Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau

tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini

diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar

deviasi (-2 SD) median standar pertumbuhan anak dari WHO (Kemenkes

RI, 2018). Balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan

oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil,

kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita stunting di

masa yang akan datang akan mengalami kesulitan dalam mencapai

perkembangan fisik dan kognitif yang optimal (Kemenkes RI, 2018).

Kejadian stunting pada janin hingga anak berusia dua tahun dapat

meningkatkan angka kematian bayi dan anak serta menurunkan sistem

imunitas tubuh. Penderita stunting mudah sakit, memiliki postur tubuh yang

tidak maksimal, serta memiliki Produktivitas yang sangat rendah pada saat

dewasa (Wahyurin, et al., 2019)

Prevalensi balita pendek atau biasa disebut dengan stunting

merupakan salah satu masalah gizi yang dialami balita saat ini di dunia.

Pada tahun 2017 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami

stunting. Namun angka ini sudah mengalami penurunan jika dibandingkan

dengan angka stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%. Stunting merupakan 2

masalah kesehatan masyarakat yang harus ditangani secara serius. Data

1
prevalensi balita stunting yang dikumpulkan oleh World Health

Organization (WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan

prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional

(SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017

adalah 36,4% atau Hampir 9 juta balita (Kemenkes RI., 2018)

Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018 berdasarkan

indikator Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) menunjukan secara Nasional

prevalensi status gizi sangat pendek dan pendek pada tahun 2018 adalah

30,8% yang terdiri dari 11,5% sangat pendek dan 19,3% pendek. Terjadi

penurunan prevalensi status gizi sangat pendek-pendek dibandingkan hasil

Riskesdas pada tahun sebelumnya dimana pada tahun 2007 prevalensi gizi

sangat pendek-pendek adalah sebesar 36,8% dan tahun 2013 meningkat

sebesar 37,2% (Kemenkes RI., 2018). Berdasarkan data riset Kesehatan

Daerah (Riskesdas) 2018, Stunting di Papua sebesar 33,1% yang mana

prevalensi status gizi sangat pendek 15,3% dan pendek 17,8% (Widgery,

2019, Profil Kesehatan). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Jayapura

Hasil Riset Kesehatan Daerah atau Riskesdas di Kota Jayapura, kasus

stunting berada di angka 34,8% pada 2013 dan Riskesdas 2018 berada di

angka 31,4% (Ramah, 2020)

Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada balita,

namun studi ini fokus pada faktor pengetahuan, pendidikan, pendapatan dan

pola asuh. Kejadian stunting secara langsung dapat dipengaruhi oleh yakni

asupan makanan, penyakit infeksi, berat badan lahir rendah dan genetik

(Rahmawati L. Hubungan, 2020). Sedangkan faktor tidak langsung yakni

2
pengetahuan ibu, pendidikan,pendapatan, dengan pola asuh merupakan akar

masalahnya. Pengetahuan Ibu tentang stunting memiliki peran penting

dalam mencegah terjadinya stunting. Pengetahuan adalah segala hal yang

diketahui oleh manusia atau responden mengenai sehat dan sakit atau

kesehatan, misal: tentang stunting meliputi; penyebab, dampak, ciri-ciri,

cara pencegahan stunting, gizi, sanitasi, dan lainnya. Pengetahuan

merupakan aspek domain yang penting untuk membentuk tindakan

seseorang. Semakin luas seseorang memiliki pengetahuan maka semakin

positif pula perilaku yang dilakukannya (Hanggraeni, 2012). Sikap

pemberian makanan balita dipengaruhi oleh pengetahuan ibu, pengetahuan

ibu merupakan salah satu aspek yang memiliki pengaruh signifikan pada

peristiwa stunting. Oleh sebab itu, upaya perbaikan stunting bisa dicoba

dengan kenaikan pengetahuan sehingga bisa memperbaiki sikap pemberian

makan pada anak (Margawati, Astuti., 2018)

