Anda di halaman 1dari 42

TOXIC

EPIDERMAL
NECROLYSIS
(TEN): SEBUAH
UPDATE
Prashant Tiwari1*,
Rajnikant Panik 2, Arin
Bhattacharya1, Dheeraj
Ahirwar1, Anish Chandy
ABSTRAK
• TEN merupakan kondisi dermatologis langka dan mengancam
jiwa, biasanya disebabkan oleh reaksi terhadap obat, Hal ini
ditandai oleh pengelupasan lapisan atas kulit (epidermis) dari
lapisan bawah kulit (dermis) di seluruh tubuh.
• Toksik Epidermal Nekrolisis (TEN) dikenal juga sebagai sindrom
Lyell.
• Literatur medis menyepakati bahwa TEN dapat dianggap
sebagai bentuk yang lebih buruk dari Sindrom Stevens Johnson
(SJS), dan masih menjadi perdebatan apakah itu termasuk
dalam spektrum klinis yang meliputi eritema multiforme.
■ Beberapa penulis menganggap bahwa ada tumpang tindih
antara kedua sindrom (antara 10% dan 30% pengelupasan
kulit).
■ Artikel ini membahas mengenai sejarah, epidemiologi,
diagnosis, pengobatan dan manajemen TEN.
PENGANTAR
■ Sindrom Stevens-johnson (SJS) pertama kali dijelaskan
pada tahun 1922, sebagai sindrom mukokutan akut pada
dua anak laki-laki muda. Kondisi ini ditandai dengan
konjungtivitis purulen berat, stomatitis berat dengan
nekrosis mukosa yang luas, dan purpura.
■ SJS dikenal sebagai penyakit mukokutan berat dengan
waktu perawatan yang lama dan berpotensi mematikan,
dimana sebagian besar disebabkan oleh obat, dan harus
dibedakan dari eritema multiforme (EM) mayor.
■ TEN adalah kelainan yang berpotensi mengancam jiwa
yang ditandai dengan eritema luas, nekrosis, dan
pelepasan kulit dari epidermis dan selaput lendir dengan
angka kematian 30-40%.
■ TEN dapat menyebabkan sepsis yang menyebabkan
kematian pasien. Meskipun TEN umumnya disebabkan
oleh obat, isoniazid (INH) jarang dikaitkan dengan TEN.
■ Belum ada pedoman tatalaksana yang baku, dan regimen
pengobatan yang disarankan saat ini masih terdapat
kontroversi.
PENGANTAR

■ Penyakit TEN dijelaskan pertama kali oleh Lyell dan


sekarang dikenal sebagai sindrom TEN Lyell.
■ TEN dengan jelas diakibatkan oleh obat, dan obat-
obatan seperti sulfonamida, pirazolone, barbiturat,
dan antiepileptik adalah pemicu yang paling sering
terjadi pada TEN.
■ SJS dan TEN dianggap sebagai dua ujung spektrum
dari epidermolitik berat yang merugikan,
perbedaannya hanya pada perluasan pengelupasan
kulit.
LATAR BELAKANG

■ TEN biasanya jarang, biasanya diinduksi oleh


penggunaan obat, reaksi parah pada mucocutaneus
dengan macam-macam komplikasi dan angka kematian
yang tinggi. Walaupun jarang, TEN merupakan kelainan
kulit yang serius. TEN merupakan kondisi yang
emergensi, perlu penanganan dan diagnosis yang cepat.
■ Beberapa obat yang yang sering menginduksi, macam-
macam tipe obat, contohnya sulfa, NSAID, dll. Yang dapat
menyebabkan TEN. Flukonazol merupakan obat yang
biasanya dipakai menimbulkan efek samping yang
ringan. TEN yang disebabkan oleh fluconazole jarang
terjadi, tapi sekarang beberapa kasus di laporkan
dibeberapa literatur.
LATAR BELAKANG
■ Dari beberapa bukti yang didapatkan bahwa obat, sel t
specific terlibat dalam menginduksi apoptosis keratinosit
pada stase akut SJS dan TEN. Namun, beberapa studi
bahwa menyatakan adanya respon sel T memori yang
lambat. Respon durasi dari IFN – gamma dan sFasl
memori yang disebabkan oleh obat pada pasien dengan
SJS dan TEN setelah perbaikan dan ditemukan
kandungan spesifik obat pada IFN gamma dan memori
Sfasl responnya untuk melawan obat penyebab nya
kemudian timbul beberapa tahun setelahnya dan pada
pasien tindakan lebih lanjutnya harus menghindari
pemakaian obat yang menginduksi setelah
penyembuhan pada TEN dan SJS.
LATAR BELAKANG

