Anda di halaman 1dari 17

RHINITIS ALERGI

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Farmakoterapi

Dosen Pengampu:

Al-Ustadz Apt. Amal Fadholah, S.Si., M.Si.

Disusun Oleh :

Aulia Rahma Dewi / NIM : 402019718006


Amanda Rifda / NIM : 402019718036
Ani Alfita / NIM : 402019718037

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR

1441/2021

1
RHINITIS ALERGIKA

A. DEFINISI

Rinitis Alergika secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi hidung,


terjadi setelah paparan alergen melalui peradangan mukosa hidung yang diperantarai
IgE. Respons hidung terhadap stimuli dari luar diperankan pertama-tama oleh mukosa
kemudian baru oleh bentuk anatomi tulang. Fungsi utama hidung adalah untuk
saluran udara, penciuman, humidifikasi udara yang dihirup, melindungi saluran napas
bawah dengan cara filtrasi partikel, transport oleh silia mukosa, mikrobisidal,
antivirus, imunologik, dan resonan suara. Reaksi mukosa hidung akan menimbulkan
gejala obstruksi aliran udara, sekresi, bersin, dan rasa gatal. Bila tidak terdapat
deformitas tulang hidung maka sumbatan hidung disebabkan oleh pembengkakan
mukosa dan sekret yang kental. Penelitian epidemiologik memperlihatkan bahwa
penyakit alergi dapat diobservasi mulai dari waktu lahir sampai kematian. Sesuai
dengan umur penderita, dapat dibedakan penampakan dan lokalisasi jenis alergi.

B. KLASIFIKASI
Berdasarkan waktunya, ada 3 golongan rhinitis alergi :
• Seasonal allergic rhinitis (SAR)  terjadi pada waktu yang sama setiap
tahunnya musim bunga, banyak serbuk sari beterbangan
• Perrenial allergic rhinitis (PAR) terjadi setiap saat dalam setahun 
penyebab utama: debu, animal dander, jamur, kecoa
• Occupational allergic rhinitis  terkait dengan pekerjaan

2
Klasifikasi rhinitis alergi menurut guideline ARIA (2001)

C. PATOFISIOLOGI
Gejala rinitis alergik dapat dicetuskan oleh berbagai faktor, diantaranya
adalah pajanan udara dingin, debu, uap, bau cat, polusi udara, tinta cetak, bau
masakan, bubuk detergen, serta bau minuman beralkohol. Umumnya faktor pencetus
ini berupa iritan non spesifik.
Alergen penyebab pada bayi dan anak sering disebabkan oleh makanan
alergen ingestan, sedangkan alergen inhalan lebih berperan dengan bertambahnya
usia. Manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas tipe I pada telinga, hidung dan
tenggorok anak menjelang usia 4 tahun jarang ditemukan.
Gejala rinitis alergika dapat dicetuskan oleh beberapa faktor :
 Alergen, Alergen hirupan merupakan alergen terbanyak penyebab serangan
gejala rinitis alergika. Tungau debu rumah, bulu hewan, dan tepung sari
merupakan alergen hirupan utama penyebab rinitis alergika dengan
bertambahnya usia, sedang pada bayi dan balita, makanan masih merupakan
penyebab yang penting.
 Polutan, Fakta epidemiologi menunjukkan bahwa polutan memperberat
rinitis. Polusi dalam ruangan terutama gas dan asap rokok, sedangkan polutan
3
di luar termasuk gas buang disel, karbon oksida, nitrogen, dan sulfur dioksida.
Mekanisme terjadinya rinitis oleh polutan akhir-akhir ini telah diketahui lebih
jelas.
 Aspirin, Aspirin dan obat anti inflamasi non steroid dapat mencetuskan rinitis
alergika pada penderita tertentu.

