Anda di halaman 1dari 44

PROPOSAL PENELITIAN

HUBUNGAN KEJADIAN STUNTING DENGAN TUMBUH KEMBANG


BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SAJOANGING
KABUPATEN WAJO TAHUN 2022

WIRIA AKMAJAYANTI
NIM. 202009086

PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
ITKES MUHAMMADIYAH SIDRAP
TAHUN 2022

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pertumbuhan (growth) adalah suatu ukuran kedewasaan fisik. Ini

ditandai dengan peningkatan ukuran tubuh dan berbagai organ. Oleh karena

itu, pertumbuhan dapat diukur dalam sentimeter atau dalam meter dan

kilogram (Nurkholidah, 2020). Sedangkan perkembangan (development)

merupakan peningkatan fungsi tubuh yang lebih kompleks dibidang motorik

kasar, motorik halus, keterampilan bahasa serta sosialisasi dan kemandirian

(Prastiwi, 2019).

Stunting merupakan salah satu kegagalan perkembangan fisik yang

diukur dengan tinggi badan sesuai umur. Batas stunting adalah tinggi badan

yang berkaitan dengan usia berdasarkan Z-score yang 2SD lebih rendah dari

rata-rata standar. Indonesia menempati urutan kelima di dunia dalam hal

jumlah anak stunting, dengan lebih dari sepertiga anak di bawah usia lima

tahun di bawah rata-rata tinggi badan. Perilaku anti-pertumbuhan yang tidak

terselesaikan memiliki efek jangka pendek : peningkatan mortalitas dan

morbiditas, dan efek jangka panjang : penurunan kinerja pembelajaran,

kinerja, dan produktivitas tenaga kerja. Balita kecil, atau pertumbuhan

terhambat, adalah kondisi pada anak yang tidak tumbuh karena kekurangan

gizi kronis, yang mengakibatkan anak menjadi lebih kecil seiring

bertambahnya usia. (B et al., 2020).

1
Pertumbuhan terhambat (pendek/sangat pendek) adalah suatu kondisi

kekurangan gizi kronis yang diukur dengan Indeks Usia (TB/U)

dibandingkan dengan standar WHO tahun 2005. Data tinggi badan dari

Studi Kesehatan Dasar (Riskesdas) digunakan sebagai analisis gizi. Tinggi

dan berat badan setiap anak di bawah 5 tahun dikonversi ke nilai standar

(Zscore) menggunakan standar antropometri WHO untuk anak di bawah 5

tahun dari Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun 2005.

1995 / MENKES / SK / XII / 2010 : 1. Sangat pendek : Zscore <3.0 2.

Pendek : Zscore >-3.0 sampai Zscore <-2.0 (Statistik, 2020)..

Indikator ini mengukur proporsi anak di bawah usia 5 tahun yang

tingginya di bawah rata-rata tinggi badan populasi referensi. Stunting pada

anak mencerminkan dampak luas dari malnutrisi kronis dan penyakit

berulang yang disebabkan oleh kondisi sosial dan ekonomi yang buruk.

Stunting pada anak dapat berdampak serius pada perkembangan fisik,

mental dan emosional anak, dan efek stunting terhadap perkembangan anak,

terutama pada perkembangan otak, sangat tepat bagi anak. Selain itu, anak-

anak yang terhambat memiliki peningkatan risiko terkena penyakit menular

dan tidak menular seperti penyakit jantung, diabetes, dan penyakit

pembuluh darah di masa dewasa. Oleh karena itu, indikator ini

menunjukkan pentingnya nutrisi yang tepat untuk anak (Statistik, 2020).

Menurut World Health Organization (WHO), stunting menjadi

masalah kesehatan masyarakat jika mencapai 20% atau lebih. Dibandingkan

dengan beberapa negara tetangga, prevalensi stunting di Indonesia juga

2
paling tinggi dibandingkan Myanmar (35%), Vietnam (23%), Malaysia

(17%), Thailand (16%) dan Singapura (4%).%) (UNSD, 2014). Laporan

Gizi Dunia (2014) menunjukkan bahwa Indonesia termasuk dalam 17

negara, dari 117 negara dengan masalah gizi, yaitu pertumbuhan terhambat

(Kemenkes RI, 2017).

Dari grafik presentasi kasus stunting di indonesia tahun 2020

prevelensi sunting berada diurutan pertama atau paling tinggi yaitu Nusa

Tenggara Timur (NTT) sebesar 24,2 %, sedangkan Sulawesi Selatan berada

pada urutan 22 yaitu sebesar 11,0% dan bangka belitung menjadi urutan

terakhir sebesar 4,6 %. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2021)

Di Indonesia data studi kesehatan dasar, menunjukkan bahwa angka

stunting pada anak di bawah 5 tahun di Indonesia telah mencapai 30%

(11,5% sangat rendah dan 19,7% rendah). Di Provinsi Sulawesi Selatan

mencapai 35 % (12,5% sangat rendah dan 23,2% rendah) (Riskesdas, 2018).

Hasil Studi Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan bahwa

prevalensi stunting di Provinsi Sulawesi Selatan berfluktuasi. Pada tahun

2010, angka ini meningkat dari 36,8% menjadi 40,9% pada tahun 2013,

pada tahun 2015 angka ini meningkat 34,1%, menjadi 35,7% pada tahun

2016, tahun 2017 angka ini meningkat 34,80% menjadi 35,6% ditahun

2018. Sedangkan pada tahun 2019 sebesar 30,59% dan masih digunakan

untuk mempresentasikan prevalensi stunting pada anak dibawah lima tahun

2020 tanpa survei nasional (Sulsel, 2020).

3
Berdasarkan Pemantauan Status Gizi (PSG) di Kabupaten Wajo pada

tahun pada tahun 2014 dari 38.159 balita yang ditimbang terdapat jumlah

status gizi buruk sebesar 11 kasus. Pada tahun 2015 dari 30.255 balita yang

ditimbang terdapat jumlah status gizi buruk sebesar 18 kasus. Pada tahun

2016 dari 32.552 balita yang ditimbang terdapat jumlah status gizi buruk

sebesar 34 kasus. Pada tahun 2017 dari 23.587 balita yang ditimbang

terdapat jumlah status Gizi buruk sebesar 19 kasus. Pada tahun 2018 dari

21.701 balita yang ditimbang terdapat jumlah status Gizi Buruk sebesar 17

kasus Terbanyak ditemukan di wilayah Puskesmas Salewangeng sebanyak 6

kasus, Puskesmas Pitumpanua sebanyak 4 kasus disusul Puskesmas

Pattirosompe dan Puskesmas Majauleng sebanyak 2 kasus dan Pammana,

Penrang dan Gilireng sebanyak 1 kasus dan terbanyak dari jenis kelamin

laki laki sebesar 9 kasus. (Dinas Kesehatan, Kab.Wajo, 2019).

Menurut data Puskesmas Sajoanging pada tahun 2020, di Kecamatan

Sajoanging jumlah balita berdasarkan status TB/U untuk sangat pendek

sebanyak 15 balita dan pendek sebanyak 15 balita. Sedangkan pada tahun

2021 (Januari sampai Desember) jumlah balita berdasarkan status TB/U

untuk sangat pendek sebanyak 11 balita dan pendek sebanyak 33 balita.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan orang-orang terdahulu

buruknya status gizi masyarakat disebabkan karena adanya penyakit

penyerta, faktor ekonomi, higiene ibu hamil dan balita, anak BBLR,

penurunan berat badan, pengetahuan keluarga, tenaga kesehatan, ahli gizi

4
kurang dan sebagian belum terlatih dalam pengelolaan gizi buruk, dan

anggaran pengelolaan gizi buruk belum optimal.

