Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH DETEKSI DINI PENYAKIT TIDAK MENULAR

SURVEILANS GIZI TERHADAP MASALAH GIZI STUNTING

DISUSUN OLEH :
NAMA : LULUK NURROYAN H
NIM : P07131219004

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES YOGYAKARTA
JURUSAN GIZI
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Gizi merupakan salah satu input penting untuk menentukan kualitas


SDM. Salah satu indicator yang menentukan kualitas gizi anak adalah tinggi
badan mereka. Lebih dari 36,1 persen anak usia pra sekolah di Indonesia
tergolong pendek, sehingga akan berdampak negatif pada saat mereka
memasuki usia sekolah. Prevalensi anak pendek semakin meningkat dengan
bertambahnya umur dan gambaran ini ditemukan baik jenis kelamin laki-laki
maupun perempuan (Khomsan, 2012).
Tinggi badan merupakan salah satu indicator gizi bangsa. Protein,
kalsium, vitamin A, yodium dan seng mempunyai efek langsung terhadap
pertumbuhan tinggi badan. Kalsium merupakan nutrisi penting untuk
mendukung pertumbuhan tinggi badan seorang anak. Kebutuhan kalsium
bisa mencapai 1.000 mg per hari. Jumlah tersebut merupakan jumlah
kebutuhan kalsium tertinggi dalam rentang kehidupan manusia. Pada saat
remaja terjadi pertumbuhan kerangka tulang yang cepat, sebnyak 40-50%
dari total kerangka manusia dibentuk pada periode remaja (Khomsan, 2012).
Pendek menunjukkan kekurangan gizi kronis yang terjadi dimasa lalu.
Parameter yang digunakan adalah tinggi badan. Seorang anak dikatakan
pendek apabila berdasarkan perhitungan indeks TB/U dia berada pada
rentang -2 SD sampai dengan -3 SD, sedangkan dikatakan sangat pendek
apabila perhitungan indeks TB/U nilainya <-3 SD ( Purnamasari, 2018).
Stunting merupakan masalah gizi yang harus segera diatasi karena
masalah stunting pada akhirnya akan menjadi beban yang harus ditanggung
suatu negara. Adapun dampak yang diakibatkan dari stunting terbagi dalam 2
kategori yaitu dampak jangka pendek dan dampak jangka panjang. Jangka
pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan
pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan
dampak jangka panjang yang ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan
kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah
sakit, dan resiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan,
penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada
usia tua.
Adapun beberapa hal yang menjadi faktor risiko penyebab stunting ,
diantaranya ialah faktor orang tua : ibu hamil KEK / IMT di bawah normal / TB
rendah (Shrimpton and Kachondham : 2003, Mbuya et al. : 2010, Adair dan
Guilkey : 1997) ; Pendidikan dan pekerjaan ibu (Hizni : 2010) ; Tinggi Badan,
pendidikan dan pekerjaan ayah (Rahayu : 2011) ; Pendapatan dan jumlah
anggota keluarga, pola asuh (Wahdah : 2012) ; Faktor yang mendasar,
seperti Inisiasi Menyusui Dini dan MP-ASI (Ergin et al. :2007). ; ASI Eksklusif
(Umeta et al. : 2003) Infeksi seperti diare (Fikree et al. : 2000 dan Taguri et
al. : 2008).
Balita pendek adalah balita dengan status gizi yang berdasarkan
panjang atau tinggi badan menurut umurnya bila dibandingkan dengan
standar baku WHO-MGRS (World Heatlh Organization of Multicentre Growth
Reference Study) tahun 2005. Kategori pendek jika nilai z-scorenya kurang
dari -2SD dan dikategorikan sangat pendek jika nilai z-scorenya kurang dari
-3SD. Pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status
Gizi Anak, pengertian pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang
didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi
Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted
(pendek) dan severely stunted (sangat pendek).
Prevalensi anak pendek diseluruh dunia menurut WHO pada tahun
2013 sebanyak 161 juta, masih cukup besar, walaupun sudah mengalami
penurunan dibandingkan tahun 2010 169 juta. Data WHO 2017, terdapat 178
juta balita mengalami stunting.  Afrika dan Asia menjadi dua benua dengan
angka kejadian balita stunting tertinggi di dunia dengan persentase masing-
masing 40% dan 36%. Indonesia sendiri masuk dalam 10 besar negara
dengan kasus balita stunting tertinggi di Asia bersama dengan negara Asia
lainnya yaitu Bangladesh, Tiongkok, India, Pakistan dan Filipina. Secara
nasional, prevalensi pendek pada anak umur 5-12 tahun 30,7% (12,3%
sangat pendek dan 18,4% pendek). Prevalensi sangat pendek terendah di DI
Yogyakarta (14,9%) dan tertinggi di Papua (34,5%) (Purnamasari, 2018).
Menurut data Riskesdas 2013, prevalensi pendek anak balita secara
nasional tahun 2013 adalah 37,2 persen, yang berarti terjadi peningkatan
dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%). Prevalensi pendek
sebesar 37,2 persen terdiri dari 18,0 persen sangat pendek dan 19,2 persen
pendek. Pada tahun 2013 prevalensi sangat pendek menunjukkan
penurunan, dari 18,8 persen tahun 2007 dan 18,5 persen tahun 2010.
Prevalensi pendek meningkat dari 18,0 persen pada tahun 2007 menjadi 19,2
persen pada tahun 2013
Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi
masalah stunting sudah terbukti menurunkan angka prevalensinya di
Indonesia. Adanya fakta masih ditemukan masalah stunting di masyarakat,
menunjukkan bahwa program tersebut belum optimal. Hal ini terjadi karena
sebagian masyarakat menganggap upaya penanggulangan masalah gizi
stunting ini menjadi tanggung jawab pemerintah, selain itu program yang
sifatnya bukan pemberdayaan masyarakat juga menjadikan masyarakat lebih
pasif untuk terlibat dalam upaya penanggulangan. Keberdayaan dan
kesadaran masyarakat dalam menanggulangi masalah stunting masih
rendah. Peran masyarakat dalam penanggulangan stunting selama ini hanya
sebatas partisipasi saja.
Sehingga perlu dikembangkan suatu program penanggulangan
masalah stunting berbasis pemberdayaan masyarakat.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu stuting?
2. bagaimana data stunting ?
3. bagaimana cara penanggulangan stunting?
C. TUJUAN PENULIS
1. untung mengetahui apa itu stunting
2. untuk mengetahui data stunting yang ada
3. untung mengetahui cara penanggulangan stunting
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Mengatahui pengertian stunting


Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak berusia di bawah lima
tahun (balita) akibat kekurangan gizi kronis yang ditandai dengan panjang
atau tinggi badannya berada di bawah standar (PB/U atau TB/U). Tinggi
badan hanya penunjuk fisik, namun dampak lain yang tak kalah
mengkhawatirkan dari stunting adalah hambatan perkembangan kognitif dan
motorik serta gangguan metabolik pada saat dewasa sehingga berisiko
menderita penyakit tidak menular.
Banyak orang berpikir bahwa tinggi seorang anak bergantung pada
faktor genetik (keturunan) dan tidak banyak yang dapat dilakukan untuk
mencegah atau memperbaikinya. Padahal, stunting disebabkan karena
seseorang tidak mendapatkan asupan bergizi dalam jumlah yang tepat pada
jangka waktu yang lama (kronik). Sehingga, stunting sebenarnya dapat
dicegah dengan asupan gizi yang memadai, terutama pada 1000 Hari
Pertama Kehidupan.
Secara global, stunting berkontribusi sebesar 15-17 persen pada kasus
kematian anak. Anak yang stunting akan mengalami kesulitan belajar
sehingga kurang berprestasi di sekolah dan kurang produktif saat dewasa.
Stunting dapat menurunkan penghasilan sebanyak 20 persen. Hal ini
menjadikan mereka tidak bisa mendapatkan penghasilan yang cukup
sehingga terus berada dalam kemiskinan.
Angka stunting yang besar di Indonesia merupakan masalah serius.
Artinya, negara memiliki jutaan anak kurang gizi yang kesulitan berprestasi di
sekolah serta kurang mampu mendapatkan cukup penghasilan saat dewasa
sehingga sulit berkontribusi untuk membangun ekonomi bangsa. Oleh karena
itu, stunting menjadi salah satu ancaman serius bagi pertumbuhan ekonomi
dan kesejahteraan Indonesia.

B. Data Stunting
Saat ini 1 dari 3 anak Indonesia mengalami stunting (30,8 %
berdasarkan Riskesdas 2018 dan 27,67% berdasarkan SSGBI 2019).
Meskipun sudah mengalami penurunan dari angka 37,2% di tahun 2013,
namun pemerintah menargetkan persentase stunting dapat turun menjadi
14% di tahun 2024. Data stunting dalam bentuk peta interaktif dapat diakses
di Database Kesehatan Indonesia hasil Kerjasama Bappenas dengan Unicef.
Pada tahun 2017, 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia
mengalami stunting. Pada tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di
dunia berasal dari Asia (55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%)
tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak
berasal dari Asia Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah
(0,9%). Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health
Organization (WHO) menunjukkan bahwa Indonesia termasuk ke dalam
negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-
East Asia Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia
tahun 2005-2017 adalah 36,4% (Utama n.d.). pada tahun 2019 sebelum
pandemik mencatat sebanyak 6,3 juta balita dari populasi 23 juta balita di
Indonesia (Riskesdas, 2019). Angka stunting Indonesia berada di urutan ke-4
dunia.

