INSECT BITE
Gigitan Lipan (chilopoda)
DISUSUN OLEH :
dr. Khalida Khairunnisa
dr. Anggia Putri Male Kasuma
dr. Dwi Haryanti Ramadhani
dr. Hossy Retri Umami
1
BAB I
PENDAHULUAN
Insect bite reaction (reaksi gigitan serangga) adalah reaksi yang disebabkan
oleh gigitan yang biasanya berasal dari bagian mulut serangga dan terjadi saat
serangga berusaha untuk mempertahankan diri atau saat serangga tersebut
mencari makanannya. Gigitan hewan serangga, misalnya oleh nyamuk, lalat,
bugs, dan kutu, yang dapat menimbulkan reaksi peradangan yang bersifat lokal
sampai sistemik. Gigitan serangga juga mengakibatkan kemerahan dan bengkak
di lokasi yang tersengat. Kebanyakan gigitan dan sengatan dilakukan untuk
pertahanan. Sebuah gigitan atau sengatan dapat menyuntikkan bisa (racun) yang
tersusun dari protein dan substansi lain yang mungkin memicu reaksi alergi
kepada penderita. Namun pengetahuan ilmiah mengenai alergi terhadap gigitan
serangga masih terbatas. 1,2
Angka kejadian gigitan serangga tidak dapat diketahui secara pasti, karena
kebanyakan kasus hanya menimbulkan reaksi ringan dan tidak terlaporkan.
Diperkirakan 56–94% populasi dewasa di seluruh dunia setidaknya pernah
mengalami gigitan serangga satu kali selama hidupnya. Reaksi alergi sistemik
diperkirakan terjadi pada 0,15–0,8% populasi anak dan 0,3–8,9% populasi
dewasa.2 Bayi dan anak-anak labih rentan terkena gigitan serangga dibanding
orang dewasa. Salah satu faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit ini
yaitu terjadi pada tempat-tempat yang banyak serangga, seperti di perkebunan,
persawahan, dan lain-lain. Secara sederhana gigitan dan sengatan serangga
dibagi menjadi 2 grup yaitu Venomous (beracun) dan Non Venomous (tidak
beracun).3
Pada tahun 2016, American Association of Poison Control Centers
(AAPCC) melaporkan bahwa angka kejadian gigitan serangga adalah 8.983
kasus. Sebanyak 590 pasien mengalami reaksi sistemik dan 16 pasien mengalami
reaksi berat yang mengancam nyawa. Sebuah studi di Inggris melaporkan bahwa
gigitan serangga dialami oleh 5 pasien dari total 100.000 kunjungan ke dokter
2
umum dalam 1 minggu.3
Mortalitas pada gigitan serangga disebabkan oleh syok anafilaksis. Insect
stings atau sengatan serangga merupakan penyebab mortalitas yang lebih sering
daripada gigitan serangga. Sebanyak 40–60% kasus anafilaksis di unit gawat
darurat disebabkan oleh sengatan serangga. Di Amerika, mortalitas anafilaksis
yang disebabkan oleh sengatan serangga berkisar antara 0,3–0,48 kematian per 1
juta penduduk per tahun atau sekitar 40–100 kematian per tahun.3
Gigitan dan sengatan serangga mempunyai prevalensi yang sama diseluruh
dunia. Dapat terjadi pada iklim tertentu dan hal ini juga merupakan fenomena
musiman, meskipun tidak menutup kemungkinan kejadian ini dapat terjadi di
sekitar kita. Prevalensi antara pria dan wanita sama. Bayi dan anak-anak lebih
rentan terkena gigitan serangga dibandingkan orang dewasa. Salah satu faktor
yang mempengaruhi timbulnya penyakit ini adalah lingkungan sekitar seperti
tempat mencari mata pencaharian yaitu perkebunan, persawahan dan lain-lain. 1
Sampai saat ini, belum ada data prevalensi gigitan serangga di Indonesia.
Sebagai negara beriklim tropis, cuaca yang panas dan lembap sepanjang tahun
sangat mendukung pertumbuhan serangga. Dengan demikian, penduduk
Indonesia cukup rentan mengalami gigitan serangga dan penyakit yang
ditransmisikan oleh vektor serangga.4
3
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. N
Umur : 27 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : IRT
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Lr. Kampar
Agama : Islam
Masuk IGD : 25 Januari 2021
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Nyeri pada luka digigit lipan pada jari kaki kanan
4
Pasien merupakan seorang IRT.
