PNBP FAKULTAS
SKIM DASAR SKEMA B
UNIVERSITAS JAMBI
Oktober 2019
RINGKASAN
ii
Prevalensi obesitas remaja (15-18 tahun) di Indonesia terus meningkat. Hasil riset
kesehatan dasar tahun 2013 menunjukan prevalensi obesitas usia remaja dari tahun 2010
sebesar 1,4% naik menjadi 7,3% tahun 2013. Keadaan obesitas akan mempengaruhi sekresi
leptin. Remaja obesitas mengalami peningkatan kadar leptin karena leptin akan meningkat
saat simpanan lemak dalam tubuh meningkat. Sebagai kontrol terhadap keseimbangan energi
pada manusia, leptin merupakan hormon anti obesitas yang didasarkan pada hipotesis bahwa
kadar leptin yang tinggi akan mencegah terjadinya obesitas, sayangnya hal ini tidak terjadi,
sebagian besar individu obesitas memiliki kadar leptin yang tinggi, namun tidak merangsang
hilangnya massa lemak yang diharapkan. Beberapa peneliti telah menemukan bahwa kadar
leptin lebih tinggi pada orang yang obesitas dibanding orang dengan berat badan normal.
Oleh karena itu, peneliti mencoba untuk melakukan penelitian mengenai korelasi massa
lemak dan lemak viseral dengan kadar leptin serum pada kelompok usia >18 tahun khususnya
di lingkungan FKIK Universitas Jambi yang mengalami overweight dan obesitas. Hal ini
ditujukan untuk mengetahui perbedaan masa lemak, lemak viseral, dan kadar leptin pada
kelompok remaja yang mengalami overweight dan obesitas. Penelitian ini juga digunakan
untuk mengetahui korelasi masa lemak dan lemak viseral dengan kadar leptin serum pada
kelompok remaja yang mengalami overweight dan obesitas di FKIK Universitas Jambi yang
mengalami kelebihan gizi. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan landasan ilmu
mengenai penanggulangan overweight dan obesitas dari segi ilmu gizi sehingga dapat
diaplikasikan secara luas dikemudian hari.
Penelitian ini dilakukan pada Agustus- September 2019 dengan menilai berat badan,
tinggi badan, massa lemak, lemak viseral, dan kadar leptin serum. Hasil data akan dianalisis
menggunakan uji yang spesifik.
iii
PRAKATA DAFTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya. Penelitian ini merupakan salah satu wujud nyata pelaksanaan
Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui korelasi masa lemak dan lemak viseral
dengan kadar leptin serum pada remaja overweight dan obesitas khususnya di lingkungan
FKIK Universitas Jambi. Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah
Kami berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan dunia kedokteran
di masa mendatang dan dapat menjadi rujukan untuk penelitian selanjutnya. Semoga Allah
SWT selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepda kita semua. Amin ya
Rabbal’alamin
Peneliti
iv
ISI DAFTAR
Halam
an
HALAMAN SAMPUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
RINGKASAN iii
PRAKATA DAFTAR iv
ISI DAFTAR v
TABEL DAFTAR vii
GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN ix
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian 1
1.2 Rumusan masalah 2
DAFTAR PUSTAKA 27
LAMPIRAN 29
vi
TABEL DAFTAR
Halaman
Tabel 1.1 Rencana Target Capaian Tahunan 3
Tabel 5.1. Karakteristik subjek penelitian 18
Tabel 5.2. Sebaran data asupan makanan pada subjek penelitian 21
Tabel 5.3 Korelasi Massa Lemak dan Lemak Viseral dengan Kadar Leptin 23
vii
GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Rute leptin dalam regulasi berat badan dan fungsi biologis lainnya 6
viii
DAFTAR LAMPIRAN
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1
leptin lebih tinggi pada orang yang obesitas dibanding orang dengan berat badan normal
(Yulina, 2011).
Obesitas diartikan sebagai kondisi terdapat penimbunan lemak tubuh yang berlebihan,
Menurut standar indeks massa tubuh (IMT), IMT >25 kg/m 2 dikategorikan obesitas. Secara
normal lemak yang berlebih akan disimpan dilapisan subkutan, namun karena mengalami
gangguan atau kerusakan maka lemak terakumulasi dilapisan viseral Distribusi lemak pada
tempat yang berbeda memiliki implikasi terhadap morbiditas. Lemak abdominal dan
intraabdominal memiliki signifikansi yang lebih besar dibanding lemak yang terdistribusi
pada extremitas bawah atau seluruh tubuh. Obesitas juga merupakan faktor presdiposisi
terjadinya hipertensi, dislipidemia, DM, penyakit kardiovaskuler, gagal ginjal dan respon
inflamasi. Studi prospektif dengan menggunakan pengukuran antropometri mendapati bahwa
obesitas viseral memiliki kaitan erat dengan hipertensi, diabetes dan penyakit kardiovaskuler
(Yulina, 2011).
Obesitas dibedakan menjadi obesitas abdominal atau viseral dan obesitas periper atau
non viseral yang membedakan keduanya adalah bahwa lemak viseral memiliki reseptor
glukokortikoid dan androgen lebih banyak, metabolism yang lebih aktif, lebih sensitive
terhadap lipolisis dan lebih resisten insulin. Viseral Adipose Tissue (VAT) memiliki kapasitas
lebih besar menghasilkan Free Fatty Acid (FFA), meningkatkan glukosa dan lebih sensitive
terhadap stimulasi adrenergic (Yulina, 2011).
Berdasarkan uraian diatas makan peneliti tertarik untuk melakukan pnelitian mengenai
korelasi massa lemak dan lemak viseral dengan kadar leptin serum pada remaja overweight
dan obesitas.
3
Seni/Rekayasa Sosial ada ada
8. Buku Ajar (ISBN) Tidak ada Tidak Tidak ada Tidak
ada ada
9. Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT) Tidak ada Tidak Tidak ada Tidak
ada ada
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
2.1 Leptin
Leptin berasal dari bahasa Yunani leptos yang berarti kurus, ditemukan tahun 1994 pada
tikus obesitas (gen ob/ob). Leptin merupakan suatu peptide 16 kD yang diproduksi sebagian
besar oleh jaringan adipose yang berperan sebagai regulator utama dalam pengaturan
keseimbangan energi dan berat badan. Secara umum leptin berperan dalam menghambat rasa
lapar dan meningkatkan metabolism energi. Leptin akan meningkatkan signal percadangan
lemak dengan didahului penurunan asupan makanan Fungsi utama leptin yaitu untuk
menyediakan sinyal simpanan energi yang ada dalam tubuh pada sistem saraf pusat sehingga
otak dapat melakukan penyesuaian yang dibutuhkan untuk menyeimbangkan asupan energi
dan pengeluaran. Kadar leptin menurun dalam 12 jam setelah kelaparan atau selama puasa
dan meningkat setelah beberapa hari mengkonsumsi banyak makanan.(Nurhayati, 2018)
Konsentrasi leptin dalam sirkulasi bersifat paralel terhadap indeks massa tubuh,
persentase lemak tubuh dan berat lemak tubuh total, dan kadarnya lebih tinggi secara
signifikan pada obesitas. Sebagai control terhadap keseimbangan energi pada manusia, leptin
merupakan hormone anti obesitas yang didasarkan pada hipotesis bahwa kadar leptin yang
tinggi akan mencegah terjadinya. Sayangnya hal ini tidak terjadi, sebagian besar individu
obesitas memiliki kadar leptin yang tinggi, namun tidak merangsang hilangnya massa lemak
yang diharapkan. Keadaan ini terjadi akibat gangguan transportasi leptin pada otak atau
respon sensitivitas terhadap aksi leptin menurun sehingga hipotalamus pada individu dengan
obesitas menjadi kekurangan leptin sementara produksi leptin meningkat. Selain pengaturan
nafsu makan, berat badan dan thermogenesis, leptin juga mempengaruhi sejumlah besar
fungsi biologis seperti tekanan darah, reproduksi, metabolisme lipid dan glukosa, sintesis
glukokortikoid, insulin dan proliferasi limfosit CD4+, sekresi sitokin, fagositosis, dan
transimisi sinaps melalui modulasi terhadap aktivasi system syaraf simpatis (SNA).