C. Cara penanggulangan stunting


Upaya penurunan stunting dilakukan melalui dua intervensi gizi, yaitu
intervensi spesifik dan intervensi sensitif. Intervensi spesifik merupakan
kegiatan yang langsung mengatasi penyebab terjadinya stunting dan
umumnya diberikan oleh sektor kesehatan seperti asupan makanan,
pencegahan infeksi, status gizi ibu, penyakit menular dan kesehatan
lingkungan. Sementara itu, intervensi sensitif merupakan kegiatan yang
berhubungan dengan penyebab tidak langsung stunting yang umumnya
berada di luar kewenangan Kementerian Kesehatan. Dalam penanggulangan
permasalahan gizi, intervensi sensitif memiliki kontribusi sebesar 70 persen
sementara intervensi spesifik menyumbang sekitar 30 persennya (Lancet,
2013). Selain dua hal tersebut, diperlukan juga faktor pendukung yang
memungkinkan terjadinya penurunan stunting seperti komitmen politik dan
kebijakan, keterlibatan pemerintah dan lintas sektor serta kapasitas untuk
melaksanakan intervensi yang ada.
Intervensi spesifik merupakan kegiatan yang langsung mengatasi
penyebab terjadinya stunting dan umumnya diberikan oleh sektor kesehatan
seperti asupan makanan, pencegahan infeksi, status gizi ibu, penyakit
menular dan kesehatan lingkungan. Terdapat 9 poin intervensi gizi spesifik,
yaitu:
1. Pemberian makan tambahan bagi ibu hamil dan balita kurus
Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dilakukan kepada ibu
hamil yang mengalami Kurang Energi Kronik (KEK). Identifikasi
dilakukan dengan cara mengukur Lingkar Lengan Atas (LILA) dan
dinyatakan berisiko apabila LILA kurang dari 23,5 cm. Ibu yang
mengalami KEK berisiko untuk melahirkan bayi berat lahir rendah
(BBLR). Sehingga, untuk mencukupi kebutuhan gizi ibu hamil KEK
diberikan Makanan Tambahan Ibu Hamil.

Sementara itu, PMT Balita diberikan pada balita kurus usia 6-


59 bulan yang indikator Berat Badan (BB) menurut Panjang Badan
(PB)/Tinggi Badan (TB) kurang dari minus 2 standar deviasi (<- 2 SD)
yang tidak rawat inap dan tidak rawat jalan.

2. Tablet tambah darah bagi remaja, wus, dan ibu hamil


Remaja putri (rematri) rentan menderita anemia karena banyak
kehilangan darah pada saat menstruasi. Remaja yang menderita
anemia berisiko tinggi untuk mengalami anemia pada masa
kehamilannya. Hal ini akan berdampak pada terhambatnya
pertumbuhan dan perkembangan janin serta berpotensi menimbulkan
komplikasi kehamilan dan persalinan. Oleh karena itu, remaja dan
wanita usia subur (WUS) perlu meminum Tablet Tambah Darah
(TTD) sebanyak satu kali dalam seminggu. Sementara, ibu hamil
mengkonsumsi TTD sebanyak 90 tablet atau lebih selama masa
kehamilannya untuk mencegah anemia saat hamil.
3. Promosi dan konseling menyusui
Untuk mencegah stunting, terdapat standar ideal (golden standard)
yang direkomendasikan oleh WHO, yaitu: (1) pemberian ASI eksklusif
sejak bayi lahir sampai usia 6 bulan; (2) pemberian MP-ASI mulai usia
6 bulan; dan (3) lanjutan pemberian ASI sampai bayi berusia 2 tahun
atau lebih. Pemberian ASI eksklusif (bayi diberikan ASI saja tanpa
tambahan apapun) pada bayi usia 0-6 bulan sangat penting tidak saja
untuk meningkatkan status gizi tetapi juga untuk kelangsungan hidup
(survival) bayi. Untuk itu, diperlukan promosi dan edukasi untuk
memberikan ASI eksklusif melalui berbagai cara baik pertemuan
langsung (konseling menyusui oleh tenaga kesehatan terlatih)
maupun promosi di media massa cetak dan elektronik. Pemberian
ASI Eksklusif diatur oleh Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2012.
4. Promosi dan konseling pemberian makanan bayi dan anak
Setelah pemberian ASI secara eksklusif selama usia 0-6 bulan,
selanjutnya bayi mulai dikenalkan dengan makanan pendamping ASI
(MP-ASI) dengan tetap memberikan ASI lanjutan sampai dengan usia
2 tahun atau lebih. Pemberian MP-ASI mulai usia 6 bulan menjadi
sangat penting mengingat pada usia 6-11 bulan kontribusi ASI pada
pemenuhan  kebutuhan gizi hanya dua per tiga sedangkan
sepertiganya harus dipenuhi dari MP-ASI. Seiring bertambahnya usia,
kehadiran MP-ASI menjadi semakin penting. Pada saat bayi berusia
12-23 bulan, dua per tiga pemenuhan kebutuhan gizi berasal dari MP-
ASI.

Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian MP-ASI adalah


kuantitas dan kualitasnya memenuhi prinsip gizi seimbang agar tidak
cenderung tinggi karbohidrat tetapi juga memenuhi kebutuhan
karbohidrat, protein, vitamin dan mineral. MP-ASI ada yang bersifat
pabrikan dan ada yang berbasis pangan lokal. Keduanya dapat
diberikan, namun MP-ASI berbasis pangan lokal akan lebih
berkelanjutan karena memanfaatkan pangan yang ada di masyarakat.

5. Tata laksana gizi buruk


Balita dengan status gizi buruk perlu ditangani segera dengan
intervensi pemulihan yang dapat dilakukan dengan metode
pendekatan individual maupun pendekatan masyarakat. Secara umum,
balita gizi buruk tanpa penyakit penyerta cukup ditangani dengan
pemberian makanan tambahan untuk mengejar pertumbuhannya.
Sementara, pada balita gizi buruk yang memiliki penyakit penyerta
harus dilakukan pengobatan penyakitnya terlebih dahulu untuk
selanjutnya diberikan makanan tambahan.

Di daerah-daerah dengan jumlah kasus gizi buruk yang tinggi


didirikan Pusat Pemulihan Gizi (Therapeutic Feeding Center/TFC). Di
TFC, balita gizi buruk akan diberikan perawatan dan pemberian
makanan tambahan secara intensif sesuai dengan usia dan kondisinya
dengan melibatkan peran serta aktif orang tua. Agar orang tua
bersedia untuk membawa balita gizi buruk ke TFC, beberapa daerah
menyediakan kompensasi sebesar upah harian untuk menggantikan
hari kerja yang hilang selama mendampingi anak di TFC. Hal lain yang
penting adalah upaya untuk menjaga kontinuitas perawatan dan
pemberian makanan bergizi saat anak kembali ke rumah.

6. Pemantauan dan promosi pertumbuhan


Kegiatan pemantauan pertumbuhan dilakukan sejak anak
berusia 0-72 bulan dengan penimbangan berat badan setiap bulan
dan pengukuran tinggi badan setiap 3 bulan sekali. Kegiatan
pemantauan dilakukan di fasilitas kesehatan dasar hingga taman
kanak-kanak. Pencatatan pemantauan dilakukan di Kartu Menuju
Sehat (KMS). Jika berat badan anak di bawah garis merah, artinya
anak mengalami kurang gizi sedang hingga berat.
7. Suplementasi mikronutrien
Suplementasi mikronutrien terdiri dari suplementasi kalsium
untuk ibu hamil serta suplementasi kapsul vitamin A, suplementasi
taburia, dan suplementasi zinc untuk pengobatan diare bagi anak usia
0-59 bulan. Vitamin A diberikan di Posyandu setiap bulan Februari
dan Agustus. Sejak tahun 2016, pemberian vitamin A dilakukan
terintegrasi dengan pemberian obat cacing dan imunisasi campak.

Taburia merupakan tambahan multivitamin dan mineral untuk


memenuhi kebutuhan gizi dan tumbuh kembang balita usia 6-59
bulan dengan prioritas balita usia 6-24 bulan. Taburia mengandung
12 macam vitamin dan 4 jenis mineral yang sangat dibutuhkan untuk
tumbuh kembang dan mencegah terjadinya anemia pada balita.
Taburia diberikan kepada anak dengan menambahkannya pada
sarapan pagi yang disiapkan di rumah.