5
sinistra selebar 2-3 jari
Perkusi :
Batas jantung kanan : ICS IV, linea parasternalis dextra
Batas jantung kiri : ICS V, linea midklavikularis sinistra
Batas atas jantung : ICS II linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I dan BJ II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, sikatrik (-), venektasi (-), jaringan parut (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), defense muscular (-)
Hati : Tidak teraba
Limpa : Tidak teraba
Ginjal : Tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas
Superior : akral hangat, CRT <2 Detik
Inferior : akral hangat, CRT <2 Detik
Status Lokalisata
Regio Digiti III Pedis Dextra
6
2.6 Tatalaksana
Non-medikamentosa
• Wount toilet : cuci dengan air dan sabun
• Immobilisasi
Medikamentosa
• Inj. Dexamethasone 5 mg/1 ml 1 amp
• Inj. Diphenhidramine 1 amp
• PO chlorpeniramine maleat tab 3 x 4 mg
• PO As. Mefenamat tab 3 x 500 mg
2.7 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.2 Epimediologi
Gigitan dan sengatan serangga mempunyai prevalensi yang sama diseluruh
dunia. Dapat terjadi pada iklim tertentu dan hal ini juga merupakan fenomena
musiman, meskipun tidak menutup kemungkinan kejadian ini dapat terjadi di
sekitar kita. Prevalensi antara pria dan wanita sama. Bayi dan anak-anak lebih
rentan terkena gigitan serangga dibandingkan orang dewasa. Salah satu faktor
yang mempengaruhi timbulnya penyakit ini adalah lingkungan sekitar seperti
tempat mencari mata pencaharian yaitu perkebunan, persawahan dan lain-lain.1
Angka kejadian gigitan serangga tidak dapat diketahui secara pasti, karena
kebanyakan kasus hanya menimbulkan reaksi ringan dan tidak terlaporkan.
Diperkirakan 56–94% populasi dewasa di seluruh dunia setidaknya pernah
mengalami gigitan serangga satu kali selama hidupnya. Reaksi alergi sistemik
diperkirakan terjadi pada 0,15–0,8% populasi anak dan 0,3–8,9% populasi
8
dewasa.2 Bayi dan anak-anak labih rentan terkena gigitan serangga dibanding
orang dewasa. Salah satu faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit ini
yaitu terjadi pada tempat-tempat yang banyak serangga, seperti di perkebunan,
persawahan, dan lain-lain. Secara sederhana gigitan dan sengatan serangga
dibagi menjadi 2 grup yaitu Venomous (beracun) dan Non Venomous (tidak
beracun).3
Pada tahun 2016, American Association of Poison Control Centers
(AAPCC) melaporkan bahwa angka kejadian gigitan serangga adalah 8.983
kasus. Sebanyak 590 pasien mengalami reaksi sistemik dan 16 pasien mengalami
reaksi berat yang mengancam nyawa. Sebuah studi di Inggris melaporkan bahwa
gigitan serangga dialami oleh 5 pasien dari total 100.000 kunjungan ke dokter
umum dalam 1 minggu.3
Mortalitas pada gigitan serangga disebabkan oleh syok anafilaksis. Insect
stings atau sengatan serangga merupakan penyebab mortalitas yang lebih sering
daripada gigitan serangga. Sebanyak 40–60% kasus anafilaksis di unit gawat
darurat disebabkan oleh sengatan serangga. Di Amerika, mortalitas anafilaksis
yang disebabkan oleh sengatan serangga berkisar antara 0,3–0,48 kematian per 1
juta penduduk per tahun atau sekitar 40–100 kematian per tahun.3
Gigitan dan sengatan serangga mempunyai prevalensi yang sama diseluruh
dunia. Dapat terjadi pada iklim tertentu dan hal ini juga merupakan fenomena
musiman, meskipun tidak menutup kemungkinan kejadian ini dapat terjadi di
sekitar kita. Prevalensi antara pria dan wanita sama. Bayi dan anak-anak lebih
rentan terkena gigitan serangga dibandingkan orang dewasa. Salah satu faktor
yang mempengaruhi timbulnya penyakit ini adalah lingkungan sekitar seperti
tempat mencari mata pencaharian yaitu perkebunan, persawahan dan lain-lain. 1
Sampai saat ini, belum ada data prevalensi gigitan serangga di Indonesia.
