Anda di halaman 1dari 7

KEYNOTE SPEECH MELAWAN STUNTING

(Achmad Djamil, SKM.M.Kes)

Stunting merupakan gangguan pertumbuhan kronis pada anak balita (bawah lima tahun)
akibat kekurangan asupan nutrisi atau malnutrisi dalam waktu cukup lama. Penyebabnya
adalah makanan yang ia konsumsi tidak memenuhi kebutuhan nutrisi sesuai usia si anak.
Pada umumnya, stunting terjadi pada balita, khususnya usia 1-3 tahun. Pada rentang usia
tersebut, Ibu sudah bisa melihat apakah si anak terkena stunting atau tidak. Meski baru
dikenali setelah lahir, ternyata stunting bisa berlangsung sejak si anak masih berada dalam
kandungan.

Salah satu dampak stunting yang bisa dilihat adalah tinggi dan berat badan anak jauh di
bawah rata-rata anak seusianya. Selain itu, stunting juga bisa membuat anakl mudah sakit,
punya postur tubuh kecil ketika dewasa, dan menyebabkan kematian pada usia dini. Stunting
juga bisa memengaruhi kecerdasan anak. Anak kemungkinan akan sulit belajar dan menyerap
informasi, baik secara akademik maupun non akademik, karena kekurangan nutrisi sejak dini.

Pada 2017 World Bank melaporkan bahwa Indonesia adalah negara ke-4 di dunia dengan
jumlah balita stunting tertinggi. Jumlah stunting (kondisi gagal tumbuh anak balita yang
disebabkan oleh malnutrisi kronis) di Indonesia hanya sedikit lebih rendah dibandingkan
dengan India, Pakistan, dan Nigeria.

Desakan Presiden Joko Widodo untuk melakukan percepatan penyelesaian masalah stunting
di acara Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) Nasional Rancangan RPJMN
2020-2024 beberapa saat lalu memberikan kesan genting bahwa persoalan status gizi di
Indonesia masih menjadi aib.

Pesan dari Presiden itu juga seolah mengkonfirmasi bahwa ada grafik yang tidak
menggembirakan dari penurunan angka stunting di Indonesia. Data termutakhir dari hasil
riset studi status gizi balita Indonesia (SSGBI) 2019 mencatat bahwa jumlah balita stunting di
Indonesia saat ini mencapai 27,67 persen. Artinya, terdapat 6.3 juta dari populasi 23 juta
balita di Indonesia yang mengidap masalah stunting. Jumlah yang telah melampaui nilai
standar maksimal dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni sebesar 20 persen atau
seperlima dari jumlah total anak balita dalam suatu negara.

Indonesia dianggap sebagai negara yang berkontribusi besar terhadap masalah stunting dunia.
Walaupun tingkat status gizi masyarakat Indonesia terlihat membaik, namun tidak demikian
dengan permasalahan stunting. Jika mengacu pada data 2013 saja, prevalensi stunting di
Indonesia bahkan lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti
Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan Thailand 16%.

Tingginya kasus stunting ini memberikan implikasi buruk terhadap pembangunan dan
kemajuan di Indonesia. Stunting mengancam produktivitas sumber daya manusia (SDM)
Indonesia, karena rentan diserang oleh pelbagai penyakit. Stunting mengurangi
perkembangan daya saing SDM. Praktis, kerugian ekonomi yang harus ditanggung akibat
beban stunting juga begitu signifikan. Kerugian ekonomi yang menurut World Bank dapat
mencapai 2 hingga 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per tahun dari suatu negara.
LITERASI GIZI

Pada 2010 sebuah laporan UNESCO yang berjudul The Social and Economic Impact of
Illiteracy menyatakan bahwa tingkat literasi rendah mengakibatkan kehilangan atau
penurunan produktivitas dan tingginya beban biaya kesehatan dalam suatu negara. Hal ini
pertanda bahwa Agenda Prioritas Nasional pemerintah untuk melakukan penurunan kasus
stunting akan sulit terealisasi apabila agenda penyelesaian masalah rendahnya literasi gizi
(nutrition illiterate) masyarakat tidak ditempatkan sebagai kebijakan nasional untuk
mengawali penyelesaian masalah stunting.