■ reaksi yang parah pada subkutan terhadap obat


(SCARs) yang termasuk gejala akut exanthematous
psutulosis (AGEP), reaksi obat dengan eosinophilia
dan gejala sistemik (DRESS) dan necrolisis epidermal
(SJS-TEN). Kelainan penampakan yang ditimbulkan
akibat reaksi obat berbeda beda, sehinga menyulitkan
diagnosis dan secara tidak langsung bersamaan
dngan SCARs. Tumpang tindih dengan SCARs dapat
didefinisikan sebagai kasus yang termasuk dengan
kriteria tertentu atau mungkin diagnosis ADRs yang
paling sedikit termasuk 2 skor system untuk
AGEP,DRESS dan SJS-TEN.
LATAR BELAKANG

■ TEN merupakan hal yang tidak dapat diprediksi, ancaman


hidup dapat menyebabkan kematian karena reaksi obat
mungkin sekitar 30 % kematian. Apoptosis keratinosit yang luas
merupakan tanda dari TEN, citotoksik T limfosit muncul yang
utama pada pada efektor sel dan beberapa bukti eksperimen
yaitu keterlibatan ligan fasfas dan perforin atau jalur granzyme.
■ Pengobatan yang optimal dapat mengurangi gejala sisa pada
beberapa pasien. Penghentian dari penggunaan obat tersebut
dan penangganan pada luka bakar, merupakan step yang awal
dilakukan pada umumnya. Diluar dari itu masih dalam
kontroversi. Beberapa bukti ada yang setuju dan tidak atas
pengunaan IVIG, kortikosterois sistemik, dan yang lainnya.
Beberapa bukti bahwa terapi kombinasi dapat menunjukkan
hasil.
Tanda dan Gejala
Edema
•Krusta
•Ulserasi
•Kebutaan

Bulla
•Erosi
•Sulit telan -> NGT, Gastric tube

Ruam hangat dan kemerahan


•Bulla -> cairan pada lapisan dermal
•Erosi
PATOLOGI DAN
PATOGENESIS
ETIOLOGI
■ Terjadi karena proses imunologis
■ Tidak dapat diprediksikan, risiko meningkat pada:

fibrosis kistik dengan TX HIV / AIDS dengan TX trimetoprim


antibiotik; / sulfametoksazol dan abacavir;

Populasi genetik lainnya yang Pasien dengan riwayat reaksi


rentan: alergi sebelumnya mungkin akan
• orang Han-Chinese (gen HLA-B * 1502 (+)) mengalami reaksi alergi obat
->SJS dan TEN karena karbamazepin. terhadap obat yang sama, obat
• Orang dengan HLA-B * 5801 (+) berisiko dengan kelas yang sama, atau
tinggi karena allopurinol;
terapi lain yang tidak
berhubungan dengan terapi
sebelumnya
ETIOLOGI
■ 95% oleh karena obat-obatan:
• Sulfonamida
• obat anti-inflamasi nonsteroid
• Allopurinol
• antimetabolit (methotrexate)
• obat antiretroviral (ARV)
• kortikosteroid
• Ansiolitik : chlormezanone
• Antikonvulsan:fenobarbital, fenitoin,
karbamazepin, dan asam valproat.
 Infeksi : M. pneumoniae, herpes virus
 Transplantasi
EPIDEMIOLOGI

■ Drug Hypersensitive Syndrome (DHS) diyakini sebgai


sebuah reaksi efek samping dari pemberian obat
antiepileptik aromatik, seperti Fenitoin,
Karbamazepin, Fenobarbital, lamotgrin.
■ La Grenade et al, melaporkan terjadi 1.9 kasus TEN
per juta penduduk per tahun dari semua kasus yang
dilaporkan FDA AERS di Amerika Serikat.
EPIDEMIOLOGI

■ Scorten menemukan skor keparahan TEN, untuk


mengevaluasi keefektifan perlakuan.
■ DHS adalah reaksi yang dimediasi kekebalan tubuh
kaena antigen yaang berasal dari obat-obatan
■ Setiap reaksi akan mempengaruhi organ yang
berbeda, tergantung genetik pasien (HLA,
metabolizing enzim), coexistence kanker atau
radioterapi akan mempengaruhi kejadian SSJ dan
TEN.
EPIDEMIOLOGI