(Nurhayati, 2018)
5
Gambar 2.1. Rute leptin dalam regulasi berat badan dan fungsi biologis lainnya.
7
IMT
Untuk kepentingan klinik praktis, dan menghitung jumlah kalori, penentuan status gizi
memanfaatkan rumus Broca, yaitu: Berat Badan Idaman.
BBI = (TB – 100) – 10% (TB – 100)
Status gizi:
- BB kurang bila BB < 90% BBI
- BB normal bila BB 90-110% BBI
- BB lebih bila BB 110-120% BBI
- Gemuk bila BB >120% BBI
Overweight dan obesitas merupakan faktor risiko timbulnya penyakit metabolik seperti
diabetes mellitus, penyakit jantung koroner, dan hipertensi (Laurentia, 2004). Obesitas
merupakan suatu keadaan dimana terjadi akumulasi lemak subkutan dan jaringan lainnya.
Salah satu metode untuk mengukur lemak subkutan di lengan atas yaitu dengan mengukur
tebal lipatan kulit trisep. Pada anak dan remaja dalam kagegori usia dan jenis kelamin sama,
dinyatakan mengalami obesitas jika hasil tebal lipatan kulit trisep berada di atas persentil ke-
85. Sedangkan, jika tebal lipatan kulit trisep menunjukkan di atas persentil ke-95 anak atau
remaja tersebut dikatakan super-obesitas (Soetjiningsih, 2004).
Menurut Soetjiningsih obesitas dibagi berdasarkan gejala klinisnya, yaitu :
1. Obesitas sederhana (simple obesity)
Hanya ditemukan kegemukan saja tanpa disertai dengan kelainan
hormonal/mental/fisik lainnya. Obesitas tipe ini disebabkan karena faktor
nutrisi.
2. Obesitas khusus
a. Kelainan endokrin/hormonal (Sindrom Chusing)
8
Obesitas ini terjadi pada anak yang sensitif terhadap pengobatan dengan
hormon steroid
b. Kelainan somatodismorfik (Sindrom Prader-Willi, Sindrom Summit dan
Carpenter, Sindrom Laurence-Moon-Biedl dan Sindrom Cohen) Obesitas
dengan kelainan ini hampir selalu disertai mental retardasi dan kelainan
ortopedi.
c. Kelainan Hipotalamus
Kelainan pada hipotalamus yang mempengaruhi nafsu makan dan berakibat
terjadinya obesitas, sebagai akibat dari kraniofaringioma, leukemia serebral,
trauma kepala dan lain-lain
Obesitas juga dapat dibagi berdasarkan kondisi sel dalam tubuhnya, yaitu :
1. Tipe Hiperplastik
jumlah sel dalam tubuh lebih banyak dibanding kondisi normal, tetapi ukuran
selnya sesuai dengan ukuran sel normal. Obesitas ini biasanya terjadi pada masa
anak-anak dan sulit diturunkan.
2. Tipe Hipertropik
jumlah sel yang normal, tetapi ukuran selnya lebih besar dibanding dengan sel
normal, dan biasanya terjadi setelah dewasa.
3. Tipe Hiperplastik-Hipertopik
baik jumlah maupun ukuran selnya melebihi batas normal. Biasanya keadaan
obesitas ini sudah dimulai sejak masa anak-anak dan berlangsung terus hingga
dewasa. Orang yang mengalami tipe ini sulit untuk menurunkan BB.
9
terjadi, maka kelebihan energi akan diubah menjadi lemak dan disimpan di dalam sel-
sel lemak.
2. Genetik
Faktor genetik juga merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kelebihan gizi
yaitu sebanyak 25-35%. Jadi, jika ada anggota keluarga yang memiliki riwayat
obesitas, maka akan memiliki risiko yang lebih tinggi menderita obesitas
dibandingkan dengan mereka yang tidak. Maddah dan Nikooyeh (2009) yang
menyimpulkan bahwa kedua orangtua obesitas atau overweight berhubungan dengan
kejadian obesitas pada anak-anak.
3. Emosional
Faktor stress yang tidak teratasi juga merupakan faktor yang dapat memperberat
overweight dan obesitas.
4. Kerusakan pada salah satu bagian otak
Sistem pengontrol yang mengatur perilaku makan terletak pada suatu bagian otak
yang disebut hipotalamus, sebuah kumpulan inti sel dalam otak yang langsung
berhubungan dengan bagian-bagian lain dari otak dan kelenjar dibawah otak.
Hipotalamus mengandung lebih banyak pembuluh darah dari daerah lain pada otak
sehingga lebih mudah dipengaruhi oleh unsure kimiawi dari darah. Dua bagian
hipotalamus yang mempengaruhi penyerapan makan yaitu hipotalamus lateral (HL)
yang menggerakkan nafsu makan (awal atau pusat makan), hipotalamus ventromedial
(HVM) yang bertugas merintangi nafsu makan (pemberhentian atau pusat kenyang).
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa bila HL rusak/hancur maka individu menolak
untuk makan atau minum. Sedangkan bila kerusakan terjadi pada bagian HVM maka
cenderung akan meningkatkan keinginan untuk makan (Hasdianah, 2014).
5. Kurang aktivitas fisik
Meski aktivitas fisik hanya mempengaruhi satu per tiga pengeluaran energi seseorang
dengan berat badan normal, tapi bagi orang yang memiliki kelebihan berat badan
aktivitas fisik memiliki peran yang sangat penting. Pada saat berolahraga kalori
terbakar, makin banyak berolahraga maka semakin banyak kalori yang hilang.
Kekurangan aktivitas gerak akan menyebabkan suatu siklus yang hebat, obesitas
membuat kegiatan olahraga menjadi sangat sulit dan kurang dapat dinikmati dan
kurangnya olahraga secara tidak langsung akan mempengaruhi turunnya metabolisme
basal seseorang (Hasdianah, 2014).
Overweight dan obesitas merupakan hasil kombinasi antara faktor-faktor berikut ini:
10
- Tidak melakukan aktifitas fisik sehingga pembakaran lemak akan menjadi sedikit
- Memakan makanan dengan tinggi kalori terutama makanan cepat saji
- Beberapa wanita sulit menurunkan berat badan setelah melahirkan, hal ini dapat
memicu terjadinya obesitas
- Kurang tidur
- Mengkonsumsi obat-obatan tertentu seperti obat diabetes, anti kejang, anti
depressants, antipsychotic, steroids dan beta blockers
- Mengalami masalah medis lain.
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
12
1. Untuk mengetahui gambaran masa lemak, lemak viseral, dan kadar leptin pada
kelompok remaja yang mengalami overweight dan obesitas.
2. Untuk mengetahui perbedaan masa lemak, lemak viseral, dan kadar leptin pada
kelompok remaja yang mengalami overweight dan obesitas.
3. Untuk mengetahui korelasi masa lemak dan lemak viseral dengan kadar leptin serum
pada kelompok remaja yang mengalami overweight dan obesitas.
BAB IV
METODE PENELITIAN
13
Penelitian ini merupakan metode survey analitik dengan pendekatan cross sectional.
Dalam penelitian cross sectional, variable sebab dan akibat yang terjadi pada objek penelitian
diukur atau dikumpulkan secara simultan (dalam waktu yang bersamaan) untuk menilai
korelasi masa lemak dan lemak visceral dengan kadar leptin serum pada remaja overweight
dan obesitas pada mahasiswa FKIK Unja usia >18tahun.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi
pada bulan Agustus – September 2019.
