Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH PATOFISIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR

ALERGI DAN INTOLERANSI MAKANAN

Dosen Pengampu:

Fildzah Badzlina, S.Gz,. M.K.M

Disusun Oleh:

Esa Nursalsabilla 1905025015

Bangun Mahardika 1905025045

Safira Rahmadita N 1905025057

Muhammad Fauzan S 1905025092

Ina Sulistiawati 1905025111

Nur Azizah Hidayati 1905025171

PROGRAM STUDI GIZI

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA

JAKARTA

2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum, Wr. Wb

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena dengan segala
Rahmat dan Karunia-Nya, kami diberi kesempatan untuk menyelesaikan tugas
makalah Patofisologi Penyakit Tidak Menular yang berjudul “Alergi dan
Intoleransi Makanan”.Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas perkuliahan
semester IV.

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu yang telah
memberi ilmu dan membantu dalam menyelesaikan tugas ini dengan baik dan
tepat pada waktunya.

Penulis mohon maaf apabila dalam pembuatan tugas ini masih banyak
kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun demi perbaikan penulis di masa yang akan datang.

Atas perhatian dan kerja sama teman-teman beserta dosen pengampu kami
ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, April 2021

Penulis

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................ii
BAB I...............................................................................................................1
PENDAHULUAN............................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................1
C. Tujuan...................................................................................................2
BAB II..............................................................................................................3
PEMBAHASAN...............................................................................................3
1. Alergi.....................................................................................................3
A. Patofisiologi Alergi.............................................................................3
B. Definisi Alergi.....................................................................................4
C. Prevalensi Alergi................................................................................4
D. Faktor Risiko Alergi...........................................................................5
E. Manifestasi Alergi..............................................................................7
F. Penatalaksanaan Alergi.....................................................................8
G. Pencegahan Alergi............................................................................14
2. Intoleransi Makanan...........................................................................15
A. Patofisiologi Intoleransi Makanan...................................................15
B. Definisi Intoleransi Makanan...........................................................17
C. Etiologi Intoleransi Makanan...........................................................17
D. Faktor Risiko Intoleransi Makanan.................................................17
E. Penatalaksanaan Intoleransi Makanan............................................20
F. Manifestasi Intoeransi Makanan......................................................20
BAB III...........................................................................................................21
PENUTUP......................................................................................................21
A. Kesimpulan..........................................................................................21

II
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................22

III
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Tidak Menular (PTM) merupakan penyakit yang
dianggap tidak dapat ditularkan dari seseorang kepada orang lain, sehingga
bukan merupakan sebuah ancaman bagi orang lain. Penyakit Tidak
Menular (PTM) dapat terjadi akibat interaksi antara agent (non living
agent) dengan host atau dalam hal ini adalah manusia (faktor predisposisi,
infeksi, dan lain-lain) serta lingkungan sekitar (source and vehicle of
agent).
PTM dapat dicegah apabila faktor risiko yaitu konsumsi rokok,
pola makan yang tidak seimbang, kurangnya olahraga serta faktor risiko
lainnya dapat dikendalikan. Pencegahan dan penanggulangan PTM
merupakan kombinasi upaya inisiatif pemeliharaan kesehatan mandiri oleh
petugas dan individu yang bersangkutan, seperti melakukan pendekatan
promosi dan pencegahan terhadap PTM.
Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang diperantarai oleh
mekanisme imunolgi, yaitu reaksi atau respon tubuh yang berlebihan
terhadap alergen. Alergi merupakan salah satu penyakit tidak menular
yang dapat dialami oleh siapapun baik itu bayi hingga ke lansia sekalipun.
Intoleransi Makanan merupakan reaksi yang merugikan terhadap
makanan yang dapat terjadi karena cara tubuh memperoses makanan atau
komponen yang ada pada makanan. Contoh intoleransi pada makanan
adalah intoleransi lactase yaitu intoleransi pada makanan yang
mengandung laktosa dan susu.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Patofisiologi dari Alergi?
2. Apakah Definisi dari Alergi?
3. Bagaimanakan Prevalensi Alergi?
4. Apa sajakah Faktor Risiko dari Alergi?

1
5. Bagaimanakah Manifestasi Alergi?
6. Bagaimanakah Penatalaksanaan Alergi?
7. Bagaimanakah Cara Pencegahan Alergi?
8. Bagaimanakah Patofisiologi dari Intoleransi Makanan?
9. Apakah Definisi dari Intoleransi Makanan?
10. Apa Etiologi dari Intoleransi Makanan?
11. Apa sajakah Faktor Risiko dari Intoleransi Makanan?
12. Bagaimanakah Penatalaksanaan Intoleransi Makanan?
13. Apa Manifestasi dari Intoleransi Makanan ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Patofisiologi Alergi
2. Untuk mengetahui Definisi dari Alergi.
3. Untuk mengetahui Prevalensi Alergi
4. Untuk mengetahui apa saja Faktor Risiko dari Alergi.
5. Untuk mengetahui Manifestasi Alergi.
6. Untuk mengetahui Penatalaksanaan Alergi.
7. Untuk mengetahui cara Pencegahan Alergi.
8. Untuk mengetahui Patofisiologi Intoleransi Makanan.
9. Untuk mengetahui Definisi dari Intoleransi Makanan.
10. Untuk mengetahui Etiologi dari Intoleransi Makanan.
11. Untuk mengetahui apa saja Faktor Risiko dari Intoleransi Makanan.
12. Untuk mengetahui bagaimana Penatalaksanaan Intoleransi Makanan.
13. Untuk mengetahui Manifestasi dari Intoleransi Makanan ?

