Anda di halaman 1dari 14

FIXED DRUG ERUPTION

I. PENDAHULUAN
Fixed drug eruption (FDE) merupakan salah satu bentuk erupsi kulit karena
obat, FDE ditandai oleh makula hiperpigmentasi dan kadang-kadang bula
diatasnya, yang dapat muncul kembali ditempat yang sama sebagai akibat dari
paparan sistemik terhadap suatu obat. FDE adalah erupsi alergi obat yang selalu
dicetuskan oleh obat atau bahan kimia. Tidak ada faktor etiologi lain yang dapat
mengelisitasi.1,2
Sekitar 10% FDE terjadi pada anak dan dewasa, usia paling muda yang
pernah dilaporkan adalah 8 bulan. Menurut penelitian yang sudah dilakukan, FDE
merupakan manifestasi klinis erupsi alergi obat terbanyak (63%) dari 58 kasus
bayi dan anak, disusul dengan erupsi eksantematosa (3%) dan urtikaria (12%).
Belum ada laporan kematian yang berkaitan dengan kasus FDE. Jumlah kasus
bertambah dengan meningkatnya usia, hal tersebut mungkin disebabkan
pajanan obat yang bertambah.1-3
Obat adalah bahan kimia yang digunakan untuk pemeriksaan, pencegahan
dan pengobatan suatu penyakit atau gejala. Selain manfaatnya obat dapat
menimbulkan reaksi yang tidak diharapkan yang disebut reaksi simpang obat.
Reaksi simpang obat dapat mengenai banyak organ antara lain paru, ginjal, hati
dan sumsum tulang tetapi reaksi kulit merupakan manifestasi yang tersering.1,2,4
Reaksi tersebut dapat berupa reaksi yang dapat diduga (predictable) dan
yang tidak dapat diduga (unpredictable). Reaksi simpang obat yang dapat diduga
(predictable) terjadi pada semua individu, biasanya berhubungan dengan dosis
dan merupakan efek farmakologik obat yang telah diketahui. Reaksi ini meliputi
80% dari seluruh efek simpang obat termasuk diantaranya efek samping dan
overdoses (kelebihan dosis). Reaksi simpang yang tidak dapat diduga
(unpredictable) hanya terjadi pada orang yang rentan, tidak bergantung pada dosis
dan tidak berhubungan dengan efek farmakologis obat, termasuk di antaranya
reaksi alergi obat. Reaksi alergi obat pada kulit disebut erupsi alergi obat. Satu

1
macam obat dapat menyebabkan lebih dari satu jenis erupsi, sedangkan satu jenis
erupsi dapat disebabkan oleh bermacam-macam obat. 1,4
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis yang
khas. Pemeriksaan penunjang yang merupakan baku emas adalah tes provokasi
oral, tes ini bertujuan untuk mencetuskan tanda dan gejala klinis yang lebih ringan
dengan pemberian obat dosis kecil biasanya sudah cukup untuk memprovokasi
reaksi dan provokasi biasanya sudah muncul dalam beberapa jam.
Penatalaksanaannya yang terutama adalah penghentian penggunaan obat yang
diduga mencetuskan FDE, pengobatan oral dengan antihistamin dan pengobatan
topikal tergantung lesi, jika basah diberikan kompres dan jika kering dapat
diberikan kortikosteroid topikal.1,4
II. EPIDEMIOLOGI
Beberapa penelitian tentang morfologi dan agen pencetus pada pasien-
pasien dengan erupsi obat di sebuah rumah sakit bagian kulit dan kelamin pada
tahun 1986-1990 dilaporkan pada 135 kasus didapatkan perubahan morfologik
akibat erupsi obat yang paling sering adalah eksantematous (39%),
urtikaria/angioedema (27%), FDE (16%), eritema multiform (5,4%) dan reaksi kulit
lainnya (18%). Sejak tahun 1956 proporsi dari reaksi erupsi obat berupa urtikaria
menurun dan terjadi peningkatan angka kejadian FDE. 1,3
Prevalensi erupsi obat dilaporkan berkisar dari 2-5% untuk pasien rawat
inap dan untuk pasien rawat jalan diatas 1%. FDE dapat terjadi sebanyak 16-21 %
dari semua erupsi obat pada kulit. Frekuensi yang sebenarnya mungkin lebih tinggi
dari perkiraan saat ini.2,3
Tidak ada kematian telah dikaitkan dengan FDE. Lesi luas pada awalnya
mirip nekrolisis epidermal toksik, tetapi mereka memiliki perjalanan klinis jinak.
Hiperpigmentasi yang terlokalisir adalah komplikasi umum, tapi rasa nyeri, infeksi,
dan hipopigmentasi, juga dapat terjadi.2
Sebuah studi besar dengan 450 pasien mengungkapkan rasio laki-
perempuan untuk FDE adalah 1:1.1. FDE telah dilaporkan terjadi pada pasien
termuda 8 bulan dan pasien tertua 87 tahun. Usia rata-ratanya 30,4 tahun pada
pria dan 31,3 tahun pada wanita. 2

