Anda di halaman 1dari 30

Telaah Ilmiah

TATALAKSANA SYOK ANAFILAKTIK PADA KASUS


ALERGI MAKANAN

Pembimbing :

Oleh :

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA RUMAH SAKIT
MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

2015
HALAMAN PENGESAHAN

Telaah Ilmiah dengan judul:

TATALAKSANA SYOK ANAFILAKTIK PADA KASUS


ALERGI MAKANAN

Oleh:

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian/ Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya RSMH Palembang periode

Palembang, September 2015

Pembimbing,

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatnya
sehingga penulis dapat menyelesaikan telaah ilmiah tepat pada waktunya. Penulis
mengucapkan terimakasih atas bimbingan selama pengerjaan telaah ilmiah
Tatalaksana Syok Anafilaktik Pada Kasus Alergi Makanan kepada .
Dan terakhir bagi semua pihak yang terlibat baik secara langsung dan tak
langsung hingga telaah ilmiah ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa dalam telaah ilmiah ini masih banyak


kekurangan ini itu dalam penulisan maupun isinya. Penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun demi sempurnanya telaah ilmiah ini. Penulis berharap
telaah ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Palembang, September 2015

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................... 1


HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... 2
KATA PENGANTAR .................................................................... 3
DAFTAR ISI .................................................................... 4
BAB 1 Pendahuluan. .................................................................... 5
1.1 Latar Belakang .................................................................... 5
1.2 Tujuan .................................................................... 6
BAB II Tinjauan Pustaka .................................................................... 7
2.1 Definisi .................................................................... 7
2.2 Etiologi .................................................................... 9
2.3 Patogenesis .................................................................... 12
2.4 Manifestasi Klinis .................................................................... 15
2.5 Pemeriksaan Alergi .................................................................... 20
2.6 Penatalaksanaan .................................................................... 23
2.7 Prognosis .................................................................... 27

BAB III Kesimpulan .................................................................... 28


Daftar Pustaka .................................................................... 30

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Alergi makanan adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak
organ dan sistem tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap makanan,
merupakan suatu reaksi terhadap makanan yang dasarnya adalah reaksi
hipersensitifitas tipe I (IgE-mediated), namun juga dapat disebabkan oleh cell-
mediated, atau keduanya. Alergi makanan perlu dibedakan dengan reaksi
simpang makanan (adverse food reaction) yang lain, karena berbeda
patofisiologinya. Reaksi alergi makanan melibatkan tiga komponen utama,
yaitu alergen makanan, imunoglobulin E (IgE), dan sel mast dan basofil.1,2,3
Beberapa laporan ilmiah baik di dalam negeri atau luar negeri
menunjukkan bahwa angka kejadian alergi terus meningkat tajam beberapa
tahun terakhir. Survei di Amerika menunjukkan bahwa sepertiga orang
dewasa di sana percaya bahwa mereka memiliki alergi makanan. Namun
prevalensi penderita dengan alergi makanan yang telah dikonfirmasi sebanyak
3,5-4% pada seluruh populasi di Amerika Serikat, 8% pada anak-anak di
bawah 3 tahun, 6-8% pada anak usia sekolah, dan 2,5% pada dewasa.
Kecenderungan peningkatan prevalensi alergi makanan selama 5 tahun
mencapai 55% per tahun.1,3
Gejala dan tanda yang timbul pada alergi makanan bervariasi tergantung
pada organ yang terkena, misalnya pada sistem pencernaan, sistem respirasi,
atau pada kulit. Tingkat keparahan gejala alergi juga berbeda-beda tiap pasien,
mulai dari yang ringan, contohnya gatal di bibir atau mulut, sampai yang berat
dan mengancam nyawa, contohnya anafilaksis. Alergi makanan sering terjadi
pada anak-anak dibandingkan dewasa, dan lebih sering menyebabkan gejala
yang berat dan mengancam nyawa. Oleh karenanya, maka gejala dan
manajemen penatalaksanaan alergi makanan perlu diketahui.

5
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari tinjauan pustaka ini adalah untuk menambah
wawasan mengenai manajemen syok anafilaktik pada kasus alergi makanan
sehingga dapat menatalaksana syok anafilaktik pada kasus alergi makanan
secara sistematis.

6
BAB II
Tinjauan Pustaka

2.1 Definisi
Tidak semua reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan merupakan
reaksi alergi murni, tetapi banyak dokter atau masyarakat awam menggunakan
istilah alergi makanan untuk semua reaksi yang tidak diinginkan dari
makanan, baik yang imunologis atau non imunologis. Reaksi yang tidak
diinginkan terhadap makanan seringkali terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Reaksi tersebut dapat diperantarai oleh mekanisme yang bersifat imunologi,
farmakologi, toksin, infeksi, idiosinkrasi, metabolisme serta neuropsikologis
terhadap makanan. Dari semua reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan
dan zat aditif makanan, sekitar 20% disebabkan karena alergi makanan.
Batasan lebih jelas dibuat oleh American Academy of Allergy and Immunology
dan The National Institute of Allergy and Infections Disease, dapat dilihat
pada bagan di bawah. (Gambar 1)1,3,4

