Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Vertigo adalah suatu istilah yang berasal dari bahasa Latin, vertere, yang
berarti memutar (Joesoef AA & Kusmastuti, 2002). Secara umum, vertigo dikenal
sebagai ilusi bergerak atau halusinasi gerakan. Vertigo ditemukan dalam bentuk
keluhan berupa rasa berputar – putar atau rasa bergerak dari lingkungan sekitar
(vertigo sirkuler) namun kadang – kadang ditemukan juga keluhan berupa rasa
didorong atau ditarik menjauhi bidang vertikal (vertikal linier) (Lumbantobing
SM, 2003).

B. Etiologi
Vertigo bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan kumpulan
gejala atau sindrom yang terjadi akibat gangguan keseimbangan pada sistem
vestibular ataupun gangguan pada sistem saraf pusat. Selain itu, vertigo dapat pula
terjadi akibat gangguan pada alat keseimbangan tubuh yang terdiri dari reseptor
pada visual (retina), vestibulum (kanalis semisirkularis) dan proprioseptif (tendon,
sendi dan sensibilitas dalam) (Copeland BJ & Pillsbury III CH, 2005).

C. Epidemiologi
Angka kejadian vertigo di Amerika Serikat berkisar 64 dari 100.000 orang,
wanita cenderung lebih sering terserang (64%), kasus Benigna Paroxysmal
Positional Disease (BPPV) sering terjadi pada usia rata-rata 51-57 tahun, jarang
pada usia 35 tahun tanpa riwayat trauma kepala (George, 2009). Menurut survey
dari Department of Epidemiology, Robert Koch Institute Germany pada populasi
umum di Berlin tahun 2007, prevalensi vertigo dalam 1 tahun 0,9%, vertigo akibat
migren 0,89%, untuk BPPV 1,6%, vertigo akibat Meniere’s Disease 0.51%. Pada
suatu follow up study menunjukkan bahwa BPPV memiliki resiko kekambuhan
sebanyak 50% selama 5 tahun. Di Indonesia, data kasus di R.S. Dr Kariadi
Semarang menyebutkan bahwa kasus vertigo menempati urutan ke 5 kasus
terbanyak yang dirawat di bangsal saraf.

10
D. Patomekanisme
Penyebab vertigo adalah abnormalitas dari organorgan vestibuler, visual,
ataupun sistem propioseptif. Labirin (organ untuk ekuilibrium) terdiri atas 3
kanalis semisirkularis, yang berhubungan dengan rangsangan akselerasi
angular, serta utrikulus dan sakulus, yang berkaitan dengan rangsangan
gravitasi dan akselerasi vertikal. Rangsangan berjalan melalui nervus
vestibularis menuju nukleus vestibularis di batang otak, lalu menuju fasikulus
medialis (bagian kranial muskulus okulomotorius), kemudian meninggalkan
traktus vestibulospinalis (rangsangan eksitasi terhadap otot-otot ekstensor
kepala, ekstremitas, dan punggung untuk mempertahankan posisi tegak tubuh).
Selanjutnya, serebelum menerima impuls aferen dan berfungsi sebagai pusat
untuk integrasi antara respons okulovestibuler dan postur tubuh (Huang Kuo
C., Phang L., Chang R., 2008).
Fungsi vestibuler dinilai dengan mengevaluasi refleks okulovestibuler
dan intensitas nistagmus akibat rangsangan perputaran tubuh dan rangsangan
kalori pada daerah labirin. Refl eks okulovestibuler bertanggung jawab atas fi
ksasi mata terhadap objek diam sewaktu kepala dan badan sedang bergerak.
Nistagmus merupakan gerakan bola mata yang terlihat sebagai respons
terhadap rangsangan labirin, serta jalur vestibuler retrokoklear, ataupun jalur
vestibulokoklear sentral. Vertigo sendiri mungkin merupakan gangguan yang
disebabkan oleh penyakit vestibuler perifer ataupun disfungsi sentral oleh
karenanya secara umum vertigo dibedakan menjadi vertio perifer dan vertigo
sentral (Rascol O., 1995).
Penggunaan istilah perifer menunjukkan bahwa kelainan atau gangguan
ini dapat terjadi pada end-organ (utrikulus maupun kanalis semisirkularis)
maupun saraf perifer. Lesi vertigo sentral dapat terjadi pada daerah pons,
medulla, maupun serebelum. Kasus vertigo jenis ini hanya sekitar 20% - 25%
dari seluruh kasus vertigo, tetapi gejala gangguan keseimbangan
(disekulibrium) dapat terjadi pada 50% kasus vertigo. Penyebab vertigo sentral
ini pun cukup bervariasi, di antaranya iskemia atau infark batang otak
(penyebab terbanyak), proses demielinisasi (misalnya, pada sklerosis multipel,