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian
Kasus yang masuk dalam penelitian ini adalah :
1. Populasi sasaran : Kelompok usia >18 tahun yang berdomisili di Kota Jambi
2. Populasi terjangkau : Kelompok usia >18 tahun yang berstatus mahasiswa
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi
3. Sampel yang dikehendaki : Kelompok usia >18 tahun yang mengalami
overweight dan obesitas dengan IMT ≥ 23 berstatus sebagai mahasiswa Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi
Semua kelompok usia >18 tahun yang berstatus mahasiswa Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Jambi yang mengalami overweight dan obesitas harus
memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi sebagai berikut :
a) Kriteria inklusi :
1. Mahasiswa usia >18 tahun
2. Sehat (tidak menderita penyakit metabolik atau penyakit kronis lainnya)
3. IMT ≥ 23
b) Kriteria eksklusi :
1. Sedang menjalani program diet jenis apapun
2. Sedang menjalani pengobatan jangka panjang seperti penggunaan steroid
dan obat-obat anti kolesterol
3. Sedang mengkonsumsi suplemen makanan seperti omega 3
dengan ketentuan :
n : besar sampel minimal
Zα : batas kemaknaan visceral, untuk α = 0,05 maka Zα = 1,96
Zβ : batas kemaknaan visceral, ditetapkan 0, 842 untuk β = 0,20
r : koefisien korelasi ditetapkan r = 0,4
ln : log natural
Jumlah sampel minimal yang diperlukan sebesar 55 orang dengan perkiraan drop out 10% (5
orang), sehingga keseluruhan sampel menjadi 60 orang.
4.5. Variabel penelitian
4.5.1. Variabel bebas
1. Massa lemak
2. Lemak viseral
3. Leptin serum
4.5.2 Varibel tergantung
1. Mahasiswa usia >18 tahun
2. Overweight
3. Obesitas
4.6. Definisi Operasional
1. Mahasiswa usia >18 tahun :
Individu laki-laki dan perempuan yang sedang menuntut ilmu ditingkat perguruan
tinggi dengan usia>18 tahun.
2. Massa lemak:
Lemak yang berada dalam jaringan adipose dan jaringan lainnya dalam tubuh
3. Lemak viseral :
Angka yang menunjukkan level luas permukaan lemak pada sekitar organ internal
bagian abdomen.
4. Leptin serum:
Proteohormon yang berperan dalam pengaturan berat badan dan disekresi oleh sel
adiposit.
15
5. Overweight :
Kondisi berat badan seseorang melebihi berat badan normal pada umumnya dengan
IMT mencapai ≥ 23
6. Obesitas :
Kondisi dimana terjadi akumulasi lemak tubuh secara berlebihan dengan pengukuran
IMT mencapai ≥ 25
4.7. Instrumen penelitian
Instrumen penelitian berupa kuesioner untuk menilai karakteristik sampel, body scale
viscere untuk menilai berat badan massa lemak dan lemak visceral, serta pemeriksaan darah
sederhana untuk menilai leptin serum.
4.8. Prosedur Penelitian
1. Tim peneliti akan menilai status gizi mahasiswa FKIK Unja usia >18 tahun yang
tergolong mengalami overweight dan obesitas dengan IMT ≥ 23.
2. Sampel yang telah didapatkan akan diminta untuk mengisi kuisoner.
3. Kemudian dilakukan pengukuran massa lemak dan lemak viseral dengan
menggunakan body scale tanita.
4. Pengukuran kadar leptin serum dilakukan dengan cara menganalisa kadar leptin
dengan pengambilan sampel darah.
5. Selanjutnya data hasil pemeriksaan akan dianalisis secara statistik. Dianalisis secara
deskriftif dan kualitatif data yang diperoleh dari kuesioner.
4.9. Analisis data
a. Data hasil pemeriksaan massa lemak, lemak viseral, dan leptin serum berupa data
numerik dianalisis normalitasnya dengan kolmogrov simirnov. Apabila distribusi data
normal maka dilanjutkan dengan uji Korelasi Pearson, dan sebaliknya apabila
distribusi data tidak normal dilanjutkan dengan uji Korelasi Peringkat Spearman.
b. Hasil kuesioner tentang karakteristik mahasiswa FKIK Unja usia >18 tahun dengan
IMT ≥23 akan dianalisis untuk menilai data distributif.
4.10 Alur Penelitian (fishbone diagram)
Hormon Mediator Inflamasi
Genetik
CRP, IL-6, TNF α
Adipokin
Leptin SINDROMA
METABOLIK PADA
OVERWEIGHT DAN
↑ kalori
OBESITAS
↑ lemak
Izin Penelitian
Hasil
Analisis data
Kesimpulan
BAB V
HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
5.1 Hasil
Telah dilakukan penelitian potong lintang dengan metode survey analitik untuk
mengetahui korelasi masa lemak dan lemak viseral dengan kadar leptin serum pada remaja
overweight dan obesitas pada mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi usia >18tahun pada bulan Agustus sampai September 2019. Pengambilan
17
data dilakukan pada tanggal 7 September 2019 dan 14 September 2019 dengan 60 subjek
yang dianalisis.
21
tidak cukup sehingga memecah protein. Apabila tubuh kekurangan zat energi, fungsi protein
untuk menghasilkan energi atau untuk membentuk glukosa akan didahulukan.1 Bila glukosa
atau asam lemak didalam tubuh terbatas, sel terpaksa menggunakan protein untuk membentuk
glukosa dan energi (Weni, 2015). Hal ini selaras dengan penelitian yang didapatkan yaitu
meski laki-laki memiliki rerata asupan protein yang tinggi daripada perempuan, tetapi
persentase obesitas laki-laki tidak lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan.
Rerata asupan karbohidrat dan persentase asupan karbohidrat pada laki-laki lebih
tinggi daripada perempuan pada penelitian ini. Hal ini bertolakbelakang dengan penelitian
Weni yaitu asupan karbohidrat berlebih pada kelompok obesitas ditemukan lebih tinggi
dibandingkan kelompok tidak obesitas (Weni, 2015). Hasil penelitian ini juga tidak sejalan
dengan penelitian Andriani yang mengatakan bahwa ada perbedaan bermakna antara asupan
karbohidrat pada kelompok anak obesitas dan tidak obesitas. Usia remaja rentan akan risiko
obesitas karena pada usia ini remaja mengalami penurunan aktivitas fisik, peningkatan
konsumsi tinggi lemak, dan tinggi karbohidrat (Adriani, 2012). Banyak faktor yang
mempengaruhi obesitas yaitu salah satunya merupakan aktivitas fisik, laki-laki cenderung
untuk memiliki aktivitas yang lebih tinggi daripada perempuan sehingga dapat menjadi faktor
pendukung ditemukannya rerata asupan karbohidrat yang lebih tinggi pada laki-laki meskipun
perempuan yang cenderung mengalami obesitas.
Laki-laki memiliki kadar asupan lemak yang lebih tinggi daripada perempuan tetapi
untuk persentase kalori pada asupan lemak perempuan memiliki rerata yang lebih tinggi
dibandingkan laki-laki. Hal ini selaras dengan penelitian Camelia yang menjelaskan bahwa
pada anak perempuan yang obesitas cenderung memiliki persentase lemak tubuh dan leptin
yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki (Camelia, 2015). Pada penelitian ini kadar PUFA dan
SFA lebih tinggi pada perempuan dan kadar MUFA serta kolestrol yang lebih tinggi pada
laki-laki. Hal ini juga selaras dengan penelitian Camelia, anak yang mengalami obesitas
menunjukkan kadar leptin, kolestrol total, kolestrol LDL, trigliserida dan kadar HDL kolestrol
yang rendah (Camelia, 2015).
Pada penelitian ini rerata serat yang dikonsumsi oleh laki-laki lebih tinggi daripada
perempuan. Asupan serat yang rendah dapat menyebabkan gizi lebih, karena kecenderungan
mengkonsumsi makanan tinggi lemak yang lebih mudah dicerna dibandingkan serat.