7
Gambar 1. Klasifikasi reaksi simpang makanan menurut American Academy of
Allergy and Immunology

Reaksi simpang makanan (adverse food reactions) adalah istilah umum


untuk reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan yang dikonsumsi.
Reaksi ini dapat merupakan reaksi sekunder terhadap alergi makanan atau
intoleransi makanan. Alergi makanan adalah reaksi imunologis (kekebalan
tubuh) yang menyimpang karena masuknya bahan penyebab alergi ke dalam
tubuh, mekanisme reaksi ini dapat dimediasi oleh IgE atau non-IgE.
Intoleransi makanan adalah reaksi makanan non imunologik dan merupakan
sebagian besar penyebab reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan. Ada
berbagai variasi tipe intoleransi makanan, seperti keracunan makanan (food
poisoning), reaksi metabolik terhadap makanan dan beberapa penyebab yang
tidak jelas dari reaksi simpang makanan, seperti reaksi idiosinkrasi.
Keracunan makanan terjadi ketika makanan yang mengandung toksin
dikonsumsi. Pada beberapa situasi, keracunan makanan dapat mirip dengan
reaksi alergi. Contohnya pada keracunan ikan scromboid, tuna, atau ikan lain
yang mengandung banyak histamin yang diproduksi oleh bakteri yang
mengkontaminasi. Ketika ikan scromboid dikonsumsi, gejala yang timbul
sangat mirip menyerupai reaksi alergi terhadap makanan. Pada reaksi
metabolik terhadap makanan, tubuh tidak mampu mencerna secara adekuat
zat yang terkandung pada makanan penyebab. Contohnya pada orang dengan
intoleransi laktosa, memiliki defisiensi enzim laktase di usus yang diperlukan
untuk mencerna gula susu, laktosa. Ketika susu atau produk-produk susu
lainnya dikonsumsi, pada individu ini akan timbul gejala mual, produksi gas
berlebihan, dan, diare.1,4,5
Reaksi makanan tipe lain disebut idiosinkrasi makanan (food
idiosyncrasy). Idiosinkrasi makanan adalah respon abnormal terhadap
makanan atau substansi makanan. Reaksinya dapat menyerupai atau berbeda
dari gejala alergi makanan yang sebenarnya. Reaksi idiosinkrasi terhadap
makanan merupakan respon abnormal kuantitatif terhadap substansi makanan

8
atau zat tambahannya yang berbeda dalam efek fisiologik atau
farmakologiknya. Respon tipe ini menyerupai reaksi hipersensitif tapi tidak
melibatkan sistem imun seperti yang terlihat pada reaksi alergi makanan.
Sensitifitas sulfit atau sulfit yang menginduksi asma (sulfite-induced asthma)
adalah contoh idiosinkrasi makanan yang menyerang sejumlah kecil individu
dalam populasi. Sulfite-induced asthma dapat berpotensi mengancam
nyawa.1,4,5
Reaksi makanan non alergi dapat juga terjadi akibat masalah kesehatan
lainnya, seperti pada anak-anak dengan gastroenteritis viral kemudian
berkembang menjadi intoleransi laktosa. Pada beberapa kejadian, mekanisme
terjadinya reaksi ini tidak diketahui. Faktor psikologis mungkin memainkan
peran penting pada kasus-kasus lainnya.5

2.2 Etiologi
Penyebab alergi makanan adalah alergen, merupakan bagian dari makanan
yang menimbulkan stimulasi sistem imun pada individu yang alergi makanan.
Sensitisasi terhadap alergen makanan terjadi pada traktus gastrointestinal,
namun juga dapat terjadi melalui sensitisasi melalui alergen inhalan. Sebagian
besar alergen makanan dikenal sebagai alergen klas I, berupa glikoprotein
dengan berat molekul antara 10 sampai 70 kilodalton, tahan terhadap panas,
asam, dan enzim proteolitik. Dengan semakin banyaknya alergen yang
teridentifikasi, diisolasi, dan dikenali, telah jelas bahwa protein hewan dan
tumbuhan merupakan tipe yang sama dengan protein yang menyusun alergen
makanan. Alergen makanan lain adalah alergen klas II, yang berupa bentuk
epitope, sangat labil pada suhu tinggi, rentan terhadap enzim degradasi, dan
sulit untuk diisolasi. Alergen klas II ini mungkin yang berperan dalam
sensitisasi melalui inhalan. Karena sifatnya yang labil dan sulit diisolasi,
belum banyak penelitian yang mengungkap alergen jenis ini, dan pembuatan
ekstrak alergen ini untuk diagnosis masih belum memuaskan.1,2
Pada pemurnian kacang tanah ditemukan alergen yang disebut sebagai
Peanut-1, suatu glikoprotein dengan berat molekul 180.000 dalton. Protein

9
kacang tanah sebagai alergen lainnya adalah arachin dan conarachi.
Pemurnian pada udang didapatkan allergen-1 dan allergen-2 masing-masing
dengan berat molekul 21.000 dalton dan 200.000 dalton. Pada pemurnian
alergen pada ikan diketahui allergen-M sebagai determinan walau jumlahnya
tidak banyak. Ovomukoid ditemukan sebagai alergen utama pada telur. Pada
susu sapi yang merupakan alergen utama adalah Betalaktoglobulin (BLG),
Alflalaktalbumin (ALA), Bovin FERUM Albumin (BSA) dan Bovin Gama
Globulin (BGG). Albumin, pseudoglobulin dan euglobulin adalah alergen
utama pada gandum. Diantara alergen tersebut di atas, BLG adalah alergen
yang paling kuat sebagai penyebab alergi makanan.1,2
Kebiasaan diet di suatu daerah dan cara memasak atau menyiapkan
makanan berhubungan dengan prevalensi alergi makanan tertentu pada
beberapa makanan. Sebagai contoh, konsumsi kacang tanah per kapita di Cina
dan Amerika Serikat secara umum sama, namun hampir tidak ada laporan
alergi kacang tanah di Cina. Orang Cina biasanya merebus atau menggoreng
kacang tanah, sedangkan orang Amerika memakan kacang tanah yang
dipanggang kering. Panas yang lebih tinggi pada pemanggangan (1800C), dan
proses pemasakan dan pemanggangan telah meningkatkan sifat alergenik dari
protein kacang tanah.1
Beberapa makanan yang berbeda kadang menimbulkan gejala alergi yang
berbeda pula, misalnya pada alergi ikan laut menimbulkan gangguan kulit
berupa urtikaria, kacang tanah menimbulkan gangguan kulit berupa papula
(bintik kecil seperti digigit serangga) atau furunkel (bisul). Sedangkan buah-
buahan menimbulkan gangguan batuk atau pencernaan. Hal ini juga
tergantung dengan organ yang sensitif pada tiap individu. Meskipun demikian
ada beberapa pakar alergi makanan yang berpendapat bahwa jenis makanan
tidak spesifik menimbulkan gejala tertentu.2,5
Tabel berikut merupakan sebagian alergen yang telah dikenali pada
beberapa makanan.
No. Produk makanan Alergen
1. Susu Casein, lactoglobulins, lactoalbumins