Dari data di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

tentang “Hubungan Kejadian Stunting dengan Tumbuh Kembang Balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Sajoanging Tahun 2022”.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah ada Hubungan

Kejadian Stunting Dengan Tumbuh Kembang Balita di Wilayah Kerja

Puskesmas Sajoanging Tahun 2022”?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahuinya hubungan kejadian stunting dengan tumbuh kembang

balita di wilayah kerja puskesmas Sajoanging.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui hubungan kejadian stunting dengan pertumbuhan

balita di wilayah kerja puskesmas sajoanging.

b. Mengetahui hubungan kejadian stunting dengan perkembangan

balita di wilayah kerja puskesmas sajoanging.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Imiah

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang

hubungan kejadian stunting dengan tumbuh kembang balita sebagai

5
acuan bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti hal yang berkaitan

dengan masalah penelitian

2. Manfaat Institusi

Sebagai suatu pengalaman yang dapat meningkatkan pengetahuan dan

wawasan bagi mahasiswa ITKES Muhammadiyah Sidrap dan sebagai

bahan acuan yang diharapkan dapat bermanfaat terutama sebagai salah

satu sumber informasi bagi penentu kebijakan dan pelaksana program

bagi Puskesmas Sajoanging khususnya tentang peningkatan berat

badan bayi

3. Manfaat Praktis

Menambah pengetahuan dan wawasan peneliti dan juga dapat

menyampaikan informasi kepada masyarakat bahwa pentingnya

memperhatikan tumbuh kembang balitanya.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Stunting

1. Definisi Stunting

Stunting merupakan istilah dari badan kerdil/pendek, dimana

anak usia dibawah 5 tahun mengalami kondisi gagal tumbuh akibat

kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang yang terjadi selama masa

periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) yaitu dari janin hingga

anak berusia 24 bulan. Anak dikatakan stunting jika hasil pengukuran

antropometri dari panjang atau tinggi badan per usianya dibawah -2

SD. (Ariani, 2020).

Stunting growth adalah kegagalan tumbuh kembang akibat

kekurangan gizi yang terjadi pada anak di bawah usia lima tahun.

Retardasi pertumbuhan juga didefinisikan sebagai suatu kondisi

dimana ukuran tubuh merupakan indikator panjang menurut usia

(PB/U) atau tinggi menurut usia (TB/U) dan ambang batas (zscore)

adalah -3SD sampai dengan <-2SD. Seorang anak tergolong stunting

jika panjang/tinggi badan anak kurang dari -3 standar deviasi dari

standar pertumbuhan rata-rata World Health Organization (WHO).

(Yanti; et al., 2020).

Stunting adalah kondisi dimana anak yang lebih pendek

dibandingkan anak-anak seumurannya yang pertumbuhannya normal.

7
Ini disebabkan karena adanya gangguan pertumbuhan pada balita.

(Oka & Annisa, 2019)

Masalah gizi khususnya anak pendek (stunting), menghambat

perkembangan anak dengan dampak negatif yang akan berlangsung

dalam kehidupan selanjutnya. Anak-anak pendek menghadapi

kemungkinan yang lebih besar untuk tumbuh menjadi orang dewasa

yang kurang berpendidikan, miskin, kurang sehat dan lebih rentan

terhadap penyakit tidak menular. (B et al., 2020).

2. Ciri-ciri Anak Stunting

Agar dapat mengetahui kejadian stunting pada anak maka perlu

diketahui ciri-ciri anak yang mengalami stunting sehingga jika anak

mengalami stunting dapat ditangani sesegera mungkin.

a. Tanda pubertas terlambat

8
b. Usia 8-10 tahun anak menjadi lebIh pendiam, tidak banyak

melakukan eye contact

c. Pertumbuhan terhambat

d. Wajah tampak lebih muda dari usianya

e. Pertumbuhan gigi terlambat

f. Performa buruk pada tes perhatian dan memori belajar (Atikah

Rahayu, S.KM. et al., 2018).

3. Patologis Stunting

Stunting patologis dibedakan menjadi proporsional dan tidak

proporsional. Stunting proporsional meliputi malnutrisi, penyakit

infeksi/kronik dan kelainan endokrin seperti defisiensi hormon

pertumbuhan, hipotiroid, sindrom cushing, resistensi hormon

pertumbuhan dan defisiensi IGF-1. Stunting tidak proporsional

disebabkan oleh kelainan tulang seperti kondrodistrofi, displasia

tulang, Turner, sindrom Prader-Willi, sindrom Down, sindrom

Kallman, sindrom Marfan dan sindrom Klinefelter. (Candra, 2020).

Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh yang menjadi tanda

adanya kelainan patologis, penurunan kemampuan kognitif sampai

meningkatkan peluang terhadap morbiditas dan mortalitas. Proses

terjadinya stunting dapat dimulai sejak janin dalam kandungan dan

berlanjut hingga usia 2 tahun pertama kehidupan. Kegagalan

pertumbuhan pada masa ini disebabkan karena kondisi kesehatan yang

tidak optimal dan nutrisi yang kurang memadai Konsekuensi jangka

9
panjang yang ditimbulkan dari stunting pada usia balita yaitu

melahirkan anak pendek, menurunkan perkembangan neurologis, dan

kemampuan intelektual. (Prastia & Listyandini, 2020)

4. Dampak Stunting

a. Dampak jangka pendek stunting

Dampak yang dapat ditimbulkan oleh stunting dalam jangka

pendek terganggunya perkembangan otak, kecerdasan,

gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam

tubuh.

b. Dampak jangka panjang stunting

Dampak buruk dalam jangka panjang menurunnya kemampuan

kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh

sehingga mudah sakit, dan risiko tinggi untuk munculnya

penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh

darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua, serta kualitas

kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya

produktivitas ekonomi. (Ekayanthi & Suryani, 2019).

5. Penyebab Stunting

Stunting dapat terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan

bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya stunting

pada anak usia dibawah 5 tahun antara lain:

a. Faktor Pendidikan Ibu

10
faktor pendidikan ibu merupakan faktor yang memiliki

hubungan paling dominan dengan kejadian stunting pada anak.