Faktor lain yang dapat mempengaruhi kejadian stunting pada balita

adalah pendidikan ibu menurut BPS dalam “Analisis Perkembangan Anak

Usia Dini Indonesia 2018” menyatakan pendidikan ibu mempengaruhi

perkembangan fisik anak, umumnya persentase anak usia 24-59 bulan yang

perkembangan kemampuan fisiknya sudah sesuai dengan tahapan

perkembangan usianya akan semakin meningkat seiring dengan semakin

tingginya pendidikan Ibu (Badan Pusat Statistik, 2018). Pendidikan dihitung

berdasarkan ijazah terakhir dari pendidikan formal. Pendidikan seorang ibu

berpengaruhi terhadap mudah atau tidaknya menerima informasi. Hal ini

dimaksudkan pada ibu yang memiliki pendidikan tinggi akan lebih mudah

3
untuk menyerap informasi yang didapatkan dari berbagai sumber (Ni’mah

K, Nadhiroh SR., 2015). Ibu yang memiliki pendidikan kurang atau tidak

berpendidikan akan mempersulit ibu dalam mencegah stunting karena

kurangnya kemampuan dalam menyerap informasi dan mengerti tentang

hal-hal yang berhubungan dengan gizi balita (Olsa, et all., 2017)

Pendapatan yang rendah diduga berdampak signifikan terhadap

kejadian stunting atau berat badan kurang pada anak. Orang tua dengan

status ekonomi keluarga yang cukup mampu untuk memenuhi semua

kebutuhan primer dan sekunder anak-anaknya. Keluarga yang mampu

secara finansial juga akan memiliki akses yang lebih baik ke perawatan

kesehatan, keluarga cenderung mengkonsumsi makanan yang kurang

kualitas, kuantitas dan variasinya dibandingkan dengan anak-anak dari

status ekonomi rendah (Nurmayasanti & Mahmudiono, 2019). Hal ini

sejalan dengan Faktor tidak langsung lainnya yang merupakan faktor

risiko terjadinya stunting pada balita adalah pola asuh. Pola asuh yang

salah seperti pemberian makan yang salah dapat berakibat asupan gizi

yang rendah pada anak. Pola asuh ibu yang baik akan mencegah balita dari

masalah gizi (Tobing, Pane, Harianja., 2021)

Beberapa jurnal mengatakan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara kejadian stunting dengan pengetahuan ibu,pendidikan

ibu,pendapatan keluarga,pola asuh ibu. Penelitian Aini dkk (2018) dengan

hasil terdapat hubungan yang signifikan antara kejadian stunting dengan

pengetahuan ibu yang kurang dengan nilai p-value sebesar 0,001 dengan

risiko sebesar 4,72 kali. Penelitian Nurmalasari dkk tahun 2020

4
mengatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat

pendidikan ibu dengan stunting dengan nilai p-value sebesar 0,000 dan

risiko sebesar 3,3 kali. Penelitian (Yesi Nurmalasari, Anggunan., 2020) di

Desa Mataram Ilir Kecamatan Seputih Surabaya dengan hasil terdapat

hubungan antara pendapatan keluarga dengan stunting dengan hasil yaitu

nilai OR 5,132 (CI : 2,602 – 10,121) dan dimana keluarga dengan

pendapatan rendah berisiko lima kali lebih tinggi mengalami stunting

dibandingkan pendapatan tinggi, dan nilai OR 2,255 (CI : 1,127 – 4,512)

dan dimana keluarga dengan pendapatan menengah berisiko dua kali lebih

tinggi mengalami stunting dibandingkan pendapatan tinggi. Selanjutnya

Penelitian Bella dkk., 2020 mengatakan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara kejadian stunting dengan pola asuh pemberian makan

dengan nilai p-value sebesar 0,000 dan risiko sebesar 8,8 kali.

Beberapa program nyata untuk menangani permasalahan tersebut

yaitu dengan memperbaiki dan meningkatkan ketahanan pangan nasional,

lingkungan sosial yang kondusif untuk mendukung pemberian makanan

bagi anak balita, menyediakan akses untuk mendapatkan pelayanan

kesehatan, dan tersedianya air, sanitasi dan lingkungan yang bersih.

