Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
yang memiliki riwayat atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang
sama yang mengakibatkan dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
ulangan terhadap alergen spesifik tersebut, dimana mukosa hidung sebagai organ sasaran.1
Penyakit dapat menyerang semua usia, terutama anak-anak, remaja dan dewasa
muda atau pada usia produktif. Rinitis alergi merupakan penyakit alergi yang diderita oleh
lebih dari 15% populasi dunia, dan dalam dua dekade terakhir ini prevalensinya
mengalami peningkatan. Rinitis alergi sekarang dianggap merupakan masalah kesehatan
global karena merupakan penyakit yang sangat sering dijumpai di seluruh dunia dan
mengenai 10-25% populasi. Penyakit ini dapat timbul pada semua golongan umur. Di
Amerika Serikat penyakit ini mengenai 20-40 juta orang, terdiri dari 10-30% orang
dewasa dan lebih dari 40% mengenai anak-anak. Pada 80% kasus gejala timbul sebelum
anak berusia 20 tahun.
Secara klinis, rhinitis alergi akan memunculkan sekumpulan gejala, yaitu
diantaranya bersin, hidung tersumbat, gatal pada hidung, dan keluar cairan dari hidung.
Rhinitis alergi timbul sebagai akibat dari adanya interaksi antara faktor genetik dan
lingkungan. Variasi prevalensi yang besar diduga disebabkan oleh faktor resiko dalam
lingkungan seperti alergen, pola hidup, sosial ekonomi, serta keadaan lingkungan sekitar.
Penyakit ini bersifat kumat-kumatan, sehingga dapat mengganggu aktivitas
penderita, penderita menjadi sulit berkonsentrasi, mengalami gangguan tidur, emosional,
gangguan bekerja, ataupun sekolah. Gangguan ini dapat berupa keterbatasan aktivitas,
menimbulkan gangguan kognitif, serta penurunan kewaspadaan, sehingga dapat
menurunkan produktivitas pada penderita.

BAB II
RINITIS ALERGI

2.1 Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya
suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah
kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rhinore, rasa gatal, dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
2.2 Epidemiologi
Meskipun insiden rhinitis alergi yang tepat tidak diketahui, namun rhinitis alergi
menyerang sekitar 10% dari populasi umum. Rhinitis alergi dapat timbul pada semua
golongan umur, terutama anak dan dewasa, namun berkurang dengan bertambahnya
umur. Faktor herediter berperan, sedangkan jenis kelamin, golongan etnis, dan ras tidak
berpengaruh.
2.3 Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam
perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi
rinitis alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen
inhalan pada dewasa dan ingestan pada anakanak. Pada anak-anak sering disertai gejala
alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat
berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen.
Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau
jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua
spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides
pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor
2

resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang
tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko
untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat
adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang
kuat atau merangsang dan perubahan cuaca.
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas :
1. Alergen inhalan merupakan alergen terbanyak penyebab serangan gejala rinitis
alergika yang masuk bersama udara pernafasan, misalnya debu rumah, tungau,
serpihan epitel, bulu binatang, tepung sari, serta jamur.
2. Alergen ingestan, yang masuk saluran cerna berupa makanan, misalnya susu, telur,
coklat, udang, ikan, ayam, dan lain-lain.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan, atau tusukan, misalnya, penicillin,
sengatan lebah dan lain-lain.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik dan perhiasan.
2.4 Klasifikasi Rinitis Alergi
Rinitis alergi dapat digolongkan dalam 2 klasifikasi, menurut WHO Allergic Rhinitis and
Its Impact on Asthma tahun 2000, yaitu :
1. Intermiten (kadang-kadang) bila gejal kurang dari 4 hari per minggu dan kurang
dari 4 minggu
2. Persisten (menetap) bila gejala ditemukan lebih dari 4 hari per minggu atau lebih
dari 4 minggu.
Berdasarkan beratnya gejala, dibedakan sebagai berikut :
1. Gejala ringan bila tidak didapatkan gangguan tidur, gangguan aktifitas sehari-hari,
bersantai dan atau olahraga, gangguan pekerjaan atau sekolah, dan gejala lainnya
dirasakan tidak mengganggu.
2. Gejala sedang sampai berat bila terdapat satu atau lebih gejala tersebut diatas,
serta gejala dirasakan mengganggu.