Sebagai negara beriklim tropis, cuaca yang panas dan lembap sepanjang tahun
sangat mendukung pertumbuhan serangga. Dengan demikian, penduduk
Indonesia cukup rentan mengalami gigitan serangga dan penyakit yang
ditransmisikan oleh vektor serangga.4
9
3.1.3 Etiologi
Insect bite reaction disebabkan oleh artropoda kelas insekta. Insekta memiliki
tahap dewasa dengan karakter eksoskeleton yang keras, 3 pasang kaki, dan tubuh
bersegmen dimana kepala, toraks, dan abdomennya menyatu. Insekta merupakan
golongan hewan yang memiliki jenis paling banyak dan paling beragam. Oleh
karena itu, kontak antara manusia dan serangga sulit dihindari. Paparan terhadap
gigitan atau sengatan serangga dan sejenisnya dapat berakibat ringan atau hampir
tidak disadari ataupun dapat mengancam nyawa.6
Secara sederhana gigitan dan sengatan serangga dibagi menjadi 2 grup yaitu
Venomous (beracun) dan non-venomous (tidak beracun). Serangga yang beracun
biasanya menyerang dengan cara menyengat, misalnya tawon atau lebah. Ini
merupakan salah satu mekanisme pertahanan diri yakni dengan cara
menyuntikkan racun atau bisa melalui alat penyengatnya. Sedangkan serangga
yang tidak beracun menggigit atau menembus kulit dan masuk menghisap darah,
ini biasanya yang menimbulkan rasa gatal.1
Ada 30 lebih jenis serangga tetapi hanya beberapa saja yang bisa
menimbulkan kelainan kulit yang signifikan. Kelasa arthopoda yang melakukan
gigitan dan sengatan pada manusia terbagi atas :
1. Kelas Arachnida
a. Acarina
b. Araniae (Laba-laba)
c. Scorpionidae (Kalajengking)
2. Kelas Chilopoda (Lipan) dan Diplopoda (Luing)
Lipan adalah chilopoda yang ditandai dengan struktur gigitan cephalad
yang terhubung ke kelenjar penghasil bisa. Gigitan sering menghasilkan
dua tusukan disertai dengan eritema di sekitarnya dan bengkak. Racunnya
terdiri dari mediator biokimia, termasuk metaloprotease, yang mana
mengakibatkan nyeri lokal langsung. Perawatan umumnya suportif dan
membersihkan area dengan sabun dan air, kompres es, steroid topikal, dan
manajemen nyeri dengan acetaminophen atau NSAID. Kasus yang
10
bermanifestasi dengan nyeri lokal yang parah dapat diobati dengan
infiltrasi lokal lidokain.7
3. Kelas Insekta
a. Anoplura (Pthyreus pubis, Pediculus humanus, Capitis et corporis)
b. Coleoptera (Kumbang)
c. Dipthera (Nyamuk dan Lalat)
d. Hemiptera (Kutu busuk)
e. Hymenoptera (Semut, Lebah dan Tawon)
Ordo Hymenoptera meliputi tawon, lebah, dan semut api. Serangga
ini memiliki sengatan menyakitkan yang disebabkan oleh sengat ekor
mereka yang menyuntikkan racun. Komposisi bisa jadi ini kompleks, dan
beberapa berpotensi menimbulkan sensitisasi silang. Reaksi lokal terhadap
sengatan paling umum dan muncul dengan onset langsung nyeri lokal,
eritema, dan edema. Reaksi anafilaksis dapat muncul dengan gejala awal
pruritus, kemerahan pada wajah, dan urtikaria yang dapat dengan cepat
berkembang menjadi mengi, dispnea, angioedema dan stridor, muntah,
kram perut, dan sinkop. Keluarga Apoidea dari Hymenoptera, terdiri dari
lebah madu dan lebah, memiliki sengat dengan duri melengkung yang
tersisa di korban setelah sengatan.
