Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tumbuh kembang merupakan manifestasi yang kompleks dari
perubahan morfologi, biokimia, dan fisiologi yang terjadi sejak konsepsi
sampai maturitas/dewasa. Istilah tumbuh kembang sebenarnya mencakup
2 peristiwa yang sifatnya berbeda, tetapi saling berkaitan dan sulit
dipisahkan, yaitu pertumbuhan (growth) adalah perubahan yang bersifat
kuantitatif, yaitu bertambahnya jumlah, ukuran, dimensi pada tingkat sel,
organ, maupun individu. Anak tidak hanya bertambah besar secara fisik,
melainkan juga ukuran dan struktur organ-organ tubuh dan otak.
Sedangkan, perkembangan (development) adalah perubahan yang
bersifat kuantitatif dan kualitatif. Perkembangan adalah bertambahnya
kemampuan (skill) struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks, dalam
pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses
pematangan/maturitas (Soetjiningsih, 2013)
Secara umum terdapat dua faktor utama yang berpengaruh
terhadap tumbuh kembang anak, yaitu pertama faktor genetik yang
merupakan modal dasar dan mempunyai peran utama dalam mencapai
hasil akhir proses tumbuh kembang anak. Melalui instruksi genetik yang
terkandung di dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas
dan kuantitas pertumbuhan, yang kedua yaitu faktor lingkungan
merupakan faktor yang sangat menentukan tercapai tidaknya potensi
genetik. Faktor lingkungan ini secara garis besar dibagi menjadi : faktor
lingkungan pranatal, faktor lingkungan perinatal dan faktor lingkungan
pascanatal (Soetjiningsih, 2013)
Lingkungan biofisikopsikososial pada masa pascanatal yang
mempengaruhi tumbuh kembang anak secara umum dapat digolongkan
menjadi : faktor biologis yaitu Umur, umur yang paling rawan adalah
balita, terutama pada umur satu tahun pertama, karena pada masa itu
anak sangat rentan terhadap penyakit dan sering terjadi kurang gizi. Di
samping itu, masa balita merupakan dasar pembentukan kepribadian
anak. Karena itu, pada masa ini, diperlukan perhatian khusus. Kemudian
gizi, makanan memegang peranan penting dalam tumbuh kembang anak.
Kebutuhan anak berbeda dari orang dewasa, karena makanan bagi anak,
selain untuk aktivitas sehari-hari, juga untuk pertumbuhan. Selanjutnya,
faktor keluarga yaitu, pekerjaan/pendapatan keluarga, pendapatan
keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak karena
orangtua dapat menyediakan semua kebutuhan dasar anak. Kemudian
pendidikan ayah/ibu, pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor
yang penting untuk tumbuh kembang anak. Karena dengan pendidikan
yang baik, orangtua dapat menerima segala informasi dari luar terutama
tentang cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan
anak, mendidiknya, dan sebagainya (Soetjiningsih, 2013)
Masalah saat ini yang banyak ditemukan pada anak-anak di
Indonesia yaitu stunting. Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak
balita (bayi di bawah lima tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis
sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak
bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir akan tetapi,
kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Balita pendek
(stunted) dan sangat pendek (severely stunted) adalah balita dengan
panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya
dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth
Reference Study) 2006. Sedangkan definisi stunting menurut Kementerian
Kesehatan (Kemenkes) adalah anak balita dengan nilai z-scorenya kurang
dari <-2SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari <-3SD (severely
stunted) (Kalla, 2017).
Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting
merupakan salah satu masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat
ini. Pada tahun 2017 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia
mengalami stunting. Namun angka ini sudah mengalami penurunan jika
dibandingkan dengan angka stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%. Pada
tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari Asia
(55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di Afrika. Dari 83,6
juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan
(58,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%). Data
pravelansi balita stunting yang dikumpulkan World Health Organization
(WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi
tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR).
Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah
36,4% (Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan RI, 2018).
Hasil RISKESDAS menunjukkan proporsi status gizi sangat pendek dan
pendek pada balita, 2007 – 2018 sebesar 30,8%.
Hasil penelitian oleh Lutfia Tazki Filkrina (2017) yang menyatakan
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan
kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Desa Karangrejek
Wonosari ( p-value = 0,019 ) < α (0,05) . Pendidikan mempunyai peranan
yang sangat menentukan bagi perkembangan anak.
Penelitian lain yang dilakukan juga oleh Lutfia Tazki Fikrina (2017)
yaitu “Hubungan tingkat sosial ekonomi dengan kejadian stunting pada
balita usia 24 – 59 bulan di desa Karangrejek Wonosari Gunung Kidul”,
dimana dari penelitian didapatkan koefisien proporsi (p) sebesar 0,000 < α
= 0,05 hal ini berarti terdapat hubungan bermakna antara pendapatan
keluarga dengan angka kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan.
Pendapatan keluarga yang tinggi dapat memenuhi kebutuhan keluarga
terutama kebutuhan pangan yang beragam, sehingga asupan makanan
balita tercukupi. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian oleh Atin
Nurmayasanti dan Trias Mahmudiono (2019) yang menunjukan bahwa
pendapatan keluarga memiliki hubungan yang siginifikan dengan kejadian
stunting pada balita (p=0,048) dan odd ratio juga menunjukan bahwa
pendapatan keluarga yang rendah beresiko 3,178 kali lebih besar terkena
stunting.
Penelitian lain terkait stunting juga dilakukan oleh (Indrawati, 2016)
yaitu hubungan pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian stunting pada
balita 2-3 tahun. Dimana diperoleh p-value = 0,000 (0,000<0,05). Maka
disimpulkan bahwa terdapat hubungan pemberian ASI Eksklusif dengan
kejadian stunting pada balita 2-3 tahun. ASI merupakan asupan gizi yang
sesuai dengan kebutuhan, akan membantu pertumbuhan dan
perkembangan anak. Bayi yang tidak mendapatkan ASI dengan cukup
berarti memiliki asupan gizi yang kurang baik dan dapat menyebabkan
kekurangan gizi salah satunya dapat menyebabkan stunting.
Berdasarkan buku TNP2K ( Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan ), 2017 mengenai prevalensi jumlah balita
Stunting di Mamuju tahun 2013, ( 47,26% ) dengan jumlah balita stunting
2013 sebesar 22.241 jiwa. Berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi
(PSG) 2017, persentase gizi buruk provinsi Sulawesi Barat sebesar 4,9%
dan balita gizi kurang sebesar 19,9%. Tercatat kabupaten Mamuju
memiliki angka Gizi buruk 7,9% dan Gizi kurang 18,9% (Kalla, 2017)
Profil Kesehatan Puskesmas Botteng Mamuju Tahun 2018, status
gizi anak balita di wilayah kerja Puskesmas Botteng kecamatan Simboro
pada tahun 2018 berdasarkan penimbangan yang dilakukan setiap
Posyandu diperoleh hasil sebagai berikut : Status Bawah Garis Merah
sebanyak 23 balita dengan persentase 0,9% dari 2.597 balita yang
ditimbang , Gizi buruk 11 ( 0,7% ) balita dari jumlah balita yang ditimbang
dan status BB naik sebanyak 1.958 atau sekitar 75,3%. Masih terdapatnya
beberapa balita yang dibawah garis merah (BGM) dan Gizi buruk ini
disebabkan karena tingkat pengetahuan dan kesadaran dari masyarakat
tentang pola makanan yang sehat dan bergizi, juga disebabkan karena
perhatian orang tua yang kurang dalam memantau tumbuh kembang
anaknya (Muhlis, 2018).
Berdasarkan kronologi diatas penulis tertarik untuk mengetahui
faktor yang berhubungan dengan angka kejadian stunting pada balita di
Desa Salletto di Wilayah Kerja Puskesmas Botteng Mamuju.
B. Rumusan Masalah
Beberapa hasil riset kesehatan menggambarkan prevalensi
kejadian stunting pada balita masih cukup tinggi. Keadaan tersebut akan
membuat anak terlihat terlalu pendek untuk usianya. Berbagai faktor
mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi perkembangan anak.
Hal ini menjadi acuan peneliti untuk menganalisis faktor yang
berhubungan dengan angka kejadian stunting pada balita di Desa Salletto
Kabupaten Mamuju ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor
yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita di Desa
Salletto wilayah kerja Puskesmas Botteng Mamuju.
2.Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi tingkat pendidikan ibu.
b. Mengidentifikasi status ekonomi keluarga.
c. Mengidentifikasi pemberian ASI Eksklusif pada balita
d. Mengidentifikasi kejadian stunting pada balita.
e. Menganalisis faktor yang berhubungan dengan kejadian
stunting.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Responden
Memberikan informasi kepada ibu yang berguna untuk
menambah wawasan dan meningkatkan pengetahuan mengenai
stunting.
2. Bagi Puskesmas
Hasil penelitian yang diperoleh dapat memberikan informasi
kepada Puskesmas tentang faktor yang mempengaruhi kejadian
stunting pada balita sehingga dapat membuat rancangan
program untuk mewaspadai meningkatnya angka kejadian
stunting pada balita.
3. Bagi Perawat
Hasil penelitian yang diperoleh dapat memberikan informasi
kepada perawat tentang faktor yang mempengaruhi kejadian
stunting pada balita di masyarakat desa Salletto Mamuju,
sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk
menyusun intervensi keperawatan dalam upaya menurunkan
angka kejadian stunting pada balita.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Sebagai data penunjang untuk penelitian yang terkait dengan
analisis faktor yang berhubungan dengan angka kejadian
stunting pada balita.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Tumbuh Kembang Anak