2
III. ETIOPATOGENESIS
Banyak obat yang dilaporkan dapat menyebabkan FDE. Yang paling sering
dilaporkan adalah phenolpthalein, barbiturate, sulfonamide, tetrasiklin, antipiretik
pyrazolone dan obat anti inflamasi non steroid. 1,2,4,6-8
Tabel 1: Daftar obat penyebab FDE
Obat anti bakteri Metronidazole Ibuprofen
Sulfonamid Clioquinol Phenolpthalein
Tetrasiklin Barbiturat dan tranquilizer lainnya Codein
Penisilin Derivat Barbiturat Hydralazin
Ampisilin Opiat Oleoresin
Amoksisilin Chloral hidrat Symphatomimetic
Eritomisin Benzodiazepine Symaphatolitic
Trimethoprim Chlordiazepoxide Parasymphatolitic
Nistatin Antikonvulsan Hyoscine butylbromid
Griseofulvin Dextromethophan Magnesium hydroxide
Dapson Obat anti inflamasi non steroid Magnesium trisilicate
Arsen Aspirin Anthralin
Garam Merkuri Oxyphenbutazone Chlorthiazone
P amino salicylic aci Phenazone Chlorphenesin carba
d mate
Thiacetazone Metimazole Berbagai penambah
rasa makanan
Quinine Paracetamol
Sumber: Partogi, Donna. Fixed Drug Eruption. Universitas Sumatra Utara. 2008.
Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui mekanisme imunologik
atau non imunologik. Yang dimaksud dengan erupsi obat adalah alergi terhadap
obat yang terjadi melalui mekanisme imunologik. Hal ini terjadi pada pemberian
obat kepada pasien yang sudah mempunyai hipersesitivitas terhadap obat
tersebut.disebabkan oleh berat molekulnya yang rendah, biasanya obat itu
berperan pada mulanya sebagai antigen yang tidak lengkap atau hapten. Obat
atau metaboliknya yang berupa hapten, harus berkombinasi terlebih dahulu
dengan protein, misalnya jaringan, serum atau protein dari membran sel untuk
membentuk kompleks antigen yaitu kompleks hapten protein. Kekecualiannya
ialah obat-obat dengan berat molekul yang tinggi yang dapat berfungsi langsung
sebagai antigen yang lengkap.1,4

3
Meskipun mekanisme yang tepat tidak diketahui, penelitian terbaru
menunjukkan proses mediasi sel yang memulai lesi baik aktif dan pasif. Proses ini
mungkin melibatkan antibodi dependen. Sel CD8 + efektor / memori T memainkan
peran penting dalam reaktivasi lesi dengan paparan ulang obat yang bereaksi. 2,6,7
Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologi yang dikemukakan oleh
Coomb & Gell, suatu reaksi alergi terhadap obat dapat mengikuti salah satu dari
ke empat jalur berikut ini:
A. Tipe I Reaksi Anafilaktik
Reaksi obat yang diperantarai IgE biasanya terjadi karena
penisilin atau golongannya. Reaksi dapat terjadi dalam beberapa
menit setelah pemakaian obat. Gejala biasanya bervariasi seperti
pruritus, urtikaria, spasme bronkus, dan edema laring bahkan dapat
menyebabkan terjadinya syok anafilaktik dengan hipotensi dan
kematian. Sel mast dan basofil yang tersentisisasi akan melepaskan
mediator-mediator kimia (histamin) atau lemak (leukotriens /
prostaglandin) yang akan menimbulkan gejala klinik yang berbeda-
beda tergantung dari interaksi organ target (kulit, sistim respirasi,
GIT atau sistim kardiovaskuler) dengan mediator kimia tersebut.
Penelitian terbaru mengatakan reaksi obat perantaraan IgE lebih
diakibatkan peran basofil daripada sel mast. Pelepasannya dipicu
ketika terjadi konjugasi protein obat polifalen yang terbentuk secara
in vivo dan behubungan dengan molekul IgE yang mensensitisasi
sel-sel.4,9
B. Tipe II Reaksi Sitotoksik
Reaksi tipe II hipersensitivitas Gell-Coombs dicirikan oleh
interaksi antigen-antibodi, mengakibatkan produksi lokal
anafilotoksin (C5a), leukosit polimorfonuklear (PMN) dan cedera
jaringan akibat pelepasan hidrolitik neutrofil enzim setelah autolisis.
Reaksi tipe ini dapat disebabkan oleh obat (antigen) dan
memerlukan penggabungan antara IgE dan IgM dengan antigen