Tatalaksana sengatan termasuk menghilangkan sengat secara manual
(mencabut sengat ekor), mengompres dengan es, dan analgesik untuk
nyeri. pemberian antihistamin sistemik dan kortikosteroid efektif untuk
reaksi lokal yang lebih parah.
f. Lepidoptera (Kupu-kupu)
11
(luing) sianida dan sabun, atau
quinon menggunakan alcohol
usap
Arachnida Jenis pertapa Pertapa coklat — iskemia, Pertapa coklat —
(laba-laba) coklat: gigitan plakat marmer, bullae, antivenom dan
sphingomyelinase nekrosis, eschar, dan sulfon;
Jenis tarantula: ulkus; tarantula — topikal
Gigitan tarantula — dermatitis, kortikosteroid dan
aktivasi reseptor konjungtivitis, nyeri, dan antihistamin oral
capsaicin pruritus
Kontak respon
alergi
Arachnida Sengatan Eritema, purpura, bula, Anestesi lokal,
(kalajengking Tityustoxin, nekrosis, ulcus, nyeri, antiserum,
) hemicalcin, dan mual, muntah, batuk, dan banhtuan hidup
campuran protein mengi, gagal jantung, dasar.
dasar edema paru, tremor,
shock, dan kematian
Arachnida Kontak Eritema, edema, papul, Kotikosteroid topical,
(tungau, kutu) Aktivasi antigen pruritus, dan infeksi antihistamin dan AB jika
igE respon TH2 sekunder ada infeksi sekunder.
12
Klasifikasi berdasarkan bentuk klinis:
1. Urtikaria iregular.
2. Urtikaria papular.
3. Papulo-vesikular, misalnya pada prurigo.
4. Punctum (titik gigitan), misalnya pada pedikulosis kapitis atau phtirus
pubis. 5
3.1.5 Patogenesis
Trauma mekanik akibat gigitan menyebabkan respons inflamasi lokal seperti
nyeri dan pembengkakan. Sebagian besar gigitan serangga hanya menyebabkan
luka tusuk superfisial pada kulit. Namun, perlukaan ini juga berpotensi menjadi
jalur masuknya bakteri yang menyebabkan infeksi sekunder.7
Gigitan atau serangan serangga akan menyebabkan kerusakan kecil pada kulit,
lewat gigian atau sengatan antigen yang akan masuk langsung direspon oleh
sistem imun tubuh. Racun dari serangga mengandung zat-zat yang kompleks.
Reaksi terhadap antigen tersebut biasanya akan melepaskan histamin, serotonin,
asam formic atau kinin. Lesi yang timbul disebabkan oleh respon imun tubuh
terhadap antigen yang dihasilkan melalui gigitan atau sengatan serangga. Reaksi
yang timbul melibatkan mekanisme imun. Reaksi yang timbul dapat dibagi dalam
dua kelompok : reaksi imediate dan reaksi delayed.1,6
Reaksi imediate merupakan reaksi yang sering terjadi dan ditandai dengan
reaksi lokal atau reaksi sistemik. Lesi juga timbul karena adanya toksin yang
dihasilkan oleh gigitan atau sengatan serangga. Nekrosis jaringan yang lebih luas
dapat disebabkan karena trauma endotel yang dimediasi oleh pelepasan neutrofil.
Spingomyelinase D adalah toksin yang berperan dalam timbulnya reaksi
neutrofilk. Enzim hyluronidase yang juga ada pada racun serangga akan merusak
lapisan dermis sehingga dapat mempercepat penyebaran racun tersebut.6
Sebagian besar keluhan yang timbul pada gigitan serangga disebabkan oleh
respon imun penderita terhadap injeksi saliva serangga. Saliva serangga
mengandung beberapa komponen biologis, seperti enzim lisosom, antikoagulan,
vasodilator, imunomodulator, dan komponen lain yang belum dapat diidentifikasi.
13
Saliva yang masuk ke dalam tubuh manusia dapat menyebabkan reaksi
hipersensitivitas tipe 1 dan 4. Selain itu, saliva serangga juga menghambat sistem
koagulasi, meningkatkan aliran darah, dan menimbulkan efek anestesi pada lokasi
gigitan.3,7
Pada reaksi hipersensitivitas tipe 1 (diperantarai IgE), terjadi aktivasi sel mast
yang menyebabkan pelepasan mediator inflamasi, seperti histamin dan sitokin.