1. Pengertian Tumbuh Kembang
Tumbuh kembang merupakan manifestasi yang kompleks dari
perubahan morfologi, biokimia, dan fisiologi yang terjadi sejak
konsepsi sampai maturitas/dewasa. Banyak orang menggunakan
istilah “tumbuh” dan “kembang” secara sendiri-sendiri atau bahkan
ditukar-tukar. Istilah tumbuh kembang sebenarnya mencakup 2
peristiwa yang sifatnya berbeda, tetapi saling berkaitan dan sulit
dipisahkan, yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Sementara itu,
pengertian mengenai pertumbuhan dan perkembangan per definisi
adalah sebagai berikut :
a. Pertumbuhan (growth) adalah perubahan yang bersifat
kuantitatif, yaitu bertambahnya jumlah, ukuran, dimensi pada
tingkat sel, organ, maupun individu. Anak tidak hanya
bertambah besar secara fisik, melainkan juga ukuran dan
struktur organ-organ tubuh dan otak. Pertumbuhan fisik dapat
dinilai dengan ukuran berat ( gram, pound, kilogram ), ukuran
panjang ( cm, meter ), umur tulang, dan tanda-tanda seks
sekunder.
b. Perkembangan (development) adalah perubahan yang bersifat
kuantitatif dan kualitatif. Perkembangan adalah bertambahnya
kemampuan (skill) struktur dan fungsi tubuh yang lebih
kompleks, dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan,
sebagai hasil dari proses diferensiasi sel tubuh, jaringan tubuh,
organ, dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa
sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan mempunyai
dampak terhadap aspek fisik, sedangkan perkembangan berkaitan
dengan pematangan fungsi organ/individu. Walaupun demikian,
kedua peristiwa itu terjadi secara sinkron pada setiap individu
(Soetjiningsih, Tumbuh Kembang Anak, 2013).
2. Periode Emas Anak ( The Golden Ages )
Periode emas anak adalah masa di mana otak anak mengalami
perkembangan paling cepat sepanjang sejarah kehidupannya.
Menurut (Darmadi, 2018)menyatakan bahwa periode emas
berlangsung pada saat anak dalam kandungan hingga usia dini,
yaitu 0-6 tahun. Namun, masa bayi dalam kandungan hingga lahir,
sampau usia 4 (empat) tahun, adalah masa-masa yang paling
menentukan. Periode ini disebut-sebut sebagai perode emas, atau
lebih dikenal sebagai the golden ages.
Periode emas anak disebut sebagai masa keemasan atau the
golden ages. Sebab, pada masa itu otak anak sedang mengalami
pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Dan, otak
merupakan kunci utama bagi pembentukan kecerdasan anak.
Periode ini dimulai sejak janin dalam kandungan hingga usia 6
(enam) tahun. Pertumbuhan dan perkembangan otak anak mencapai
80% dari otaknya di masa dewasa kelak. Artinya, di atas periode ini,
perkembangan otak hanya 20% saja. Selebihnya, hanyalah
perluasan permukaan otak dan jalinan dendrit yang lebih rumit
(Darmadi, 2018).
3. Faktor-faktor Yang Memengaruhi Tumbuh Kembang
Secara umum terdapat dua faktor utama yang berpengaruh
terhadap tumbuh kembang anak, yaitu :
a. Faktor genetik
Faktor genetik merupakan modal dasar dan mempunyai peran
utama dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang anak.
Melalui instruksi genetik yang terkandung di dalam sel telur yang
telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan.
Yang termasuk faktor genetik antara lain adalah berbagai faktor
bawaan yang normal dan patologik, jenis kelamin, suku bangsa atau
bangsa. Potensi genetik yang baik, bila berinteraksi dengan
lingkungan yang positif, akan membuahkan hasil akhir yang optimal.
b. Faktor lingkungan
Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan tercapai
tidaknya potensi genetik. Lingkungan ini merupakan lingkungan
biofisikopsikososial yang memengaruhi individu setiap hari, mulai
dari konsepsi sampai akhir hayatnya.
Lingkungan biofisikopsikososial pada masa pascanatal yang
memengaruhi tumbuh kembang anak secara umum dapat
digolongkan menjadi :
1) Faktor biologis
a) Ras/suku bangsa
Pertumbuhan somatik juga dipengaruhi oleh ras/suku
bangsa. Bangsa kulit putih/ras Eropa mempunyai
pertumbuhan somatik lebih tinggi daripada bangsa Asia.
b) Jenis kelamin
Dikatakan anak laki-laki lebih sering sakit dibandingkan anak
perempuan, tetapi belum diketahui secara pasti mengapa
demikian.
c) Umur
Umur yang paling rawan adalah masa balita, terutama pada
umur satu tahun pertama, karena pada masa itu anak sangat
rentan terhadap penyakit dan sering terjadi kurang gizi. Di
samping itu, masa balita merupakan dasar pembentukan
kepribadian anak. Karena itu, pada masa ini, diperlukan
perhatian khusus.
d) Gizi
Makanan memegang peranan penting dalam tumbuh
kembang anak. Kebutuhan anak berbeda dari orang dewasa,
karena makanan bagi anak, selain untuk aktifitas sehari-hari,
juga untuk pertumbuhan. Ketahanan makanan (food
security) keluarga memengaruhi status gizi anak. Satu aspek
penting yang perlu ditambahkan adalah keamanan pangan
(food safety) yang mencakup pembebasan makanan dari
berbagai “racun” fisika, kimia, dan biologis, yang kian
mengancam kesehatan manusia.
e) Perawatan kesehatan
Perawatan kesehatan yang teratur, tidak saja kalau anak
sakit, tetapi pemeriksaan kesehatan dan menimbang anak
secara rutin setiap bulan, akan menunjang pada tumbuh
kembang anak.
f) Kepekaan terhadap penyakit
Dengan memberikan imunisasi, maka diharapkan anak
terhindar dari penyakit-penyakit yang sering menyebabkan
cacat atau kematian.
g) Penyakit kronis
Anak yang menderita penyakit menahun akan terganggu
tumbuh kembangnya dan pendidikannya.
h) Fungsi metabolisme
Khusus pada anak, karena adanya perbedaan yang
mendasar dalam proses metabolisme pada berbagai umur,
maka kebutuhan akan berbagai nutrien harus didasarkan
atas perhitungan yang tepat atau setidak-tidaknya memadai.
i) Hormon
Hormon-hormon yang berpengaruh terhadap tumbuh
kembang antara lain adalah : “growth hormon”, tiroid,
hormon seks, insulin, IGFs (Insulin-like growth factors), dan
hormon yang dihasilkan kelenjar adrenal.
2) Faktor keluarga dan adat istiadat
a) Pekerjaan/pendapatan keluarga
Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang
tumbuh kembang anak, karena orang tua dapat
menyediakan semua kebutuhan dasar anak.
b) Pendidikan ayah/ibu
Pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang
penting untuk tumbuh kembang anak. Karena dengan
pendidikan yang baik, orangtua dapat menerima segala
informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak
yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anak,
mendidiknya, dan sebagainya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tumbuh kembang
dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan
biofisikopsikososial. Lingkungan yang baik akan menunjang
tercapainya potensi genetik, sedangkan yang kurang baik akan
menghambatnya (Soetjiningsih, Tumbuh Kembang Anak, 2013).
4. Ciri-ciri Tumbuh Kembang Anak
Menurut Hurlock EB didalam buku (Soetjiningsih, Tumbuh
Kembang Anak, 2013), tumbuh kembang anak mempunyai ciri-ciri
tertentu, yaitu :
a. Perkembangan melibatkan perubahan ( Development
involves changes ).
b. Perkembangan awal lebih kritis daripada perkembangan
selanjutnya ( Early development is more critical than later
development ).
c. Perkembangan adalah hasil dari maturasi dan proses belajar
( Development is the product of maturation and learning ).
d. Pola perkembangan dapat diramalkan (The developmental
pattern is predictable ).
e. Pola perkembangan mempunyai karakteristik yang dapat
diramalkan ( The developmental pattern has predictable
characcteristics ).
f. Terdapat perbedaan individu dalam perkembangan (There
are individual differences in development ).
g. Terdapat periode/tahapan dalam pola perkembangan (There
are periods in the developmental pattern).
h. Terdapat harapan sosial untuk setiap periode perkembangan
(There are social expectation for every developmental
period).
i. Setiap area perkembangan mempunyai potensi resiko
(Every area of development has potential hazards).
5. Pemantauan Pertumbuhan Fisik Anak
Menurut (Soetjiningsih, Tumbuh Kembang Anak, 2013) proses
pertumbuhan fisik merupakan proses yang berkesinambungan
mulai dari konsepsi sampai dewasa, dengan mengikuti pola
tertentu dan khas untuk setiap anak. Untuk memantau
pertumbuhan fisik anak, sering digunakan ukuran-ukuran
antropometrik diantaranya :
a. Berat Badan ( BB )
Berat badan merupakan ukuran antropometrik yang
terpenting dan harus diukur pada setiap kesempatan
memeriksa kesehatan anak pada semua kelompok umur.
Berat badan merupakan hasil peningkatan/penurunan
semua jaringan yang ada pada tubuh. Pada saat ini, berat
badan dipakai sebagai indikator yang terbaik untuk
mengetahui keadaan gizi dan tumbuh kembang anak karena
berat badan sensitif terhadap perubahan walapun sedikit.
b. Tinggi Badan ( TB )
Tinggi badan merupakan ukuran antropometrik kedua
yang terpenting. Keistimewaannya adalah bahwa, pada
masa pertumbuhan, ukuran tinggi badan meningkat terus
sampai tinggi maksimal dicapai. Kenaikan tinggi badan ini
berfluktuasi, yaitu meningkat pesat pada masa bayi,
kemudian melambat, dan selanjutnya menjadi pesat kembali
pada masa remaja (pacu tumbuh adolesen), kemudian
melambat lagi dan akhirnya berhenti pada umur 18-20 tahun.
Keuntungan indikator TB ini adalah pengukurannya
objektif dan dapat diulang; alat dapat dibuat sendiri, murah
dan mudah dibawa; merupakan indikator yang baik untuk
gangguan pertumbuhan fisik yang sudah lewat ( stunting );
sebagai pembanding terhadap perubahan-perubahan relatif,
seperti terhadap nilai BB dan LLA. Standar tinggi badan
menurut umur dapat dilihat pada ( Tabel. 2.1 )
c. Lingkar Kepala ( LK )
Lingkar Kepala ( LK ) mencerminkan volume intrakranial,
termasuk pertumbuhan otak. Apabila otak tidak tumbuh
normal, kepala akan kecil; atau sebaliknya, bila kepala tidak
tumbuh, otak akan mengikuti. Karena itu, pada LK yang lebih
kecil dari normal ( <-2 SD ) atau mikrosefali, seringkali ada
retardasi mental. Sebaliknya, kalau ada penyumbatan aliran
cairan serebrospinal pada hidrosefalus, volume kepala akan
meningkat, sehingga LK lebih besar daripada normal.
d. Lingkar Lengan Atas ( LLA )
Lingkar lengan atas ( LLA ) mencerminkan tumbuh
kembang jaringan lemak dan otot yang tidak terpengaruh
banyak oleh keadaan cairan tubuh; tidak seperti berat
badan. LLA dapat dipakai untuk menilai keadaan gizi/tumbuh
kembang pada kelompok umur prasekolah. Laju tumbuhnya
lambat, yakni dari 11 cm pada saat lahir menjadi 16 cm pada
umur satu tahun. Selanjutnya, LLA tidak banyak berubah
selama 1-3 tahun.
e. Indeks Masa Tubuh ( IMT )/ Body Man Indent ( BMI )
Indeks masa tubuh ( IMT ) merupakan alat yang
sederhana untuk menilai status gizi, khususnya yang
berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan.
Dari berbagai jenis-jenis indeks tersebut, untuk
menginterpretasikannya dibutuhkan ambang batas,
penentuan ambang batas diperlukan kesepakatan para Ahli
Gizi. Terdapat 4 macam cara untuk menunjukkan suatu
variasi normal, yang pada umumnya disusun dalam bentuk
tabel atau dalam grafik pertumbuhan ( growth chart ), yaitu :
a. Menggunakan Mean dan SD
Mean adalah nilai rata-rata ukuran anak yang dinggap
normal, dengan cara ini seorang anak dapat ditentukan
posisinya, yaitu :
1) Mean ± 1 SD mencakup 66,6%
2) Mean ± 2 SD mencakup 95,0%
3) Mean ± 3 SD mencakup 97,7%
b. Menggunakan persentil
Besarnya persentil menunjukkan posisi suatu hasil
pengukuran dalam urutan yang khas, yaitu dari yang terkecil
sampai yang terbesar, dari 100 hasil pengukuran (100%).
c. Menggunakan persentasi
Besarnya variasi normal berada di antara persentasi tertentu,
terhadap suatu nilai patokan yang dianggap 100%. Variasi
normal berada antara 80-110%.
d. Menggunakan Z-score
Z-score adalah skor yang menggambarkan jarak atau selisih
nilai seseorang ke nilai rerata/mean dari kelompok orang
tersebut, dan dinyatakan dalam bentuk satuan Standard
Deviasi (SD). Kategori dan ambang batas status gizi anak
dapat dilihat pada tabel Antropometri. Z-score dapat dihitung
dengan menggunakan rumus :
Nilai seseorang yang didapat dari hasil pengukuran –
nilai rerata pada populasi