4
yang melekat pada sel. Hal ini menyebabkan efek sitolitik atau
sitotoksik oleh sel efektor yang diperantai komplemen. 4,9
Gabungan obat-antibodi-komplemen terfiksasi pada sel
sasaran. Sebagai sel sasaran ialah berbagai macam sel biasanya
eritrosit, leukosit, trombosit yang mengakibatkan lisis sel, sehingga
reaksi tipe II disebut juga reaksi sitolisis atau sitotoksik. 4,9
Erupsi obat alergik yang berhubugan dengan tipe ini ialah
purpura, bila sel sasarannya trombosit. Obat lain yang menyebabkan
alergik tipe ini ialah penisilin, sefalosporin, streptomisin,
klorpromazin, sulfonamida, analgesik, dan antipiretik. 4,9
C. Tipe III Reaksi Kompleks Imun
Reaksi ini ditandai oleh pembentukan kompleks antigen,
antibodi (IgG dan IgM) dalam sirkulasi darah atau jaringan dan
mengaktifkan komplemen. Komplemen yang diaktifkan kemudian
melepaskan berbagai mediator di antaranya enzim-enzim yang
dapat merusak jaringan. Kompleks imun akan beredar dalam
sirkulasi dan kemudian dideposit pada sel sasaran. 4
D. Tipe IV Reaksi Alergi Selular Tipe Lambat
Reaksi ini melibatkan limfosit, Antigen Presenting Cell (APC),
dan sel Langerhan yang mempresentasi antigen kepada limfosit T.
Limfosit T yang tersentisisasi mengadakan reaksi dengan antigen.
Reaksi ini di sebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12 - 48 jam
setelah pajanan dengan antigen menyebabkan pelepasan
serangkaian limfokin.4,9
Fixed drug eruption termasuk dalam reaksi tipe III dengan adanya reaksi
kompleks antigen antibodi.
IV. GEJALA KLINIS
Fixed drug eruption dapat timbul dalam waktu 30 menit sampai 8 jam
setelah ingesti obat secara oral. Lesi berupa makula oval atau bulat, biasanya
numular, timbul bercak eritema kehitaman, seringkali dengan bagian tengah

5
berwarna keunguan, berbatas tegas, seiring dengan waktu lesi bisa menjadi bula,
mengalami deskuamasi atau menjadi krusta.4-6,10

Gambar 1. Gambaran FDE Pada Bibir


Sumber: http://www.dermnetnz.org/reactions/fixed-drug-eruption.html
Ukuran lesi bervariasi mulai dari lentikuler sampai plakat. Lesi awal
biasanya soliter, tapi jika penderita meminum obat yang sama maka lesi yang lama
akan timbul kembali disertai dengan lesi yang baru. Namun jumlah lesi biasanya
sedikit. Timbulnya kembali lesi ditempat yang sama menjelaskan arti kata “fixed”
2,12,13
pada nama penyakit tersebut.
Lesi dapat dijumpai di kulit dan membran mukosa yaitu di bibir, badan,
tungkai, tangan dan genital. Tempat paling sering adalah ekstremitas dan genital.
Lesi FDE pada penis sering disangka sebagai penyakit kelamin karena berupa
erosi yang kadang-kadang cukup luas disertai eritema dan rasa panas setempat. 4-
6,10,12,13

6
Gambar 2. Hiperpigmentasi Akibat FDE
Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/1336702-clinical#a0217
Gejala lokal meliputi gatal dan rasa terbakar, dapat juga timbul demam dan
malaise. Tidak dijumpai pembesaran kelenjar getah bening regional. Lesi pada
FDE jika menyembuh akan meninggalkan bekas radang dengan hiperpigmentasi. 2,
4-6,10,12

