Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Rinitis Alergi


Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut . Menurut World Health Organization (WHO) Allergic
Rhinitis and Its Impact on Asthma (ARIA) Rinitis alergi adalah kelainan pada
hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan hidung tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.3

2.2 Etiologi Rinitis Alergi


Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi .3 Penyebab rinitis alergi tersering adalah
alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak
sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan.
Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa
pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis
alergi musiman biasanya beruba serbuk sari atau jamur. Beberapa pemicu yang
bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya
asap rokok, polusi udara, bau, aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan
cuaca.4

Rinitis alergi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara
genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas
memiliki peran penting. Pada 2030% semua populasi dan pada 1015% anak
memiliki riwayat atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi

2
menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50%. Peran lingkungan dalam dalam
rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan
merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan
alergi.

Berdasarkan cara masuknya, alergen dibagi atas:

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya


tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang (anjing, kucing),
rerumputan, dan jamur.

2. Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya


susu, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting, dan kacang-kacangan.

3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya


penisilin dan sengatan lebah.

4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik dan perhiasan.

Gambar 1. Klasifikasi alergen

3
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari 1 organ sasaran, sehingga
memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi gejala
asma bronkial dan rinitis alergi.3

2.3 Patogenesis dan Patofisiologi Rinitis Alergi


Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri
dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat
(RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-
reaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel pada mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan
molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
(Th). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1)
yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2.

Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan
IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di
sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini
menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator
yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan
alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan
terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat
terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk terutama histamin. Selain

4
histamin terlepas juga prostaglandin (PGD2), Leukotrien D4 (LTD4),
bradikinin, dan PAF, dan berbagai sitokin lainnya. Inilah yang disebut reaksi
alergi fase cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah
hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusioid. Selain histamin merangsang
ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung
sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon
ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai
puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan
penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil,
basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin IL-3. IL-4, dan
IL-5 dan GM-CSF dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala
hiperreaktif atau hiperresponsif hidung akibat peranan eosinofil dengan
mediator inflamasi dari granulnya. Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen),
iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau
yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi .3

5
Gambar 2. Patofisiologi Rinitis Alergi

2.4 Gambaran Histologik Rinitis Alergi


Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bed)
dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga
pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan
infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.
Gambaran yang demikian terdapat pada saat terjadi serangan. Diluar keadaan
serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus

6
menerus dan persisten sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi
perubahan yang irreversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.3

2.5 Klasifikasi Rinitis Alergi


Berdasarkan jenis reaksi imunitas, Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi
ini atas 4 tip, yaitu tipe 1 (anafilaksis), tipe 2 (reaksi sitotoksik), tipe 3 (reaksi
kompleks imun, dan reaksi tuberkulin (delayed hipersensitivity) atau tipe 4.
Manifestasi klinik kerusakan jaringan yang terjadi pada rinitis alergi dan
kondisi alergi yang umum pada bidang THT adalah reaksi hipersensitvitas tipe
1 (reaksi anafilaktik)

Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan ARIA (Allergic Rinitis and its Impact on
Asthma) tahun 2008, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:

1. Intermiten (kadang-kadang) bila gejala muncul:


Kurang dari 4 hari/minggu
atau kurang dari 4 minggu berturut-turut.
2. Persisten/menetap bila gejala muncul:
Lebih dari 4 hari/minggu
atau lebih dari 4 minggu berturut-turut.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi


menjadi:
1. Ringan bila tidak ada gejala:
Gangguan tidur
Gangguan aktivitas harian, bersantai dan/atau berolahraga
Gangguan belajar atau bekerja
Ada gejala tetapi tidak mengganggu
2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih gejala:
Gangguan tidur
Gangguan aktivitas harian, bersantai dan/atau berolahraga
Gangguan belajar atau bekerja

7
Gejala mengganggu. 5, 6

2.6 Penegakkan Diagnosis Rinitis Alergi


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang bila diperlukan.

a. Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi


dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari
anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan
bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama
pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self
cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima
kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-
kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain
adalah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat,
hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata
keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai oleh gejala konjungtivitis
alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak.
Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau
satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien. 3, 4

b. Pemeriksaan Fisik

Selain dari anamnesis perlu juga untuk dilakukan pemeriksaan fisik. Pada
rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid
disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila
fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya bayangan
gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder
akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner.

