Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kurang Vitamin A (KVA) masih merupakan masalah yang tersebar di

seluruh dunia terutama di negara berkembang dan dapat terjadi pada

semua umur terutama pada masa pertumbuhan. KVA dalam tubuh dapat

menimbulkan berbagai jenis penyakit yang merupakan Nutrition Related Diseases

yang dapat mengenai berbagai macam anatomi dan fungsi dari organ

tubuh seperti menurunkan sistem kekebalan tubuh dan menurunkan epitelisme

sel-selkulit. Salah satu dampak kurang vitamin A adalah kelainan pada mata yang

umumnya terjadi pada anak usia 6 bulan - 4 tahun yang menjadi penyebab utama

kebutaan di negara berkembang (Priscilia, 2012).

KVA pada anak biasanya terjadi pada anak yang menderita Kurang Energi

Protein (KEP) atau Gizi buruk sebagai akibat asupan zat gizi yang sangat kurang,

termasuk zat gizi mikro seperti vitamin A. anak yang menderita KVA mudah

sekali terserang infeksi lain karena faya tahan anak tersebut menurun. Namun

masalah KVA dapat juga terjadi pada keluarga dengan penghasilan cukup. Hal ini

terjadi karena kurangnya pengetahuan orang tua tentang gizi yang baik. Gangguan

penyerapan usus juga dapat menyebabkan KVA walaupun ini sangat jarang

terjadi. Kurangnya konsumsi makanan (<80% AKG) yang berkepanjangan akan

menyebabkan anak menderita KVA, yang umumnya terjadi karena kemiskinan,

dimana keluarga tidak mampu memberikan makan yang cukup (Priscilia, 2012).
2

Sampai saat ini masalah KVA di Indonesia masih menunjukkan perhatian

yang serius. Meskipun hasil survey Xeroftalmia (1992) menunjukkan bahwa

berdasarkan kriteria WHO secara klinis KVA di Indonesia sudah tidak menjadi

masalah kesehatan masyarakat (< 0,5%). Namun pada survey yang sama

menunjukkan bahwa 50% balita masih menderita KVA SubKlinis (serum retinol <

20 ug/dl). Adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan

tahun 1997, dimana terjadi peningkatan kasus gizi buruk di berbagai daerah

mengakibatkan masalah KVA muncul kembali. Berdasarkan laporan dari

beberapa provinsi (Priscilia, 2012).

Xeroftalmia mulai dari tingkat ringan sampai berat bahkan menyebabkan

kebutaan. Ibarat fenomena gunung es dikhawatirkan kasus xeroftalmmia masih

banyak di masyarakat yang belum ditemukan dan dilaporkan oleh tenaga

kesehatan. Oleh karena itu, penting sekali untuk mendeteksi secara dini dan

menangani kasus xeroftalmia ini dengan cepat dan tepat agar tidak terjadi

kebutaan seumur hidup yang berakibat menurunnya kualitas Sumber Daya

Manusia (Priscilia, 2012).


3

BAB II

LAPORAN KASUS

ANAMNESIS

IDENTITAS

Nama : An. R
Usia : 2,5 tahun
Ayah : Tn A, 40 th
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Buruh tani
ibu : Ny B, 35 th
Pendidikan : SD
pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

KELUHAN UTAMA

Bintik putih di mata

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien datang dibawa ibunya ke Puskesmas dengan keluhan adanya bintik putih di

kedua matanya. Hal ini disadari ibunya sejak 1 bulan yang lalu. Sebelumnya bila

menjelang malam pasien sering terjatuh dan menabrak-nabrak bila berjalan.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Pasien sering batuk pilek dan diare.

RIWAYAT KELAHIRAN DAN PERSALINAN :


4

Lahir spontan di dukun bayi, berat badan dan panjang badan lahir tidak diketahui.

Pasien adalah anak pertama. Tidak ada keluhan ketika ibu hamil dan ibu tidak pernah

periksa ke bidan ataupun dokter selama hamil.

RIWAYAT TUMBUH KEMBANG DAN IMUNISASI

Riwayat tengkurap usia 5 bulan, duduk usia 1 tahun, berdiri usia 1,5 tahun dan

berjalan usia 2 tahun. Mendapatkan ASI namun tidak eksklusif. Kurang suka makan

maupun minum susu. Lauk biasanya nasi dengan kecap dan kerupuk. Pasien belum

mendapatkan imunisasi.