8. Pemeriksaan kehamilan dan imunisasi


Pemeriksaan kehamilan (Antenatal care) dilakukan selama
minimal 4 kali selama masa kehamilan, yaitu satu kali pada trimester
1, satu kali pada trimester 2 dan dua kali pada trimester 3.
Pemeriksaan ini dilakukan oleh tenaga kesehatan dan dicatat di buku
KIA. Selain itu, ibu hamil juga harus mendapatkan imunisasi Tetanus
Toksoid (TT) untuk menghindari tetanus neonatorium. Pada saat
pemeriksaan kehamilan pertama, ibu hamil akan ditanyai mengenai
status imunisasi tetanusnya. Ibu hamil minimal memiliki status
imunisasi T2 agar memiliki perlindungan terhadap infeksi tetanus.
9. Manajemen terpadu balita sakit.
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) adalah pendekatan
pelayanan terintegrasi dalam tata laksana balita sakit yang berfokus
pada kesehatan anak usia 0-59 bulan secara menyeluruh di layanan
rawat jalan fasilitas kesehatan dasar. Pelayanan MTBS dilakukan
oleh perawat atau bidan dengan supervisi dokter yang terlatih. Pada
daerah yang kesulitan mengakses layanan kesehatan, tenaga
nonkesehatan diperbolehkan melakukan pelayanan kuratif terbatas
dengan pendekatan MTBS berbasis masyarakat (MTBS-M).
Intervensi sensitif merupakan kegiatan yang berhubungan dengan
penyebab tidak langsung stunting yang umumnya berada di luar persoalan
kesehatan. Intervensi sensitif terbagi menjadi 4 jenis yaitu.
1. Air Minum Dan Sanitasi
Pada anak yang diare atau cacingan, zat gizi dari makanan
yang dikonsumsi tidak diserap oleh tubuh. Bahkan, dalam kondisi
tertentu, tubuh memecah cadangan makanan untuk melawan infeksi
sehingga membuat anak menjadi kurus. Infeksi berulang yang terjadi
dalam waktu cukup lama bisa menjadi faktor pemicu terjadinya
stunting. Kejadian infeksi sangat terkait dengan kondisi lingkungan
yang tidak sehat, seperti tidak tersedianya akses air bersih, sarana
sanitasi layak, dan pengelolaan sampah. Dengan demikian,
penyediaan air bersih dan sanitasi memiliki peran penting dalam
penurunan stunting karena berhubungan erat dengan upaya
pencegahan infeksi penyakit.

Upaya untuk menyediakan sarana air bersih dan sanitasi baik


di pedesaan maupun di perkotaan dilakukan antara lain melalui
program Penyediaan Air minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat
(PAMSIMAS) dan Program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
(STBM).

PAMSIMAS bertujuan untuk meningkatkan praktik hidup bersih


dan sehat di masyarakat, meningkatkan jumlah masyarakat yang
memiliki akses air minum dan sanitasi yang berkelanjutan,
meningkatkan kapasitas masyarakat dan kelembagaan lokal
(pemerintah daerah maupun masyarakat) dalam penyelenggaraan
layanan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat dan
meningkatkan efektifitas dan kesinambungan jangka panjang
pembangunan sarana dan prasarana air minum dan sanitasi berbasis
masyarakat. Sedangkan, Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM)
bertujuan untuk mengubah perilaku higiene dan sanitasi melalui
pemberdayaan dengan metode pemicuan. Lima pilar dalam STBM
adalah Stop Buang Air Besar Sembarangan, Cuci Tangan Pakai
Sabun, pengelolaan air minum dan makanan rumah tangga,
pengelolaan sampah rumah tangga,dan pengelolaan limbah cair
rumah tangga.

Air dan sanitasi pada dasarnya merupakan bagian yang tidak


terpisahkan sehingga program penyediaan sanitasi pun sama dengan
penyediaan air bersih, seperti PAMSIMAS dan STBM.  Pada RPJMN
2020-2024, pemerintah telah menetapkan beberapa target untuk
meningkatkan akses sanitasi dan air minum yang aman dan
berkelanjutan bagi masyarakat, yaitu:

1. Target akses sanitasi layak 90%, termasuk akses air minum


aman 20%
2. Target akses air minum layak yang didukung dengan penyediaan
akses air minum perpipaan 30% melalui pembangunan 10 juta
sambungan rumah tangga.
3. Bebas dari praktik BABS (Buang Air Besar Sembarangan) di
tempat terbuka.

