menjadi 29,6% pada tahun 2017. Prevalensi balita sangat

pendek dan pendek usia 0-59 bulan di Indonesia tahun 2017 adalah 9,8% dan

19,8%. Kondisi ini meningkat dari tahun sebelumnya yaitu prevalensi balita

sangat pendek sebesar 8,5% dan balita pendek sebesar 19%. Provinsi dengan

prevalensi tertinggi balita sangat pendek dan pendek pada usia 0-59 bulan

tahun 2017 adalah Nusa Tenggara Timur, sedangkan provinsi dengan

prevalensi terendah adalah Bali (Riskesdas, 2018).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Jambi

diketahui ada 12 Kabupaten prevelansi gizi kurang dan gizi buruk berdasarkan
3

indikator BB/U adalah 17.2% dan berdasarkan indicator TB/U adalah 20.2% .

Persentase balita sangat pendek dan pendek umur 0-23 bulan menurut

kabupaten atau kota tahun 2017 tertinggi yaitu, Kerinci (34.1%),sedangkan

provinsi jambi yaitu (27,2%),dan Kabupaten dengan Stunting terendah adalah

Batanghari (20,1%) (Dinkes Provinsi Jambi, 2019).

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Jambi di dapat jumah

stunting di Kota Jambi berjumlah 196 yaitu Kecamatan Jambi selatan 73 kasus,

Kecamatan Paal Merah 47 kasus, Kecamatan Jelutung 158 kasus, Kecamatan

Pasar 26 kasus, Kecamatan Telanai Pura 20 kasus, Kecamatan Danau Sipin 14

kasus, Kecamatan Danau Teluk 10 kasus, Kecamatan Pelayangan 9 kasus,

Kecamatan Jambi Timur 98 kasus, Kecamatan Alam Barajo 51 kasus, dan

Kecamatan Kota Baru 13 kasus.

Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh stunting terdiri dari jangka

pendek dan jangka panjang. Pada jangka pendek akibat buruk yang dapat

ditimbulkan adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan

pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan dalam

jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya

kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh

sehingga mudah sakit, dan resiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes,

kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan

disabilitas pada usia tua (Kementerian Desa, Pembangunan Tertinggan dan

Transmigrasi, 2017).

Penyebab stunting menurut WHO (2014) dapat disebabkan oleh 4

masalah utama yaitu faktor keluarga dan rumah tangga, pemberian makanan
4

tambahan yang tidak adekuat, pemberian ASI, serta penyakit infeksi. Keempat

masalah tersebut disebabkan oleh faktor sosial dn komunitas, seperti politik

dan ekonomi, kesehatan dan pelayanan kesehatan, pendidikan, kultur sosial,

sistem pangan dan agrikultur, serta air, sanitasi, juga lingkungan. Adapun

konsekuesi yang ditimbulkan oleh stunting dapat bersifat jangka pendek dan

panjang menyangkut masalah kesehatan, perkembangan dan ekonomi

(Fikawati, 2017).

Berbagai upaya yang dilakukan dalam pencegahan masalah stunting,

salah satunya adalah dengan menerapkan pola makanan sehat pada ibu hamil

dan balita sesuai dengan takaran gizi yang seimbang. Karena itu salah satu cara

yang dapat memudahkan mereka untuk memahami sekaligus mudah untuk

diterapkan langsung dalam pemenuhan kebutuhan gizi ibu hamil ataupun balita

adalah dengan menerapkan demonstrasi masak makanan yang mudah untuk

diperaktikan dan dengan menggunakan bahan-bahan yang mudah untuk

didapatkan dengan harga yang terjangkau (Wardana, 2023).

Salah satu produk olahan yang dapat digunakan yaitu daun kelor. Kelor

merupakan bahan pangan yang kaya akan zat gizi makro dan mikro (Rahayu

dkk, 2018). Tanaman kelor memiliki nilai manfaat dalam pengobatan, sumber

makanan, produk kosmetik dan kecantikan, serta memiliki kemampuan sebagai

bahan penjernih air. Tanaman kelor merupakan salah satu tanaman yang paling

bermanfaat di dunia. Tanaman kelor kaya akan nutrisi karena mengandung

berbagai macam senyawa fitokimia pada daun, polong, dan biji. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa tanaman kelor mampu memberikan vitamin C

7 kali lebih besar dibandingkan 1 buah jeruk, vitamin A 10 kali lebih besar
5

dibandingkan wortel, kalsium 17 kali lebih tinggi dibandingkan susu, protein 9

kali lebih tinggi dibandingkan yoghurt, kalium 15 kali lebih tinggi

dibandingkan pisang, dan zat besi 25 kali lebih tinggi dibandingkan bayam

(Nuraina, 2019).

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di Kelurahan Jelutung

pada 5 orang ibu balita dengan stunting didapat bahwa ibu mengatakan pihak

Puskesmas telah melakukan upaya dalam memantau balita melalui pemberian

makanan tambahan serta memantau perkembangan gizi balita setiap bulannya.

Namun, selain pemberian makanan tambahan ibu tidak mengetahui cara lain

dalam mengatasi masalah pada balita termasuk pemberian makanan utama,

makanan tambahan atau makanan selingan lain yang dapat membantu balita

dalam mengatasi stunting.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan diatas, maka rumusan

masalah penelitian ini adalah bagaimana pengaruh konsumsi nuget ikan

lambak dan daun kelor untuk perbaikan status gizi balita dalam upaya

pencegahan stunting di Kelurahan Jelutung Kota Jambi Tahun 2023?”.

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh konsumsi nuget ikan lambak dan daun

kelor untuk perbaikan status gizi balita dalam upaya pencegahan stunting

di Kelurahan Jelutung Kota Jambi Tahun 2023.