14.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. ALERGI
1. Patofisiologi Alergi
Patofisiologi alergi terjadi akibat pengaruh mediator pada organ
target. Mediator tersebut dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator yang
sudah ada dalam granula sel mast (performed mediator) dan mediator yang
terbentuk kemudian (newly fored mediator). Menurut asalnya mediator ini
dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator dari sel mast atau basofil
(mediator primer), dan mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh
mediator primer (mediator sekunder).
Mekanisme alergi terjadi akibat induksi IgE yang spesifik terhadap
alergen tertentu berikatan dengan mediator alergi yaitu sel mast. Reaksi
alergi dimulai dengan cross-linking dua atau lebih IgE yang terikat pada
sel mast atau basofil dengan alergen. Rangsang ini meneruskan sinyal
untuk mengaktifkan system nukleotida siklik yang meninggikan rasio
cGMP terhadap cAMP dan masuknya ion Ca++ ke dalam sel. Peristiwa ini
akan menyebabkan pelepasan mediator lain.
Mediator yang telah ada di dalam granula sel mast diantaranya
histamin, eosinophil chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A), dan
neutrophil chemotactic factor (NCF). Histamin memiliki peranan penting
pada fase awal setelah kontak dengan alergen (terutama pada mata,
hidung, dan kulit). Histamin dapat menyebabkan hidung tersumbat, berair,
sesak napas, dan kulit gatal. Histamin menyebabkan kontraksi otot polos
bronkus dan menyebabkan bronkokonstriksi. Pada sistem vaskular
menyebabkan dilatasi venula kecil, sedangkan pada pembuluh darah yang
lebih besar konstriksi karena kontraksi otot polos. Histamin meninggikan
permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler. Perubahan vaskular
menyebabkan respons wheal-flare (triple respons dari Lewis) dan jika
terjadi secara sistemik dapat menyebabkan hipotensi, urtikaria, dan
angioderma. Pada traktus gastrointestinal, histamin menaikkan sekresi

3
mukosa lambung dan apabila pelepasan histamin terjadi secara sistemik,
aktivitas otot polos usus dapat meningkat dan menyebabkan diare dan
hipermotilitas.

2. Definisi Alergi
Alergi adalah suatu reaksi sistem imun tubuh yang bersifat spesifik
terhadap rangsangan suatu bahan yang disebut alergen yang mempunyai
pengaruh berbeda pada orang yang berbeda (Soedarto, 2012). Istilah alergi
pertama kali digunakan oleh Clemens tahun 1906 yang diartikan sebagai
“reaksi pejamu yang berubah” bila terpajan dengan bahan yang sama
untuk kedua kalinya atau lebih (Baratawidjaja, 2006).
Alergi merupakan suatu reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh
mekanisme imunologis, akibat dari induksi oleh IgE yang spesifik
terhadap alergen tertentu yang berikatan dengan sel mast, reaksi timbul
akibat paparan terhadap alergen. Penyakit alergi ini, meningkat seiring
dengan pengaruh paparan alergen dan lingkungan (Wistiani dan
Notoadmojo, 2011).

3. Prevalensi Alergi
 Prevalensi alergi makanan :
Prevalensi alergi makanan di Indonesia adalah 5 sampai 11%.
Dalam beberapa tahun terakhir, angka kejadian alergi terus meningkat tajam
baik di dalam negeri maupun luar negeri. World Allergy Organization
(WAO) menyebutkan 22% penduduk dunia menderita alergi dan terus
meningkat setiap tahun. Dalam studi tahun 2014, diperkirakan kasus alergi
makanan terjadi pada 5% usia dewasa dan 8% pada anak-anak. Pada negara
barat, kasus alergi makanan berkisar 10% dan prevalensi tertinggi pada
anak-anak.
 Prevalensi alergi kulit:
Kejadian dermatitis di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia,
dan negara Industri lain memiliki prevalensi dermatitis atopik 10 sampai
20% pada anak dan 1-3% terjadi pada orang dewasa. Sedangkan di Negara

4
Agraris misalnya China, Eropa Timur, Asia Tengah memiliki prevalensi
Dermatitis Atopik lebih rendah. Prevalensi dermatitis di Indonesia sebesar
6,78% Di Indonesia prevalensi dermatitis kontak sangat bervariasi. Sekitar
90% penyakit kulit akibat kerja merupakan dermatitis kontak, baik iritan
maupun alergik. Penyakit kulit akibat kerja yang merupakan dermatitis
kontak sebesar 92,5%, sekitar 5,4% karena infeksi kulit dan 2,1% penyakit
kulit karena sebab lain. Pada studi epidemiologi, Indonesia memperlihatkan
bahwa 97% dari 389 kasus adalah dermatitis kontak, dimana 66,3%
diantaranya adalah dermatitis kontak iritan dan 33,7% adalah dermatitis
kontak alergi.
 Prevalensi rinitis alergi:
Studi-studi epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi dari
rinitis alergi telah meningkat secara progresif di negara-negara yang lebih
maju, dan saat ini mempengaruhi hingga 40% populasi di dunia; dengan
23%-30% dari populasi yang terpengaruhi di Eropa, dan 12%- 30% dari
populasi yang terpengaruhi di Amerika Serikat. Tetapi, informasi yang
tersedia di negara-negara berkembang masih sedikit dibandingkan dengan
negara-negara yang lebih maju. Prevalensi rinitis alergi di Indonesia
memiliki rentang antara 1,5-12,3%, dan cenderung meningkat setiap
tahunnya.
 Prevalensi alergi obat:
Penyakit alergi termasuk diantaranya rinitis alergi, asma alergi, dermatitis
alergi, konjungtivitis alergi, anafilaksis, reaksi alergi makanan atau alergi
obat merupakan mayoritas penyakit yang mengenai hampir 22% populasi di
dunia (He et al., 2013).

4. Faktor Risiko Alergi


a. Genetik:
Determinan terkuat dari penyakit alergi pada anak adalah orang
tua yang menderita alergi. Hal ini disebakan karena kecenderungan
aktivitas faktor-faktor modifikasi dari ekspresi genetik yang dimiliki

5
oleh kedua orang tua, yang akan diturunkan kepada anaknya dan akan
menjadi cetakan perintah pada saat pemrogaman epigenetik.