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah tidak berguna untuk diagnosis FDE, meskipun
eosinofilia umum terjadi pada erupsi obat. 2 Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan
adalah:
A. Biopsi kulit membantu untuk memastikan diagnosis atau menyingkirkan
diagnosis banding. Pemeriksaan histologis inflamasi / lesi akut
menunjukkan dermatitis dengan perubahan vakuolar dan badan Civatte.
Pola keseluruhan mungkin mengikuti yang terlihat pada eritema
multiforme. Dyskeratosis dan keratinosit nekrotik individual dalam
epidermis merupakan hal yang menonjol.

7
Gambar 3. Gambaran Histopatologi FDE
Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/1336702-clinical#a0217
Infiltrate limfositik dapat cukup menonjol untuk mengaburkan
persimpangan dermoepidermal. Spongiosis, edema dermal, eosinofil,
dan neutrofil mungkin ada sesekali. Inkontinensia pigmen dalam dermis
papillary adalah fitur karakteristik dan mungkin satu-satunya fitur yang
terlihat pada yang lebih tua, lesi yang tidak inflamasi. Lesi kronis atau
tidak aktif juga dapat menunjukkan akantosis ringan, hiperkeratosis, dan
sedikit sel inflamasi.
B. Uji tempel obat merupakan prosedur yang tidak berbahaya. Reaksi
anafilaksis sangat jarang terjadi, dan untuk mengantisipasinya
dianjurkan mengamati penderita dalam waktu setengah jam setelah
penempelan. Secara teoritis dapat terjadi sensitisasi akibat uji tempel,
namun dalam prakteknya jarang ditemui. Tidak dianjurkan melakukan
uji tempel selama erupsi masih aktif maupun segera sesudahnya.
Berdasarkan pengalaman para peneliti, uji tempel sebaiknya dilakukan
sekurang-kurangnya 6 minggu setelah erupsi mereda. Khusus untuk
FDE, dapat digunakan cara uji tempel yang agak berbeda. Obat dengan
konsentrasi 10% dalam vaselin atau etanol 70% diaplikasikan secara
terbuka pada bekas lesi dan punggung penderita. Observasi dilakukan
dalam 24 jam pertama dan dianggap positif bila terdapat eritema yang
jelas yang bertahan selama minimal 6 jam. Kalau cara ini tidak

8
memungkinkan untuk dilaksanakan dianjurkan uji tempel tertutup
biasa dengan pembacaan pertama setelah penempelan 24 jam. Hasil
uji tempel yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis erupsi obat dan
hasil yang positif dapat menyokong diagnosis dan menentukan
penyebab meskipun peranannya masih kontroversi. Metode uji tempel
masih memerlukan banyakbperbaikan, diantaranya dengan menggiatkan
penelitian tentang konsentrasi yang sesuai untuk setiap obat, vehikulum
yang tepat dan menentukan metabolisme obat di kulit. 1,2,14
C. Uji provokasi oral bertujuan untuk mencetuskan tanda dan gejala klinis
yang lebih ringan dengan pemberian obat dosis kecil biasanya dosis 1/10
dari obat penyebab sudah cukup untuk memprovokasi reaksi dan
provokasi biasanya sudah muncul dalam beberapa jam. Karena
resiko yang mungkin ditimbulkannya maka uji ini harus dilakukan
dibawah pengawasan petugas medis yang terlatih. 1,2,5,14
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis yang
khas. Riwayat perjalanan penyakit yang rinci, termasuk pola gejala klinis, macam
obat, dosis, waktu dan lama pajanan serta riwayat alergi obat sebelumnya penting
untuk membuat diagnosis. Adanya kelainan klinis berupa lesi yang selalu timbul
pada tempat yang sama akibat pemaparan obat. Penghentian obat yang diikuti
penurunan gejala klinis merupakan petunjuk kemungkinan erupsi disebabkan oleh
obat tersebut.1,2,4
Saat ini belum diketahui cara yang cukup sensitif dan dapat dipercaya
untuk mendeteksi obat penyebab FDE namun dapat juga dilakukan biopsi kulit, uji
tempel obat, dan uji provokasi oral untuk membantu menegakkan diagnosis atau
menyingkirkan diagnosis banding.1,2,4,14
VII. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding FDE di antaranya adalah eritema multiforme dan Post-
Inflammatory Hiperpigmentasi (PIH). Eritema multiforme adalah penyakit inflamasi
akut pada kulit dan mukosa yang menyebabkan berbagai bentuk lesi akibat
deposit imunokompleks. Etiologinya belum jelas, tetapi ada beberapa faktor yang