Seseorang dengan pola makan mengandung serat yang sesuai kebutuhan, jarang ditemui
mengalami gizi lebih. Remaja yang gizi lebih membutuhkan lebih banyak makanan yang
mengandung serat terutama dari sayur. Serat juga menimbulkan efek kenyang yang lebih lama
sehingga tidak cepat timbul lapar. Asupan tinggi serat tidak akan menyumbang energi lebih
22
sehingga dapat membantu mengontrol berat badan. Rendahnya asupan serat makanan
seseorang dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan seseorang tentang serat makanan dan
kesehatan ini terutama pada anak, pengetahuan orang tua sangat berpengaruh terhadap
konsumsi serat, karena anak cenderung mengikuti pola makan orang tua (Vilda, 2016).
5.1.4 Korelasi Massa Lemak dan Lemak Viseral dengan Kadar Leptin
Analisis dengan menggunakan uji spearman menunjukkan hasil yang signifikan serta
korelasi yang tinggi antara massa lemak dengan kadar leptin dimana massa lemak berbanding
lurus dengan kadar leptin, sedangkan lemak viseral tidak menunjukkan korelasi yang
signifikan dengan kadar leptin. (Tabel 5.3)
Tabel 5.3 Korelasi Massa Lemak dan Lemak Viseral dengan Kadar Leptin
Kadar Leptin
Total (n=60)
r p
Analisis menunjukkan hasil yang signifikan p = 0.000 serta korelasi r = 0,719 yang
tinggi antara massa lemak dengan kadar leptin dimana massa lemak berbanding lurus dengan
kadar leptin. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Camelia, kadar leptin berkolerasi
dengan persentase jaringan lemak. Pada anak obesitas kadar leptin secara signifikan lebih
tinggi dibandingan dengan anak kategori normal. Kadar leptin pada anak perempuan obesitas
lebih tinggi daripada anak laki-laki dengan obesitas jika dibandingkan dengan anak kategori
berat badan normal dimana tidak terdapat perbedaan jenis kelamin dalam kategori ini
(Camelia,2015).
Hal ini juga didukung dengan penelitian Martin yaitu kadar leptin serum telah
ditemukan positif berhubungan dengan IMT, lingkar pinggang, massa lemak, insulin, dan
HOMA-IR pada populasi di Afrika (Martin, 2010). Sebagian besar individu dengan obesitas
mengalami hiperleptinemik dan resistensi leptin yang secara langsung berhubungan dengan
proses obesitas. Resistensi leptin menyebabkan meningkatnya akumulasi trigliserida pada
jaringan adiposa, otot, hati, dan pankreas (Martin, 2010). Secara umum, terdapat tiga keadaan
yang melatarbelakangi obesitas, yaitu keadaan ketika tubuh gagal memproduksi leptin saat
terjadi akumulasi lemak, keadaan kedua yaitu ketika jaringan adiposa mensekresikan leptin
dalam jumlah yang rendah, sehingga massa lemak akan terus bertambah hingga kadar leptin
yang normal tercapai. Peningkatan massa lemak ini akan mengarah pada obesitas. Keadaan
23
ketiga, obesitas terjadi karena leptin menjadi insensitif secara relatif atau absolut pada sisi
aksinya, resistensi ini terjadi karena ada peningkatan leptin dalam sirkulasi darah (Hsin,
2017).
Sebagai kontrol terhadap keseimbangan energi pada manusia, leptin merupakan
hormone anti obesitas yang didasarkan pada hipotesis bahwa kadar leptin yang tinggi akan
mencegah terjadinya obesitas. Sayangnya hal ini tidak terjadi, sebagian besar individu
obesitas memiliki kadar leptin yang tinggi, namun tidak merangsang hilangnya massa lemak
yang diharapkan (Aladhiana, 2015).
Analisis menunjukkan hasil yang tidak signifikan dengan p = 0.338 serta tidak
berkorelasi r = -0,126 antara lemak viseral dengan kadar leptin. Hasil penelitian ini selaras
dengan penelitian yang dilakukan oleh Yulina dimana tidak ada perbedaan yang nyata antara
rerata kadar leptin pada kelompok obesitas viseral dengan non viseral. Hal ini disebabkan
karena leptin lebih terkait dengan akumulasi lemak ditubuh dan bukan pada region dimana
lemak berada. Obesitas viseral tidak semata-semata menggambarkan kandungan lemak dalam
tubuh tetapi lebih menunjukkan regio dari lemak berada. karena obesitas viseral merupakan
akumulasi lemak pada lapisan viseral yang terdapat pada rongga abdomen. Leptin adalah
hormone yang disekresi oleh sel lemak dengan proporsi terhadap penyimpanan lemak tubuh
sehingga konsentrasi leptin dalam sirkulasi bersifat parallel terhadap IMT, persentase lemak
tubuh dan berat lemak tubuh total (Yuliana, 2013).
24
BAB VI
RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
25
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Dari penelitian ini didapatkan profil komposisi tubuh, profil kadar leptin dan data
asupan makanan pada remaja yang overweight dan obesitas khususnya mahasiswa
FKIK Universitas Jambi.
2. Data-data tersebut dapat dijadikan skrining awal untuk melakukan modifikasi gaya
hidup dan perilaku hidup sehat pada remaja overweight dan obesitas sehingga
kedepan tidak menjadi faktor risiko terkena sindroma metabolik
3. Saran untuk penelitian berikutnya cakupan subjek penelitian diperluas sehingga bisa
didapatkan data profil remaja overweight dan obesitas di Provinsi Jambi.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Aladhiana. 2015. Leptin Sebagai Indikator Obesitas. Jurnal : Jurnal Kesehatan Prima
Volume : 9, No.1, Februari 2015, Halaman : 1364-1371.
2. Adriani M, Wirjadmadi B. 2012Peranan gizi dalam siklus kehidupan. Jakarta:
Khasrisma Putra Utama.
3. Asri S., Nuryanto. 2015. Hubungan Indeks Massa Tubuh Dengan Kadar Leptin Dan
Adiponektin. Journal of Nutrition College. 428-434.
4. Camelia A., Cecilia L., Ioanna N., Alina. 2015. Correlation Between Body Mass
Index, Body Fat Proportion and Leptin Level In Obese Children.
5. Erdim Sertoglu. 2014. Importance of Factors Affecting Serum Levels. World J Surg.
6. Etisa .2017. Hubungan Persen Lemak Tubuh dan Aktivitas Fisik dengan Tingkat
Kesegaran Jasmani Remaja Putri. JNH(Journal of Nutrition and Health) Vol.5 No.2
2017.
7. Hasdianah.2014. Pemanfaatan gizi, diet dan obesitas. Nuha Medika: Yogyakarta.
8. Hsin-DC, et al. 2017. Original Article Positive correlation of serum leptin levels with
obesity and metabolic syndrome in patients with type 2 diabetes mellitus. Divisions of
Metabolism and Endocrinology Tzu Chi University, Hualien, Taiwan.
9. I Wayan G., S, Ida A. 2015. Terapi Diet Pada Obesitas [Disertasi]. Program Studi
Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar.
10. Lea, R. 2018. Hubungan Lingkar Perut Dan Rasio Lingkar Perut Panggul Dengan
Kadar Gula Darah Puasa Pada Anggota Tni Kodim 0735 Surakarta. [Skripsi]. Program
Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.
11. Lukman F. 2014. Hubungan TBW dengan kesehatan tubuh [skripsi]. Program studi
Pendidikan Dokter Universitas Muhammadiyah Malang.
12. Martin G. M, et al. 2010. Obesity and Leptin Resistance: Distinguishing Cause from
Effect. NIH Public Access, Trends Endocrinol Metab. November ; 21(11): 643–
651doi:10.1016/j.tem.2010.08.002
13. Nurhayati R. 2018. Korelasi Antara Kadar Leptin Serum dengan Indeks Massa Tubuh
Pasien Skin Tag. FK USU.
14. Soetjiningsih. 2014. Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. CV. Sagung
Seto: Jakarta.
27
15. Ulfah P,. Fillah. 2013. Hubungan Antara Densitas Energi Dan Kualitas Diet Dengan
Indeks Massa Tubuh (Imt) Pada Remaja. Journal Of Nutrition College, Volume 2,
Nomor 4, Tahun 2013, Halaman 447-457
16. Vilda, Eti R.,. 2016. Pola Konsumsi Fast Food Dan Serat Sebagai Faktor Gizi Lebih
Pada Remaja. Unnes Journal Of Public Health (Ujph).