Manifestasi alergi pada hidung paling sering terjadi dibandingkan dengan


organ lain, karena fungsi hidung sebagai penyaring partikel dan alergen hirup untuk
melindungi saluran pernapasan bagian bawah. Partikel yang terjaring di hidung akan
dibersihkan oleh sistem mukosilia.
Histamin merupakan mediator penting pada gejala alergi di hidung. Hal ini
berbeda dengan alergi saluran napas bagian bawah (lihat bab tentang asma bronkial
dan reaksi hipersensitivitas). Histamin bekerja langsung pada reseptor histamin
selular, dan secara tidak langsung melalui refleks yang berperan pada bersin dan
hipersekresi. Melalui sistem saraf otonom, histamin menimbulkan gejala bersin dan
gatal, serta vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang menimbulkan
gejala beringus encer (watery rhinorrhoe) dan edema lokal. Reaksi ini timbul segera
setelah beberapa menit pasca pajanan alergen.
Refleks bersin dan hipersekresi sebetulnya adalah refleks fisiologik yang
berfungsi protektif terhadap antigen yang masuk melalui hidung. Iritasi sedikit saja
pada daerah mukosa dapat seketika menimbulkan respons hebat di seluruh mukosa
hidung. Newly formed mediator adalah mediator yang dilepas setelah terlepasnya
histamin, misalnya leukotrien (LTB4, LTC4), prostaglandin (PGD2), dan PAF. Efek
mediator ini menyebabkan vasodilatasi dan meningkatnya permeabilitas vaskular
sehingga menyebabkan gejala hidung tersumbat (nasal blockage), meningkatnya
sekresi kelenjar sehingga menimbulkan gejala beringus kental (mucous rhinorrhoe).
Kurang lebih 50% rinitis alergik merupakan manifestasi reaksi
hipersensitivitas tipe I fase lambat. Gejala baru timbul setelah 4-6 jam pasca pajanan
alergen akibat reaksi inflamasi jaringan yang berkepanjangan. Prostaglandin (PGD2)
banyak terdapat di sekret hidung ketika terjadi fase cepat, tetapi tidak terdapat pada

4
fase lambat, karena mediator ini banyak dihasilkan oleh sel mast. Fase cepat
diperankan oleh sel mast dan basofil, sedangkan fase lambat lebih diperankan oleh
basofil.
Gejala rinitis alergik fase lambat seperti hidung tersumbat, kurangnya
penciuman, dan hiperreaktivitas lebih diperankan oleh eosinofil. Mekanisme
eosinofilia lokal pada hidung masih belum sepenuhnya dimengerti. Beberapa teori
mekanisme terjadinya eosinofilia antara lain teori meningkatnya kemotaksis, ekspresi
molekul adhesi atau bertambah lamanya hidup eosinofil dalam jaringan.
Sejumlah mediator peptida (sitokin) berperan dalam proses terjadinya
eosinofilia. Sitokin biasanya diproduksi oleh limfosit T, tapi dapat juga oleh sel mast,
basofil, makrofag, dan epitel. IL-4 berperan merangsang sel limfosit B melakukan
isotype switch untuk memproduksi IgE, di samping berperan juga meningkatkan
ekspresi molekul adhesi pada epitel vaskuler (VCAM-1) yang secara selektif
mendatangkan eosinofil ke jaringan. IL-3 berperan merangsang pematangan sel mast.
IL-5 berperan secara selektif untuk diferensiasi dan pematangan eosinofil dalam
sumsum tulang, mengaktifkan eosinofil untuk melepaskan mediator, dan
memperlama hidup eosinofil dalam jaringan. Akibat meningkatnya eosinofil dalam
jaringan maka terjadilah proses yang berkepanjangan dengan keluhan hidung
tersumbat, hilangnya penciuman, dan hiperreaktivitas hidung.
Secara klasik rinitis alergika dianggap sebagai inflamasi nasal yang terjadi
dengan perantaraan IgE. Pada pemeriksaan patologi, ditemukan infiltrat inflamasi
yang terdiri atas berbagai macam sel. Pada rinitis alergika selain granulosit,
perubahan kualitatif monosit merupakan hal penting dan ternyata IgE rupanya tidak
saja diproduksi lokal pada mukosa hidung. Tetapi terjadi respons selular yang
meliputi: kemotaksis, pergerakan selektif dan migrasi sel-sel transendotel. Pelepasan
sitokin dan kemokin antara lain IL-8, IL-13, eotaxin dan RANTES berpengaruh pada
penarikan sel-sel radang yang selanjutnya menyebabkan inflamasi alergi.
Aktivasi dan deferensiasi bermacam-macam tipe sel termasuk: eosinofil, sel
CD4+T, sel mast, dan sel epitel. Alergen menginduksi Sel Th-2, selanjutnya terjadi
peningkatan ekspresi sitokin termasuk di dalamnya adalah IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-
5
10 yang merangsang IgE, dan sel Mast. Selanjutnya sel Mast menghasilkan IL-4, IL-
5, IL-6, dan tryptase pada epitel. Mediator dan sitokin akan mengadakan upregulasi
ICAM-1. Khemoattractant IL-5 dan RANTES menyebabkan infiltrasi eosinofil,
basofil, sel Th-2, dan sel Mast. Perpanjangan masa hidup sel terutama dipengaruhi
oleh IL-5.
Pelepasan mediator oleh sel-sel yang diaktifkan, di antaranya histamin dan
cystenil-leukotrien yang merupakan mediator utama dalam rinitis alergika
menyebabkan gejala rinorea, gatal, dan buntu. Penyusupan eosinofil menyebabkan
kerusakan mukosa sehingga memungkinkan terjadinya iritasi langsung polutan dan
alergen pada syaraf parasimpatik, bersama mediator Eosinophil Derivative
Neurotoxin (EDN) dan histamin menyebabkan gejala bersin.
Terdapat hubungan antara system imun dan sumsum tulang. Fakta ini
membuktikan bahwa epitel mukosa hidung memproduksi Stem Cell Factor (SCF) dan
berperan dalam atraksi, proliferasi, dan aktivasi sel Mast dalam inflamasi alergi pada
mukosa hidung. Hipereaktivitas nasal merupakan akibat dari respons imun di atas,
merupakan tanda penting rinitis alergika.