Tingkat pendidikan memiliki peranan penting terhadap

kesehatan, salah satunya terkait masalah status gizi. Seseorang

yang berpendidikan tinggi memiliki kemungkinan lebih besar

mengetahui cara menjaga tubuh yang baik dan pola hidup sehat

yang ditandai dari penerapan konsumsi diet bergizinya dan

biasanya cenderung menghindari kebiasaan buruk seperti rokok

dan alkohol, sehingga memiliki status kesehatan yang lebih baik

pula. Ibu yang berpendidikan tinggi akan membuat keputusan

untuk meningkatkan asupan gizi dan kesehatan pada anak. Ibu

yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, harapannya juga

dapat meningkatkan keuangan keluarga sehingga dapat

meningkatkan pendapatan keluarga dan dapat membuat status

asupan nutrisi lebih baik.

b. Faktor Pengetahuan Ibu

Ibu yang memiliki pengetahuan rendah akan memiliki

risiko yang lebih besar untuk mengalami stunting. Terdapat

hubungan yang signifikan antara faktor pengetahuan orangtua

terhadap kejadian stunting pada balita dan anak. Bila

pengetahuan orangtua kurang terkait cara pencegahan dan gizi

baik pada anak, maka berisiko 11, 13 kali anaknya mengalami

stunting. Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan

Pendidikan. Jika pendidikan seseorang tinggi, maka semakin

11
luas juga pengetahuannya. Pendidikan yang rendah tidak

menjamin ibu tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai

gizi untuk keluarganya. Adanya rasa ingin tahu yang tinggi

dapat mempengaruhi ibu dalam mendapatkan informasi terkait

makanan yang tepat untuk Kesehatan anak. Jadi tinggi

rendahnya pengetahuan gizi ibu akan memberikan perubahan

pada status gizi. Semakin tinggi pengetahuan gizi ibu maka

semakin baik pula status gizinya.

c. Faktor Pemberian ASI Ekslusif

Balita yang memiliki riwayat ASI non eksklusif akan

berisiko lebih besar untuk menyebabkan anak mengalami

stunting. ASI Ekslusif (ASI yang diberikan sejak lahir hingga

usia anak 6 bulan) penting dalam pertumbuhan anak untuk

mengurangi dan mencegah terjadinya penyakit infeksi pada anak

dan mencegah stunting. Pemberian ASI eksklusif merupakan

faktor risiko kejadian stunting. Anak kelompok stunting

sebagian besar tidak diberikan ASI eksklusif. Anak yang tidak

diberikan ASI eksklusif berisiko 19,5 kali untuk menjadi

stunting.

d. Faktor Pemberian MP-ASI

Anak-anak yang diberikan makanan pendamping ASI

tepat diusia 6 bulan menunjukkan risiko stunting yang lebih

rendah daripada mereka yang menerima makanan pendamping

ASI kurang atau lebih dari 6 bulan menjelaskan bahwa anak-

12
anak yang memulai MPASI dibawah usia 6 bulan atau lebih dari

usia 6 bulan berpotensi 3,78 kali kemungkinan berpengaruh

pada terjadinya stunting dibandingkan anak yang diberi MPASI

tepat di usia 6 bulan. Bertambahnya umur bayi yang disertai

kenaikan berat badan dan panjang badan, maka kebutuhan akan

energi dan zat gizi lain akan bertambah pula. Kebutuhan gizi

bertambah tidak hanya bisa diberikan ASI saja tapi harus ada

makanan pendamping ASI yang menghasilkan energi sekurang-

kurangnya mengandung 360 kkal per 100g bahan. Jadi pengaruh

MPASI dan stunting di Indonesia termasuk makanan berkualitas

rendah, praktik pemberian makan yang tidak memadai dan

keamanan makanan dan air yang digunakan.

e. Faktor Riwayat BBLR

Ada hubungan berat badan lahir dengan terjadinya

pertumbuhan terhambat. BBLR 15,3 kali lebih mungkin

mengalami stunting dibandingkan bayi dengan berat badan

normal. Berat badan lahir sangat erat kaitannya dengan

pertumbuhan dan perkembangan jangka panjang. Efek persisten

BBLR dapat berupa gagal tumbuh, dan ketika bayi lahir dengan

BBLR, sulit untuk mengikuti pertumbuhan awal yang normal

dan anak berisiko disgenesis. BBLR merupakan faktor risiko

yang signifikan untuk retardasi pertumbuhan. Berat lahir bayi

dipengaruhi oleh pertumbuhan rahim dan asupan makanan ibu

selama kehamilan. Jika pertumbuhannya terhambat sejak lahir,

13
anak juga akan terhambat saat lahir. Oleh karena itu, asupan gizi

selama kehamilan harus diperhatikan untuk menghindari

stunting di kemudian hari.

f. Faktor Riwayat Penyakit Infeksi

Riwayat infeksi merupakan faktor risiko retardasi

pertumbuhan. Dari hasil uji statistik didapatkan OR = 3.400.

Artinya, bayi dengan penyakit menular 3,4 kali lebih mungkin

mengalami retardasi pertumbuhan dibandingkan bayi tanpa

penyakit menular. Status kesehatan mengenai frekuensi dan

lamanya sakit pada bayi membawa risiko potensi retardasi

pertumbuhan pada anak. Ada hubungan timbal balik antara

status gizi dengan proses infeksi. Bayi yang kekurangan gizi

lebih rentan terhadap penyakit karena kekebalannya yang

melemah, yang dapat menyebabkan infeksi. Di sisi lain, ketika

infeksi biasa terjadi, orang menderita kekurangan gizi karena

kehilangan nafsu makan.

g. Faktor Sanitasi

Rumah tangga yang tidak memiliki akses air minum yang

memenuhi standar berisiko tinggi mengalami stunting. Higiene

dan higiene lingkungan yang buruk dapat menyebabkan

gangguan saluran cerna, sehingga energi yang dibutuhkan tubuh

untuk tumbuh dialihkan untuk daya tahan tubuh terhadap

infeksi. Ketika balita sering menderita penyakit infeksi, maka

14
timbul masalah gizi salah satunya stunting. Rumah tangga

dengan fasilitas sanitasi yang lebih baik memiliki insiden

stunting yang lebih rendah. Faktor air, sanitasi, dan sanitasi

(WASH) merupakan faktor yang dapat menyebabkan

terhambatnya pertumbuhan. Namun, walaupun WASH saja

tidak cukup untuk mencegah stunting, banyak faktor penyebab

stunting yang perlu dicegah/ditanggulangi.

h. Faktor Status Ekonomi Keluarga

Bayi dalam keluarga dengan pendapatan per kapita rendah

memiliki kemungkinan 5.385 kali lebih besar untuk mengalami

stunting dibandingkan bayi dalam keluarga berpenghasilan baik.

Kondisi ekonomi di bawah keluarga menurunkan daya beli

terhadap makanan yang mengandung gizi baik, sehingga

berisiko terjadi defisiensi makronutrien dan mikronutrien, dan

malnutrisi pada bayi dan ibu hamil dapat meningkatkan risiko

stunting pada anak. Stunting lebih sering terjadi pada kelompok

sosial ekonomi rendah. Stunting yang terjadi pada masyarakat

miskin disebabkan karena kurangnya pemahaman tentang gizi

dan pengelolaan gizi, serta praktik personal hygiene. Pendapatan

keluarga yang berhubungan dengan pemenuhan asupan energi

dan protein anak dapat menjadi faktor tidak langsung yang

berhubungan dengan stunting. Pendapatan keluarga terkait

penyediaan pangan keluarga, akses pangan keluarga, dan

15
distribusi pangan keluarga yang baik dapat menjadi faktor risiko

terjadinya stunting. (Ariani, 2020).

Kejadian stunting disebabkan oleh kekurangan gizi dan

penyakit infeksi yang secara tidak langsung disebabkan oleh

status sosial ekonomi keluarga, seperti pendapatan, pendidikan,

jumlah keluarga, dan pekerjaan. Status keuangan keluarga

menunjukkan kemampuan keluarga dalam memberikan

makanan bergizi kepada anak. Faktor ekonomi terutama

pendapatan keluarga merupakan salah satu faktor terpenting

dalam gizi yang baik. Ketidakmampuan keluarga dalam

mengontrol keuangan mengakibatkan ketidakmampuan keluarga

dalam menyediakan asupan makanan keluarga sesuai dengan

kebutuhan alami tubuh. Penelitian sebelumnya juga menjelaskan

bahwa keluarga dengan status sosial ekonomi rendah 21 kali

lebih mungkin menyebabkan stunting dibandingkan keluarga

dengan status sosial ekonomi tinggi (Utami et al., 2021).