■ Infeksi M. Pneumonia berkaitan dnegan kejadian SSJ


dan TEN yang menginfasi selaput lendir sistem
pernafasan, rongga mulut, alat kelamin dan
konjungtiva pada pasien Pneumonia.
■ Reaksi akut TEN dapat mengakibatkan reaksi
mukokutan yang memiliki tingkat kematian yang tinggi
dengan ditandai reaksi pengelupasan kulit.
■ AGEP adalah reaksi klinis ditandai dengan pustula
steril dan eritema pada kulit. Pecahnya pustula
biasanya disertai dengan leukositosis dan demam.
KERENTANAN GENETIK

■ HLA-B*1502 bukanlah suatu marker yang khas untuk


SJS/TEN yang disebabkan oleh paparan
carbamazepine.
■ Reaksi yang berlebihan pada kulit pada subjek
dengan HLA-B*1502 tidak hanya disebabkan oleh
carbamazepine, namun sebagian kecil juga
disebabkan oleh phenytoin dan lamotrigine
KERENTANAN GENETIK

■ Selain carbamazepine, hubungan yang bemkana


antara HLA genotype dan SJS/TEN ditemukan pada
allupurinol.
■ Pada suatu penelitian, 100% pasien Han-Chinese
dengan reaksi hipersensitifitas terhadap obat positif
HLA-B*5801.
■ Hubungan yang bermakna antara SJS/TEN dan HLA-
B5801 juga ditemukan pada pasien asal Jepang,
Thailand dan dengan tingkat yang lebih rendah (55%
kasus) pada pasien asal Eropa.
DIAGNOSIS