Standar deviasi pada populasi

Tabel 2.2 Indeks Antropometri

Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-score)


Gizi Buruk <-3 SD
Berat Badan Menurut Umur (BB/U) Gizi Kurang -3 SD sampai dengan -2 SD
Anak Umur 0 – 60 bulan Gizi baik -2 SD sampai dengan 2 SD
Gizi lebih >2 SD
Panjang Badan menurut Umur Sangat pendek <-3 SD
(PB/U) atau Tinggi Badan menurut Pendek -3 SD sampai dengan -2 SD
Umur (TB/U) Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Anak Umur 0 – 60 bulan Tinggi >2 SD
Berat Badan menurut Panjang Sangat kurus <-3 SD
Badan (BB/PB) atau Berat Badan Kurus -3 SD sampai dengan -2 SD
menurut Tinggi Badan (BB/TB) Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Anak Umur 0 – 60 bulan. Gemuk >2 SD
Sangat kurus <-3 SD
Indeks Massa Tubuh menurut
Kurus -3 SD sampai dengan -2 SD
Umur (IMT/U)
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Anak Umur 0 – 60 bulan
Gemuk >2 SD
Sangat kurus <-3 SD
Indeks Massa Tubuh menurut Kurus -3 SD sampai dengan -2 SD
Umur (IMT/U) normal -2 SD sampai dengan >1SD
Anak Umur 5 – 18 tahun Gemuk >1 SD sampai dengan 2 SD
Obesitas >2 SD
Sumber : (KEMENKES RI, 2011)
B. Tinjauan Tentang Stunting
1. Pengertian Stunting
Stunting ( kerdil ) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang
atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur.
Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari
minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari
WHO (Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan RI,
2018).
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita ( bayi di
bawah lima tahun ) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga
anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak
bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir akan
tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun.
Balita pendek (stunted) dan sangat pendek (severaly stunted)
adalah balita dengan panjang badan (PB/U) atau tinggi badan
(TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan standar baku WHO-
MGRS ( Multicentre Growth Reference Study ) 2006 (Kalla, 2017).
Stunting adalah sebuah kondisi dimana tinggi badan seseorang
ternyata lebih pendek dibandingkan tinggi badan orang lain pada
umumnya ( yang sesuai ). Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam
kandungan dan pada masa awal anak lahir, tetapi stunting baru
nampak setelah anak berusia 2 tahun (Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, 2017).
2. Kelompok Usia Beresiko Stunting
Masa balita merupakan kelompok usia yang beresiko
mengalami kurang gizi salah satunya adalah stunting (Aridiyah F.O,
2015). Kelompok usia 24-35 bulan adalah kelompok usia yang
berisiko besar untuk mengalami stunting (Seifu Hagos, 2017). Oleh
karena itu, keadaan gizi yang baik dan sehat pada masa anak
balita merupakan hal yang penting bagi kesehatannya di masa
depan. Masa usia 24-59 bulan merupakan usia resiko terkena
stunting, asupan gizi yang baik penting untuk menunjang
pertumbuhan anak yang lahir dengan panjang badan lahir pendek
agar mendapatkan panjang badan yang normal seiring
bertambahnya usia (Azriful, 2018).
3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Stunting
Menurut (Kalla, 2017) Stunting disebabkan oleh faktor multi
dimensi, yaitu :
a. Praktek pengasuhan yang tidak baik
Termasuk kurangnya pengetahuan ibu mengenai
kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan,
serta setelah ibu melahirkan. Beberapa fakta dan informasi
yang ada menunjukkan bahwa 60% dari anak usia 0-6 bulan
tidak mendapatkan Air Susu Ibu ( ASI ) secara eksklusif, dan
2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan
Pendamping Air Susu Ibu ( MP-ASI ).
Asi Eksklusif menurut Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 33 tahun 2012 tentang Pemberian Air
Susu Ibu Eksklusif adalah pemberian Air Susu Ibu (ASI)
tanpa menambahkan dan atau mengganti dengan makanan
atau minuman lain yang diberikan kepada bayi sejak baru
dilahirkan selama 6 bulan (Kemenkes R.I., 2012), ASI
memiliki komposisi zat gizi yang ideal sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan pencernaan bayi dan ASI
mendukung pertumbuhan bayi terutama tinggi badan karena
kalsium ASI lebih efisien diserap dibanding susu pengganti
ASI (Prasetyono, 2012).
b. Terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan anc (
ante natal care ), post natal dan pembelajaran dini yang
berkualitas.
c. Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan
bergizi, hal ini dikarenakan harga makanan bergizi di
Indonesia masih tergolong mahal, dan terbatasnya akses ke
makanan bergizi di Indonesia juga dicatat telah berkontribusi
pada 1 dari 3 ibu hamil yang mengalami anemia.
d. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi, data yang
diperoleh dilapangan menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah
tangga di Indonesia masih buang air besar (BAB) diruang
terbuka, serta 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses
ke air minum bersih.
e. Situasi Sosial Ekonomi dan Lingkungan
Pendapatan keluarga menjadi faktor yang
berhubungan dengan stunting pada anak balita. Apabila
ditinjau dari karakteristik pendapatan keluarga bahwa akar
masalah dari dampak pertumbuhan bayi dan berbagai
masalah gizi lainnya salah satunya disebabkan dan berasal
dari krisis ekonomi. Sebagian besar anak balita yang
mengalami gangguan pertumbuhan memiliki status ekonomi
yang rendah (Aridiyah F.O, 2015).
Kondisi ekonomi erat kaitannya dengan kemampuan
dalam memenuhi asupan yang bergizi dan pelayanan
kesehatan untuk ibu hamil dan balita. Sedangkan sanitasi
dan keamanan pangan dapat meningkatkan resiko
terjadinya penyakit infeksi. Berdasarkan data Joint Child
Malnutrition Estimates tahun 2018, negara dengan
pendapatan menengah ke atas mampu menurunkan angka
stunting hingga 64%, sedangkan pada negara menengah ke
bawah hanya menurunkan sekitar 24% dari tahun 2000
hingga 2017. Pada negara dengan pendapatan rendah
justru mengalami peningkatan pada tahun 2017 (Pusat Data
dan Informasi, Kementerian Kesehatan RI, 2018).
f. Faktor Pendidikan Ibu
Tingkat pendidikan merupakan jenjang terakhir yang
ditempuh seseorang dimana tingkat pendidikan merupakan
suatu wahana untuk mendasari seseorang berperilaku
secara ilmiah. Pendidikan merupakan salah satu unsur
penting yang dapat memengaruhi keadaan gizi karena
berhubungan dengan kemampuan seseorang menerima dan
memahami sesuatu, karena tingkat pendidikan seorang ibu
dapat mempengaruhi pola konsumsi makan melalui cara
pemilihan makanan pada balita. Pendidikan ibu muncul
sebagai prediktor utama stunting, merupakan faktor rumah
tangga yang dapat dimodifikasi, memiliki hubungan yang
