Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Stunting dikatakan sebagai penanda risiko dari perkembangan anak, dan

merupakan salah satu hambatan yang paling penting terhadap pembangunan

manusia. Stunting adalah keadaan tubuh yang sangat pendek, hingga melampaui

defisit dua Standar Deviasi (SD) di bawah median panjang atau tinggi badan

populasi yang menjadi referensi internasional, dan merupakan indikator

keberhasilan kesejahteraan, pendidikan dan pendapatan masyarakat. Dampaknya

sangat luas, mulai dari dimensi ekonomi,kecerdasan,kualitas, dan dimensi bangsa

yang berefek pada masa depan anak (WHO, 2014).

Diseluruh dunia, terdapat 171 juta anak balita (23,8%) atau satu dari empat

anak balita di bawah usia lima tahun mengalami pertumbuhan tehambat (Stunted

Growth). Setengah dari semua anak balita yang mengalami pertumbuhan terhambat

tinggal di Asia dan lebih dari sepertiganya di Afrika. Hampir 98% dari mereka

tinggal dinegara-negara berkembang (UNICEF, 2015). Indonesia masuk lima besar

Negara didunia dengan prevalensi stunting yang tinggi, dan prevalensi stunting di

Indonesia merupakan yang tertinggi daripada Negara-negara lain di Asia Tenggara

(MCA Indonesia,2015).

Berdasarkan data Riskesdas tahun 2018, menjelaskan bahwa di Indonesia,

prevalensi jumlah balita pendek dan sangat pendek yaitu (30,8 %)jika di bandingkan

dengan tahun 2013 (37,25%)tahun 2010 (35,6%) tidak menunjukkan penurunan

yang signifikan .Artinya, masih ada sekitar delapan juta anak di Indonesia atau satu

dari tiga anak di Indonesia mengalami pertumbuhan yang tidak maksimal.

1
2

Berdasarkan profil kesehatan DIY pada tahun 2017 menyatakan bahwa

Prevalensi balita stunting tertinggi adalah Kabupaten Sleman dengan angka kejadian

20,60% ,prevalensi kedua adalah Kabupaten Kulon progo 16,38% dan terendah

Kabupaten Bantul 10,41%( Dinas kesehatan Provinsi DIY,2017). Berdasarkan data

Prevalensi di Kabupaten Sleman status gizi balita pendek dan sangat pendek pada

tahun 2017 mengalami kenaikan 0,18% jika dibanding tahun 2016 yaitu dari

11,81% menjadi 11,99%. Tiga Puskesmas tertinggi yang ada di Kabupaten Sleman

yaitu Puskesmas Godean I dengan angka kejadian stunting sebanyak 21,76 % .

Puskesmas Kalasan 20,71 % dan Puskesmas Minggir dengan angka kejadian

stunting sebanyak 19,13% (Profil Kesehatan Kabupaten Sleman, 2018).

Proses terjadinya stunting dilalui dengan proses yang panjang ,diawali

dengan gagal tumbuh baik yang terjadi selama kehamilan maupun setelah lahir dua

sampai tiga tahun pertama kehidupan. Gagal tumbuh tersebut berakibat terjadinya

penurunan proporsi pada pertumbuhan tulang maupun jaringan lunak dalam tubuh

(Lamid,2015). Waktu yang paling kritis dalam perkembangan anak adalah 1.000

hari pertama yang dimulai sejak konsepsi untuk persiapan kelahiran mereka. Hari-

hari pertama adalah jendela kesempatan untuk memastikan bahwa anak-anak

bertahan hidup, berkembang dan memenuhi potensi mereka. Masa janin sampai usia

dua tahun saat ini juga disebut sebagai periode kritis atau periode sensitif. Pada

masa ini terjadi pertumbuhan yang cepat dibandingkan dengan periode lainnya.

Namun demikian, justru pada periode tersebut terjadi gangguan pertumbuhan yang

cukup serius pada anak ( UNICEF, 2013).

Dampak stunting pada saat dewasa seringkali mengalami keterbatasan fisik,

mudah terserang penyakit menular dan tidak menular serta rendahnya kemampuan
3

kognitif yang menyebabkan hilangnya kesempatan kerja. Semua hal tersebut

bersama-sama meminimalkan potensi penghasilan seumur hidupnya ( MCA

Indonesia, 2015). Penurunan produktivitas dan kualitas pada usia produktif akan

menurunkan jumlah angkatan kerja produktif (15-64 tahun) (Lamid, 2015).

Masyarakat banyak yang beranggapan bahwa penyebab utama memiliki anak

pendek adalah dari faktor genetik atau keturunan. Walaupun stunting dipengaruhi

oleh faktor keturunan, namun presentasinya hanya sedikit yaitu 5%, selebihnya

karena faktor asupan gizi, pola asuh dan kondisi sanitasi lingkungannya. Saat masa

kehamilan asupan gizinya harus terjamin, bayi harus di beri ASI ekslusif sampai

anak usia dua tahun, pola asuh anaknya pun harus baik dan kebersihan sanitasi

lingkungannya harus terjaga, sehingga stunting pada anak dapat dikurangi

(Jukardi,2015).

Faktor penyebab stunting menurut WHO (2013) secara komprehensif

diuraikan menjadi faktor langsung dan tidak langsung . Faktor langsung berkaitan

dengan penyakit infeksi, praktik menyusui, ketersediaan makanan dan lingkungan

rumah tangga dan keluarga. Faktor tidak langsung berkaitan dengan faktor

komunitas dan social yaitu pelayanan kesehatan, pendidikan, social dan

kebudayaan, pertanian, sanitasi dan lingkungan.

Stunting merupakan gangguan pertumbuhan tinggi badan atau panjang

badan seorang anak dimana pertumbuhan tinggi badan tersebut tidak sesuai seiring

dengan bertambahnya usia. Stunting pada anak merupakan hasil jangka panjang

konsumsi yang bersifat kronis diet berkualitas rendah yang dikombinasikan dengan

morbiditas, penyakit infeksi, dan masalah lingkungan. Selain disebabkan oleh gizi

buruk, faktor risiko lain penyebab stunting menurut WHO ialah kejadian BBLR
4

(Berat Badan Lahir Rendah), riwayat pemberian ASI eksklusif dan praktik higiene.

Stunting ini merupakan keadaan tidak normal tubuh yang disebabkan oleh lebih dari

satu factor (multifaktor), yang berarti dibutuhkan satu faktor utama dan faktor-

faktor penyebab lainnya untuk sampai terjadi stunting ( WHO 2013 ).

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah sekumpulan perilaku yang

dipraktekkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang menjadikan

seseorang keluarga, kelompok atau masyarakat mampu menolong dirinya sendiri

(mandiri) di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan

masyarakat. Dibidang pencegahan dan penananggulangan penyakit serta

penyehatan lingkungan harus dipraktekkan perilaku mencuci tangan dengan

sabun, pengelolaan air minum dan makanan yang memenuhi syarat, menggunakan

air bersih, menggunakan jamban sehat, pengelolaan limbah cair yang memenuhi

syarat, memberantas jentik nyamuk, tidak merokok di dalam ruangan dan lain-lain.

Di bidang kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana harus dipraktekkan

perilaku meminta pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, menimbang balita

setiap bulan, mengimunisasi lengkap bayi, menjadi akseptor keluarga berencana dan

lain-lain. Di bidang gizi dan farmasi harus dipraktekkan perilaku makan dengan gizi

seimbang, minum Tablet Tambah Darah selama hamil, memberi bayi air susu ibu

(ASI) eksklusif, mengkonsumsi Garam Beryodium dan lain-lain. Sedangkan di

bidang pemeliharaan kesehatan harus dipraktekkan perilaku ikut serta dalam

jaminan pemeliharaan kesehatan, aktif mengurus dan atau memanfaatkan upaya

kesehatan bersumberdaya masyarakat (UKBM), memanfaatkan Puskesmas dan

fasilitas pelayanan kesehatan lain dan lain-lain (Kemenkes RI, 2011).


5

Perilaku kesehatan dapat diwujudkan dengan PHBS. Penerapan perilaku

hidup bersih dan sehat harus dimulai dari unit terkecil masyarakat yaitu PHBS di

rumah tangga sebagai upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar

tahu, mau dan mampu mempraktikan perilaku hidup bersih dan sehat serta berperan

aktif dalam gerakan kesehatan dimasyarakat. Penerapan perilaku hidup bersih dan

sehat pada balita dipengaruhi oleh perilaku hidup bersih dan sehat pada ibu, karena

belum mampu melakukan segala sesuatu dengan sendiri dan balita cenderung dekat

dengan ibu daripada anggota keluarga lainnya ( Departemen Kesehatan RI,

2009)sehingga diharapkan dengan adanya PHBS yang baik anak kurang terinfeksi

dari penyakit yang bisa mengakibatkan menghambat pertumbuhannya.

