Pada tabel dibawah ini tercantum faktor-faktor resiko untuk terjadinya adverse drug
reaction.
Table 1. Risk factors for development of adverse drug reactions (dikutip dari 3).
Patient related
Age
Sex
Genetic
Concomitant disease
Immune status
Drug related
Drug chemistry
Route
Dose
Pada tabel berikut ini tercantum penyakit genetik yang dapat mempengaruhi metabolisme
obat.
Table 2. Drugs to avoid in genetic diseases affecting drug metabolism (dikutip dari 3).
Genetic disease
Malignant hyperpyrexia
Glucose-6-phosphaledehydrogenase deficiency
Porphyria
Pseudocholinesterase deficiency
Slow acetylators
TPMT (thiopurine Smethyltransferase) deficiency
Drugs to avoid
Volatile anaesthetic agents, suxamethonium
Dapsone (and other sulphones), nitrofurantoin, methylene blue,
primaqume, quinolones, sulphonamides
Caution with: aspirin, chloroquine, menadione, quinidine, quinine
Amphetamines, anabolic steroids, antidepressants, some
antihistamines, barbiturates, some benzodiazepines, cephalosporins,
some oral contraceptives, diuretics, ergot derivatives, gold salts,
hormone replacement therapy, progestogens, sulphonamides,
sulphonylureas
Suxamethonium
Procainamide, hydralazine, sulphasalazine
Azathioprine (leading to marrow toxicity)
IV. KLASIFIKASI
Adverse drug reaction dibagi menjadi 2 tipe yaitu : tipe A angka kejadiannya 85%90% yang tergantung dosis dan dapat diramalkan. Termasuk didalam tipe ini adalah :
overdosis obat, efek samping dan interaksi obat1,2,3,4. Tipe B dimana tidak semua penderita
dapat menderita yang dibagi lagi menjadi : intolerance, Idiosyncrasy dan drug allergy 1,2,3,4.
drug allergy akan dibahas lebih rinci baik yang IgE mediatedataupun yang non
IgE mediated. Pada tabel dibawah ini klasifikasi berdasarkan Gell and Coombs,Pichler dan
Posadas.
Table 3. Investigation of drug allergy/hypersensitivity categorized by immunological mechanisms
(From Gell and Coombs, Pichler and Posadas and Pichler 2007) ( dikutip dari 3).
Reaction Mechanism
Type I
IgE-mediated, immediate reaction
Type II
Type III
Type IVa
Clinical features
Investigation
Urticaria*, angio-oedema*, anaphylaxis*, Skin prick testing
bronchospasm*
Intradermal testing
Specific IgE testing
Drug provocation
Anaemia, cytopenia, thrombocytopenia FBC/Coombs Test
Vasculitis, lymphadenopathy, fever,
C3, C4, ANA, ANCA, LFT,
arthropathy, rashes, serum sickness
UEtE, histology, CXR
Contact dermatitis, bullous exanthema Patch tests
Type IVb Th2 cells drive eosinophilic inflammation Maculopapular and bullous rashes, etc. Patch tests
via IL-5, IL-4, IL-13, eotaxin
Type IVc CD4+/CD8+ cytotoxic T cells kill targets Contact dermatitis, maculopapular,
Patch tests
via perform, granzyme B, FasL
pustular and bullous exanthemata, etc.
Type IVd T cells recruit and activate neutrophils
Pustular xanthemata
Patch tests
via CXCL-8, GM-CSF
These may also be non-immunologically mediated. ANA, antinuclear antibody; ANCA, antineutrophil cytoplasmic antibody;
LFT, liver function test; U&E, urea and electrolytes; CXR, chest X-ray.
Kompleks obat atau metabolitnya degan sedikit antigen excess berikatan dengan IgG
atau IgM dimana kompleks imun ini akan mengendap pada dinding pembuluh darah dan
terjadi kerusakan karena adanya aktifasi complement cascade.
Gejala klinik yang terjadi adalah: panas badan, urtikaria (leucocytoclastic vasculitis),
erythema multiforme, lymphadenopathy dan arthralgia yang timbul 1-3 minggu setelah
dosis terakhir obat yang diminum walaupun gejala dapat terjadi pada saat minum obat.