6

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui status gizi balita sebelum diberikan nuget ikan

lambak dan daun kelor di Kelurahan Jelutung Kota Jambi Tahun

2023.

b. Untuk mengetahui status gizi balita sesudah diberikan nuget ikan

lambak dan daun kelor di Kelurahan Jelutung Kota Jambi Tahun

2023.

c. Untuk mengetahui pengaruh konsumsi nuget ikan lambak dan daun

kelor untuk perbaikan status gizi balita dalam upaya pencegahan

stunting di Kelurahan Jelutung Kota Jambi Tahun 2023.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Dinas Kesehatan Kota Jambi

Sebagai bahan informasi bagi Dinas Kesehatan untuk membuat

kebijakan dan program dalam meningkatkan promosi kesehatan mengenai

cara meningkatkan gizi balita agar ibu balita dapat mencegah terjadinya

stunting.

2. Bagi Puskesmas

Sebagai masukan informasi dengan gizi balita dan perkembangan balita

sehingga dapat membantu dalam memberikan informasi terhadap

masyarakat khususnya ibu yang mempunyai balita tentang alternatif

makanan yang dapat membantu dalam mengatasi stunting.


7

3. Bagi Insitusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dijadikan sebagai bahan referensi dalam

pembelajaran tentang gizi balita dan perkembangan balita.

4. Bagi peneliti selanjutnya

Sebagai bahan informasi untuk penelitian selanjutnya yang akan

melakukan penelitian tentang gizi balita dengan desain yang sama.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitiam quasi eksperimen design yang

bersifat one group pretest-postest, Pada penelitian ini peneliti meneliti tentang

pengaruh konsumsi nuget ikan lambak dan daun kelor untuk perbaikan status

gizi balita dalam upaya pencegahan stunting di Kelurahan Jelutung Kota Jambi

Tahun 2023. Penelitian ini rencananya akan dilaksanakan pada bulan Januari-

Februari 2023 di Kelurahan Jelutung Kota Jambi. Populasi dalam penelitian ini

adalah bayi berusia 12-59 bulan yang mengalami gizi kurang yaitu sebanyak

10 balita dan sampel diambil dengan Total Sampling. Penelitian dengan

menggunakan lembar observasi untuk mengetahui status gizi bayi. Analisis

yang digunakan yaitu analisis univariat dan bivariat


8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Status Gizi

1. Pengertian

Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan zat gizi

dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam

bentuk variabeltertentu (Hasdianah, 2014)

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat fungsi makanan

dan penggunaan zat gizi yang dibedakan antara lain: gizi buruk, kurang,

baik, dan lebih. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi

berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan

komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri

secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein

dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik

dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam

tubuh. Indeks antropometri merupakan rasio dari suatu pengukuran

terhadap satu atau lebih pengukuran atau yang dihubungkan dengan umur
9

(Hasdianah, 2014)

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Pada Balita

Menurut (Hasdianah, 2014) faktor-faktor yang mempengaruhi gizi

balita adalah :

a. Pengetahuan
9
Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sering terlihat keluarga

yang sungguhpun berpenghasilan cukup akan tetapi makanan yang

dihidangkan seadanya. Dengan demikian kejadian gangguan gizi tidak

hanya ditemukan pada keluarga yang berpenghasilan kurang akan tetapi

juga pada keluarga yang berpenghasilan cukup. Keadaan ini

menunukkan bahwa ketidaktahuan akan faedah makanan bagi

kesehatan tubuh menjadi penyebab buruknya mutu gizi makanan

keluarga, khususnya makanan balita. Masalah gizi karena kurangnya

pengetahuan dan eterampilan dibidang memasak menurunkan konsumsi

makan anak, keragaman bahan dan keragaman jenis makanan yang

mempengaruhi kejiwaan misalnya kebebasan.

b. Persepsi

Banyak bahan makanan yang sesungguhnya bernilai gizi tinggi

tetapi tidak digunakan atau hanya digunakan secara terbatas akibat

adanya prasangka yang tidak baik terhadap bahan makanan itu.

penggunaan bahan makanan itu dianggap dapat menurunkan harkat

keluarga, jenis sayuran seperti genjer, daun turi, bahkan daun ubi kayu
10

yang kaya akan zat besi, vitamin A dan protein, dibeberapa daerah

masih dianggap sebagi makanan yang dapat ,menurunkan harkat

keluarga.

c. Kebiasaan atau pantangan

Berbagai kebiasaan yang bertalian dengan pantang makanan

tertentu msih sering kita jumpai terutama di daerah pedesaan. Larangan

terhadap anak untuk makan telur, ikan atau daging hanya berdasarkan

kebiasaan yang tidak ada datanya dan hanya diwarisi secara dogmatis

turun temurun, padahal anak itu sendiri sangat memerlukan bahan

makanan seperti guna keperluan pertumbuhan tubuhnya.

d. Kesukaan jenis makanan tertentu

Kesukaan yang berlebihan terhadap suatu jenis makanan tertentu

atau disebut sebagai faddisme makanan akan mengakibatkan tubuh

tidak memeperoleh semua zat gizi yang diperlukan.

e. Jarak kelahiran yang terlalu rapat

Banyak hasil penelitian yang membuktikan bahwa banyak anak

yang menderita gangguan gizi oleh karena ibunya sedang hamil lagi

atau adik yang baru telah lahir, sehingga ibunya tidak dapat merawat

secara baik. Anak dibawah usia 2 tahun masih sangat memerlukan

perawatan ibunya, baik perawatan makanan maupun perawatan

kesehatan dan kasih sayang.

f. Sosial ekonomi

Keterbatasan penghasilan keluarga turut menentukan mutu

makanan yang disajikan. Tidak dapat disangkal bahwa penghasilan


11

keluarga turut menentukan hidangan yang disajikan untuk keluarga

sehari-hari, baik kualitas maupun jumlah makanan.

g. Penyakit infeksi

Infeksi dapat menyebabkan anak tidak merasa lapar dan tidak

mau makan. Penyakit ini juga menghabiskan sejumlah protein dan

kalori yang seharusnya dipakai untuk pertumbuhan.

