PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Protein transporter ZnT2 berada pada kelenjar mammae ibu dan
salah satu faktor yang mengatur proses sekresi ASI. Akrodermatitis
enteropatik yang disebabkan oleh defisiensi zinc laktogenik memiliki
karakteristik awitan dini, dengan perjalanan penyakit singkat dan dapat
sembuh dengan sendirinya. Gejala pada umumnya hilang setelah anak
mendapatkan asupan makanan padat. Diagnosis dapat ditegakan
berdasarkan temuan klinis serta pemerikaan penunjang berupa
rendahnya kadar zinc pada ASI.
2.1.2. Epidemiologi
Insidensi akrodermatitis enteropatika adalah sebanyak 1 di
antara 500.000 anak, tanpa predisposisi jenis kelamin, namun kasus
lebih banyak ditemui di benua Afrika serta Asia Tenggara.
Akrodermatitis enteropatik umumnya muncul di dalam 4-10 minggu
pertama bayi yang tidak diberikan ASI serta pada masa penyapihan.
2.1.3. Etiopatogenesis
Akrodermatitis enteropatik disebabkan oleh karena mutasi gen
SLC39A4 terletak pada kromosom 8q24.3 yang memiliki fungsi
pengkode protein transporter zinc sebagai protein yang diperlukan
untuk memediasi proses absorbsi zinc ke dalam lumen usus halus. Gen
SLC39A4 diekspresikan di duodenum dan jejunum. Gen ini terdiri dari
12 ekson dan sepanjang 4.7kb. Gen SLC39A4 diekspresikan pada sisi
apikal enterosit pada vili intestinal, tepat di mana absorbsi zinc terjadi.
3
rendahnya kadar zinc pada ASI dan menyebabkan asupan zinc yang
inadekuat pada bayi. Beberapa gejala lain yang dapat mendampingi
antara lain : munculnya garis Beau-Reil, paronychia, konjungtivitis,
blefaritis, dan eritema pada membran mukosa. Gejala tidak spesifik
yang dihubungan dengan defisiensi zinc juga dapat ditemui berupa
gagal untuk berkembang pada anak, buruknya penyembuhan luka,
hypogeusia, anemia, hipogonad, dan terlambatnya pencapaian proses
pubertas.
Tanda dan gejala pada anak dan bayi berupa: diare, perubahan
mood, anorexia, dan gangguan sistem saraf. Terdapat trias berupa :
dermatitis periorifisal, alopesia, dan diare; walaupun hanya ditemukan
pada 20% kasus. Tanpa pengobatan, pada lesi dapat terjadi erosi dan
terjadi penyebaran ke area periorifisial lain pada wajah (mata, hidung,
dan telinga), leher, abdomen, punggung, inguinal, dan tungkai.
Manifestasi ekstrakutan yang paling sering adalah diare. Hal ini
disebabkan karena apabila terjadi gangguan pada kadar zinc tubuh,
maka akan terjadi kerusakan epitel permukaan usus yang akan
menyebabkan makanan tidak dapat dicerna dan inflamasi
berkepanjangan akan menyebabkan peningkatan frekuensi defekasi
serta perubahan konsistensi feses, yakni diare.
4
Gambar 1. Lesi pada periorifisial, tungkai atas (A) dan wajah
(B)
5
2.1.5. Diagnosis
Diagnosis umumnya dapat dilakukan secara klinis dan dibantu
dengan melakukan pemeriksaan kadar serum zinc serta respon klinis
yang baik pasien terhadap pengobatan suplemen pengganti serum zinc.
Penyakit AE sebaiknya dipertimbangkan apabila mendapatkan pasien
bayi dengan lesi pada bagian akral serta periorifisial yang bersifat
simetris. Diagnosis akrodermaittis enteropatik cenderung lebih mudah.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pengukuran kadar
serum zinc walaupun saat ini telah ditemukan metode lebih canggih
untuk mendeteksi mutasi pada gen SLC39A4 yang dikaitkan dengan
defek pada absorbsi zinc.