Balita yang mengonsumsi makanan sebagai hasil dari praktik higiene yang

buruk dapat meningkatkan risiko anak tersebut terkena penyakit infeksi. Penyakit

infeksi ini biasa ditandai dengan gangguan nafsu makan dan muntah-muntah

sehingga asupan balita tersebut tidak memenuhi kebutuhannya. Kondisi seperti ini

yang nantinya akan berimplikasi buruk terhadap pertumbuhan anak. Praktik higiene

dan sanitasi lingkungan sangat berkaitan dengan penyakit diare terutama di negara-

negara berkembang, sehingga menimbulkan malnutrisi dan dampak seperti gizi

kurang, stunting, hingga kejadian gizi buruk. Penelitian terkait praktik hygiene

dengan kejadian stunting sudah dilakukan oleh Rah dan tim di negara India tahun

2015. Selain gizi buruk, kondisi air dan sanitasi yang buruk turut menyebabkan

tingginya angka stunting terhadap anak di Indonesia. Padahal, air dan sanitasi bersih

menjadi tujuan dari Sustainable Development Goals (SDGs) yang harus terpenuhi di

tahun 2030.
6

Upaya untuk mempercepat penurunan prevalensi stunting,pemerintah

menerbitkan Peraturan Presiden No.42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional

Percepatan Perbaikan Gizi dengan fokus pada 1.000 hari pertama kehidupan.

Gerakan Nasional tersebut merupakan upaya bersama antara pemerintah dan

masyarakat untuk bersama-sama menurunkan prevalensi stunting dengan memenuhi

kebutuhan dasar ibu hamil dan anak usia 0-2 tahun.

Peran bidan dalam menanggulangi permasalahan tersebut terdapat pada

peraturan menteri kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/x/2010 tentang izin

penyelenggaraan Praktik Bidan pasal 11 ayat 1 yaitu pelayanan kesehatan anak yang

diberikan pada bayi baru lahir, bayi, balita dan anak prasekolah. Bidan dalam

memberikan pelayanan kesehatan anak berwenang untuk pemantauan tumbuh

kembang bayi, anak balita dan anak prasekolah (Permenkes RI, 2010).

Berdasarkan Riskesdas 2010, sebagian besar rumah tangga di Indonesia masih

menggunakan air yang tidak bersih (45 %) dan sarana pembuangan kotoran yang

tidak aman (49 %). Minimal satu dari setiap empat rumah tangga dalam dua kuintil

termiskin masih melakukan buang air besar di tempat terbuka. Perilaku tersebut

berhubungan dengan penyakit diare, yang selanjutnya berkontribusi terhadap gizi

kurang. Pada tahun 2007, diare merupakan penyebab dari 31 % kematian pada

anak-anak di Indonesia antara usia 1 sampai 11 bulan, dan 25 % kematian pada

anak-anak antara usia satu sampai empat tahun.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan di wilayah Puskesmas Godean 1 , balita

yang mengalami stunting usia 24-59 bulan pada tahun 2018 dari bulan Januari

hingga November yaitu sebanyak 188 balita yang mengalami stunting. Terdapat

empat Desa yaitu dengan jumlah balita tertinggi stunting 59 balita di Desa
7

Sidoluhur, kemudian di Desa Sidoagung 57 balita , Desa Sidomoyo 47 balita,

terendah di Desa Sidomulyo 25 balita.

Berdasarkan masalah yang telah di uraikan di latar belakang masalah, maka

penulis tertarik untuk melakukan penelitian terkait masalah stunting dengan judul “

Hubungan Perilaku Hygiene sanitasi dengan kejadian stunting pada balita usia 24-

59 bulan di Desa Sidoluhur wilayah kerja Puskesmas Godean 1 tahun 2018”

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dapat di ambil dari latar belakang masalah yaitu “ Adakah

hubungan perilaku hygine sanitasi dengan kejadian stunting pada balita usia 24-59

bulan di Desa Sidoluhur wilayah kerja Puskesmas Godean I Kabupaten Sleman

2018”.

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan perilaku hygine sanitasi dengan kejadian stunting

pada balita usia 24-59 bulan di Desa Sidoluhur wilayah kerja Puskesmas Godean

I Kabupaten Sleman 2018”.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Desa Sidoluhur

wilayah kerja Puskesmas Godean I kabupaten Sleman ”.

b. Mengetahui perilaku hygine sanitasi dengan kejadian stunting pada balita usia

24-59 bulan di Desa Sidoluhur wilayah kerja Puskesmas Godean 1 Kabupaten

Sleman ”.
8

c. Mengetahui keeratan hubungan perilaku hygiene dengan kejadian stunting

pada balita usia 24-59 bulan di Desa Sidoluhur wilayah kerja Puskesmas

Godean I Kabupaten Sleman.

d. Mengetahui sosial ekonomi orang tua

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi

semua terutama tenaga kesehatan dan mahasiswa sehingga dapat meningkatkan

pelayanan khususnya penanganan kasus stunting pada balita

2. Manfaat Praktis

a. Bagi bidan di Puskesmas

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kinerja bidan sebagai pelaksana

dalam melaksanakan asuhan kebidanan pada ibu dan anak,membantu

peningkatan kesehatan ibu dan anak baik melalui upaya preventif

(pencegahan) dan kuratif (pengobatan)dengan memberikan konseling,

informasi dan edukasi (KIE) di tiap asuhan kebidanan yang diberikan sesuai

dengan standar.

b. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman

Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai faktor risiko yang

berhubungan dengan kejadian stunting di daerah wilayah Kabupaten Sleman

terutama di daerah Godean dan sebagai masukan bagi instansi yang terkait

dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan dan sebagai pertimbangan

dalam pengelolaan di wilayah Kabupaten Sleman. Hasil penelitian ini dapat di

manfaatkan sebagai pelengkap informasi yang ada dan lebih mempertajam


9

arah Gerakan Sadar Gizi dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000

HPK) dan Perilaku Hygiene Sanitasi.

c. Bagi institusi pendidikan kesehatan

Dapat dijadikan dasar dalam merencanakan dan mengembangkan ilmu

pengetahuan dan penelitian di bidang kebidanan dan profesi yang bersikap

ilmiah.

E. Ruang lingkup

1. Lingkup Materi

Lingkup materi penelitian ini adalah dampak,faktor penyebab,serta perilaku

hygiene sanitasi terhadap kejadian stunting pada anak balita usia 24-59 bulan.

2. Ruang Lingkup Responden

Responden penelitian ini adalah semua balita usia 24-59 bulan karena merupakan

masa yang penting setelah 1000 hari pertama kehidupan

3. Ruang Lingkup Waktu

Waktu penelitian ini akan dilakukan mulai dari pengajuan judul hingga sampai

laporan hasil penelitian

4. Ruang Lingkup Tempat

Penelitian ini akan dilakukan di Desa Sidoluhur wilayah kerja Puskesmas

Godean 1 di Kabupaten Sleman , karena memiliki prevalensi kasus stunting

tertinggi sebanyak 59 balita.

F. Keaslian penelitian

Herni Oktaviana (2016) meneliti tentang hubungan pengetahuan gizi dan perilaku

hygiene sanitasi terhadap kejadian stunted pada balita usia 7-24 bulan di Desa

Hargorejo Kulon Progo, penelitian observasinal dengan rancangan cross-sectional


10

dengan jumlah responden 47 orang yang diperoleh dengan teknik systematic

random sampling. Data pengetahuan gizi dan perilaku hygiene sanitasi didapatkan

melalui teknik wawancara menggunakan kuesioner. Analisa data menggunkan uji

statistic Pearson. Sebagian besar pengetahuan gizi ibu adalah baik (61,7%) dan

sebagian besar perilaku hygiene sanitasi ibu juga baik (80,9%). Jumlah balita yang

stunted sebesar 46,8%. Ibu yang berpengetahuan gizi kurang memiliki balita stunted

lebih rendah (44,4%)di banding ibu yang berpengetahuan gizi baik (48,3%). Ibu

yang berprilaku hygiene sanitasi sedang memiliki balita stunted lebih rendah

(44,4%) dibanding ibu yang berperilaku hygiene sanitasi baik (47,4%). Berdasarkan

uji korelasi Pearson diketahui bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan gizi

ibu dengan kejadian stunted (p=0,017). Tidak adda hubungan antara pengetahuan

gizi ibu dengan kejadian stunted (p=0,017). Tidak ada hubungan antara pengetahuan

gizi ibu dengan kejadian stunted dan ada hubungan antara perilaku hygiene sanitasi

ibu dengan kejadian stunted. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini

adalah variabel yang digunakan serta pendekatannya. Sedangkan perbedaannya

terletak pada jenis penelitiannya dan tekhnik pengambilan sampelnya, usia balita,

waktu dan tempat penelitian.