3. Pengukuran Status Gizi Balita

Untuk menentukan klasifikasi status gizi diperlukan ada batasan-

batasan yang disebut dengan ambang batas. Batasan ini disetiap Negara

relatif berbeda, hal ini tergantung dari kesepakatan para ahli gizi dinegara

tersebut. Pada Permenkes RI Nomor 2 Tahun 2020 tentang standar

antropometri anak dalam menentukan status gizi balita diklasifikasikan

status gizi sebagai berikut :

Tabel 2.1
Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak

Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)


Berat Badan Berat badan sangat kurang < - 3 SD
Menurut Umur (severely underweight)
(BB/U) Anak Berat badan kurang -3 SD sampai dengan <-2 SD
Umur 0-60 Bulan (underweight)
Berat Badan Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Risiko Berat Badan Lebih > 2 SD
Berat Badan Sangat Pendek (severely < -3 SD
Menurut Umur stunted)
(PB/U) Anak Pendek (stunted) -3 SD sampai dengan < -2 SD
Umur 0-60 Bulan Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Tinggi > 2 SD
Berat Badan Gizi buruk (severely < -3 SD
Menurut Tinggi wasted)
Badan (BB/TB) Gizi Kurang (wasted) -3 SD sampai dengan < -2 SD
Anak Umur 0-60 Gizi Baik (normal) -2 SD sampai dengan 2 SD
Bulan Beresiko Gizi Lebih > +1 SD sampai dengan + 2
SD
Gizi Lebih (Overweight) > +2 SD sampai dengan + 3
12

SD
Obesitas (obese) > + 3 SD
Indeks Massa Gizi buruk (severely < -3 SD
Tubuh Menurut wasted)
Umur Gizi Kurang (wasted) -3 SD sampai dengan < -2 SD
(IMT/Umur) Gizi Baik (normal) -2 SD sampai dengan 2 SD
Anak Umur 0-60 Beresiko Gizi Lebih > +1 SD sampai dengan + 2
Bulan SD
Sumber : (Permenkes, 2020)

B. Stunting

1. Pengertian

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak akibat dari

kekurangan gizi kronis yang terjadi sejak bayi dalam kandungan sampai

usia 2 tahun sehingga anak terlalu pendek untuk usianya.

Stunting didefinisikan sebagai tinggi badan menurut usia di

bawah -2 standar median kurva pertumbuhan anak. Stunting merupakan

kondisi kronis buruknya pertumbuhan linear seorang anak yang

merupakan akumulasi dampak berbagai faktor seperti buruknya gizi dan

kesehatan sebelum dan setelah kelahiran anak tersebut. Stunting

merupakan dampak dari kurang gizi yang terjadi dalam periode waktu

yang lama yang pada akhirnya menyebabkan penghambatan

pertumbuhan linear (Fikawati, 2017)

Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang

atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi

ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua

standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO. Balita

stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak


13

faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada

bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita stunting di masa yang

akan datang akan mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan

fisik dan kognitif yang optimal (Kemenkes RI, 2018)

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi

dibawah lima tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak

terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam

kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi

stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Balita pendek

(stunted) dan sangat pendek (severely stunted) adalah balita dengan

panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya

dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth

Reference Study) 2006. Sedangkan definisi stunting menurut

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah anak balita dengan nilai z-

scorenya kurang dari -2SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari –

3SD (severely stunted) (TNP2K, 2017).

WHO mendefinisikan stunting sebagai kegagalan pertumbuhan

dan perkembangan yang dialami anak-anak akibat asupan gizi yang

kurang dalam waktu lama, penyakit infeksi berulang, dan stimulasi

psikososial yang tidak adekuat. Anak yang mengalami stunting, terutama

pada usia dini, kemungkinan juga mengalami hambatan pertumbuhan

organ lainnya, termasuk otak (Achadi, 2020)

2.2.2 Diagnosis dan Klasifikasi


14

Balita pendek (stunting) dapat diketahui bila seorang balita sudah

diukur panjang dan tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar

dan hasilnya berada di bawah normal. Secara fisik balita akan lebih

pendek dibandingkan balita seumurnya (Kemenkes RI, 2016)

Proses deteksi stuned dilakukan dengan beberapa langkah berikut :

a. Menghitung umur

Umur adalah jarak waktu antara tanggal lahir dan tanggal dilakukan

pengukuran. Dalam kaitannya dengan status gizi anak, umur

dihitung dalam bulan penuh, sesuai standar pertumbuhan WHO 2006

untuk anak 0-59 bulan. Menentukan umur anak harus harus tetap

sebab kekeliruan dalam menghitung umur anak dapat menyebabkan

kesalahan dalam menginterpretasikan status gizi anak.

b. Melakukan pengukuran Panjang Badan (PB) atau Tinggi Badan (TB)

Pengukuran panjang badan dilakukan pada anak yang berumur 0-23

bulan. Alat yang digunakan untuk mengukur PB adalah infantometer

atau lengthboard. Sementara, pengukuran tinggi badan dilakukan

pada anak yang berumur 24 bulan atau lebih. Alat yang digunakan

untuk mengukur TB anatara lain mikrotoa dan stadiometer.

c. Menginterprestasikan Hasil Pengukuran

Setelah dilakukan pengukuran PB dan TB, hasil pengukuran tersebut

diinterprestasikan berdasarkan nilai standar WHO 2006 menurut


15

umur dan jenis kelaminnya untuk mengetahui apakah seorang anak

tergolong stunted atau tidak.