Obat-obatan yang menjadi penyebabnya dapat semua obat termasuk penisilin dan
sefalosporin.
Ad.4. Tipe IV
Reaksi terjadi karena terbentuknya limfosit T yang spesifik terhadap obat, biasanya
terjadi 23 setelah paparan. Gejala klinik yang terjadi : dermatitis kontak setelah
paparan topikal neomisin dan antihistamin; erupsi makulopapular karena antibiotika.
PSEUDOALLERGIC DRUG REACTION
Mekanisme yang terjadi tidak dapat diklasifikasikan pada klasifikasi Gell dan Coombs
tetapi manifestasinya sama, disebut juga reaksi anafilatoid. Gejala yang terjadi sama dengan
reaksi tipe I (IgE mediated) seperti : urtikaria, angioedema, spasme bronkhus dan kolaps
kardiovaskuler. Beberapa obat yang dapat menimbulkannya adalah: bahan kontras, opiat,
vancomisin, koloid expander dan aspirin (NSAID)1,2,3,4.
V. ETIOLOGI.
Beberapa obat sering menimbulkan adverse drug reaction terutama alergi seperti
tercantum pada tabel dibawah ini.
Table 4. Drugs causing adverse drug reactions commonly presenting to the allergy clinic (dikutip dari 3).
Penicillins and other P-lactams
Non-P-lactam antibiotics
Reactions during general anaesthesia due to
Neuromuscular blockers
Anaesthetic agents
Latex (during general anaesthesia)
Local anaesthetics
Aspirin/NSAIDs
ACE inhibitors
Plasma expanders : gelatin, dextran
Others
Insulin
Heparin
Opiates
Vaccines
Radio-contrast media
Chlorhexidine
Povidone iodine
Corticosteroids
NSAIDs, non-steroidal anti-inflammatory drug.
VI. PATOGENESIS.
Pada tingkat seluler presentasi antigen ,sel yang terlibat dan sitokin masih belum jelas
benar. Proses obat oleh keratinosit memegang peranan penting terutama pada manifestasi
dikulit.
Beberapa obat seperti insulin dan chymopapain merupakan protein dengan molekul
yang besar sehingga dapat merupakan antigen yang langsung ditangkap oleh antigen
presenting cell. Sebagian besar obat dengan molekul kecil sehingga tidak dapat langsung
ditangkap oleh APC tetapi melalui haptenation dengan ikatan kovalen dengan protein
serum atau permukaan sel.
Antibiotika yang mengandung beta lactam seperti penisilin adalah yang tersering
menimbulkan reaksi alergi yang IgE mediated seperti anafilaksis dan menimbulkan
kematian tertinggi. Komposisinya terdiri dari cincin beta lactam dan thiazolidine dimana
cincin beta lactam tidak stabil membentuk penicilloyl determinant yang merupakan antigen
utama (95%) untuk terjadinya alergi terhadap penisilin. Pada sefalosporin terdiri dari cincin
beta lactam dan dihydrothiazine sehingga tidak semua penderita yang alergi dengan penisilin
alergi juga dengan sefalosporin (8%).
Pada gambar dibawah ini tampak determinant major dan minor dari penisilin (4).
Serum sickness
SLE-like
Sclerodenna-like
Microscopic polyangiitis
Drug rash with eosinophilia systemic
symptoms (DRESS) also called drug
hypersensitivity syndrome (DHS)
Toxic epidermal necrolysis (TEN)
Stevens-Johnson syndrome (SJS)
Organ-specific reactions
Cutaneous
Urticaria/angio-oedema
Pemphigus foliaceus
Purpura
Maculopapular rash
Contact dermatitis
Photodermatitis
Acute generalized exanthematous
pustulosis (AGEP)
Fixed drug eruption (FDE)
Pada sebagian besar penderita dengan alergi penisilin, relaksan otot, insulin dan hormon
lainnya mengalami gejala ini melalui IgE mediated sedang opiat, ACE inhibitors,
NSAIDs, radio-contrast dan plasma expander melalui non-IgE-mediated.