Pembagian klasifikasi yang penting dalam penanganan rinitis alergi secara tepat dan
rasional. [5]
Berdasarkan sifat berlangsungnya rinitis alergi dapat dibedakan menjadi 2 macam,
yaitu :
1. Rinitis Alergi Musiman (Seasonal)
Penyakit ini timbul periodik, sesuai dengan musim dimana pada waktu
terjadi konsentrasi alergen terbanyak di udara. Dapat mengenai semua golongan
umur dan biasanya mulai timbul pada anak-anak dan dewasa muda. Berat
ringannya gejala penyakit bervariasi dari tahun ke tahun tergantung pada
banyaknya alergen di udara. Faktor herediter pada penyakit ini sangat berperan.
Hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik,
yaitu tepung sari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu dinamakan pollinosis
Rinitis alergi musiman ini merupakan suatu rino konjungtivitis oleh karena
gejala klinis yang tampak yaitu mata merah, gatal, disertai lakrimasi, sedangkan
gejala pada hidung berupa hidung gatal disertai dengan bersin paroksismal, adanya
sumbatan hidung, rinore yang cair dan banyak, serta kadang-kadang disertai rasa
gatal pada palatum.
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak mukosa hidung pucat
kebiruan (livide) atau hiperemis serta ditemukan eosinofil pada pemeriksaan sekret
hidung.
Terapi yang diberikan yaitu dengan melakukan desensitisasi terhadap
tepung sari, karena alergennya pada penyakit ini jelas.
2. Rinitis Alergi Sepanjang Tahun (Perenial)
Gejala penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi musim,
jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering yaitu alergen
inhalan, terutama pada orang dewasa dan alergen ingestan yang merupakan
penyebab pada anak-anak, biasanya diikuti dengan gejala alergi lainnya seperti
urtikaria, gangguan pencernaan.

Selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh fakor non spesifik pun dapat
memperberat gejala, seperti asap rokok, bau merangsang, perubahan cuaca dan
kelembaban yang tinggi. [3,4]
2.5 Patogenesis
Ketika tubuh kontak pertama dengan alergen, tubuh akan membentuk Ig E spesifik. Ig E
ini menempel pada permukaan sel-sel mediator yaitu mastosit dan basofil yang
mengandung granula. Proses ini disebut proses sensitisasi, yang memerlukan waktu 5
sampai 10 hari dan selanjutnya akan ditemukan adanya sel mediator yang tersensitisasi.
Bila terjadi kontak lagi dengan alergen, maka alergen tersebut akan bereaksi dengan Ig E
yang terdapat pada permukaan sel mediator tadi. Dengan demikian terjadilah degranulasi
sel mediator, yang berakibat pecahnya membran sel mast dan dilepaskannya zat-zat
mediator, seperti histamin, serotonin, bradikinin, Slow Reacting Substance of
Anaphylactic (SRS-A), Eosinopyl Chemotactic of Anaphylactic (ECF-A) dan lain-lain.
Hal ini yang kemudian menimbulkan gejala klinik. [1-5]
Pada rinitis alergi terjadi reaksi hipersensitifitas tipe I (Gell and Coombs type 1
immediate), dimana sel plasma pada jaringan mukosa hidung, dan saluran nafas banyak
memproduksi Ig E. Pada reaksi antigen Ig E antibodi, terjadi pelepasan zat-zat mediator
dari mastosit yang terdapat pada saluran nafas. Pada rinitis alergi, zat mediator yang
berperan utama yaitu histamin dan serotonin. Histamin akan merangsang reseptor III pada
ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin.
Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi
dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
Sel mast juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi
sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Timbulnya gejala hiperaktif atau responsif
hidung adalah akibat peranan dari eosinofil dan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic
Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). [4,5]