2. Penyebab Stunting

Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya

disebabkan oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun

anak balita. Intervensi yang paling menentukan untuk dapat mengurangi

pervalensi stunting oleh karenanya perlu dilakukan pada 1.000 Hari

Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita. Secara lebih detil, beberapa

faktor yang menjadi penyebab stunting dapat digambarkan sebagai

berikut:

a. Praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya

pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada

masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan. Beberapa fakta dan

informasi yang ada menunjukkan bahwa 60% dari anak usia 0-6

bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif, dan 2

dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan Pendamping

Air Susu Ibu (MP-ASI). MP-ASI diberikan/mulai diperkenalkan

ketika balita berusia diatas 6 bulan. Selain berfungsi untuk

mengenalkan jenis makanan baru pada bayi, MPASI juga dapat

mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi dapat

disokong oleh ASI, serta membentuk daya tahan tubuh dan

perkembangan sistem imunologis anak terhadap makanan maupun

minuman.
16

b. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante

Natal Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan)

Post Natal Care dan pembelajaran dini yang berkualitas. Informasi

yang dikumpulkan dari publikasi Kemenkes dan Bank Dunia

menyatakan bahwa tingkat kehadiran anak di Posyandu semakin

menurun dari 79% di 2007 menjadi 64% di 2013 dan anak belum

mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi. Fakta lain

adalah 2 dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi sumplemen zat besi

yang memadai serta masihterbatasnya akses ke layanan

pembelajaran dini yang berkualitas (baru 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun

belum terdaftar di layanan PAUD/Pendidikan Anak Usia Dini).

c. Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi.

Hal ini dikarenakan harga makanan bergizi di Indonesia masih

tergolong mahal.Menurut beberapa sumber (RISKESDAS 2013,

SDKI 2012, SUSENAS), komoditas makanan di Jakarta 94% lebih

mahal dibanding dengan di New Delhi, India.

d. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Data yang diperoleh di

lapangan menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia

masih buang air besar (BAB) diruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah

tangga belum memiliki akses ke air minum bersih. Beberapa

penyebab seperti yang dijelaskan di atas, telah berkontibusi pada

masih tingginya pervalensi stunting di Indonesia dan oleh karenanya

diperlukan rencana intervensi yang komprehensif untuk dapat

mengurangi pervalensi stunting di Indonesia. (TNP2K, 2017)


17

4. Faktor- faktor yang mempengaruhi kejadian stunting

Stunting merupakan dampak dari berbagai faktor seperti berat

lahir yang rendah, stimulasi dan pengasuhan anak kurang tepat, asupan

nutrisi kurang, dan infeksi berulang serta berbagai faktor lingkungan

lainnya. Oleh karena itu ukuran antropometri ini dapat dijadikan

sebagai indikasi buruknya kondisi lingkungan dan restriksi jangka

panjang terhadap potensi pertumbuhan anak (Fikawati, 2017)

Faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi stunting adalah

sebagai berikut (Fikawati, 2017):

1. Faktor Keluarga dan Rumah Tangga

a. Faktor maternal

1) Nutrisi yang buruk pada masa pra-konsepsi, kehamilan, dan

laktasi.

2) Tinggi badan ibu pendek.

3) Infeksi.

4) Kehamilan usia remaja.

5) Kesehatan mental.

6) IUGR & prematuritas.

7) Jarak lahir singkat.

8) Hipertensi.

b. Lingkungan Rumah

1) Stimulasi dan aktivitas anak yang tidak adekuat.

2) Buruknya praktik pengasuhan.

3) Persediaan air bersih & sanitasi yang buruk.


18

4) Ketidaktahanan pangan.

5) Alokasi makanan dalam rumah tangga yang tidak tepat.

6) Rendahnya pendidikan pengasuh.

2. Pemberian Makanan Tambahan yang Tidak Adekuat

a. Buruknya Kualitas Makanan

1) Buruknya kualitas zat gizi mikro.

2) Rendahnya keberagaman makanan dan asupan hewani.

3) Kandungan anti-zat gizi.

4) Rendahnya kandungan energi dalam makanan pendamping.

b. Praktik yang tidak adekuat

1) Pemberian makanan yang tidak adekuat.

2) Pemberian makanan yang kurang baik selama & setelah sakit.

3) Konsistensi makanan encer.

4) Pemberian makanan dalam kuantitas yang kurang cukup.

5) Pemberian makanan yang tidak responsif.

c. Keamanan pangan dan air

1) Air dan pangan yang terkontaminasi.

2) Buruknya hygiene

3) Penyimpanan dan pengolahan pangan yang tidak aman.

3. Pemberian ASI : Praktik yang kurang tepat

a. Insiasi menyusu dini yang terlambat.

b. ASI tidak eksklusif.

c. Penghentian pemberian ASI lebih awal

4. Infeksi : Infeksi klinis & subklinis


19

a. Infeksi enteric: diare, enteropati lingkungan, cacing.

b. Infeksi saluran pernapasan.

c. Malaria

d. Berkurangnya nafsu makan karena infeksi.

e. Inflamasi.