10
2. Telur Ovalbumin, conalbumin, lipoprotein
3. Kacang tanah Arachin, lectin-reactive glycoprotein,
Peanut I, conarachi
4. Kacang kedelai Glycinin
5. Minyak ikan laut Allergen M
6. Kacang hijau Albumin
7. Beras Glutelin/globulins
8. Tomat Glycoproteins

Timbulnya gejala alergi bukan saja dipengaruhi oleh penyebab alergi,


tapi juga dipengaruhi oleh pencetus alergi. Beberapa hal yang menyulut atau
mencetuskan timbulnya alergi disebut faktor pencetus. Faktor pencetus
tersebut dapat berupa faktor fisik seperti tubuh sedang terinfeksi virus atau
bakteri, minuman dingin, udara dingin, panas atau hujan, kelelahan, aktifitas
berlebihan tertawa, menangis, berlari, olahraga. Faktor psikis berupa
kecemasan, sedih, stress atau ketakutan. Faktor pencetus sebetulnya bukan
penyebab serangan alergi, tetapi menyulut terjadinya serangan alergi. Tanpa
paparan alergi maka faktor pencetus tidak akan terjadi. Bila anak
mengkonsumsi makanan penyebab alergi disertai dengan adanya pencetus
maka keluhan atau gejala alergi yang timbul jadi lebih berat. Tetapi bila tidak
mengkonsumsi makanan penyebab alergi meskipun terdapat pencetus,
keluhan alergi tidak akan muncul.5
Hal ini yang dapat menjelaskan kenapa suatu ketika meskipun dingin,
kehujanan, kelelahan atau aktifitas berlebihan seorang penderita asma tidak
kambuh. Karena saat itu penderita tersebut sementara terhindar dari penyebab
alergi seperti makanan, debu dan sebagainya. Namun bila anak
mengkonsumsi makanan penyebab alergi bila terkena dingin atau terkena
pencetus lainnya keluhan alergi yang timbul lebih berat. Jadi pendapat
tentang adanya alergi dingin pada anak adalah tidak sepenuhnya benar.5

11
2.3 Patogenesis
Alergi makanan merupakan respon abnormal dari sistem imun mukosa
terhadap antigen yang masuk melewati rute oral. Tidak seperti sistem imun
sistemik yang relatif lebih sedikit terpapar antigen dan mengembangkan
respon inflamasi yang sesuai, sistem imun mukosa terpapar berbagai macam
antigen sehari-hari dan secara umum menekan reaktifitas sistem imun
terhadap antigen asing yang berbahaya, dan hal tersebut berfungsi sepenuhnya
menyusun respon protektif yang sesuai terhadap patogen yang berbahaya.
Barier mukosa gastrintestinal merupakan struktur kompleks yang tersusun atas
permukaan yang luas untuk pemrosesan dan penyerapan makanan yang
dikonsumsi dan mengeluarkan produk sisanya. Barier ini memiliki faktor
fisikokimia dan faktor seluler untuk mencegah masuknya antigen asing. Barier
fisik terdiri atas sel epitelial yang tersusun rapat dan dilapisi lapisan mukosa
tebal yang menangkap partikel, virus, dan bakteri; enzim di lambung dan usus,
cairan empedu, dan pH yang ekstrim; yang semuanya berfungsi
menghancurkan patogen dan menjadikan antigen bersifat non imunogenik.
Respon sistem imun bawaan/innate immune (sel NK, lekosit PMN, makrofag,
sel epitel, dan toll-like receptors) dan adaptif/adaptive immune (limfosit
intraepitel dan lamina propria, patch Peyeri, sIgA, dan sitokin) memberikan
barier aktif terhadap antigen asing. Namun adanya imaturitas berbagai
komponen barier usus dan sistem imun menurunkan efisiensi barier mukosa
pada bayi. Contohnya, aktifitas enzim masih suboptimal pada periode setelah
dilahirkan (newborn), dan sistem sIgA belum sepenuhnya matang sampai
umur 4 tahun. Konsekuensinya, keadaan imaturitas pada barier mukosa
berperan pada tingginya prevalensi infeksi gastrointestinal dan alergi makanan
pada tahun-tahun pertama kelahiran.1,6,7
Pada keadaan normal penyerapan makanan,merupakan peristiwa alami
sehari-hari dalam sistem pencernaan manusia. Faktor-faktor dalam lumen
intestinal (usus), permukaan epitel (dinding usus) dan dalam lamina propia
bekerja bersama untuk membatasi masuknya benda asing ke dalam tubuh
melalui saluran cerna. Struktur limfoepiteal usus yang dikenal dengan istilah

12
GALT (Gut-Associated Lymphoid Tissues) terdiri dari tonsil, patch payer,
apendiks, patch sekal dan patch koloni. Pada keadaan khusus GALT
mempunyai kemampuan untuk mengembangkan respon lokal bersamaan
dengan kemampuan untuk menekan induksi respon sistemik terhadap antigen
yang sama. Sejumlah mekanisme non imunologis dan imunologis bekerja
untuk mencegah penetrasi benda asing seperti bakteri, virus, parasit dan
protein penyebab alergi makanan ke dinding batas usus (sawar usus).1,6,7

Gambar 2. Sistem pertahanan pada saluran cerna.