D. TANDA DAN GEJALA KLINIS

Manifestasi utama adalah rinorea, gatal hidung, bersin-bersin dan sumbatan


hidung. Pembagian rinitis alergika sebelum ini menggunakan kriteria waktu pajanan
menjadi rinitis musiman (seasonal allergic rhinitis), sepanjang tahun (perenial
allergic rhinitis), dan akibat kerja (occupational allergic rhinitis). Gejala rinitis
sangat mempengaruhi kualitas hidup penderita. Tanda-tanda fisik yang sering ditemui
juga meliputi perkembangan wajah yang abnormal, maloklusi gigi, allergic gape
(mulut selalu terbuka agar bisa bernafas), allergic shiners (kulit berwarna kehitaman
dibawah kelopak mata bawah), lipatan tranversal pada hidung (transverse nasal
crease), edema konjungtiva, mata gatal dan kemerahan. Pemeriksaan rongga hidung
dengan spekulum sering didapatkan sekret hidung jernih, membrane mukosa edema,
basah dan kebiru-biruan (boggy and bluish).

6
Pada anak kualitas hidup yang dipengaruhi antara lain kesulitan belajar dan
masalah sekolah, kesulitan integrasi dengan teman sebaya, kecemasan, dan disfungsi
keluarga. Kualitas hidup ini akan diperburuk dengan adanya ko-morbiditas.
Pengobatan rinitis juga mempengaruhi kualitas hidup baik positif maupun negatif.
Sedatif antihistamin memperburuk kualitas hidup, sedangkan non sedatif antihistamin
berpengaruh positif terhadap kualitas hidup. Pembagian lain yang lebih banyak
diterima adalah dengan menggunakan parameter gejala dan kualitas hidup, menjadi
intermiten ringan-sedang-berat, dan persisten ringan-sedang-berat.
Manifestasi klinis rinitis alergik baru ditemukan pada anak berusia di atas 4-5
tahun dan insidensnya akan meningkat secara progresif dan akan mencapai 10-15%
pada usia dewasa. Manifestasi gejala klinis rinitis alergik yang khas ditemukan pada
orang dewasa dan dewasa muda. Pada anak manifestasi alergi dapat berupa
rinosinusitis berulang, adenoiditis, otitis media, dan tonsilitis.
Sesuai dengan patogenesisnya, gejala rinitis alergik dapat berupa rasa gatal di
hidung dan mata, bersin, sekresi hidung, hidung tersumbat, dan bernapas melalui
mulut. Sekret hidung dapat keluar melalui lubang hidung atau berupa post nasal drip
yang ditelan. Hidung tersumbat dapat terjadi bilateral, unilateral atau bergantian.
Gejala bernapas melalui mulut sering terjadi pada malam hari yang dapat
menimbulkan gejala tenggorokan kering, mengorok, gangguan tidur, serta gejala
kelelahan pada siang hari. Gejala lain dapat berupa suara sengau, gangguan
penciuman dan pengecapan, dan gejala sinusitis. Gejala kombinasi bersin, ingusan,
serta hidung tersumbat adalah gejala yang paling dirasakan mengganggu dan
menjengkelkan.
Anak yang menderita rinitis alergik kronik dapat mempunyai bentuk wajah
yang khas. Sering didapatkan warna gelap (dark circle atau shiners) serta bengkak
(bags) di bawah mata. Bila terdapat gejala hidung tersumbat yang berat pada anak,
sering terlihat mulut selalu terbuka yang disebut sebagai adenoid face. Keadaan ini