Chamilia Desyanti dan Triska Susila Nindya (2017) yang meneliti tentang

Hubungan Riwayat Penyakit Diare dan Praktik Higiene dengan Kejadian Stunting

pada Balita Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Simolawang, Surabaya,

Penelitian menggunakan desain kasus kontrol. Sampel kasus adalah balita stunting

dan sampel kontrol adalah balita tidak stunting di wilayah kerja Puskesmas

Simolawang dengan jumlah masing-masing 33. Hubungan dan besar risiko antara

variabel diuji menggunakan Chi Square dan Odd Ratio. Sebagian besar anak pada
11

kelompok stunting sering mengalami diare (72,7%) sedangkan pada kelompok tidak

stunting jarang mengalami diare (57,6%). Sebagian besar pengasuh pada kelompok

stunting memiliki praktik higiene yang buruk (75,8%), sedangkan pada kelompok

tidak stunting memiliki praktik higiene yang baik (60,6%). Riwayat penyakit diare

(p=0,025, OR=3,619) dan praktik higiene (p=0,006, OR=4,808) memiliki hubungan

yang signifikan dengan kejadian stunting.Riwayat diare yang terjadi secara sering

dalam 3 bulan terakhir dan praktik higiene yang buruk meningkatkan risiko sebesar

3,619 dan 4,808 kali terhadap kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan.

Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah pada variabel yang

digunakan, usia balita. Sedangkan perbedaannya terletak pada jenis penelitian,

pendekatan, waktu dan tempat.

Rahmayana dkk (2014) yang meneliti tentang Hubungan Pola Asuh Ibu Dengan

Kejadian Stunting Anak Usia 24-59 Bulan Di Posyandu Asoka II Wilayah Pesisir

Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Kota Makassar Tahun 2014 Penelitian

ini merupakan jenis penelitian kuantitatif melalui pendekatan analitik observasional

dengan desain cross-sectional. Jumlah sampel sebanyak 62 orang dengan teknik

pengambilan sampel menggunakan total sampling. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa sebagian besar sampel (54,8%) memiliki masalah stunting dan selebihnya

(45,2%) memiliki status gizi normal. Untuk pola asuh ibu, terdapat sekitar 72,6%

sampel dengan praktik pemberian makan yang baik, terdapat sekitar 71,0% sampel

dengan rangsangan psikososial yang baik, sekitar 67,7% sampel dengan praktik

kebersihan/higyene yang baik, sekitar 53,2% sampel dengan sanitasi lingkungan

yang baik dan terdapat sekitar 66,1% sampel dengan pemanfaatan pelayanan yang

baik. Berdasarkan hasil uji chi-square, menunjukkan adanya hubungan yang


12

signifikan antara praktik pemberian makan (P=0,007), rangsangan psikososial

(P=0,000), praktik kebersihan/higyene (P=0,000), sanitasi lingkungan (P=0,000)

dan pemanfaatan pelayanan kesehatan (P=0,016) dengan kejadian stunting anak usia

24-59 bulan di posyandu Asoka II wilayah pesisir kelurahan barombong. Persamaan

pada penelitian ini adalah usia balita. Perbedaan pada penelitian ini adalah jenis

penelitian ,waktu dan tempat.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Stunting

1. Pengertian Stunting

Stunted merupakan salah satu bentuk kurang gizi yang berupa

keterlambatan pertumbuhan linear. Masalah stunted terkait dengan masalah gizi

dan kesehatan ibu hamil dan menyusui, bayi yang baru lahir dan anak di bawah

dua tahun (baduta). Masa-masa ini lebih dikenal dengan sebutan 100 hari

pertama kehidupan manusia. Periode ini merupakan proses pertumbuhan dan

perkembangan system dan organ tubuh manusia. Periode ini merupakan proses

pertumbuhan dan perkembangan system organ tubuh manusia. Periode ini sangat

sensitif karena dampak bersifat permanen dan tidak dapat di koekasi ( Direktorat

Jendral Bina Gizi,2013). Stunting dapat terjadi mulai janin masih dalam

kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun (Millennium Challenga

Account Indonesia, 2014).

Stunting merupakan salah satu bentuk malnutrisi yang mereflesikan

kekurangan gizi yang terjadi secara kumulatif yang berlangsung lama atau

dikenal dengan istilah kekurangan gizi kronis mengalami keterlambatan dalam

pertumbuhan linier sehingga tidak tercapai pertumbuhan sesuai umur dan jenis

kelamin. Kependekan bukan mencerminkan secara fisik saja, tetapi juga terjadi

proses perubahan fisiologis. Hanya ada salah satu cara menetukan anak pendek

yaitu dengan mengukur ukuran tubuh atau yang disebut dengan pengukuran

antropometri (Lamid,2015).

13
14

Stunting atau pendek pada anak merupakan salah satu bentuk malnutrisi

akibat keterbatasan keadaan sosial ekonomi secara keseluruhan dimasa lampau.

Stunting didefnisikan sebagai indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) kurang

dari minus dua standar deviasi (<-2 SD) atau tinggi badan balita itu lebih pendek

dari yang seharusnya bisa dicapai pada umur tertentu (Kemenkes 2010).

Ketentuan umum penggunaan standar antropemetri (Kemenkes RI, 2011) yaitu :

a. Ukuran panjang badan (PB) digunakan untuk anak usia 0 sampai 24 bulan

yang di ukur secara terlentang, bila anak umur 0-24 bulan di ukur berdiri,

maka hasil pengukurannya dikoreksi dengan menambahkan 0,7 cm.

Pengukuran panjang badan menggunakan alat pengukur panjang badan yang

terbuat dari papan kayu yang dikenal dengan nama lengthboard.

b. Ukuran tinggi badan (TB) digunakan untuk umur di atas 24 bulan yang diukur

berdiri, bila anak umur di atas 24 bulan di ukur terlentang, maka hasil

pengukurannya dikoreksi dengan mengurangi 0,7 cm. Pengukuran tinggi

badan menggunakan untuk mengukur tinggi badan anak yang telah dapat

berdiri tanpa bantuan. Pengukuran tinggi badan dilakukan dengan alat

pengukur tinggi (microtoise) yang mempunyai ketelitian 0,1 cm.

Klasifikasi status gizi balita berdasarkan 3 indikator BB/U (berat badan

menurut umur), TB/U (tinggi badan menurut umur), dan BB/TB (berat badan

menurut tinggi badan) dapat dilihat pada tabel. Seorang balita dikatakan stunting

apabila hasil pengukuran nilai Z-score kurang dari -2.0 SD (standar deviasi).
15

Tabel 2.1. Klasifikasi Status Gizi Balita


Indikator Nilai Z-score Kategori
BB/U <-3.0 Gizi buruk
≥-3,0 s/d <-2.0 Gizi kurang
≥-2.0 s/d ≤2.0 Gizi baik
> 2.0 Gizi lebih
TB/U <-3.0 Sangat pendek
≥-3,0 s/d <-2.0 Pendek
> 2.0 Normal
BB/TB <-3.0 Sangat kurus
≥ -3.0 s/d <-2.0 Kurus
≥ -3.0 s/d ≤-2.0 Normal
> 2.0 Gemuk
Sumber : Kepmenkes No. 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang standar
antropometri penilaian status gizi anak

2. Faktor yang mempengaruhi kejadian stunting

a. Kunjungan ANC

Kunjungan antenatal care (ANC) yang dilakukan secara teratur dapat

mendeteksi dini risiko kehamilan yang ada pada seorang ibu, terutama yang

berkaitan dengan masalah nutrisinya. Melihat pentingnya kunjungan ANC

terhadap balita stunting maka diharapkan masyarakat terutama ibu hamil agar

memanfaatkan fasilitas pemeriksaan kehamilan semaksimal mungkin agar

permasalahan kehamilan terutama yang berhubungan dengan permasalhan

nutrisi dapat diketahui sejak awal sehingga dapat dilakukan intervensi lebih

awal untuk mengatasi permasalahan tersebut. Berdasarkan penelitian

(Najahah, 2013) didapatkan hasil bahwa ibu yang melakukan kunjungan ANC

tidak standar memiliki risiko mempunyai balita stunting 2,4 kali dibandingkan

ibu yang melakukan kunjungan ANC standar.