2. Pelayanan Gizi Dan Kesehatan


a. KB
Pelayanan kesehatan dalam Keluarga Berencana dimaksudkan
untuk pengaturan kehamilan bagi pasangan usia subur untuk
membentuk generasi penerus yang sehat dan cerdas melalui upaya
promotif, preventif, pelayanan, dan pemulihan termasuk perlindungan
efek samping, komplikasi, dan kegagalan alat kontrasepsi dengan
memperhatikan hak-hak reproduksi, serta pelayanan infertilitas. Melalui
KB, masyarakat jadi bisa mengatur jarak kehamilannya sehingga lebih
mudah untuk memastikan ketercukupan gizi anak.
b. JKN
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diimplementasikan
mulai tahun 2014 ditujukan untuk memberikan perlindungan bagi
seluruh penduduk agar dapat mengakses pelayanan kesehatan yang
dibutuhkan tanpa hambatan finansial. Bagi penduduk miskin dan
hampir miskin, pemerintah memberikan bantuan iuran agar seluruh
masyarakat tercakup dalam layanan JKN. Dengan adanya jaminan
kesehatan, ibu hamil maupun bayi dan balita dapat memperoleh
pelayanan kesehatan yang berkualitas secara tepat waktu, seperti
pemeriksaan kehamilan, imunisasi serta pengobatan penyakit atau
infeksi. Hal ini tentunya akan berkontribusi dalam upaya penurunan
stunting melalui peningkatan status kesehatan ibu dan balita.
c. PKH
Program Keluarga Harapan merupakan program Bantuan Tunai
Bersyarat yang telah dilaksanakan sejak tahun 2007. Program ini
ditujukan untuk keluarga miskin dengan ibu hamil, anak balita dan
anak usia sekolah. Keluarga yang mendapat PKH akan memperoleh
uang tunai apabila melaksanakan beberapa persyaratan, antara lain
ibu hamil datang melakukan pemeriksaan ke pelayanan kesehatan
minimal 4 kali, anak balita datang ke posyandu setiap bulan, dan anak
sekolah hadir di fasilitas pendidikan. PKH bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin dalam jangka pendek
dan mengatasi kemiskinan antar generasi dalam jangka panjang.
Keluarga penerima manfaat PKH juga akan didampingi agar
pengetahuan dan kesadaran keluarga mengenai kesehatan dan gizi
dapat meningkat sehingga uang tunai yang diperoleh dapat
dipergunakan untuk meningkatkan kualitas asupan gizi ibu hamil, anak
balita, dan anak sekolah.

3. Edukasi, Konseling Dan Perubahan Perilaku


a. Penyebaran informasi melalui media
Media memainkan peranan penting dalam edukasi ke
masyarakat. Dalam hal ini, Kementerian Kesehatan dan Kominfo
bekerja bersama untuk membuat kampanye dan komunikasi
perubahan perilaku di masyarakat. Kominfo meluncurkan
kampanye Genbest (Generasi Bersih dan Sehat) untuk
meningkatkan kesadaran remaja dalam mencegah stunting.
Kampanye ini dapat diakses melalui http://genbest.id/.

b. Konseling perubahan perilaku antar pribadi


Perubahan perilaku yang dilakukan melalui komunikasi,
informasi, dan edukasi (KIE) merupakan bagian yang penting dari
intervensi sensitif untuk menurunkan stunting. Beberapa kegiatan
terkait upaya perubahan perilaku antara lain penyuluhan untuk
mencegah pernikahan dini, penyuluhan keluarga berencana,
penyululuhan gizi dan kesehatan, penyuluhan gemar bercocok
tanam, dan penyuluhan gemar makan ikan. Kegiatan KIE dapat
dilakukan dengan berbagai pendekatan, baik melalui media massa
cetak dan elekronik, kegiatan pendidikan, pertemuan langsung,
dan juga melalui seni budaya.

c. Konseling pengasuhan untuk orang tua


Kegiatan pola asuh (parenting) ditujukan untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan orang tua dalam menerapkan
pengasuhan yang tepat pada anak, termasuk di dalamnya
perbaikan pola asuh untuk mencegah stunting. Kegiatan ini
dilakukan dengan berbagai metode, dalam bentuk pelatihan pada
kegiatan di Posyandu maupun pada kegiatan di PAUD dan BKB.