kuat dan konsisten dengan status gizi buruk (Seifu Hagos,
2017). Menurut penelitian (Subarkah .T., 2016) di Posyandu
Kalijudan Kota Surabaya menjelaskan bahwa pendidikan ibu
mempengaruhi pola makan yang tepat pada anak usia 1-3
tahun. Faktor pendidikan ibu merupakan faktor yang penting
dalam hal pemilihan jenis dan jumlah makanan serta
penentuan jadwal makan anak sehingga pola pemberian
makan tidak tepat maka anak akan mengalami status gizi
kurang. Sama halnya dengan penelitian (Aridiyah F.O, 2015)
yang menunjukkan adanya hubungan antara tingkat
pendidikan ibu dengan kejadian stunting pada anak balita.
Secara tidak langsung tingkat pendidikan ibu akan
mempengaruhi kemampuan dan pengetahuan ibu mengenai
perawatan kesehatan terutama dalam memahami
pengetahuan mengenai gizi.
4. Ciri-Ciri Anak Yang Mengalami Stunting
Menurut (Pritasari, 2018) stunting ditandai dengan :
a. Gagal Tumbuh
1) Pendek ( TB/U ), Kurus ( BB/U ).
2) Menurut (KEMENKES RI, 2011), kategori status gizi pendek yaitu
pada ambang batas (z-score) -3 SD sampai dengan <-2 SD dan
status gizi sangat pendek yaitu pada z-score <-3 SD.
b. Gagal Kembang
Gangguan kognitif, lambat menyerap pengetahuan, lemah di
matematika; stunting ( pendek dan defisit kognitif ).
c. Gangguan Metabolisme Tubuh
Potensi untuk terkena penyakit tidak menular.
5. Dampak dari Stunting
Menurut (Dasman, 2019) dampak dari Stunting, yaitu :
a. Kognitif lemah dan psikomotorik terhambat.
Bukti menunjukkan anak yang tumbuh dengan stunting
mengalami masalah perkembangan kognitif dan psikomotor.
Jika proporsi anak yang mengalami kurang gizi, gizi buruk,
dan stunting besar dalam suatu negara, maka akan
berdampak pula pada proporsi kualitas sumber daya
manusia yang akan dihasilkan. Artirnya, besarnya masalah
stunting pada anak hari ini akan berdampak pada kualitas
bangsa masa depan.
b. Kesulitan menguasai sains dan berprestasi dalam olaraga.
Anak-anak yang tumbuh dan berkembang tidak
proposional hari ini, pada umumnya akan mempunyai
kemampuan secara intelektual dibawah rata-rata
dibandingkan anak yang tumbuh dengan baik. Generasi
yang tumbuh dengan kempuan kognisi intelektual yang
kurang akan lebih sulit menguasai ilmu pengetahuan (sains)
dan teknologi karena kempuan analisi yang lebih lemah.
c. Lebih mudah terkena penyakit degeneratif.
Kondisi stunting tidak hanya berdampak langsung
terhadap kualitas intelektual bangsa, tapi juga menjadi faktor
tidak langsung terhadap penyakit degeneratif (penyakit yang
muncul seriring bertambahnya usia).
d. Sumber daya manusia berkualitas rendah.
Kurang gizi dan stunting saat ini, menyebabkan
rendahnya kualitas sumber daya manusia usia produktif.
Masalah ini selanjutnya juga berperan dalam meningkatkan
penyakit kronis degeratif saat dewasa.
6. Penilaian Status Gizi Stunting
Penilaian status gizi balita yang paling sering dilakukan adalah
dengan cara penilaian antropometri. Secara umum antropometri
berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh
dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.
Antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan
protein dan energi. Keseimbangan ini terlihat pada pola
pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh, seperti lemak, otot,
dan jumlah air dalam tubuh. Beberapa indeks antropometri yang
sering digunakan adalah BB/U, TB/U, dan BB/TB yang dinyatakan
dengan standar deviasi unit z ( z score ) (Supariasa .I.D.N., 2012).
Stunting dapat diketahui bila seorang balita sudah diketahui
usianya dan diukur panjang atau tinggi badannya, lalu
dibandingkan dengan standar dan hasilnya berada di bawah
normal. Jadi, secara fisik balita stunting akan lebih pendek
dibandingkan balita seumurnya. Perhitungan ini menggunakan
standar z-score dari WHO.
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan
keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan
tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi
badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap
masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek. Pengaruh defisiansi
zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang
relatif lama. Stunting dapat didiagnosis melalui indeks antropometri
PB/U atau TB/U yang mencerminkan pertumbuhan linier yang
dicapai pada pra dan pasca persalinan.
Alat pengukuran tinggi badan dapat menggunakan microtoise,
sedangkan alat yang digunakan untuk mengukur panjang badan
adalah papan pengukur panjang badan (infantometer) (Ningtyias,
2010). Menurut WHO pada balita diukur panjang badan (PB) untuk
anak usia <2 tahun belum bisa berdiri dan tinggi badan (TB) untuk
anak usia ≥2tahun sudah bisa berdiri. Apabila pengukurannya
dilakukan secara berbeda maka akan dilakukan koreksi. Anak usia
≥2 tahun tetapi diukur TB, maka TB = PB – 0,7cm, sedangkan anak
usia <2 tahun diukur berdiri maka PB= TB+0,7cm. Adapun prosedur
pengukuran tinggi badan dan panjang badan sebagai berikut :
a. Prosedur pengukuran tinggi badan
1) Persiapan (cara memasang microtoise)
a) Gantungkan bandul benang untuk membantu
memasang microtoise didinding agak tegak lurus.
b) Letakkan alat pengukur dilantai yang datar tidak jauh
dari bandul tersebut dan menempel pada dinding.
Didinding jangn ada lekukan atau tonjolan (rata).
c) Tarik papan penggeser tegak lurus keatas, sejajar
dengan benang berbandul yang tergantung dan tarik
sampai angka pada jendela baca menunjukkan angka
0 (nol). Kemudian dipaku atau direkat dengan latban
pada bagian atas microtoise.
d) Untuk menghindari terjadi perubahan posisi pita, beri
lagi perekat pada posisi sekitar 10cm dari bagian atas
microtoise.
2) Prosedur peningkatan tinggi badan
a) Mintalah responden melepaskan alas kaki
(sendal/sepatu), topi (penutup kepala).
b) Pastikan alat geser berada diposisi atas.
c) Responden diminta berdiri tegak, persis dibawah alat
geser.
d) Posisi kepala dan bahu bagian belakang, lengan,
pantat, dan tumit menempel pada dinding tempat
microtoise dipasang.
e) Padangan lurus kedepan, dan tangan dalam posisi
tergantung bebas.
f) Gerakkan alat geser sampai menyentuh bagian atas
kepala responden. Pastikan alat geser berada tepat
ditengah kepala responden. Dalam keadaan ini
bagian belakang alat geser berada tepat ditengah
kepala responden. Dalam keadaan ini bagian
belakang alat geser harus tetap menempel pada
dinding.
g) Baca angka tinggi badan pada jendela baca kearah
yang lebih besar (kebawah). Pembacaan dilakukan
tepat didepan angka (skala) pada garis merah, sejajar
dengan mata petugas.
h) Apabila pengukur lebih rendah dari yang diukur,
pengukur harus berdiri diatas bangku agar hasil
pembacanya benar.
i) Pencatatan dilakukan dengan ketelitian sampai satu
angka dibelakang koma (0,1 cm).