Hal ini menimbulkan keluhan gatal dan tanda inflamasi lain dalam waktu cepat.
Reaksi hipersensitivitas ini bisa menimbulkan gejala ringan hingga berat,
termasuk anafilaksis. Sementara itu, pada reaksi hipersensitivitas tipe 4 (tidak
diperantarai IgE) respons inflamasi muncul lebih lambat atau disebut dengan
delayed hypersensitivity reaction.3,7
14
sickness, yang meliputi demam, malaise, sakit kepala, urtikaria,
limfadenopati dan poliartritis.
Faktor Risiko
1. Lingkungan tempat tinggal yang banyak serangga.
2. Riwayat atopi pada diri dan keluarga.
3. Riwayat alergi.
4. Riwayat alergi makanan.5
Pada kasus yang disertai infeksi sekunder, perlu ditanyakan beberapa
kondisi penyerta, seperti diabetes melitus; kondisi imunokompromais,
seperti pasien dengan human immunodeficiency virus (HIV); riwayat
konsumsi obat imunosupresan, seperti pasien kanker payudara yang
menjalani kemoterapi/radioterapi; serta riwayat dermatitis atau penyakit
lain yang berpotensi menimbulkan stasis pada aliran pembuluh darah.7
15
Pada reaksi sistemik atau anafilaktik, pasien bisa mengeluhkan adanya
gejala lokal sebagaimana gejala yang tidak terkait dengan lokasi gigitan.
Gejala dapat bervariasi dari ringan sampai fatal. Keluhan awal biasanya
termasuk ruam yang luas, urtikaria, pruritus, dan angioedema. Gejala ini
dapat berkembang dan pasien dapat mengalami ansietas, disorientasi,
kelemahan, gangguan gastrointestinal, kram perut pada wanita,
inkontinensia urin atau alvi, pusing, pingsan, hipotensi, stridor, sesak, atau
batuk. Seiring berkembangnya reaksi, pasien dapat mengalami kegagalan
napas dan kolaps kardiovaskuler.1
Infeksi sekunder terjadi jika kulit mengalami ekskoriasi akibat garukan
berlebihan. Manifestasi klinis seperti demam serta progresivitas lesi kulit
yang tidak terkontrol setelah pengobatan adekuat dapat menjadi tanda
terjadinya infeksi sekunder. Adanya nanah atau sekret purulen pada lesi
kulit juga menandakan infeksi sekunder.7
Beberapa jenis serangga memiliki karakteristik efloresensi yang
spesifik, antara lain:
• Tick, horsefly, flower bug bite, nyamuk, serta sengatan serangga
lain meninggalkan bekas gigitan tunggal yang dapat disertai
vesikel berukuran kecil atau luka lepuh.Gigitan seranggan ini
umumnya disertai nyeri hebat pada area gigitan
• Nyamuk, lalat, tungau, serta kutu kasur menimbulkan papul
eritema multipel yang berukuran kecil dan tersebar di sekitar
area gigitan
• Bed bugs dapat menggigit di seluruh tubuh, tetapi memiliki
predileksi pada area kepala dan leher
• Kutu (flea) umumnya bersumber dari binatang dan
menyebabkan gigitan pada ekstremitas bawah, di bawah lutut
• Gigitan laba-laba meninggalkan bekas berupa dua buah luka
tusuk yang identik dengan gigi taring.
• Adanya pus, abses, dan tanda-tanda limfangitis menandakan
telah terjadi infeksi sekunder. 7,8
16
c. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium jarang dibutuhkan. Pemeriksaan laboratorium
yang sesuai harus dilakukan apabila pasien mengalami reaksi yang berat
dan membutuhkan penanganan di rumah sakit atau dicurigai mengalami
kegagalan organ akhir atau membutuhkan evaluasi akibat infeksi sekunder,
seperti sellulitis.
Pemeriksaan mikroskopis dari apusan kulit dapat bermanfaat pada
diagnosis scabies atau kutu, namun tidak berguna pada kebanyakan gigitan
serangga.