11
demielinisasi pascainfeksi), tumor pada daerah serebelopontin, neuropati
kranial, tumor daerah batang otak, atau sebabsebab lain. Perbedaan gambaran
klinis antara vertigo sentral dan perifer adalah sebagai berikut:

Beberapa penyakit ataupun gangguan sistemik dapat juga menimbulkan


gejala vertigo. Begitu pula dengan penggunaan obat, seperti antikonvulsan,
antihipertensi, alkohol, analgesik, dan tranquilizer. Selain itu, vertigo juga dapat
timbul pada gangguan kardiovaskuler (hipotensi, presinkop kardiak maupun
non-kardiak), penyakit infeksi, penyakit endokrin (DM, hipotiroidisme),
vaskulitis, serta penyakit sistemik lainnya, seperti anemia, polisitemia, dan
sarkoidosis ((Rascol O., 1995).
Neurotransmiter yang turut berkontribusi dalam patofi siologi vertigo,
baik perifer maupun sentral, di antaranya adalah neu rotransmiter kolinergik,
monoaminergik, glutaminergik, dan histamin. Beberapa obat antivertigo
bekerja dengan memanipulasi neurotransmiter-neurotransmiter ini, sehingga
gejala-gejala vertigo dapat ditekan. Glutamat merupakan neurotransmiter
eksitatorik utama dalam serabut saraf vestibuler (Huang Kuo C., Phang L.,
Chang R., 2008).
Glutamat ini memengaruhi kompensasi vestibuler melalui reseptor
NMDA (N-metil-D-aspartat). Reseptor asetilkolin muskarinik banyak
ditemukan di daerah pons dan medulla, dan akan menimbulkan keluhan vertigo
dengan memengaruhi reseptor muskarinik tipe M2, sedangkan neurotransmiter
histamin banyak ditemukan secara merata di dalam struktur vestibuler bagian
sentral, berlokasi di predan postsinaps pada sel-sel vestibuler (Huang Kuo C.,
Phang L., Chang R., 2008).

12
E. Penegakan Diagnosis

1. Anamnesis
Pada anamnesis ditanyakan bentuk vertigonya (apakah melayang,
goyang, berputar tujuh keliling, rasa seperti naik perahu, dan sebagainya),
keadaan yang memprovokasi timbulnya vertigo (perubahan posisi kepala
dan tubuh, keletihan dan ketegangan), profil waktu (apakah timbulnya akut
atau perlahan-lahan, hilang timbul, paroksismal, kronik, progresif, atau
membaik). Pada anamnesis juga ditanyakan apakah ada gangguan
pendengaran yang biasanya menyertai atau ditemukan pada lesi alat
vestibuler atau n. vestibularis, penggunaan obat-obatan seperti streptomisin,
kanamisin, salisilat, antimalaria dan lain-lain yang diketahui ototoksik atau
vestibulotoksik, dan adanya penyakit sistemik seperti anemia, penyakit
jantung, hipertensi, hipotensi, penyakit paru dan kemungkinan trauma
akustik (Bashiruddin J, Hadjar E, Alviandi W., 2008).
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang menyeluruh sebaiknya difokuskan pada
evaluasi neurologis terhadap saraf-saraf kranial dan fungsi serebelum,
misalnya dengan melihat modalitas motorik dan sensorik. Penilaian
terhadap fungsi serebelum dilakukan dengan menilai fi ksasi gerakan bola
mata; adanya nistagmus (horizontal) menunjukkan adanya gangguan