b. Paparan Mikroba:
Anak yang tinggal di tempat bersih kurang mendapatkan paparan
mikroba, sehingga mengakibatkan kurang aktifnya Th1 sehingga terjadi
pergeseran aktifitas Th2 yang berkontribusi pada terjadinya penyakit
alergi.
c. Hewan Peliharaan:
Bulu dari hewan peliharaan seperti bulu kucing dan anjing
ataupun hewan peliharaan lain merupakan alergen hirup penyebab
terjadinya serangan asma. Selain bulu, allergen dari hewan peliharaan
juga dapat berupa sisik kulit yang mati, liur, urine dam tinja.
d. Paparan Asap Rokok:
Asap rokok mengandung beberapa partikel yang dapat dihirup
seperti hidrokarbon polisiklik, karbonmonoksida, nikotin,
nitrogendioksida, dan aklerin. Asap rokok dapat menyebabkan
kerusakan epitel berisilia, menurunkan klirens mukosiliar, dan
menghambat aktivitas fagosit serta efek bakterisid makrofag sehingga
dapat terjadi hipereaktivitas bronkus.
e. Asupan Makanan
Jenis makanan yang paling banyak menyebabkan alergi pada
anak-anak dan dewasa adalah udang, putih telur, dan tepung maizena,
serta susu sapi dan tepung terigu.
f. Pemberian ASI
Pemberian ASI ekslusif pada 6 bulan pertama kehidupan bayi
krusial dalam kejadian penyakit alergi terutama alergi makanan. Hal ini
dikarenakan kandungan sekretori Immunoglobulin A (S-IgA) yang
dimiliki ASI berperan sentral dalam perlindungan mukosa saluran cerna
bayi yang belum matur.
g. Usia Saat Terpapar Antigen

6
Usia bayi dikatakan sebagai faktor risioko alergi susu sapi (ASS)
dikarenakan dengan bertambahnya umur, akan terjadi maturasi barrier
terhadap antigen makanan sehingga terjadi toleransi mukosa terhadap
pencernaan terhadap susu sapi anak sebanyak 85% pada anak usia 3
tahun.
h. Penggunaan Antibiotik
Penggunaan antibiotik oral oleh ibu hamil trimester 3 atau saat
menyusui maupun pada anak dapat mempengaruhi komposisi norma
flora usus anak, padahal flora usus sangat penting untuk maturasi sistem
imun anak, karena menyediakan keseimbangan pada rangsangan Th1.
Pada keadaan sehat flora usus akan terjadi keseimbangan Th1/Th2.
Dengan penggunaan antibiotik maka akan terjadi ketidakseimbangan
atau gangguan pada sistem imun dan akan menginduksi terjadinya
respon alergi.

5. Manifestasi Alergi
Manifestasi alergi tampak berbeda-beda sesuai dengan letak dan rute
paparan terhadap alergen. Misalnya:
1) Asma Bronkial
Penyakit asma merupakan penyakit saluran nafas yang ditandai oleh
peningkatan daya responsif percabangan trakeobronkial terhadap
berbagai jenis stimulus. Penyakit asma memiliki manifestasi fisiologis
berupa penyempitan yang meluas pada saluran pernafasan yang dapat
sembuh dengan spontan atau sembuh dengan terapi yang secara klinis
ditandai oleh serangan mendadak dyspnea, batuk, serta mengi. Penyakit
ini bersifat episodik dengan eksaserbasi akut yang diselingi oleh periode
tanpa gejala.
2) Rhinitis Alergika
Rhinitis alergika merupakan penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Secara 9 mikroskopik
tampak adanya dilatasi pembuluh darah dengan pembesaran sel goblet
dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga infiltrasi eosinofil pada

7
jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gejala yang khas ialah
terdapatnya serangan bersin berulang sebagai akibat dilepaskannya
histamin. Gejala lain ialah rinorea yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
lakrimasi.
3) Dermatitis Atopik
Dermatitis atopik adalah peradangan kulit berupa dermatitis yang kronis
residif, disertai rasa gatal, dan mengenai bagian tubuh tertentu terutama
di wajah pada bayi (fase infantil) dan bagian fleksural ekstremitas pada
fase anak. Dermatitis atopik biasanya terjadi pada bayi dan anak, sekitar
50% menghilang pada saat remaja. Tempat predileksi dermatitis atopik
pada fase anak (usia 2-10 tahun) lebih sering di fossa cubiti dan poplitea,
fleksor pergelangan tangan, kelopak mata dan leher, dan tersebar
simetris. Lesi dermatitis cenderung menjadi kronis, disertai
hiperkeratosis, hiperpigmentasi, erosi, ekskoriasi, krusta dan skuama.
4) Urtikaria
Urtikaria adalah erupsi kulit yang menimbul (wheal) berbatas tegas,
berwarna merah, lebih pucat pada bagian tengah, dan memucat bila
ditekan, disertai rasa gatal. Hal yang mendasari terjadinya urtikaria
adalah triple response dari Lewis, yaitu eritem akibat dilatasi kapiler, 10
timbulnya flare akibat dilatasi arteriolar yang diperantarai reflex akson
saraf dan timbulnya wheal, akibat ekstravasasi cairan karena
meningkatnya permeabilitas vaskuler.

6. Penatalaksanaan Alergi
Tatalaksana alergi makanan:
a. Tatalaksana Kondisi
Akut Anafilaksis adalah manifestasi alergi yang cepat dan
berpotensi meningkatkan mortalitas. Kriteria diagnosis anafilaksis adalah
onsetnya akut (beberapa menit sampai beberapa jam) melibatkan kulit
dan/atau jaringan mukosa, dengan gejala seperti gatal-gatal, seluruh badan,
kemerahan pada kulit wajah, bengkak pada bibir, lidah, dan uvula diikuti 1

8
dari: gangguan pernapasan (sesak napas, bronkospasme, wheezing, stridor,
penurunan peak expiratory flow rate, dan hipoksemia) atau penurunan
tekanan darah disertai gejala-gejala seperti hipotonia, syncope, dan
inkontinensia.
b. Tatalaksana dan Penanganan Reaksi Non-akut
Untuk menghadapi berbagai masalah pada pencegahan alergi,
pengembangan terapi saat ini diarahkan pada perbaikan homoestasis sistem
biologis penderita alergi yang ditujukan pada imunomodulasi respon imun
dengan menyeimbangkan respons imun Th1 dan Th2, sehingga reaksi alergi
dapat diperbaiki dengan cara menurunkan respons pembentukan IgE
terhadap rangsangan alergen. Sampai saat ini belum ada satu pun terapi
yang dapat dengan tuntas menghilangkan adanya reaksi alergi terhadap
makanan, namun terus dikembangkan penelitian-penelitian mengenai
imunoterapi, desensitisasi terhadap alergen, juga terapi herbal dan alternatif
lainnya yang diharapkan dapat berhasil untuk menghilangkan reaksi alergi
yang timbul terhadap jenis makanan tertentu.
Perkembangan ilmu dan teknologi memungkinkan perubahan
paradigma dari pencegahan alergi berupa tindakan menghindari alergen ke
desensitisasi dan induksi aktif toleransi imunologik. Pendekatan yang
tengah dievaluasi adalah pemaparan alergen melalui jalur oral maupun
intranasal, kulit, injeksi, dan pemberian alergen melalui jalur mukosa
(misalnya imunoterapi sublingual), pemberian alergen bersama produk
mikrobial dan pemberian alergen bersama anti IgE.
 Tatalaksana alergi kulit (dermatitis atopik):
Dermatitis Atopik masih simptomatik. Sampai saat ini
penatalaksanaan Dermatitis Atopik ditujukan untuk mengurangi tanda dan
gejala dan mencegah/mengurangi kekambuhan. Tatalaksana Dermatitis
Atopik ditekankan pada edukasi, mengurangi seperti penggunaan pelembab,
obat anti (kortikosteroid topikal, inhibitor kalsineurin topikal) serta
menghindari faktor-faktor pencetus. Tidak ada satupun regimen pengobatan
yang ideal untuk semua pasien DA.