Pada paparan awal, alergen makanan akan dikenali oleh sel penyaji antigen
untuk selanjutnya mengekspresikan pada sel-T secara langsung atau melalui
sitokin. Sel T tersensitisasi dan akan merangsang sel-B menghasilkan antibodi
dari berbagai subtipe. Alergen yang intak akan diserap oleh usus dalam jumlah
cukup banyak dan mencapai sel-sel pembentuk antibodi di dalam mukosa usus
dan organ limfoid usus. Pada umumnya anak-anak membentuk antibodi
dengan subtipe IgG, IgA dan IgM. Pada anak atopi terdapat kecenderungan

13
lebih banyak membentuk IgE, selanjutnya mengadakan sensitisasi sel mast
pada saluran cerna, saluran napas, kulit dan banyak organ tubuh lainnya. Sel
epitel intestinal memegang peranan penting dalam menentukan kecepatan dan
pola pengambilan antigen yang tertelan. Selama terjadinya reaksi yang
dihantarkan IgE pada saluran cerna, kecepatan dan jumlah benda asing yang
terserap meningkat. Benda asing yang larut di dalam lumen usus diambil dan
dipersembahkan terutama oleh sel epitel saluran cerna dengan akibat terjadi
supresi (penekanan) sistem imun atau dikenal dengan istilah toleransi. Antigen
yang tidak larut, bakteri usus, virus dan parasit utuh diambil oleh sel M (sel
epitel khusus yang melapisi patch Peyeri) dengan hasil terjadi imunitas aktif
dan pembentukan IgA. Ingesti protein diet secara normal mengaktifkan sel
supresor TCD8+ yang terletak di jaringan limfoid usus dan setelah ingesti
antigen berlangsung cukup lama. Sel tersebut terletak di limpa. Aktivasi awal
sel-sel tersebut tergantung pada sifat, dosis dan seringnya paparan antigen,
umur host dan kemungkinan adanya lipopolisakarida yang dihasilkan oleh flora
intestinal dari host. Faktor-faktor yang menyebabkan absorpsi antigen
patologis adalah digesti intraluminal menurun, sawar mukosa terganggu dan
penurunan produksi IgA oleh sel plasma pada lamina propia.1,6,7
Selanjutnya alergi yang diperantarai IgE berkembang dalam 2 tahap:7
1. Tahap pertama dikenal sebagai sensitisasi dan terjadi ketika antigen
(hampir selalu sebagai protein) ditangkap oleh sel, yang disebut
limfosit B progenitor, mampu mematangkan menjadi sel pemroduksi
antibodi (antibody-producing cells). Sel ini memecah antigen dan
menghasilkan fragmen peptida yang terikat secara selektif pada
molekul major histocompatibility complex (MHC) class II dan diangkut
ke permukaan sel. Kompleks molekul MHC dan peptida asing pada
permukaan limfosit B akan dikenali oleh reseptor sel T dari sel T helper
CD4+. Kejadian ini merangsang berbagai perubahan, termasuk maturasi
sel B sehingga dapat mengeluarkan antibodi. Pada tubuh yang
fungsinya normal, akan memproduksi IgG dan IgA terhadap protein
makanan, namun pada individu yang memiliki predisposisi, hasil

14
respon imun akan membentuk Th2 yang memulai produksi IgE
spesifik. Antibodi tipe ini biasanya hanya diproduksi pada respon
terhadap infeksi parasit, seperti malaria.
2. Tahap kedua merupakan tahap elisitasi terhadap reaksi alergi. IgE
berhubungan dengan reseptor IgE spesifik di permukaan basofil atau sel
mast, yang sudah mengandung mediator inflamasi seperti histamin.
Pada paparan berikutnya terhadap agen yang telah tersensitisasi, sel
yang berikatan dengan IgE akan saling terikat dengan agen,
menyebabkan sel mast melepaskan mediator inflamasi. Mediator
tersebut akan merangsang perubahan fisiologis yang menimbulkan
manifestasi yang disebut gejala reaksi alergi. Gejala tersebut biasanya
timbul cepat (dalam beberapa menit) setelah paparan dengan alergen
dan bervariasi, meliputi gejala respiratorik, gastrointestinal, dan reaksi
kulit.