16

b. Berat bayi lahir

Berat lahir pada bayi sangat terkait dengan kematian janin, neonatal dan

postnatal, morbidibitas bayi dan anak, serta pertumbuhan dan perkembangan

jangka panjang. Bayi dengan berat lahir rendah (BBLR)di definisikan yaitu

berat yang kurang dari 2500gram. BBLR dapat disebabkan oleh durasi

kehamilan dan laju pertumbuhan janin. Oleh karena itu , bayi dengan berat

lahir kurang dari 2500 gram bisa dikarenakan bayi tersebut lahir secara

premature atau karena retardasi pertumbuhan ( WHO,2012)

Pada penelitian Atikah Rahayu (2015) Hasil analisis bivariate

menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat status

BBLR (nilai p = 0,015) dengan stunting pada anak baduta. Berdasarkan hasil

analisis multivariat,diperoleh bahwa BBLR merupakan faktor risiko yang

paling dominan berhubungan dengan kejadian stunting. Anak dengan BBLR

memiliki risiko 5,87 kali untuk mengalami stunting. Riwayat BBLR memiliki

peranan penting dalam kejadian stunting anak baduta di wilayah Puskesmas

Sungai Karias, Hulu Sungai Utara.

c. Pemberian Asi Ekslusif

Asi Ekslusif adalah memberikan hanya ASI saja pada bayi sejak lahir

sampai usia 6 bulan. Namun, ada pengecualian, bayi diperbolehkan

mengonsumsi obat-obatan, vitamin, dan mineral tetes atas saran dari dokter.

Selama 6 bulan pertama pemberian ASI ekslusif, bayi tidak diberikan

makanan dan minuman lain, (susu formula, jeruk, madu , air, teh, dan

makanan padat seperti pisang,papaya, bubur susu, dll). Sedangkan ASI

predominan adalah memberikan ASI pada bayi, tetapi penah memberikan


17

sedikit air atau minuman berbasis air, misalnya teh , sebagai makanan atau

minuman prelakteral sebelum ASI keluar (kemenkes RI, 2010).

Rekomendasi dari The American Dietetic Association (ADA) dan The

American of Pediatric (AAP) adalah agar ASI diberikan ekslusif kepada bayi

selama 6 bulan pertama kemudian dilanjutkan dengan diberikan makanan

pendamping ASI (MP-ASI)minimal hingga usia 12 bulan. Pengaruh ASI

ekslusif terhadap perubahan status stunting disebabkan oleh fungsi ASi

sebagai anti infeksi. Pemberian ASI yang kurang dan pemberian makanan

atau formula terlalu dini dapat meningkatkan risiko stunting karena bayi

cenderung lebih mudah terkena penyakit infeksi seperti diare dan penyakit

pernapasan ( Rahayu, 2014).

Namun ada beberapa penelitian juga mengatkana bahwa Status

pemberian ASI eksklusif tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan

kejadian stunting. Penelitian yang dilakukan di Desa Menduran,

Kecamatan Brati, Kabupaten Grobogan, Provinsi Jawa Tengah mendapatkan

hasil yang sama dengan penelitian ini, dimana status pemberian ASI eksklusif

bukan faktor risiko stunting pada anak usia 1-3 tahun.23 Hal ini disebabkan

oleh keadaan stunting tidak hanya ditentukan oleh faktor status pemberian

ASI eksklusif, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti: kualitas

Makanan Pendamping ASI (MP-ASI), kecukupan asupan gizi yang diberikan

kepada anak setiap hari, serta status kesehatan bayi

d. Riwayat Imunisasi

Tujuan pemberian imunisasi adalah untuk menurunkan angka

kesakitan,kecacatan dan kematian akibat penyakit yang dapat dicegahdengan


18

imunisasi. Hasil penelitian yang dilakukan di papua tahun 2010 menunjukkan

bahwa anak yang tidak memiliki riwayat imunisasi memiliki peluang

mengalami stunting lebih besar dibandingkan anak yang memiliki riwayat

imunisasi. Namun ada beberapa penelitian lain juga mendapatkan bahwa tidak

terdapat hubungan yang signifikan antara status imunisasi dasar dengan

kejadian stunting. Penelitian yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas

Siloam Tamako, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara juga

mendapatkan hal demikian, yaitu tidak adanya hubungan yang signifikan

antara status imunisasi dasar dengan kejadian stunting pada pada anak TK.

Anak yang tidak diberikan imunisasi dasar yang lengkap tidak serta-merta

menderita penyakit infeksi. Imunitas anak dipengaruhi oleh faktor lain seperti

status gizi dan keberadaan patogen. Ada istilah “herd immunity” atau

“kekebalan komunitas” dalam imunisasi, yaitu individu yang tidak

mendapatkan program imunisasi menjadi terlindungi karena sebagian besar

individu lain dalam kelompok tersebut kebal terhadap penyakit setelah

mendapat imunisasi.

e. Lingkungan/sanitasi

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan dinegara bagian timur

Ethiopia oleh Yisak et al ( 2015)ditemukan bahwa anak-anak yang tinggal

dirumah tangga dengan mengkonsumsi kebutuhan air dari sungai secara

signifikan berhubungan dengan kejadian stunting ( AOR = 1,95, 95% CI

(1.12-3.38) dibandingkan dengan anak-anak yang tinggal dirumah tangga

dengan mengkonsumsi air bersih. Penelitian yang dilakukan oleh Nadiyah

(2014) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara sanitasi


19

kurang baik dengan stunting (p<.005). Sanitasi lingkungan yang kurang baik

menjadi factor resiko stunting (OR=1.46; p<0.05). Kurangnya system

pembuangan air limbah/kotoran yang cukup berhubungan dengan terjadinya

pengurangan (deficit) tinggi badan pada anak hingga 0,9 cm saat usia 24

bulan. Selain itu, anak dengan kondisi air dan sanitasi yang kurang baik, lebih

sering mengalami diare daripada anak yang kondisi air dan sanitasinya baik.

Diare dapat menyebabkan dehidrasi dan kehilangan nafsu makan yang diikuti

oleh penurunan intake makanan dan kemudian terjadi malnutrisi.

Faktor lain yang mempengaruhi stunted yaitu perilaku hygiene sanitasi

makanan yang kurang baik. Balita yang mengkonsumsi makanan dengan

hygiene sanitasi yang kurang baik dapat menyebabkan penyakit infeksi.

Penyakit infeksi biasanya disertai gangguan sperti pengurangan nafsu makan

dan muntah-muntah sehingga asupan makan balita kurang terpenuhi. Kondisi

ini dapat menurunkan keadaan gizi balita dan berimplikasi buruk terhadap

kemajuan pertumbuhan anak (stunted) ( MCA,2014).

3. Dampak stunting

Stunting dapat memberikan dampak bagi kelangsungan hidup anak.

WHO(2013) membagi dampak yang diakibatkan oleh stunting menjadi dua yang

terdiri dari jangka pendek dan jangka panjang. Dampak jangka pendek dari

stunting adalah di bidang kesehatan yang dapat menyebabkan peningkatan

mortalitas dan morbiditas, dibidang perkembangan berupa penurunan

perkembangan kognitif, motoric, dan bahasa, dan dibidang ekonomi berupa

peningkatan pengeluaran untuk biaya kesehatan. Stunting juga dapat

menyebabkan dampak jangka panjang di bidang kesehatan berupa perawakan


20

yang pendek, peningkatan risiko untik obesitas dan komorbidnya, dan penurunan

kesehatan reproduksi, dibidang perkembangan berupa penurunan kemampuan

dan kapasitas kerja.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak yang pada masa balitanya

mengalami stunting memiliki tingkat kognitif rendah, prestasi belajar dan

psikososial buruk (Achadi 2012). Anak yang mengalami severe stunting di dua

tahun pertama kehidupannya memiliki hubungan sangat kuat terhadap

keterlambatan kognitif di masa kanak-kanak nantinya dan berdampak jangka

panjang terhadap mutu sumberdaya (Brinkman et al. 2010; Martorell et al.2010).

Kejadian stunting yang berlangsung sejak masa kanak-kanak memiliki hubungan

terhadap perkembangan motorik lambat dan tingkat intelegensi lebih rendah

(Martorell et al.2010). Penelitian lain menunjukkan anak (9-24 bulan) yang

stunting selain memiliki tingkat intelegensi lebih rendah, juga memiliki penilaian

lebih rendah pada lokomotor,koordinasi tangan dan mata,pendengaran, berbicara,

maupun kinerja jika dibandingkan dengan anak normal (Chang et al.2010).

Menurut penelitian Hoddinon et al. (2013) menunjukkan bahwa stunting

pada usia 2 tahun memberikan dampak yang buruk berupa nilai sekolah yang

lebih rendah, berhenti sekolah, akan memiliki tinggi badan yang lebih

pendek,dan berkurang kekuatan genggaman tangan sebesar 22% Stunting pada

usia dua tahun juga memberikan dampak ketika dewasa berupa pendapatan

perkapita yang rendah dan juga berhubungan terhadap meningkatnya jumlah

kehamilan dan anak dikemudian hari, sehingga Hoddinon menyimpulkan bahwa

pertumbuhan yang terhambat di kehidupan awal dapat memberikan dampak

buruk terhadap kehidpan , social, dan ekonomi seorang.