Pemeriksaan serologis mungkin berguna dalam menentukan infeksi
yang diakibatkan oleh vektor serangga, namun jarang tersedia dan
membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya.3
3.1.7 Tatalaksana
Prinsip penanganan kasus gigitan serangga adalah dengan mengatasi
respon peradangan baik yang bersifat lokal maupun sistemik. Reaksi peradangan
lokal dapat dikurangi dengan sesegera mungki mencuci daerah gigitan dengan air
dan sabun, serta kompres es.5
a. Perawatan Pra Rumah Sakit
Kebanyakan gigitan serangga dapat dirawat pada saat akut dengan
memberikan kompres setelah perawatan luka rutin dengan sabun dan air untuk
meminimalisasi kemungkinan infeksi. Untuk reaksi lokal yang luas, kompres
es dapat meminimalisasi pembengkakan. Pemberian kompres es tidak boleh
dilakukan lebih dari 15 menit dan harus diberikan dengan pembatas baju
antara es dan kulit untuk mencegah luka langsung akibat suhu dingin pada
kulit. Epinefrin merupakan kunci utama untuk penanganan pra rumah sakit
pada reaksi sistemik. Antihistamin sistemik dan kortikosteroid, bila tersedia,
dapat membantu mengatasi reaksi sistemik.1
b. Medikamentosa
Atasi keadaan akut terutama pada angioedema karena dapat terjadi
obstruksi saluran napas. Penanganan pasien dapat dilakukan di Unit Gawat
17
Darurat. Bila disertai obstruksi saluran napas diindikasikan pemberian
epinefrin sub kutan. Dilanjutkan dengan pemberian kortikosteroid prednison
60-80 mg/hari selama 3 hari, dosis diturunkan 5-10 mg/hari.5
Intubasi endotrakeal dan ventilator mungkin diperlukan untuk menangani
anafilaksis berat atau angioedema yang melibatkan jalan napas. Penanganan
anafilaksis emergensi pada individu yang atopik dapat diberikan dengan injeksi
awal intramuskular 0,3-0,5 ml epinefrin dengan perbandingan 1:1000. Dapat
diulang setiap 10 menit apabila dibutuhkan. Bolus intravena epinefrin (1:10.000)
juga dapat dipertimbangkan pada kasus berat. Begitu didapatkan respon positif,
bolus tadi dapat dilanjutkan dengan infus dicampur epinefrin yang kontinu dan
termonitor. Eritema yang tidak diketahui penyebabnya dan pembengkakan
mungkin sulit dibedakan dengan sellulitis. Sebagai aturan umum, infeksi jarang
terjadi dan antibiotik profilaksis tidak direkomendasikan untuk digunakan.1
Terapi suportif harus diutamakan pada kasus gigitan serangga yang
dialami wanita hamil. Jika kompres dingin tidak berhasil mengurangi keluhan,
kalamin losion atau hydrocortisone cream dapat diberikan. Penggunaan CTM,
cetirizine, dan loratadine pada kehamilan termasuk dalam kategori B. Oleh karena
belum ada uji acak terkontrol pada populasi wanita hamil, sebaiknya
penggunaannya hanya dipertimbangkan pada kondisi yang tidak membaik setelah
terapi topikal dan suportif.
Dalam kondisi stabil, terapi yang dapat diberikan yaitu:
a. Sistemik
Antihistamin merupakan pilihan utama untuk mengurangi keluhan gatal pada
gigitan serangga. Antihistamin generasi pertama, seperti chlorpheniramine maleat
(CTM), atau generasi kedua, seperti cetirizine, dan loratadine dapat dipilih. 1,5
• Antihistamin sedatif: klorfeniramin maleat 3 x 4 mg per hari selama 7 hari
atau setirizin 1 x 10 mg per hari selama 7 hari.
• Antihistamin non sedatif: loratadin 1 x 10 mg per hari selama 7 hari.
