Anda di halaman 1dari 19

CASE INDRA

KONJUNGTIVITIS
KELOMPOK 2A
1. Ananda Syifa 180106006
2. Andi Azzahra 180106007
3. Anisa Zuryatina 180106009
4. Annisa Azzahra 180106010
5. Aprilia Purnama 180106012
Skenario B (Konjungtivitis)
Tuan JM, pria berusia 45 tahun, datang ke apotek pada Jumat malam di bulan
Juni, ingin berbicara dengan Anda. Beberapa hari yang lalu, dia bangun dan
menemukan bahwa mata kirinya terasa 'berpasir' dan 'semua menempel bersama
nanah keputihan'. Ketika dia membersihkan nanah, dia melihat bahwa matanya
berwarna 'kemerahan', dan melihat beberapa bercak 'menggumpal' di bagian bawah
putih mata, yang membuatnya khawatir, jadi dia berusaha untuk tidak menyentuh
mata lainnya. Setelah diskusi lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa penglihatannya
baik-baik saja dan terkadang ia mendapat 'hayfever' di matanya. Dia juga
mengonsumsi tablet metformin dan gliclazide. Dia menyatakan bahwa istrinya
memiliki 'mata merah berair' minggu lalu dan menggunakan 'tetes mata antibiotik'
yang baru-baru ini diiklankan di televisi, dan bertanya apakah dia harus
menggunakan obat tetes juga.
TERMINOLOGI
Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva yang
umumnya ditandai dengan iritasi, gatal, sensasi benda asing,
dan berair atau secret pada mata. (Epling J, Smucny J. 2011)
PENYEBAB
Mikroorganisme (virus, bakteri, jamur), bahan alergen, iritasi menyebabkan
kelopak mata terinfeksi sehingga kelopak mata tidak dapat menutup dan
membuka sempurna. Karena mata menjadi kering sehingga terjadi iritasi yang
menyebabkan konjungtivitis. Pelebaran pembuluh darah disebabkan karena
adanya peradangan ditandai dengan konjungtiva dan sklera yang merah,
edema, rasa nyeri dan adanya sekret mukopurulen. Konjungtiva permukaannya
terbuka, sehingga dapat dipengaruhi organisme, alergen dan agen toksik, yang
memicu respon inflamasi seperti konjungtivitis.
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi konjungtivitis karena bakteri jaringan pada permukaan mata dikolonisasi
oleh flora normal seperti streptococci, staphylococi dan jenis corynebacterium. Perubahan
pada mekanisme pertahanan tubuh ataupun pada jumlah koloni flora normal tersebut
dapat menyebabkan infeksi klinis. Perubahan pada flora normal dapat terjadi karena
adanya kontaminasi eksternal, penyebaran dari organ sekitar ataupun melalui aliran darah
(Rapuano, 2008).
Penggunaan antibiotik topikal jangka panjang merupakan salah satu penyebab
perubahan flora normal pada jaringan, mata, serta resistensi terhadap antibiotik (Visscher,
2009). Mekanisme pertahanan primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel yang meliputi
konjungtiva sedangkan mekanisme pertahanan sekundernya adalah sistem imun yang
berasal dari perdarahan konjungtiva, lisozim dan imunoglobulin yang terdapat pada
lapisan air mata, mekanisme pembersihan oleh lakrimasi dan berkedip. Adanya gangguan
atau kerusakan pada mekanisme pertahanan ini dapat menyebabkan infeksi pada
kongjungtiva (Amadi, 2009).
GEJALA
1. Mata merah
2. Mata terasa nyeri
3. Mata berair
4. Mata gatal
5. Keluar kotoran mata
6. Penglihatan kabur
7. Kelopak mata membengkak
RUJUKAN PRAKTISI MEDIS
1. Mata sensitif terhadap cahaya
2. Mata terasa nyeri
3. Penglihatan kabur
4. Terdapat sensasi seperti ada benda asing pada mata
5. Gejala tidak membaik dalam waktu 12-24 jam
DIAGNOSIS
1. Riwayat pasien dan keluarga.
2. Pemeriksaan mata secara menyeluruh, seperti pemeriksaan mata eksternal,
biomikroskopi menggunakan slit-lamp dan pemeriksaan ketajaman mata.
3. Kerokan konjungtiva untuk pemeriksaan mikroskopik.
4. Biakan disarankan untuk semua kasus dan diharuskan jika penyakitnya purulen,
bermembran atau berpseudomembran.