Literasi gizi adalah faktor penentu dalam menentukan status gizi dalam suatu masyarakat.
Karena itu, langkah awal dalam menyelesaikan persoalan masalah sunting adalah dengan
memperbaiki tingkat literasi gizi masyarakat. Sadar atau tidak permasalahan dari stunting
bukan hanya mengenai persoalan gizi buruk semata, tetapi juga karena faktor pengetahuan
atau informasi masyarakat dalam memahami kecukupan nutrisi. Tanpa melakukan upaya
perbaikan terhadap tingkat literasi gizi, tentu saja akan sangat susah bagi Indonesia untuk
dapat menurunkan angka stunting secara cepat.

Bicara literasi, kita bicara tentang bagaimana proses pengaturan regulasi dan pemberian
informasi yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat. Pemerintah telah
mengeluarkan peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2013 tentang Angka
Kecukupan Gizi yang dianjurkan bagi masyarakat Indonesia. Namun sayangnya, informasi
krusial yang seperti ini tidak mengalir turun sampai ke seluruh masyarakat. Ada patahan
dalam proses tersebut yang menyebabkan masih banyak masyarakat yang tidak faham dengan
informasi gizi.

Informasi tentang Angka Kecukupan Gizi (AKG) atau Recommended Dietary Allowances
(DRA) berisi informasi mengenai kecukupan rata-rata zat gizi sehari yang direkomendasikan
kepada hampir semua orang sehat (97,5%) sesuai dengan karakteristik umur, jenis kelamin,
ukuran tubuh aktivitas fisik, genetik, dan keadaan fisiologis untuk mencapai derajat
kesehatan yang optimal. Informasi ini penting dipahami oleh masyarakat dan menjadi acuan
dalam memenuhi kebutuhan dasar gizi.

Selain itu, materi edukasi gizi terutama tentang Pedoman Gizi Seimbang (PGS) perlu
diperkenalkan secara meluas kepada semua kelompok rentan seperti ibu hamil, masyarakat
miskin dan juga anak-anak sekolah di Indonesia. Melakukan pembumian literasi informasi
mulai dari sekolah-sekolah, fasilitas Kesehatan, dan rumah warga, tentang bagaimana
pemilihan makanan dan minuman yang syarat gizi dan juga tentang apa saja sumber dan
fungsi zat gizi.

Sebuah studi yang dilakukan Gerakan Nusantara (GerNUS) di Cianjur, Klaten, dan Magelang
yang diikuti oleh 148 guru sebagai peserta dari 75 Sekolah Dasar menemukan bahwa hampir
semua guru memiliki pengetahuan gizi yang sangat rendah. Ini kenyataan yang miris di
tengah adanya kemudahan akses informasi melalui internet dan perkembangan pengetahuan
yang telah berubah pesat.
AKSES PANGAN

Walaupun sejak lama program pangan dan gizi sudah menjadi prioritas pemerintah melalui
RPJMN 2015–2019 dan juga RPJMN 2020-2024, namun bukan berarti akses pangan di
Indonesia tidak tanpa masalah. Akses pangan dalam arti yang lebih jauh adalah kemampuan
suatu masyarakat memiliki sumber daya secara ekonomi maupun fisik untuk mendapatkan
bahan pangan bernutrisi. Konsekuensi dari sulitnya akses pangan yang sulit maka
menciptakan rantai kelaparan di dalam suatu masyarakat.

Global Hunger Index 2018 merilis sebuah laporan yang menyatakan bahwa masalah
kelaparan di Indonesia sudah berada pada level yang mengkhawatirkan. Hal ini terlihat dari
jumlah skor kelaparan Indonesia yakni sebesar 21,9. Ironisnya, posisi Indonesia bahkan
berada di peringkat 73 dunia dengan masalah kelaparan.