5. Dampak Stunting Pada Balita

Stunting dapat terjadi sejak saat di dalam kandungan, di mana

proses terjadinya stunting bersamaan dengan hambatan pertumbuhan dan

perkembangan organ-organ vital lainnya. Artinya, stunting tidak hanya

ditandai dengan gagal tumbuh (pendek), tetapi juga gagal kembang

(gangguan kognitif) dan gangguan metabolisme tubuh yang

menyebabkan risiko terkena PTM. Pencegahan stunting tidak mudah,

memerlukan waktu yang lama, dan perlu dilakukan secara komprehensif

oleh berbagai pihak yang terkait. Diperlukan pemahaman yang

menyeluruh tentang terjadinya stunting, faktor penyebab situasi dan

kondisi lokal, sub-nasional, dan nasional yang memengaruhinya,

implikasinya jangka pendek dan panjang, serta intervensi yang telah

terbukti cost-effective (Helmiyati, 2020).

Stunting pada masa anak-anak berdampak pada tinggi badan yang

pendek, rendahnya angka masuk sekolah. Stunting yang merupakan

malnutrisi kronis yang terjadi di dalam rahim dan selama dua tahun

pertama kehidupan anak dapat mengakibatkan rendahnya intelegensi dan

turunnya kapasitas fisik yang pada akhirnya menyebabkan penurunan

produktivitas, perlambatan pertumbuhan ekonomi, dan perpanjangan


20

kemisikinan. Selain itu, stunting juga dapat berdampak pada sistem

kekebalan tubuh yang lemah dan kerentanan terhadap penyakit kronis

seperti diabetes, penyakit jantung, dan kanker serta gangguan reproduksi

maternal di masa dewasa (Fikawati, 2017).

Dampak yang ditimbulkan stunting dapat dibagi menjadi dampak

jangka pendek dan jangka panjang (Kemenkes RI, 2018).

1. Dampak Jangka Pendek

a. Peningkatan kejadian kesakitan dan kematian

b. Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak optimal

c. Peningkatan biaya kesehatan.

2. Dampak Jangka Panjang

a. Postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek

dibandingkan pada umumnya)

b. Meningkatnya risiko obesitas dan penyakit lainnya

c. Menurunnya kesehatan reproduksi

d. Kapasitas belajar dan performa yang kurang optimal saat masa

sekolah

e. Produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal.

6. Upaya Pencegahan

Stunting merupakan salah satu target Sustainable Development

Goals (SDGs) yang termasuk pada tujuan pembangunan berkelanjutan

ke-2 yaitu menghilangkan kelaparan dan segala bentuk malnutrisi pada

tahun 2030 serta mencapai ketahanan pangan. Target yang ditetapkan

adalah menurunkan angka stunting hingga 40% pada tahun 2025.


21

Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah menetapkan stunting

sebagai salah satu program prioritas. Berdasarkan Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan

Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga, upaya yang

dilakukan untuk menurunkan prevalensi stunting di antaranya sebagai

berikut (Kemenkes RI, 2018) :

1. Ibu Hamil dan Bersalin

a. Intervensi pada 1.000 hari pertama kehidupan

b. Mengupayakan jaminan mutu ante natal care (ANC) terpadu

c. Meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan

d. Menyelenggarakan program pemberian makanan tinggi kalori,

protein, dan mikronutrien (TKPM)

e. Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular)

f. Pemberantasan kecacingan

g. Meningkatkan transformasi Kartu Menuju Sehat (KMS) ke dalam

Buku KIA

h. Menyelenggarakan konseling Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan

ASI eksklusif

i. Penyuluhan dan pelayanan KB.

2. Balita

a. Pemantauan pertumbuhan balita

b. Menyelenggarakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan

(PMT) untuk balita

c. Menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak dan


22

d. Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.

3. Anak Usia Sekolah

a. Melakukan revitalisasi Usaha Kesehatan Sekolah (UKS)

b. Menguatkan kelembagaan Tim Pembina UKS

c. Menyelenggarakan Program Gizi Anak Sekolah (PROGAS) dan

d. Memberlakukan sekolah sebagai kawasan bebas rokok dan narkoba

4. Remaja

a. Meningkatkan penyuluhan untuk perilaku hidup bersih dan sehat

(PHBS), pola gizi seimbang, tidak merokok, dan mengonsumsi

narkoba dan

b. Pendidikan kesehatan reproduksi.

5. Dewasa Muda

a. Penyuluhan dan pelayanan keluarga berencana (KB)

b. Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular) dan

c. Meningkatkan penyuluhan untuk PHBS, pola gizi seimbang, tidak

merokok/mengonsumsi narkoba.

Menurut Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan

Transmigrasi Tahun 2017 intervensi yang perlu dilakukan yaitu dengan :

1. Intervensi Gizi Spesifik

Ini merupakan intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 Hari

Pertama Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30% penurunan


23

stunting. Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik umumnya

dilakukan pada sektor kesehatan.

a. Intervensi dengan sasaran Ibu Hamil:

1) Memberikan makanan tambahan pada ibu hamil untuk

mengatasi

2) kekurangan energi dan protein kronis.

3) Mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat.

4) Mengatasi kekurangan iodium.

5) Menanggulangi kecacingan pada ibu hamil.

6) Melindungi ibu hamil dari Malaria.

b. Intervensi dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6 Bulan:

1) Mendorong inisiasi menyusui dini (pemberian ASI

jolong/colostrum).

2) Mendorong pemberian ASI Eksklusif.

c. Intervensi dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 7-23 bulan:

1) Mendorong penerusan pemberian ASI hingga usia 23 bulan

didampingi oleh pemberian MP-ASI.

2) Menyediakan obat cacing.

3) Menyediakan suplementasi zink.

4) Melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan.

5) Memberikan perlindungan terhadap malaria.

6) Memberikan imunisasi lengkap.