2.4 Manifestasi Klinis


Walaupun reaksi alergi dapat terjadi pada semua jenis makanan, namun
sebagian besar reaksi disebabkan oleh beberapa makanan. Makanan atau
minuman seperti susu, telur, ikan, kerang (atau kepiting), gandum, kedelai,
kacang tanah, dan walnut, merupakan 90% penyebab alergi makanan. Gejala
klinis yang khas pada reaksi alergi makanan melibatkan kulit, traktus
gastrointestinal, dan sistem respiratorik. Gejala tersebut dapat timbul sendiri
atau dalam kombinasi, dengan lebih dari satu gejala timbul pada waktu yang
bersamaan, dan pada beberapa kasus dapat memberat menjadi anafilaksis.1,8
Reaksi alergi dengan perantara IgE pada alergi makanan timbul dalam
beberapa menit sampai beberapa jam setelah mengkonsumsi makanan
penyebab alergi. Namun pada orang yang sangat sensitif, kontak sedikit atau
menghirup bagian dari makanan sudah dapat menimbulkan reaksi alergi.
Gejala alergi makanan sangat individualistik, bervariasi tergantung pada
derajat beratnya, onset, lokasi dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Gejala
dapat berbeda pada orang yang sama.1,8,9

15
Gambar 3. Seorang anak dengan oral allergy syndrome.

Gejala yang paling sering dari alergi makanan melibatkan traktus


gastrointestinal, dimulai dari pembengkakan atau rasa gatal pada bibir, mulut,
dan/atau tenggorok. Gejala ini sering disebut juga sebagai oral allergy
syndrome. Gejala pada bibir, mulut, dan tenggorok ini sering terjadi pada
penderita yang menderita alergi terhadap pollen, sehingga disebut juga pollen-
food allergy syndrome. Bila makanan sudah masuk ke lambung, alergen akan
merangsang degranulasi sel mast, dan melepas histamin yang mengakibatkan
gastrointestinal anafilaksis atau hipersensitifitas gastrointestinal tipe segera.
Gastrointestinal anafilaksis ditandai dengan peningkatan peristaltik usus,
sehingga terjadi mual, muntah, nyeri perut/kram, dan diare.1,2,3
Sedangkan gejala yang sering terjadi pada kulit adalah urtikaria akut,
angioedema, dan ruam kemerahan berbentuk morbiliformis. Reaksi alergi yang
menyerang traktus respiratorius menyebabkan timbulnya rinokonjungtivitis
akut (bersin-bersin, hidung berair/rinorea, mata merah dan berair), hingga
timbul gejala sesak atau kesulitan bernafas, dan nafas terasa pendek.1,2,3
Anafilaksis adalah kondisi yang jarang terjadi namun berpotensi menjadi fatal,
dimana beberapa organ yang berbeda mengalami reaksi alergi yang bersamaan.
Gejala berlangsung cepat progresif, dan meliputi rasa gatal hebat,
pembengkakan di tenggorok, kesulitan bernafas, penurunan tekanan darah,
penurunan kesadaran, dan kadang berlanjut kepada kematian. Gejala yang
paling berbahaya adalah kesulitan bernafas dan penurunan tekanan darah atau
syok, yang berpotensi fatal. Contoh umum alergi yang berpotensi mengancam

16
nyawa adalah alergi terhadap makanan dan sengatan serangga. Anafilaksis
yang disebabkan oleh alergi makanan dikenal sebagai food-induced
anaphylaxis. Reaksi alergi yang mengancam nyawa juga dapat terjadi pada
pemberian obat atau pada karet latex dan berhubungan dengan latihan fisik.
Kira-kira 50 kematian per tahun disebabkan karena anafilaksis sengatan
serangga dan 150-200 kematian per tahun disebabkan karena anafilaksis dari
makanan, kebanyakan karena alergi kacang tanah dan walnut.1,8
Anafilaksis dapat terjadi segera atau sampai dua jam setelah paparan alergen.
Sekitar sepertiga reaksi anafilaksis, gejala awal diikuti oleh serangan gejala
lambat dua sampai empat jam setelahnya. Kombinasi dari gejala fase awal
yang diikuti gejala fase lambat disebut reaksi bifasik. Gejala fase lambat sering
terjadi pada traktus respiratorik dan mungkin lebih berat dibandingkan saat
fase cepat. Sekitar 20% rekasi bifasik terjadi pada reaksi anafilaksis.1,8

Gambar 4. Seorang anak yang mengalami anafilaksis akibat alergi makanan (kiri).
Model suntikan epinefrin yang digunakan pasien pada tubuhnya sendiri (kanan).

Setiap reaksi alergi makanan memiliki potensi berkembang menjadi


situasi yang mengancam nyawa. Beberapa faktor dapat meningkatkan risiko
reaksi anafilaksis yang berat sampai fatal: asma yang bersamaan/konkomitan,
riwayat anafilaksis sebelumnya, alergi kacang tanah, walnut, dan/atau kerang-
kerangan; dan tertundanya atau kegagalan pemberian epinefrin. Alergi
makanan lebih sering pada anak-anak yang lebih muda.1,8

17
Selain reaksi yang diperantarai oleh IgE, reaksi alergi makanan juga
dapat terjadi akibat cell-mediated, atau gabungan antara IgE-mediated dan cell-
mediated. Reaksi alergi non IgE-mediated dapat terjadi pada traktus
respiratorius, traktus gatrointestinal, dan pada kulit.1,2,3
Reaksi alergi makanan non IgE-mediated pada traktus respiratorius
adalah:1,3
1) Asma; merupakan reaksi alergi gabungan antara IgE dan cell-mediated.
Walaupun jarang terjadi, namun asma akibat reaksi alergi makanan dapat
terjadi. Orang dengan asma dapat terangsang oleh alergi makanan dan
meningkatkan risiko terjadinya reaksi yang mengancam nyawa. Gejala
khas pada asma adalah batuk-batuk berulang, dispnea, dan wheezing.
2) Sindrom Heiner; merupakan penyakit yang jarang terjadi, biasanya
mengenai bayi dan balita. Penyebab primer oleh karena konsumsi susu,
ditandai oleh gejala saluran nafas bawah yang kronik atau rekuren yang
berhubungan dengan: infiltrat paru-paru, gejala saluran nafas atas, gejala
gastrointestinal, hemosiderosis paru-paru, anemia defisiensi besi, gagal
tumbuh.
Kelainan Mekanisme
Rinokonjungtivitis akut IgE-mediated
Asma IgE dan cell mediated
Sindrom Heiner Belum jelas, diperkirakan kombinasi IgE
dan cell-mediated

