Anda di halaman 1dari 13

ANALISA PROGRAM PENANGANAN STUNTING TERHADAP KEJADIAN

STUNTING PADA ANAK USIA 100 HARI PERTAMA KEHIDUPAN DI


WILAYAH KERJA PUSKESMAS LAMPUNG TENGAH TAHUN 2019

Proposal Tesis

DisusunOleh :

TRI HARTATI
NPM. 18420025

PROGRAM MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS


MALAHAYATI BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Status gizi merupakan hal penting bagi perkembangan anak, dan

merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk kedalam

tubuh anak (Endah, 2015). Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat

konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Sulistyawati, 2012)Penilaian

status gizi adalah upaya menginterpretasikan semua informasi yang diperoleh

melalui penelitian antropometri, konsumsi makanan, biokimia, dan klinik

(Endah, 2015).

United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF)

pada tahun 2015 memperkirakan sekitar 870 juta orang dari 7,1 miliar

penduduk dunia atau 1 dari delapan orang penduduk dunia menderita gizi

buruk. Sebagian besar (sebanyak 852 juta) di antaranya tinggal di negara-

negara berkembang. Anak-anak merupakan penderita gizi buruk terbesar di

seluruh dunia, dilihat dari segi wilayah, lebih dari 70 persen kasus gizi buruk

pada anak didominasi oleh Negara Asia, sedangkan 26 persen di Afrika dan 4

persen di Amerika Latin serta Karibia. Setangah dari 10,9 juta kasus kematian

anak didominasi kasus gizi buruk (UNICEF, 2015).

Kejadian balita stunting (pendek) merupakan masalah gizi utama yang dihadapi

Indonesia. Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun terakhir,

pendek memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti gizi
kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi balita pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016

yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017 (Buletin Jendela, 2018).

Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan

yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi

badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari

WHO. Balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor

seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya

asupan gizi pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang akan mengalami kesulitan

dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal (Buletin Jendela, 2018).

Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health

Organization (WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan

prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional

(SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017

adalah 36,4% (Buletin Jendela, 2018).

Seratus tujuh puluh delapan juta anak didunia yang terlalu pendek

berdasarkan usia dibandingkan dengan pertumbuhan standar WHO.

Prevalensi anak stunting di seluruh dunia adalah 28,5% dan di seluruh negara

berkembang sebesar 31,2%. Prevalensianak stunting dibenua Asia sebesar

30,6% dan di Asia Tenggara sebesar 29,4%. Permasalahan stunting di

Indonesia menurut laporan yang dikeluarkan oleh UNICEF yaitu diperkirakan

sebanyak 7,8 juta anak mengalami stunting, sehingga UNICEF memposisikan

Indonesia masuk kedalam 5 besar negara dengan jumlah anak yang

mengalami stunting tinggi. Data Riset Kesehatan Dasarpada tahun 2013

diketahui bahwa prevalensi kejadian stunting secara nasional adalah 37,2 %,

dimana terdiri dari 18,0 % sangat pendek dan 19,2 % pendek, yang berarti
telah terjadi peningkatan sebanyak 1,6 % pada tahun 2010 (35,6 %) dan tahun

2007 (36,8 %) (Riskesdas, 2013).

Anak dengan status gizi stunting akan mengalami gangguan

pertumbuhan hingga masa remaja sehingga pertumbuhan anak lebih rendah

dibandingkan remaja normal. Remaja yang stunting berisiko mendapatkan

penyakit kronik salah satunya adalah obesitas. Remaja stunting berisiko

obesitas dua kali lebih tinggi dari pada remaja yang tinggi badannya normal

(Riskesdas 2010). Anak yang mengalami stunting pada dua tahun kehidupan

pertama dan mengalami kenaikan berat badan yang cepat, berisiko tinggi

terhadap penyakit kronis, seperti obesitas. Obesitas merupakan suatu kelainan

atau penyakit yang ditandai oleh penimbunan jaringan lemak dalam tubuh

secara berlebihan. Obesitas terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara

energi yang masuk dengan energi yang keluar (Oktarina, 2013).

Stunting merupakan indikator keberhasilan kesejahteraan, pendidikan

dan pendapatan masyarakat. Dampaknya sangat luas mulai dari dimensi

ekonomi, kecerdasan, kualitas, dan dimensi bangsa yang berefek pada masa

depan anak. Anak usia 3 tahun yang stunting severe (-3 < z ≤ 2) pada laki-laki

memiliki kemampuan membaca lebih rendah 15 poin dan perempuan 11 poin

dibanding yang stunting mild (z > -2). Hal ini mengakibatkan penurunan

intelegensia (IQ), sehingga prestasi belajar menjadi rendah dan tidak dapat

melanjutkan sekolah. Bila mencari pekerjaan, peluang gagal tes wawancara

pekerjaan menjadi besar dan tidak mendapat pekerjaan yang baik, yang

berakibat penghasilan rendah (economic productivity hypothesis) dan tidak


dapat mencukupi kebutuhan pangan. Karena itu anak yang menderita stunting

berdampak tidak hanya pada fisik yang lebih pendek saja, tetapi juga pada

kecerdasan, produktivitas dan prestasinya kelak setelah dewasa, sehingga

akan menjadi beban negara (Istiyanti, 2010; Rahmadi, 2016).