7) Melakukan pencegahan dan pengobatan diare.

2. Intervensi Gizi Sensitif


24

Idealnya dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan diluar

sector kesehatan dan berkontribusi pada 70% Intervensi Stunting.

Sasaran dari intervensi gizi spesifik adalah masyarakat secara umum

dan tidak khusus ibu hamil dan balita pada 1.000 Hari Pertama

Kehidupan (HPK).

a. Menyediakan dan Memastikan Akses pada Air Bersih.

b. Menyediakan dan Memastikan Akses pada Sanitasi.

c. Melakukan Fortifikasi Bahan Pangan.

d. Menyediakan Akses kepada Layanan Kesehatan dan Keluarga

Berencana (KB).

e. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

f. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal).

g. Memberikan Pendidikan Pengasuhan pada Orang tua.

h. Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini Universal.

i. Memberikan Pendidikan Gizi Masyarakat.

j. Memberikan Edukasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi, serta

Gizipada Remaja.

k. Menyediakan Bantuan dan Jaminan Sosial bagi Keluarga Miskin.

l. Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Gizi.

Tanaman kelor (Moringa Oleifera Lam.) dikenal secara universal sebagai tanaman

ajaib (miracle plant) atau tanaman kehidupan (the tree of life) 1 . Saat ini tanaman

kelor telah tumbuh tersebar pada seluruh daerah tropis mulai dari Asia selatan

sampai Afrika barat. Tanaman kelor tumbuh dengan baik pada suhu 25-40°C dan

curah hujan per tahun tidak kurang dari 500 mm. Tanaman kelor tumbuh pada
25

daratan dengan ketinggian pada permukaan air laut hingga 1000 m. Tanaman

kelor termasuk dalam famili Moringaceae. Tanaman kelor merupakan tanaman

yang paling banyak ditanam dan dipelajari di antara 13 spesies dalam famili

Moringaceae2 . Catatan sejarah menunjukkan bahwa tanaman kelor telah

digunakan di India ribuan tahun yang lalu untuk pengobatan tradisional Ayurveda.

Bangsa Yunani, Romawi, dan Mesir juga menggunakan bagian dari tanaman kelor

untuk makanan dan kosmetik. Hal ini membuktikan bahwa tanaman kelor telah

digunakan secara mpiris di seluruh bagian dunia untuk sumber nutrisi dan

pengobatan.

Tanaman kelor dapat tumbuh dan berkembang di daerah tropis seperti Indonesia.

Tanaman kelor dapat tumbuh mulai dari dataran rendah sampai ketinggian 700 m

di atas permukaan laut. Tanaman kelor adalah salah satu tanaman perdu dengan

ketinggian 7-11 meter, tahan terhadap musim kering dengan toleransi terhadap

kekeringan sampai 6 bulan serta mudah dibiakkan dan tidak memerlukan

perawatan yang intensif. Di Indonesia, tanaman kelor memiliki beragam nama di

beberapa wilayah di antaranya kelor (Jawa, Sunda, Bali, Lampung), maronggih

(Madura), moltong (Flores), keloro (Bugis), ongge (Bima), murong atau

barunggai (Sumatera) dan hau fo (Timur). Kelor merupakan spesies dari keluarga

monogenerik yang paling banyak dibudidayakan, yaitu Moringaceae yang berasal

dari India sub- Himalaya, Pakistan, Bangladesh dan Afghanistan (Marhaeni,

2021).

Tanaman kelor berupa pohon dengan jenis kayu lunak, berdiameter 30 cm dan

memiliki kualitas rendah. Daun tanaman kelor memiliki karakteristik bersirip tak

sempurna, kecil, berbentuk telur, sebesar ujung jari. Helaian anak daun memiliki
26

warna hijau sampai hijau kecokelatan, bentuk bundar telur atau bundar telur

terbalik, panjang 1-3 cm, lebar 4 mm sampai 1 cm, ujung daun tumpul, pangkal

daun membulat, tepi daun rata. Kulit akar berasa dan beraroma tajam serta pedas,

bagian dalam berwarna kuning pucat, bergaris halus, tetapi terang dan melintang.

Akarnya sendiri tidak keras, bentuk tidak beraturan, permukaan luar kulit agak

licin, permukaan dalam agak berserabut, bagian kayu warna cokelat muda, atau

krem berserabut, sebagian besar terpisah. Bunga kelor ada yang berwarna putih,

putih kekuning kuningan (krem) atau merah, tergantung jenis atau spesiesnya.

Tudung pelepah bunganya berwarna hijau dan mengeluarkan aroma bau semerbak

(Palupi et al., 2007). Umumnya di Indonesia bunga kelor berwarna putih

kekuning-kuningan. Menurut Integrated Taxonomic Information System (2017),

klasifikasi tanaman kelor sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi :

Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Klas : Dicotyledoneae Ordo :

Brassicales

Familia : Moringaceae Genus : Moringa Spesies : Moringa oleifera Lamk

KANDUNGAN ZAT GIZI KELOR Salah satu bagian dari tanaman kelor yang

telah banyak diteliti kandungan gizi dan kegunaannya baik untuk bidang pangan

dan kesehatan adalah bagian daun. Di bagian tersebut terdapat ragam nutrisi, di

antaranya kalsium, besi, protein, vitamin A, vitamin B dan vitamin C (Misra &

Misra, 2014; Oluduro, 2012). Kandungan zat gizi daun kelor lebih tinggi jika

dibandingkan dengan sayuran lainnya yaitu berada pada kisaran angka 17.2

mg/100 g (Yameogo et al., 2011). Selain itu, di dalam daun kelor juga terdapat

kandungan berbagai macam asam amino, antara lain asam amino yang berbentuk
27

asam aspartat, asam glutamat, alanin, valin, leusin, isoleusin, histidin, lisin,

arginin, venilalanin, triftopan, sistein dan methionin (Simbolan et al., 2007).