9
1. Terapi topikal melakukan hidrasi kulit dengan barier kulit, mengganti
lipid epidermal yang abnormal dan memberikan hidrasi kulit,
2. Terapi anti inflamasi topikal krim betametason valerat 0,1% dan
inhibitor kalsineurin (salap 0,03% dan krim pimecrolimus 1%),
3. Identifikasi dan eliminasi faktor penyebab seperti: stress, bahan allergen
spesifik, infeksi, dan pruritus,
4. Penggunaan preparat tar,
5. Fototerapi, dan
6. Perawatan di RS pada kasus berat dan eritroderma.
 Tatalaksana rinitis alergi:
Penatalaksanaan utama pada kasus ini adalah menghindari
pencetus alergi. Sesuai dengan alergen yang paling sering menimbulkan
keluhan rhinitis alergi yaitu tungau debu rumah dan sel epitel pada bulu
hewan peliharaan, upaya menghindari alergen ini dapat dilakukan dengan
membersihkan peralatan rumah dengan air yang memiliki suhu 60° C.
Imunoterapi
Terapi jangka panjang yang dapat dilakukan untuk pasien rawat
jalan adalah dengan melakukan imunoterapi. Imunoterapi adalah pilihan
yang digunakan dengan memodifikasi mekanisme alergi dasar dengan cara
melakukan desensitisasi dan menimbulkan keadaan anergi terhadap alergen
pencetus. Pada awalnya imunoterapi ini digunakan untuk alergen berupa
serbuk sari namun saat ini sudah diindikasikan untuk alergen lain seperti
tungau debu rumah, sel epitel hewan peliharaan dan jamur. Ekstrak alergen
ini akan disuntikkan melalui subkutan dengan peningkatan dosis yang
bertahap sampai mencapai dosis tetap, dosis ini akan tetap dipertahankan
dalam tubuh sampai tiga tahun. Namun teknik penyuntikan secara subkutan
ini sudah mulai dihindari karena terjadinya risiko anafilaksis.
Saat ini sudah dikembangkan imunoterapi sublingual (sublingual
immunotherapy / SLIT). Pada SLIT ini, keadaan anergi terhadap alergen
pencetus dapat terjadi karena terjadinya regulasi dari sel T yaitu penekanan
produksi IL-10 dan TGF-beta sehingga menekan reaksi radang. Suatu meta
analisis menunjukkan pemberian SLIT selama 4-5 tahun dapat menurunkan

10
gejala rhinitis alergi dan terjadinya asma pada pasien rhinitis alergi. Efek
samping yang mungkin terjadi pada penggunaan SLIT adalah gejala pruritus
dan keluhan gastrointestinal.
Persiapan Rujukan ke Rumah Sakit
Pada umumnya rhinitis alergi dapat ditatalaksana di fasilitas kesehatan
primer secara rawat jalan, namun jika penyakit ini menunjukkan respon
yang kurang baik dengan terapi awal atau disertai dengan penyakit
komorbid dan komplikasi lainnya, sebaiknya persiapkan pasien untuk
dirujuk ke fasilitas kesehatan lanjutan untuk terapi seperti imunoterapi dan
penatalaksanaan komorbid serta komplikasi yang terjadi.
Medikamentosa
Terapi obat-obatan pada rhinitis alergi dilakukan dengan stepwise
approach sesuai dengan tingkat keparahan dan frekuensi penyakit. Obat
yang dapat digunakan untuk rhinitis alergi ini adalah:
Antihistamin Oral
Antihistamin oral yang disarankan pada penatalaksanaan rhinitis alergi
adalah antihistamin H1 oral generasi dua karena mekanisme penetrasi obat
ini pada sawar darah otak jauh lebih kecil dari pada antihistamin H1
generasi satu sehingga efek samping seperti sedasi, disfungsi psikomotor
dan gangguan memori dapat dicegah.
Kortikosteroid Intranasal
Golongan obat ini banyak digunakan karena menimbulkan efek samping
yang lebih minimal. Obat ini akan menimbulkan efek antiinflamasi dengan
menghambat sintesis protein akibat adanya kompleks DNA dan reseptor
steroid. Obat ini menghambat reaksi alergi tipe cepat dan tipe lambat serta
mengurangi produksi IgE dan eosinofil melalui inhibisi sekresi beberapa
sitokin seperti IL-4, IL-5, dan IL-13.
Antagonis Leukotrien
Penggunaan obat ini pada rhinitis alergi didasarkan pada konsep one
airway one disease karena obat ini sebelumnya sudah dimanfaatkan untuk
tata laksana asma. Penggunaan obat ini dapat meringankan gejala hidung