RIWAYAT TERAPI

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan Umum : baik


Kesadaran : compos mentis
Vital Sign : N 100 x/menit, RR 20 x/menit, T Ax 36,8C TB 80 cm BB 8 kg

KEPALA/LEHER

Kepala : (mata di status lokalis), rambut mudah dicabut, warna coklat, kusut.
Leher : tidak ada kelainan
5

THORAKS

Cor : ictus cordis mid clavicular line sinistra, HR 100 x/menit reguler, bising (-)
Pulmo : simetris, vesikuler, ronkhi/wheezing (-)

ABDOMEN

: supel, pot belly

EKSTREMITAS SUPERIOR / INFERIOR

: simetris, hangat, kulit kusam dan kering.

Status Lokalis Pemeriksaan Oftalmologis

Pemeriksaan dengan head loupe dan senter + oftalmoskop direk

Sulit dievaluasi AV Sulit dievaluasi


n/p TIO n/p
Keduduka

Orthoforia
Pergerakan
tenang P Tenang
Bercak Bitot + CB Bercak Bitot +
6

Jernih C Jernih
Dalam COA Dalam
Bulat, sentral, reflek cahaya + I/P Bulat, sentral, refleks cahaya +
Jernih L Jernih
Jernih V Jernih
Papil bulat, batas tegas, CDR 0,3 F Papil bulat, batas tegas, CDR 0,3

aa/vv 2/3, RM +, retina baik aa/vv 2/3, RM +, retina baik

DIAGNOSA BANDING

PTERYGIUM

DIAGNOSA KERJA

XEROPHTHALMIA GRADE X IB

PENATALAKSANAAN

1 X 200.000 SELAMA 14 HARI

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Xerophtalmia adalah istilah yang menerangkan gangguan kekurangan

vitamin A. Xerophtalmia berasal dari bahasa Yunani (xeros=kering; ophtalmos=

mata) yang berarti kekeringan pada mata akibat mata gagal memproduksi air mata
7

atau yang dikenal dengan dry eye yang mengakibatkan konjungtiva dan kornea

kering (Ilyas, 2011).

B. Etiologi

Penyebab terjadinya xerophthalmia adalah karena kurangnya Vitamin A.

Faktor-faktor yang menjadi penyebab tingginya kasus xerophthalmia di Indonesia

adalah (Ilyas, 2011):

1. Konsumsi makanan yang tidak mengandung cukup vitamin A atau Pro

Vitamin A untuk jangka waktu yang lama.

2. Bayi tidak diberikan ASI eksklusif.

3. Menu tidak seimbang (kurang mengandung lemak, protein, Zn/seng

atau zat gizi lainnya) yang diperlukan untuk penyerapan Vitamin A

dalam tubuh.

4. Adanya gangguan penyerapan Vitamin A atau Pro Vitamin A seperti

pada penyakit-penyakit antara lain, diare kronik, KEP dan lain-lain.

5. Adanya kerusakan hati seperti pada kwashiorkor dan hepatitis kronis,

menyebabkan gangguan pembentukan RBP (Retinol Binding Protein)

dan pre-albumin yang penting dalam penyerapan Vitamin A.

C. Faktor Risiko

Faktor resiko terjadinya xeroftalmia dapat dipengaruhi oleh tiga faktor berikut

(Depkes RI, 2007):


1. Faktor Sosial budaya dan lingkungan dan pelayanan kesehatan
a. Ketersediaan pangan sumber vitamin A
b. Pola makan dan cara makan
c. Adanya paceklik atau rawan pangan
8

d. Adanya tabu atau pantangan terhadap makanan tertentu terutama yang

merupakan sumber Vit A.


e. Cakupan imunisasi, angka kesakitan dan angka kematian karena penyakit

campak dan diare


f. Sarana pelayanan kesehatan yang sulit dijangkau
g. Kurang tersedianya air bersih dan sanitasi lingkungan yang kurang sehat
h. Keadaan darurat antara lain bencana alam, perang dan kerusuhan
2. Faktor Keluarga
a. Pendidikan orang tua yang rendah akan berisiko lebih tinggi kemungkinan

anaknya menderita KVA karena pendidikan yang rendah biasanya disertai

dengan keadaan sosial ekonomi dan pengetahuan gizi yang kurang.


b. Penghasilan keluarga yang rendah akan lebih berisiko mengalami KVA.