■ Pada umumnya apabila riwayat klinis sesuai dengan SJS,


dan lesi kulit menutupi lebih dari 30% body surface area
maka kita dapat mendiagnosis dengan TEN
■ Pemeriksaan mikribiologis terkadang diperlukan untuk
membedakan dengan staphylococcal scalded skin
syndrome
■ Kriteria histologi yang biasa ditemukan pada TEN
termasuk infiltrasi limfosit ringan yang dapat menutupi
dermoepidermal junction dan kematian cell
■ Nikolsky sign (kulit memerah dan penumpukan cairan
dibawah dan pengelupasan kulit meninggalkan bercak
merah) dapat ditemukan pada toxic epidermal necrolisis
METODE DIAGNOSIS
■ Diagnosis pada gejala klinis dan penampakan histologi
■ Tanda klinis : area eritem, macula livid sehingga nikolsky
sign dapat dilakukan akan tetapi nikolsky sign tidaklah
spesifik untuk SJS/TEN. Tanda di mucosal timbul
sebelum atau bersamaan dengan tanda di kulit.
■ Unutk membedakan SJS, SJS-TEN dan TEN area
pengelupasan adalah faktor utama.
■ Penatalaksanaan dengan cryosection, section
konvensional dengan formalin pada kulit yang
menunjukkan epidermis necrotic yang meluas dan
merata dapat mengakkan diagnosis
■ Direct immune fluorescence staining diperlukan untuk
menyingkirkan diagnosis penyakit yang disebabkan oleh
autoimun
TERAPI
OBAT
■ Di dalam literatur dilaporkan beberapa modalitas
perawatan yang diberikan selain perawatan suportif.
■ Steroid sistemik adalah pengobatan standar sampai
awal 1990-an, walaupun tidak ada manfaat yang
terbukti dalam percobaan terkontrol.
■ Dengan tidak adanya bukti efikasi yang kuat, dan
karena kebimbangan akibat banyaknya rejimen
pengobatan steroid yang dilaporkan (pengobatan
jangka pendek versus panjang, berbagai rejimen
dosis), penggunaannya menjadi semakin
diperdebatkan.
■ Sebuah studi monocenter retrospektif baru-baru ini
menunjukkan bahwa "denyut nadi" yang singkat dari
kortikosteroid dosis tinggi (deksametason) mungkin
bermanfaat.
■ Di sisi lain, studi kasus kontrol retrospektif baru-baru
ini dilakukan oleh Schneck dkk. Di Perancis dan
Jerman menyimpulkan bahwa kortikosteroid tidak
menunjukkan efek yang signifikan terhadap kematian
dibandingkan dengan perawatan suportif saja .
Sebagian besar kasus terkait dengan keistimewaan
reaksi obat. Obat yang paling sering dilibatkan adalah
■ Antibiotik (misalnya sulfonamida, beta-laktam,
tetrasiklin dan kuinolon); Antikonvulsan (misalnya
fenitoin, fenobarbital dan karbamazapina),
■ Obat antiretroviral,
■ Obat antiinflamasi nonsteroid,
■ allopurinol
Ada kesepakatan umum untuk mempertimbangkan TEN
karena manifestasi reaksi kekebalan yang tidak
terregulasi terhadap sel epitel dan anti-angiogenetik telah
dievaluasi untuk pengobatan TEN. Sayangnya, dalam
penelitian double-blind, randomized, placebo-controlled,
mortalitas yang lebih tinggi pada kelompok yang diobati
dengan thalidomide, hasil pengamatan menunjukkan
bahwa thalidomide merugikan pada TEN.
■ Mekanisme patogen yang diusulkan bertentangan, dan
bukti untuk manfaat perawatan individual tidak
memadai, dan dalam beberapa kasus bertentangan.
Tingkat kematian tetap tinggi, dan literatur berkaitan
dengan patogenesis TEN dan reaksi obat pada
umumnya. Alasan untuk intervensi terapeutik, bersama
dengan bukti efikasi yang dilaporkan, akan
dipertimbangkan. Terutama Infeksi pada M. pneumoniae
dan HSV telah dilaporkan sebagai penyebab presipitasi
yang paling umum untuk SJS pada anak-anak di negara
maju, dan obat-obatan adalah pemicu yang paling umum
yang dilaporkan dalam konteks India.
■ IVIG muncul sebagai pilihan terapeutik dan bukan
glukokortikoid. Meskipun, kasus SJS berhubungan
dengan M. pneumoniae pada seorang gadis berusia 5
tahun yang pulih dengan terapi IVIG, hal ini menegaskan
tolerabilitas yang sangat baik dan potensi toksik yang
rendah dari IVIG bila digunakan dengan tindakan
pencegahan yang tepat pada pasien dengan risiko
potensial. Mempunyai faktor risiko (insufisiensi ginjal,
insufisiensi jantung, defisiensi IgA, risiko thrombo-
embolic)
■ Pendekatan terapeutik baru menargetkan sitokin
proinflamasi TNFα telah diusulkan oleh Hunger et al
Mereka merawat satu pasien dengan satu dosis
antibodi antiTNFα chimeric (infliximab 5 mg/kg) dan
melaporkan bahwa progresi penyakit berhenti dalam
24 jam diikuti dengan reepitelisasi lengkap dalam 5
hari.
■ Meiss et al. melaporkan tiga kasus dengan tumpang
tindih pustulosis eksantematosa akut dan TEN dan
respons pengobatan terhadap infliximab. Pemberian
reseptor TNFα terlarut etanol 25 mg pada hari ke 4
dan 8 setelah onset TEN pada suatu kasus
mengakibatkan penghentian pengelupasan epidermal
dalam 24 jam namun selanjutnya pasien meninggal.
Data yang dipublikasikan saat ini tidak cukup untuk
menarik kesimpulan mengenai potensi terapeutik
antagonis TNFα pada TEN.