9
diduga berperan yaitu obat-obatan golongan sulfa, penisilin, analgesik, dan
antipiretik. Kelainan ini timbul cepat dengan gejala prodromal dalam 48 jam. 2,15

Gambar 4. Lesi Target Pada Eritema Multiforme


Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/1122915-clinical#a0256
Lesi patognomonik adalah lesi target pada kulit yang terdiri dari bula
dikelilingi oleh edema dan eritema. Lesi pada eritema multiforme lebih besar, tidak
teratur, lebih dalam, biasanya berdarah, dan dapat terjadi pada semua mukosa
mulut. Lesi pada bibir khas berbentuk lesi yang ditutupi krusta merah kehitaman. 15
Post-Inflammatory Hiperpigmentasi (PIH) adalah masalah yang sering
dihadapi dan merupakan gejala sisa dari gangguan kulit serta berbagai intervensi
terapeutik. 2,16

Gambar 5. Makula Hiperpigmentasi PIH Akibat Ekskoriasi Akne


Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/1069191-clinical#a0217
Distribusi dari lesi hipermelanotik tergantung pada lokasi inflamasi
dermatosis asli. Warna lesi berkisar dari cahaya coklat sampai hitam, dengan

10
penampilan cokelat lebih ringan jika pigmen berada dalam epidermis dan
penampilan yang lebih gelap abu-abu jika lesi mengandung melanin kulit. 16
VIII. PENATALAKSANAAN
Pengobatan FDE belum memuaskan, antara lain karena kesukaran dalam
memastikan penyebabnya, apakah oleh obatnya sendiri atau metabolitnya. 1,2
Pengobatan dibagi dalam :
A. Pengobatan kausal
Dilaksanakan dengan menghindari obat penyebab (apabila obat
penyebab telah dapat dipastikan). Dianjurkan pula untuk menghindari
obat yang mempunyai struktur kimia mirip dengan obat penyebab (satu
golongan).1,2,12
B. Pengobatan sistemik
1) Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat
sistemik. Dosis standar untuk fixed drug eruption pada orang dewasa
ialah 3 x 10 mg prednison sehari. 2,4
2) Antihistamin
Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika
terdapat rasa gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang bila
dibandingkan dengan kortikosteroid.1,2,4
C. Pengobatan topikal
Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit,
apakah kering atau basah. Pada FDE, jika kelainan membasah dapat
diberi kompres dan jika kering dapat diberi krim kortikosteroid, misalnya
krim hidrokortison 1% atau 2,5 %.2,4
Identifikasi dari obat penyebab FDE dilakukan apabila hanya 1 obat yang
digunakan biasanya kita mencurigai beberapa obat sebagai petunjuk yang kita
gunakan adalah mengetahui kronologis pemberian obat-obatan tersebut. Hanya
obat-obatan yang baru digunakan (8-21 hari) yang dimasukkan dalam daftar yang
dicurigai.1,2,12