11
berair, hidung tersumbat dan mata berair. Obat yang termasuk golongan
antagonis leukotrien ini adalah pranlukast, montelukast, dan zafirlukast.
Antibodi Anti Immunoglobulin E (Anti IgE)
Mekanisme golongan obat ini adalah dengan mengganggu interaksi antara
sel mast atau eosinofil dengan ikatan IgE bebas sehingga dapat menurunkan
kadar IgE bebas pada darah selain itu juga dapat menekan reaksi peradangan
pada darah dan mukosa hidung. Efek samping yang dapat terjadi antara lain
nyeri kepala, infeksi saluran napas atas, sinusitis dan urtikaria pada bekas
penyuntikan.
 Tatalaksana alergi obat:
Terdapat beberapa cara khusus yang penting dalam tatalaksana
alergi obat diantaranya adalah threating through, test dosing, desensitisasi
dan pramedikasi terhadap obat-obat tertentu. Dalam keadaan ekstrim, yaitu
saat obat kausal sangat diperlukan, maka pilihan yang dapat diambil adalah
obat diteruskan bersamaan pemberian anthistamin dan kortikosteroid untuk
menekan alergi. Hal ini disebut treating through, namun berisiko potensial
mengakibatkan reaksi berkembang menjadi eksfoliatif atau sindrom SJS dan
memicu keterlibatan organ internal.
Pada kondisi tes kulit atau RAST terhadap obat antibiotik tidak
dapat dikerjakan dan dipikirkan kemungkinan alergi rendah, tidak disertai
reaksi berat dan mengancam nyawa, maka dapat dikerjakan tes dosing atau
provocative drug challenge/graded drug challenge/ incremental drug
challenge. Tes ini tidak mengubah respon sistem imun. Prinsip dasar tes ini
adalah pemberian obat secara hati-hati dan bertahap, sehingga reaksi ringan
yang diketahui mungkin terjadi akan segera diketahui dan dapat dengan
mudah diatasi. Pada tes dosing, obat diberikan dengan dosis awal yang
kecil, kemudian ditingkatkan serial sampai dicapai dosis penuh. Interval
waktu peningkatan dosis yaitu 24-48 jam bila dipikirkan reaksi
hipersensitivitas lambat dan 20-30 menit bila dipikirkan reaksi lgE.
Pada tes dosing lambat dikerjakan bila reaksi yang diduga terjadi
adalah reaksi lambat seperti dermatitis. Pada kondisi ini jarak antara
pemberian obat dijadikan 24-48 jam, prosedur biasanya selesai dalam 2

12
minggu. Pemeriksaan tes dosing saat ini semakin sering dikerjakan pada
penderita HIV yang akan diberikan trimetoprim/sulfamtoksazole.

Desensitisasi adalah pilihan tatalaksana pada kondisi yangsudah


dipastikan terdapat alergi obat.Namun demikian, tidak ada pilihan obat yang
lain. Desensitisasi sendiri dapat dikerjakan pada reaksi IgE, pada reaksi
yang tidak terjadi melalui IgE, desensitisasi cepat pada anafilaksis dan
desensitisasi lambat.
Pada reaksi yang melibatkan IgE, desensitisasi dikerjakan dengan
tujuan memperoleh reaksi yang ringan melalui eliminasi IgE. Terapi ini
dilakukan dengan cara induksi toleransi pada renderita yang mengalami
reaksi alergi (melalui IgE), cepat dan sistemik terhadap obat yang dapat
dipastikan dengan tes kulit misalnya pada penisilin. Teknik desenstisasi
menggunakan protokol yang prinsip dasarnya adalah pemberian bertahap
dosis obat yang ditingkatkansecara perlahan, mulai dari dosis subalergenik
dan diteruskan sampai dosis penuh. Pada saat dilakukan desensitisasi, jika
terapi dihentikan, pada 50% penderita anafilaksis dapat terjadi kembali.
Protokol desensitisasi telah tersedia terhadap berbagai kelas obat.
Pada obat-obat tertentu yang mekanisme reaksinya tidak
melibatkan IgE, desensitisasi telah dapat dilakukan dengan hasil yang baik.
Obat-obat tesebut diantaranya adalah aspirin, AINS, alopurinol, preparat
emas, sulfametoksazol dan sulfasalazin. Desensitisasi cepat pada anafilaksis
dilakukan dengan pemberian dosis bertahap selama beberapa jam seperti
pada penisilin. Biasanya dimulai dengan jumlah p/1.000.000 sampai
1/100.000 dosis terapeutik. Jika pemberian melalui intravena, dosis yang
diberikan intravena dilipatgandakan setiap 15 menit dengan pemantauan
penderita secara hati-hati. Reaksi ringan, seperti urtikaria atau pruritus,
biasanya dapat menghilang spontan, sehingga pra-terapi dengan
antihistamin atau steroid pada desensitisasi tidak dilakukan agar reaksi
ringan dapat diidentifikasi. Desensitisasi lambat dilakukan dengan
carapeningkatan dosis dan pemberian dengan jarak 24-48 jam, kecuali bila

13
pengobatan diperlukan lebih cepat. Prosedur ini memerlukan waktu 2
minggu atau lebih.

Pada penderita yang pernah menunjukan reaksi serupa anafilaksis


(non-lgE), misalnya radiokontras, premedikasi atau terapi profilaksis atau
pra-terapi penting dilakukan sebelum pemberian obat. Premedikasi atau
profilaksis dengan pemberian antihistamin dan kortikosteroid saja atau
dalam kombinasi dengan β-adrenergik bertujuan menurunkan insidens dan
reaksi beratmisalnya reaksi anafilaksis yang ditimbulkan zat kontras. Baik
tes dosing, desensitisasi, maupun premedikasi memiliki kebahayaan
menimbulkan reaksi alergi yang fatal, reaksi anafilaksis dan reaksi psikiatrik
non-alergi. Oleh karena itu, perlu diperhatikan aspek medikolegal dan
informed consent dalam melakukan prosedur ini. Hal-hal yang perlu
diperhatikan diantaranya adalah obat yang akan diberikan merupakan obat
esensial yang tidak bisa digantikan obat lain, adanya ruang bagi pasien
untuk menolak setelah memahami keuntungan dan risiko tindakan, dan
sarana terapi darurat yang harus disiapkan saat melakukan prosedur.
7. Pencegahan Alergi
Pencegahan alergi tergantung kepada alergennya. Cara yang paling
efektif untuk mencegah alergi adalah dengan menghindari pemicunya.
Tetapi tidak semua sumber alergi dapat dihindari dengan mudah, misalnya
tungau debu, hewan peliharaan, atau makanan.
Beberapa cara berikut ini dapat Anda lakukan untuk membantu
mencegah alergi:
1. Kenakan pakaian tertutup atau mengoleskan losion penolak serangga saat
bepergian.
2. Hindari memakai parfum yang bisa menarik perhatian serangga.
3. Gunakan masker saat keluar rumah.
4. Bersihkan rumah secara rutin, terutama ruangan yang sering digunakan,
seperti kamar tidur serta ruang keluarga, agar terhindar dari tungau debu.
5. Hindari penggunaan kemoceng karena dapat menyebarkan alergen.

