Anda di halaman 1dari 30

RHINITIS

ALERGI

KELOMPOK 2
Izon Permana Fitra
Miranti Utami
Nani Sugianti
Eunike Napitupulu
Meftia Reny
Pengertian rhinitis alergi
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan
alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika
terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet,
1986).

Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)


tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung
terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari
WHO ARIA (Allergic 7 2 Rhinitis and its Impact in
Asthma) tahun 2001:

1. Berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:

a. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang


dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.
b. Persisten (menetap) : bila gejala lebih dari 4
hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.

2. Berdasarkan tingkat berat ringannya penyakit,


dibagi menjadi:

c. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur,


gangguan aktifitas harian, bersantai, berolahraga,
belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang
mengganggu.
d. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari
gangguan tersebut di atas.
Lanjutan....
RA dahulu dibedakan menjadi 2 macam berdasarkan
sifat berlangsungnya:

1. Rhinitis Alergi Musiman (seasonal) , Rhinitis ini


hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim.
Allergen penyebabnya spesifik yaitu tepung sari
(pollen), rerumputan dan spora jamur.

2. Rhinitis Alergi sepanjang tahun, gejala penyakit


ini timbul intermiten atau terus menerus tanpa
variasi musim. Penyebab yang paling sering
adalah alergen inhalan dan alergen ingestan.
Gejala Klinis :
terdapat gejala rinore (cairan hidung yang
bening encer), bersin berulang dengan frekuensi
lebih dari 5 kali setiap kali serangan, hidung
tersumbat baik menetap atau hilang timbul, rasa
gatal di hidung, telinga atau daerah langit-langit,
mata gatal, berair atau kemerahan, hiposmia
atau anosmia (penurunan atau hilangnya
ketajaman penciuman) dan batuk kronik.
Diagnosis Rhinitis Alergi
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesi
s saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin
berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer dan banyak,
hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai
dengan banyak air mata keluar(lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung
tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang
diutarakan oleh pasien (Irawati, Kasakayan,Rusmono, 2008).

Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan
keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan
herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap
pengobatan,kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan
berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin
lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu
jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif
(Rusmono,Kasakayan, 1990)
2. Pemeriksaan Fisik

Selanjutnya pada pemeriksaan fisik tanda klinis dari luar yang


mengarah ke diagnosis RA antara lain pernafasan mulut yang persisten,
sering terisak, allergic crease atau lipatan melintang pada hidung akibat
sering mengusap 7 hidung, serta allergic shiner atau bayangan lingkaran
gelap di bawah kelopak mata akibat dari kongesti hidung.

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior akan tampak mukosa hidung


yang edema, berwarna pucat, basah dan disertai adanya sekret cair
encer yang banyak. Selain itu perlu diperhatikan juga keadaan anatomi
hidung lainnya, seperti keadaan septum nasi dan kemungkinan adanya
polip nasi.
RINOSKOPI ANTERIOR
1. Ukuran besar konka  bengkak
2. Warna mukosa  biru pucat (livid)
3. Warna ingus  jernih, encer
2. Pemeriksaan Penunjang

1. Nasal endoscopy
2. Nasal Smear
3. Skin test (skin scracth & skin prick test  dianjurkan)
4. Radioallergosorbent test (RAST)
5. Nasal Provocation test
1. Nasal Endoskopi.

Rigid Hopkins rods atau flexible


fibre optic endoscope.
Dilakukan dalam anestesi topical
intra nasal.

http://www.michaelwareing-ent.com/outpatientprocedures.htm

http://www.alphasurg.com/sinus-nasal_sinus_institute.htm
2. Nasal Smear
2. Skin Test

http://www.health32.com/tests-for-allergies-an-overview/

http://l.bideau.free.fr/Th%E8se/Th%E8se/Images/Skin
PrickTest.jpg

http://www.allergyclinic.co.uk/tests_skin.htm
http://www.sublivac.nl/en/prick-test
Tes kulit tusuk (skin prick test)

• sensitifitas dan spesifisitas terhadap IgE


• Untuk akurasi diperlukan masa “ wash out ”

Keuntungan:
• Lebih aman
• Beberapa alergen dapat di test secara bersamaan
• Hasil dapat segera dibaca dengan cepat

Kerugian:
• Kurang berespon pada orang dengan sensitifitas terhadap antigen yang
lemah
Patofisiologi rinitis alergi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti
dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau
reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya dan late phaseallergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4
jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48
jam
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag ataumonosit yang berperan sebagai sel penyaji
(Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide
MHC kelas II ( Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper(Th0). Kemudian sel
penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1)yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan
Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di
permukaan sel limfosit B,sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E(IgE). IgE di sirkulasi
darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgEdi permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga
kedua sel in imenjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama,maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediatorkimia yang sudah terbentuk
(Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin
D2(PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor(PAF), berbagai sitokin (IL-3,
IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor ) dan lain-lain.
Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-
bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas
kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidungtersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin
merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter
Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini
saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. 

Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, 


limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3,
IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada
sekret hidung.

Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan
mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein
(ECP),Eosiniphilic Derived Protein(EDP),
 Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor
spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok,
bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati,
Kasakayan, Rusmono, 2008)
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad ) dengan pembesaran sel goblet
dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran
basal serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.
Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,mukosa kembali
normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus(persisten) sepanjang tahun, sehingga lama
kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia
mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.

Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:

1. Respon primer

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat nonspesifik dan dapat berakhir
sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnyadihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas
seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan.
Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang
sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.

3. Respon tersier

Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1,atau reaksi anafilaksis
(immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan
tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan
yang banyak dijumpai dibidang THT adalah tipe 1 , yaitu rinitis alergi (Irawati,Kasakayan,
Rusmono,2008).
Penatalaksanaan rhinitis alergi
.

Terapi yang paling ideal adalah


dengan menghindari kontak 01. Menghidari
dengan allergen penyebabnya alergen
(avoidance) dan eliminasi
a.Antihistamin
b. Dekongestan
c. Anti Kolinergik 02. Medikamentosa
d. Kortikosteroid
* Lini pertama pengobatan alergi
* Diabsorpsi baik dan dimetabolisme di hepar
* Generasi pertama : berefek sedatif, durasi aksi pendek :
chlorpheniramine, diphenhydramine
* Generasi kedua : tidak berefek sedatif, durasi aksi lebih
panjang: cetrizine, loratadine
Antihistamin
* golongan simpatomimetik beraksi pada reseptor adrenergik pada
mukosa hidung untuk menyebabkan vasokonstriksi, menciutkan
mukosa yang membengkak,dan memperbaiki pernafasan
* Penggunaan agen topikal yang lama (lebih dari 3-5 hari) dapat
menyebabkan rinitis medikamentosa, di mana hidung kembali
tersumbat akibat vasodilatasi perifer
* batasi penggunaan
* Dekongestan Oral:
Onset lambat, tapi efek lebih lama dan kurang.Tidak menimbulkan
Dekongesta resiko rhinitis medikamentosa
n Contoh : Fenilefrin, Fenilpropanilamin, Pseudoefedrin
Preparat Antikolinergik topik adalah Ipratropium bromide,
bermanfaat untuk mengatasi Rinore, karena akitiftas inhibisi
reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.

Anti Kolinergik  Standar lini pertama RA sedang/berat(INS)


 menghambat respon alergi fase awal maupun fase lambat.
 Efek utama pada mukosa hidung :
1. mengurangi inflamasi dengan memblok pelepasan mediator
2. mengurangi edema intrasel,
3. menyebabkan vasokonstriksi ringan dan menghambat reaksi
fase lambat yang diperantarai oleh sel mast
 Direkomendasikan sebagai terapi awal disertai dengan
penghindaran terhadap alergen.
 Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason,
budesonid, flunisolid, flutikason, mometason, furoat dan triamsinolon)
Kortikosteroid
Dilakukan pada alergi
inhalan dengan gejala
berat dan sudah
berlangsung lama serta
dengan pengobatan
cara lain tidak
memberikan hasil yang
memuaskan. Tujuan dari
03. Imunoterapi
imunoterapi adalah
pembentukan IgG
blocking antibody dan
penurunan IgE. Ada 2
metode imunoterapi
yang umum dilakukan
yaitu intradermal dan
sublingual
Tindakan konkotomi
parsial (pemotongan
sebagian konka
inferior), konkoplasti
atau multiple
outfractured, inferior
turbinoplasty perlu 04. Operatif
dipikirkan bila konka
inferior hipertrofi berat
dan tidak berhasil
dikecilkan dengan cara
kaeuterisasi memakai
AgNO3 25% atau
triklor asetat
CONTOH KASUS
 
1. IDENTITAS:
Nama : Tn. U
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Umur : 34 tahun
Alamat : Jl. Baru HHII Dalam RT 12/01 No. 12, Jakarta Utara
No. RM : 163624
Tanggal Pemeriksaan : 27 Februari 2023