6. Upaya pencegahan stunting

Usia 0–2 tahun atau usia bawah 3 tahun (batita) adalah periode

emas (golden age) buat pertumbuhan & perkembangan anak, lantaran

dalam masa tadi terjadi pertumbuhan yang sangat pesat. Periode 1000

hari pertama sering disebut Window Of Opportunities atau periode

emas ini didasarkan dalam fenomena bahwa dalam masa janin hingga

anak usia 2 tahun terjadi proses tumbuh-kembang yang sangat cepat

16
dan terjadi dalam gerombolan usia lain. Gagal tumbuh dalam periode

ini akan menghipnotis status gizi dan kesehatan dalam usia dewasa.

Oleh karenanya perlu dilakukan upaya-upaya pencegahan perkara

stunting ini mengingat tingginya prevalensi stunting pada Indonesia.

Pemerintah sudah memutuskan kebijakan pencegahan stunting,

melalui Keputusan Presiden Nomor 42 tahun 2013 mengenai Gerakan

Nasional Peningkatan Percepatan Gizi menggunakan penekanan

dalam gerombolan usia pertama 1000 hari kehidupan, yaitu sebagai

berikut: (Kemenkes RI, 2013).

a. Ibu hamil menerima Tablet Tambah Darah (TTD) minimal 90

tablet selama kehamilan

b. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pada ibu hamil

c. Pemenuhan gizi

d. Persalinan menggunakan dokter atau bidan yg ahli

e. Pemberian Inisiasi Menyusu Dini (IMD)

f. Pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara tertentu dalam bayi sampai

usia 6 bulan

g. Memberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) buat bayi

diatas 6 bulan sampai dua tahun

h. Pemberian imunisasi dasar lengkap dan vitamin A

i. Pemantauan pertumbuhan balita pada posyandu terdekat

j. Penerapan Perilaku Hidup Bersih & Sehat (PHBS)

17
Selain itu, pemerintah menyelenggarakan jua PKGBM yaitu

Proyek Kesehatan & Gizi Berbasis Masyarakat buat mencegah

stunting. PKGBM merupakan acara yg komprehensif & berkelanjutan

buat mencegah stunting pada area tertentu .(Atikah Rahayu, S.KM. et

al., 2018).

B. Tumbuh Kembang Balita

1. Definisi Tumbuh Kembang

Tumbuh adalah bertambahnya ukuran dan jumlah sel serta

jaringan interselular atau bertambahnya ukuran fisik dan struktur

tubuh sebagian atau keseluruhan sehingga dapat diukur dengan satuan

panjang dan berat. Perkembangan adalah bertambahnya struktur dan

fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam kemampuan gerak kasar,

halus, bicara dan bahasa, serta sosialisasi dan kemandirian. Tumbuh

kembang balita perlu dipantau dengan cara melakukan penimbangan

setiap bulannya. Dengan demikian gangguan tumbuh kembang dapat

dideteksi sedini mungkin seperti retardasi mental, sindrom down, dan

lain-lain. (Sari et al., 2019) .

Pertumbuhan dan perkembangan meningkat pesat sejak usia

dini, yaitu dari 0 sampai 5 tahun. Periode ini sering disebut sebagai

fase “Zaman Keemasan”. Masa Golden Age merupakan masa yang

sangat penting untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan anak

secara cermat sehingga dapat mendeteksi adanya kelainan sedini

mungkin. Pola perkembangan dipengaruhi oleh kedewasaan dan

18
latihan atau pembelajaran. Ada kalanya Anda siap menerima sesuatu

dari luar untuk mencapai kedewasaan, dan kedewasaan yang dicapai

dapat dilengkapi dengan rangsangan yang sesuai. Fase ini merupakan

fase penting yang perlu dirangsang untuk memajukan proses

pembelajaran. Penilaian pertumbuhan dan perkembangan meliputi dua

aspek utama yaitu penilaian pertumbuhan fisik dan penilaian

perkembangan. Masing-masing evaluasi ini memiliki parameter dan

alat pengukurannya sendiri. Pertumbuhan tubuh secara signifikan

lebih lambat daripada yang lain, dan tanda-tanda kegagalan untuk

berkembang termasuk kegagalan untuk mencapai tinggi dan berat

badan yang ideal, kehilangan lemak yang signifikan di bawah kulit,

dan kehilangan massa otot. Ini melibatkan infeksi berulang. Indonesia

terus menghadapi tantangan gizi yang berdampak serius pada kualitas

talenta (SDM). Salah satu masalah gizi utama dewasa ini adalah

banyaknya jumlah anak yang kurang berkembang (stuted growth).

Pertumbuhan terhambat adalah masalah kekurangan gizi kronis yang

disebabkan oleh kekurangan gizi jangka panjang karena kekurangan

gizi. Retardasi pertumbuhan terjadi pada saat janin masih dalam

kandungan dan tidak muncul sampai anak berusia 2 tahun. Masalah

stunting pada bayi memerlukan perhatian khusus karena dapat

menghambat pertumbuhan fisik dan perkembangan mental anak.

Stunting dikaitkan dengan peningkatan risiko kesehatan dan kematian,

serta pengerdilan kinerja atletik dan keterampilan mental. Bayi yang

19
pingsan berisiko mengalami penurunan kapasitas intelektual,

produktivitas dan peningkatan risiko penyakit degeneratif dikemudian

hari. (Oka & Annisa, 2019).

2. Jenis-jenis Tumbuh Kembang

a. Tumbuh kembang fisis

Tumbuh kembang fisis meliputi perubahan ukuran dan

fungsi suatu organisme atau individu. Perubahan fungsional ini

berkisar dari fungsi sederhana pada tingkat molekuler seperti

aktivasi enzim untuk diferensiasi sel, hingga proses metabolisme

yang kompleks dan perubahan fisik selama masa pubertas dan

remaja.

b. Tumbuh kembang intelektual

Perkembangan intelektual melibatkan keterampilan

komunikasi dan kemampuan untuk memanipulasi materi abstrak

dan simbolik, seperti berbicara, bermain, menghitung, atau

membaca.

c. Tumbuh kembang emosional

Pertumbuhan dan perkembangan emosi tergantung pada

kemampuan untuk membentuk ikatan emosional, kemampuan

untuk mencintai dan memeluk, kemampuan untuk mengatasi

kecemasan yang disebabkan oleh frustrasi, dan kemampuan

untuk tersinggung. (Wahyuni, 2018).

20
3. Tahapan Tumbuh Kembang

Tahap tumbuh kembang anak secara garis besar dibagi menjadi dua,

yaitu:

a. Masa tumbuh kembang pada usia 0-6 tahun, meliputi masa

prenatal sejak masa bayi (sejak konsepsi sampai 8 minggu) dan

masa janin (9 minggu sampai lahir), serta masa kelahiran

selanjutnya dari masa neonatus (0-28 hari), neonatus (29 hari - 1

tahun), masa kanak-kanak (1-2 tahun), prasekolah (3-6 tahun).

b. Tahap tumbuh kembang usia 6 tahun keatas, meliputi sekolah

(6-12 tahun) dan remaja (12-18 tahun). (Wahyuni, 2018).