Reaksi alergi makanan non IgE-mediated pada kulit adalah:1,3


1) Dermatitis atopik; merupakan reaksi alergi akibat IgE dan cell-mediated.
Mutasi pada protein barier kulit filaggrin akan meningkatkan risiko
sensitisasi alergen transkutaneus dan timbulnya alergi makanan pada
penderita dengan dermatitis atopik. Pada pasien yang tersensitisasi,
biasanya bayi dan balita, alergen makanan dapat menginduksi lesi
urtikaria, gatal, bercak kemerahan/eritem, semuanya akan merangsang
timbulnya dermatitis atopik.

18
2) Dermatitis kontak; merupakan salah satu bentuk eksema yang disebabkan
reaksi alergi cell-mediated terhadap hapten kimia yang terdapat pada zat
adiktif makanan atau kadang terdapat secara alami. Gambaran klinis
termasuk pruritus, eritem, papula, vesikel, dan edema.
3) Dermatitis herpetiformis; kelainan kulit yang terjadi karena cell-mediated,
ditandai oleh pruritus, ruam papulovesikular pada daerah ekstensor dan
pantat.
Kelainan Mekanisme
Urtikaria akut IgE-mediated
Angioedema IgE- mediated
Dermatitis atopik IgE dan cell-mediated
Dermatitis kontak Cell-mediated
Dermatitis Cell-mediated
herpetiformis

Reaksi alergi makanan non IgE-mediated pada traktus gastrointestinal


adalah:1,3
1) Esofagitis eosinofilik alergi; esofagitis yang disebabkan karena reaksi
alergi IgE-mediated dan/atau oleh karena cell-mediated. Gejalanya dapat
berupa refluks gastroesofageal, muntah, disfagia, nyeri abdomen
intermiten, iritabilitas usus, gangguan tidur, tidak berespon terhadap obat
refluks konvensional.
2) Gastroenteritis eosinofilik alergi; menyerupai esofagitis eosinofilik alergi,
dimana terdapat infiltrasi eosinofil pada mukosa di gaster dan intestinal.
Gejala yang muncul antara lain nyeri abdomen rekuren, muntah proyektil,
diare, terdapat darah pada feses, anemia defisiensi besi, berat badan turun,
atau gagal tumbuh.
3) Food protein-induced proctocolitis; gangguan gastrointestinal yang
disebabkan oleh mekanisme cell-mediated. Biasanya terjadi pada beberapa
bulan setelah kelahiran oleh karena protein makanan yang masuk lewat air
susu ibu (pada 50% bayi) atau karena susu formula. Bayi terlihat sehat dan

19
tumbuh dengan baik, namun dapat teridentifikasi karena ditemukannya
perdarahan jelas atau tersamar pada feses. Lesi terjadi pada kolon distal
berupa edema mukosa, disertai infiltrasi eosinofil pada epitel dan lamina
propria.
4) Food protein-induced enterocolitis; akibat cell-mediated. Gejala timbul
paling banyak akibat konsumsi formula susu sapi atau protein kedelai.
Gejala berupa diare, muntah 1-3 jam setelah konsumsi alergen, distensi
abdomen, dan kram perut.
5) Food protein-induced enteropathy; umumnya terjadi pada beberapa bulan
pertama kelahiran dengan diare (steatorea ringan sampai sedang pada 80%
kasus) dan pertumbuhan berat badan yang kurang. Hasil biopsi
memperlihatkan atropi pada sebagian vilus mukosa usus, tampak infiltrasi
sel mononuklear, dan sedikit eosinofil.
Kelainan Mekanisme
Oral allergy syndrome IgE-mediated
Gastrointestinal anafilaksis IgE- mediated
Esofagitis eosinofilik alergi IgE-mediated dan/atau cell-mediated
Gastroenteritis eosinofilik alergi IgE-mediated dan/atau cell-mediated
Food protein-induced proctocolitis Cell-mediated
Food protein-induced enterocolitis Cell-mediated
Food protein-induced enteropathy Cell-mediated

2.5 Pemeriksaan Pada Alergi Makanan


Diagnosis alergi makanan dibuat berdasarkan diagnosis klinis, yaitu
anamnesis (mengetahui riwayat penyakit penderita) dan pemeriksaan yang
cermat tentang riwayat keluarga, riwayat pemberian makanan, tanda dan
gejala alergi makanan sejak bayi hingga kondisi sekarang. Bila dari
anamnesis, gejala dan tanda mendukung ke arah alergi makanan, maka dapat
dilakukan tes alergi.1,3,10
Pemeriksaan yang dilakukan untuk mencari penyebab alergi sangat
banyak dan beragam. Cara yang digunakan bisa dengan in vivo atau in vitro.

20
Pemeriksaan in vivo yang biasa digunakan pada alergi makanan adalah tes
kulit yang meliputi tes cukit (skin prick test/SPT), tes intradermal, dan tes
patch; dan tes provokasi makanan (food challenge). Sedangkan tes alergi in
vitro diantaranya adalah pemeriksaan IgE (RAST dan ImmunoCAP), antibodi
monoklonal dalam sirkulasi, pelepasan histamin oleh basofil (Basofil
histamine release assay/BHR), dan intestinal mast cell histamine release
(IMCHR).3,10

Gambar 5. Skema alur diagnostik alergi makanan.