Walaupun demikian besarnya penghasilan keluarga tidak menjamin

anaknya tidak mengalami KVA, karena harus diimbangi dengan

pengetahuan gizi yang cukup sehingga dapat memberikan makanan kaya

vitamin A.
c. Jumlah anak dalam keluarga jika semakin banyak anak semakin kurang

perhatian orang tua dalam mengasuh anaknya.


d. Pola asuh anak yang mengarah pada kurangnya perhatian keluarga

terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak seperti pasangan suami

istri (pasutri) yang bekerja dan perceraian.


3. Faktor individu
a. Anak dengan Berat Badan Lahir Rendah (BB < 2,5 kg).
b. Anak yang tidak mendapat ASI Eksklusif dan tidak diberi ASI sampai usia

2 tahun.
c. Anak yang tidak mendapat MP-ASI yang cukup baik kualitas maupun

kuantitas
d. Anak kurang gizi atau dibawah garis merah (BGM) dalam KMS.
e. Anak yang menderita penyakit infeksi (campak, diare, Tuberkulosis

(TBC), Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), pneumonia dan


9

kecacingan.
f. Frekuensi kunjungan ke posyandu, puskesmas atau pelayanan kesehatan

(untuk mendapatkan kapsul vitamin A dan imunisasi).

D. Tanda dan Gejala

Xeroftalmia biasanya merupakan akibat dari KVA yang progressif. KVA

dapat menyebabkan kelainan sistemik yang mempengaruhi jaringan epitel dari

organ-organ seluruh tubuh, termasuk paru-paru, usus, mata dan organ lain, akan

tetapi gambaran yang karakteristik langsung terlihat pada mata. Kelainan kulit

umumnya terlihat pada tungkai bawah bagian depan dan lengan atas bagian

belakang, kulit tampak kering dan bersisik seperti sisik ikan. Kelainan ini selain

disebabkan karena KVA dapat juga disebabkan karena kekurangan asam lemak

essensial, kurang vitamin golongan B atau Kurang Energi Protein (KEP) tingkat

berat atau gizi buruk (Samosir dkk, 2015).

Gejala klinis KVA pada mata akan timbul bila tubuh mengalami KVA

yang telah berlangsung lama. Gejala tersebut akan lebih cepat timbul bila anak

menderita penyakit campak, diare, ISPA dan penyakit infeksi lainnya. Tanda-

tanda dan gejala klinis KVA pada mata menurut klasifikasi WHO/USAID

UNICEF/HKI/ IVACG, 1996 sebagai berikut:

1. XN : buta senja (hemeralopia, nyctalopia)

2. XIA : xerosis konjungtiva

3. XIB : xerosis konjungtiva disertai bercak bitot

4. X2 : xerosis kornea

5. X3A : keratomalasia atau ulserasi kornea kurang dari 1/3 permukaan


10

kornea.

6. X3B : keratomalasia atau ulserasi sama atau lebih dari 1/3 permukaan

kornea

7. XS : jaringan parut kornea (sikatriks/scar)

8. XF : fundus xeroftalmia.

XN, XIA, XIB, X2 biasanya dapat sembuh kembali normal dengan

pengobatan yang baik. Pada stadium X2 merupakan keadaan gawat darurat yang

harus segera diobatikarena dalam beberapa hari bias berubah menjadi X3. X3A

dan X3B bila diobati dapat sembuh tetapi dengan meninggalkan cacat yang

bahkan dapat menyebabkan kebutaan total bila lesi (kelainan) pada kornea cukup

luas sehingga menutupi seluruh kornea (optic zone cornea) (Kurihayashi dkk,

2015).

