TINJAUAN PUSTAKA
Rinitis alergi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara
genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas
memiliki peran penting. Pada 2030% semua populasi dan pada 1015% anak
memiliki riwayat atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi
2
menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50%. Peran lingkungan dalam dalam
rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan
merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan
alergi.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik dan perhiasan.
3
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari 1 organ sasaran, sehingga
memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi gejala
asma bronkial dan rinitis alergi.3
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel pada mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan
molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
(Th). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1)
yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2.
Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan
IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di
sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini
menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator
yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan
alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan
terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat
terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk terutama histamin. Selain
4
histamin terlepas juga prostaglandin (PGD2), Leukotrien D4 (LTD4),
bradikinin, dan PAF, dan berbagai sitokin lainnya. Inilah yang disebut reaksi
alergi fase cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah
hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusioid. Selain histamin merangsang
ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung
sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon
ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai
puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan
penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil,
basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin IL-3. IL-4, dan
IL-5 dan GM-CSF dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala
hiperreaktif atau hiperresponsif hidung akibat peranan eosinofil dengan
mediator inflamasi dari granulnya. Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen),
iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau
yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi .3
5
Gambar 2. Patofisiologi Rinitis Alergi
6
menerus dan persisten sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi
perubahan yang irreversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.3
Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan ARIA (Allergic Rinitis and its Impact on
Asthma) tahun 2008, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:
7
Gejala mengganggu. 5, 6
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan Fisik
Selain dari anamnesis perlu juga untuk dilakukan pemeriksaan fisik. Pada
rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid
disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila
fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya bayangan
gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder
akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner.
8
Gambar 4. Allergic shiner pada pasien Rinitis Alergi
Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal,
dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan
menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang
di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut sebagai allergic crease.
Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding
posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta
dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta
(geographic tongue). 3, 4
9
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis
rinits alergi antara lain:
1. Secara invitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari
satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma
bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi
kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan
derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio
Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay
Test). Selain itu pemeriksaan sitologi hidung juga dapat dilakukan,
walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai
pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN
menunjukkan adanya infeksi bakteri.
2. Secara invivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.
Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis
inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit
seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya
ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Alergen
ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu
pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah
berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi,
jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai
10
suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.
3, 4
11
antihistamin generasi 1 (klasik) dan generasi 2 (non-sedatif).
Antihistamin generasi 1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus
sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta
mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain
adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin,
sedangkan yang dapat diberikan secara topikal adalah azelastin.
Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus
sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat resptor H-1 perifer dan
tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan pada efek
pada SSP minimal (non-sedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral
dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala obstruksi
hidung pada fase lambat. Antihistamin non sedatif dapat dibagi
menjadi dua golongan menurut keamananya. Kelompok pertama
adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik.
Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung
yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung
dan bahkan kematia medadak (sudah ditarik dari peredaran).
Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin,
dan levosetirisin.
12
c. Preparat kortikosteroid. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala
terutama sumbatan hidung akibat respon fase lambat tidak berhasil
diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid
topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason,
furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk
mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah
pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas
limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel
hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan alergen (bekerja pada
respon cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja
menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga
pelepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga
menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel
netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila
diberikan sebagai profilaksis.
3. Tindakan operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu
dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan
dengan cara kaeuterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat
dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah
pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode
13
imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual. 3, 4
14
2.9 Komplikasi Rinitis Alergi
15
2.10 Definisi Rinitis Vasomotor
Rinitis vasomotor adalah peradangan mukosa hidung yang idiopatik. Rinitis
vasomotor merupakan subtipe dari nonallergic rinitis (NAR) yang
kejadiannya tidak berhubungan dengan infeksi, alergi, eosinofilia,
perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid), dan pajanan obat
(kontrapsepsi oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin dan obat
topikal hidung dekongestan). Kelainan ini disebut juga vasomotor catarrh,
vasomotor rinorhea, nasal vasomotor instability, atau juga non-allergic
perennial rinitis. 7
16
1. Neurogenik (disfungsi sistem otonom)
Terdapat 2 macam saraf otonom yang menginervasi hidung yaitu saraf
simpatis dan saraf parasimpatis. Saraf post ganglion saraf simpatis
(adrenergik) meninggalkan korda spinalis setinggi T13, berjalan ke
atas dan mengadakan sinapsis pada ganglion servikalis superior. Serabut
post sinapsis berjalan sepanjang pleksus karotikus dan kemudian
sebagai n. petrosus profundus bergabung dengan serabut saraf
parasimpatis yaitu n. petrosus superfisialis mayor membentuk n.