21

B. Sanitasi

Menurut Rejeki (2015) hal 2-4. Sanitasi adalah usaha kesehatan preventif

yang menitik beratkan kegiatan kepada usaha kesehatan lingkungan hidup manusia.

Suatu contoh adalah menjaga kebersihan alat-alat yang digunakan untuk mengolah

maupun menyajikan makanan, menyimpan bahan makanan dengan tepat, selalu

memelihara kebersihan tempat kita mengolah makanan. Menurut WHO adalah suatu

usaha untuk mengawasi beberapa factor lingkungan fisik yang berpengaruh kepada

manusia, terutama terhadap hal-hal yang mempunyai efek perusak perkembangan

fisik, kesehatan dan kelangsungan hidup. Sedangkan menurut Hopkins, sanitasi

adalah usaha pengawasan terhadap faktor lingkungan yang mempunyai pengaruh

terhadap lingkungan.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Herni Oktaviana (2016) ada hubungan

antara perilaku hygiene sanitasi ibu dengan kejadian stunted. Hasil analisa statistika

menunjukkan nilai p=).017 (<0,05). Anak yang mengkonsumsi makanan dengan

kebersihan yang kurang baik dapat menimbulkan penyakit infeksi yang biasanya

disertai dengan pengurangan nafsu makan dan muntah-muntah. Kondisi ini dapat

menurunkan keadaan gizi balita dan berimplikasi buruk terhadap kemajuan

pertumbuhan anak, yang dapat bermanifestasi menjadi stunted.

Menurut Rejeki (2015) hal 4 – 5. Ruang lingkup sanitasi meliputi berbagai

aspek berikut:

1).Penyediaan air bersih/ air minum.

2).Pengolahan sampah

3).Pengolahan makanan dan minuman

4).Pengawasan/pengendalian serangga dan binatang pengerat


22

5).Kesehatan dan keselamatan kerja

6).Tenaga kerja/ pekerjaan

Kesehatan lingkungan pada hakekatnya adalah suatu kondisi atau keadaan

lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya

status kesehatan yang optimum pula. Ruang lingkup kesehatan lingkungan tersebut

antara lain : perumahan, pembuangan kotoran manusia (tinja), penyediaan air

bersih, pembuangan sampah, pembuangan air kotor (air limbah), rumah hewan

ternak (kandang), dan sebagainya (Notoatmojo, 2010). Keadaan lingkungan yang

kurang baik memungkinkan terjadinya berbagai penyakit antara lain diare dan

infeksi saluran pernapasan. Sanitasi lingkungan sangat terkait dengan ketersediaaan

air bersih, ketersediaan jamban, jenis lantai rumah serta kebersihan peralatan makan

pada setiap keluarga. Makin tersedia air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, makin

kecil risiko anak terkena penyakit kurang gizi. Tingkat kesehatan lingkungan

ditentukan oleh berbagai kemungkinan bahwa lingkungan berperan sebagai

pembiakan agen hidup, tingkat kesehatan lingkungan yang tidak sehat bisa diukur

dengan Penyediaan air bersih yang kurang, Pembuangan air limbah yang tidak

memenuhi persyaratan kesehatan, Penyediaan dan pemanfaatan tempat pembungan

kotoran serta cara buang kotoran manusia yang tidak sehat, Tidak adanya

penyediaan dan pemanfaatan tempat pembuangan sampah rumah tangga yang

memenuhi persyaratan kesehatan, Tidak adanya penyediaan sarana pengawasan

penyehatan makanan, serta Penyediaan sarana perumahan yang tidak memenuhi

persyaratan kesehatan. Hal-hal yang menyangkut sanitasi pertama adalah Ventilasi.

Situasi perumahan penduduk dapat diamati melalui perumahan yang berada di

daerah pedesaan dan perkotaan. Perumahan yang berpenghuni banyak dan ventilasi
23

yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan dapat mempermudah dan

memungkinkan adanya transisi penyakit dan mempengaruhi kesehatan

penghuninya. Kedua pencahayaan, pencahayaan yang cukup untuk penerangan

ruangan di dalam rumah merupakan kebutuhan kesehatan manusia. Pencahayaan

dapat diperoleh dari pencahayaan dari sinar matahari, pencahayaan dari sinar

matahari masuk ke dalam melalui jendela. Celah-celah dan bagian rumah yang

terkena sinar matahari hendaknya tidak terhalang oleh benda lain.

C. Perilaku Hygiene

1. Pengertian Perilaku Hygiene

Perilaku Hygiene tidak lepas dari Perilaku Hidup Bersih dan Sehat yaitu

semua perilaku kesehatan yang dilakukan atas kesadaran sendiri sehingga

anggota keluarga atau keluarga dapat menolong dirinya sendiri di bidang

kesehatan dan berperan aktif dalam keiatan-kegiatan kesehatan dimasyarakat.

(Ervinda, 2014). Kata “hygiene” bersal dari bahasa Yunani yang artinya ilmu

untuk membentuk dan menjaga kesehatan (Streeth, J.A. and Southgate,H.A,

1986 dalam Sri Rejeki). Dalam sejarah Yunani, Hygiene berasal dari nama

seorang Dewi yaitu Hygea (Dewi pencegah penyakit). Hygiene menurut Putu

Sudiro (1996:17) dalam buku Sri Rejeki berdasarkan buku Theory of Catering

dikemukakan bahwa: Hygiene adalah ilmu kesehatan dan pencegahan timbulnya

penyakit. Hygiene lebih banyak membicarakan masalah bakteri sebagai penyebab

timbulnya berbagai penyakit. Seorang juru masak disamping harus mampu

mengolah makanan yang enak dan lezat rasanya, menarik penampilannya, juga

harus layak dimakan. Untuk itu, makanan harus bebas dari bakteri atau kuman

pembawa penyakit yang dapat membahayakan kesehatan manusia.


24

Pengertian hygiene menurut Depkes dalam Sumantri (2010) adalah upaya

kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan individu

subjeknya misalnya mencuci tangan untuk melindungi kebersihan tangan, cuci

piring untuk melindungi kebersihan piring, membuang makanan yang rusak

untuk melindungi keutuhan makanan secara keseluruhan. Hygiene adalah suatu

usaha pencegahan penyakit yang menitik beratkan pada usaha kesehatan

perseorangan atau manusia beserta lingkungan tempat orang tersebut berada.

Dari penelitian Chamilia Desyanti & Triska Susila Nindya (2017) praktik higiene

(p=0,006, OR=4,808) memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian

stunting. Hasil yang signifikan dapat disebabkan oleh banyaknya pengasuh balita

yang masih menerapkan praktik higiene yang buruk, sehingga dapat berdampak

kepada asupan yang dikonsumsi oleh balita.

Selanjutnya menurut Rejeki (2015) hal 5. Masalah hygiene tidak dapat

dipisahkan dari masalah sanitasi dan pada kegiatan pengolahan makanan masalah

sanitasi dan hygiene dilakukan secara bersama-sama. Kebiasaan hidup bersih dan

bekerja bersih sangat membantu dalam mengolah makanan yang bersih pula

ruang lingkup hygiene meliputi berbagai aspek berikut:

a. Hygiene perseorangan artinya mencakup semua segi kebersihan dan pribadi

karyawan (penjamah makanan). Menjaga hygiene perorangan berarti menjaga

kebiasaan hidup bersih dan menjaga kebiasaan hidup bersih dan menjaga

kebersihan seluruh anggota tubuh.

b. Hygiene makanan dan minuman yaitu tentang kebersihan dari bakteri bahan

makanan yang dipergunakan dalam pengolahan makanan. Sebagian besar

berupa bahan makanan nabati yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, misal;


25

sayur, buah dan lain-lain. Serta bahan makanan hewani yang berasal dari

binatang, misal; daging,unggas, ikan dan lain-lain. Balita yang mengonsumsi

makanan sebagai hasil dari praktik higiene yang buruk dapat meningkatkan

risiko anak tersebut terkena penyakit infeksi. Penyakit infeksi ini biasa

ditandai dengan gangguan nafsu makan dan muntah-muntah sehingga asupan

balita tersebut tidak memenuhi kebutuhannya. Kondisi seperti ini yang

nantinya akan berimplikasi buruk terhadap pertumbuhan anak.

D. Tinjauan Al-Qur’an

Interkoneksi dengan ayat suci Al-Qur’an terkait permasalahan stunting pada

balita terdapat dalam Surat An-Nisaa’ ayat 9 , yang artinya :

“ Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di

belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap

(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah

dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”

Berdasarkan Surat An-nisa ayat 9 dapat disimpulkan bahwa para orang tua

hendaknya memperhatikan keadaan anaknya terutama pada masa pertumbuhannya.