Tes provokasi makanan adalah observasi pada penderita yang
mengkonsumsi sejumlah makanan yang dicurigai sebagai penyebab alergi
makanan dalam interval waktu yang ditentukan. Tes provokasi makanan
terbagi menjadi 3 jenis: open food challenge (OFC), single blind placebo-

21
controlled food challenge (SBPCFC), dan single blind placebo-controlled
food challenge (DBPCFC).3,10
OFC dilakukan dengan cara: baik dokter atau pasien menyadari bahwa
pasien mengkonsumsi makanan yang dicurigai, kandungan makanan yang
diujikan tidak disamarkan. Contohnya, seorang anak dengan riwayat alergi
telur diberikan sejumlah telur yang dimasak, ditingkatkan dosisnya tiap 30
menit hingga seluruh telur yang disajikan habis dimakan. Biasanya OFC
digunakan jika hasil tes kulit terhadap makanan yang dicurigai negatif. OFC
merupakan prosedur aman yang dapat digunakan di tempat praktek untuk
pasien yang dipilih berdasarkan riwayat dan hasil IgE spesifik makanan
tertentu mendekati nilai negatif.3,10
Pada SBPCFC, dokter menyadari apa yang dimakan oleh pasien, namun
pasien tidak menyadarinya. Makanan yang dicurigai disamarkan sehingga
pasien tidak sadar terhadap kandungan makanan yang dikonsumsinya.
Contohnya, seorang anak dengan riwayat alergi telur diberikan kandungan
telur yang telah disembunyikan dalam makanan lain.3,10

Gambar 6. Macam pemeriksaan pada alergi makanan.

22
DBPCFC dilakukan baik dokter dan pasien tidak mengetahui apa yang
pasien makan. Makanan yang dicurigai disamarkan pada makanan lain.
DBPCFC adalah gold standard atau baku emas untuk mencari penyebab
secara pasti alergi makanan. DBPCFC merupakan metode paling reliabel
karena menghilangkan bias pada dokter maupun pada pasien. Pemeriksaan
DBPCFC memberitahukan kepada kita bahwa: sebagian besar riwayat
penyakit tidak akurat, terdapat daftar makanan penyebab pada 90% kasus,
sebagian besar anak-anak alergi terhadap 1-2 jenis makanan saja.2,3,10
Tes provokasi makanan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan
riwayat yang jelas adanya reaksi alergi berat. Pasien harus menghindari
makanan yang dicurigai selama paling sedikit 2 minggu (diet eliminasi).
Antihistamin dihentikan minimal 5 hari sebelumnya. Akses intravena harus
disiapkan jika tes dilakukan pada pasien dengan riwayat reaksi alergi berat.
Pasien harus bebas gejala dan puasa pada hari pengujian. Prosedur pengujian
harus dalam pengawasan tenaga medis secara intensif. Makanan yang
dicurigai dapat disamarkan pada makanan lain atau kapsul untuk
menghilangkan rasa dan baunya. Tes dengan makanan yang lain dilakukan
pada hari yang berbeda. Total dosis yang biasanya digunakan selama
provokasi makanan: 8-10 g makanan kering, 100 ml makanan basah, dua kali
lipat untuk daging atau ikan. Skema dosis provokasi makanan dibagi menjadi
7 dosis yang semakin meningkat: 1%, 4%, 10%, 15%, 20%, 25%, dan 25%
lagi dari dosis total. Peningkatan dosis baik pada makanan yang diujikan atau
plasebo diberikan setiap 10-30 menit, dan ditunggu reaksinya 30 menit setelah
dosis terakhir diberikan.2,3,10

2.6 Penatalaksanaan
Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan obat atau
zat kimia, baik peroral maupun parenteral, maka tindakan yang perlu
dilakukan, adalah:

23
Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih
tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam
usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:
1. Airway (membuka jalan napas). Jalan napas harus dijaga tetap bebas,
tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar,
posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang
menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik
mandibula ke depan, dan buka mulut.
2. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak
ada tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke
hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat
mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial.
Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong
dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen.
Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong
dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau
trakeotomi.
3. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a.
karotis, atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan
hidup dasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi
jantung paru.
a. Segera berikan adrenalin 0.30.5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita
dewasa atau 0.01 mk/kg untuk penderita anak-anak, intramuskular.
Pemberian ini dapat diulang tiap 15 menit sampai keadaan membaik.
b. Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang
memberi respons, dapat ditambahkan aminofilin 56 mg/kgBB intravena
dosis awal yang diteruskan 0.40.9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.

24
c. Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau
deksametason 510 mg intravena sebagai terapi penunjang untuk
mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik atau syok yang membandel.
d. Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena
untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang
ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik.
Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung
serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan
kristaloid dan koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas
keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas
atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid,
maka diperlukan jumlah 34 kali dari perkiraan kekurangan volume
plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat
kehilangan cairan 20 40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan
larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan
perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa
larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan histamin.
e. Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok
anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam
perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di
tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin sesuai dengan fasilitas
yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi
waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi
dari jantung.
f. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan,
tetapi harus diawasi/diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam.
Sedangkan penderita yang telah mendapat terapi adrenalin lebih dari 23
kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit semalam untuk observasi. 12

25
12

26
2.7 Prognosis
Pada umumnya syok anafilaktik pada alergi makanan memberikan
prognosis yang baik dengan risiko mortaliti yang rendah yaitu sekitar 1% dari
semua kasus yang terjadi. Risiko kematian dapat meningkat bila terdapat
penyakit penyerta lain seperti astma atau terlambatnya pemberian adrenalin
dalam penatalaksanaannya. 12