17. Weni K, dkk. 2015. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian obesitas pada remaja.
Jurnal Gizi Klinik Indonesia, Vol. 11, No. 4, April.
18. Yulina D., Yahwardiah S., Ramlan S., 2011. Analisis Kadar Leptin Pada Obesitas
Viseral dan Non Viseral. FK USU.
28
LAMPIRAN
Draf artikel
Korelasi masa lemak dan lemak viseral dengan kadar leptin
serum pada remaja overweight dan obesitas
Correlation of fat mass and visceral fat with serum leptin levels in overweight and obesity adolescents
1
Universitas Jambi
2
Universitas Jambi
ABSTRACT
Background:The prevalence of adolescent obesity (15-18 years) in Indonesia continues to increase. The results
of basic health research in 2013 showed the prevalence of adolescent obesity from 1.4% in 2010 increase to
7.3% in 2013. The condition of obesity will affect leptin secretion which plays a role in influencing food intake
by controlling appetite in the hypothalamus and brain stem. Objective: This study aims to determine the
description, differences, and correlations of the fat mass, visceral fat, and serum leptin levels in the group of
adolescents who are overweight and obese. Design: This study was conducted by analytic survey method with
cross sectional approachment. The sample consisted of 60 people aged above 18 years state as students of the
Faculty of Medicine and Health Sciences Jambi University who were overweight and obese. Analyze data from
the examination of fat mass, visceral fat, and serum leptin using the Pearson Correlation test and for the
characteristics of FKIK Unja students aged above 18 years with BMI ≥23 will be analyze distributively. Results:
The analysis showed significant results p = 0.000 and a high correlation of r = 0.719 between fat mass with
leptin levels where the fat mass is directly proportional to leptin levels. The analysis showed that the results
were not significant with p = 0.338 and did not correlate r = -0.126 between visceral fat and leptin levels.
Conclusions: From this study obtained a body composition profile, leptin level profile and food intake data in
overweight and obese adolescents, which will be used as initial screening to make lifestyle modifications and
healthy behavior in overweight and obese adolescents so that in the future they will not be a risk factor for
metabolic syndrome
ABSTRAK
Latar belakang: Prevalensi obesitas remaja (15-18 tahun) di Indonesia terus meningkat. Hasil riset kesehatan
dasar tahun 2013 menunjukan prevalensi obesitas usia remaja dari tahun 2010 sebesar 1,4% naik menjadi 7,3%
tahun 2013. Keadaan obesitas akan mempengaruhi sekresi leptin yang berperan dalam mempengaruhi asupan
makanan dengan mengontrol nafsu makan di hipotalamus dan batang otak. Tujuan: Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui gambaran, perbedaan, dan korelasi masa lemak, lemak viseral, serta kadar leptin pada
kelompok remaja yang mengalami overweight dan obesitas Metode: Penelitian ini dilakukan dengan metode
survey analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel berjumlah 60 orang dengan usia >18 tahun serta
berstatus mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi yang mengalami overweight
dan obesitas. Analisa data hasil pemeriksaan massa lemak, lemak viseral, dan leptin serum menggunakan uji
Korelasi Pearson dan untuk karakteristik mahasiswa FKIK Unja usia >18 tahun dengan IMT ≥23 akan dianalisis
distributifnya. Hasil: Analisis menunjukkan hasil yang signifikan p = 0.000 serta korelasi r = 0,719 yang tinggi
antara massa lemak dengan kadar leptin dimana massa lemak berbanding lurus dengan kadar leptin . Analisis
menunjukkan hasil yang tidak signifikan dengan p = 0.338 serta tidak berkorelasi r = -0,126 antara lemak viseral
dengan kadar leptin. Simpulan: Dari penelitian ini didapatkan profil komposisi tubuh, profil kadar leptin dan
data asupan makanan pada remaja yang overweight dan obesitas, yang akan dijadikan skrining awal untuk
melakukan modifikasi gaya hidup dan perilaku hidup sehat pada remaja overweight dan obesitas sehingga
kedepan tidak menjadi faktor risiko terkena sindroma metabolik.
29
KATA KUNCI: Obesitas; Overweight; Masa lemak; Lemak viseral; Leptin
Korespondensi: Rita Halim, Universitas Jambi, Jl. Letjen Soeprapto, Telanaipura, Jambi, Indonesia, (0741)
60246, ritahalim84@gmail.com
PENDAHULUAN
Obesitas adalah keadaan dimana terjadinya ketidaknormalan karakteristik status nutrisi yaitu berlebihnya
akumulasi lemak pada jaringan subkutanesus dan atau jaringan lain karena hasil dari ketidakseimbangan energi.
Jaringan lemak berada di organ metabolik aktif yang mensekreis beberapa sitokin seperti neuromodulator,
immunomodulator, dan efek proinflamasi. Prevalensi obesitas remaja (15-18 tahun) di Indonesia terus
meningkat. Hasil riset kesehatan dasar tahun 2013 menunjukan prevalensi obesitas usia remaja dari tahun 2010
sebesar 1,4% naik menjadi 7,3% tahun 2013. Hal ini dapat berdampak buruk terhadap kesehatan karena obesitas
berkaitan dengan noncommunicable diseases (penyakit-penyakit tidak menular) seperti kanker, penyakit jantung,
dan diabetes tipe 2 (1).
Keadaan obesitas akan mempengaruhi sekresi leptin. Leptin merupakan adipositokin, molekul seperti
sitokin, yang disekresikan oleh jaringan adiposa. Leptin berfungsi mengatur massa jaringan adiposa dan berat
badan dengan menghambat asupan makanan dan merangsang pengeluaran energi. Leptin mempengaruhi asupan
makanan dengan mengontrol nafsu makan di hipotalamus dan batang otak. Remaja obesitas mengalami
peningkatan kadar leptin karena leptin akan meningkat saat simpanan lemak dalam tubuh meningkat. Kadar
leptin yang berlebihan menyebabkan sensitivitas otak terhadap leptin berkurang, sehingga terjadi gangguan
fungsi pengontrolan nafsu makan dan pengeluaran energi yang disebut resistensi leptin (2).
Resistensi leptin merupakan salah satu dasar patologi pada kejadian obesitas, dimana hiperleptinemia pada
obesitas menjadi faktor risiko independen terhadap penyakit kardiovaskular. Fungsi utama leptin adalah
menyediakan sinyal simpanan energi yang ada dalam tubuh pada sistem saraf pusat sehingga otak dapat
melakukan penyesuaian yang dibutuhkan untuk menyeimbangkan asupan energi dan pengeluaran . Kadar leptin
menurun dalam 12 jam setelah kelaparan atau selama puasa dan meningkat setelah beberapa hari mengkonsumsi
banyak makanan. Sebagai kontrol terhadap keseimbangan energi pada manusia, leptin merupakan hormone anti
obesitas yang didasarkan pada hipotesis bahwa kadar leptin yang tinggi akan mencegah terjadinya obesitas,
sayangnya hal ini tidak terjadi, sebagian besar individu obesitas memiliki kadar leptin yang tinggi, namun tidak
merangsang hilangnya massa lemak yang diharapkan. Beberapa peneliti telah menemukan bahwa kadar leptin
lebih tinggi pada orang yang obesitas dibanding orang dengan berat badan normal (3).