13
vestibuler sentral. Pemeriksaan kanalis auditorius dan membran timpani
juga harus dilakukan untuk menilai ada tidaknya infeksi telinga tengah,
malformasi, kolesteatoma, atau fistula perilimfatik. Dapat juga dilakukan
pemeriksaan tajam pendengaran (Mac Grego., 2002).
Pemeriksaan klinis, baik yang dilakukan unit gawat darurat maupun di
ruang pemeriksaan lainnya, mungkin akan memberikan banyak informasi
tentang keluhan vertigo. Beberapa pemeriksaan klinis yang mudah
dilakukan untuk melihat dan menilai gangguan keseimbangan diantaranya
adalah:
a. Tes Romberg
Pada tes ini, penderita berdiri dengan kaki yang satu di depan kaki yang
lain, tumit yang satu berada di depan jari-jari kaki yang lain (tandem).
Orang yang normal mampu berdiri dalam sikap Romberg ini selama 30
detik atau lebih. Berdiri dengan satu kaki dengan mata terbuka
dankemudian dengan mata tertutup merupakan skrining yang sensitif
untuk kelainan keseimbangan. Bila pasien mampu berdiri dengan satu
kaki dalam keadaan mata tertutup, dianggap normal (Huang Kuo C.,
Phang L., Chang R., 2008).
b. Tes melangkah di tempat (stepping test)
Penderita harus berjalan di tempat dengan mata tertutup sebanyak 50
langkah dengan kecepatan seperti berjalan biasa dan tidak
diperbolehkan beranjak dari tempat semula. Tes ini dapat mendeteksi
ada tidaknya gangguan sistem vestibuler. Bila penderita beranjak lebih
dari 1 meter dari tempat semula atau badannya berputar lebih dari 30
derajat dari keadaan semula, dapat diperkirakan penderita mengalami
gangguan sistem vestibuler (Huang Kuo C., Phang L., Chang R., 2008).
c. Tes salah tunjuk (past-pointing) Penderita diperintahkan untuk
merentangkan lengannya dan telunjuk penderita diperintahkan
menyentuh telunjuk pemeriksa. Selanjutnya, penderita diminta untuk
menutup mata, mengangkat lengannya tinggitinggi (vertikal) dan
kemudian kembali pada posisi semula. Pada gangguan vestibuler, akan
didapatkan salah tunjuk (Huang Kuo C., Phang L., Chang R., 2008).

14
d. Manuver Nylen-Barany atau Hallpike
Untuk menimbulkan vertigo pada penderita dengan gangguan sistem
vertibuler, dapat dilakukan manuver Nylen-Barany atau Hallpike. Pada
tes ini, penderita duduk di pinggir ranjang pemeriksaan, kemudian
direbahkan sampai kepala bergantung di pinggir tempat tidur dengan
sudut sekitar 30 derajat di bawah horizon, lalu kepala ditolehkan ke kiri.
Tes kemudian diulangi dengan kepala melihat lurus dan diulangi lagi
dengan kepala menoleh ke kanan. Penderita harus tetap membuka
matanya agar pemeriksa dapat melihat muncul/tidaknya nistagmus.
Kepada penderita ditanyakan apakah merasakan timbulnya gejala
vertigo. Tes kalori Tes kalori baru boleh dilakukan setelah dipastikan
tidak ada perforasi membrane timpani maupun serumen. Cara
melakukan tes ini adalah dengan memasukkan air bersuhu 30° C
sebanyak 1 mL. Tes ini berguna untuk mengevaluasi nistagmus, keluhan
pusing, dan gangguan fiksasi bola mata (Huang Kuo C., Phang L.,
Chang R., 2008).
Pemeriksaan lain dapat juga dilakukan, dan selain pemeriksaan fungsi
vestibuler, perlu dikerjakan pula pemeriksaan penunjang lain jika
diperlukan (Mac Grego., 2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan:
a. Pemeriksaan laboratorium rutin atas darah dan urin, dan pemeriksaan
lain sesuai indikasi.
b. Foto Rontgen tengkorak, leher, Stenvers (pada neurinoma akustik).
c. Neurofisiologi Elektroensefalografi (EEG), Elektromiografi (EMG),
Brainstem Auditory Evoked Potential (BAEP).
d. Pencitraan CTscan, arteriografi, magnetic resonance imaging (MRI)
(Johnson J & Lalwani AK., 2004).