Sementara itu, anak merupakan aset bangsa di masa depan. Bisa

dibayangkan, bagaimana kondisi sumber daya manusia Indonesia di masa

mendatang jika saat ini banyak anak Indonesia yang menderita stunting.

Bangsa ini akan tidak mampu bersaing dengan bangsa lain dalam menghadapi

tantangan global. Maka, untuk mencegah hal tersebut permasalahan stunting

mesti segera diatasi secara serius. Pengalaman dan bukti Internasional

menunjukkan bahwa stunting dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan

menurunkan produktivitas pasar kerja, sehingga mengakibatkan hilangnya

11% GDP (Gross Domestic Products) serta mengurangi pendapatan pekerja

dewasa hingga 20%. Selain itu, stunting juga dapat berkontribusi pada

melebarnya kesenjangan/ inequality, sehingga mengurangi 10% dari total

pendapatan seumur hidup dan juga menyebabkan kemiskinan antar-generasi

(10 Kabupaten/Koota Prioritas untuk Itervensi Anak Kerdil (Stunting), 2017).

Generasi yang tumbuh optimal alias tidak stunting memiliki tingkat

kecerdasan yang lebih baik, akan memberikan daya saing yang baik dibidang

pembangunan dan ekonomi. Disamping itu, pertumbuhan optimal dapat

mengurangi beban terhadap risiko penyakit degeneratif sebagai dampak sisa

yang terbawa dari dalam kandungan. Penyakit degeneratif seperti diabetes,

hipertensi, jantung, ginjal, merupakan penyakit yang membutuhkan biaya


pengobatan yang tinggi. Dengan demikian, bila pertumbuhan stunting dapat

dicegah, maka diharapkan pertumbuhan ekonomi bisa lebih baik, tanpa

dibebani oleh biaya-biaya pengobatan terhadap penyakit degeneratif

(Aryastami, 2017).

Jika dilihat pada situasi di indonesia, dalam keterangan Buletin

Jendela Stunting yang diterbitkan oleh Kementrian Indonesia tahun 2018,

terdapat 3 situasi yang dapat menyebabkan stunting yaitu : situasi ibu dan

calon ibu, situasi bayi dan balita, serta situasi sosial ekonomi dan lingkungan

(Buletin Jendela, 2018).

Ditinjau dari situasi ibu dan calon ibu, Kondisi kesehatan dan gizi ibu

sebelum dan saat kehamilan serta setelah persalinan mempengaruhi

pertumbuhan janin dan risiko terjadinya stunting. Faktor lainnya pada ibu

yang mempengaruhi adalah postur tubuh ibu (pendek), jarak kehamilan yang

terlalu dekat, ibu yang masih remaja, serta asupan nutrisi yang kurang pada

saat kehamilan. Situasi bayi dan balita Nutrisi yang diperoleh sejak bayi lahir

tentunya sangat berpengaruh terhadap pertumbuhannya termasuk risiko

terjadinya stunting. Tidak terlaksananya inisiasi menyusu dini (IMD),

gagalnya pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, dan proses penyapihan dini

dapat menjadi salah satu faktor terjadinya stunting. Sedangkan dari sisi

pemberian makanan pendamping ASI (MP ASI) hal yang perlu diperhatikan

adalah kuantitas, kualitas, dan keamanan pangan yang diberikan. Situasi

sosial dan ekonomi Kondisi sosial ekonomi dan sanitasi tempat tinggal juga

berkaitan dengan terjadinya stunting. Kondisi ekonomi erat kaitannya dengan


kemampuan dalam memenuhi asupan yang bergizi dan pelayanan kesehatan

untuk ibu hamil dan balita. Sedangkan sanitasi dan keamanan pangan dapat

meningkatkan risiko terjadinya penyakit infeksi (Buletin Jendela, 2018).

Periode 1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK) merupakan simpul

kritis sebagai awal terjadinya pertumbuhan Stunting, yang sebaliknya

berdampak jangka panjang hingga berulang dalam siklus kehidupan. Kurang

gizi sebagai penyebab langsung, khususnya pada balita berdampak jangka

pendek meningkatnya morbiditas. Bila masalah ini bersifat kronis, maka akan

mempengaruhi fungsi kognitif yakni tingkat kecerdasan yang rendah dan

berdampak pada kualitas sumberdaya manusia. Pada kondisi berulang (dalam

siklus kehidupan) maka anak yang mengalami kurang gizi diawal kehidupan

(periode 1000 HPK) memiliki risiko penyakit tidak menular pada usia dewasa

(Buletin Jendela, 2018).