Masalah stunting yang di alami anak balita tentunya dapat menimbulkan dampak

merugikan bagi anak dimasa mendatang, sehingga orang tua perlu memberikan pola

asuh yang tepat pada masa pertumbuhan anak-anaknya agar membentuk insan yang

berkualitas.
26

E. Kerangka konsep

Variabel bebas Variabel terikat

Perilaku Hyginene Stunting


Sanitasi

Variabel pengganggu
Kunjungan ANC
Berat lahir bayi
Pemberian ASI Ekslusif
Riwayat Imunisasi

Gambar 2.1 Kerangka Konsep

Keterangan :

: Variabel yang di teliti

: Variabel yang tidak di teliti

: Arah hubungan

Variabel bebas pada penelitian ini adalah sanitasi dan variable terikat adalah

stunting sedangkan variable pengganggu dalam penelitian ini adalah Riwayat

Kunjungan ANC ibu, Berat lahir bayi, Pemberian Asi Ekslusif, Riwayat Imunisasi.
27

F. Hipotesis

Ada hubungan perilaku hygiene sanitasi dengan kejadian stunting pada anak

usia 24-59 bulan di Desa Sidoluhur wilayah kerja Puskesmas Godean 1.


BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian

Desain penelitian ini adalah survey analitik. Pengertian survey analitik dapat

diartikan sebagai survey yang di arahkan untuk menjelaskan suatu keadaan atau

situasi (Notoatmodjo, 2010). Pada penelitian ini menganalisis hubungan perilaku

higyne dengan kejadian stunting .

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross-

sectional, Cross sectional study adalah suatu penelitian untuk mempelajari dinamika

korelasi antara faktor-faktor risiko dan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau

pengumpulan data sekaligus (point time approach) (Notoatmodjo.S,2010).

Penelitian ini bertujuan untuk mencari Hubungan Perilaku Hygiene dengan kejadian

stunting di wilayah kerja Puskesmas Godean 1.

B. Variabel Penelitian

Variabel adalah suatu atribut atau sifat atau nilai orang, obyek atau kegiatan

yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan

ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2017).

1. Variabel Independent(bebas)

Variabel yang apabila ia berubah akan mengakibatkan perubahan pada

variabel lain. Variabel yang berubah akibat perubahan variabel bebas ini adalah

variabel terikat (Sastroasmoro, 2014). Variable dalam penelitian ini adalah

perilaku hygiene sanitasi.

28
29

2. Variabel Dependent (terikat)

Variabel terikat adalah variabel terikat, tergantung, akibat, atau dependent

variabel atau variabel yang dipengaruhi (Notoatmodjo, 2010). Variabel terikat

dalam penelitian ini adalah kejadian stunting.

3. Variabel pengganggu

Variebel pengganggu (confounding) merupakan variabel yang menjadi

sebab timbulnya atau berubahnya variabel terikat atau mempengaruhi stimulasi,

input , tetapi tidak di teliti.. Variabel pengganggu dalam penelitian ini adalah :

a. Kunjungan ANC

Kunjungan ANC dikendalikan dengan memilih responden yang tidak

kunjungan 4x ANC.

b. Berat lahir bayi

Berat lahir bayi dikendalikan dengan memilih balita dengan berat lahir yaitu ≥

2.500 gram

c. Pemberian Asi Ekslusif

Pemberian ASI ekslusif tidak dikendalikan karena beberapa penelitian

mendapatkan tidak ada hubungannya dengan kejadian stunting

d. Riwayat Imunisasi

Riwayat Imunisasi tidak dikendalikan karena beberapa penelitian

mendapatkan tidak ada hubungannya dengan kejadian stunting


30

C. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional


Variabel Definisi Cara ukur dan Skala ukur Hasil
Alat ukur
Perilaku Perilaku Kuesioner Nominal Baik = 1
hygiene hygiene sanitasi Buruk = 0
sanitasi adalah perilaku
disengaja dalam
pembudayaan
hidup bersih
dengan maksud
mencegah
manusia
bersentuhan
langsung
dengan kotoran
dan bahan
buangan
berbahaya
lainnya dengan
harapan usaha
ini akan
menjaga dan
meningkatkan
kesehatan
manusia
Kejadian Keadaan tinggi Tinggi badan Nominal Stunting = 0
Stunting badan/umur anak diukur Jika indeks
anak yang < -2 dengan posisi TB/U <-2 SD
standar deviasi berdiri pada Tidak
dengan usia ≥ 24 bulan stunting=1
mengacu pada Alat pengukur Jika indeks
permenkes 2011 tinggi TB/U ≥ -2 SD
(microtoise)

D. Populasi dan Sampel penelitian

1. Populasi
31

Populasi dalam penelitian ini adalah semua balita usia 24-59 bulan di

desa Sidoluhur wilayah kerja puskesmas godean 1 bulan januari hingga

November 2018 sebanyak 303.

2. Sampel

Perhitungan besar sampel menggunakan rumus Slovin, yaitu :


𝑁
n= 1+𝑁𝑒²

keterangan :

N= Jumlah populasi

n = Jumlah sampel

e²=level signifikan yang diinginkan (5%=0,05)

sehingga :

n=303/(1+(303x(0,05²))

n=303/(1+(303x0,0025)

n=303/(1+0,7575)

n=303/1,7575

n=172

Jadi jumlah sampel yaitu sebanyak 172. Sampel diambil menggunakan

teknik pengambilan sampel dalam penilitian ini menggunakan simple random

sampling yaitu dengan cara mengundi anggota populasi pada ketas kecil akan

dituliskan nomor subjek sesuai dengan kode responden pada kuesioner, satu

nomer untuk setiap kertas. Kemudian kertas digulung, dengan tanpa prasangka

penulis akan mengambil 172 gulungan kertas sehingga nomor-nomor yang

tertera pada gulungan kertas yang terambil itulah yang merupakan nomor subjek
32

sampel penelitian. Kemudian nomor subjek penelitian tersebut dibawa

keposyandu, ada 15 posyandu untuk mengumpulkan 172 sampel.

Sampel penelitian ini adalah responden yang memenuhi kriteria inklusi

dan eksklusi sebagai berikut :

a). Kriteria inklusi :

1). Anak balita usia 24-59 bulan.

2). Ibu balita bersedia menjadi responden penelitian dengan menanda tangani

informed consent

3). Riwayat kunjungan ANC ibu ≥ 4 x

4). Riwayat Berat bayi lahir normal yaitu ≥ 2.500 gram

b). Kriteria ekslusi :

1).Anak balita usia 24-59 bulan dengan kelainan/cacat fisik dan penyakit

kronis

E. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti memerlukan rekomendasi dari

institusi pendidikan kemudian mengajukan permohonan ijin kepada lembaga

tempat penelitian

Setelah mendapatkan persetujuan, baru melakukan penelitian dengan

menggunakan etika penelitian yang meliputi :

1. Ethical clearance

Penelitian dilaksanakan setelah mendapatkan surat kelayakan etik penelitian dari

Komite Etik Penelitian Kesehatan Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta (Siswanto

et al., 2015)

2. Informed consent (lembar persetujuan)


33

Setiap responden yang terlibat dalam penelitian ini diberikan lembar persetujuan

yang berguna untuk mengetahui maksud dan tujuan dari penelitian yang

dilakukan. Responden dapat menandatangani lembar persetujuan bila menerima

untuk menjadi subyek penelitian, dan jika menolak untuk diteliti, maka peneliti

menghormati hak responden dan tidak akan dipaksa (Siswanto et al.,2015)

3. Bertindak adil

Pada penelitian, peneliti betindak adil, yaitu dengan cara mengambil semua

responden yang sesuai dengan kriteian tanpa membeda-bedakan agama, suku,

pendidikan dan status sosialnya

4. Confidentialy (kerahasiaan)

Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dilakukan dengan cara hanya

kelompok data yang diperlukan dalam penelitian saja yang akan dilaporkan

sebagai hasil penelitian.

F. Alat dan Metode Pengumpulan Data

1. Alat pengumpulan data

Merupakan cara peneliti untuk mengumpulkan data yang akan dilakukan dalam

pnelitian. Sebelum melakukan pengumpulan data agar dapat memperkuat hasil

penelitian (Aziz,2010).Alat untuk pengumpulan data pada penelitian ini adalah

sebagai berikut :

a. Alat tinggi badan ( microtoice ) serta lembar pengkajian. Pengukur tinggi

badan digunakan untuk mengukur tinggi badan anak dengan ketelitian 0,1 cm

untuk mengetahui kejadian stunting. Selanjutnya, data tinggi anak diolah

dengn perangkat lunak, untuk melihat status gizi brdasarkan standar baku

kementrian kesehatan 2010.