Pengobatan dengan kortikosteroid sistemik jangka pendek bermanfaat
untuk meredakan respons inflamasi pada reaksi inflamasi lokal yang berat
atau respons inflamasi sistemik, yang ditandai dengan urtikaria
18
generalisata. Kortikosteroid sistemik juga harus diberikan pada pasien
yang mengalami reaksi anafilaksis. Obat yang direkomendasikan adalah
prednison peroral dengan dosis 1 mg/kg (maksimal 50 mg) per hari selama
5–7 hari. 1,5
b. Topikal
Penggunaan terapi topikal bertujuan untuk meredakan gatal dan
mengurangi reaksi inflamasi lokal pada area gigitan. Keluhan gatal dapat
diatasi dengan kalamin losion dan krim kortikosteroid potensi rendah
hingga menengah. Salah satu kortikosteroid topikal yang dapat digunakan
adalah hydrocortisone cream 1%. Obat ini hanya dianjurkan untuk
penggunaan jangka pendek, maksimal 7 hari, untuk menghindari efek
samping yang tidak diinginkan. Antibiotik topikal dapat diberikan jika
terdapat infeksi sekunder. Kortikosteroid topikal potensi sedang-kuat:
misalnya krim mometason furoat 0,1% atau krim betametason valerat
0,5% diberikan selama 2 kali sehari selama 7 hari. 1,5
c. Konseling dan Edukasi
Gigitan serangga dapat sembuh sempurna dalam 5–10 hari. Pasien
perlu diedukasi untuk melakukan tindakan suportif yaitu kompres dingin,
memberikan kalamin losion, dan memposisikan area yang mengalami
gigitan lebih tinggi daripada posisi tubuh. Hindari menggaruk area yang
gatal karena dapat menimbulkan infeksi sekunder. Pasien dan keluarga
juga perlu dijelaskan tentang cara mencegah gigitan serangga.
Keluarga diberikan penjelasan mengenai:
1. Minum obat secara teratur.
2. Menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal, memakai baju
berlengan panjang dan celana panjang, pada beberapa kasus
boleh memakai mosquito repellent jika diperlukan, dan lain-lain
agar terhindar dari gigitan serangga.5
Pasien perlu diberitahu untuk mengamati apakah terjadi perluasan reaksi
lokal pada area gigitan. Pasien dianjurkan kembali ke dokter apabila terdapat
perluasan reaksi lokal, mengalami demam atau nyeri hebat, dan mengalami tanda-
19
tanda infeksi sekunder, seperti keluar nanah atau pembengkakan berisi nanah
(abses) pada area gigitan. Pasien juga perlu diberitahu bahwa pada beberapa
kasus, dapat terjadi reaksi tipe lambat yang bisa muncul sampai dengan 14 hari
setelah gigitan beserta tanda-tandanya.
3.1.8 Prognosis
Prognosis dari insect bite reaction bergantung pada jenis insekta
yang terlibat dan seberapa besar reaksi yang terjadi. Pemberian topikal
berbagai jenis analgetik, antibiotik, dan pemberian oral antihistamin cukup
membantu, begitupun dengan kortikosteroid oral maupun topikal.
Pemberian insektisida, mencegah pajanan ulang, dan menjaga higienitas
lingkungan juga perlu diperhatikan. Sedangkan untuk reaksi sistemik
berat, penanganan medis darurat yang tepat memberikan prognosis baik.6
Sebagian besar kasus gigitan serangga bersifat self-limited,
memiliki prognosis yang baik, dan sangat jarang menimbulkan komplikasi
serius. Terjadinya syok anafilaksis dalam 1 jam pertama setelah gigitan
dapat berakibat fatal. Namun, risiko kematian akibat anafilaksis menurun
dengan pemberian epinefrin segera. Risiko fatalitas meningkat pada
populasi khusus seperti anak, usia lanjut,, serta pasien dengan penyakit
gangguan sel mast, dan komorbid penyakit kardiovaskular. Adanya infeksi
sekunder yang ekstensif serta riwayat reaksi gigitan serangga yang berat
sebelumnya juga menjadi salah satu faktor prognostik yang lebih buruk.1,7
20
BAB IV
ANALISIS KASUS
21
BAB V
KESIMPULAN
5.2 Saran
Diperlukan ketepatan diagnosis dan penanganan pasien dengan gigitan
serangga secara cepat. Apabila kondisi penanganan tidak dilakukan dengan segera
maka kondisi pasien dapat bertambah buruk yang nantinya akan mempengaruhi
prognosis dari pasien.
22
DAFTAR PUSTAKA
23