Obesitas diartikan sebagai kondisi terdapat penimbunan lemak tubuh yang berlebihan, Menurut standar
indeks massa tubuh (IMT), IMT >25 kg/m2 dikategorikan obesitas. Secara normal lemak yang berlebih akan
disimpan dilapisan subkutan, namun karena mengalami gangguan atau kerusakan maka lemak terakumulasi
dilapisan viseral Distribusi lemak pada tempat yang berbeda memiliki implikasi terhadap morbiditas. Lemak
abdominal dan intraabdominal memiliki signifikansi yang lebih besar dibanding lemak yang terdistribusi pada
extremitas bawah atau seluruh tubuh. Obesitas juga merupakan faktor presdiposisi terjadinya hipertensi,
dislipidemia, DM, penyakit kardiovaskuler, gagal ginjal dan respon inflamasi. Studi prospektif dengan
30
menggunakan pengukuran antropometri mendapati bahwa obesitas viseral memiliki kaitan erat dengan
hipertensi, diabetes dan penyakit kardiovaskuler (3).
Obesitas dibedakan menjadi obesitas abdominal atau viseral dan obesitas periper atau non viseral yang
membedakan keduanya adalah bahwa lemak viseral memiliki reseptor glukokortikoid dan androgen lebih
banyak, metabolism yang lebih aktif, lebih sensitive terhadap lipolisis dan lebih resisten insulin. Viseral Adipose
Tissue (VAT) memiliki kapasitas lebih besar menghasilkan Free Fatty Acid (FFA), meningkatkan glukosa dan
lebih sensitive terhadap stimulasi adrenergic (3).
Berdasarkan uraian diatas makan peneliti tertarik untuk melakukan pnelitian mengenai korelasi massa
lemak dan lemak viseral dengan kadar leptin serum pada remaja overweight dan obesitas.
31
HASIL
Data karakteristik subjek yang diambil adalah jenis kelamin, lingkar perut, lemak viseral, massa lemak,
massa air, massa otot dan kadar leptin pada mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Jambi yang berusia >18 tahun serta mengalami overweight dan obesitas. Hasil data karakteristik tersebut
disajikan dalam tabel 1
Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian
Karakteristik Nilai* Nilai Nilai Laki- Total Laki-Laki Perempuan
Perempuan* Laki* n(%) n(%)
Jenis kelamin 1,65 ± 2,00 60 21(35,0) 39(65,0)
Lingkar perut 89,40 ± 88,00 84,23 ± 85,00 99,00 ± 99,00
Normal 42 14(66,7) 28(71,8)
Tinggi 18 7(33,3) 11(28,2)
Lemak viseral 8,40 ± 7,00 6,92 ± 7,00 11,14 ±10,00
Normal 55 14(66,7) 39(100)
Lebih 7 7(33,3) 0(0)
Massa lemak 35,85 ± 37,35 41,49 ± 40,70 25,37 ± 24,60
Underfat 0 0(0) 0(0)
Normal 2 2(9,5) 0(0)
Overfat 23 9(42,9) 14(35,9)
Obesitas 35 10(47,6) 25(64,1)
Massa air 49,88 ± 43,15 52,01 ± 42,00 46,05 ± 45,50
Normal 10 3(14,3) 7(17,9)
Tidak 50 18(85,7) 32(82,1)
normal
Massa otot 50,33 ± 40,40 45,75 ± 38,10 59,06 ± 59,30 60
Kadar leptin 26763,80 ± 33423,74 ± 16277,23 ± 60
24720,50 33001,00 14921,00
Keterangan:*Disajikan dalam bentuk rerata ± simpang baku atau median (minimum-maksimum)
Sebagian besar subjek pada penelitian ini adalah perempuan (65,0%) dengan lingkar perut rerata subjek
penelitian 89,40±88,00 serta jumlah persentase terbesar lingkar perut perempuan dan laki-laki termasuk dalam
kategori normal, yaitu masing-masing 71,8% dan 66,7%. Lemak viseral pada subjek penelitian memiliki rerata
8,40±7,00 dengan persentase kategori normal pada laki-laki (66,7%) dan perempuan (100,0%) paling tinggi.
Untuk massa lemak pada perempuan dan laki-laki dikategorikan menjadi underfat, normal, overfat, dan obesitas
dengan persentase tertinggi 47,6% pada laki-laki dalam kategori obesitas serta perempuan juga dalam kategori
obesitas (64,1%). Sebagian besar massa air pada subjek perempuan dan laki-laki dalam kategori tidak normal
yaitu 82,1% dan 85,7%. Pada penelitian ini massa otot rerata subjek yaitu 50,33±40,40 dan rerata kadar leptin
26763,80 ± 24720,50.
Rerata asupan energi subjek penelitian adalah 1145,0 ± 975,35 kkal, sedangkan berdasarkan jenis
kelamin rerata asupan energi pada laki-laki lebih tinggi yaitu sebesar 1353,90 ± 1204,90 dibandingkan
perempuan sebesar 1032,51 ± 943,70 kkal. Asupan protein pada subjek penelitian ini sebagian besar
41,09±36,35 dimana rerata asupan protein perempuan lebih rendah dari laki-laki. Persentase asupan protein pada
perempuan lebih rendah daripada laki-laki dengan rerata total 158,93 ± 139,70. Asupan Karbohidrat pada subjek
penelitian ini sebagian besar 41,09±36,35 dimana rerata asupan karbohidrat laki-laki lebih tinggi daripada
perempuan. Persentase asupan karbohidrat pada laki-laki juga lebih tinggi dengan rerata total keseluruhan yaitu
56,42 ± 54,19. Laki-laki memiliki kadar asupan lemak yang lebih tinggi daripada perempuan tetapi untuk
persentase kalori pada asupan lemak, perempuan memiliki rerata yang lebih tinggi 15,22 ± 15,22 dibandingkan
laki-laki 13,23± 12,81 dengan kadar PUFA dan SFA lebih tinggi pada perempuan dan kadar MUFA serta
32
kolestrol yang lebih tinggi pada laki-laki. Rerata serat yang dikonsumsi oleh laki-laki lebih tinggi daripada
perempuan(Tabel 2)
Tabel 2. Sebaran data asupan makanan pada subjek penelitian
Variabel Hasil
Total (n=60) Laki-laki (n=21) Perempuan (n=39)
Asupan energi (kkal)* 1145,0 ± 975,35 1353,90 ± 1204,90 1032,51 ± 943,70
Asupan protein (g)* 41,09±36,35 47,69 ± 46,30 37,28 ± 34,35
Asupan protein (% kal)* 16,28 ± 14,55 18,60 ± 14,00 15,03 ± 14,78
Asupan Karbohidrat (g)* 158,93 ± 139,70 180,50 ± 161,10 147,32 ± 128,00
Asupan Karbohidrat (% kal)* 56,42 ± 54,19 59,50 ± 59,19 54,76 ± 53,15
Asupan lemak (g)* 41,97 ± 37,10 43,26 ± 37,30 41,28 ± 36,90
Asupan lemak (% kal)* 14,53 ± 13,90 13,23 ± 12,81 15,22 ± 15,22
PUFA (g)* 10,35 ± 6,50 8,46 ± 4,60 11,10 ± 7,20
MUFA (g)* 14,71 ± 13,20 16,55 ± 13,90 13,72 ± 12,50
SFA (g)* 19,17 ± 11,30 15,07 ± 8,60 21,38 ± 12,20
Kolestrol (mg)* 172,32 ± 94,90 223,13 ± 191,00 144,96 ± 94,80
Serat (g)* 5,79 ± 4,85 6,60 ± 6,70 5,35 ± 4,40
* Data disajikan dalam mean ± SD atau median (minimal-maksimal)
Analisis dengan menggunakan uji spearman menunjukkan hasil yang signifikan serta korelasi yang
tinggi antara massa lemak dengan kadar leptin dimana massa lemak berbanding lurus dengan kadar leptin,
sedangkan lemak viseral tidak menunjukkan korelasi yang signifikan dengan kadar leptin. (Tabel 3)
Tabel 3. Korelasi Massa Lemak dan Lemak Viseral dengan Kadar Leptin
Kadar Leptin
Total (n=60)
r p
BAHASAN
Pada penelitian ini sebagian besar subjek penelitian adalah perempuan yaitu sebanyak 39 orang (65,0%).