14
6. Bersihkan permukaan perabotan dengan kain bersih yang dibasahi air atau
cairan pembersih atau gunakan alat penyedot debu.
7. Buka jendela atau pintu agar sirkulasi udara lebih lancar sehingga ruangan
tidak terasa
8. Tempatkan hewan peliharaan di luar rumah atau di satu ruangan tertentu
saja.
9. Mandikan hewan peliharaan seminggu sekali dan bersihkan kandangnya
secara rutin.
10. Catat jenis makanan yang kemungkinan menjadi sumber alergi sehingga
dapat dihindari.
11. Baca label kemasan untuk mengetahui bahan-bahan yang digunakan
sebelum membeli makanan.
12. Bersihkan dapur agar terhindar dari lumut, terutama tempat cuci piring dan
cuci pakaian.
13. Jangan menjemur pakaian di dalam rumah.

B. INTOLERANSI MAKANAN
1. Patofisiologi Intoleransi Makanan
a. Intoleransi laktosa
Intoleransi laktosa terjadi ketika seseorang tidak dapat mencerna laktosa,
karbohidrat yang ditemukan dalam susu sapi dan produk susu sapi lainnya
seperti yoghurt. Gejala intoleransi laktosa termasuk kembung, gas, sakit
perut dan diare. Intoleransi laktosa dapat bersifat sementara dan beberapa
anak dapat sembuh. Anak-anak yang tidak toleran terhadap laktosa biasanya
dapat mentolerir sejumlah kecil laktosa, tetapi dalam jumlah yang besar
(seperti yang ditemukan dalam susu dan yoghurt) biasanya akan
menyebabkan gejala.
Patogenesis Intoleransi Laktosa
Laktosa tidak dapat diabsorpsi sebagai disakarida, tetapi harus
dihidrolisis dahulu menjadi glukosa dan galaktosa dengan bantuan enzim
laktase di usus halus. Bila aktivitas laktase turun atau tidak ada, maka
laktosa yang tidak diabsorpsi akan mencapai usus bagian distal atau kolon.
Adanya laktosa di lumen usus mengakibatkan tekanan osmotik meningkat

15
dan menarik air dan elektrolit sehingga akan memperbesar volume di dalam
lumen usus. Keadaan ini akan merangsang peristaltik usus halus sehingga
waktu singgah dipercepat dan mengganggu penyerapan.

Di kolon, laktosa akan difermentasi oleh bakteri kolon dan


menghasilkan asam laktat dan asam lemak rantai pendek lainnya seperti
asam asetat, asam butirat dan asam propionat. Fenomena ini menerangkan
feses yang cair, asam, berbusa dan kemerahan pada kulit di sekitar dubur
(eritema natum). Fermentasi laktosa oleh bakteri di kolon juga
menghasilkan beberapa gas seperti hidrogen, metan dan karbondioksida
yang akan mengakibatkan distensi abdomen, nyeri perut, dan flatus. Feses
yang dihasilkan sering mengapung karena kandungan gasnya yang tinggi
dan juga berbau busuk. Selanjutnya, 80% dari gas tersebut akan dikeluarkan
melalui rektum dan sisanya akan berdifusi ke dalam sistim portal dan
dikeluarkan melalui sistem pernapasan.
b. Malabsorpsi fruktosa
Fruktosa adalah karbohidrat, atau gula, yang ditemukan dalam
buah. Ini ditemukan dalam jumlah berlebihan dalam beberapa buah dan
berbagai sayuran. Anak-anak dengan intoleransi fruktosa dapat menderita
diare, angin, kembung dan sakit perut. Orang dengan malabsorpsi fruktosa
tidak perlu menghindari semua buah. Sebaliknya mereka harus mengurangi
asupan buah yang memicu gejala mereka, dan menggantinya dengan buah
yang mereka tolerir lebih baik.
c. Malabsorpsi Sorbitol
Sorbitol juga ditemukan dalam jumlah berlebihan dalam buah
(terutama aprikot, nektarin, plum, blackberry, apel dan pir), permen karet
bebas gula dan permen. Dapat menyebabkan gejala yang mirip dengan
malabsorpsi fruktosa. Makanan-makanan ini tidak perlu sepenuhnya
dihindari tetapi mungkin perlu dikurangi oleh anak-anak yang menderita
malabsorpsi sorbitol.
d. Malabsorpsi gluktan dan galaktan

16
Fructan dan galactans adalah karbohidrat yang diserap oleh semua
orang sampai batas tertentu. Namun, anak-anak dapat mentoleransi berbagai
tingkat molekul ini dan beberapa anak akan mengalami gejala ketika makan
jumlah yang ditoleransi dengan baik oleh orang lain. Fruktan dan galaktan
ditemukan dalam makanan seperti bawang, bawang putih, daun bawang,
sejumlah besar gandum dan kacang-kacangan (misalnya kacang panggang,
lentil, kacang arab). Seperti karbohidrat lain yang kurang diserap, makanan
ini tidak perlu dikeluarkan sepenuhnya dari makanan (meskipun bawang,
bawang putih dan kacang-kacangan bisa sangat bermasalah).
2. Definisi Intoleransi Makanan
Intoleransi Makanan adalah reaksi yang merugikan terhadap makanan,
terjadi karena cara tubuh memperoses makanan atau komponen yang ada
dalam makanan. Disebabkan karena nonimmunologic atau mekanisme non-
IgE, termasuk reaksi toksik, farmakologik, idionsinkratik, metabolisme,
pencernaan, psikologis atau idiopatik terhadap makanan ataupun zat kimia
dalam makanan.
3. Etiologi Intoleransi Makanan
Intoleransi makanan merupakan reaksi yang merugikan terhadap
makanan yang disebabkan oleh mekanisme non imunologi atau non-IgE
tidak melibatkan sistem kekebalan dan terjadi karena adanya cara tubuh
dalam memproses makanan atau komponen dalam makanan. Ini mungkin
disebabkan oleh racun, farmakologis, metabolisme, reaksi pencernaan,
psikologis, idiosinkrasi, atau idiopatik terhadap suatu makanan atau zat
kimia dalam makanan itu. Misalnya, seorang individu bisa tidak toleran
terhadap susu bukan karena alergi terhadap protein susu, tetapi karena
ketidakmampuan untuk mencerna laktosa.
4. Faktor Risiko Intoleransi Makanan
a. Geografi Intoleransi Makanan
Meskipun terdapat keterbatasan dalam studi epidemiologi dan
variasi metodologi, perlu dicatat bahwa ada geografis tertentu asosiasi
dengan FA (Food Allergic) Misalnya alergi sup sarang burung walet
dilaporkan umum di Singapura, 10 alergi royal jelly pada Hong Kong, 11