2.6 Gejala dan Tanda


Gejala klinis dari rhinitis alergi adalah rhinorea, gatal pada membran mukosa saluran
nafas (hidung), bersin-bersin, sumbatan hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang
disertai dengan banyak keluar air mata (lakrimasi). Gejala yang khas yaitu terdapatnya
serangan bersin berulang. Bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari
atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Bersin adalah proses fisiologik,
yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik bila
terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan. [1,2,]
Tanda-tanda fisik yang sering ditemui juga meliputi perkembangan wajah yang
abnormal, maloklusi gigi, allergic gape (mulut selalu terbuka agar bisa bernafas), allergic
shiners (kulit berwarna kehitaman dibawah kelopak mata bawah), lipatan tranversal pada
hidung (transverse nasal crease), edema konjungtiva, mata gatal dan kemerahan.
Pemeriksaan rongga hidung dengan spekulum sering didapatkan sekret hidung jernih,
membrane mukosa edema, basah dan kebiru-biruan (boggy and bluish).
Seringkali gejala rhinitis alergika yang timbul tidak lengkap, terutama pada anakanak. Pada anak-anak yang berumur kurang dari 2 tahun jarang disebabkan oleh alergen
inhalan, gejala yang timbul pada anak-anak lebih sering disebabkan oleh alergi makanan.
Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya
gejala yang diutarakan pasien. [1,2,5]
Tanda pada rinitis alergi biasanya dapat ditemukan pada pemeriksaan kepala-leher.
Pasien dengan obstruksi jalan nafas dapat menunjukkan open-mouthed adenoid facies.
Gejala spesifik lain pada anak-anak adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah
mata yang terjadi karena statis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut
allergic shiner. Gatal pada mukosa hidung menyebabkan anak menggosok-gosok
hidungnya dengan menggunakan punggung tangan yang disebut allergic salute. Keadaan
menggosok-gosok hidung ini akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum
nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease.
Rhinitis alergi juga sering disertai penyakit alergi lainnya seperti asma, urtikaria,
atau eksim.
2.7 Diagnosis
6

a. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi di hadapan
pemeriksa. Dengan anamnesis 50% diagnosis dapat ditegakkan. Anamnesis dimulai
dengan riwayat penyakit secara umum dan dilanjutkan dengan pertanyaan yang lebih
spesifik meliputi gejala di hidung. Gejala rhinitis alergi yang khas adalah terdapatnya
serangan bersin berulang, rinore yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung
dan mata gatal yang kadang disertai dengan banyaknya air mata yang keluar
(lakrimasi). Pasien juga ditanyakan manifestasi penyakit alergi lain sebelum atau
bersamaan dengan rinitis seperti asma, eksem, urtikaria atau alergi obat. Riwayat
penyakit alergi dalam keluarga. Waktu dalam setahun dimana serangan lebih sering
timbul juga diperlukan dalam mendiagnosa rinitis alergi musiman.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada penderita rinitis alergi memperlihatkan lakrimasi yang
berlebih, sklera dan konjungtiva yang merah, daerah gelap di bawah mata. Pada
pemeriksaan rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, bewarna pucat atau
livid disertai adanya sekret yang encer. Pembengkakan yang sedang sampai nyata dari
konka nasalis yang berwarna kepucatan hingga keunguan.
Tanda spesifik lain yang dapat ditemukan pada anak adalah allergic shiner, allergic
salute, dan allergic crease, serta fascies adenoid. Dinding posterior faring tampak
granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal.
Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue) Keadaan anatomi hidung
lainnya seperti septum nasi dan perhatikan pula adanya polip nasi.
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan sitologi hidung : ditemukan eosinofil dalam jumlah yang banyak


menunjukkan kemungkinan alergi inhalan, basofil (cukup 5 sel/lap) mungkin
alergi makanan, sedangkan sel PMN menunjukkan infeksi bakteri.

Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan
Ig E total sering kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini berguna untuk
prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan
derajat alergi yang tinggi. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu Ig E
spesifik dengan RAST (radio-immunosorbent test) atau ELISA (Enzym-linked
immunosorbent assay test).

Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab. Ada
beberapa cara yitu : uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin
end-point titration-SET), uji cukit (prick test), uji gores (scratch test).