2.1.6. Tatalaksana
Terapi dasar yang diberikan pada pasien AE berupa asupan oral
tablet zinc sulfas. Dosis yang dapat diberikan pada awal terapi sebesar
5-10mg/kgBB/hari dengan dosis rumatan 1-2mg/kgBB/hari. Dosis
harus disesuaikan dengan keadaan pertumbuhan, dan selama kehamilan
serta laktasi. Terapi haru diberikan segera mungkin, apabila tidak,
maka defisiensi zinc akan menyebabkan komplikasi berupa kerusakan
organ hingga kematian pasien. Tanpa diberikan terapi zinc, penyakit ini
bersifat mematikan. Terapi utama berupa suplementasi tablet zinc
sulfas diberikan setiap hari, hingga dengan berjalannya waktu, lesi akan
membaik dan berkurang secara signifikan hingga menghilang dalam
beberapa hari. Apabila pengobatan diberikan, angka tingkat
kelangsungan hidup hingga 100%. Penyakit ini harus diterapi dan
dipantau hingga seumur hidup.
2.1.7. Prognosis
Prognosis umumnya baik pada pasien memiliki kepatuhan baik
terhadap terapi oral substitusi zinc yang berkelanjutan hingga seumur
hidup. Penyakit ini dapat bersifat fatal namun terutama pada bayi yang
tidak diterapi.
6
2.2 Akropustulosis
2.2.1 Akrodermatitis Atrofik Kronik
2.2.1.1 Etiopatogenesis
Akrodermatitis atrofik kronik merupakan sebuah wujud
manifestasi tahap lanjutan pada penyakit Lyme akibat etiologi yang
serupa yakni infeksi Borrelia burgdorferi yang terjadi secara mendadak
setelah berbulan-bulan hingga tahun dari gigitan serangga terkait yang
bermanifestasi sebagai lesi inflamasi dan atrofik pada kulit di bagian
akral. Penyakit Akrodermatitis atrofik kronik lebih sering terjadi pada
wanita berusia lanjut, umumnya bersifat unilateral.
Patogensis penyakit ini sampai saat ini masih belum dipahami
secara pasti. Hal ini diakibatkan terbatasnya penelitian mengenai topik
terkait. Atrofi yang terjadi merupakan akibat dari proses inflamasi
berkelanjutan yang diakibatkan oleh aktivitas sistem imunitas dan
sitokin-sitokin proinflamasi, terjadi degenerasi kolagen dan penurunan
elastisitas kulit sehingga terdapat gambaran seperti "kertas rokok".
Ketika terjadi atrofi, penipisan pada lapisan dermis serta epidermis
memberikan tampilan transparan dan vena superfisial dapat terlihat.
7
Sampai saat ini, diduga bahwa area akral menjadi tempat
predileksi terjadinya atrofi oleh sebab temperatur kulit yang cenderung
lebih rendah serta rendahnya tekanan oksigen pada daerah tersebut
sehingga menguntungkan proses peradangan.
Gambar.3
Tampak atrofi
pada lapisan kulit
punggung tangan
dan perubahan
warna eritema
kebiruan serta
pembuluh darah
yang lebih jelas
terlihat.
2.2.1.3 Diagnosis
Diagnosis akrodermatitis atrofik kronik dilakukan berdasarkan
pemeriksaan klinis, pemeriksaan serologis (IgG dan IgM antibodi
terhadap antigen Borellia), pemeriksaan histopatologis, serta dengan
deteksi gen spesifik B. burgdorferi pada pemeriksaan PCR. Temuan
pada pemeriksaan histopatologis dapat berupa penipisan pada
epidermis, hilangnya rete ridges, penipisan dan menyempitnya lapisan
dermis, reduksi unit-unit pilosebaseus, serta dapat ditemui infiltrasi dari
sel-sel peradangan pada lapisan dermis berupa limfosit, histiosit, dan
sel plasma.
2.2.1.4 Tatalaksana
Tatalaksana sesuai standar berupa pemberian salah satu
antibiotic di antara berikut: amoxicillin 3 × 500–1000 mg p.o. untuk
14–28 hari, doxycycline 2 × 100 mg atau 1 × 200 mg p.o. untuk 14–28
hari, ceftriaxone 1 × 2000 mg i.v. untuk 14–28 hari, cefotaxime 3 ×
2000 mg i.v. untuk 14–28 hari, atau Penicillin G 3–4jt U tiap 4 jam i.v.
untuk 14–28 hari. Respon terapi umumnya baik pada tahap akut, namun
sulit dinilai pada fase atrofik. Lesi tidak dapat pulih sepenuhnya.