Laporan tersebut memang senada dengan data dari BPS yang menyebutkan bahwa hanya 8
persen masyarakat Indonesia yang mengkonsumsi protein hewani seperti daging, susu, telur,
dan ikan. Konsumsi protein hewani Indonesia sangat tertinggal jauh dengan negara-negara di
Asia Tenggara seperti Thailand dan Filipina yang saat ini telah mencapai 20 persen hingga 21
persen. Terlebih Malaysia, konsumsi protein hewaninya telah mencapai angka 28 persen.

Tingkat konsumsi pangan bergizi yang rendah adalah tanda bahwa akses pangan masih sulit.
Ini menjadi catatan yang penting bagi pemerintah bahwa akses pangan adalah faktor kunci
dalam membangun suatu negara yang terbebas dari masalah stunting. Oleh karena itu,
peningkatan kemampuan akses masyarakat terhadap bahan pangan terutama bagi kalangan
masyarakat miskin harus diprioritaskan oleh pemerintah agar penyelesaian kasus stunting di
Indonesia segera terjadi.

TEPAT SASARAN

Membayangkan Indonesia di masa depan bisa terbebas dari permasalahan stunting memang
bukanlah sesuatu yang utopis. Banyak potensi dan sumber daya yang dapat dioptimalkan
dengan baik untuk mengatasi problem stunting. Indonesia adalah negara dengan
keanekaragaman ekosistem terbesar ketiga di dunia setelah Brasil dan Hong Kong. Indonesia
menyimpan sumber daya laut yang sangat melimpah.
Pada konteks itu, menata agar permasalahan status gizi masyarakat Indonesia dapat teratasi
tentu memerlukan strategi yang tepat dan terukur. Butuh siasat khusus agar masalah stunting
bisa berkurang dari bumi Indonesia. Terpenting strategi atau kebijakan dalam pengurangan
stunting dapat berdaya guna dan dapat menyentuh sasaran secara tepat.

Jika tidak ada kebaruan dan masih terus menggunakan jurus yang sama dalam menangani
masalah stunting, maka sama berarti semua upaya yang dilakukan menghasilkan sesuatu yang
sia-sia. Walhasil kondisi tersebut akan membuat Indonesia kehilangan momentum untuk
dapat melompat jauh ke depan menjadi negara yang besar.
JURNAL TERKAIT

1. Penelitian yang dilakukan oleh Eko Setiawan, Rizanda Machmud, Masrul Masrul dengan
judul Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia 24-59
Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Andalas Kecamatan Padang Timur Kota Padang
Tahun 2018 didapatkan data bahwa Terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat
asupan energi, riwayat durasi penyakit infeksi, berat badan lahir, tingkat pendidikan ibu
dan tingkat pendapatan keluarga dengan kejadian stunting. Tingkat pendidikan ibu
memiliki hubungan paling dominan dengan kejadian stunting. Penelitian ini menyarankan
pemerintah, instansi kesehatan, dan pihak terkait berkolaborasi menerapkan kebijakan
untuk mengurangi risiko stunting. Masyarakat disarankan mendapatkan pendidikan yang
berkualitas, memberikan asupan nutrien yang seimbang dan meningkatkan derajat
kesehatan anak.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Kukuh Eka And Nuryanto (2013) Faktor risiko kejadian
stunting pada anak usia 2-3 tahun (studi di kecamatan semarang timur kusuma, hasil
analisis multivariat menunjukkan bahwa faktor risiko stunting pada balita usia 2-3 tahun
adalah status ekonomi keluarga yang rendah (p = 0,032; or = 4,13), sedangkan panjang
badan lahir, tinggi badan orangtua, dan pendidikan orang tua bukan merupakan faktor
risiko stunting. Kesimpulan: status ekonomi keluarga yang rendah merupakan faktor
risiko yang bermakna terhadap kejadian stunting pada balita usia 2-3 tahun. Anak dengan
status ekonomi keluarga yang rendah lebih berisiko 4,13 kali mengalami stunting.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Meilyasari, friska and isnawati, muflihah (2014) tentang
faktor risiko kejadian stunting pada balita usia 12 bulan di desa purwokerto kecamatan
patebon, kabupaten kendal hasil analisis bivariat menunjukkan faktor risiko yang
berpengaruh terhadap kejadian stunting pada balita usia 12 bulan di desa purwokerto
adalah panjang badan lahir rendah (or=16,43; p=0,002), prematuritas (or=11,5; p=0,023)
dan usia makan pertama (or=4,24; p=0,040). Berat badan lahir rendah (or=3,28; p=0,609),
lama pemberian asi eksklusif (or=2,06; p=0,303), dan skor mp-asi (or=1,41; p=0,77)
bukan merupakan faktor risiko kejadian stunting pada penelitian ini. Simpulan: faktor
risiko kejadian stunting pada balita usia 12 bulan adalah panjang badan lahir rendah
(pendek), prematuritas dan usia makan pertama.