■ Meskipun tidak ada intervensi terapeutik standar
pada TEN, plasmaferesis (PP) sedang digunakan
untuk mengobati pasien TEN yang sangat sakit. Selain
PP konvensional, double-filtration PP (DFPP) baru-baru
ini digunakan untuk TEN yang berat dan tahan lama.
■ Studi menggambarkan kemanjuran plasmaferesis
untuk pengobatan TEN seperti yang dilaporkan di
Jepang. Pasien TEN yang diobati dengan
plasmaferesis dikumpulkan dari literatur Jepang. Jenis
plasmaferesis, jumlah sesi, kemanjuran
plasmaferesis, dan hasil saat ini diperiksa. Namun,
data saat ini tidak memungkinkan kesimpulan
mengenai potensi pendekatan ini karena jumlah
pasien yang dirawat kecil, seringkali terdapat faktor
perancu termasuk perlakuan yang berbeda atau
gabungan, dan bias potensial lainnya
■ Peran kortikosteroid dan plasmaferesis dalam
pengobatan penyakit tetap kontroversial. [53].
■ Untuk SJS dan TEN, beberapa modalitas pengobatan
telah diusulkan dengan hasil yang bervariasi namun
kurangnya penelitian terkontrol membuat sulit untuk
menganalisisnya secara obyektif terutama pada anak-
anak.
■ Pengobatan optimal untuk kelainan ini belum dapat
dijelaskan dengan baik. Laporan kasus telah
menunjukkan manfaat dengan penggunaan berbagai
agen termasuk penghambat faktor-inhibitor nekrosis
dan siklofosfamid, sedangkan thalidomide dikaitkan
dengan peningkatan mortalitas. Plasmaferesis dan
siklosporin juga telah menunjukkan keampuhan
secara anekdot, walaupun dengan jumlah kasus yang
lebih sedikit dalam literatur. Sebagian besar laporan
berfokus pada penggunaan kortikosteroid sistemik
dan IVIG untuk reaksi berat ini.
TATALAKSANA
■ Terapi lini pertama adalah :
■ Penghentian dini penggunaan obat-obatan yang
diperkirakan menjadi penyebab
■ Rujukan dan penanganan dini di unit perawatan
intensif atau unit luka bakar
■ Penatalaksanaan suportif
■ Dukungan nutrisi.
■ Lini kedua adalah IVIG.
■ Meskipun beberapa percobaan menunjukkan efek
yang menjanjikan dari penggunaan IVIG dalam
penatalaksanaan TEN, penelitian dengan kontrol
terandomisasi diperlukan di masa mendatang untuk
menentukan efikasi IVIG pada TEN.
■ Lini ketiga adalah siklosporin, siklofosfamid,
plasmaferesis, pentoxifylline, N-acetylsisteine,
ulinastatin, infliximab, dan/atau Granulocyte colony-
stimulating factors (apabila terdapat leukopenia yang
terasosiasi dengan kejadian TEN).
PROGNOSIS
■ Tingkat mortalitas TEN mencapai 30-40%. Hilangnya
lapisan kulit menyebabkan pasien rentan terkena
infeksi dari bakteri dan jamur, dan dapat
menimbulkan kejadian sepsis yang merupakan
penyebab utama kematian pada penyakit ini.
■ Kematian dapat pula disebabkan oleh infeksi atau
distres respirasi yang timbul karena pneumonia
ataupun karena kerusakan pada epitel mukosa
saluran pernapasan.
■ Analisis mikroskopik terhadap jaringan (terutama
derajat inflamasi mononuklear dermal dan derajat
inflamasi secara keseluruhan) dapat dijadikan
patokan untuk menentukan prognosis kasus-kasus
individual.
PROGNOSIS
■ Reaksi pada kulit akibat obat merupakan kejadian
efek samping obat yang paling sering dilaporkan.
■ Obat-obatan yang diresepkan oleh dokter bedah
orthopedi, seperti antibiotik, opiat, dan NSAID adalah
yang paling umum menjadi penyebab reaksi pada
kulit.
■ Reaksi pada kulit akibat obat-obatan bervariasi dari
gangguan yang umum yang paling ringan hingga
reaksi yang berat dan mengancam jiwa yang jarang
terjadi.
PROGNOSIS
■ Pengobatan harus selalu dipertimbangkan sebagai
salah satu diagnosis banding terhadap semua kondisi
dermatologis.
■ Sangat penting untuk mengenali perbedaan tampilan
klinis dan jenis obat-obatan yang berhubungan
dengan tiap tipe reaksi.
■ Sebuah studi di Swiss menampilkan evolusi dari hari
ke hari pada epidermis penderita TEN. Pada gambar
ditunjukkan stadium awal bulosa hingga
penyembuhan kulit.
PROGNOSIS
■ SJS dan TEN merupakan penyakit yang berat dan
mengancam jiwa.
■ Rerata tingkat kematian yang dilaporkan pada SJS
adalah sebesar 1-5% dan TEN sebesar 25-35%; angka
ini dapat lebih tinggi pada pasien lanjut usia dan pada
pasien yang kehilangan lapisan epidermis yang luas.
KESIMPULAN
■ TEN adalah suatu penyakit yang memberikan kesempatan
yang luas pada peneliti untuk bekerja di bidang ini. Sebagai
contoh, tidak ada binatang uji yang tersedia untuk TEN,
sehingga bila dapat dikembangkan berbagai subjek uji yang
lain, dimensi terapi yang bervariasi dapat diperoleh.
Penekanan lebih juga perlu dilakukan pada uji coba klinis
untuk penyakit ini sehingga terapi yang lebih efisien dapat
dilakukan. Laporan ini dapat berguna bagi peneliti yang
bekerja pada bidang pengembangan obat-obatan baru untuk
terapi kelainan nekrosis epidermis dan untuk menemukan
strategi yang lebih efektif dalam eradikasi penyakit ini.
TERIMA
KASIH

Anda mungkin juga menyukai