Gambar 2.2 Makroskopis Xerophthalmia (WHO, 1995)

F. Penegakan Diagnosis
11

Diagnosis xeroftalmia ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan khusus. Pemeksisaan laboratorium dapat digunakan untuk

mendukung diagnose kekurangan vitamin A, bila secara klinis tidak ditemukan

tanda-tanda khas KVA, namun hasil pemeriksaan lain menunjukkan bahwa anak

tersebut risiko tinggi untuk menderita KVA. Pemeriksaan laboratorium lain dapat

dilakukan untuk mengetahui penyakit lain yang dapat memperparah seperti pada

penderita malaria, TBC, Pneumonia dan gangguan funsi hati. Pemeriksaan

laboratorium dapat dilakukan di Puskesmas, Rumah Sakit / Labkesda atau

BKMM, sesuai dengan ketersediaan sarana laboratorium (Samosir, 2015).


1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk mengetahui faktor risiko tinggi yang

menyebabkan anak rentan menderita xeroftalmia. Secara lengkapnya,

anamnesis yang perlu ditanyakan kepada penderita atau keluarga penderita

adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2007):


a. Identitas penderita dan orang tua
1) Nama
2) Umur
3) Jenis kelamin
4) Jumlah saudara dalam keluarga
5) Jumlah saudara balita dalam keluarga
6) Anak ke berapa
7) Berat Lahir : Normal/BBLR
8) Nama ayah/ibu
9) Alamat/tempat tinggal
10) Pendidikan
11) Pekerjaan
12) Status Perkawinan
b. Keluhan Penderita
1) Keluhan Utama: Ibu mengeluh anaknya tidak bisa melihat pada sore

hari (buta senja) atau ada kelainan pada matanya. Kadang-kadang


12

keluhan utama tidak berhubungan dengan kelainan pada mata seperti

demam.
2) Keluhan Tambahan: Tanyakan keluhan lain pada mata tersebut dan

kapan terjadinya. Lalu upaya apa yang telah dilakukan untuk

pengobatannya.
c. Kontak dengan pelayanan kesehatan
Tanyakan apakah anak ditimbang secara teratur mendapatkan

imunisasi, mendapat suplementasi kapsul vitamin A dosis tinggi dan

memeriksakan kesehatan baik di posyandu atau puskesmas (cek dalam

buku KIA/KMS anak).

d. Riwayat pola makan anak

1) Apakah anak mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan?

2) Apakah anak mendapatkan MP-ASI setelah umur 6 bulan? Sebutkan

jenis dan frekuensi pemberiannya

3) Bagaimana cara memberikan makan kepada anak: Sendiri / Disuapi.

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui tanda-tanda atau gejala

klinis dan menentukan diagnosis serta pengobatannya, terdiri dari

pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus atau pemeriksaan mata.

Pemeriksaan umum dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit-penyakit

yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan timbulnya xeroftalmia

seperti gizi buruk, penyakit infeksi, dan kelainan fungsi hati. Pemeriksaan

mata untuk melihat tanda Xeroftalmia dengan menggunakan senter yang

terang (loop) (Kurihayashi, 2015).


Pemeriksaan umum meliputi pengukuran berat badan dan tinggi badan
13

(Antropometri) dan penilaian Status gizi untuk mengetahui apakah anak

menderita gizi kurang atau gizi buruk. Sedangkan pemeriksaan khusus

dilakukan dengan cara memeriksa adanya tanda-tanda xeroftalmia seperti

kulit kering atau bersisik. Pemeriksaan mata digunakan untuk melihat tanda

Xeroftalmia dengan menggunakan senter yang terang (loop). Pada

pemeriksaan mata perlu diperhatikan hal-hal berikut (Samosir, 2015):


a. Apakah ada tanda kekeringan pada konjungtiva (X1A)
b. Apakah ada bercak bitot (X1B)
c. Apakah ada tanda-tanda xerosis kornea (X2)
d. Apakah ada tanda-tanda ulkus kornea dan keratomalasia (X3A/X3B)
e. Apakah ada tanda-tanda sikatriks akibat xeroftalmia (XS)
f. Apakah ada gambaran seperti cendol pada fundus oculi dengan

opthalmoscope (XF)

3. Pemeriksaan penunjang
a. Pada penelitian serum retinol binding protein (RBP) mudah untuk

dilakukan, karena RBP adalah protein dan dapat dideteksi oleh tes

imunologi. RBP juga senyawa yang lebih stabil dari retinol sehubungan

dengan cahaya dan suhu. Namun, tingkat keakuratan RBP kurang akurat,

karena dipengaruhi oleh konsentrasi proein serum dan karena jenis RBP

tidak dapat dibedakan (Gorstein, Dary, Pongtorn, et al., 2008).


b. Uji adaptasi gelap (Garcia, Schwab, 2007).