8
Gambar 4. Allergic shiner pada pasien Rinitis Alergi

Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal,
dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan
menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang
di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut sebagai allergic crease.

Gambar 5. Allergic crease (kiri) dan Allergic salute (kanan)

Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding
posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta
dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta
(geographic tongue). 3, 4

Gambar 6. Fascies Adenoid dan Geographic Tongue

9
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis
rinits alergi antara lain:
1. Secara invitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari
satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma
bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi
kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan
derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio
Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay
Test). Selain itu pemeriksaan sitologi hidung juga dapat dilakukan,
walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai
pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN
menunjukkan adanya infeksi bakteri.

2. Secara invivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.
Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis
inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit
seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya
ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Alergen
ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu
pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah
berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi,
jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai

10
suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.
3, 4

2.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari rinitis alergi antara lain:

1. Rinitis Non-alergik yang merupakan suatu keadaan inflamasi hidung yang


disebabkan oleh selain alergi. Keadaan ini tidak dapat diidentifikasi dengan
pemeriksaan alergi yang sesuai (anamnesis, tes cukit kulit, kadar antibodi
IgE spesifik serum). Kelainan ini dapat bermacam-macam bergantung dari
penyebabnya, antara lain rinitis vasomotor, rinitis gustator, rinitis
medikamentosa, rinitis hormonal.

2. Diskinesia Silia Primer (PCD) juga disebut sindrom immotile-silia) atau


Immotile cilia syndrome (ciliary dyskinesis), ditandai oleh penurunan nilai
bawaan dari clearance mukosiliar dengan manifestasi klinis batuk kronis,
rinitis kronis, dan sinusitis kronis. Otitis dan otosalpingitis yang umum di
masa kanak-kanak, seperti juga polip hidung dan agenesis sinus frontalis.

2.8 Penatalaksanaan Rinitis Alergi


Pada rinitis alergi terdapat beberapa terapi yang dapat dilakukan, yaitu:
1. Menghindari kontak dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan
eliminasi yang merupakan terapi yang paling ideal dalam penatalaksanaan
rinitis alergi.
2. Medikamentosa yang terdiri dari beberapa jenis pilihan obat yang dapat
digunakan, antara lain:
a. Antihistamin. Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine
H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel
target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering
dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian
dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan
secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan

11
antihistamin generasi 1 (klasik) dan generasi 2 (non-sedatif).
Antihistamin generasi 1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus
sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta
mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain
adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin,
sedangkan yang dapat diberikan secara topikal adalah azelastin.
Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus
sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat resptor H-1 perifer dan
tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan pada efek
pada SSP minimal (non-sedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral
dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala obstruksi
hidung pada fase lambat. Antihistamin non sedatif dapat dibagi
menjadi dua golongan menurut keamananya. Kelompok pertama
adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik.
Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung
yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung
dan bahkan kematia medadak (sudah ditarik dari peredaran).
Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin,
dan levosetirisin.

b. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai


sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan
antihistamin atau topikal. Golongan obat ini tersedia dalam bentuk
topikal maupun sistemik. Onset obat topikal jauh lebih cepat daripada
preparat sistemik., namun dapat menyebabkan rinitis medikamentosa
bila digunakan dalam jangka waktu lama. Obat dekongestan sistemik
yang sering digunakan adalah pseudoephedrine HCl dan
Phenylpropanolamin HCl. Obat ini dapat menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah. Dosis obat ini 15 mg untuk anak 2-5
tahun, 30 mg untuk anak 6-12 tahun, dan 60 mg untuk dewasa,
diberikan setiap 6 jam. Efek samping dari obat-obatan ini yang paling
sering adalah insomnia dan iritabilitas.

12
c. Preparat kortikosteroid. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala
terutama sumbatan hidung akibat respon fase lambat tidak berhasil
diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid
topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason,
furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk
mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah
pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas
limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel
hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan alergen (bekerja pada
respon cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja
menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga
pelepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga
menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel
netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila
diberikan sebagai profilaksis.

d. Antikolinergik. Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium


bromide, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi
reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.