17
tahun dan alergi biji mustard di Prancis.12 Baru-baru ini, dalam survei
berbasis kuesioner yang divalidasi, menunjukkan bahwa prevalensi FA atau
Food Allergic meningkat 10 kali lipat pada anak-anak Yahudi di Inggris
dibandingkan dengan yang terlihat pada anak-anak Yahudi di Israel.

Studi terbaru lainnya melaporkan perbedaan klinis dan imunologis


yang penting di antara pasien dengan PA yang berasal dari Amerika Serikat,
Swedia, dan Spanyol. Pasien Amerika sering kali menderita Intoleransi
Makanan frekuensi tinggi dan tingkat antibodi IgE yang lebih tinggi dan
cenderung ada dengan gejala yang lebih parah. Pasien Swedia memiliki
yang tertinggi tingkat kepekaan terhadap homolog. Oleh karena itu,
tampaknya geografi dapat mempengaruhi baik prevalensi FA (Factor
Allergic) tertentu dan pola reaktivitas imunologi, komponen alergen
individu dalam makanan, sehingga mempengaruhi ekspresi klinis FA.
Perbedaan geografis ini bisa disebabkan oleh perbedaan lingkungan dalam
tingkat paparan alergen atau sediaan dan pemrosesan alergen yang berbeda
tetapi bisa juga akibat dari perbedaan genetik yang beragam secara geografis
b. Resiko Herediter, Genetik, dan Molekuler
Beberapa penelitian menunjukkan komponen genetik yang kuat
pada Intoleransi Makanan. Seorang anak memiliki 7 kali lipat peningkatan
risiko FA (Food Allergic) jika dia memiliki orang tua atau saudara dengan
FA juga. Mengenai kembar monozigot, seorang anak memiliki
kemungkinan 64% FA jika saudara kembarnya memiliki FA. Meskipun
tidak mungkin faktor risiko genetik dapat menjelaskan peningkatan FA
baru-baru ini, meskipun demikian ada kemungkinan bahwa ada faktor
predisposisi genetik untuk perkembangannya. Kontribusi dari latar belakang
HLA dan perkembangan FA individu di peningkatan FA masih harus
dilihat.
c. Seks atau jenis kelamin
Patut dicatat bahwa beberapa penelitian melaporkan bahwa seks
bisa jadi terkait dengan FA, khususnya FA dan alergi kacang pohon. Dalam
sebuah studi oleh Sicherer et al, 17 rasio laki-laki / perempuan dari anak-

18
anak dengan FA hampir 5, sedangkan untuk orang dewasa, rasio laki-laki /
perempuan kurang dari 1.
Pola serupa terlihat untuk alergi kacang pohon. Ini serupa untuk
penelitian yang dilaporkan oleh Emmett et al.1 Dalam cross-sectional
mereka
mempelajari pelaporan FA dengan kuesioner di lebih dari 16.000 subjek,
Prevalensi FA secara signifikan lebih tinggi pada subjek laki-laki muda
yang berusia kurang dari 4 tahun dibandingkan pada subjek perempuan.
Namun, oleh usia remaja, rasio laki-laki / perempuan sama, dan selama Saat
dewasa, jumlah subjek perempuan hampir dua kali lebih banyak dengan FA
dibandingkan subjek laki-laki. Jadi sejumlah studi menyarankan pembalikan
rasio pria / wanita untuk FA setelah masa remaja.
Ini perubahan yang sama telah diamati pada pasien asma.
Perubahan
dalam frekuensi relatif FA antara masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa
menunjukkan bahwa seks dapat mempengaruhi ekspresi alergi, mungkin
melalui pengaruh endokrin. Dalam Survei Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi
Nasional yang besar studi dari semua usia gabungan, Liu et al1
menunjukkan rasio odds (OR) dari 1,87 (95% CI, 1,32-2,66) untuk jenis
kelamin laki-laki pada perkembangan FA.
d. Perubahan diet
Dalam 3 dekade terakhir, perubahan mencolok dalam pola makan
telah menyebabkan peneliti menyarankan bahwa perbedaan makronutrien
dan kandungan makanan mikronutrien bisa menjelaskan peningkatan alergi.
e. Lemak makanan (dietary fat)
Minyak nabati telah menyebabkan peningkatan alergi. Pendukung
hipotesis ini menyatakan bahwa telah terjadi peningkatan pada konsumsi
asam lemak tak jenuh ganda v-6, seperti linoleat asam, dan melalui
pengurangan konsumsi ikan berminyak, telah terjadi penurunan asam lemak
tak jenuh ganda v-3, seperti asam eicosapentaenoic.34,35 v-6 Asam lemak
menyebabkan produksi prostaglandin E2 (PGE2), sedangkan asam lemak v-
3 menghambat sintesis PGE2. PGE2 mengurangi produksi IFN-g oleh

19
limfosit T, sehingga menghasilkan peningkatan produksi IgE oleh limfosit
B. Tinjauan sistematis mengidentifikasi 10 laporan yang memenuhi kriteria
inklusi untuk meta-analisis tentang pengaruh v-3 dan v-6 minyak pada
sensitisasi alergi. Studi ini menyimpulkan bahwa '' suplementasi dengan
minyak Omega 3 dan Omega 6 tidak mungkin berperan penting dalam
strategi pencegahan utama sensitisasi atau penyakit alergi.