Pemberian secara parenteral sering menimbulkan reaksi yang berat seperti anafilaksis
dimana penisilin sebanyak 75% kasus3,4.
2. CUTANEOUS REACTION
Kurang lebih 30% dari semua reaksi terhdap obat manifestasinya reaksi pada kulit. Tipe
IV (T cell mediated reaction) karena antibiotika, antikonvulsan, obat anti TBC, ACE
inhibitors dan NSAIDs. Eritema multiforme yang berat seperti stevens-Johnson
syndrome dan apabila prosesnya lebih luas menjadi toxic epidermal necrolisis (dari 10
menjadi 30% kulit yang terkena), dimana mula-mula terasa seperti terbakar dan nyeri
tanpa rasa gatal diarea yang akan timbul lesi. Fixed drug eruption dan acute
generalized exathematous pustulosis yang kadang sulit dibedakan dengan SJS atau TEN
tetapi jarang ditemukan reaksi sistemik dengan prognosis yang lebih baik. Petehiae dan
purpura dapat karena proses vaskulitis (tipe III)3,4.
3.
RESPIRATORY REACTION
Edema larinks dan konstriksi bronkhus sering terjadi karena anafilaksis tetapi tidak semua
gejala pada penapasan disebabkan rekasi tipe I dapat juga melalui mekanisme kurangnya
hambatan pada siklooksigenase pada pemberian aspirin atau NSAIDs. Panas badan, rash
dan eosinofilia pada darah tepi terjadi pada pulmonary eosinophilia3.
Table 6. Essential information required when referring a patient with suspected drug allergy
(dikutip dari 3)
Outcome
Timing of symptoms in relation to drug administration
Has the patient had the suspected drug before this course of treatment?
How long had the drug(s) been taken before onset of reaction?
When was/were the drug(s) stopped?
What was the effect?
Witness description (patient, relative, doctor)
Is there a photograph of the reaction?
Illness for which suspected drug was being taken, i.e. underlying illness (this may be the
cause of the symptoms, rather than the drug)
List of all drugs taken at the time of the reaction (including regular medication, 'over the
counter' and 'alternative' remedies)
Previous history
Other drug reactions
Other allergies
Other illnesses
Provide supportive evidence (with clinical history) for diagnosis (or exclusion) of IgE-mediated allergy
Educational value, providing a visual illustration that may reinforce verbal advice to the patient
A positive is a weal size of diameter of 3 mm or more greater than negative control surrounded by a
flare
False-positive and false-negative skin tests are likely to occur especially with drugs not known to
cause IgE-mediated reactions or when the SPT concentrations are not validated
SPTs are more specific, safer, easier to interpret, but less sensitive than intradermal tests
SPT, skin prick test.
Bila penisilin diduga sebagai penyebabnya tes kulit dengan penicilloyl polylysine
(PPL) sebagai determinant major dan penilloate, benzyl penicilline sebagai minor
determinant dilakukan bersama-sama3,6,7.
Tes kulit yang sering dipergunakan untuk membantu menegakan diagnosis adalah:
skin prick test,intradermal test dan path test3,6,7.
Indikasi tes kulit yang dipergunakan dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Table 8. Diagnostic tests employed in the evaluation of drug allergies (dikutip dari 2)
Tests for Evaluating Drug Allergy
In Vivo
Assessment of
Prick, intradermal skin tests
IgE to agent
Provocation (dose escalation)
Tolerance
Patch testing
DTH
Biopsy
Immunohistopathology
In Vitro
Assessment of
RAST
IgE in serum
+
Leukocyte histamine release
IgE
Lymphocyte proliferation
T-cell responsiveness
Lymphocyte cytokine production
T-cell responsiveness
Lymphocyte cytotoxicity
T-cell responsiveness
* Alternative: CD63 or CD202 marker expression on basophils using
hypersensitivity; RAST, radioallergosorbent test.
Pengukuran kadar IgE hanya dapat dilakukan pada beberapa obat dan dapat membantu
diagnosis kalau hasilnya positif3,4.