vidianus yang berjalan didalam kanalis pterigoideus. Saraf ini tidak
mengadakan sinapsis didalam ganglion sfenopalatina, dan kemudian
diteruskan oleh cabang palatina mayor ke pembuluh darah pada mukosa
hidung. Saraf simpatis secara dominan mempunyai peranan penting
terhadap sistem vaskuler hidung dan sangat sedikit mempengaruhi
kelenjar
Serabut saraf preganglion parasimpatis (kolinergik) berasal dari
ganglion genikulatum dan pusatnya adalah di nukleus salivatorius
superior di medula oblongata. Sebagai n. pterosus superfisialis mayor
berjalan menuju ganglion sfenopalatina dan mengadakan sinapsis
didalam ganglion tersebut. Serabut-serabut post ganglion menyebar
menuju mukosa hidung. Peranan saraf parasimpatis ini terutama
terhadap jaringan kelenjar yang menyebabkan sekresi hidung yang
encer dan vasodilatasi jaringan erektil. Pemotongan n. vidianus akan
menghilangkan impuls sekretomotorik / parasimpatis pada mukosa
hidung, sehingga rinore akan berkurang sedangkan sensasi hidung tidak
akan terganggu. 7
17
Gambar 8. Persarafan hidung
2. Neuropeptida
18
3. Nitrit Oksida
Peranan nitric oxide (NO) dalam meyebabkan terjadinya rinitis telah
dipelajari. NO diturunkan dari nitric oxide synthase (NOS) yang
memerlukan nicotinamineadenine dinucleotide phosphate
(NADPH) sebagai ko-faktor. NO dalam jaringan hanya bersifat
sementara, oleh karena itu keberadaan dan aktivitas NO sangat
dipengaruhi oleh jumlah NADPH dalam jaringan yang juga
berkolerasi dengan aktivitas NOS. Pada pasien yang mengalami
rinitis vasomotor, kerusakan epitel berkolerasi dengan peningkatan
aktivitas NADPH yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan
NO. Telah diketahui bahwa NO mempunyai efek sitotoksik yang
dapat menyebabkan kerusakan epitel. Kerusakan tersebut
mengakibatkan terganggunya sistem mukosiliar, kehilangan tight
junction dan rusaknya membran basal. Hal ini berujung pada
peningkatan reaktivitas serabut aferen trigeminal, sistem sekresi
mukus, dan refleks vaskular yang bermanifestasi sebagai gejala klinis
rinitis vasomotor. 7, 8, 9
4. Trauma
Rinitis vasomotor dapat juga merupakan komplikasi trauma.
Dimana pada keadaan trauma dapat terjadi kerusakan siliar, tidak
adanya tight junction, peregangan ruang interseluler, dan kehilangan
sel goblet yang pada akhirnya bermanifestasi sebagai rinitis
vasomotor. 7, 8, 9
19
jarang disertai gejala mata. Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu
bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrem, udara
lembab, dan juga oleh karena asap rokok dan sebagainya. 7, 8, 9
20
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior, tampak gambaran yang khas berupa
edema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau merah tua, tetapi
dapat pula pucat. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol (tidak rata).
Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi
pada golongan rinore, sekret yang ditemukan bersifat serosa dengan jumlah
yang banyak. 7, 8, 9
21
memuaskan. Contoh steroid topikal seperti Budesonide,
Fluticasone, Flunisolide atau Beclomethasone.
d. Antikolinergik efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan
utamanya. Contohnya Ipratropium bromide (nasal spray).
2.16 Komplikasi
Komplikasi yang sering timbul pada rinitis vasomotor antara lain:
1. Sinusitis paranasal
2. Polip nasi
3. Otitis media
2.17 Prognosis
Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan
rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rinitis alergi, perlu
anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosis. 7, 8, 9
22