memudahkan timbulnya gejala lengkung palatum yang tinggi, overbite serta
maloklusi. Anak yang sering menggosok hidung karena rasa gatal menunjukkan
tanda yang disebut allergic salute.
7
Menurut saat timbulnya, maka rinitis alergik dapat dibagi menjadi rinitis
alergik intermiten (seasonal-acute-occasional allergic rhinitis) dan rinitis alergik
persisten (perennial-chronic-long duration rhinitis).
1. Rinitis alergik intermiten
Rinitis alergik intermiten mempunyai gejala yang hilang timbul, yang
hanya berlangsung selama kurang dari 4 hari dalam seminggu atau kurang
dari empat minggu. Rinitis alergik musiman yang sering juga disebut hay
fever disebabkan oleh alergi terhadap serbuk bunga (pollen), biasanya terdapat
di negara dengan 4 musim. Terdapat 3 kelompok alergen serbuk bunga yaitu:
tree, grass serta weed yang tiap kelompok ini berturut-turut terdapat pada
musim semi, musim panas dan musim gugur.
Penyakit ini sering terjadi yaitu pada sekitar 10% populasi, biasanya
mulai masa anak dan paling sering pada dewasa muda yang meningkat sesuai
bertambahnya umur dan menjadi masalah pada usia tua. Gejala berupa rasa
gatal pada mata, hidung dan tenggorokan disertai bersin berulang, ingus encer
dan hidung tersumbat. Gejala asma dapat terjadi pada puncak musim. Gejala
ini akan memburuk pada keadaan udara kering, sinar matahari, serta di daerah
pedesaan.
2. Rinitis alergik persisten
Rinitis alergik persisten mempunyai gejala yang berlangsung lebih
dari 4 hari dalam seminggu dan lebih dari 4 minggu. Gejala rinitis alergik ini
dapat terjadi sepanjang tahun, penyebabnya terkadang sama dengan rinitis non
alergik. Gejalanya sering timbul, akan tetapi hanya sekitar 2-4 % populasi
yang mengalami gejala yang berarti. Rinitis alergik biasanya mulai timbul
pada masa anak, sedangkan rinitis non alergik pada usia dewasa. Alergi
terhadap tungau debu rumah merupakan penyebab yang penting, sedangkan
jamur sering pada pasien yang disertai gejala asma dan kadang alergi terhadap
bulu binatang. Alergen makanan juga dapat menimbulkan rinitis tetapi masih
merupakan kontroversi. Pada orang dewasa sebagian besar tidak diketahui
sebabnya.
8
Gejala rinitis persisten hampir sama dengan gejala hay fever tetapi
gejala gatal kurang, yang mencolok adalah gejala hidung tersumbat. Semua
penderita dengan gejala menahun dapat bereaksi terhadap stimulus
nonspesifik dan iritan.
Sedangkan klasifikasi rinitis alergik yang baru menurut ARIA terdapat
dua jenis sesuai dengan derajat beratnya penyakit. Rinitis alergik dibagi
menjadi rinitis alergik ringan (mild) dan rinitis alergik sedang-berat
(moderate-severe). Pada rinitis alergik ringan, pasien dapat melakukan
aktivitas sehari-harinya (seperti bersekolah, bekerja, berolahraga) dengan
baik, tidur tidak terganggu, dan tidak ada gejala yang berat. Sebaliknya pada
rinitis alergik sedang-berat, aktivitas sehari-hari pasien tidak dapat berjalan
dengan baik, tidur terganggu, dan terdapat gejala yang berat.