Faktor-faktor tersebut merupakan faktor pendukung untuk memperbaiki

kualitas asupan gizi. Dengan menyediakan komponen-komponen pada

faktor tersebut diharapkan dapat menekan dan mencegah terjadinya gizi

buruk bagi anak.

Dampak negatif akibat stunting dalam dalam jangka pendek yaitu

menurunnya kecerdasan otak, terganggunya pertumbuhan dan

5
perkembangan fisik anak, serta terganggunya sistem metabolisme

tubuhnya. Adapun dampak yang timbul dalam jangka panjang yaitu

rendahnya kemampuan kognitif anak sehingga tidak mampu berprestasi,

sistem kekebalan tubuhnya rendah sehingga sering mengalami sakit,

memiliki risiko tinggi untuk mengalami diabetes, obesitas, gagal jantung,

dan disabilitas di usia tuanya, dan rendahnya kualitas kerjanya karena

kurang mampu untuk bersaing sehingga produktivitas ekonominya rendah.

Dari observasi awal yang dilakukan peneliti pada petugas di

Puskesmas Abepura bagian bidang gizi, angka stunting terjadi akibat ibu

yang memberikan pola asuh kepada anak-anak tidak tepat. Para ibu biasanya

akan memberikan apa yang anak suka untuk memakannya tanpa melihat dan

memikirkan kandungan gizi yang baik untuk pertumbuhan anak. Ibu juga

jarang mengajarkan kepada anak untuk makan makanan yang baik bagi

pertumbuhan anak, sehingga anak akan memakan makanan yang disukai

saja, seperti contoh jajan sembarangan, lebih memilih makan mie instan dari

pada sayuran, dan lain sebagainya.

Berdasarkan data sekunder dari Dinas Kesehatan Kota Jayapura, kasus

Stunting melalui aplikasi e-PPGBM (Elektronik Pencatatan dan Pelaporan

Gizi Berbasis Masyarakat) pada tahun 2020,2021, dan periode bulan

Januari-Mei 2022 dari 13 Puskesmas yang tersebar di Wilayah Kota

Jayapura terdapat pada Puskesmas Abepura yang mengalami peningkatan

kasus Stunting yang signifikan, yaitu : Tahun 2020 dengan jumlah kasus 63

(15,6%) menduduki peringkat ke tiga, Tahun 2021 dengan jumlah kasus 160

(12,3%) menduduki peringkat ke dua, dan pada bulan Januari-Mei 2022

6
dengan jumlah kasus 210 (15,2%) menduduki peringkat pertama, sehingga

peneliti memilih lokasi penelitian pada Puskesmas Abepura.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik melakukan

penelitian mengenai “Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kejadian Stunting

Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Abepura Tahun

2022”.

1.2 Rumusan Masalah

Maka rumusan masalah dalam penelitian ini, Apakah ada Faktor-

Faktor Yang Memengaruhi Kejadian Stunting Pada Balita Pada Balita Usia

24-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Abepura ?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kejadian Stunting pada

anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas Abepura.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui hubungan pengetahuan ibu dengan kejadian Stunting di

Wilayah Kerja Puskesmas Abepura.

b. Mengetahui hubungan pendidikan ibu dengan kejadian Stunting di

Wilayah Kerja Puskesmas Abepura.

c. Mengetahui hubungan pendapatan kepala keluarga dengan kejadian

Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Abepura.

d. Mengetahui hubungan pola asuh atau anggota keluarga terdekat

dengan kejadian Stunting pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Abepura.

7
1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Menambah informasi tentang faktor yang mempengaruhi dengan

kejadian Stunting pada balita.

2. Manfaat Praktis :

a. Bagi Dinas Kesehatan

Sebagai bahan informasi tentang faktor yang mempengaruhi dengan

Stunting, sehingga dapat dijadikan pengambilan kebijakan dalam

peningkatan kesejahteraan dan kesehatan keluarga dalam mengatasi

Stunting pada balita.

b. Bagi peneliti selanjutnya.