4. Mercedes de Onis and Francesco Branca, Childhood stunting: a global perspective Many
more millions suffer from some degree of growth faltering as the entire length‐
for‐age/height‐for‐age z‐score distribution is shifted to the left indicating that all children,
and not only those falling below a specific cutoff, are affected. Despite global consensus
on how to define and measure it, stunting often goes unrecognized in communities where
short stature is the norm as linear growth is not routinely assessed in primary health care
settings and it is difficult to visually recognize it. Growth faltering often begins in utero
and continues for at least the first 2 years of post‐natal life. Linear growth failure serves
as a marker of multiple pathological disorders associated with increased morbidity and
mortality, loss of physical growth potential, reduced neurodevelopmental and cognitive
function and an elevated risk of chronic disease in adulthood. The severe irreversible
physical and neurocognitive damage that accompanies stunted growth poses a major
threat to human development. Increased awareness of stunting's magnitude and
devastating consequences has resulted in its being identified as a major global health
priority and the focus of international attention at the highest levels with global targets set
for 2025 and beyond. The challenge is to prevent linear growth failure while keeping
child overweight and obesity at bay.

STRATEGI PENURUNAN ANGKA STUNTING

Pemerintah telah menyusun Lima strategi nasional untuk percepatan penurunan angka
stunting dan pencegahannya. Strategi itu disusun melalui proses penilaian dan diagnosis yang
komperhensif, hingga menetukan prioritas kegiatan yang dilakukan.

1. Strategi pertama dalam program ini adalah komitmen dan visi kepemimpinan. Langkah
ini untuk memastikan pencegahan stunting menjadi prioritas pemerintah dan masyarakat
di semua tingkatan. Komitmen dan visi Presiden dan Wakil Presiden terhadap Percepatan
Pencegahan Stunting diharapkan akan mengarahkan, mengoordinasikan, dan memperkuat
strategi, kebijakan, dan targe pencegahan stunting. Presiden Joko Widodo menyatakan
untuk mewujudkan SDM yang mampu bersaing di lingkungan regional dan global
diperlukan manusia-manusia yang sehat dan kuat. Untuk mewujudkan itu, Presiden
berkomitmen menurunkan angka stunting di Indonesia. “Namun, untuk mencetak SDM
yang pintar dan berbudi pekerti luhur harus didahului oleh SDM sehat dan kuat. Kita
turunkan angka stunting sehingga anak-anak kita bisa tumbuh menjadi generasi yang
premium”, ungkap Jokowi dalam pidatonya dalam Sidang Bersama DPR dan DPD, di
Jakarta, 16 Agustus lalu. Baca juga: IDAI Bertemu di Labuan Bajo Bahas Stunting

2. Strategi kedua dalam strategi percepatan penurunan angka stunting adalah kampanye
nasional dan komunikasi perubahan perilaku. Lewat strategi kedua ini, pemerintah
berharap akan timbul kesadaran public dan perubahan perilaku masyarakat untuk
mencegah stunting. Hal ini menjadi salah satu kunci keberhasilan penangulangan dan
pencegahan stunting di Indonesia. Kementerian Komunikasi dan Informatikan dan
Kementerian Kesehatan akan saling berkoordinasi untuk melaksanakan pliar kedua ini.