E. DIAGNOSA
Diagnosis rinitis alergika berdasarkan pada keluhan penyakit, tanda fisik dan
uji laboratorium. Keluhan pilek berulang atau menetap pada penderita dengan riwayat
keluarga atopi atau bila ada keluhan tersebut tanpa adanya infeksi saluran nafas atas
merupakan kunci penting dalam membuat diagnosis rinitis alergika. Pemeriksaan
fisik meliputi gejala utama dan gejala minor. Uji laboratorium yang penting adalah
pemeriksaan in vivo dengan uji kulit goresan, IgE total, IgE spesifik, dan
pemeriksaan eosinofil pada hapusan mukosa hidung. Uji Provokasi nasal masih
terbatas pada bidang penelitian.
Riwayat atopi dalam keluarga merupakan faktor predisposisi rinitis alergik
yang terpenting pada anak. Pada anak terdapat tanda karakteristik pada muka seperti
allergic salute, allergic crease, Dennie’s line, allergic shiner dan allergic face seperti
telah diuraikan di atas, namun demikian tidak satu pun yang patognomonik.
Pemeriksaan THT dapat dilakukan dengan menggunakan rinoskopi kaku atau
fleksibel, sekaligus juga dapat menyingkirkan kelainan seperti infeksi, polip nasal
atau tumor. Pada rinitis alergik ditemukan tanda klasik yaitu mukosa edema dan pucat
kebiruan dengan ingus encer. Tanda ini hanya ditemukan pada pasien yang sedang
9
dalam serangan. Tanda lain yang mungkin ditemukan adalah otitis media serosa atau
hipertrofi adenoid.
Meskipun tes kulit dapat dilakukan pada semua anak tetapi tes kulit kurang
bermakna pada anak berusia di bawah 3 tahun. Alergen penyebab yang sering adalah
inhalan seperti tungau debu rumah, jamur, debu rumah, dan serpihan binatang
piaraan, walaupun alergen makanan juga dapat sebagai penyebab terutama pada bayi.
Susu sapi sering menjadi penyebab walaupun uji kulit sering hasilnya negatif. Uji
provokasi hidung jarang dilakukan pada anak karena pemeriksaan ini tidak
menyenangkan.
Pemeriksaan sekret hidung dilakukan untuk mendapatkan sel eosinofil yang
meningkat >3% kecuali pada saat infeksi sekunder maka sel neutrofil segmen akan
lebih dominan. Gambaran sitologi sekret hidung yang memperlihatkan banyak sel
basofil, eosinofil, juga terdapat pada rinitis eosinofilia nonalergik dan mastositosis
hidung primer.

F. DIAGNOSA BANDING

Rinitis alergika harus dibedakan dengan :


1. Rinitis vasomotorik
2. Rinitis bakterial
3. Rinitis virus

G. KOMPLIKASI
 Sinusitis kronis (tersering)
 Poliposis nasal
 Sinusitis dengan trias asma (asma, sinusitis dengan poliposis nasal dan
sensitive terhadap aspirin)
 Asma
 Obstruksi tuba Eustachian dan efusi telingah bagian tengah
 Hipertyopi tonsil dan adenoid