Gerakan perbaikan gizi pada 1000 hari pertama kehidupan atau

Gerakan 1000 HPK merupakan upaya Pemerintah dalam perbaikan gizi anak.

Periode ini disebut golden periode atau waktu yang kritis dimana jika tidak

dimanfaatkan dengan baik dapat menyebabkan kerusakan yang bersifat

permanen (Menkokesra RI, 2013).

Masa 1000 hari pertama kehidupan (HPK), yang bermula sejak saat

konsepsi hingga anak berusia 2 tahun, merupakan masa paling kritis untuk

memperbaiki perkembangan fisik dan kognitif anak. Status gizi ibu hamil dan ibu

menyusui, status kesehatan dan asupan gizi yang baik merupakan faktor penting

untuk pertumbuhan dan perkembangan fisik dan kognitif anak, menurunkan

risiko kesakitan pada bayi dan ibu. Ibu hamil dengan status gizi kurang akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan janin, penyebab utama terjadinya bayi

pendek (stunting) dan meningkatkan risiko obesitas dan penyakit degeneratif

pada masa dewasa. (World Bank, 2012) Status gizi pada 1000 HPK akan

berpengaruh terhadap kualitas kesehatan, intelektual, dan produktivitas pada

masa yang akan datang (USAI, 2014).

Ibu dan bayi memerlukan gizi yang cukup dan berkualitas untuk

menjamin status gizi dan status kesehatan; kemampuan motorik, sosial, dan

kognitif; kemampuan belajar dan produktivitasnya pada masa yang akan datang.

Anak yang mengalami kekurangan gizi pada masa 1000 HPK akan mengalami

masalah neurologis, penurunan kemampuan belajar, peningkatan risiko drop out

dari sekolah, penurunan produktivitas dan kemampuan bekerja, penurunan

pendapatan, penurunan kemampuan menyediakan makananan yang bergizi dan

penurunan kemampuan mengasuh anak. Selanjutnya akan menghasilkan

penularan kurang gizi dan kemiskinan pada generasi selanjutnya .(World Bank,

2015, USAID 2014).

Mempertimbangkan pentingnya gizi bagi 1000 HPK, maka intervensi

gizi pada 1000 HPK merupakan prioritas utama untuk meningkatkan kualitas

kehidupan generasi yang akan datang (Bappenas RI, 2012). Intervensi pada 1000

HPK difokuskan pada 2 jenis intervensi, yaitu intervensi gizi spesifik dan

intervensi gizi sensitif. Intervensi gizi spesifik merupakan rangkaian berbagai

kegiatan yang cukup cost effective khususnya untuk mengatasi masalah gizi

pendek, sedangkan intervensi gizi sensitif merupakan berbagai kegiatan program

pembangunan yang memberi pengaruh pada status gizi masyarakat terutama

kelompok 1000 HPK, seperti penanggulangan kemiskinan, pendidikan, gender,


air bersih, sanitasi, serta kesehatan lingkungan (Bappenas RI 2012, Ulfani,

2011). Mengingat masalah gizi 1000 HPK merupakan masalah yang

multifaktorial, maka program pengentasan masalah 1000 HPK harus bersifat

sensitif dan spesifik dan harus diselesaikan secara integratif melalui koordinasi

yang baik antar berbagai sektor terkait, serta didasarkan pada akar masalah yang

ada (Ulfani, 2011). Untuk itu, agar dapat merencanakan intervensi gizi fokus

pada 1000 HPK, diperlukan identifikasi masalah untuk menggambarkan masalah

gizi yang dihadapi oleh kelompok sasaran 1000 HPK di wilayah yang

kemungkinan dapat mempengaruhi.

Dari uraian diatas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan

judul “analisa program penanganan stunting terhadap kejadian stunting pada

anak usia 100 hari pertama kehidupan di Wilayah Kerja Puskesmas Lampung

Tengah Tahun 2019”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis membuat

rumusan masalah sebagai berikut “analisa program penanganan stunting

terhadap kejadian stunting pada anak usia 100 hari pertama kehidupan di

Wilayah Kerja Puskesmas Lampung Tengah Tahun 2019?”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk menganalisa program penanganan stunting terhadap

kejadian stunting pada anak usia 100 hari pertama kehidupan di

Wilayah Kerja Puskesmas Lampung Tengah Tahun 2019.


1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui kejadian stunting di Wilayah Kerja Puskesmas

Lampung Tengah Tahun 2019.