Bagi peneliti selanjutnya dapat melakukan peneliti berikutnya dengan

melihat variabel yang berbeda.

8
1.5 Keaslian Penelitian

Peneliti ini belum pernah dilakukan di tempat yang Peneliti lakukan, namun ada beberapa penelitian serupa dilakukan di

berbagai tempat, dengan setiap penelitian mempunyai perbedaan masing-masing yaitu:

Table 1.1 Keaslian Penelitian


Nama Perbedaan dan
No Judul Penelitian Jenis Penelitian Hasil
Penelitian persamaan

Ramayana et al., Hubungan Pola Asuh Hasil penelitian menunjukkan bahwa Persmaan: Pola asuh
2014 Ibu Dengan Kejadian sebagian besar sampel (54,8%) memiliki Praktik pemberian makan
Stunting Anak Usia masalah stunting dan selebihnya (45,2%) dan Jenis Penelitian
24-59 Bulan Di memiliki status gizi normal. Untuk pola
kuantitatif Perbedaan :
Posyandu Asoka II asuh ibu, terdapat sekitar 72,6% sampel
dengan
Wilayah Pesisir dengan praktik pemberian makan yang
pendekatan -Lokasi,tahun,Variabel
Kelurahan Barombong baik, terdapat sekitar 71,0% sampel
analitik peneliti yaitu
Kecamatan Tamalate dengan rangsangan psikososial yang baik,
observasional pendidikan,pendapatan
Kota Makassar sekitar 67,7% sampel dengan praktik
dengan desain keluarga, pengetahuan
kebersihan/higyene yang baik, sekitar
cross-sectional
53,2% sampel dengan sanitasi lingkungan
yang baik dan terdapat sekitar 66,1%
sampel dengan pemanfaatan pelayanan
yang baik.

2. Gilbert aldony Hubungan kuantitatif Pengetahuan ibu tentang Persmaan:Pengetahuan,


Hutabarat, 2021 Pengetahuan, menggunakan stunting dan pola asuh pendidikan,Pola asuh dan
Pendidikan dan Pola desain potong pemberian makan merupakan Jenis Penelitian
Asuh Pemberian lintang faktor yang mempengaruhi
makan terhadap kejadian stunting balita usia 36- Perbedaan :
kejadian stunting Pada 59 bulan. Sedangkan pendidikan -Lokasi,tahun,
balita Usia 36-59 ibu bukan merupakan faktor
bulan di Puskesmas yang mempengaruhi kejadian

9
Nama Perbedaan dan
No Judul Penelitian Jenis Penelitian Hasil
Penelitian persamaan

Sigompul stunting balita usia 36-59 bulan.

3. Yesi Nurmalasari, Hubungan Tingkat analitik Terdapat hubungan antara Persamaan : Variabel
Anggunan, 2020 Pendidikan Ibu dan observasional tingkat pendidikan ibu dengan tingkat pendidikan
Pendapatan Keluarga dengan stunting dengan hasil yaitu nilai ibu ,Pendapatan
OR 3,313 (CI : 1,878 - 5,848) Keluarga,Jenis penelitian
Dengan Kejadian pendekatan
dan terdapat hubungan antara
Stunting pada Anak cross sectional. Perbedaan : Lokasi dan
pendapatan keluarga dengan
Usia 6-59 Bulan. Tahun
stunting dengan hasil yaitu nilai
OR 5,132 (CI : 2,602 – 10,121)
dimana keluarga dengan
pendapatan rendah berisiko lima
kali lebih tinggi mengalami
stunting dibandingkan
pendapatan tinggi, dan nilai OR
2,255 (CI : 1,127 – 4,512) dan
dimana keluarga dengan
pendapatan menengah berisiko
dua kali lebih tinggi mengalami
stunting dibandingkan
pendapatan tinggi.

10

Anda mungkin juga menyukai