2.8 DIAGNOSIS BANDING


Rinitis alergi perlu dibedakan dengan rinitis non alergi, rinitis akut infeksiosa, dan
common cold.
2.9 PENATALAKSANAAN
Secara garis besar, penatalaksanaan rinitis alergi terdiri dari 3 cara yaitu
menghindari alergen, farmakoterapi, dan imunoterapi. Sedangkan tindakan operasi
kadang diperlukan untuk mengatasi komplikasi seperti sinusitis.
a. Menghindari alergen
Bertujuan mencegah terjadinya kontak antara alergen dengan Ig E
spesifik yang terdapat dipermukaan sel mast atau basofil sehingga degranulasi
tidak terjadi dan gejala dapat dihindarkan. Perjalanan dan beratnya penyakit
berhubungan dengan konsentrasi alergen di lingkungan.
Pencegahan kontak dengan alergen dapat dilakukan dengan menjaga
kebersihan rumah, menghindari penggunaan karpet, memperbaiki ventilasi dan
kelembaban udara.
b. Farmakoterapi
Antihistamin

Sebagai antagonis reseptor H1 yang bekerja secara inhibisi kompetitif


pada reseptor H1 dan merupakan terapi pertama dalam pengobatan rinitis
alergi. Antihistamin dapat mengurangi gejala bersin, rinore, gatal tetapi
mempunyai

efek minimal dan tidak efektif untuk mengatasi sumbatan

hidung. Terdapat banyak macam antihistamin, tetapi secara garis besar


dibedakan atas antihistamin H 1 klasik dan antihistamin H 1 generasi baru.
Dekongestan
Obat-obat dekongestan hidung menyebabkan vasokontriksi karena
efeknya pada reseptor alfa-adrenergik. Berbagai jenis alfa adrenergik agonis
dapat diberikan secara peroral seperti pseudoefedrin, fenilpropanolamin dan
fenilefrin. Obat ini secara primer dapat mengurangi sumbatan hidung dan
efek minimal dalam mengatasi rinore tetapi tidak mempunyai efek terhadap
bersin dan gatal di hidung maupun di mata.
Kombinasi antihistamin dan dekongestan
Kombinasi kedua obat dimaksud mengatasi semua gejala rinitis alergi
termasuk sumbatan hidung yang tidak dapat diatasi bila hanya
menggunakan antihistamin saja.
Kortikosteroid topikal dam sistemik
Kortikosteroid topikal diberikan sebagai terapi pilihan pertama untuk
penderita rinitis alergi dengan gatal sedang sampai berat dengan gejala
persisten (menetap), karena mempunyai efek anti inflamasi yang kuat dan
mempunyai afinitas yang tinggi pada reseptornya.
Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk terapi jangka pendek
pada penderita rinitis alergi berat yang refrakter terhadap terapi pilihan
pertama. Kortikosteroid sistemik mempunyai kerja anti inflamasi yang luas
dan efektif untuk hampir semua gejala rinitis, terutama sumbatan hidung.
Ipratropium bromida

Ipratropium bromida topikal merupakan salah satu preparat pilihan


dalam mengatasi rinitis alergi. Obat ini merupakan preparat antikolinergik
yang dapat mengurangi sekresi (rinore) dengan cara menghambat reseptor
kolinergik tersebut pada permukaan sel reseptor, tetapi tidak ada efek untuk
mengatasi gejala lainnya. Preparat ini berguna pada rinitis alergi dengan
rinore yang tidak dapat diatasi dengan kortikosteroid intranasal maupun
dengan antihistamin.
Sodium kromoglikat intranasal
Obat ini mempunyai efek untuk mengatasi bersin, rinore dan gatal pada
hidung dan mata bila digunakan 4 kali sehari. Preparat ini bekerja dengan
cara menstabilkan membran mastosit dengan menghambat influks ion
kalsium sehingga pelepasan mediator tidak terjadi. Selain itu obat ini
bekerja pada respon fase lambat rinitis alergi dengan menghambat proses
inflamasi terhadap aktivasi sel eosinofil.
c. Imunoterapi
Imunoterapi dilakukan atau diberikan pada penderita rinitis alergi yang tidak
ada respon terhadap farmakoterapi, bila penghindaran terhadap alergen tidak
dilakukan atau bila terdapat efek samping dari pemakaian obat.
Prosedur ini berupa penyuntikan alergen penyebab secara bertahap dengan
dosis yang makin meningkat guna menginduksi toleransi pada penderita alergi.
Imunoterapi akan meningkatkan sel Th 1 dalam memproduksi IFN,
sehingga aktifitas sel B akan terhambat dan selanjutnya pembentukan Ig E
akan tertahan. Selain itu imunoterapi akan menurunkan produksi molekul
inflamasi seperti IL-4, IL-5, PAF, ICAM, dan akumulasi sel eosinofil.
d. Operatif
Pada hipertrofi konka inferior yang sudah berat, kauterasi dengan AgNO3 25 %
atau trikloroaseatat tidak menolong. Maka dalam hal ini tindakan konkotomi
(pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan.