8
2.2.2 Sindroma Gianotti-Crosti / Papular Acrodermatitis of
Childhood
2.2.2.1 Introduksi
Akrodermatitis Papuler atau yang kerap dikenal sebagai tidak
berbahaya dan umumnya ditemui pada masa anak-kanak dan
diasosiasikan erat dengan beragam infeksi virus. Proses imunologis
terutama diduga berperan dalam proses perjalan penyakit ini
dibandingkan sebagai manifestasi utama dari sebuah infeksi tersebut.
2.2.2.2 Epidemiologi
Kejadian SGC di Amerika Serikat paling banyak ditemui pada
usia <4 tahun dan tidak terdapat predileksi jenis kelamin dan umumnya
hadir bersamaan dengan penyakit atopi lainnya seperti dermatitis
atopik. Pada orang dewasa paling banyak ditemui pada wanita.
Sindroma ini lebih banyak didapati pada musim gugur dan musim
panas. Pada SGC dapat dinyatakan bahwa tidak ada hubungan antara
predisposisi genetik ataupun bahwa penyakit ini bersifat diturunkan.
2.2.2.3 Etiopatogenesis
Studi terbaru menunjukkan bahwa terdapat variasi jenis virus
yang berhubungan dengan kejadian SGC, antara lain : Epstein-Barr
virus (EBV), cytomegalovirus, coxsackievirus, adenovirus, influenza,
enterovirus, echovirus, hepatitis A virus, herpes simplex viruses, HHV-
6, HIV, mumps, parainfluenza virus, parvovirus B19, poxviruses,
respiratory syncytial virus, dan rotavirus; selain itu, beberapa antigen
vaksinasi juga dikaitkan, seperti : influenza, Bacillus Calmette-Guerin
(BCG), diphtheria-pertussis-tetanus (DPT), poliomyelitis, hepatitis B,
Japanese encephalitis, dan vaksin MR. Namun demikian, EBV
merupakan virus yang paling sering dilaporkan pada kasus SGC di
Amerika Serikat.
Hubungan antara infeksi dan SGC masih belum dapat
dijelaskan secara langsung, namun diduga proses mediasi oleh sistem
imun sebagai penyebab munculnya manifestasi. Patofisiologi lengkap
dari penyakit ini masih belum diketahui secara pasti, namun karena erat
9
hubungannya dengan didahului oleh infeksi virus dan vaksinasi, oleh
sebab itu dinyatakan bahwa mediasi oleh sistem imun berperan penting.
Selain itu, meningkatnya prevalensi pada pasien dengan riwayat
penyakit atopi, riwayat keluarga dengan penyakit atopi, dan dengan
atau tanpa peningkatan serum IgE berkontribusi pada respon sistem
imun sehingga diduga terjadi proses hipersensitivitas tipe III atau tipe
IV.
2.2.2.4 Manifestasi Klinis
Sesuai dengan nama lain dari Sindroma Gianotti-Crosti yaitu
Akrodermatitis Papular, maka SGC memiliki gambaran klinis berupa
ruam dengan papul yang berdistribusi pada akral dengan ukuran
bervariasi sebesar 1 hingga 10 mm. Ruam muncul secara tiba-tiba.
Gejala prodormal tidak spesifik seperti febris, limfadenitis, dan/atau
gejala lain seperti hepatosplenomegali dan faringitis dapat muncul
bersamaan atau mendahului ruam. Ruam dapat bersifat gatal, gejala
umumnya menetap selama 2 hingga 4 minggu, dan pada kasus tertentu
(bergantung pada imunitas individu tersebut) gejala dapat menetap
hingga 8 sampai 11 minggu setelah awitan. Lesi pada SGC terdistribusi
secara simetris yang paling sering ditemui pada bagian ekstensor akral,
namun juga dapat ditemui pada wajah dan bokong. Bagian lengan lebih
sering terlibat dibandingkan tungkai, namun selain tempat predileksi
yang disebutkan, bukanlah berarti apabila ditemui lesi serupa pada
bagian tersebut SGC tidak dapat didiagnosis.