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tumbuh Kembang

a. Faktor Genetik

Faktor genetik ini merupakan modal dasar untuk mencapai

hasil akhir dari proses pertumbuhan. Potensi genetik yang

berkualitas harus mampu berinteraksi secara aktif dengan

lingkungan untuk memperoleh hasil yang optimal. Faktor

genetik meliputi faktor bawaan normal atau patologis, jenis

kelamin, etnis atau kebangsaan.

b. Faktor Lingkungan

Berbagai kondisi lingkungan yang mempengaruhi tumbuh

kembang anak secara umum digolongkan sebagai lingkungan

psikofisiologis, yang meliputi komponen biologis (fisik),

psikologis, ekonomi, sosial, politik, dan budaya.

21
c. Faktor Perilaku

Keadaan perilaku tersebut akan mempengaruhi pola

tumbuh kembang anak. Perilaku yang sudah mendarah daging di

masa kanak-kanak akan berlanjut ke kehidupan selanjutnya.

Belajar sebagai aspek utama realisasi adalah proses

pendidikan yang dapat mengubah dan membentuk perilaku

anak. Dorongan yang kuat untuk mengubah perilaku dapat

diartikan positif atau negatif, tergantung pada sifat dorongan itu

untuk menjadi baik, menyenangkan, membangkitkan semangat

atau sebaliknya.

Perubahan tingkah laku dan pola tingkah laku yang terjadi

akibat pengaruh berbagai faktor lingkungan akan berdampak

luas terhadap sosialisasi dan disiplin anak. (Wahyuni, 2018).

5. Penilaian tumbuh kembang

Penilaian medis atau statistik terhadap pertumbuhan dan

perkembangan anak diperlukan untuk membuat diagnosis

pertumbuhan dan status gizi anak sehat atau sakit untuk mengetahui

apakah anak tumbuh dan berkembang secara normal. Anak yang sehat

menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan yang optimal bila

diberikan lingkungan biofisik-psiko-sosial yang sesuai. Parameter

pengukuran antropometri untuk menilai pertumbuhan fisik adalah

tinggi badan, berat badan, lingkar kepala, lingkar dada, lipatan kulit,

lingkar lengan atas, rentang lengan, rasio tubuh/tinggi badan, dan

22
panjang tungkai. Penilaian pertumbuhan dimulai dengan memplot

pengukuran tinggi dan berat badan pada kurva standar (NCHS,

Lubschenko, Harvard, dll.) dari intrauterin (dalam rahim) hingga

remaja. KMS (Kartu Menuju Kesehatan) merupakan sarana penting

untuk memantau tumbuh kembang anak. Kegiatan ini tidak hanya

menimbang dan mengukur, tetapi juga memaknai tumbuh kembang

anak bagi ibu. KMS Indonesia saat ini didasarkan pada standar

Harvard, dan persentil Harvard standar 50 dianggap 100%. Seminar

Antropometri Ciloto tahun 1991 merekomendasikan penggunaan

standar NCHS daripada standar Harvard. Penggunaan standar Harvard

secara bertahap menurun secara internasional. (Wahyuni, 2018).

6. Deteksi Dini Tumbuh Kembang

Tumbang harus selalu dipantau secara teratur dan teratur melalui

deteksi dini agar masalah tumbuh kembang tidak terlambat saat

terdeteksi. Deteksi tumbuh kembang adalah upaya untuk mendeteksi

kelainan tumbuh kembang pada anak sedini mungkin. 3 Deteksi dini

tumbang dapat dilakukan dengan menilai kelainan pada pertumbuhan,

perkembangan, dan emosi psikologis. (Wigunantiningsih & Fakhidah,

2019).

Penilaian perkembangan dilakukan dengan menggunakan

formulir KPSP, yaitu suatu alat/perangkat yang digunakan untuk

mengetahui apakah perkembangan anak normal atau tidak normal.

Deteksi dini terjadi pada bayi dan anak prasekolah. Fenomena yang

23
ada di masyarakat, kegiatan deteksi dini belum dilakukan setiap hari

(Wigunantiningsih & Fakhidah, 2019).

7. Definisi Balita

Balita adalah anak yang berumur 0-59 bulan, pada masa ini

ditandai dengan proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat

pesat disertai dengan perubahan yang memerlukan zat-zat gizi yang

jumlahnya lebih banyak dengan kualitas tinggi. Stunting merupakan

keadaan tubuh yang kurang normal, atau tubuh yang kurang tinggi

/pendek terhadap usianya. Yang di dasarkan pada indeks panjang

badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U).

(Hasnawati et al., 2021)

8. Status Gizi Balita

Status Gizi Balita merupakan salah satu indikator yang bisa

menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat karena anak usia

balita merupakan kelompok yang rentan terhadap gangguan kesehatan

dan gizi dikarenakan masih dalam perkembangan. (Item et al., 2021)

Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam

bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk

variabel tertentu. Penilaian Status gizi dapat dibagi menjadi empat

penilaian yaitu ; antropometri, klinis, biokimia dan biofisik.

Berdasarkan buku Harvard status gizi dibagi menjadi empat yaitu :

a. Gizi lebih untuk over weight, termasuk kegemukan dan obesitas

b. Gizi Baik untuk well nourished,

24
c. Gizi Kurang untuk under weight yang mencakup mild dan

moderate PCM ( Protein Calorie Mal-nutrition)

d. Gizi Buruk untuk severe PCM, termasuk marasmus, marasmik-

kwasiorkor dan kwashiorkor. (Susilowati & Himawati, 2017)

Kategori dan ambang batas status gizi anak adalah sebagaimana

terdapat pada tabel di bawah ini :

Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak

Berdasarkan Indeks

Kategori Ambang batas (Z-


Indeks
status gizi score)
Gizi buruk < -3 SD
Berat badan menurut umur
Gizi kurang -3 SD s/d < -2 SD
(BB/U)
Gizi baik -2 SD s/d 2 SD
Umur 0-60 bulan
Gizi lebih >2 SD
Panjang badan menurut umur Sangat
< -3
(PB/U) atau pendek
Tinggi badan menurut umur Pendek -3 SD s/d <-2 SD
(TB/U) Normal -2 SD s/d 2 SD
Umur 0-60 bulan Tinggi >2 SD
Berat badan menurut panjang Sangat kurus < -3
badan (BB/PB) atau berat Kurus -3 SD s/d <-2 SD
badan menurut tinggi badan Normal -2 SD s/d 2 SD
(BB/TB)
Gemuk >2 SD
Umur 0-60 bulan
Indeks massa tubuh menurut Sangat kurus < -3 SD
umur (IMT/U) Kurus -3 SD s/d < -2 SD
Umur 0-60 bulan Normal -2 SD s/d 2 SD

25
Gemuk >2 SD
Sangat kurus < -3 SD
Indeks massa tubuh menurut
Kurus -3 SD s/d < -2 SD
umur (IMT/U)
Normal -2 SD s/d 2 SD
Umur 5-18 tahun
Gemuk >2 SD

Tabel 2.2 berat badan ideal anak usia 1-5 tahun

Umur Anak perempuan (P) Anak laki-laki (L)