11
Identifikasi yang jelas dari obat penyebab dan catatan tertulis tentang
obat-obat penyebab yang diberikan pada pasien oleh dokter merupakan langkah
pencegahan yang sangat penting. Pemberian obat spesifik (kortikosteroid, obat-
obatan imunosupresif/terapi anti sitokin, immunoglobulin) seharusnya tidak
diberikan sesuai standar pemberian obat sebelum terdapat bukti efisiensi
penggunaannya terhadap pasien, kadang-kadang penggunaan obat-obatan
tersebut dapat berbahaya bagi pasien.1,2,4
IX. PROGNOSIS
Prognosis umumnya baik. Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan
menyembuh jika obat penyebabnya dapat diketahui dan disingkirkan. Apabila
obat tersangka penyebab telah dapat dipastikan maka sebaiknya kepada
penderita diberikan catatan, berupa kartu kecil yang memuat jenis obat tersebut
serta golongannya. Kartu tersebut dapat ditunjukkan bilamana diperlukan
(misalnya apabila penderita berobat), sehingga dapat dicegah pajanan ulang yang
memungkinkan terulangnya FDE.2,4
X. KESIMPULAN
Fixed drug eruption adalah erupsi alergi obat yang bila berulang akan
timbul pada tempat yang sama.. Lesi berupa makula oval atau bulat berwarna
merah tau keunguan, berbatas tegas, dapat ditemukan bula diatasnya, dapat
dijumpai pada kulit dan mukosa, terutama pada bibir dan genital. Etiologi yang
paling sering adalah phenolphthalein, sulfonamide, tetrasiklin, antipiretik
pyrazolone dan obat anti inflamasi non steroid. Patogenesis FDE diduga
merupakan reaksi hipersensitifitas tipe lambat dan dihubungkan dengan genetik
adanya kesamaan pada HLA B12. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan gambaran klinis yang khas. Pemeriksaan penunjang yang merupakan baku
emas adalah tes provokasi oral, namun harus dibawah pengawasan petugas
medis yang terlatih. Penatalaksanaannya yang terutama adalah penghentian
penggunaan obat yang diduga mencetuskan FDE, pengobatan oral dengan
antihistamin dan pengobatan topikal tergantung lesi jika basah diberikan kompres
dan jika kering dapat diberikan kortikosteroid topikal.1,2,4,7,11

12
DAFTAR PUSTAKA
1. Partogi D. Fixed Drug Eruption. [homepage on the Internet]. 2008 [cited 2014
Feb 20]. Available from: Universitas Sumatra Utara, Web site:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3411/1/08E00858.pdf
2. Butler DF, Ilse JR, Schwartz RA. Fixed Drug Eruptions, [homepage on the
Internet]. 2012 [cited 2014 Feb 20]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1336702-overview
3. Retno Widowati Soebaryo, Tantien Nugrohowati, Evita Halim Effendi. Skin test in
drug eruption. Five years experience at Dr. Cipto Mangunkusumo General
Hospital, Jakarta 2004; 13(2): 81-5.
4. Hamzah M. Erupsi Obat Alergik Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi V. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. 2008; 154–8.
5. Zaenglein AL, Graber EM, Thiboutot DM, Strauss JS. Cutaneus Reactions To
Drugs. In: Shear NH, Knowles SR, Sullivan JR, Shapiro L, eds. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2007.p.454-5.
6. Orcin M, Maibach H & Dahl MV Dermatology A Lange Medical Book. New York:
Appleton and Lange; 1991.
7. Mizukawa Y, Shiohara T. Trauma-Localized Fixed Drug Eruption: Involvement of
Burn Scars, Insect Bites and Venipuncture Sites. Dermatology 2002; 205:159-
161.
8. Waikato H. Fixed Drug Eruption. [homepage on the Internet]. 2012 [cited 2014
Feb 22]. Available from: http://www.dermnetnz.org/reactions/fixed-drug-
eruption.html
9. Rajan TV, The Gell–Coombs classification of hypersensitivity reactions: a re-
interpretation. TRENDS in Immunology 2003; 24(7):376-9.
10. Graham R, Brown TB. Lecture's Notes Dermatology. Jakarta: Erlangga EMS;
2002. pp.56-34
11. Williams D. Fixed drug eruption. [homepage on the Internet]. 2012 [cited 2014
Feb 22]. Available from: http://www.onlinedermclinic.com/archive/fixed-drug-
eruption

13
12. Malheiro D, Cadinha S, Rodrigues J, Vaz M, Castel-branco Mg. Nimesulide-
induced fixed drug eruption. Allergol et Immunopathol 2005; 33(5):285-7.
13. Lee CH, Chen YC, Cho YT, Chang CY,Chu CY. Fixed-drug eruption: A
retrospective study in a single referral center in northern Taiwan. Dermatologica
Sinica 2012; 30:11-15.
14. Shiohara T, Fixed drug eruption. Current Opinion in Allergy and Clinical
Immunology. Tokyo: Kyorin University School of Medicine; 2009. pp.316-321
15. Plaza JA, Prieto VG, James WD. Erythema Multiforme, [homepage on the
Internet]. 2013 [cited 2014 Mar 15]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1122915-overview
16. Schwartz RA, Kihiczak NI, Hantash BM. Postinflammatory Hyperpigmentation.
[homepage on the Internet]. 2013 [cited 2014 Mar 15]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1069191-clinical#a0217

14

Anda mungkin juga menyukai