34

b. Kuesioner perilaku hygiene

Wawancara terkait perilaku hygiene menggunakan kuesioner yang terdiri dari

36 pertanyaan yang harus dilengkapi dngan pengasuh sasaran. Setiap

pertanyaan pada kuesioner benilai 1 (satu) jika sesuai dengan yang

dianjurkan, dan bernilai 0 (nol) jika tidak sesuai. Bila hasil akhir kuesioner

masing-masing pengasuh adalah ≤ 19 maka tergolong sebagai hygiene buruk,

sedangkan > 19 maka tergolong hygiene baik. Kuesioner yang digunakan

merupakan kuesioner yang di adopsi dari penelitian milik Chamilia Desyanti

& Triska Susila Nindya (2017).

2. Metode pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan setelah mendapat rekomendasi izin

pelaksanaan penelitian dari Institusi dan Komisi Etik Universitas ‘Aisyiyah

Yogyakarta. Selanjutnya, data responden di ambil dengan menggunakan data

primer dan sekunder, yaitu informasi dari responden langsung dan data kejadian

stunting di Desa sidoluhur wilayah kerja Puskesmas Godean 1.

a. Cara pengumpulan data

Cara pengumpulan data langsung diperoleh dari responden dengan cara 2

yaitu :

1). Data primer

Merupakan data yang langsung diperoleh dari responden dengan cara

mewawancarai menggunakan lembar kuesioner.

a). Data status stunting anak diperoleh dari pengukuran langsung dengan

menggunakan microtoice dengan ketepatan 0,1 cm yang sudah

terstandarisasi. Hasil ukur panjang badan dalam satuan sentimeter dengan


35

tinggi badan (TB) menurut umur dan mengacu/membandingkan dengan

standar Keputasan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :

1995/Menkes/SK/XII/2010

b). Data perilaku hygiene sanitasi diperoleh dari wawancara menggunakan

kuesioner yang di adopsi dari penelitian sebelumnya (Chamilia Desyanti

dan Triska Susila Nindya ,2017)

2). Data karakteristik orangtua (usia, pendidikan, dan pendapatan keluarga)

dikumpulkan menggunakan kuesioner terstruktur.

3). Data karakteristik balita ( jenis kelamin, usia, )

4). Data sekunder

Merupakan data yang diperoleh dari Profil Dinas Kesehatan Daerah

Istimewa Yogyakarta, Profil dinas Kabupaten Sleman dan data dari

puskesmas Godean 1.

G. Metode pengolahan dan Analisis data

1. Pengelolahan data

Menurut Notoatmodjo (2010), langkah-langkah pengelolaan data yang

digunakan adalah :

a. Editing (penyuntingan data )

Pada tahap editing ini peneliti melakukan pengecekan kelengkapan data yang

telah diperoleh dari kuesioner yang telah di isi responden

b. Coding (pengkodean)

Peneliti memberikan kode angka pada variable yang diteliti agar lebih mudah

dalam pengelolaan secara statistik dengan program computer. Kode yang

diberikan dalam penelitian ini adalah :


36

1). Kejadian stunting

a). Stunting = 0

b). tidak stunting = 1

2). Perilaku hygiene

a). Baik = 1

b). Buruk = 0

c. Entry data (memasukkan data )

Pada tahap ini peneliti melakukan proses pemasukan data kedalam computer

untuk selanjutnya dilakukan analisis data menggunakan program computer.

d. Pengecekan data ( Cleaning )

Apabila semua data dari setiap sumber atau responden selesai dimasukkan,

perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan

kode, ketidak lengkapan dan sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan

atau koreksi.

e. Tabulating (tabulasi)

Peneliti melakukan proses pembuatan table untuk data pada variable

penelitian kemudian di analisa.

2. Analisa data

Data yang sudah dilakukan pengolahan kemudian dianalisa secara

bertahap sesuai dengan tujuan penelitian, meliputi :

a. Analisis Univariat

Analisa univariat merupakan analisi data yang akan dilakukan untuk

mengetahui distribusi frekuensi dari variabel independen dan variable

dependen (Notoatmodjo, 2010).Adapun variabel independen yaitu


37

(perilaku hygiene sanitasi) sedangkan variable dependen yaitu (kejadian

stunting).

1). Karakteristik Balita

Tabel 3.2 Karakteristik balita


Stunting Tidak stunting
Karakteristik balita
Jumlah Jumlah
Jenis kelamin
Laki- laki
Perempuan
Usia
24-35 bulan
36-47 bulan
48-59 bulan

2). Karakteristik Orang Tua

Tabel 3.3 Karakteristik Orang Tua


Stunting Tidak stunting
Karakteristik Orang Tua
Jumlah Jumlah
Pendidikan Ayah
Tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Tamat Perguruan Tinggi
Pendidikan Ibu
Tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Tamat Perguruan Tinggi
Pekerjaan Ayah
PNS
Pegawai swasta
ABRI/TNI
Pedagang/wiraswasta
Nelayan/petani\
Buruh
Tidak bekerja
Pekerjaan Ibu
PNS
38

Pegawai swasta
ABRI/TNI
Pedagang/wiraswasta
Nelayan/petani\
Buruh
Tidak bekerja

3).Distribusi perilaku hygiene dan kejadian stunting

Variabel Jumlah Persentase


Perilaku Hygiene
Kejadian stunted

b. Analisa Bivariat

Analisis bivariat dilakukan dengan dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkorelasi (Notoadmodjo, 2010). Teknik analisis

bivariat dalam penelitian ini menggunakan uji Chi Square. Alasan

menggunakan uji Chi Square karena data yang terkumpul nerbentuk

nonparametrik dengan skala nominal dan nominal.

Adapun rumus Chi square yang dapat digunakan yaitu :

(0−𝐸)²
x² = ∑ 𝐸

keterangan :

O = frekuensi hasil observasi

E = frekuensi yang diharapkan

Nilai E = (Jumlah sebaris x Jumlah Sekolom )/ Jumlah data

df = (b-1) (k-1)

a). Tabel hubungan antara perilaku hygiene sanitasi dengan kejadian

stunting di Puskesmas Godean 1 tahun 2018


39

Tabel 3.4 Hubungan Antara Perilaku Hygiene Sanitasi dengan


Kejadian Stunting di Desa Sidoluhur Wilayah keja Puskesmas
Godean 1
Variabel yang diteliti Stunting Tidak stunting P value OR
Jumlah Jumlah (95%)
Perilaku hygiene
sanitasi

c. Analisis korelasi sederhana

Analisis korelasi sederhana ( Bivariate Correlation ) digunakan untuk

mengetahui keeratan hubungan antara dua variabel dan untuk mengetahui

arah hubungan yang terjadi. Koefesien korelasi sederhana menunjukkan

seberapa besar hubungan yang terjadi antar dua variabel. Analisis korelasi

sederhana menggunakan metode person atau sering disebut dengan product

moment pearson. Nilai korelasi (r) berkisar antara 1 sampai -1, nilai

semakin mendekati 1 atau -1 berarti hubungan antara variabel smakin kuat,

sebaliknya nilai mendekati 0 berarti hubungan antar dua variabel semakin

lemah. Nilai positif menunjukkan hubungan sarah (x naik maka y) dan nilai

negative menunjukkan hubungan terbaik (x naik maka y turun).

H. Jalannya penelitian

1. Tahap persiapan

a. Konsultasi dengan pembimbing

b. Studi pustaka untuk menentukan acuan penelitian

c. Pengambilan judul penelitian berdasarkan masalah, kemudian dikonsulkan

kepada dosen pembimbing

d. Persiapan studi pendahuluan

e. Menyusun proposal penelitian


40

f. Setelah selesai menyusun proposal penelitian selanjutnya dikonsultasikan

dengan dosen pembimbing,setelah mendapatkan persetujuan selanjutnya

melakukan seminar proposal. Rencana seminar proposal penelitian

dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan

g. Selanjutnya dilakukan perbaikan sesuai dengan saran dan masukan dari dosen

pembimbing dan penguji

h. Setelah perbaikan proposal selesai, selanjutnya peneliti mengurus surat ijin

penelitian untuk melakukan penelitian sesuai dengan proposal yang telah

dipresentasikan

2. Tahap Pelaksanaan

a. Pengajuan surat izin penelitian pada tim skripsi untuk pengajuan izin ke

Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Sleman dan mengantar surat

tembusan ke kantor Bupati Sleman, dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, dan

Puskesmas Godean I.

b. Pemilihan asisten dan melakukan apersepsi terkait pengisian kuesioner untuk

mengetahui karakterisitik orang tua balita dan balita serta perilaku hygiene

sanitasi . Asisten penelitian adalah mahasiswa program studi kebidanan

sarjana terapan sebanyak 2 orang dan kader posyandu 1 orang.

c. Melakukan penelitian bersamaan dengan kegiatan posyandu balita di setiap

dusun tempat penelitian.

d. Menjelaskan mengenai maksud dan tujuan penelitian serta kesediaannya

untuk mengisi informed consent kepada responden


41

e. Melakukan penelitian dengan memilih responden yang sesuai dengan kriteria

inklusi dan ekslusi kemudian melakukan pengukuran tinggi badan balita dan

melakukan wawancara untuk pengisian kuesioner pada ibu balita dengan

bantuan assisten penelitian dan kader posyandu.

f. Mengumpulkan kuesioner kembali setelah diisi lengkap oleh assisten dan

kader posyandu dan memeriksa kembali apakah ada pertanyaan yang belum

diisi.