1 tahun 7 - 11,5 kg 7,7 – 12 kg

2 tahun 9 - 14,8 kg 9,7 – 15,3 kg

3 tahun 10,8 – 18,1 kg 11,3 – 18,3 kg

4 tahun 13,3 – 21,5 kg 12,7 – 21,2 kg

5 tahun 13,7 – 24,9 kg 14,1 – 24,2 kg

Tabel 2.3 Tinggi badan ideal anak usia 1-5 tahun

Umur Anak perempuan (P) Anak laki-laki (L)

1 tahun 68,9 – 79,2 cm 71 cm – 80,5 cm

2 tahun 80 – 92,9 cm 81,7 – 93,9 cm


3 tahun 87,4 – 101,7 cm 88,7 – 103,5 cm
4 tahun 94,1 – 111,3 cm 94,9 – 111,7 cm
5 tahun 99,9 – 118,9 cm 100,3 – 119,2

26
BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran Variabel yang diteliti

Stunting adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan

pengerdilan/perawakan pendek di mana anak di bawah usia 5 tahun

terhambat karena kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang yang terjadi

dalam 1.000 hari pertama kehidupan (HPK), dari janin hingga bayi 2 bulan.

Seorang anak dikatakan stunting jika hasil panjang antropometri atau tinggi

badan menurut umur kurang dari 2 SD (Ariani, 2020).

Pertumbuhan adalah pertambahan ukuran dan jumlah sel dan jaringan

antar sel atau bertambahnya seluruh atau sebagian ukuran dan struktur fisik

tubuh sehingga dapat diukur dalam satuan panjang dan berat. Perkembangan

adalah bertambahnya struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam

hal kemampuan motorik kasar, kelancaran, bicara dan bahasa, serta

sosialisasi dan kemandirian. Pertumbuhan dan perkembangan balita harus

dipantau dengan menimbangnya setiap bulan. Oleh karena itu, gangguan

tumbuh kembang dapat dideteksi sedini mungkin, seperti keterbelakangan

mental, down syndrome dan lain-lain Pertumbuhan adalah pertambahan

ukuran dan jumlah sel dan jaringan antar sel atau bertambahnya seluruh atau

sebagian ukuran dan struktur fisik tubuh sehingga dapat diukur dalam

satuan panjang dan berat. Perkembangan adalah bertambahnya struktur dan

fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam hal kemampuan motorik kasar,

kelancaran, bicara dan bahasa, serta sosialisasi dan kemandirian.

27
Pertumbuhan dan perkembangan balita harus dipantau dengan

menimbangnya setiap bulan. Oleh karena itu, gangguan tumbuh kembang

dapat dideteksi sedini mungkin, seperti keterbelakangan mental, down

syndrome dan lain-lain (Sari et al., 2019).

B. Pola Pikir Variabel Penelitian/Bagan Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Stunting Tumbuh kembang balita

C. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

N Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala

o Operasional Pengukuran

A Stunting Keadaan KMS 1) Z-score Nominal

status Balita pendek -3

gizi pada Timbanga SD sampai

anak n berat dengan <-

berdasrk bada 2 SD.

an Z- digital 2) Z-score

score Sangat

pada pendek <-

tinggi 3 SD.

badan 3) Z-score

menurut normal -2

umur SD sampai

28
(TB/U) dengan 2

SD.

B Pertumbuha Proses Timbanga 1) Baik : Nominal

n Balita pertambaha n, KMS penambah

n ukuran dan an berat

dan struktur wawancar badan

fisik tubuh a dalam

sehingga kurva

dapat pertumbuh

diukur an normal,

dalam mengikuti

satuan salah satu

panjang dan pita atau

berat. naik pada

pita

diatasnya

pada

grafik

KMS.

2) Buruk :

berat

badan

tetap sama
C Nominalmin

29
Perkembang atau al

an Balita terjadi
Proses KPSP dan penurunan
bertambahn wawancar sesuai
ya struktur a pada
dan fungsi grafik
tubuh yang KMS
lebih

kompleks 1) Jika hasil

dalam hal penilaian

kemampuan KPSP 9-10

motorik berarti

kasar, Sesuai (S).

kelancaran, 2) Jika hasil

bicara dan penilaian

bahasa, KPSP 7-8

serta berarti

sosialisasi Meragukan

dan (M).

kemandiria 3) Jika hasil

n penilaian

KPSP 6 atau

kurang

30
berarti

Penyimpang

an (P).

D. Hipotesis Penelitian

1. Adanya hubungan antara kejadian stunting dengan tumbuh kembang balita

di wilayah kerja Puskesmas Sajoanging Kabupaten Wajo Tahun 2022.

2. Tidak adanya hubungan antara kejadian stunting dengan tumbuh kembang

balita di wilayah puskesmas sajoanging kabupaten wajo tahun 202

31
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan

dan melakukan survei, wawancara langsung, desain penelitian yang

digunakan adalah penelitian study cross sectional dengan jenis penelitian

observasional. Studi cross-sectional adalah studi yang pengumpulan datanya

(point time approach) atau dengan kata lain pengukuran variabel dependen

dan independen dilakukan secara bersamaan (Muliyati et al., 2021). Di

dalam penelitian ini ingin diketahui kejadian stunting dengan tumbuh

kembang balita di wilayah kerja Puskesmas Sajoanging.

B. Lokasi Dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian yang berjudul hubungan kejadian stunting dengan tumbuh

kembang balita ini akan dilakukan di wilayah kerja Puskesmas

kecamatan Sajoanging yang terbagi dalam beberapa desa.

2. Waktu penelitian

Waktu penelitian ini dilakukan dari bulan Februari 2022.

C. Populasi Dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi adalah semua variabel yang berhubungan dengan masalah

yang diteliti (Koentarto & Hasarudiin, 2021). Adapun populasi dalam

32
penelitian ini adalah 50 orang balita dibeberapa desa di wilayah kerja

Puskesmas Sajoanging.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari kuantitas dan sifat yang dimiliki oleh

suatu populasi. Salah satu syarat pengambilan sampel adalah sampel

harus representatif, yaitu sampel yang digunakan harus mewakili

populasi (Koentarto & Ha sarudiin, 2021). Adapun jumlah sampel

yang akan diambil berdasarkan rumus berikut :

Z 2 1−α /2 P(1−P)N
n=
d 2( N −1)+ Zα 2 1−α / 2 P (1−P)

(1,96)2 0,5 ( 1−0,5 ) 40


n= 2
(0,1)2 ( 40−1 ) +(1,96) 0,5(1−0,5)

38.416
n=
1.3504

n=28,4 dibulatkan menjadi 28 .

Keterangan :

n = Besar sampel

N = Jumlah populasi

P = Proporsi suatu kasus tertentu terhadap populasi, bila tidak

diketahui proporsinya ditetapkan 50% atau 0,5

Z1-α/2 = standar deviasi nominal 1,96 dengan taraf kepercayaan

95%

d2 = tingkat kesalahan yang dipilih (10%=0,1)

33
Sampel dipenelitian ini adalah semua balita stunting yang bertempat

tinggal di wilayah kerja puskesmas Sajoanging dan responden adalah

ibu balita. Dalam penelitian ini ada beberapa kreteria yaitu :

a. Kriteria Inklusi

1) Balita yang beertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas

Sajoanging yang telah didiagnosa stunting melalui PSG

(pemantauan status gizi) petugas dan KMS dan balita yang

berkunjung ke kegiatan posyandu.