5. Pemeriksaan gram melalui kerokan konjungtiva
6. Pengecatan dengan Giemsa menampilkan banyak neutrofil polimorfonuklear
(Garcia-Ferrer, 2008).
7. Riwayat pekerjaan yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit.
8. Riwayat alergi dan alergi terhadap obat-obatan.
9. Riwayat penggunaan lensa-kontak (Marlin, 2009).
TUJUAN TERAPI
Terapi spesifik konjungtivitis bakteri tergantung pada temuan agen
mikrobiologiknya. Terapi dapat dimulai dengan antimikroba topikal spektrum luas.
Pada setiap konjungtivitis purulen yang dicurigai disebabkan oleh diplokokus gram-
negatif harus segera dimulai terapi topical dan sistemik . Pada konjungtivitis purulen
dan mukopurulen, sakus konjungtivalis harus dibilas dengan larutan saline yang
bertujuan untuk menghilangkan sekret konjungtiva.
Kemudian diberikan beberapa antibiotik topikal lain yang biasa digunakan adalah
bacitracin, chloramphenicol, ciprofloxacin, gatifloxacin, gentamicin, levofloxacin,
moxifloxacin, neomycin dan lainnya. Selain itu, lensa kontak juga tidak disarankan
untuk dipakai untuk memperhambat terjadinya infeksi.
PENATALAKSANAAN UMUM
1. Pemberian kompres dingin, air mata artifisial atau antihistamin topikal
bermanfaat untuk meredakan gejala.
2. Ada pula terapi antiviral namun tidak diperlukan kecuali untuk
konjungtivitis herpetik yaitu asiklovir oral 400mg/hari untuk virus herpes
simpleks dan 800mg/hari untuk herpes zoster selama 7-10 hari.
3. Beberapa antibiotik topikal lain yang biasa digunakan adalah bacitracin,
chloramphenicol, ciprofloxacin, gatifloxacin, gentamicin, levofloxacin,
moxifloxacin, neomycin dan lainnya.
4. Lalu, lensa kontak juga tidak disarankan untuk dipakai sampai infeksi
disembuhkan.
PERAN APOTEKER DALAM PENANGANAN
KONDISI INI

1. Konseling
2. Memberikan edukasi pada pasien dan keluarga pasien
3. Mengidentifikasi masalah yang timbul dan menyelesaikan
secara cepat dan tepat
4. Mengupayakan pencegahan penyakit
5. Kerjasama dan komunikasi yang baik dengan dokter dan
profesi kesehatan lainnya
MEKANISME KERJA PRODUK UNTUK MENANGANI
KONDISI TERSEBUT
1. Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan antibiotik yang
memiliki mekanisme kerja menghambat enzim
peptidil transferase yang berperan dalam
pembentukan ikatan-ikatan peptida dalam
proses sintesis protein bakteri. Pembentukan
ikatan peptide akan terus dihambat selama obat
tetap terikat pada ribosom.
MEKANISME KERJA PRODUK UNTUK
MENANGANI KONDISI TERSEBUT
2. Gentamicin
Gentamisin memiliki mekanisme penghambatan
sintesis protein yang berikatan dengan subunit 30S
ribosom bakteri atau beberapa protein terikat pada
subunit 50S ribosom dan menghambat translokasi
peptidil-tRNA dari situs A ke situs P, hal itu
menyebabkan kesalahan pembacaan mRNA
sehingga bakteri tidak mampu mensintesis protein
vital untuk pertumbuhannya.
PENGOBATAN FARMAKOLOGI
(KLORAMFENIKOL)
Indikasi : untuk pengobatan konjungtivitis yang disebabkan oleh bakteri yang
peka terhadap kloramfenikol
Golongan Obat : antibiotik
Kontraindikasi : hipersensitif pada kloramfenikol
Interaksi obat : tidak disarankan digunakan bersamaan dengan avanpritib,
butorphanol, clorazapin, defeiprone, encorafenib
Efek samping : rasa pedas sementara
Aturan pakai : PENGGUNAAN OBAT INI HARUS SESUAI DENGAN PETUNJUK
DOKTER. Untuk konjungtivitis tanpa komplikasi, dapat diberikan kloramfenikol
tetes mata 0,5% sebanyak 1-2 tetes, 4 kali sehari selama 5-7 hari.