Tes provokasi hanya dilakukan apabila semua tes tidak dapat untuk menegakan
diagnosis dan dikerjakan oleh petugas yang terlatih serta kontraindikasi untuk beberapa
gejala seperti : SJS, TEN, DRESS dan EM. Harus ada informed consent dan obat-obatan
yang dapat mempengaruhi tes ini diperhatikan seperti : kortikosteroid, anihistamin dan
antidepersan3,4.
IX. TATALAKSANA
Anafilaksis harus segera diobati dengan tepat, beberapa petunjuk untuk dilaksanakan
adalah sbb.: hentikan obat yang dicurigai sebagai penyebab, obati gejala yang terjadi, cegah
terjadinya reaksi silang, catat dengan teliti semua gejala dan terapi yang telah diberikan, kalau
mungkin berikan alternatif terapi dan kalau perlu dilakukan desensitisasi 2,3,4. Antihistamin
dapat dipergunakan pada reaksi tipe I. Kortikosteroid dapat diberikan pada urtikaria berat dan
exantem yang ekstensif, tetapi masih kontroversi untuk SJS dan TEN2. Pemberian cairan
intravena dan observsi semalam sebaiknya dilakukan pada anafilkasis dengan gangguan
kardiovaskuler1,2,4. Untuk lebih jelas tatalaksana alergi obat dapat dilihat pada tabel dibawah
ini.
Consistent w/IgE
mediated allergy ?
Reaction serious/
Life-threatening?
Yes
Test (+)
1. Alternative medication
2. Desensitization
No
Test ()
1. Alternative medication
2. Desensitization
Yes
No
1. Alternative medication
2. Cautious graded challenge
Alternative
medication
Administer drug
GAMBAR 2. Management of drug reactions depends on whether or not the drug reaction was
IgE mediated (dikutip dari 4).
X. TATALAKSANA NON OBAT
Tatalaksana terpenting adalah: patients education diantaranya: tidak
mempergunakan lagi obat-obatan yang menimbulkan reaksi, sebaiknya memakai gelang atau
kalung dimana terdapat daftar obat-obatan yang dapat menimbulkan alergi dan jangan
memakai obat yang isinya tidak pasti1,2,3,4.
XI. PANDANGAN MASA DEPAN
Diperlukan kerja keras untuk menemukan tes-tes untuk mendiagnosis secara tepat
reaksi ini seperti tes minor determinant mixture untuk alergi penisilin; dengan
dipergunakannya biologic agent seperti monoclonal antibodi untuk pengobatan penyakit
autoimun, asma, alergi dan kanker menambah panjangnya daftar obat yang harus diawasi.
Diperlukan ketelitian para dokter untuk lebih waspada akan terjadinya alergi obat pada
penderitanya4.
Pada beberapa penelitian terakhir didapatkan bahwa sel T limfosit berperan pada
reaksi tipe IV dan juga langsung menimbulkan kerusakan jaringannya. CD8 T limfosit
ditemukan pada TEN setelah mendapat cotrimoxazole. Ditemukan p-i konsep yaitu interaksi
farmakologi obat dengan reseptor tanpa melalui antigen presenting cell yang sudah
ditemukan pada sulfametoxasol, lidocain, mepivacain, celecoxib, carbamacepin dan
quinolon1.
Alergi obat yang terjadi beberapa jam setelah minum obat mungkin disebabkan oleh
reaksi melalui sel T limfosit daripada IgE mediated.
XII. RINGKASAN
adverse drug reaction terjadi pada 6.5% - 6.8% penderita yang masuk rumah sakit;
dimana 15% tinggal lebih lama. Juga mempengaruhi kwalitas hidup,pengobatan yang
10
lama,pemeriksaan yang tidak perlu serta kematian.Sensitisasi lebih sering terjadi pada
pemakaian topikal,lama dan sering. Atopi bukan merupakan faktor resiko tetai gejala yang
didapatkan lebih berat. HIV dan virus Herpes serta cystic fibrosis menyebabkan
meningkatnya angka kejadian alergi obat.
Anamnesis yang lengkap termasuk informasi obat serta waktu antara paparan dan
reaksi dapat untuk menegakan diagnosis secara tepat.
Tes tusuk kulit dan intradermal test dapat dipergunakan sebagai sarana diagnosis
pada alergi obat yang IgE mediated.