2) Orang tua bersedia untuk menjadi subjek penelitian dan

bersedia untuk dilakukan wawancara.

b. Kriteria Ekslusi

Responden yang sedang tidak berada dilokasi pada saat

penelitian berlangsung.

D. Pengumpulan dan Penyajian Data

1. Pengumpulan data

a. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan

langsung di lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau

melakukan observasi. Data primer diperoleh dari narasumber

yang digunakan sebagai sarana pengumpulan informasi (Rizqy

et al., 2021). Data primer pada penelitian ini akan didapatkan

oleh orang tua responden. Dalam pengumpulan data primer ini

pengumpulan data dihasilkan dari melakukan penimbangan

34
berat badan, pengukuran tinggi badan dan melakukan

wawancara secara langsung pada orang tua responden, dan

hanya yang memenuhi kriteria sesuai dengan kriteria pada

pengumpulan sampel serta tujuan penelitian. Kemudian setelah

responden mengisi informed consent berarti sudah bersedia

untuk menjadi reponden dalam penelitian yang dilakukan secara

online dan offline.

b. Data sekunder

Data skunder data yang sudah tersedia sehingga peneliti

tinggal mencari dan mengumpulkannya (Rizqy et al., 2021).

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mengkaji dan

mencatat data sekunder yang ada dalam penelitian ini,

khususnya jumlah anak stunting di Puskesmas Sajoanging

2. Penyajian data

a. Penyuntingan data ( Editing )

Pada tahap ini peneliti mengecekan kelengkapan data

dengan mengisi kuesioner.

b. Pengkodean (Coding)

Pengkodean adalah suatu usaha untuk mengklasifikasikan

data dari data yang diperoleh menurut sifatnya. Dalam

pengkodean, data diklasifikasikan menggunakan kode-kode

tertentu berupa angka-angka, untuk memudahkan peneliti dalam

mengelola data tersebut.

35
c. Memasukkan data (Entry Data )

Peneliti akan menginput data yang diperoleh dengan

computer.

d. Pentabulasian (Tabulating)

Pentabulasian aktivitas meringkas data yang dimasukkan ke

dalam tabel yang diatur sesuai kebutuhan menurut sifat-sifat yang

dimiliki sesuai tujuan. (Hastuti & Bartini, 2022).

E. Analisis data

1. Analisa univariat

Analisa univariat dilakukan untuk mengembangkan gambaran

deskriptif tentang variabel terikat dan variabel bebas. Variabel bebas

dalam penelitian ini adalah kejadian stunting sedangkan variabel

terikatnya adalah tumbuh kembang balita. Data dari kumpulan

variabel di atas kemudian disajikan sebagai tabel distribusi frekuensi,

ukuran kecenderungan pusat atau grafik.

2. Analisa bivariat

Analisa bivarat digunakan untuk mengetahui pengaruh dan

risiko variabel dependen dan variabel independen dengan

menggunakan uji chi-square akan menyimpulkan ada atau tidak ada

hubungan antar variabel terikat dan variabel bebas (Hastuti & Bartini,

2022).

36
DAFTAR PUSTAKA

Ariani, M. (2020). Determinan Penyebab Kejadian Stunting pada Balita. 11(1),

1–15. https://doi.org/10.33859/dksm.v11i1.559

Atikah Rahayu, S.KM., M. P., Fahrini Yulidasari, S.KM., M. P., Andini

Octaviana Putri, S.KM., M. K., & Lia Anggraini, S. K. (2018). Study guide

stunting dan upaya pencegahannya study guide stunting dan upaya (S. K.

Hadianor (ed.); 1st ed.). CV Mine.

B, M., Gafur, A., Muh.Azwar, & Yulis, D. M. (2020). Pengetahuan ibu balita

dalam pengendalian stunting di Sulawesi Selatan. 3(2), 1–9.

Candra, A. (2020). Pencegahan dan Penanggulangan Stunting. In Epidemiologi

Stunting (1st ed.).

Dinas Kesehatan, Kab.Wajo. (2019). RENSTRA Dinas Kesehatan.

Ekayanthi, N. W. D., & Suryani, P. (2019). Edukasi Gizi pada Ibu Hamil

Mencegah Stunting pada Kelas Ibu Hamil. Jurnal Kesehatan, 10(3), 1–8.

https://doi.org/10.26630/jk.v10i3.1389

Hasnawati, Latief, S., & AL, J. P. (2021). Hubungan Pengetahuan Ibu dengan

Kejadian Stunting Pada Balita Umur 12-59 Bulan. Jurnal Kesehatan

Panrita Husada, 1(1), 1–6. https://doi.org/10.37362/jkph.v6i1.528

Hastuti, P., & Bartini, I. (2022). Pengaruh Kecemasan Pandemi Covid terhadap

Pengetahuan dan Sikap Remaja Karang Taruna Tentang Kesehatan

Reproduksi di Pendowoharjo. 11(1), 1–11.

Item, D. R., Dary, & Mangalik, G. (2021). Pola Asuh Orang Tua dan Tumbuh

Kembang balita. Jurnal Keperawatan, 13(2), 1–14.

37
Kemenkes RI. (2017). Buku Saku Pemantauan Status Gizi. In Buku Saku.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2021). Laporan Kinerja Kementrian

Kesehatan Tahun 2020. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tahun

2021, 1–224.

Koentarto, I., & Hasarudiin. (2021). Pengaruh Kualitas Layanan Pelaku Wisata

Terhadap Tingkat Kepuasan Wisatawan Mancanegara Di Taman Nasional

Tanjung Puting, Kabupaten Kotawaringin Barat. Jurnal Ecoment Global:

Kajian Bisnis Dan Manajemen, 6(1), 1–8.

Muliyati, H., Purba, T. H., & Yulianti, S. (2021). Studi Cross Sectional :

Pemberian ASI Ekslusif dan Kesejahteraan Keluarga Dengan Kejadian

Stunting pada Balita Usia 12-36 BULAN. 4(2), 1–9.

Nurkholidah. (2020). Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Tumbuh

Kembang Anak Usia 1-3 tahun di Desa Kayu Laut Kecamatan

Panyabungan Selatan Kabupaten Mandailing Natal. 5(2), 1–8.

Oka, I. A., & Annisa, N. (2019). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Ibu Menyusui tentang Stunting pada Baduta. Jurnal Fenomena Kesehatan,

2(2), 1–8.

Prastia, T. N., & Listyandini, R. (2020). Keragaman Pangan Berhubungan Dengan

Stunting Pada Anak Usia 6-24 Bulan. Hearty, 8(1), 1–9.

https://doi.org/10.32832/hearty.v8i1.3631

Prastiwi, M. H. (2019). Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak Usia 3-6 Tahun.

Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 10(2), 1–8.

https://doi.org/10.35816/jiskh.v10i2.162

38
Riskesdas. (2018). Laporan Nasional Riskesdas 2018.

Rizqy, M. I. N., Ariadhy, R. Z., Alpinas, G., Ryzki, J., & Widiasanti, I. (2021).

Analisa Kebutuhan Material Pembesian pada Struktur Shear Wall. Jurnal

IKRA-ITH TEKNOLOGI, 5(2), 1–5.

Sari, D. K., Putri, R. D., & Hermawan, D. (2019). November 2019. JURNAL

PERAK MALAHAYATI ( PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT), 1(1),

1–5.