15
F. Penatalaksanaan
Tatalaksana vertigo terbagi menjadi tatalaksana non farmakologi, farmakologi,
dan operasi:
1. Tatalaksana non farmakologi
Tatalaksana non farmakologi dapat dilakukan dengan pemberian terapi
dengan manuver reposisi partikel / Particle Repositioning Maneuver (PRM)
yang dapat secara efektif menghilangkan vertigo pada BPPV, meningkatkan
kualitas hidup, dan mengurangi risiko jatuh pada pasien. Keefektifan dari
manuver-manuver yang ada bervariasi mulai dari 70%-100% (Purnamasari
PP., 2013).
Efek samping yang dapat terjadi dari melakukan manuver seperti mual,
muntah, vertigo, dan nistagmus. Hal ini terjadi karena adanya debris otolitith
yang tersumbat saat berpindah ke segmen yang lebih sempit misalnya saat
berpindah dari ampula ke kanal bifurcasio. Setelah melakukan manuver
hendaknya pasien tetap berada pada posisi duduk minimal 10 menit untuk
menghindari risiko jatuh. Tujuan dari manuver yang dilakukan adalah untuk
mengembalikan partikel ke posisi awalnya yaitu pada makula utrikulus. Ada
lima manuver yang dapat dilakukan, antara lain:
a. Manuver Epley
Manuver Epley adalah yang paling sering digunakan pada kanal vertikal.
Pasien diminta untuk menolehkan kepala ke sisi yang sakit sebesar 45°
lalu pasien berbaring dengan kepala tergantung dan dipertahankan 1-2
menit. Lalu kepala ditolehkan 90° ke sisi sebaliknya, dan posisi supinasi
berubah menjadi lateral dekubitus dan dipertahan 30- 60 detik. Setelah
itu pasien mengistirahatkan dagu pada pundaknya dan kembali ke posisi
duduk secara perlahan (Edward & Roza., 2014).
b. Manuver Semont
Manuver ini diindikasikan untuk pengobatan cupulolithiasis kanan
posterior. Jika kanal posterior terkena, pasien diminta duduk tegak, lalu
kepala dimiringkan 45° ke sisi yang sehat, lalu secara cepat bergerak ke
posisi berbaring dan dipertahankan selama 1-3 menit. Ada nistagmus dan
vertigo dapat diobservasi. Setelah itu pasien pindah ke posisi berbaring

16
di sisi yang berlawanan tanpa kembali ke posisi duduk lagi (Edward &
Roza., 2014).
c. Manuver Lempert
Manuver ini dapat digunakan pada pengobatan BPPV tipe kanal lateral.
Pasien berguling 360° yang dimulai dari posisi supinasi lalu pasien
menolehkan kepala 90° ke sisi yang sehat, diikuti dengan membalikkan
tubuh ke posisi lateral dekubitus. Lalu kepala menoleh ke bawah dan
tubuh mengikuti ke posisi ventral dekubitus. Pasien kemudian menoleh
lagi 90° dan tubuh kembali ke posisi lateral dekubitus lalu kembali ke
posisi supinasi. Masing-masing gerakan dipertahankan selama 15 detik
untuk migrasi lambat dari partikel-partikel sebagai respon terhadap
gravitasi (Edward & Roza., 2014).
d. Forced Prolonged Position
Manuver ini digunakan pada BPPV tipe kanal lateral. Tujuannya adalah
untuk mempertahankan kekuatan dari posisi lateral dekubitus pada sisi
telinga yang sakit dan dipertahankan selama 12 jam (Edward & Roza.,
2014).
e. BrandtDaroff exercise
Manuver ini dikembangkan sebagai latihan untuk di rumah dan dapat
dilakukan sendiri oleh pasien sebagai terapi tambahan pada pasien yang
tetap simptomatik setelah manuver Epley atau Semont. Latihan ini juga
dapat membantu pasien menerapkan beberapa posisi sehingga dapat
menjadi kebiasaan (Edward & Roza., 2014).
2. Penatalaksanaan farmakologi
Beberapa pengobatan hanya diberikan untuk jangka pendek untuk
gejala-gejala vertigo, mual dan muntah yang berat yang dapat terjadi pada
pasien BPPV, seperti setelah melakukan terapi PRM. Pengobatan untuk
vertigo yang disebut juga pengobatan suppresant vestibular yang digunakan
adalah golongan benzodiazepine (diazepam, clonazepam) dan antihistamine
(meclizine, dipenhidramin). Benzodiazepines dapat mengurangi sensasi
berputar namun dapat mengganggu kompensasi sentral pada kondisi
vestibular perifer. Antihistamine mempunyai efek supresif pada pusat