C. Tinjauan Tentang Tingkat Pendidikan dan Sosial Ekonomi
1. Pengertian Pendidikan
Menurut (Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, 2003), pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara.
Indikator tingkat pendidikan terdiri dari jenjang pendidikan dan
kesesuaian jurusan. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan
yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik,
tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan
terdiri dari antara lain:
a. Pendidikan Dasar
Jenjang pendidikan awal selama 9 tahun pertama masa
sekolah anak-anak yang menlandasi jenjang pendidikan
menengah. Pendidikan dasar terdiri dari TK dan SD.
b. Pendidikan Menengah
Jenjang pendidikan lanjutan dari pendidikan dasar.
Pendidikan menengah terdiri dari SMP dan SMA.
c. Pendidikan Tinggi
Jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang
mencakup program sarjana, magister, doktor, dan spesialis
yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.
Pendidikan adalah pembelajaran yang pengetahuan dan
kecakapan disalurkan melalui pengajaran. Pendidikan masyarakat
adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agar
masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan (praktek) untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan (Notoatmodjo, 2005).
Kurangnya pengetahuan akibat dari keterbatasan informasi dan
rendahnya pendidikan akan menjadi faktor penyebab masalah
kesehatan, dimana tingkat pendidikan individu memberikan
kesempatan yang lebih banyak terhadap diterimanya pengetahuan
baru termasuk informasi kesehatan.
Tingkat pendidikan yang tinggi bisa memungkinkan individu
untuk mengakses dan memahami informasi tentang kesehatan
sehingga individu memiliki pengetahuan untuk memilih strategi
dalam mengatasi masalah kesehatan. Hasil atau perubahan
perilaku dengan cara ini membutuhkan waktu lama, tetapi
perubahan yang dicapai akan bersifat langgeng karena didasari
oleh kesadaran mereka sendiri.
2. Pengertian Sosial Ekonomi
Sosial ekonomi menurut Soerjono Soekanto (2007) adalah posisi
seseorang dalam masyarakat berkaitan dengan orang lain dalam
arti lingkungan pergaulan, prestasinya, dan hak-hak serta
kewajibannya dalam berhubungan dengan sumber daya.
Menurut (Santrock, 2007) status sosial ekonomi menunjukan
ketidaksetaraan tertentu, dimana anggota masyarakat memiliki
pekerjaan yang bervarisi prestasinya, dan beberapa individu
memiliki akses yang lebih besar terhadap pekerjaan berstatus lebih
tinggi dibanding orang lain, tingkat pendidikan yang berbeda, akses
yang lebih besar terhadap pendidikan yang lebih baik dibanding
orang lain, sumber daya ekonomi yang berbeda, dan tingkat
kekuasaan untuk mempengaruhi insitusi masyarakat.
Berdasarkan pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan kondisi
sosial ekonomi adalah kedudukan atau posisi seseorang dalam
masyarakat yang berkaitan dengan tingkat pendidikan, tingkat
pendapatan, kepemilikan aset rumah tangga, dan pemenuhan
kebutuhan keluarga. Dengan demikian, keempat hal tersebut
mempengaruhi tingkat sosial ekonomi masyarakat yang juga
menentukan tinggi rendahnya status seseorang dalam masyarakat.
a. Faktor yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya status
sosial ekonomi di masyarakat diantaranya :
1) Pendidikan
Pendidikan adalah aktivitas dan usaha untuk
meningkatkan kepribadian dengan jalan membina
potensi pribadinya. Pendidikan diselenggarakan melalui
jalur pendidikan sekolah (pendidikan formal) dan jalur
pendidikan luar sekolah (pendidikan non formal).
2) Pekerjaan
Pekerjaan seseorang akan mempengaruhi kehidupan
pribadinya, pekerjaan yang ditekuni oleh setiap orang
berbeda-beda, perbedaan itu akan menyebabkan
perbedaan tingkat penghasilan yang rendah sampai
pada tingkat penghasilan yang tinggi, tergantung pada
pekerjaan yang ditekuninya.
Menurut (Badan Pusat Statistik, 2019), Status
pekerjaan, dibedakan menjadi 7 kategori, yaitu sebagai
berikut :
a) Berusaha sendiri, adalah bekerja atau berusaha
dengan menanggung risiko secara ekonomis, yaitu
dengan tidak kembalinya ongkos produksi yang telah
dikeluarkan dalam rangka usahanya tersebut, serta
tidak menggunakan pekerja dibayar maupun pekerja
tak dibayar, termasuk yang sifat pekerjaannya
memerlukan teknologi atau keahlian khusus.
b) Berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tak dibayar.
c) Berusaha dibantu buruh tetap/buruh dibayar.
d) Buruh/karyawan/pegawai, adalah seseorang yang
bekerja pada orang lain atau
instansi/kantor/perusahaan secara tetap dengan
menerima upa/gaji baik berupa uang maupun barang.
e) Pekerja bebas, adalah gabungan antara pekerja
bebas di pertanian dan pekerja bebas di non-
pertanian.
3) Pendapatan
Pendapatan yang diterima oleh penduduk akan
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang dimilikinya.
Pendapatan merupakan jumlah semua pendapatan
kepala keluarga maupun anggota lainnya yang
diwujudkan dalam bentuk uang dan barang. Menurut
Dewan Pengupahan Sulawesi Barat telah
menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2019
sebesar Rp.2.369.670 (UMP Sulawesi Barat, 2019).
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konseptual
Stunting (kerdil) adalah kondisi gagal tumbuh pada anak
balita ( bayi di bawah lima tahun ) akibat dari kekurangan gizi kronis
sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi
terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah
bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi
berusia 2 tahun. Kelompok usia 24-60 bulan adalah kelompok usia
yang berisiko besar untuk mengalami stunting. Faktor-faktor yang
dapat menyebabkan stunting antara lain praktek pengasuhan yang
tidak baik, terbatasnya layanan kesehatan, masih kurangnya akses
rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi, kurangnya akses ke
air bersih dan sanitasi, situasi sosial ekonomi dan lingkungan, dan
faktor pendidikan ibu.
Situasi sosial ekonomi menjadi faktor yang berhubungan
dengan stunting pada anak balita. Apabila ditinjau dari karakteristik
pendapatan keluarga bahwa akar masalah dari dampak
pertumbuhan bayi dan berbagai masalah gizi lainnya salah satunya
disebabkan dan berasal dari krisis ekonomi.
Faktor pendidikan ibu mempengaruhi keadaan gizi balita
karena tingkat pendidikan ibu akan mempengaruhi kemampuan
dan pengetahuan ibu mengenai perawatan kesehatan terutama
dalam memahami pengetahuan mengenai gizi, begitu juga dengan
bayi yang tidak mendapat ASI dengan cukup berarti memiliki
asupan gizi yang kurang baik dan dapat menyebabkan kekurangan
gizi salah satunya dapat menyebabkan stunting.
Berdasarkan uraian diatas peneliti menyusun kerangka
konsep sebagai berikut :
Variabel Independen Variabel Dependen
Situasi sosial ekonomi