Kandungan fenol dalam daun kelor segar sebesar 3.4% sedangkan pada daun

kelor yang telah diekstrak sebesar 1.6% (Foild et al., 2007). Penelitian lebih lanjut

menyebutkan bahwa daun kelor mengandung antioksidan tinggi dan antimikrobia

(Das et al., 2012). Hal ini disebabkan oleh adanya kandungan asam askorbat,

flavonoid, phenolic, dan karatenoid (Anwar et al., 2007b).

Tabel 1. Kandungan nilai gizi daun kelor segar dan kering

Komponen gizi Daun segar daun

kering

Kadar air (%) 94.01 4.09

Protein (%) 22.7 28.44

Lemak (%) 4.65 2.74

Kadar abu - 7.95

Karbohidrat (%) 51.66 57.01

Serat (%) 7.92 12.63

Kalsium (mg) 350-550 1600-

2200

Energi (Kcal/100g) - 307.30


28

Tanaman kelor memiliki nilai manfaat dalam pengobatan, sumber makanan,

produk kosmetik dan kecantikan, serta memiliki kemampuan sebagai bahan

penjernih air. Tanaman kelor merupakan salah satu tanaman yang paling

bermanfaat di dunia. Tanaman kelor kaya akan nutrisi karena mengandung

berbagai macam senyawa fitokimia pada daun, polong, dan biji. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa tanaman kelor mampu memberikan vitamin C 7 kali lebih

besar dibandingkan 1 buah jeruk, vitamin A 10 kali lebih besar dibandingkan

wortel, kalsium 17 kali lebih tinggi dibandingkan susu, protein 9 kali lebih tinggi

dibandingkan yoghurt, kalium 15 kali lebih tinggi dibandingkan pisang, dan zat

besi 25 kali lebih tinggi dibandingkan bayam2 . Perbandingan kandungan nutrisi

tanaman kelor dengan bahan pangan yang lain dapat dilihat pada Gambar 2 (Rani,

et al, 2019).

RAGAM MANFAAT TANAMAN KELOR

Kelor merupakan jenis tanaman multiguna, hampir semua

bagian dari tanaman kelor dapat dijadikan bahan antimikroba.

Bagian-bagian tanaman kelor yang telah terbukti sebagai bahan

antimikroba di antaranya daun, biji, minyak, bunga, akar, dan kulit

kayu tumbuhan kelor (Bukar et al., 2010). Fungsi tanaman kelor

sebagai tumbuhan berkhasiat obat, sudah lama dikenal oleh

masyarakat di lingkungan pedesaaan. Seperti akarnya, campuran

bersama kulit akar pepaya kemudian digiling dan dihancurkan,

banyak digunakan untuk obat luar (balur) penyakit beri-beri dan

sejenisnya. Daunnya ditambah dengan kapur sirih, juga merupakan


29

obat kulit seperti kurap dengan cara digosokkan (Rahmat, 2009).

Tanaman kelor memiliki berbagai manfaat baik secara

ekonomis maupun kesehatan. Kelor tidak hanya kaya akan nutrisi

akan tetapi juga memiliki sifat fungsional karena tanaman ini

mempunyai khasiat dan manfaat bagi kesehatan manusia. Baik

kandungan nutrisi maupun berbagai zat aktif yang terkandung dalam

tanaman ini dapat dimanfaatkan untuk kepentingan mahluk hidup dan

lingkungan. Bau khas yang dimiliki oleh daun kelor membuat

masyarakat belum banyak yang dapat memanfaatkan daun tersebut

secara maksimal. Di beberapa wilayah di Indonesia, utamanya

Indonesia bagian timur kelor dikonsumsi sebagai salah satu menu

sayuran. Sebagian masyarakat terutama Indonesia bagian timur,

mengenal daun kelor sebagai masakan sayuran yang dapat dicampur

dengan jenis sayuran lainnya.

Di era saat ini, dengan berbagai inovasi teknologi pengolahan pangan

pemanfaatan kelor tidak hanya sebagai sayuran akan tetapi dapat

diolah menjadi berbagai macam bentuk olahan, diantaranya pudding,

cake, produk fortifikasi (aneka makanan, minuman, dan camilan)

produk farmasi (capsul, tablet, minyak) serta dapat dikeringkan

kemudian diproses menjadi tepung, ekstrak, atau dalam bentuk yang

lain. Biasanya dalam bidang kesehatan, selain dijadikan untuk bahan

obat-obatan daun kelor juga sering dijadikan sebagai teh. Teh daun

kelor ini adalah teh herbal yang bebas kafein yang baik untuk

kesehatan. Fenomena meningkatnya kesadaran masyarakat untuk


30

mengonsumsi bahan pangan fungsional (food for specified health

use) memberi dorongan positif untuk mengembangkan potensi

sumber daya alam hayati dalam berbagai bentuk olahan.

Kandungan Nutrisi Tanaman Kelor

Tanaman kelor merupakan salah satu jawaban untuk mengatasi permasalahan

ketidak-seimbangan nutrisi yang dihadapi oleh sebagian besar masyarakat dunia.