G. Patofisiologi

Terjadinya defisiensi vitamin A berkaitan dengan berbagai faktor

dalam hubungan yang komplek seperti halnya dengan masalah kekurangan

kalori protein (KKP). Makanan yang rendah dalam vitamin A biasanya juga
14

rendah dalam protein, lemak dan hubungannya antar hal-hal ini merupakan

faktor penting dalam terjadinya defisiensi vitamin A. Setelah dicerna, vitamin

pro A dilepaskan dari protein dalam lambung. ester retinil ini kemudian

dihidrolisis untuk retinol dalam usus kecil, karena retinol lebih efisien diserap.

Karotenoid yang dibelah di mukosa usus menjadi molekul retinaldehid, yang

kemudian diubah menjadi retinol dan kemudian diesterifikasi untuk menjadi

ester retinil. Ester retinil dari retinoid dan asal karotenoid diangkut melalui

misel dalam drainase limfatik dari usus ke dalam darah dan kemudian ke hati

sebagai komponen dari kilomikron. Di dalam tubuh, 50-80% dari vitamin A

disimpan di hati, dimana ia terikat pada RBP selular. Vitamin A yang tersisa

disimpan ke dalam jaringan adiposa, paru-paru, dan ginjal sebagai ester

retinil, paling sering sebagai retinyl palmitate (Ansstas, 2014).

Retinyl palmitate kemudian berjalan melalui sistem limfatik ke hati

untuk disimpan. Dengan adanya kebutuhan metabolik untuk vitamin A,

retinyl palmitate dihidrolisis dan retinol yang dibentuk kembali mengalami

perjalanan melalui aliran darah, yang melekat pada retinol binding protein

(RBP) untuk jaringan tempat yang membutuhkan. Penyimpanan zat didalam

tubuh yang memadai berupa Zn dan protein diperlukan untuk pembentukan

RBP, tanpa RBP, vitamin A tidak dapat diangkut ke jaringan target (Ansstas,

2014).

Vitamin A merupakan “body regulators” dan berhubungan erat dengan

proses-proses metabolisme. Secara umum fungsi tersebut dapat dibagi dua (1)

berhubungan dengan penglihatan dan (2) tidak berhubungan dengan


15

penglihatan. Fungsi yang berhubungan dengan penglihatan dijelaskan melalui

mekanisme Rods yang ada di retina yang sensitif terhadap cahaya dengan

intensitas yang rendah, sedang Cones untuk cahaya dengan intensitas yang

tinggi dan untuk menangkap cahaya berwarna. Pigmen yang sensitif terhadap

cahaya dari Rods disebut sebagai Rhodopsin, yang merupakan kombinasi dari

Retinal dan protein opsin. Ada dua macam sel reseptor pada retina, yaitu sel

kerucut (sel konus) dan sel batang (sel basilus). Sel konus berisi pigmen

lembayung dan sel batang berisi pigmen ungu. Kedua macam pigmen akan

terurai bila terkena sinar, terutama pigmen ungu yang terdapat pada sel

batang. Oleh karena itu, pigmen pada sel basilus berfungsi untuk situasi

kurang terang, sedangkan pigmen dari sel konus berfungsi lebih pada suasana

terang yaitu untuk membedakan warna, makin ke tengah maka jumlah sel

batang makin berkurang sehingga di daerah bintik kuning hanya ada sel konus

saja (Ansstas, 2014).

Pigmen ungu yang terdapat pada sel basilus disebut rodopsin, yaitu

suatu senyawa protein dan vitamin A. Apabila terkena sinar, misalnya sinar

matahari, maka rodopsin akan terurai menjadi protein dan vitamin A.