3. Strategi ketiga dalam program prioritas pemerintah ini adalah konvergensi program pusat,
daerah, dan desa. Pemerintah akan memperkuat koordinasi dan konsolidasi program dan
kegiatan pusat, daerah, dan desa. Konvergensi merupakan pendekatan penyampaian
intervensi yang dilakukan secara terkoordinir, terintegrasi, dan bersama-sama untuk
mencegah stunting kepada sasaran prioritas. Kunci keberhasilan strategi ketiga ini adalah
penyelarasan perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan pengendalian
kegiatan lintas sektor serta antartingkat pemerintahan dan masyarakat.

4. Strategi keempat, strategi percepatan dan pencegahan angka stunting adalah ketahanan
pangan dan gizi. Pemerintah akan meningkatkan akses masyarakat terhadap makanan
bergizi dan mendorong ketahanan pangan. Pemerintah akan mendorong penguatan
kebijakan pemenuhan kebutuhan gizi dan pangan masyarakat, mencakup pemenuhan
kebutuhan pangan dan gizi keluarga, pemberian bantuan pangan dan makanan tambahan,
investasi dan inovasi pengembangan produk, dan keamanan pangan sejalan dengan
amanat Undang-Undang No 36/2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang No.18/2012
tentang Pangan.

5. Strategi yang kelima adalah pemantauan dan evaluasi. Pemantauan dan evaluasi adalah
upaya untuk memastikan bahwa apa yang sedang dijalankan benar-benar berjalan sesuai
apa yang telah direncanakan. Pemerintah akan memastikan pemberian layanan yang
bermutu bagi masyarakat, dan peningkatan akuntabilitas pelaksanaan program. Sementara
itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika sebagai koordinator kampanye nasional,
pihaknya telah melakukan kampanye menggunakan berbagai media, TV, radio, media
cetak, online, medsos sampai pertunjukan rakyat dan forum. Program unggulan yang
sedang dijalankan adalah Genbest 2019. Kasubdit Informasi dan Komunikasi Kesehatan
Direktorat Informasi dan Komunikasi Pembangunan Manusia Kemenkominfo, Marroli J.
Indarto, menjelaskan Genbest 2019 adalah salah satu kampanye nasional yang melibatkan
generasi millennial untuk perduli terhadap penanggulangan Stunting di lingkungan
sekitar. Gaya hidup generasi millennial saat ini cenderung tidak sehat. Sebagai generasi
yang produktif, maka para remaja ini harus memiliki pengetahuan mengenai hidup sehat
agar dapat melahirkan generasi yang unggul. “Saat ini masih banyak remaja yang tidak
memperhatikan kebutuhan gizinya. Pola konsumsi gizi pada remaja saat ini rata-rata
kurang terarah. Banyak remaja putri yang menjalani diet tidak sehat karena terobsesi
memiliki tubuh langsing, sehingga mereka lupa mengonsumsi gizi yang seimbang”, kata
Kasubdit Informasi dan Komunikasi Kesehatan Direktorat Informasi dan Komunikasi
Pembangunan Manusia Kemenkominfo, Marroli J Indarto saat ditemui di Kementerian
Komunikasi dan Informatika, Jakarta (27/8). Marroli mengungkapkan pencegahan
stunting salah satunya dengan cara menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang
kompeten untuk menghadapi bonus demografi tahun 2030. Menurutnya, tahun itu
diperkirakan 68% penyangga ekonomi Indonesia adalah usia produktif yang lahir saat ini.
DAFTAR LITERATUR

https://news.detik.com/kolom/d-4858547/strategi-2020-melawan-stunting

https://mediaindonesia.com/read/detail/255633-pemerintah-siapkan-lima-strategi-untuk-
atasi-stunting

https://www.antaranews.com/berita/1142535/kpai-ajukan-inisiatif-melawan-stunting

http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/813

http://eprints.undip.ac.id/44216/

http://eprints.undip.ac.id/41856/

https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/mcn.12231

Anda mungkin juga menyukai