2. ANAMNESIS (AUTOANAMNESIS)

Keluhan Utama:
Bersin-bersin terus menerus sejak 6 tahun yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke poliklinik THT karena bersin-bersin terus
menerus setiap hari sejak 6 tahun yang lalu. Setiap bersin
dapat mencapai 3-5 kali. Bersin didapatkan pada waktu yang
tidak menentu, baik pagi siang ataupun malam. Bersin
meningkat apabila terpapar debu dan dingin. Bersin didapatkan
selama 3-4 hari dalam 1 minggu.
Keluhan juga disertai dengan pilek, hidung tersumbat, dan rasa
gatal pada hidung. Pilek dengan cairan berwarna bening, encer, dan banyak,
namun tidak berbau. terkadang sampai dengan hidung tersumbat. Pasien juga
sering merasakan gatal pada hidung, dan kemudian menggaruk hidung
dengan menggunakan punggung tangan. Keluhan pada pasien
tidak mengganggu aktivitas, karena pasien masih dapat bekerja pada siang
hari. Keluhan tidak disertai dengan batuk, nyeri tenggorok, nyeri kepala dan
penurunan fungsi pendengaran.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Keluhan yang sama di keluarga disangkal

Riwayat Alergi :
Pasien memiliki alergi terhadap debu dan udara yang dingin. Alergi terhadap
makanan,dan obat-obatan, disangkal.

Riwayat Pengobatan :
Sebelumnya pasien hanya mengobati keluhan hanya dengan menggunakan
obat warung.

Riwayat Kebiasaan :
Pasien bekerja sebagai petugas pengamanan, dan untuk berangkat ke tempat
bekerja,pasien menggunakan kendaraan bermotor roda dua. Pasien tidak
menggunakan masker saat bekerja dan mengendarai kendaraan bermotor.
3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran :Compos mentis
Tanda Vital
Tekanan darah : tidak diukur
Pernafasan : 20 x/ menit
Nadi : 84 x/menit
Suhu : Afebris

Hidung
Bentuk : normonasi
Cavum nasi : lapang (+/-), perdarahan mengalir (-/-), 
blood clotting (-/-)
Mukosa : Hiperemis (-/+)
Concha : concha inferior eutrofi (+/-)
Septum : C-Shape deviasi ke arah sinistra
Sinus paranasal : nyeri tekan pada: pangkal hidung(-), pipi (-),
dahi (-), tidak terlihat pembengkakan pada daerah muka

Tenggorokan :
Mukosa : Hiperemis (-/-), Granul (-/-)
Uvula : Deviasi (-/-)
Tonsil : T1– T1, Hiperemis (-), kripta melebar (-/-), detritus (-/-)
4. RESUME
Pasien datang ke poliklinik THT karena bersin-bersin terus menerus setiap hari sejak
6 tahun yang lalu. Setiap bersin dapat mencapai 3-5 kali. Bersin didapatkan pada
waktu yang tidak menentu, baik pagi siang ataupun malam. Bersin meningkat apabila
terpapar debu dan dingin. Bersin didapatkan selama 3-4 hari dalam 1 minggu.
Keluhan juga disertai dengan pilek, hidung tersumbat, dan rasa gatal pada hidung. Pi
lek dengan cairan berwarna bening, encer, dan banyak, namun tidak berbau.
terkadang sampa idengan hidung tersumbat. Pasien juga sering merasakan gatal
pada hidung, dan kemudianmenggaruk hidung dengan menggunakan punggung
tangan. Keluhan pada pasien tidak mengganggu aktivitas, karena pasien masih
dapat bekerja pada siang hari. Keluhan tidak disertai dengan batuk, nyeri tenggorok,
nyeri kepala dan penurunan fungsi pendengaran.Pada pemeriksaan fisik didapatkan
koana nasalis sinistra menyempit, hipertrofikonka nasalis inferior sinistra, hiperemis
pada konka nasalis inferior sinistra, dan C-shaped deviasi ke arah sinistra.

5.DIAGNOSIS
Suspect Rhinitis Alergika Intermiten Ringan

6.PENATALAKSANAAN
Non- Medikamentosaa.: Menghindari allergen penyebab, dengan menggunakan
masker saat bekerja dan berkendara

Medikamentosa:
 Antihistamin H2 : Loratadin 1 x 1.
 Dekongestan : Pseudoefedrin 3 x 1
Allergies Infographics

Mercury Venus
It is the closest planet to Venus has a beautiful
the Sun and the smallest name, but is also hot,
one in the Solar System even hotter than Mercury!

Saturn Mars
Saturn is a gas giant Despite being red, Mars is
composed mostly of a very cold place full of
hydrogen and helium iron oxide dust

Anda mungkin juga menyukai