Pola asuh berkaitan dengan perilaku dan kebiasaan yang


dilakukan oleh anggota keluarga. Dalam pemberian makanan,
orang tua perlu membiasakan anak mengonsumsi sayuran dan
buah-buahan serta menghindari makanan yang manis, asin, dan
berlemak. Kebiasaan memandikan anak, mengajari anak buang
air besar pada tempatnya, perilaku cuci tangan, dan hal-hal
lainnya juga akan membantu membiasakan anak untuk
menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat.

d. PAUD (Pendidikan anak usia dini)


Upaya penurunan stunting di PAUD dan Bina Keluarga Balita
(BKB) ditempuh dengan dua pendekatan yaitu: (1) penyediaan
makanan bergizi seimbang sesuai dengan kondisi pertumbuhan
anak; dan (2) pengenalan makanan seimbang dan faktor terkait
stunting lainnya melalui Alat Permainan Edukatif (APE) yang
digunakan oleh Posyandu. Mengingat periode emas pertumbuhan
dan perkembangan terjadi sampai anak berusia 2 tahun, maka
prioritas peningkatan status gizi anak adalah melalui pemberian
MP-ASI dan makanan yang memenuhi prinsip gizi seimbang.

e. Konseling kesehatan reproduksi untuk remaja


Remaja diberikan pemahaman mengenai kesehatan reproduksi
agar mereka memiliki pengetahuan yang cukup untuk membuat
keputusan yang bertanggung jawab berkaitan dengan hak-hak
kesehatan reproduksi dan seksualnya. Tujuannya untuk
melindungi remaja dari risiko pernikahan usia dini, kehamilan yang
tidak diinginkan, aborsi, infeksi menular seksual dan penyakit
lainnya. Apabila kehamilan tidak direncanakan dengan baik atau
hamil pada usia yang terlalu muda, maka hal ini akan
memperbesar risiko melahirkan anak dengan berat badan lahir
rendah (BBLR).

f. PPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak)


Perempuan dan anak seringkali rentan terhadap kekerasan.
Selain itu, masih banyak praktik di keluarga yang berkaitan
dengan gender dan mempengaruhi asupan gizi perempuan.
Misalnya, makanan biasanya diberikan kepada kepala keluarga
atau anak laki-laki terlebih dahulu sebelum dikonsumsi oleh ibu
dan anak perempuan. Akibatnya, perempuan memiliki status gizi
yang lebih rendah dari laki-laki. Hal ini bisa mengakibatkan anemia
pada masa remaja yang apabila berlanjut hingga kehamilan,
berpotensi melahirkan anak dengan berat badan lahir rendah
(BBLR).

4. Akses Pangan Bergizi


Intervensi Pendukung merupakan kegiatan pendukung dari seluruh
intervensi di atas yang berkaitan dengan upaya melancarkan:
1. Pencatatan sipil
Setiap anak yang baru lahir harus mendapatkan akta kelahiran
agar terdaftar dalam sistem bantuan sosial. Dengan memiliki akta,
anak dapat memperoleh pelayanan kesehatan di puskesmas/
posyandu serta mengakses sarana pendidikan usia dini yang
disediakan oleh pemerintah. Oleh karena itu, pencatatan sipil
memainkan peranan yang penting dalam pencegahan stunting.
2. Penguatan posyandu
Posyandu merupakan Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat
(UKBM) yang diselenggarakan secara berkala setiap satu bulan
sekali oleh masyarakat dengan dukungan petugas kesehatan.
Kegiatan di Posyandu dikenal dengan sistem lima meja, terdiri atas:
(1) pendaftaran, (2) penimbangan, (3) pengisian Kartu Menuju Sehat
(KMS), (4) pelayanan kesehatan, dan (5) penyuluhan. Posyandu
merupakan garda terdepan dari pelayanan kesehatan dan gizi kepada
ibu hamil dan anak balita. Saat ini, pemantauan pertumbuhan di
sebagian besar Posyandu masih berdasarkan indikator berat badan
menurut umur. Namun, di beberapa tempat sudah mulai diterapkan
juga pengukuran tinggi badan menurut umur. Hal ini perlu diperluas
ke seluruh posyandu untuk dapat memantau kondisi kekurangan gizi
kronis (stunting) pada anak.
3. Surveilans gizi
Surveilans gizi berfungsi untuk memberikan informasi keadaan
gizi masyarakat dan faktor yang mempengaruhinya secara cepat,
akurat, dan berkelanjutan sehingga dapat digunakan untuk
menetapkan kebijakan gizi maupun penanggulangan masalah gizi.
Surveilans dapat dilakukan melalui aplikasi elektronik pencatatan dan
pelaporan gizi berbasis masyarakat (e-PPGBM). Dengan adanya
sistem surveilans yang kuat, anak yang kurang gizi maupun stunting
dapat memperoleh layanan kesehatan yang dibutuhkannya dengan
cepat. Termasuk jika membutuhkan perawatan lebih lanjut dengan
dirujuk ke rumah sakit di tingkat Kabupaten/Kota.
4. Advokasi pemerintahan daerah
Advokasi kepada pemerintah daerah dapat dilakukan dengan
mengawal penerapan kebijakan percepatan penurunan stunting di
daerah. Pada tingkat kabupaten/kota, dilakukan delapan aksi
integrasi, yaitu serangkaian kegiatan intervensi gizi untuk mencegah
dan menurunkan stunting secara lintas sektor. Bupati/Walikota selaku
pimpinan daerah menunjuk tim lintas sektor yang nantinya
bertanggung jawab untuk memastikan terlaksananya Aksi Integrasi
dari tingkat kabupaten/kota hingga tingkat desa.
Aksi Integrasi dilaksanakan mengikuti siklus perencanaan dan
penganggaran di Kabupaten/Kota. Tahapan intervensi yang dilakukan
terdiri dari 8 Aksi, yaitu: Analisis Situasi, Penyusunan Rencana
Kegiatan, Rembuk Stunting, Peraturan Bupati/Walikota tentang
Kewenangan Desa dalam percepatan penurunan stunting,
Pembinaan Kader Pembangunan Manusia, Sistem Manajemen Data
Stunting, Pengukuran dan Publikasi Data Stunting dan Reviu Kinerja
Tahunan.