e. Obesitas
Kecenderungan peningkatan atopi seiring dengan peningkatan obesitas pada
masa kanak-kanak telah dipelajari dengan baik, terutama dalam
konteksnyaasma. Obesitas menginduksi keadaan inflamasi yang terkait
dengan peningkatan risiko atopi dan secara teoritis dapat menyebabkan
peningkatan risiko FA (Food Allergic). Sebuah studi terbaru oleh Visness et
all menunjukkan bahwa atopi (sebagaimana didefinisikan oleh pengukuran
IgE spesifik positif) meningkat pada anak-anak obesitas dibandingkan
dengan anak dengan berat badan normal. Asosiasi ini terutama didorong
dengan sensitisasi alergi terhadap makanan (ATAU untuk sensitisasi
makanan. Peningkatan kadar protein C-reaktif sebagai ukuran peradangan
dikaitkan dengan tingkat IgE total,atopi, dan sensitisasi makanan.
5. Penatalaksanaan Intoleransi Makanan
Untuk intoleransi makanan, jika tidak parah maka sebaiknya kurangi dan
perhatikan kandungan makanan tertentu. Hal ini tergantung pada seberapa
parah intoleransinya.
Contoh:
1) Laktosa: hindari makanan yg mengandung laktosa dan susu
2) Fruktosa: hindari makanan mengandung sukrosa atau fruktosa
6. Manifestasi Itoleransi Makanan
Gejala-gejala intoleransi makanan terbatas pada saluran
gastrointestinal. Reaksi Intoleransi makanan ini merupakan reaksi yang
jinak dan tidak mematikan dan berhubungan langsung dengan jumlah
makanan yang dicerna. Gejala-gejalanya akan sama dengan setiap paparan.

20
Gejala umum intoleransi makanan termasuk masalah lambung atau usus
(seperti refluks, kolik, muntah, diare, kembung, dan iritabilitas), tidur
terganggu, mulas, ruam kulit, eksim dan gatal-gatal.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Alergi adalah reaksi dari sistem kekebalan tubuh yang timbul akibat suatu
zat atau substansi yang dianggap berbahaya saat memasuki tubuh, padahal
sebenarnya tidak membahayakan. Saat sistem imun bereaksi, efek sampingnya
dapat timbul berupa reaksi alergi atau alergen. Beberapa alergen ini dapat
berasal dari makanan tertentu, obat-obatan, serbuk sari, gigitan serangga atau
tungau, dan lainnya. Macam-macam alergi diantaranya: Alergi makanan, alergi
kulit, alergi debu, dan alergi obat.

Intoleransi makanan merupakan reaksi yang merugikan terhadap makanan,


terjadi karenacara tubuh memproses makanan atau komponen yang ada dalam
makanan. Intoleransi disebabkan oleh racun, farmakologis, metabolisme, reaksi
pencernaan, psikologis, idiosinkrasi, atau idiopatik terhadap suatu makanan
atau zat kimia dalam makanan itu. Gejala umum intoleransi makanan termasuk
masalah lambung atau usus (seperti refluks, kolik, muntah, diare, kembung,
dan iritabilitas), tidur terganggu, mulas, ruam kulit, eksim dan gatal-gatal.
Beberapa faktor risiko intoleransi makanan yaitu: Geografi, Resiko Herediter,
Genetik, dan Molekuler, Jenis kelamin, Perubahan diet, lemak makanan atau
Dietary fat, dan Obesitas.

21
DAFTAR PUSTAKA

Afifa, K. (2016). Hubungan Manifestasi Alergi dengan Riwayat Pemberian Asi


Eksklusif pada Balita di Poli Anak RSUD Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo
Bojonegoro. 1. http://repository.unair.ac.id/54079/

Nurizah. (2019). 10,11 46. Journal of Nutrition and Health, 7(1), 46–56.

Mcfadden. (2015). Penyakit asma. In: Isselbacher, et al (Eds.), Prinsip-prinsip


ilmu penyakit dalam. 13 ed. Jakarta: EGC.

Irawati, N., Kasakeyan, E. & Rusmono, N. (2012). Rinitis alergi. In: E. A.


Soepardi, N. Iskandar, J. Bashiruddin & R. D. Restuti (Eds.), Telinga,
hidung, tenggorok, kepala & leher. 7 ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, p.
106.

Boediardja, S. A. (2016). Dermatitis atopik. In: S. L. S. Manaldi, K. Bramono &


W. Indriatmi (Eds.), Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 7 ed. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI, p. 167.

Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2010). Buku ajar alergi-imunologi anak. 2 ed.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

Hendra. (2020). PERAN IMUNOTERAPI PADA TATALAKSANA ALERGI


MAKANAN. JKR (JURNAL KEDOKTERAN RAFLESIA), Vol. 6(2), 20-
23.

Fia, Fia, DKK. (2019). PENYULUHAN PENATALAKSANAAN ALERGI

22
YANG MEMBERIKAN KELUHAN KULIT GATAL PADA LANSIA DI
PANTI WERDHA SALAM SEJAHTERA. Jurnal Bakti Masyarakat
Indonesia, Vol. 2(2), 275-278.

Zania, Elva, DKK. (2017). FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN


DENGAN KEJADIAN DERMATITIS KONTAK PADA NELAYAN DI
KELURAHAN INDUHA KECAMATAN LATAMBAGA KABUPATEN
KOLAKA TAHUN. JURNAL ILMIAH MAHASISWA KESEHATAN
MASYARAKAT, Vol. 3(3), 2.

Lestari, Wahyu. (2018). Manifestasi Klinis dan Tatalaksana Dermatitis Atopik.


J.Ked. N.Med, Vol. 1(1), 89.

Tanaka, William, dan Mira Amaliah. (2020). Prevalensi rinitis alergi berdasarkan
gejala klinis pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
angkatan 2015. Tarumanagara Medical Journal Vol. 2(2), 377-380.

Sheikh J. (2017). Allergic rhinitis. Medscape.

Pandapotan, Roy Akur, dan Iris Rengganis. (2017). Pendekatan Diagnosis dan
Tata Laksana Alergi Obat Approach to Diagnosis and Treatment of Drug
Allergy. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, Vol. 4(1), 49-50.

Nurizah. (2019). INTOLERANSI MAKANAN. JNH (Journal of Nutrition and


Health) Vol. 7(1), 50-52.

Boyce, Joshua A. DKK. (2012). Update on risk factors for food allergy. J
ALLERGY CLIN IMMUNOL. 1189-1191.

23

Anda mungkin juga menyukai