Statistik, B. P. (2020). Persentase Balita Pendek Dan Sangat Pendek (Persen).

https://www.bps.go.id/indikator/indikator/view_data/0000/data/1325/

sdgs_2/1

Sulsel, D. (2020). Lapran Kinerja Tahun 2020 Dinas Kesehatan Provinsi

Sulawesi Selatan. 1–89.

Susilowati, E., & Himawati, A. (2017). Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu

Tentang Gizi Balita Dengan Status Gizi Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas

Gajah 1 Demak. Jurnal Kebidanan, 6(13), 1–5.

https://doi.org/10.31983/jkb.v6i13.2866

Utami, S., Astuti, I. T., & Khasanah, N. N. (2021). Hubungan Status Ekonomi

Keluarga Dengan Kejadian Stunting Pada Baduta Usia 6-23 Bulan Di

Kelurahan Tanjungmas Semarang. 1–8.

Wahyuni, C. (2018). Panduan Lengkap Tumbuh Kembang Anak Usia 0-5 Tahun

(: STRADA PRESS (ed.)).

Wigunantiningsih, A., & Fakhidah, L. N. (2019). Penilaian Pertumbuhan dan

Perkembangan Balita dengan Menggunakan KPSP di PAUD Wijaya

39
Kususma Papahan Tasikmadu Karanganyar. 2(2), 10–14.

Yanti;, N. D., Betriana, F., & Kartika, I. R. (2020). Faktor Penyebab Stunting

pada Anak: Tinjauan Literatur. Real in Nursing Journal, 3(1), 1–11.

Ariani, M. (2020). Determinan Penyebab Kejadian Stunting pada Balita. 11(1),

1–15. https://doi.org/10.33859/dksm.v11i1.559

Atikah Rahayu, S.KM., M. P., Fahrini Yulidasari, S.KM., M. P., Andini

Octaviana Putri, S.KM., M. K., & Lia Anggraini, S. K. (2018). Study guide

stunting dan upaya pencegahannya study guide stunting dan upaya (S. K.

Hadianor (ed.); 1st ed.). CV Mine.

B, M., Gafur, A., Muh.Azwar, & Yulis, D. M. (2020). Pengetahuan ibu balita

dalam pengendalian stunting di Sulawesi Selatan. 3(2), 1–9.

Candra, A. (2020). Pencegahan dan Penanggulangan Stunting. In Epidemiologi

Stunting (1st ed.).

Dinas Kesehatan, Kab.Wajo. (2019). RENSTRA Dinas Kesehatan.

Ekayanthi, N. W. D., & Suryani, P. (2019). Edukasi Gizi pada Ibu Hamil

Mencegah Stunting pada Kelas Ibu Hamil. Jurnal Kesehatan, 10(3), 1–8.

https://doi.org/10.26630/jk.v10i3.1389

Hasnawati, Latief, S., & AL, J. P. (2021). Hubungan Pengetahuan Ibu dengan

Kejadian Stunting Pada Balita Umur 12-59 Bulan. Jurnal Kesehatan

Panrita Husada, 1(1), 1–6. https://doi.org/10.37362/jkph.v6i1.528

Hastuti, P., & Bartini, I. (2022). Pengaruh Kecemasan Pandemi Covid terhadap

Pengetahuan dan Sikap Remaja Karang Taruna Tentang Kesehatan

Reproduksi di Pendowoharjo. 11(1), 1–11.

40
Item, D. R., Dary, & Mangalik, G. (2021). Pola Asuh Orang Tua dan Tumbuh

Kembang balita. Jurnal Keperawatan, 13(2), 1–14.

Kemenkes RI. (2017). Buku Saku Pemantauan Status Gizi. In Buku Saku.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2021). Laporan Kinerja Kementrian

Kesehatan Tahun 2020. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tahun

2021, 1–224.

Koentarto, I., & Hasarudiin. (2021). Pengaruh Kualitas Layanan Pelaku Wisata

Terhadap Tingkat Kepuasan Wisatawan Mancanegara Di Taman Nasional

Tanjung Puting, Kabupaten Kotawaringin Barat. Jurnal Ecoment Global:

Kajian Bisnis Dan Manajemen, 6(1), 1–8.

Muliyati, H., Purba, T. H., & Yulianti, S. (2021). Studi Cross Sectional :

Pemberian ASI Ekslusif dan Kesejahteraan Keluarga Dengan Kejadian

Stunting pada Balita Usia 12-36 BULAN. 4(2), 1–9.

Nurkholidah. (2020). Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Tumbuh

Kembang Anak Usia 1-3 tahun di Desa Kayu Laut Kecamatan

Panyabungan Selatan Kabupaten Mandailing Natal. 5(2), 1–8.

Oka, I. A., & Annisa, N. (2019). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Ibu Menyusui tentang Stunting pada Baduta. Jurnal Fenomena Kesehatan,

2(2), 1–8.

Prastia, T. N., & Listyandini, R. (2020). Keragaman Pangan Berhubungan Dengan

Stunting Pada Anak Usia 6-24 Bulan. Hearty, 8(1), 1–9.

https://doi.org/10.32832/hearty.v8i1.3631

Prastiwi, M. H. (2019). Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak Usia 3-6 Tahun.

41
Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 10(2), 1–8.

https://doi.org/10.35816/jiskh.v10i2.162

Riskesdas. (2018). Laporan Nasional Riskesdas 2018.

Rizqy, M. I. N., Ariadhy, R. Z., Alpinas, G., Ryzki, J., & Widiasanti, I. (2021).

Analisa Kebutuhan Material Pembesian pada Struktur Shear Wall. Jurnal

IKRA-ITH TEKNOLOGI, 5(2), 1–5.

Sari, D. K., Putri, R. D., & Hermawan, D. (2019). November 2019. JURNAL

PERAK MALAHAYATI ( PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT), 1(1),

1–5.

Statistik, B. P. (2020). Persentase Balita Pendek Dan Sangat Pendek (Persen).

https://www.bps.go.id/indikator/indikator/view_data/0000/data/1325/

sdgs_2/1

Sulsel, D. (2020). Lapran Kinerja Tahun 2020 Dinas Kesehatan Provinsi

Sulawesi Selatan. 1–89.

Susilowati, E., & Himawati, A. (2017). Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu

Tentang Gizi Balita Dengan Status Gizi Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas

Gajah 1 Demak. Jurnal Kebidanan, 6(13), 1–5.

https://doi.org/10.31983/jkb.v6i13.2866

Utami, S., Astuti, I. T., & Khasanah, N. N. (2021). Hubungan Status Ekonomi

Keluarga Dengan Kejadian Stunting Pada Baduta Usia 6-23 Bulan Di

Kelurahan Tanjungmas Semarang. 1–8.

Wahyuni, C. (2018). Panduan Lengkap Tumbuh Kembang Anak Usia 0-5 Tahun

(: STRADA PRESS (ed.)).

42
Wigunantiningsih, A., & Fakhidah, L. N. (2019). Penilaian Pertumbuhan dan

Perkembangan Balita dengan Menggunakan KPSP di PAUD Wijaya

Kususma Papahan Tasikmadu Karanganyar. 2(2), 10–14.

Yanti;, N. D., Betriana, F., & Kartika, I. R. (2020). Faktor Penyebab Stunting

pada Anak: Tinjauan Literatur. Real in Nursing Journal, 3(1), 1–11.

43

Anda mungkin juga menyukai