Tes kulit untuk immediate hypersensitivity tidak dapat dipergunakan untuk reaksi
tipe III dan IV tetapi dapat dengan patch tests.
Pemeriksaan kadar tryptase serum sebaiknya dikerjakan 2 24 jam setelah terjadinya
anafilaksis.
Tes provokasi dikerjakan apabila pemeriksaan lainnya tidak dapat menegakan
diagnosis dan jangan dilakukan pada penderita yang mengalami reaksi yang membahayakan
jiwa.
Apabila tidak didapatkan obat alternatif untuk pengobatan, desensitisasi dapat
dilakukan.
Pencegahan penting untuk tindakan kedepan supaya penderita tidak mengalami lagi
alergi obat dengan edukasi dan pemakaian gelang atau kalung yang ada informasi tentang
obat-obatan yang dapat membahayakannya.
XIII. SUMMARY
Adverse drug reaction account approximately 6.5% - 6.8% of all hospital admissions.
Up to 15% of in patients have a hospital stay prolonged. ADRs affect quality of life, delayed
treatment, unnecessary investigation or even death.
Topical and particularly cutaneous route of administration and prolonged or frequent
doses are more likely to lead to sensitization. Atopy is not a risk factor for the majority of
allergic drug reaction but may lead to more severe reaction. Some infections such as Herpes
virus, HIVincrease the likelihood of drug reaction and repeated use of antibiotics in diseases
such as cystic fibrosis is associated with more frequent reaction.
A detailed history is required for an accurate diagnosis of druag induced reaction. Skin
prick test (SPT) and intradermal test provide evidence of IgE mediated. Skin testing for
immediate hypersensitivity is not indicated for type III reaction or for T cell mediated
reactions including severe cutaneous reactions suh as Stevens-Johnson symdrome (SJS) toxic
epidermal necrolysis (TEN) and drug rash with eosinophilia and systemic symptom (DRESS).
Patch tests can be helpful for T cell mediated hypersesitivity.
Serial blood samples for serum tryptase should be taken at 2-24 hours after onset of
anaphylaxis. Drug challenge should only be considered after other investigation have been
exhausted and the diagnosis remains in doubt. It is not usually advisable to carry out
provocation testing if the reaction has resulted in life threatening reaction.
If there are no suitable alternatives, drug desensitization maybe possible for course of
treatment.
Prevention of future reactions is essential part of patient management.
XIV. DAFTAR PUSTAKA
11
1. Tam, S. Drug Allergy. In : Allergy and Asthma; practical diagnosis and management. Eds.
Mahmoudi M. The McGraw-Hill companies USA. 2008 pp 236246.
2. Adkinson NF, Friedmann PS and Pongracic JA. Drug Allergy. In : Allergy. 3 th eds.
Holgate ST, Church MK and Lichtenstein LM. Mosby elsevier, China. 2006 pp 157166.
3. Mirakian R, Ewan PW, Durham SR, Youlten LJF, Dugue P, Friedmann PS, English JS,
Huber PAJ and Nasser SM. BSACI guidelines for the management of drug allergy. Clin.
Exp. All. 2008; 39: 43 61.
4. Fisher L and Craig TJ. Management of patiet with drug allergy. In : Managing the allegic
patient. Eds. Krouse LH, Derebery MJ, and Chadwick SJ. Saunders Elsevier.China. 2008.
pp 273298.
5. Bousquet PJ, Demoly P and Romano A. Drug allergy and hypersensitivity : still a hot
topic. Allergy. 2009; 64: 179182.
6. Blanca M, Romano A, Torres MJ, Fernandez J, Mayorga C, Rodriguez J, Demoly P,
Bousquet PJ, Merk HF, Sanz ML, Ott H, Markovic MA. Update on the evalution of
hypersensitivity reactions to betalactams. Allergy. 2009;64:183 193.
7. Romano A, Rouanet LB, Viola M, Gaeta F, Demoly P and Bousquet PJ. Benzylpenicllin
skin testing is still impotant in diagnosing immediate hypersensivity reactions to
pennicillins. Allergy. 2009; 64:249253.
--oo0oo--
12