3. Tindakan operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu
dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan
dengan cara kaeuterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.

4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat
dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah
pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode

13
imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual. 3, 4

WHO Initiative ARIA pada tahun 2008 membuat alur penatalaksanaan


pasien dewasa dengan rinitis alergi sebagai berikut:

Gambar 7. Algoritma penatalaksanaan Rinitis Alergi

14
2.9 Komplikasi Rinitis Alergi

Komplikasi rinitis alergi yang paling sering terjadi antara lain:


1. Polip hidung, beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung
merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan
kekambuhan polip hidung
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak
3. Sinusitis paranasal. 3, 4

15
2.10 Definisi Rinitis Vasomotor
Rinitis vasomotor adalah peradangan mukosa hidung yang idiopatik. Rinitis
vasomotor merupakan subtipe dari nonallergic rinitis (NAR) yang
kejadiannya tidak berhubungan dengan infeksi, alergi, eosinofilia,
perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid), dan pajanan obat
(kontrapsepsi oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin dan obat
topikal hidung dekongestan). Kelainan ini disebut juga vasomotor catarrh,
vasomotor rinorhea, nasal vasomotor instability, atau juga non-allergic
perennial rinitis. 7

2.11 Etiologi dan Faktor Risiko


Etiologi pasti rinitis vasomotor belum sepenuhnya diketahui dan diduga
akibat gangguan keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-
zat tertentu. Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor
antara lain:
1. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis,
seperti ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat
vasokonstriktor topikal.
2. Faktor fisik, seperti bau yang menyengat, terpapar udara dingin,
perubahan suhu yang ekstrim, kelembaban, perubahan tekanan udara.
3. Faktor endokrin, seperti kehamilan, pubertas, pemakaian pil KB dan
hipotiroidisme.
4. Faktor psikis, seperti stres, ansietas dan fatigue.
Beberapa faktor di atas diduga menjadi pemicu timbulnya rinitis vasomotor
yang pada orang normal keadaan tersebut tidak menimbulkan gangguan
apapun, namun penderita bisa saja mengalami penyakit ini dengan gejala
yang persisten tanpa memiliki faktor pemicu di atas. 8

2.12 Patologi dan Patofisiologi Rinitis Vasomotor


Mekanisme yang mendasari rinitis vasomotor belum sepenuhnya diketahui.
Secara garis besar diperkirakan akibat adanya ketidakseimbangan input saraf
otonom ke mukosa hidung. Beberapa hipotesis telah dikemukakan untuk
menerangkan patofisiologi rinitis vasomotor, yaitu:

16
1. Neurogenik (disfungsi sistem otonom)
Terdapat 2 macam saraf otonom yang menginervasi hidung yaitu saraf
simpatis dan saraf parasimpatis. Saraf post ganglion saraf simpatis
(adrenergik) meninggalkan korda spinalis setinggi T13, berjalan ke
atas dan mengadakan sinapsis pada ganglion servikalis superior. Serabut
post sinapsis berjalan sepanjang pleksus karotikus dan kemudian
sebagai n. petrosus profundus bergabung dengan serabut saraf
parasimpatis yaitu n. petrosus superfisialis mayor membentuk n.
vidianus yang berjalan didalam kanalis pterigoideus. Saraf ini tidak
mengadakan sinapsis didalam ganglion sfenopalatina, dan kemudian
diteruskan oleh cabang palatina mayor ke pembuluh darah pada mukosa
hidung. Saraf simpatis secara dominan mempunyai peranan penting
terhadap sistem vaskuler hidung dan sangat sedikit mempengaruhi
kelenjar
Serabut saraf preganglion parasimpatis (kolinergik) berasal dari
ganglion genikulatum dan pusatnya adalah di nukleus salivatorius
superior di medula oblongata. Sebagai n. pterosus superfisialis mayor
berjalan menuju ganglion sfenopalatina dan mengadakan sinapsis
didalam ganglion tersebut. Serabut-serabut post ganglion menyebar
menuju mukosa hidung. Peranan saraf parasimpatis ini terutama
terhadap jaringan kelenjar yang menyebabkan sekresi hidung yang
encer dan vasodilatasi jaringan erektil. Pemotongan n. vidianus akan
menghilangkan impuls sekretomotorik / parasimpatis pada mukosa
hidung, sehingga rinore akan berkurang sedangkan sensasi hidung tidak
akan terganggu. 7

Dalam keadaan hidung normal, persarafan simpatis lebih dominan.