17
muntah sehingga dapat mengurangi mual dan muntah karena motion
sickness. Harus diperhatikan bahwa benzodiazepine dan antihistamine dapat
mengganggu kompensasi sentral pada kerusakan vestibular sehingga
penggunaannya diminimalkan (Purnamasari PP., 2013).
3. Operasi
Operasi dapat dilakukan pada pasien BPPV yang telah menjadi kronik
dan sangat sering mendapat serangan BPPV yang hebat, bahkan setelah
melakukan manuver-manuver yang telah disebutkan di atas. Dari literatur
dikatakan indikasi untuk melakukan operasi adalah pada intractable BPPV,
yang biasanya mempunyai klinis penyakit neurologi vestibular, tidak seperti
BPPV biasa (Purnamasari PP., 2013).
Terdapat dua pilihan intervensi dengan teknik operasi yang dapat
dipilih, yaitu singular neurectomy (transeksi saraf ampula posterior) dan
oklusi kanal posterior semisirkular. Namun lebih dipilih teknik dengan
oklusi karena teknik neurectomi mempunyai risiko kehilangan pendengaran
yang tinggi (Purnamasari PP., 2013).

G. Prognosis
Secara umum prognosis dari vertigo baik, namun kejadian rekurensi timbulnya
vertigo cukup sering. Sehingga terapi yang adekuat dibutuhkan (Purnamasari
PP., 2013).

18
BAB III
KESIMPULAN

1. Vertigo merupakan gejala dari berbagai kelainan, baik pada organ pendengaran
maupun otak (medulla, pons, dan serebelum), sehingga secara umum
dikelompokkan atas vertigo sentral dan perifer.
2. Diagnosis dan penatalaksanaan vertigo secara umum dapat dilakukan di pusat
layanan kesehatan primer. Beberapa tindakan pemeriksaan keseimbangan
sederhana (tes Romberg, tes salah tujuk) dapat dilakukan pada praktik sehari-hari.
3. Terapi medikamentosa (obat antivertigo) sangat banyak pilihannya, dan harus
dipertimbangkan antara manfaat dan risiko penggunaannya

19
DAFTAR PUSTAKA

Copeland BJ, Pillsbury III CH. Vertigo. Dalam: Runge MS, Greganti MA, editor.
Netter internal medicine. Edisi ke-1. New Jersey: Icon Learning System;
2005. hlm. 725–7.

Edward Y, dan Roza Y. Diagnosis dan Tatalaksana Benign Paroxysmal Positional


Vertigo (BPPV) Horizontal Berdasarkan Head Roll Test. Jurnal Kesehatan
Andalas, 2014; 3(1): 77-81.

Huang Kuo C., Phang L., Chang R. Vertigo. Part 1-Assesement in General Practice.
Australian Family Physician 2008; 37(5):341-7

Joesoef AA, Kusmastuti K, editor. Neurootologi klinis vertigo. Jakarta: Airlangga


University Press; 2002

Johnson J, Lalwani AK. Vestibular disorders. Dalam: Lalwani AK, editor. Current
diagnosis and treatment in otolaryngology head and neck surgery. New York:
Mc Graw Hill Companies; 2004. hlm. 761-5.

Lumbantobing SM. Vertigo tujuh keliling. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia; 2003.

MacGregro DL. Vertigo. Pediatric in Review 2002:23(1):9-19

Purnamasari PP. Diagnosis dan tatalaksana benign paroxysmal positional vertigo


(BPPV). Balai Peneribit Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 2013;
2(6): 18-22.

Rascol O., Hain TC., Brefel C., et al. Antivertigo Medications and Drugs-Induced
Vertigo. A Pharmacological Review. Drugs 1995;50(5):777-91.

20

Anda mungkin juga menyukai