3. Tahap Akhir

a. Setelah data terkumpul kemudian di koreksi dan direkapitulasi data hasil

wawancara kuesioner yang telah dikumpulkan.

b. Kemudian data tersebut dimasukkan kedalam table dan diolah melalui

computer, menggunakan program SPSS, kemudian hasil disajikan

c. Penyusunan BAB IV dan V dan berkonsultasi dengan dosen pembimbing

d. Setelah mendapat persetujuan dosen pembimbing, peneliti mengikuti ujian

skripsi

e. Setelah selesai ujian skripsi, peneliti melakukan perbaikan sesuai dengan

saran dan masukan dari penguji dan pembimbing.


DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Alimul, Hidayat. 2010. Metode Penelitian dan Analisis Data, Salemba Medika:
Jakarta
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi
2011-2015. Jakarta: Bappenas; 2011
Bentian I, Mayulu N, Rattu AJM. Faktor risiko terjadinya stunting pada anak TK di
wilayah kerja Puskesmas Siloam Tamako Kabupaten Kepulauan Sangihe
Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat Unsrat. 2015;5(1):1-
7.
Dirjen Bina GIZI KIA Kementerian Kesehatan RI. (2015). Kesehatan dalam Kerangka
Sustainable Development Goals (SDGs). Rakorkop Kementerian Kesehatan RI
Departemen Agama RI. (2011). Al-Qur’an Terjemahan. Bandung: Al-Mizan
Departemen Kesehatan RI. 2009. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta :
Departemen Kesehatan RI.
Dikes DIY. (2017). Profil Kesehatan. Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Ervinda. (2014). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Abacus [internet], October 30.
Avaible from http://www.perdhaki.org/content/perilaku-hidup-bersih-dan-
sehat.[accessed 31 januari 2019].
Fertman CI, Allensworth DD, eds. Health promotion programs: from theory to practice,
San Fransisco: Jossey Bass A Wiley Imprint; 2010
Desyanti, C. dan Nindya, T S. ( 2017). Hubungan Riwayat Penyakit Diare dan Praktik
Higiene dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia 24-59 Bulan di Wilayah
Kerja Puskesmas Simolawang, Surabaya. 1(i3). 243-251.
Hoddinot, John, Rere R Behrman, Jhon A Maluccio, Pauli Melgar, Agnes R
Quisumbing, Manuel Ramiresz-Zea, Aryeh D Stein, Kathryn M Yount, &
Reynaldo Mertorell. 2013. Adult Consequences of Growth Failure in Early
Childhood. The American Journal of Clinical Nutrition. 98:1170-1178
Jukardi, A. (2015). Anak Balita Pendek, bukan karena Gen tetapi Kurang Gizi. Tersedia
dalam: http://www.pikiran-rakyat.com. Diakses tanggal 20 Desember 2018.
Kementerian Kesehatan RI (2011). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor: 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropemetri Penilaian
Status Gizi Anak. Direktorat Jendral Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak,
Jakarta.

42
43

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia No.1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang standar antropometri
penilaian status gizi anak. Jakarta; 2011. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan
Kesehatan Ibu dan Anak.
_____________________________________. Pedoman kader seri kesehatan anak.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2010
_____________________________________. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar
Indonesia tahun 2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Kurnia W, Ibrahim IA, Damayanti DS. Hubungan asupan zat gizi dan penyakit infeksi
dengan kejadian stunting anak usia 24-59 bulan di posyandu asoka ii kelurahan
barombong kecamatan tamalate kota makassar. Media Gizi Pangan
2016;18(2):70-77
Lamid, A. (2015). Masalah kependekan 9Stunting) pada Anak Balita: Analasis Prospek
Penanggulangannya di Indonesia. PT. Penerbit IPB Press, Bogor.
MCA. Gambaran Umum Proyek Kesehatan dan Gizi Berbasis Masyarakat (PKGBM)
untuk Mencegah Stunting. 2014. Available from
http://www.mcaindonesia.go.id/id/home. Diakses pada 20 Desember 2018.
Millenium Challenge Coorpration (MCA) Indonesia. (2015). Stunting dan Masa Depan
Indonesia
__________________________________________. (2014). Stunting dan Masa Depan
Indonesia

Najahah , I. (2013). Faktor Risiko Balita Stunting Usia 12-36 Bulan Di Puskesmas dasan
Agung, mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sekretariat Public Health
Medicine Archive (PHPMA). No.2/Vol.1/ December 2013
Notoatmodjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rhineka Cipta.
__________. (2010). Promosi Kesehatan dan Ilmu perilaku. Rineka Cipta. Jakarta
Oktaviana (2016). Hubungan Pengetahuan Gizi dan Perilaku Higiene Sanitasi terhadap
Kejadian Stunted pada Balita Usia 7-24 Bulan di Desa Hargorejo Kulon Progo,
Yogyakarta.
Rejeki Sri. 2015. Sanitasi, Hygiene, dan Kesehatan & Keselamatan Kerja(K3). Bandung.
Rekayasa Sains

Rahayu. (2014). Faktor-faktor yang Berhubungan Pemberian ASI Eksklusif pada


Karyawati UNSIKA Tahun 2013. Jurnal Ilmiah, 1 (1), 55-63.

Rahmayana. Ibrahim I,A. dan Damayati D,S. (2014) Hubungan Pola Asuh Ibu Dengan
Kejadian Stunting Anak Usia 24-59 Bulan Di Posyandu Asoka II Wilayah Pesisir
44

Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Kota Makassar. Al-Sihah : Public


Health Science Journal.VI (2). 424-436.
Sumantri A. Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group; 2010.

Sugiyono. (2010). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif. Alfabeta: Bandung.


________ (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung :
Alfabeta.
Siswanto, S. dan Suyanto. (2015). Metodologi Penelitian Kesehatan dan Kedokteran.
Yogyakarta : Bursa Ilmu.
Sastroasmoro. (2014). Dasar – dasar Metodologi Penelitian Klinis. Yogyakarta: Sagung
Seto.
Riskesdes. (2018). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Rah JH, Cronin AA, Baidgayan B, Ahmed SCS. Household Sanitation and Personal
Hygiene Practices Are Associated with Child Stunting in Rural India. BMJ Open
2015;5. Available from https://www.researchgate.net/publicatio
n/272402323_Household_Sanitation_and_Personal_Hygiene_Practices_Are_As
ociated_with_Child_Stunting_in_Rural_India . Diakses tanggal 10 januari 2019.
UNICEF. (2013). The Right Ingredients: The Need to Invest in Child Nutrition Unicef
United Kingdom.

_______ (2015). Undernutrition Contributes To the Nearly Half of All Deaths In


Children Under 5 And Is Widespread In Asia And Africa.
Vaozia S, Nuryanto. Faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 1-3 tahun (studi di
Desa Menduran Kecamatan Brati Kabupaten Grobogan). Journal of Nutrition
College. 2016;5(4):314-20.
WHO. 2013. Situation: Underweight In Children in Global Health Observatory Avaible
http://www.who.int/gho/mdg/poverty_bunger/underweight_text/en/. ( Di akses
januari 2010)
_____. (2013). Childhood Stunting: Context, Causes and Consequences. WHO
Conceptual Framework

_____. (2014). WHA global nutrition targets 2025:Stunting policy brief. Geneva: World
Health Organization.

_____. 2015. Sanitation. http://www.who.int/topics/sanitation/en/. Diakses 10


Desember 2018
45

Yisak, H., Gobena, T., and Mesfin, F. (2015). Prevalence and risk factors for under
nutrition among children under five at Haramaya district, Eastern Ethiopia BMC
Pediatric, 15:212.
Wiyogowati, C. (2012).Kejadian Stunting PadaAnak Berumur di Bawah Lima Tahun (0-
5 Bulan)di Provinsi Papua Barat Tahun 2010 (AnalisisData Riskesdas Tahun
2010).Skripsi FakultasKesehatan Masyarakat, Universitas IndonesiaDepok

Anda mungkin juga menyukai