Rinitis vasomotor diduga sebagai akibat ketidakseimbangan impuls
saraf otonom di mukosa hidung yang berupa bertambahnya aktivitas
sistem parasimpatis. 7, 8, 9

17
Gambar 8. Persarafan hidung
2. Neuropeptida

Teori lain mengatakan bahwa terjadi peningkatan peptide vasoaktif


dari sel-sel seperti sel mast. Termasuk diantara peptide ini adalah
histamin, leukotrin, prostaglandin, polipeptide intestinal vasoaktif
dan kinin. Elemen-elemen ini tidak hanya mengontrol diameter
pembuluh darah yang menyebabkan kongesti, tetapi juga
meningkatkan efek asetilkolin dari sistem saraf parasimpatis terhadap
sekresi hidung yang menyebabkan rinore dan terhadap reseptor
muskarinik yang bermanifestasi sebagai nyeri. Pelepasan peptide-
peptide ini tidak diperantarai oleh Ig-E (non-Ig E mediated) seperti
pada rinitis alergi. 7, 8, 9

18
3. Nitrit Oksida
Peranan nitric oxide (NO) dalam meyebabkan terjadinya rinitis telah
dipelajari. NO diturunkan dari nitric oxide synthase (NOS) yang
memerlukan nicotinamineadenine dinucleotide phosphate
(NADPH) sebagai ko-faktor. NO dalam jaringan hanya bersifat
sementara, oleh karena itu keberadaan dan aktivitas NO sangat
dipengaruhi oleh jumlah NADPH dalam jaringan yang juga
berkolerasi dengan aktivitas NOS. Pada pasien yang mengalami
rinitis vasomotor, kerusakan epitel berkolerasi dengan peningkatan
aktivitas NADPH yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan
NO. Telah diketahui bahwa NO mempunyai efek sitotoksik yang
dapat menyebabkan kerusakan epitel. Kerusakan tersebut
mengakibatkan terganggunya sistem mukosiliar, kehilangan tight
junction dan rusaknya membran basal. Hal ini berujung pada
peningkatan reaktivitas serabut aferen trigeminal, sistem sekresi
mukus, dan refleks vaskular yang bermanifestasi sebagai gejala klinis
rinitis vasomotor. 7, 8, 9

4. Trauma
Rinitis vasomotor dapat juga merupakan komplikasi trauma.
Dimana pada keadaan trauma dapat terjadi kerusakan siliar, tidak
adanya tight junction, peregangan ruang interseluler, dan kehilangan
sel goblet yang pada akhirnya bermanifestasi sebagai rinitis
vasomotor. 7, 8, 9

2.13 Gejala Klinis Rinitis Vasomotor


Gejala yang dijumpai pada rinitis vasomotor kadang sulit dibedakan dengan
rinitis alergi seperti hidung tersumbat dan rinore. Rinore yang hebat dan
bersifat mukoid atau serosa sering dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangat
bervariasi yang dapat bergantian dari satu sisi ke sisi yang lain, terutama
sewaktu perubahan posisi. Keluhan bersin-bersin tidak begitu nyata bila
dibandingkan dengan rinitis alergi, tidak terdapat rasa gatal di hidung dan

19
jarang disertai gejala mata. Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu
bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrem, udara
lembab, dan juga oleh karena asap rokok dan sebagainya. 7, 8, 9

Berdasarkan gejala yang menonjol, rinitis vasomotor dibedakan dalam 3


golongan, yaitu:
1. Golongan bersin (sneezers), gejala biasanya memberikan respon
yang baik dengan terapi antihistamin dan glukokortikosteroid topikal.
2. Golongan rinore (runners), gejala dapat diatasi dengan pemberian
antikolinergik topikal.
3. Golongan tersumbat (blockers), kongesti umumnya memberikan
respon yang baik dengan terapi glukokortikosteroid topical dan
vasokonstriktor oral. 7, 8, 9