10

2.10 KOMPLIKASI
Komplikasi rinitis alergi yang sering adalah:
a. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para
nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang
menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan
tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan
bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi
barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa
yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah
(Durham, 2006).
b. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands,
akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan
limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia
skuamosa.
c. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak
Komplikasi sinusitis paranasal dan polip hidung bukanlah merupakan akibat
langsung dari rinitis alergi, tetapi karena adanya sumbatan hidung sehingga
menghambat drainase.

11

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Penderita
Nama

: Ni Putu Dian Anggasari

Umur

: 21 tahun-9 bulan-22 hari

Jenis Kelamin

: Perempuan

Pekerjaaan

: Mahasiswa

Suku Bangsa

: Bali

Agama

: Hindu

Alamat

: Br. Kedampal Abiansemal Badung

Tanggal Pemeriksaan

: 19 Juli 2016

3.2 Anamnesa
Keluhan Utama: Bersin-bersin sejak kemarin
Riwayat Penyakit Sekarang:
Penderita datang ke poliklinik THT RSUD Badung dengan keluhan bersin-bersin
sejak kemarin, bersin lebih dari 5 kali sehari setiap keluhan muncul, terutama saat
pagi hari dan saat terpapar debu. Saat bersin-bersin disertai dengan keluhan keluar
ingus/cairan bening, encer, dan menghilang pada saat siang hari. Pasien juga
mengeluhkan adanya hidung gatal, mata berair, dan hidung tersumbat.
Tidak ada keluhan nyeri kepala maupun nyeri pada daerah pipi. Riwayat demam
dan sakit menelan disangkal.

Riwayat Penyakit Terdahulu:


Pasien memiliki riwayat asma dan mengaku keluhan seperti ini sering timbul
bersamaan dengan kambuhnya asma. Riwayat alergi terhadap obat dan makanan

12

disangkal oleh pasien. Terdapat riwayat Atopi pada keluarga, yaitu neneknya
menderita asma. Riwayat penyakit sistemik disangkal oleh pasien.
Riwayat Pengobatan: Pasien telah meminum Antihitamin namun tidak membaik
Riwayat Penyakit Keluarga:
terdapat keluarga yang mengalami keluhan yang sama,yaitu nenek pasien memiliki
riwayat penyakit asma.
Riwayat Sosial:
Pasien adalah seorang mahasiswa. Ventilasi di rumah pasien cukup baik. Pasien
menggunakan kipas angin dan jarang membersihkannya, seringkali ketika pasien
menyapu rumah timbul keluhan bersin-bersin.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Present :
Kesadaran

: Compos mentis

Tekanan darah: 120/80


Nadi

: 80 x/ menit

Respirasi

: 20 x/ menit

Temp. Axila : 36,5oC


Status General :
Kepala

: Normocephali

Mata

: anemis -/-, ikterus -/-, reflex pupil +/+ isokor

THT

: Sesuai status lokalis

Leher

: Pembesaran kelenjar limfe (-/-)


Pembesaran kelenjar parotis (-/-)
Kelenjar tiroid (-)

Thorak

: Cor

: S1 S2 tunggal murmur (-)

Pulmo : Vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonki -/Abdomen

: Bising usus (+) normal, distensi (-), H/L tidak teraba

Ekstremitas

: hangat (+), edema (-)

Status Lokal
13

Telinga

Daun telinga
Nyeri tekan tragus
Nyeri tarik aurikuler
Liang telinga
Sekret
Membran timpani
Tumor
Mastoid

Kanan
N
Tidak ada
Tidak ada
Lapang
Tidak ada
Intak
N

Kiri
N
Tidak ada
Tidak ada
Lapang
Tidak ada
Intak
N

Tes Pendengaran :
Kanan
TDE
TDE
TDE

Weber
Rinne
Schwabach

Kiri
TDE
TDE
TDE

Hidung
Hidung luar
Cavum nasi
Septum
Discharge
Mukosa
Tumor
Konka

Kanan
Normal
Lapang
Tidak ada deviasi
Serus
Pucat (+)
Dekongesti (+)