10
2.2.2.5 Diagnosis
Wujud dari ruam saja tidak mampu membantu membedakan
beragam etiologi yang mungkin menjadi penyebab SGC pada seorang
individu, oleh karena itu penting dilakukan penilaian terhadap gejala
penyerta ataupun yang mendahului untuk menentukan kemungkinan
pencetus yang kemudian berguna untuk evaluasi atau apabil
diperlukannya tindakan isolasi. Pada beberapa kasus dilaporkan setelah
ruam menghilang, pada lokasi tersebut menetap hiperpigmentasi atau
hipopigmentasi.
Penyakit ini tidak ditularkan secara individu-individu sehingga
tidak diperlukan tindakan isolasi terhadap pasien atau membatasi
pasien dari kegiatan sekolah atau kegiatan komunitas lainnya, namun
infeksi virus yang berhubungan dapat menular sehingga untuk
mempertimbangkan isolasi perlu dikaji berdasarkan gejala terkait yang
sugestif penyakit infeksi.
Diagnosis banding terkait SGC meliputi eksantema viral
lainnya (hand-foot-and mouth disease), gigitan serangga (scabies),
dermatitis atopik, eritema multiformis, dan dermatitis likenoid.
Terdapat kriteria diagnosis terkait SGC, yaitu:
• Lesi menetap selama setidaknya 10 hari
• Lesi papul atau papulovesikuler berukuran 1 hingga 10 mm
yang terdapat pada setidaknya 3 dari 4 area, yakni : permukaan
ekstensor dari lengan bawah, permukaan ekstensor tungkai,
wajah, dan bokong
• Distribusi lesi yang simetris
11
2.2.2.6 Tatalakasana
Secara umum, SGC merupakan penyakit yang diagnosisnya
dilakukan secara klinis tanpa pemeriksaan laboratorium yang khas
kecuali pada pasien terdapat gejala dan pemeriksaan fisik yang
memerlukan investigasi lebih lanjut, seperti hepatomegali yang berarti
dicurigai terdapat infeksi virus seperti Hepatitis yang memerlukan
penanganan khusus.
Tatalaksana medikamentosa bersifat suportif dapat diberikan
guna meringankan gejala pada SGC seperti gatal-gatal. Umumnya
pasien mendapatkan pelembab serta antihistamin. Steroid dengan
potensi rendah hingga sedang dapat diberikan apabila keluhan gatal
masih belum dapat pulih dengan pengobatan antihistamin serta
pelembab.
Klinisi harus dapat menginformasikan pasien bahwa kondisi ini
merupakan sebuah kelainan yang tidak berbahaya dan merupakan
penyakit yang dapat pulih dengan sendirinya, namun pengobatan
simtomatis terutama untuk keluhan gatal tentunya sangat membantu.
Penting untuk diketahui bahwa terapi dengan steroid atau antihistamin
tidak mempercepat durasi perjalanan penyakit; serta apabila ruam
sudah hilang, perlu diberitahu bahwa hiperpigmentasi atau
hipopigmentasi dapat menetap. Penting untuk dilakukan tatalaksana
lanjutan apabila pada pemeriksaan didapatkan penyakit lain yang
mendasari seperti hepatitis B.
12
pasien dewasa yang berkelanjutan, akrodermatitis kontinua dapat
menjadi psoriasis pustular generalisata dan pada beberapa sumber
sudah dimasukkan dalam kategori psoriasis akropustular.
2.2.3.2 Etiologi
Etiologi akrodermatitis kontinua sulit dipahami, namun
kejadiannya sering kali diasosiasikan dengan infeksi bakteri yang ada
di kulit, proses neural, serta proses inflamasi walaupun etiologi pasti
masih belum diketahui.
13
Gambar 6. Lesi pada acrodermatitis kontinua berupa
eritema dan krusta pada bagian distal, tengah, dan
proksimal jari telunjuk tangan kiri.
14
menyebar secara proximal, menuju telapat tangan, bagian dorsal lengan
bawah, dan juga pada kaki. Membran mukosa juga dapat menderita
akrodermatitis kontinua sebagai bentuk komplikasi dan manifestasi
tahap lanjut seperti glossitis, konjungtivitis, dan balanitis.