PENGOBATAN FARMAKOLOGI
(GENTAMICIN)
Indikasi : untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang peka
terhadap gentamisin
Golongan Obat : aminoglikosida
Kontraindikasi : hipersensitif pada komponen obat, proforasi membrane timpani
Efek samping : pandangan kabur, iritasi ringan
Interaksi : tidak disarankan digunakan bersamaan dengan obat golongan
penghambat karbonik anhydrase oral
Aturan pakai : PENGGUNAAN OBAT INI HARUS SESUAI DENGAN RESEP DOKTER.
Diteteskan pada mata yang sakit
Infeksi mata ringan : 1-2 tetes, obat tetes mata 0,3% maksimal 6 kali sehari
Infeksi mata parah : 1-2 tetes, obat tetes mata 0.3% tiap 15 menit (pionas, 2015).
BAGAIMANA FORMULASI PRODUK MEMPENGARUHI
HASIL PENGOBATAN UNTUK KONDISI TERSEBUT
Menurut farmakope Indonesia Edisi IV Halaman 13 menyebutkan bahwa
Larutan obat mata adalah larutan steril , bebas partikel asing, merupakan
sediaan yang dibuat dan dikemas sedemikian rupa hingga sesuai digunakan
pada mata. Sehingga formulasi yang digunakan untuk mata haruslah steril
dan mempunyai syarat, antara lain :
1.Steril
2.Isotonis dengan air mata, bila mungkin isohidris dengan pH air mata
3.Larutan jernih bebas partikel asing dan serat halus
4.Tidak iritan terhadap mata (untuk basis salep mata)
PEMILIHAN ZAT AKTIF DAN EKSIPIEN
Zat Aktif Eksipien
1. Kelarutan 1. Pengawet
2. Kompatibilitas dengan bahan lain 2. Pengisotonis
dalam formula 3. Pendapar
3. Stabilitas 4. Peningkat viskositas
4. pH stabilitas dan kapasitas dapar 5. Antioksidan
6. Surfaktan
SARAN PENGOBATAN
Bisa memulainya dengan terapi antimikroba topikal spektrum luas seperti
polymyxin-trimethoprim, beberapa antibiotik topikal contohnya bacitracin,
chloramphenicol dan ciprofloxacin. Penggunaan antihistamin dan kompress dingin
pada beberapa kasus bertujuan untuk meredakan rasa gatal pada mata, dan
digunakan pula obat-obatan antiinflamasi non steroid yang lebih baru, sepeetti
ketorolac dan lodoxamide untuk mengatasi nyeri dan peradangan pada mata.
DAFTAR PUSTAKA
Amadi, A. 2009. Common Ocular Problem in Aba Metropolis of Albia State, Eastern Nigeria. Federal Medical Center Owerri.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia IV. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta. Hal. 13
Endiastuti, Naliana Endah., Djoko Wahyuno.,Ristiantio Sukarno. 2015. Evaluasi Pendosisan Gentamisin pada Pasien Anak
Pneumonia Berat. Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi. 5 (1). 27-32
Epling J, Smucny J. 2011. Bacterial conjunctivitis. Clin Evid.
Garcia-Ferrer, F. J., Schwab, I. R., & J, D. 2008. Conjunctiva. In D.G. Vaugan & Asbur y, Vaughan & Asbury's General
Ophthalmology (18 ed.pp. 100-116). USA : Lange
Jamilah. 2015. Evaluasi Keberadaan Gen CatP Terhadap Resistensi Kloramfenikol Terhadap Demam Tifoid. Prosiding Seminar
Nasional Mikrobiologi Kesehatan dan Lingkungan. UIN Allaudin Makassar. ISBN 978-602-72245-0-6
Lovensia. 2014. Oculi Dextra Conjunctivitis ec. Suspect Viral. Jurnal Medula Unila. Vol. 3, No. 1
Marlin, DS. 2009. Bacterial Conjunctivitis. Penn state College of Medicine
Pionas. 2015. http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-5-infeksi/51-antibakteri/518-antibiotik-lain/5181-kloramfenikol
Pionas. 2015. http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-11-mata/111-antiinfeksi-untuk-mata/1111-antibakteri
Rapuano, C.J., et al. 2008. Conjunctivitis. American Academy of Ophthalmology.
Sitompul, R. 2017. Konjungtivitis Viral : Diagnosis dan Terapi di Pelayanan Kesehatan Primer. eJKI. Vol. 5, No. 1
Visscher, K.L., et al. 2009. Evidence-based Treatment of Acute Infective Conjunctivitis. Canadian Family Physician

Anda mungkin juga menyukai