10
 Gangguan kognitif

H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan rinitis alergika meliputi edukasi, penghindaran alergen,
farmakoterapi dan imunoterapi. Intervensi tunggal mungkin tidak cukup dalam
penatalaksanaan rinitis alergika, penghindaran alergen hendaknya merupakan bagian
terpadu dari strategi penatalaksanaan, terutama bila alergen penyebab dapat
diidentifikasi. Edukasi sebaiknya selalu diberikan berkenaan dengan penyakit yang
kronis, yang berdasarkan kelainan atopi, pengobatan memerlukan waktu yang lama
dan pendidikan penggunaan obat harus benar terutama jika harus menggunakan
kortikosteroid hirupan atau semprotan. Imunoterapi sangat efektif bila penyebabnya
adalah alergen hirupan. Farmakoterapi hendaknya mempertimbangkan keamanan
obat, efektifitas, dan kemudahan pemberian. Farmakoterapi masih merupakan
andalan utama sehubungan dengan kronisitas penyakit. Tabel 3 menunjukkan obat-
obat yang biasanya dipakai baik tunggal maupun dalam kombinasi. Kombinasi yang
sering dipakai adalah antihistamin H1 dengan dekongestan.
Pemilihan obat-obatan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal
antara lain:
1. Obat-obat yang tidak memiliki efek jangka panjang.
2. Tidak menimbulkan takifilaksis.
3. Beberapa studi menemukan efektifitas kortikosteroid intranasal. Meskipun
demikian pilihan terapi harus dipertimbangkan dengan kriteria yang lain.
4. Kortikosteroid intramuskuler dan intranasal tidak dianjurkan sehubungan
dengan adanya efek samping sistemik.
5. Jenis obat dan efek terapetik.

Jenis obat Bersin Rinorea Buntu Gatal hidung Keluhan mata


Antihistamin H1OralIntranasal ++++ ++++ ++ +++++ ++0

Intraokuler 0 0 0 0 +++

11
Kortikosteroid intranasal +++ +++ +++ ++ ++
KromolinIntranasalIntraokuler +0 +9 +0 +0 0++
DekongestanIntranasalOral 00 00 ++++ 00 00
Antikolinergik 0 ++ 0 0 0
Antilekotrien 9 + ++ 0 ++

Penatalaksanaan rinitis alergik pada anak terutama dilakukan dengan


penghindaran alergen penyebab dan kontrol lingkungan. Medikamentosa diberikan
bila perlu, dengan antihistamin oral sebagai obat pilihan utama. Imunoterapi pada
anak diberikan secara selektif dengan tujuan pencegahan. Jenis-jenis terapi
medikamentosa akan diuraikan di bawah ini:
 Antihistamin-H1 oral
Antihistamin-H1 oral bekerja dengan memblok reseptor H1 sehingga
mempunyai aktivitas anti alergi. Obat ini tidak menyebabkan takifilaksis.
Antihistamin-H1 oral dibagi menjadi generasi pertama dan kedua. Generasi
pertama antara lain klorfeniramin dan difenhidramin, sedangkan generasi
kedua yaitu setirizin/levosetirizin dan loratadin/desloratadin.
Generasi terbaru antihistamin-H1 oral dianggap lebih baik karena
mempunyai rasio efektifitas/keamanan dan farmakokinetik yang baik, dapat
diminum sekali sehari, serta bekerja cepat (kurang dari 1 jam) dalam
mengurangi gejala hidung dan mata, namun obat generasi terbaru ini kurang
efektif dalam mengatasi kongesti hidung.
Efek samping antihistamin-H1 generasi pertama yaitu sedasi dan efek
antikolinergik. Sedangkan antihistamin-H1 generasi kedua sebagian besar
tidak menimbulkan sedasi, serta tidak mempunyai efek antikolinergik atau
kardiotoksisitas.
 Antihistamin-H1 lokal
Antihistamin-H1 lokal (misalnya azelastin dan levokobastin) juga bekerja
dengan memblok reseptor H1. Azelastin mempunyai beberapa aktivitas anti
alergik. Antihistamin-H1 lokal bekerja sangat cepat (kurang dari 30 menit)
12
dalam mengatasi gejala hidung atau mata. Efek samping obat ini relatif
ringan. Azelastin memberikan rasa pahit pada sebagian pasien.
 Kortikosteroid intranasal
Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonid,
flunisolid, flutikason, mometason, dan triamsinolon) dapat mengurangi
hiperreaktivitas dan inflamasi nasal. Obat ini merupakan terapi
medikamentosa yang paling efektif bagi rinitis alergik dan efektif terhadap
kongesti hidung. Efeknya akan terlihat setelah 6-12 jam, dan efek maksimal
terlihat setelah beberapa hari.
Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih banyak
dipertentangkan karena efek sistemik pemakaian lama dan efek lokal obat ini.
Namun belum ada laporan tentang efek samping setelah pemberian
kortikosteroid topikal hidung jangka panjang. Dosis steroid topikal hidung
dapat diberikan dengan dosis setengah dewasa dan dianjurkan sekali sehari
pada waktu pagi hari. Obat ini diberikan pada kasus rinitis alergik dengan
keluhan hidung tersumbat yang menonjol.
 Kortikosteroid oral/IM
Kortikosteroid oral/IM (misalnya deksametason, hidrokortison,
metilprednisolon, prednisolon, prednison, triamsinolon, dan betametason)
poten untuk mengurangi inflamasi dan hiperreaktivitas nasal. Pemberian
jangka pendek mungkin diperlukan. Jika memungkinkan, kortikosteroid
intranasal digunakan untuk menggantikan pemakaian kortikosteroid oral/IM.
Efek samping lokal obat ini cukup ringan, dan efek samping sistemik
mempunyai batas yang luas. Pemberian kortikosteroid sistemik tidak
dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak. Pada anak kecil perlu
dipertimbangkan pemakaian kombinasi obat intranasal dan inhalasi.
 Kromon lokal (‘local chromones’)
Kromon lokal (local chromones), seperti kromoglikat dan nedokromil,
mekanisme kerjanya belum banyak diketahui. Kromon intraokular sangat