2. Untuk mengathui karakteristik anak yang mengalami stunting di

Wilayah Kerja Puskesmas Lampung Tengah Tahun 2019.

3. Untuk mengetahui kejadian stunting pada anak usia 12-59 bulan

ditinjau dari pemberian ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas

Lampung Tengah Tahun 2019.

4. Untuk menganalisa program penanganan stunting ditinjau dari

penyediaan makanan tambahan dan TTD bagi ibu hamil dengan

KEK di Wilayah Kerja Puskesmas Lampung Tengah Tahun 2019.

5. Untuk menganalisa program penanganan stunting ditinjau dari

pelaksanaan ASI eksklusif pada bayi 0-6 bulan tahun di Wilayah

Kerja Puskesmas Lampung Tengah Tahun 2019.

6. Untuk menganalisa program penanganan stunting ditinjau dari

penyediaan makanan tambahan pada bayi 6-2 tahun di Wilayah

Kerja Puskesmas Lampung Tengah Tahun 2019.

7. Untuk menganalisa program penanganan stunting ditinjau dari

penyediaan obat cacing bagi anak usia 2 tahun di Wilayah Kerja

Puskesmas Lampung Tengah Tahun 2019.

8. Untuk menganalisa program penanganan stunting ditinjau dari

penyediaan sanitasi dan lingkungan bersih di Wilayah Kerja

Puskesmas Lampung Tengah Tahun 2019.


9. Untuk menganalisa program penanganan stunting ditinjau dari

pemberian penyuluhan tentang stunting di Wilayah Kerja

Puskesmas Lampung Tengah Tahun 2019.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Bagi Peneliti

Dapat digunakan untuk pedoman bagi ibu agar dapat

meningkatakan pengetahuan dibidang status gizi anak, yang tujuannya

untuk dapat meningkatkan kualitas gizi dan hidup anak.

1.4.2 Manfaat Bagi Wilayah Kerja Puskesmas Lampung Tengah

Bagi Wilayah Kerja Puskesmas Lampung Tengah, hasil penelitian

ini diharapkan dapat meningkatkan keaktifan bagi petugas kesehatan

untuk melakukan penyuluhan tentang status gizi anak, dan apabila

menemukan anak dengan status gizi buruk, petugas kesehatan dapat

langsung melakukan rujukan untuk mendapat pelayanan selanjutnya.

1.4.3 Manfaat Bagi Universitas Malahayati

Dapat digunakan sebagai tambahan keperpustakan serta untuk

meningkatkan pengetahuan pembaca tentang status gizi status gizi

balita. Dapat menambah informasi faktor kejadian stunting dan dapat

dijadikan pedoman dalam menentukan dan mengambil suatu kebijakan.

1.4.4 Bagi Perkembangan dan IPTEK

Diharapkan dapat dijadikan penelitian selanjutnya, tentang

bagaimana cara mengatasi masalah status gizi dimasyarakat terutama

anak-anak, dan lebih meningkatkan pengetahuan ibu tentang status gizi,


cara meningkatkan kualitas gizi anak, dan dampak dari status gizi buruk

bagi anak dan generasi yang lain.

1.5 Keaslian Penelitian:

1. Nesra (2017) dengan judul “Implementasi Gerakan 1000 Hari Pertama

Kehidupan Di Kabupaten Pasaman 2017” Penelitian ini merupakan studi

kebijakan dengan pendekatan kualitatif, pengumpulan data melalui

indepth interview, telaah dokumen dan observasi, jumlah informan 19

orang, yang membedakan dalam penelitian ini adalah sasaran program

yang akan diberikan serta, penelitian bersifat deskriptif kualitataif dan

kuantitatif.

2. Thontowi (2018). GIZI DAN 1000 HPK. Gerakan ini bertujuan

mempercepat perbaikan gizi untuk memperbaiki kehidupan anak-anak

Indonesia di masa mendatang. Tumbuh kembang anak perlu diperhatikan

setelah dua tahun, kerena tumbuh kejar (catch up) masih akan

berkembang lagi sampai usia pubertas. Tiga fase dalam tumbuh

kembang, fase perlambatan tajam komponen bayi mempresentasikan

pada pertumbuhan fetal, fase perlambatan perlahan komponen anak yang

dimulai dari paruh kedua masa bayi dan berlanjut sampai maturitas, dan

fase pubertas dimana pertumbuhan anak akan berlanjut. Pada tiap fase

tersebut regulator hormon berbeda, sehingga intervensi gizi yang

diberikan tentunya harus speseifik. Dapat disimpulkan perbaikan dalam

tumbuh kembang anak setelah masa gagal tumbuh awal masih bisa

diintervensi untuk mencegah gagal tumbuh, sehingga perlu penambahan


program 1000 HPK plus untuk mencapai keberhasilan dari program yang

telah dicanangkan.

Anda mungkin juga menyukai