2.14 Penegakkan Diagnosis Rinitis Vasomotor


Diagnosis rinitis vasomotor umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi,
yaitu menyingkirkan adanya rinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal, dan
akibat obat. Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi timbulnya
gejala. Tidak seperti rinitis alergi, rinitis vasomotor biasanya terjadi pada
orang dewasa dan tidak dipengaruhi maupun diperburuk oleh paparan
alergen klasik seperti serbuk sari, tungau debu rumah, anjing atau kucing.
Karena rinitis vasomotor dapat diakibatkan oleh perubahan temperatur,
kelembaban dan/atau perubahan tekanan udara, pasien dapat mengalami
gejala musiman tekait dengan perubahan cuaca selama musim hujan dan
musim panas. Jika seseorang pasien mempunyai gejala hidung (nasal
symptoms) yang adekuat (yang diperberat atau dipicu oleh satu atau lebih
kondisi lingkungan yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat dikatakan
pasien tersebut mengalami rinitis vasomotor dengan catatan semua faktor
yang mengarah pada rinitis jenis lain telah disingkirkan. Pada rinitis
vasomotor gejala penyerta pada mata (mata merah) sangat minimal, gejala
hidung dan palatum gatal serta bersin-bersin juga jarang terjadi. 7, 8, 9

20
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior, tampak gambaran yang khas berupa
edema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau merah tua, tetapi
dapat pula pucat. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol (tidak rata).
Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi
pada golongan rinore, sekret yang ditemukan bersifat serosa dengan jumlah
yang banyak. 7, 8, 9

Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan


rinitis alergi. Uji cukit kulit (skin prick test) biasanya negatif, demikian pula
test Radio Immuno Sorbent Test (RAST), serta kadar IgE spesifik tidak
meningkat. Kadang ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi
dalam jumlah yang sedikit. Infeksi sering menyertai yang ditandai dengan
adanya sel neutrofil dalam sekret. Pemeriksaan radiologik sinus
memperlihatkan mukosa yang edema dan mungkin tampak gambaran cairan
dalam sinus apabila sinus telah terlibat. 7, 8, 9

2.15 Penatalaksaan Rinitis Vasomotor


Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor
penyebabdan gejala yang menonjol. Secara garis besar, pengobatan tediri
atas:

1. Menghindari stimulus/pencetus (avoidance therapy)

2. Pengobatan simtomatis berupa:


a. Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk
mengurangi keluhan hidung tersumbat, contohnya
Pseudoephedrine dan Phenylpropanolamine (oral) serta
Phenylephrine dan Oxymetazoline (semprot hidung).
b. Antihistamin, paling baik untuk golongan bersin.
c. Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat,
rinore dan bersin-bersin dengan menekan respon inflamasi lokal
yang disebabkan oleh mediator vasoaktif. Biasanya digunakan
paling sedikit selama 1 atau 2 minggu sebelum dicapai hasil yang

21
memuaskan. Contoh steroid topikal seperti Budesonide,
Fluticasone, Flunisolide atau Beclomethasone.
d. Antikolinergik efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan
utamanya. Contohnya Ipratropium bromide (nasal spray).

3. Terapi operatif (dilakukan bila pengobatan konservatif gagal) yaitu:


a. Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3 25%
atau triklorasetat pekat (chemical cautery) maupun secara
elektrik (electrical cautery)
b. Bedah beku konka inferior (cryosurgery)
c. Reseksi konka parsial atau total (partial or total turbinate
resection)
d. Neurektomi n. vidianus (vidian neurectomy), yaitu dengan
melakukan pemotongan pada n. vidianus, bila dengan cara diatas
tidak memberikan hasil. Operasi sebaiknya dilakukan pada
pasien dengan keluhan rinore yang hebat. Terapi ini sulit
dilakukan, dengan angka kekambuhan yang cukup tinggi dan
dapat menimbulkan berbagai komplikasi seperti sinusitis,
diplopia, kebutaan, gangguan lakrimasi, anesthesia infraorbital,
dan anesthesia palatum. 7, 8, 9

2.16 Komplikasi
Komplikasi yang sering timbul pada rinitis vasomotor antara lain:
1. Sinusitis paranasal
2. Polip nasi
3. Otitis media

2.17 Prognosis
Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan
rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rinitis alergi, perlu
anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosis. 7, 8, 9

22

Anda mungkin juga menyukai