14

Kiri
Normal
Lapang
Tidak ada deviasi
Serus
Pucat (+)
Dekongesti (+)

Tenggorokan
Dyspneau

: tidak ada

Sianosis

: tidak ada

Stridor

: tidak ada

Mukosa

: merah muda

Suara

: Normal

Tonsil

: T1/T1, Hiperemis ( - ), permukaan rata

Laring

: Normal

3.4 Resume
Pasien perempuan, 21 tahun, mengeluh bersin-bersin sejak kemarin, bersin
lebih dari 5 kali sehari setiap keluhan muncul, terutama saat pagi hari. Keluhan
dirasakan bertambah berat bila terpapar debu. Saat bersin-bersin disertai dengan
keluhan keluar ingus/cairan bening, encer dan keluar terus menerus. Tidak ada
keluhan nyeri kepala maupun nyeri pada daerah pipi. Riwayat demam dan sakit
menelan disangkal. Pasien memiliki riwayat asma dan mengaku keluhan seperti ini
sering timbul bersamaan dengan kambuhnya asma. Riwayat alergi terhadap obat dan
makanan disangkal oleh pasien. Riwayat Atopi pada keluarga disangkal. Riwayat
penyakit sistemik disangkal oleh pasien.
Dari hasil pemeriksaan keadaan umum pasien Nampak baik. Hasil
pemeriksaan hidung terdapat dekongesti konka pada kedua hidung, mukosa pucat
pada kedua hidung, dan terdapat discharge serus pada kedua hidung. Pemeriksaan
pada telinga kanan dan kiri ditemukan dalam batas normal. Pemeriksaan tenggorokan
dalam batas normal.
3.5 Diagnosa Kerja
Rinitis Alergi
3.6 Penatalaksanaan
a. KIE

15

3.5 Hindari kontak dengan alergen yang diduga sebagai penyebab, terutama
yang sering kontak adalah debu rumah dengan cara membersihkan
rumah secara teratur dengan masker. Penderita disarankan juga memakai
pakaian hangat pada udara dingin dan bila bepergian jauh.
3.6 Untuk meningkatkan daya tahan tubuh penderita disarankan untuk
berolahraga teratur, makan makanan bergizi dan istirahat yang cukup.
b. Medikamentosa
1. Triamcinolone acetonide spray 2 x 2 semprot pada kedua hidung
3.7

Prognosis
Ad Vitam

: Bonam

Ad Functionam

: Bonam

Ad Sanationam

: Bonam

16

BAB IV
PEMBAHASAN
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut. Gejala rhinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin
berulang, rinore yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal yang
kadang disertai dengan banyaknya air mata yang keluar (lakrimasi). Pasien juga
ditanyakan manifestasi penyakit alergi lain sebelum atau bersamaan dengan rinitis seperti
asma, eksem, urtikaria atau alergi obat.
Pada kasus ini, didapatkan pasien usia 21 tahun perempuan dengan diagnosis
rhinitis alergi. Tahap awal dalam penentuan diagnosis adalah dari riwayat sakit pasien
melalui anamnesis. Pasien datang dengan keluhan bersin-bersin sejak kemarin, bersin
lebih dari 5 kali sehari setiap keluhan muncul, terutama saat pagi hari. Keluhan dirasakan
bertambah berat bila terpapar debu. Saat bersin-bersin disertai dengan keluhan keluar
ingus/cairan bening, encer dan keluar terus menerus. Tidak ada keluhan nyeri kepala
maupun nyeri pada daerah pipi. Riwayat demam dan sakit menelan disangkal. Pasien
memiliki riwayat asma dan mengaku keluhan seperti ini sering timbul bersamaan dengan
kambuhnya asma. Riwayat alergi terhadap obat dan makanan disangkal oleh pasien.
Riwayat Atopi pada keluarga disangkal. Riwayat penyakit sistemik disangkal oleh pasien.
Dari anamnesis yang didapatkan gejala pada pasien sesuai dengan gejala yang
umumnya terdapat pada pasien rhinitis alergi. Faktor risiko pada pasien ini adalah pasien
mempunyai riwayat penyakit asma, dimana apabila penyakit asma dari pasien kambuh
maka akan diikuti dengan munculnya rhinitis alergi. Terdapat berbagai pemicu yang bisa
berperan atau memperberat rhinitis alergi yaitu debu, asap rokok, polusi udara, bau aroma