Tingkat Pendidikan Ibu


Kejadian Stunting

Pemberian ASI Keterangan:


Eksklusif
: :Variabe Independen
Terbatasnya layanan
:Variabel Dependen
kesehatan.
Kurangnya akses ke :Tidak diteliti
makanan bergizi.
Kurangnya akses air :Penghubung
bersih dan sanitasi. antar variabel

Gambar 3.1 :bagian kerangka konseptual

B. Hipotesis Penelitian
1. Ada hubungan tingkat pendidikan ibu dengan kejadian
stunting.
2. Ada hubungan status ekonomi keluarga dengan kejadian
stunting.
3. Ada hubungan pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian
stunting.
C. Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional.
N Definisi Paramet Cara Skala
Variabel Skor
o Operasional er Ukur Ukur
1. Stunting Tinggi balita Tinggi Menggu Ordinal 1 = stunting
menurut umur badan nakan gabungan
(TB/U) kurang alat antara data
dari <-2 SD Microtoi stunting dan
sehingga lebih se severe
pendek ,tinggi stunting (< -2
daripada tinggi badan SD)
yang balita 2 = Normal
seharusnya. diukur (≥-2 SD)
dengan
posisi
berdiri.
2. Pendidi Jenjang Ijazah Kuesion Ordinal 1 = Rendah
kan Ibu pendidikan terkahir er (tamat SMP
formal terakhir kebawah)
yang dicapai 2 =
oleh ibu. Menengah
(tamat SMA)
3 = Tinggi
(tamat
perguruan
tinggi)
3 Status Gambaran Pendap Wawan Ordinal 1 = Rendah
ekonomi status ekonomi atan cara (<Rp.800.000
keluarg keluarga balita keluarga )
a yang perbula 2 = Sedang
dikelompokkan n. (>Rp.800.000
berdasarkan –
jumlah Rp.1.500.000
pendapatan )
perbulan. 3 = Tinggi
(Rp.
1.500.000 –
>Rp.2.500.00
0)
4 Pemberi ASI Eksklusif Ibu Kuesion ordinal 1 = Ya
an ASI adalah member er 2 = Tidak
Eksklusi pemberian Air ikan ASI
f Susu Ibu (ASI) Eksklusi
tanpa dan atau f
mengganti
dengan
makanan atau
minuman lain
sejak bayi
dilahirkan
selama 6 bulan.
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah observasional analitik dengan pendekatan cross sectional
study, artinya penelitian dengan pengukuran variabel independen
dan variabel dependen dilakukan secara bersamaan guna
menganalisis hubungan kedua variabel tersebut.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Mamuju Provinsi
Sulawesi Barat, wilayah kerja Puskesmas Botteng Desa
Salletto. Pemilihan lokasi penelitian ini dengan pertimbangan
bahwa pada Kabupaten Mamuju menunjukkan adanya
kejadian stunting.
2. Waktu
Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari – Februari tahun
2020.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita di
Puskesmas Botteng, Kelurahan Simboro Desa Salletto,
yakni sebanyak 270 balita.
2. Sampel Penelitian
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara
Probability Sampling melalui metode simple random
sampling, yaitu pengambilan sampel yang dilakukan secara
acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam anggota
populasi, sehingga setiap anggota populasi memiliki
kesempatan yang sama besar untuk dipilih sebagai sampel
dalam penelitian, dengan kriteria sebagai berikut:
a. Kriteria Inklusi:
1) Balita berusia 24-60 bulan yang bertempat tinggal di
wilayah penelitian.
2) Orang tua balita bersedia menjadi responden dalam
penelitian ini.
3) Balita yang mempunyai orang tua masih lengkap.
b. Kriteria Eksklusi:
1) Balita yang tidak tinggal menetap di wilayah
penelitian.
2) Balita yang mengalami gangguan mental dan cacat
fisik.
3) Jika ada balita terpilih namun sudah tidak tinggal di
daerah tersebut atau balita yang orang tuanya tidak
lengkap, maka akan diganti dengan balita lain yang
masuk dalam kriteria inklusi.
Jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini
ditentukan dengan menggunakan rumus pengujian populasi
terbatas (finit), maka jumlah sampel dibutuhkan adalah:
N. z 2 . p. q
𝑛 =
d2 (N − 1) + z 2 . p. q