Pembentukan kembali pigmen terjadi dalam keadaan gelap. Untuk

pembentukan kembali memerlukan waktu yang disebut adaptasi gelap

(disebut juga adaptasi rodopsin). Pada waktu adaptasi, mata sulit untuk

melihat. Pigmen lembayung dari sel konus merupakan senyawa iodopsin yang

merupakan gabungan antara retinin dan opsin. Ada tiga macam sel konus,

yaitu sel yang peka terhadap warna merah, hijau, dan biru. Dengan ketiga
16

macam sel konus tersebut mata dapat menangkap spektrum warna. Kerusakan

salah satu sel konus akan menyebabkan buta warna (Ansstas, 2014).

Efek lain dari vitamin A pada penglihatan yang berpengaruh secara

tidak langsung ialah pada epitel kornea dan konjungtiva. Pada keadaan

defisiensi, epitel menjadi kering dan terjadi keratinisasi seperti tampak pada

gambaran Xerophthalmia. Xeroftalmia merupakan mata kering yang terjadi

pada selaput lendir (konjungtiva) dan kornea (selaput bening) mata.

Xeroftalmia yang tidak segera diobati dapat menyebabkan kebutaan.

Xeroftalmia terjadi akibat kurangnya konsumsi vitamin A pada bayi, anak-

anak, ibu hamil, dan menyusui (Ansstas, 2014).

H. Penatalaksanaan

1. Terapi vitamin A
17

Tabel 2.2 Jadwal dan dosis pemberian kapsul vitamin A (Nurvalinda,

2012).
a. Pemberian Obat Mata
Obat tetes/ salep mata antibiotik tanpa kortikosteroid

(tetrasiklin 1%, Kloramfenikol 0.25-1% dan gentamisin 0.3%)

diberikan pada penderita X2,X3A,X3B dengan dosis 4 x 1 tetes/hari

dan berikan juga tetes mata atropin 1% 3 x 1 tetes/hari. Pengobatan

dilakukan sekurang-kurangnya 7 hari sampai semua gejala pada mata

menghilang. Mata yang terganggu harus ditutup dengan kasa selama

3-5 hari hingga peradangan dan iritasi mereda. Gunakan kasa yang

telah dicelupkan kedalam larutan Nacl 0,26 dan gantilah kasa setiap

kali dilakukan pengobatan. Lakukan tindakan pemeriksaan dan

pengobatan dengan sangat berhati-hati. Selalu mencuci tangan pada

saat mengobati mata untuk menghindari infeksi sekunder, Segera rujuk

ke dokter spesialis mata untuk mendapat pengobatan lebih lanjut

(Nurvalinda, 2012).
b. Terapi Gizi
1) Energi
Pada kasus gizi buruk, diberikan bertahap mengikuti fase

stabilisasi, transisi dan rehabilitasi, yaitu 80-100 kalori/kg BB, 150

kalori/ kg BB dan 200 kalori/ kg BB (Oetama, Djaeni, 2008).


2) Protein
Protein diberikan tinggi, mengingat peranannya dalam

pembentukan Retinol Binding Protein dan Rodopsin. Pada gizi

buruk diberikan bertahap yaitu: 1 - 1,5 gram/ kg BB / hari ; 2 - 3

gram/ kg BB / hari dan 3 - 4 gram/ kg BB / hari (Oetama, Djaeni,


18

2008).
3) Lemak
Lemak diberikan cukup agar penyerapan vitamin A optimal.

Pemberian minyak kelapa yang kaya akan asam lemak rantai

sedang (MCT=Medium Chain Tryglycerides). Penggunaan minyak

kelapa sawit yang berwarna merah dianjurkan, tetapi rasanya

kurang enak (Oetama, Djaeni, 2008).


c. Pemantauan dan Respon Pengobatan dengan kapsul vitamin A

XN : Reaksi pengobatan terlihat dalam 1-2 hari setelah

diberikan kapsul vitamin A

XIA & XIB : Tampak perbaikan dalam 2-3 hari, dan gejala-gejala

menghilang dalam waktu 2 minggu

X2 : Tampak perbaikan dalam 2-5 hari, dan gejala-gejala

menghilang dalam waktu 2-3 minggu

X3A & X3B : Penyembuhan lama dan meninggalkan cacat mata.

Pada tahap ini penderita harus berkonsultasi ke

dokter spesialis mata Rumah Sakit/BKMM agar

tidak terjadi kebutaan

d. Rujukan

1) Anak segera dirujuk ke puskesmas bila ditemukan tanda-tanda

kelainan XN, X1A, X1B, X2.