Beberapa penelitian menyimpulkan adanya hubungan antara jenis kelamin dengan obesitas. Camelia mendapati
prevalensi obesitas lebih besar pada perempuan dibanding laki-laki. Budiman menyatakan bahwa gizi lebih dan
obesitas lebih banyak ditemukan pada perempuan daripada laki- laki, yakni 29,1% dan 50,1% pada perempuan,
sedangkan pada laki-laki sebesar 19,5% dan 1,7%. Hal yang sama juga terdapat pada penelitian Kodyat dkk
yang mendapatkan bahwa prevalensi obesitas pada kelompok perempuan hampir dua kali lipat dibandingkan
kelompok laki-laki. Sandjaya mengungkapkan beberapa faktor yang mungkin berkaitan dengan tingginya
persentase obesitas pada perempuan, antara lain adalah: konsumsi makanan berlemak yang mungkin lebih sering
dibandingkan dengan laki-laki dan aktivitas olahraga yang jarang dilakukan (2).
Sedangkan lingkar perut dan lemak viseral pada subjek dalam penelitian ini termasuk dalam kategori
normal baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hsin-DC
yaitu perempuan memiliki risiko lebih tinggi penyimpanan lemak sentral dan pada jarigan adiposa yang terlihat
pada perempuan dengan berat badan berlebih. Meskipun begitu Hsin-DC juga menerangkan bahwa etnis/suku
juga mempengaruhi dalam hal ini (4). Seperti dengan lingkar perut, rasio lingkar perut panggul juga
33
menggambarkan akumulasi lemak dalam rongga perut. Hal itu juga menggambarkan adanya obesitas
sentral/abdominal. Semakin besar perbandingan antara RLPP maka semakin besar lemak rongga perut (5).
Pada penelitian ini subjek perempuan dan laki-laki memiliki kadar massa lemak yang tinggi, termasuk
dalam kategori obesitas. Selaras dengan penelitian I wayan, frekuensi makan makanan cepat saji berhubungan
positif dengan asupan kalori total dan meningkatkan massa lemak tubuh. Orang obesitas lebih banyak memilih
makan di restoran cepat saji dibandingkan orang normal, namun hal ini tidak terjadi pada orang yang mengalami
gangguan makan. Perubahan perekonomian keluarga akan meningkatkan kemampuan membeli makanan di luar
rumah, sehingga hal ini mampu menjelaskan peningkatan prevalensi obesitas (6). Hal ini juga didukung oleh
penelitian Weni yang menjelaskan faktor penyebab obesitas pada remaja bersifat multifaktorial. Peningkatan
konsumsi makanan cepat saji (fast food), rendahnya aktivitas fisik, faktor genetik, pengaruh iklan, faktor
psikologis, status sosial ekonomi, program diet, usia, dan jenis kelamin merupakan faktor-faktor yang
berkontribusi pada perubahan keseimbangan energi dan berujung pada kejadian obesitas (7).
Massa air pada laki-laki dan perempuan tidak normal pada penelitian ini. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi kebutuhan air seseoang, antara lain jenis kelamin, usia, persen lemak tubuh, aktivitas fisik dan
suhu lingkungan. Penelitian di Amerika pada orang dewasa menunjukkan bahwa aktivitas fisik memiliki
hubungan dengan intake air putih dan total asupan air, yakni semakin tinggi aktivitas fisiknya maka semakin
tinggi pula jumlah asupan air dan total asupan airnya (8). Hal ini selaras dengan hasil yang didapatkan pada
penelitian ini dikarenakan subjek penelitian dalam kategori remaja yang memiliki aktivitas yang tinggi sebagai
mahasiswa.
Kadar leptin dalam penelitian ini didapatkan rerata 26763,80 dari 60 total sampel yang diteliti. Kadar
leptin menurun dalam 12 jam setelah kelaparan atau selama puasa dan meningkat setelah beberapa hari
mengkonsumsi banyak makanan. Sebagai kontrol terhadap keseimbangan energi pada manusia, leptin
merupakan hormon anti obesitas yang didasarkan pada hipotesis bahwa kadar leptin yang tinggi akan mencegah
terjadinya obesitas. Beberapa peneliti telah menemukan bahwa kadar leptin lebih tinggi pada orang yang obesitas
dibanding orang dengan berat badan normal. Kadar leptin yang bersirkulasi dalam darah orang normal diketahui
sebesar 1-3 ng/mL, sedangkan kadar leptin yang bersirkulasi dalam darah penderita obesitas sebesar 100 ng/mL
(9).
Massa otot dalam penelitian ini didapatkan rerata 50,33 dari 60 total sampel yang diteliti. Masa remaja
merupakan masa pertumbuhan cepat dan terjadi perubahan signifikan pada komposisi tubuh yang mempengaruhi
aktivitas fisik dan respon terhadap olahraga atau latihan. Terdapat peningkatan pada ukuran tulang dan massa
otot serta terjadi perubahan pada ukuran dan distribusi dari penyimpanan lemak tubuh. Remaja memiliki
kesegaran jasmani yang berbeda setelah masa pubertas. Tingkat kesegaran jasmani pada remaja perempuan
cenderung lebih rendah dibandingkan laki- laki, hal ini terkait dengan perbedan kadar hemoglobin, komposisi
tubuh dan tingkat aktivitas fisik (10).
Rerata asupan energi subjek penelitian adalah 1145,0 ± 975,35 kkal, sedangkan berdasarkan jenis
kelamin rerata asupan energi pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Hal ini seleras dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Ulfah, rata-rata asupan energi makanan lebih tinggi pada laki-laki daripada
perempuan. Konsumsi makanan dengan kepadatan energi tinggi (banyak mengandung lemak, gula dan kurang
menggandung serat) secara berlebihan berkontribusi dalam peningkatan asupan energi total. Sedangkan
konsumsi makanan dengan densitas energi rendah mampu menurunkan asupan energi total (11).
34
Rerata asupan protein dan persentase asupan protein pada subjek penelitian perempuan lebih rendah
dari laki-laki. Penelitian yang dilakukan oleh Weni menjelaskan bahwa asupan protein yang lebih pada
kelompok nonobesitas ditemukan lebih tinggi dibandingkan kelompok obesitas. Hasil analisis menunjukkan
asupan protein bukan merupakan faktor risiko terjadinya obesitas. Asupan protein merupakan faktor protektif,
disini asupan protein digunakan sebagai energi. Hal ini disebabkan asupan lemak dan karbohidrat tidak cukup
sehingga memecah protein. Apabila tubuh kekurangan zat energi, fungsi protein untuk menghasilkan energi atau
untuk membentuk glukosa akan didahulukan. Bila glukosa atau asam lemak didalam tubuh terbatas, sel terpaksa
menggunakan protein untuk membentuk glukosa dan energi (7). Hal ini selaras dengan penelitian yang
didapatkan yaitu meski laki-laki memiliki rerata asupan protein yang tinggi daripada perempuan, tetapi
persentase obesitas laki-laki tidak lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan.
Rerata asupan karbohidrat dan persentase asupan karbohidrat pada laki-laki lebih tinggi daripada
perempuan pada penelitian ini. Hal ini bertolakbelakang dengan penelitian Weni yaitu asupan karbohidrat
berlebih pada kelompok obesitas ditemukan lebih tinggi dibandingkan kelompok tidak obesitas (7). Hasil
penelitian ini juga tidak sejalan dengan penelitian Andriani yang mengatakan bahwa ada perbedaan bermakna
antara asupan karbohidrat pada kelompok anak obesitas dan tidak obesitas. Usia remaja rentan akan risiko
obesitas karena pada usia ini remaja mengalami penurunan aktivitas fisik, peningkatan konsumsi tinggi lemak,
dan tinggi karbohidrat (12). Banyak faktor yang mempengaruhi obesitas yaitu salah satunya merupakan aktivitas
fisik, laki-laki cenderung untuk memiliki aktivitas yang lebih tinggi daripada perempuan sehingga dapat menjadi
faktor pendukung ditemukannya rerata asupan karbohidrat yang lebih tinggi pada laki-laki meskipun perempuan
yang cenderung mengalami obesitas.