27
BAB III
Kesimpulan

Alergi makanan adalah kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan
sistem tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap makanan, merupakan reaksi
IgE-mediated, cell-mediated, ataupun kombinasi keduanya. Alergi makanan perlu
dibedakan dengan reaksi simpang makanan lainnya, seperti keracunan makanan,
intoleransi makanan, dan reaksi idiosinkrasi makanan. Prevalensi alergi makanan
di Amerika Serikat sebanyak 3,5-4% dari seluruh populasi, dengan kejadian
terbanyak mengenai anak usia sekolah dan anak di bawah 3 tahun.
Penyebab alergi makanan adalah alergen, yang sebagian besar berupa
glikoprotein dengan berat molekul 10 sampai 70 kd, tahan terhadap panas, asam,
dan enzim proteolitik. Reaksi alergi yang terjadi dapat diperberat dengan adanya
faktor pencetus, berupa faktor fisik dan psikis.
Alergen yang masuk lewat makanan akan menghadapi barier
gastrointestinal. Barier gastrointestinal memiliki faktor fisikokimia dan faktor
seluler yang mencegah masuknya antigen asing. Imaturitas atau gangguan pada
barier gastrointestinal akan menyebabkan antigen asing, termasuk alergen
makanan, masuk ke mukosa usus dan akan mengaktifkan respon sistem
imunologis. Selanjutnya alergen akan mengalami 2 tahap hingga timbul reaksi
alergi, yaitu tahap sensitisasi dan tahap elisitasi.
Gejala klinis reaksi alergi makanan tergantung dari target organ yang
terkena, biasanya mengenai kulit, sistem respiratorik, dan sistem gastrointestinal.
Pada masing-masing target organ perantaranya, manifestasi yang timbul sesuai
dengan mekanismenya apakah IgE-mediated, cell-mediated, atau kombinasi
keduanya. Pada kulit dapat terjadi urtikaria akut, angioedema, dermatitis atopik,
dermatitis kontak, atau dermatitis herpetiformis. Pada sistem respiratorik timbul
rinokonjungtivitis akut, asma, dan sindrom Heiner. Sedangkan pada sistem
gastrointestinal akan timbul oral allergy syndrome, gastrointestinal anafilaksis,
esofagitis dan gastroenteritis eosinofilik alergi, Food protein-induced
proctocolitis, induced enterocolitis, dan induced enteropathy.

28
Diagnosis alergi makanan berdasarkan anamnesis, riwayat keluarga,
riwayat pemberian makanan, tanda dan gejala alergi makanan sejak bayi hingga
sekarang. Pemeriksaan untuk alergi makanan dapat in vivo atau in vitro.
Pemeriksaan in vivo untuk alergi makanan dengan tes kulit dan tes provokasi
makanan. Sedangkan pemeriksaan in vitro diantaranya adalah pemeriksaan IgE,
antibodi monoklonal, pelepasan histamin oleh basofil, dan pelepasan hitamin oleh
sel mast intestinal. Tes provokasi makanan merupakan baku emas untuk diagnosis
alergi makanan.
Jika diagnosis alergi makanan telah ditegakkan, manajemen yang terbukti
efisien adalah menghindari makanan penyebab. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan diet eliminasi dan perhatian pasien terhadap label makanan yang dijual.
Edukasi dan persiapan dalam menangani anafilaksis menjadi perhatian
berikutnya. Imunoterapi spesifik yang bermanfaat pada pasien alergi pollen tidak
dianjurkan dilakukan pada pasien alergi makanan, karena risiko anafilaksis.
Pengobatan yang masih dalam penelitian adalah terapi genetik dan anti-IgE.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Sampson HA. Update on food allergy. J Allergy Clin Immunol. 2004; 113:
805 19
2. Sampson HA. Food allergy. J Allergy Clin Immunol. 1999; 103: 717 28
3. Sicherer SH, Sampson HA. Food allergy. J Allergy Clin Immunol. 2010;
125: 116-25
4. Furukawa CT. Nonimmunologic food reactions that can be confused with
allergy. In: Anderson JA, editor. Immunology and allergy clinics of north
america. Philadelphia: WB Saunders Company. 1991; 11(4): 815 27
5. Understanding food allergy. International Food Information Council
Foundation. Washington. 2001
6. Sampson HA. Immunologic mechanisms in adverse reactions to foods. In:
Anderson JA, editor. Immunology and allergy clinics of north america.
Philadelphia: WB Saunders Company. 1991; 11(4): 701 12
7. Abbas AK, Lichtman AH. Basic immunology: functions and disorders of
the immune system. Philadelphia: Elsevier Inc. 2004; 11: 193 201
8. Sachs MI, Yunginger JW. Food-induced anaphylaxis. In: Anderson JA,
editor. Immunology and allergy clinics of north america. Philadelphia:
WB Saunders Company. 1991; 11(4): 743 53
9. Ramirez DA, Bahna SL. Food hypersensitivity by inhalation. Clinical and
molecular allergy. 2009; 7: 4
10. Lieberman JA, Sicherer SH. Diagnosis of food allergy: epicutaneus skin
test, in vitro test, and oral food challenge. Curr Allergy Asthma Rep. 2010
11. Boyce JA, et al. Guideline for the diagnosis and management of food
allergy in the United State: report of the NIAID-sponsored expert panel. J
Allergy Clin Immunol. 2010; 126: S1-S58\
12. Passmore Joanne, et.all. 2013. Anaphylaxis/Anaphylactic Shock. UK :
South Devon Healthcare NHS. Hal 1-12.

30

Anda mungkin juga menyukai