2) Anak segera dirujuk ke dokter Rumah Sakit/ Spesialis

Mata/BKMM bila ditemukan tanda-tanda kelainan mata X3A,

X3B, XS.
19

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, diagnosa pasien dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,

dan pemeriksaan oftalmologi. Pasien mengeluhkan ada bintik putih di mata, hal

ini bisa di sebabkan karena pterigium atau penumbuhan jaringan ke mata atau

bisa karena kekurangan vitamin A yang bisa menyebabkan ternyadinya xirosis

conjungtiva dengan bercak putih atau bitot pada mata yang mengindikasikan

mengalami penyakit xerophthalmia.

Dari anamnesa juga didapatkan faktor resiko ternyadinya xirosis conjungtiva

karena kekurangan vitamin A, bisa di lihat dari riwayat pola makan yang kurang

suka makan, minum susu dan kebiasaan makan dengan lauk kecap dan kerupuk

seangkan riwayat pemberian ASI tidak eksklusif. Pemeriksaan fisik di dapatkan

rambut yang mudah di cabut, warna coklat dan kusut. Dari anamnesa dan

pemeriksaan fisik itu dapat di simpulkan bahwa pasien kekurangan vitamin A

sehingga terjadi xirosis conjungtiva dengan bercak bitot.

Penatalaksanaan pada pasien ini adalah dengan pemberian vitamin 200.000 di

beriakan selama 14 hari, di harapkan nanti akan terjadi berbaikan dari xirosis

conjungtivitis. Pada hari ke 7 akan tampak pemulihan dari penglihatan dan

berangsur- angsur pulih sampai hari ke 14 hari.

Di samping dengan terapi vitamin A di tambahkan dengan makanan yang bergizi

untuk memperbaiki dari stabilisasi gizi dan pembentukan Retinol Binding Protein

dan Rodopsin.
20

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Xerophtalmia adalah istilah yang menerangkan gangguan kekurangan vitamin

A, Tanda dan gejala klinis yang dialami adalah adanya xerosis konjungtiva, xerosis

kornea, ulserasi kornea, jaringan parut kornea, serta fundus xeroftalmia. Sedangkan

Terapi untuk xeroftalmia adalah dengan pemberian vitamin A, obat tetes mata

antibiotic tanpa kortikosteroid, terapi gizi, ataupun tindakan operatif.


21

DAFTAR PUSTAKA

Ansstas, G. 2014. “Vitamin A Deficiency Treatment & Management”. Attending

Physician in Leukemia and Bone Marrow Transplant and Oncology,

Washington University School of Medicine. Available at

http://emedicine.medscape.com/article/126004-treatment (diakses pada Sabtu

12 Maret 2016).

Depkes Kesehatan RI. 2007. Deteksi dan Tatalaksana Kasus Xeroftalmia: Pedoman

Bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta.

Ilyas, Sidarta. 2011. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

Kurihayashi, A.Y., Augusto, R.A., Escaldelai, F.M.D. and Martini, L.A., 2015.

Vitamin A and D status among child participants in a food supplementation

program. Cadernos de Saúde Pública, 31(3), pp.531-542.

Oetama, S, Djaeni, A. 2008. Vitamin dalam Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi.

Jilid I. Jakarta: Dian Rakyat. Hal. 111-112.

Priscilia et al. 2012. “Referat Xeroftalmia”. Fakultas Kedokteran Universitas Kristen

Indonesia. Available at https://www.scribd.com/doc/98074258/Referat-

Xeroftalmia-Dr-Jannes (diakses pada Sabtu 12 Maret 2016).


22

Samosir, H., 2015. Hubungan Pengetahuan Bidan Tentang Vitamin A Dengan

Cakupan Pemberian Vitamin A Pada Ibu Nifas di BPS Wilayah Kerja

Puskesmas Tegal Sari Kecamatan Medan Denai Tahun 2013.

WHO. 1995. “Vitamin A Deficiency and Its Consequences”. Available at

http://www.who.int/nutrition/publications/vad_consequences.pdf (diakses

pada Sabtu 12 Maret 2016).

Anda mungkin juga menyukai