Tanaman kelor merupakan tanaman dengan kandungan yang kompleks dan kaya

nutrisi. Seluruh bagian tanaman kelor terutama daun, bunga, polong, dan buah

memiliki nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Ringkasan mengenai

kandungan nutrisi tanaman kelor dapat dilihat pada Tabel 1. Daun kelor

mengandung 40% protein, dari kandungan protein tersebut terdapat 9 jenis asam

amino esensial. Asam amino esensial merupakan asam amino yang tidak dapat

disintesis oleh tubuh, sehingga harus didapatkan dari luar tubuh melalui konsumsi

makanan dan minuman. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tanaman kelor

merupakan tanaman dengan rasio protein paling tinggi dibandingkan tanaman lain

di dunia ini (Rani, et al, 2019).

Tabel 1. Kelompok nutrisi utama dan kandungan pangan yang bermanfaat dalam

tanaman kelor7

Kandungan Nutrisi Keterangan


31

Protein atau asam Terdapat 20 asam amino yang dibutuhkan oleh tubuh

amino manusia, 9 diantara asam amino tersebut merupakan asam

amino esensial. Seluruh asam amino esensial yang

dibutuhkan oleh tubuh terdapat pada tanaman kelor

Karbohidrat Daun dan polong kelor mengandung karbohidrat sekitar 3-

13%

Mineral sebagai Tanaman kelor mengandung mineral sebagai makroelemen

makroelemen seperti kalsium, magnesium, fosfor, dan sulfur

Mineral sebagai Tanaman kelor mengandung mineral juga bermanfaat

mikroelemen sebagai mikroelemen seperti zat besi, tembaga, zink, dan

mangan

Lemak Tanaman kelor mengandung lemak sayur seperti asam

lemak, minyak omega-6, dan vitamin yang larut dalam

lemak

Vitamin Sebagian besar vitamin yang terdapat dalam tanaman kelor

memiliki aktivitas antioksidan. Vitamin yang terdapat dalam

tanaman kelor antara lain vitamin C, E, F, K, provitamin A

(beta-karoten), kompleks vitamin B (B1, B2, B3, kolin dan

lainnya)

Klorofil Pigmen hijau dari tanaman kelor (mengandung magnesium

pada molekulnya)

Pigmen tanaman Pigmen tanaman yang memiliki karaktersitik antioksidan

yang lain (lutein, karotenoid)

Hormon Tanaman Hormon tanaman yang memiliki karakteristik antipenuaan


32

saat digunakan pada manusia: sitokin seperti as zeatin

Kandungan Quercetin, kaempferol, dan lainnya yang memiliki aktivitas

fotokimia spesifik antioksidan

Kandungan sterol Kandungan sterol spesifik pada tanaman: beta sitosterol.

spesifik

Jenis ikan di Sungai Batanghari Jambi berjumlah 130 spesies yang terdiri dari 14

Ordo dengan 43 famili. Jenis yang cukup banyak ditemukan di daerah bagian

tengah dan hulu Sungai Batanghari adalah dari famili Cyprinidae seperti ikan

kepiat, palau, lambak, lambak pipih, repang , keperas dsb (Kaban el at., 2015).

lambak pipih (Thynnichthys polylepis) merupakan ikan rawa banjiran yang

tersebar di Sungai Batanghari ikan merupakan ikan yang dominan dan memiliki

nilai ekonomi cukup penting khususnya di Danau Teluk Kotamadya Jambi

(Nurdawati, 2010). Menurut Nurdawati (2013) ikan lambak pipih merupakan ikan

dominan di Danau Sipin Jambi terkhusus pada musim kemarau, karena ikan ini

dapat beradaptasi terhadap perubahan kondisi perairan di danau tersebut. Ikan

lambak pipih ini termasuk ke dalam famili Cyprinidae ini bersifat demersal dan

potamodromus (Froese & Pauly. 2015). Di Indonesia keberadaannya tersebar di

Pulau Sumatera dan Kalimantan (Kottelat el al., 1993). Ikan lambak pipih

mempunyai ciri-ciri morfologi yang mempunyai sisik berwarna putih keperakkan,

ukuran panjang lebih besar dari pada ukuran tinggi tubuhnya dengan berbentuk

bilateral simetris. Kepala meruncing dengan mulut terletak di ujung kepala atau

agak kebawah dan kecil, moncongnya dapat menonjol kedepan, tapi tidak ada
33

bibir atas dan rahang bawahnya (Kottelat el al., 1993). Untuk pengelolaan ikan

yang berkelanjutan dibutuhkan data dasar yang berhubungan dengan aspek

biologi seperti halnya ukuran ikan, hubungan panjang-berat, kebiasaan makan dan

lain sebagainya. Hubungan panjang-berat ikan berguna untuk pendugaan

perikanan (fishery assesment), seperti menentuka biomassa karena pengukuran

berat ikan langsung dilakukan di lapangan, sedangkan secara tidak langsung

biomassa dapat digunakan untuk mengestimasi produksi perikanan (Smith, 1996).

Kebiasaan makanan bagi ikan dapat merupakan faktor yang menentukan populasi,

pertumbuhan dan kondisi ikan. Mengetahui makanan atau kebiasaan makan satu

jenis ikan dapat melihat hubungan ekologi antara ikan dengan organisme lain

yang ada di suatu perairan, misalnya bentuk-bentuk pemangsaan, saingan dan

rantai makanan (Effendie, 1992). Penelitian tentang beberapa aspek biologi ikan

lambak pipih bertujuan memberi masukkan untuk pengelolaannya dimasa

mendatang agar sumberdaya ikan ini tetap lestari di Sungai Batanghari dan DAS

(daerah aliran sungai) nya di Propinsi Jambi. Sistem penangkapan yang tidak

ramah lingkungan dimana upaya penangkapan yang dilakukan terus menerus akan

mengganggu proses rekruitmen karena banyaknya ikan ukuran kecil yang

tertangkap. (Kaban, 2018)

Anda mungkin juga menyukai