2.2.3.4 Diagnosis
Diagnosis terutama dilakukan secara klinis melalui
pemeriksaan fisik yang teliti, dengan bantuan pemeriksaan penunjang
berupa pemeriksaan histopatologi dari biopsi kulit serta dapat
dilakukan: pewarnaan gram, pemeriksaan jamur KOH, dan kultur
mikrobiologi guna menyingkirkan kondisi lain.
Pada pemeriksaan histopatologi, akrodermatitis kontinua
menunjukkan fitur klinis serupa dengan psoriasis pustular berupa pustul
spongioform, yakni agregasi neutrofil pada bagian dalam dari jaringan
berbentuk sponge, yang disusun oleh lapisan sel epidermis yang
menipis dan terdegenerasi Perubahan pada dermis dapat berupa infiltrat
limfohistiositik dan edema fokal. Pada kasus yang menahun atau sering
terjadi relaps, lesi akan menunjukkan atrofi pada papiler dermis dan
penipisan lapisan epidermis.
15
2.2.3.5 Diagnosis Banding
Pada tahap awal, penyakit ini seringkali didiagnosis sebagai
infeksi Stapilokokus oleh sebab gambaran yang tidak khas berupa
pustul pada jari dan paronikia. Pada lesi didapatkan pustul subkornea,
hal ini juga dapat ditemukan pada herpetik Whitlow yang memiliki
gambaran sangat mirip berbentuk vesikel dengan atau tanpa krusta.
Dermatitis kontak/ alergi/ iritan, umumnya memiliki gejala berupa
eritema dan skuama, atau vesikel.
2.2.3.6 Tatalaksana
Pilihan terapi menyerupai penyakit psoriasis dan termasuk di
dalamnya adalah pengobatan topikal (golongan steroid, inhibitor
kalsineurin) dan terapi sistemik (sikrosporin, metotreksat, dan retinoid).
Dilaporkan juga bahwa inhibitor Tumor Necrosis Factor (TNF) dapat
membantu (adalimumab, infliximab, golimumab, dsb). Fototerapi
dengan menggunakan PUVA atau UVB merupakan terapi yang sering
digunakan pada pasien psoriasis, juga digunakan pada beberapa laporan
kasus walaupun tidak menunjukkan hasil yang signifikan apabila tidak
dikombinasikan dengan terapi topikal maupun sistemik lain secara oral
seperti kortikosteroid oral, metotreksat, siklosporin, retinoid, antibiotik
tetrasiklin, kolkisin, dan dapsone.
Tatalaksana topikal menggunakan kortikosteroid telah menjadi
pilihan mendasar pada tatalaksana pasien dengan psoriasis, terutama
pada kasus psoriasis plakat yang lesinya masih terbatas. Adapun isi dari
kortikosteroid yakni komponen antiinflamasi, antiproliferasi,
imunosupresan, dan komponen yang berfungsi sebagai
vasokonstriktor. Berdasarkan beberapa laporan kasus juga dilaporkan
kortikosteroid topikal sebagai pilhan utama dalam terapi akrodermatitis
kontinua baik digunakan secara tunggal atau dapat dikombinasikan
dengan obat sistemik lainnya.
Inhibitor kalsineurin topikal seperti takrolimus salep (0.03%),
berfungsi untuk menekan aktivitas sistem imun dengan cara
menghambat aktivasi limfosit T melalui inhibisi pada transkripsi
Interleukin-2 (IL2-2), yang menyebabkan penurunan respon limfosit T
16
terhadap antigen asing yang masuk ke dalam tubuh. Pada akhirnya
terjadi penekanan respon produksi dan rekrutmen sitokin proinflamasi
lainnya dan meredakan peradangan.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa inhibitor TNF
(adalimumab) memberikan hasil yang positif terhadap terapi penyakit
akrodermatitis kontinua karena bentuk molekulnya yang dapat
menghambat langsung fungsi TNF-a dengan dosis yang diberikan
sebesar 40mg setiap 2 minggu namun pada perjalanan penyakitnya
dapat disesuaikan kembali baik dengan atau tanpa kombinasi dengan
terapi lain sesuai indikasi. Umumnya inhibitor TNF digunakan apabila
terapi konvensional seperti PUVA, metotreksat, dan siklosporin sudah
tidak lagi memberikan hasil yang diharapkan.
17
DAFTAR PUSTAKA
18