5. Konvergensi pencegahan stunting di desa


Dana desa dapat digunakan untuk menanggulangi stunting.
Untuk memastikan stunting menjadi isu prioritas dalam perencanaan di
tingkat desa, kepala desa merekrut Kader Pembangunan Manusia
(KPM). KPM merupakan kader masyarakat yang bertugas untuk
memfasilitasi aksi konvergensi penurunan stunting di tingkat desa.
Pengertian konvergensi intervensi pada sasaran adalah bahwa setiap
ibu hamil, ibu menyusui, ibu nifas, dan anak usia 0-23 bulan
mendapatkan akses layanan atau intervensi yang diperlukan untuk
penanganan stunting secara terintegrasi.

KPM mengajak peran serta atau partisipasi masyarakat dan


lembaga dalam proses perencanaan, pelaksanaan kegiatan dan
pemantauan; serta berkoordinasi dengan pelaku program dan lembaga
lainnya seperti bidan desa, petugas puskesmas lainnya (ahli gizi,
perawat, sanitarian), guru PAUD dan aparat desa.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
I. Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak berusia di bawah lima
tahun (balita) akibat kekurangan gizi kronis yang ditandai dengan
panjang atau tinggi badannya berada di bawah standar (PB/U atau
TB/U). Tinggi badan hanya penunjuk fisik, namun dampak lain yang tak
kalah mengkhawatirkan dari stunting adalah hambatan perkembangan
kognitif dan motorik serta gangguan metabolik pada saat dewasa
sehingga berisiko menderita penyakit tidak menular.
II. Saat ini 1 dari 3 anak Indonesia mengalami stunting (30,8 %
berdasarkan Riskesdas 2018 dan 27,67% berdasarkan SSGBI 2019).
III. Upaya penurunan stunting dilakukan melalui dua intervensi gizi, yaitu
intervensi spesifik dan intervensi sensitif

B. Daftar Pustaka

https://cegahstunting.id/

Hasil Riskesdas 2018 :


http://www.depkes.go.id/article/view/18110200003/potret-sehat-indonesia-
dari-riskesdas-2018.html (Diunduh pada 14-09-19 pukul 16:55 WIB)
Hizni A, Julia M. dan Gamayanti,2010 Status Stunted dan Hubungan
dengan Perkembangan Anak Balita di Wilayah Pesisir Pantai Utara
Kecamatan Lemah Wungkul Kota Cirebon Jurnal Gizi Klinik Indonesia :
131 – 137

Kemenkes RI.2017.Lokadata Balita Stunting Dan Wasting Di


Indnesia.Jakarta : Direktorat Gizi Masyarakat.

Almatsier, S. (2002). Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: Gramedia. Alomedika.

(2017). Tentang stunting. Jakarta.

Astuti, S, Megawati, G, Gamson. (2018). Gerakan Pencegahan Stunting


Melalui

Pemberdayaan Masyarakat Di Kecamatan Jatinangor Kabupaten

Sumedang. : Jurnal Aplikasi Ipteks untuk Masyarakat, 7(3), 185-


188.

Alfabeta. DGKM. (2007). Gizi Dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Jurnal


FKM Universitas Indonesia. Hal: 183-212.

Anda mungkin juga menyukai