270. (1,96)2 . (0,5). (0,5)


𝑛 =
(0,005)2 (270 − 1) + (1,96)2 . (0,5). (0,5)

𝑛 = 158,802
𝑛 = 159 𝑟𝑒𝑠𝑝𝑜𝑛𝑑𝑒𝑛
Keterangan :
n = Perkiraan jumlah sampel
N = Perkiraan besar populasi
z = Nilai standar normal untuk α (1,96)
p = Perkiraan porporsi (0,5)
q = 1- p (0,5)
d = Taraf signifikansi yang dipilih (5% = 0,05)
D. Instrumen Penelitian
Instrumen adalah alat yang digunakan untuk mengukur
variabel penelitian baik variabel independen maupun variabel
dependen. Dalam penelitian ini untuk mengukur variabel
independen yaitu situasi sosial ekonomi, tingkat pendidikan ibu dan
pemberian ASI ekskusif menggunakan kuesioner, dan untuk
mengukur variabel dependen yaitu status gizi (stunting)
menggunakan microtoise.
E. Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini dipandang perlu adanya rekomendasi dari
pihak institusi kampus STIK Stella Maris atas Puskesmas Botteng
Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat dengan mengajukan
permohonan izin penelitian dengan etika penelitian sebagai berikut:
1. Informed Consent
Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang
akan diteliti yang memenuhi kriteria inklusi dan disertai
jadwal penelitian dan manfaat penelitian.
2. Anonymity (Tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan
mencantumkan nama responden, tetapi lembaran tersebut
diberikan initial atau kode.
3. Confidentially
Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dan
hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai
hasil penelitian. Data yang akan dikumpulkan disimpan
dalam disk dan hanya bisa diakses oleh peneliti dan
pembimbing, data ini dimusnahkan pada akhir penelitian.
Dalam penelitian ini terdapat dua sumber data, yaitu:
1. Data Primer
Data primer merupakan sumber data langsung yang
diperoleh melalui wawancara dan penyebaran kuesioner
yang berisi pertanyaan terkait variabel yang diteliti kepada
orang tua balita.
2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang didapatkan dari
kepustakaan dan puskesmas, seperti profil puskesmas dan
data balita.
F. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan setelah semua data terkumpul.
Langkah-langkah pengolahan data yang dilakukan antara lain:
1. Coding
Untuk memudahkan proses analisis, maka dilakukan
pemberian kode pada setiap data.
2. Editing
Setelah data didapatkan dan sebelum diolah, terlebih dahulu
dilakukan pengecekan ulang (edit) pada data untuk
memastikan bahwa semua data yang diperlukan telah terisi
dan menghilangkan keraguan dari peneliti.
3. Data Entry
Merupakan proses memasukkan data ke dalam sistem
perangkat lunak komputer untuk pengolahan lebih lanjut.
4. Data Cleaning
Merupakan proses pengecekan kembali data yang telah
dimasukkan (entry), untuk memastikan bahwa data tersebut
telah dimasukkan dengan benar. Hal ini dilakukan untuk
melihat dan menemukan apabila terdapat kesalahan yang
dilakukan peneliti pada saat memasukkan data.
Pada penelitian ini peneliti melakukan pengolahan data
menggunakan program SPSS (Statistical Package for the Social
Sciences) versi 25.
G. Analisa Data
Setelah data terkumpul dari hasil pengumpulan data, maka
langkah selanjutnya adalah analisis data. Analisis data merupakan
langkah yang sangat penting, sebab dari hasil ini dapat digunakan
untuk menjawab rumusan masalah yang diajukan peneliti.
Dalam penelitian kuantitatif, teknik analisis data diarahkan untuk
menjawab rumusan masalah yang telah ditentukan. Disebabkan
datanya adalah kuantitatif, maka analisis data menggunakan
metode statistik yang telah tersedia.
1. Analisis Univariat
Analisis ini dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil
penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya
menghasilkan distribusi frekuensi dan persentasi dari tiap
variabel.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk membuktikan hipotesis
penelitian dengan cara mengetahui hubungan antara
variabel independen (Situasi sosial ekonomi, Tingkat
pendidikan ibu dan pemberian ASI Eksklusif) dan variabel
dependen (Kejadian stunting). Analisis data dilakukan
dengan uji statistik chi-square dengan tingkat kemaknaan α
= 0,05.
Interpretasi hasil uji statistik:
a. Apabila nilai p < 0,05 maka Ha diterima Ho ditolak,
artinya ada hubungan faktor determinan dengan
kejadian stunting.
b. Apabila nilai p ≥ 0,05 maka Ha ditolak Ho diterima,
artinya tidak ada hubungan faktor determinan dengan
kejadian stunting.
3. Analisis Multivariat
Pada penelitian ini menggunakan analisis multivariat yang
memungkinkan peneliti melakukan penelitian terhadap lebih
dari dua variabel secara bersamaan. Dengan menggunakan
teknik analisis ini maka peneliti dapat menganalisis
hubungan antara banyak variabel bebas dengan satu
variabel terikat.
a. Langkah-langkah analisis multivariat adalah sebagai
berikut:
1) Menyeleksi variabel yang akan dimasukkan
dalam analisis multivariat. Variabel yang
dimasukkan dalam analisis multivariat adalah
variabel yang pada analisis bivariat mempunyai
nilai p < 0,25.
2) Melakukan analisis multivariat. Analisis
multivariat yang digunakan adalah multivariat
regresi logistik dengan pendekatan metode
backward.
3) Melakukan interpretasi hasil.
Apabila nilai Exp β (OR) paling besar diantara
yang lainnya maka disimpulkan itulah faktor
yang paling berhubungan dengan kejadian
stunting pada balita.

Anda mungkin juga menyukai