17

yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca. Pada pasien ini keluhan timbul pada
pagi hari, cuaca dingin, dan bertambah berat bila pasien terpapar debu.
Pada pemeriksaan fisik pasien ini didapatkan dekongesti konka, mukosa pucat,
serta terdapat discharge serus. Hal ini sesuai dengan temuan pemeriksaan fisik pada
pasien rhinitis alergi dimana biasanya pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak
mukosa edema, basah, bewarna pucat atau livid disertai adanya sekret yang encer.
Pembengkakan yang sedang sampai nyata dari konka nasalis yang berwarna kepucatan
hingga keunguan.
Gejala-gejala pada rhinitis alergi timbul karena histamin akan merangsang
reseptor III pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan
bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet
mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore
(keluar ingus/pilek encer). Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi
sinusoid. Timbulnya gejala hiperaktif atau responsif hidung adalah akibat peranan dari
eosinofil dan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein
(ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan
Eosinophilic Peroxidase (EP).
Penatalaksanaan pada pasien ini

18

BAB V
KESIMPULAN
Rinitis alergi merupakan proses inflamasi mukosa hidung dengan sekumpulan gejala
terdiri dari bersin, hidung tersumbat, gatal pada hidung, dan keluar cairan dari hidung.
Penyakit ini timbul pada semua golongan umur, tetapi frekuensi terbanyak yaitu anakanak dan dewasa muda.
Penyebab rinitis alergi adalah semua zat yang berperan sebagai alergen pada
seorang individu. Zat-zat yang menimbulkan alergi pada seorang penderita belum tentu
menimbulkan alergi pada orang lain. Selain itu, macam alergen dapat merangsang lebih
dari satu macam organ.
Mekanisme terjadinya rinitis alergi merupakan reaksi antigen antibodi pada kontak
kedua menyebabkan terjadinya degranulasi sel mediator, yang berakibat terlepasnya zatzat mediator terutama histamin. Hal ini menimbulkan gejala klinik. Ada 2 macam rinitis
alergi yaitu rinitis alergi musiman dan rinitis alergi sepanjang tahun. Gejala kedua rinitis
ini hamper sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya.
Diagnosa berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik yaitu pemeriksaan rinoskopi
anterior tampak mukosa edema,basah, berwarna pucat, atau livid disertai adanya sekret
yang encer dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan sitologi hidung, hitung
eosinofil, Ig E total Ig E spesifik dengan RAST atau ELISA serta pemeriksaan in vivo
dengan uji kulit.
Penatalaksanaan rinitis alergi secara garis besar terdiri dari tiga cara yaitu
menghindari atau eliminasi alergen dengan cara edukasi, farmakoterapi, dan imunoterapi.

19

DAFTAR PUSTAKA
1. Blumenthal M. N. Kelainan Alergi Pada Pasien THT. dalam BOIES : Buku
Ajar Penyakit THT ( Boies Fundamental of Otolaringology) editor Adams G.
L. et al, penerbit EGC, Jakarta, 1997, hal 190-200.
2. Baratawidjaja K., Rhinitis Alergi : Patofisiologi Dan Beberapa Pendekatan
Klinis, dalam Simposium Sehari Inovasi Teknologi di Era Millenium Dalam
Terapi Klinis Alergi, Hotel Millenium Sirih, Jakarta, 2001
3. Lanny J Rosenwasser. Treatment of Allergic Rhinitis. American Journal of
Medicine. Vol 113. Excerpta medica. 2002
4. Suprihati, Manajemen Rinitis Alergi Terkini Berdasarkan ARIA WHO, dalam
Simposium Sehari Inovasi Teknologi di Era Millenium Dalam Terapi Klinis
Alergi, Hotel Millenium Sirih, Jakarta, 2001
5. Kasakeyan E., Rusmono N., Alergi Hidung dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Telinga Hidung Tenggorokan, editor Soepardi E. A. et al, Balai Penerbitan
FKUI, Jakarta, 1997, hal 102-106.

20

Anda mungkin juga menyukai