Laki-laki memiliki kadar asupan lemak yang lebih tinggi daripada perempuan tetapi untuk persentase
kalori pada asupan lemak perempuan memiliki rerata yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hal ini selaras
dengan penelitian Camelia yang menjelaskan bahwa pada anak perempuan yang obesitas cenderung memiliki
persentase lemak tubuh dan leptin yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki (1). Pada penelitian ini kadar PUFA
dan SFA lebih tinggi pada perempuan dan kadar MUFA serta kolestrol yang lebih tinggi pada laki-laki. Hal ini
juga selaras dengan penelitian Camelia, anak yang mengalami obesitas menunjukkan kadar leptin, kolestrol total,
kolestrol LDL, trigliserida dan kadar HDL kolestrol yang rendah (1).
Pada penelitian ini rerata serat yang dikonsumsi oleh laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Asupan
serat yang rendah dapat menyebabkan gizi lebih, karena kecenderungan mengkonsumsi makanan tinggi lemak
yang lebih mudah dicerna dibandingkan serat. Seseorang dengan pola makan mengandung serat yang sesuai
kebutuhan, jarang ditemui mengalami gizi lebih. Remaja yang gizi lebih membutuhkan lebih banyak makanan
yang mengandung serat terutama dari sayur. Serat juga menimbulkan efek kenyang yang lebih lama sehingga
tidak cepat timbul lapar. Asupan tinggi serat tidak akan menyumbang energi lebih sehingga dapat membantu
mengontrol berat badan. Rendahnya asupan serat makanan seseorang dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan
seseorang tentang serat makanan dan kesehatan ini terutama pada anak, pengetahuan orang tua sangat
berpengaruh terhadap konsumsi serat, karena anak cenderung mengikuti pola makan orang tua (13).
Analisis menunjukkan hasil yang signifikan p = 0.000 serta korelasi r = 0,719 yang tinggi antara massa
lemak dengan kadar leptin dimana massa lemak berbanding lurus dengan kadar leptin. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Camelia, kadar leptin berkolerasi dengan persentase jaringan lemak. Pada anak obesitas
kadar leptin secara signifikan lebih tinggi dibandingan dengan anak kategori normal. Kadar leptin pada anak
35
perempuan obesitas lebih tinggi daripada anak laki-laki dengan obesitas jika dibandingkan dengan anak kategori
berat badan normal dimana tidak terdapat perbedaan jenis kelamin dalam kategori ini (1).
Hal ini juga didukung dengan penelitian Martin yaitu kadar leptin serum telah ditemukan positif
berhubungan dengan IMT, lingkar pinggang, massa lemak, insulin, dan HOMA-IR pada populasi di Afrika (14).
Sebagian besar individu dengan obesitas mengalami hiperleptinemik dan resistensi leptin yang secara langsung
berhubungan dengan proses obesitas. Resistensi leptin menyebabkan meningkatnya akumulasi trigliserida pada
jaringan adiposa, otot, hati, dan pankreas (14). Secara umum, terdapat tiga keadaan yang melatarbelakangi
obesitas, yaitu keadaan ketika tubuh gagal memproduksi leptin saat terjadi akumulasi lemak, keadaan kedua
yaitu ketika jaringan adiposa mensekresikan leptin dalam jumlah yang rendah, sehingga massa lemak akan terus
bertambah hingga kadar leptin yang normal tercapai. Peningkatan massa lemak ini akan mengarah pada obesitas.
Keadaan ketiga, obesitas terjadi karena leptin menjadi insensitif secara relatif atau absolut pada sisi aksinya,
resistensi ini terjadi karena ada peningkatan leptin dalam sirkulasi darah (4).
Sebagai kontrol terhadap keseimbangan energi pada manusia, leptin merupakan hormone anti obesitas
yang didasarkan pada hipotesis bahwa kadar leptin yang tinggi akan mencegah terjadinya obesitas. Sayangnya
hal ini tidak terjadi, sebagian besar individu obesitas memiliki kadar leptin yang tinggi, namun tidak merangsang
hilangnya massa lemak yang diharapkan (9).
Analisis menunjukkan hasil yang tidak signifikan dengan p = 0.338 serta tidak berkorelasi r = -0,126
antara lemak viseral dengan kadar leptin. Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh
Yulina dimana tidak ada perbedaan yang nyata antara rerata kadar leptin pada kelompok obesitas viseral dengan
non viseral. Hal ini disebabkan karena leptin lebih terkait dengan akumulasi lemak ditubuh dan bukan pada
region dimana lemak berada. Obesitas viseral tidak semata-semata menggambarkan kandungan lemak dalam
tubuh tetapi lebih menunjukkan regio dari lemak berada. karena obesitas viseral merupakan akumulasi lemak
pada lapisan viseral yang terdapat pada rongga abdomen. Leptin adalah hormone yang disekresi oleh sel lemak
dengan proporsi terhadap penyimpanan lemak tubuh sehingga konsentrasi leptin dalam sirkulasi bersifat parallel
terhadap IMT, persentase lemak tubuh dan berat lemak tubuh total (3).
RUJUKAN
36
1. Camelia Alkhzouz,et al. Correlation Between Body Mass Index, Body Fat Proportion And Leptin Level
In Obese Children. Jurnalul Pediatrului – Year xviii, Vol. xviii, Supplement 3, 2015.
2. Asri S., Nuryanto. Hubungan Indeks Massa Tubuh Dengan Kadar Leptin Dan Adiponektin. Journal of
Nutrition College. 428-434, 2015.
3. Yulina D., Yahwardiah S., Ramlan S.,. Analisis Kadar Leptin Pada Obesitas Viseral dan Non iseral. FK
USU. 2011.
4. Hsin-DC, et al. Original Article Positive correlation of serum leptin levels with obesity and metabolic
syndrome in patients with type 2 diabetes mellitus. Divisions of Metabolism and Endocrinology Tzu
Chi University, Hualien, Taiwan. Int J Clin Exp Pathol 2017;10(4):4852-4859,.
5. Lea, R. Hubungan Lingkar Perut Dan Rasio Lingkar Perut Panggul Dengan Kadar Gula Darah Puasa
Pada Anggota Tni Kodim 0735 Surakarta. [Skripsi]. Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 2018.
6. I Wayan G., S, Ida A. Terapi Diet Pada Obesitas [Disertasi]. Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana Denpasar, 2015.
7. Weni K, dkk. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian obesitas pada remaja. Jurnal Gizi Klinik
Indonesia, Vol. 11, No. 4, April 2015.
8. Lukman F,. Hubungan TBW dengan kesehatan tubuh [skripsi]. Program studi Pendidikan Dokter
Universitas Muhammadiyah Malang, 2014.
9. Aladhiana. Leptin Sebagai Indikator Obesitas. Jurnal : Jurnal Kesehatan Prima Volume : 9, No.1,
Februari 2015, Halaman : 1364-1371.
10. Etisa. Hubungan Persen Lemak Tubuh dan Aktivitas Fisik dengan Tingkat Kesegaran Jasmani Remaja
Putri. JNH(Journal of Nutrition and Health) Vol.5 No.2 2017.
11. Ulfah P,. Fillah. Hubungan Antara Densitas Energi Dan Kualitas Diet Dengan Indeks Massa Tubuh
(Imt) Pada Remaja. Journal Of Nutrition College, Volume 2, Nomor 4, Tahun 2013, Halaman 447-457
12. Adriani M, Wirjadmadi B. Peranan gizi dalam siklus kehidupan. Jakarta: Khasrisma Putra Utama; 2012
13. Vilda, Eti R.,. Pola Konsumsi Fast Food Dan Serat Sebagai Faktor Gizi Lebih Pada Remaja. Unnes
Journal Of Public Health (Ujph) 5 (3), 2016.
14. Martin G. M, et al. Obesity and Leptin Resistance: Distinguishing Cause from Effect. NIH Public
Access, Trends Endocrinol Metab. 2010 November ; 21(11): 643–651doi:10.1016/j.tem.2010.08.002
37
38