13
efektif, sedangkan kromon intranasal kurang efektif dan masa kerjanya
singkat. Efek samping lokal obat ini ringan dan tingkat keamanannya baik.
Obat semprot hidung natrium kromoglikat sebagai stabilisator sel mast
dapat diberikan pada anak yang kooperatif. Obat ini biasanya diberikan 4 kali
sehari dan sampai saat ini tidak dijumpai efek samping.
 Dekongestan oral
Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin,
merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti
hidung. Penggunaan obat ini pada pasien dengan penyakit jantung harus
berhati-hati. Efek samping obat ini antara lain hipertensi, berdebar-debar,
gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala, kekeringan membran mukosa,
retensi urin, dan eksaserbasi glaukoma atau tirotoksikosis. Dekongestan oral
dapat diberikan dengan perhatian terhadap efek sentral. Pada kombinasi
dengan antihistamin-H1 oral efektifitasnya dapat meningkat, namun efek
samping juga bertambah.
 Dekongestan intranasal
Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin, oksimetazolin, dan
xilometazolin) juga merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi
gejala kongesti hidung. Obat ini bekerja lebih cepat dan efektif daripada
dekongestan oral. Penggunaannya harus dibatasi kurang dari 10 hari untuk
mencegah terjadinya rinitis medikamentosa. Efek sampingnya sama seperti
sediaan oral tetapi lebih ringan.
Pemberian vasokonstriktor topikal tidak dianjurkan untuk rinitis
alergik pada anak di bawah usia l tahun karena batas antara dosis terapi
dengan dosis toksis yang sempit. Pada dosis toksik akan terjadi gangguan
kardiovaskular dan sistem saraf pusat.

 Antikolinergik intranasal
Antikolinergik intranasal (misalnya ipratropium) dapat menghilangkan
gejala beringus (rhinorrhea) baik pada pasien alergik maupun non alergik.
14
Efek samping lokalnya ringan dan tidak terdapat efek antikolinergik sistemik.
Ipratropium bromida diberikan untuk rinitis alergik pada anak dengan keluhan
hidung beringus yang menonjol.
 Anti-leukotrien
Anti-leukotrien, seperti montelukast, pranlukast dan zafirlukast, akan
memblok reseptor CystLT, dan merupakan obat yang menjanjikan baik
dipakai sendiri ataupun dalam kombinasi dengan antihistamin-H1 oral, namun
masih diperlukan banyak data mengenai obat-obat ini. Efek sampingnya dapat
ditoleransi tubuh dengan baik.
Jenis obat yang sering digunakan :
 Kromolin, obat semprot mengandung kromolin 5,2 mg/dosis diberikan 3-4
kali/hari
 Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1
kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis,1 kali/hari.
 Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2–5 tahun: 2.5
mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari.
 Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun: 30
mg/hari, 2 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4
kali/hari.
 Azelastine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 5–11 tahun : 1 semprotan
2 kali/hari; > 12 tahun : 2 semprotan, 2 kali/hari.
 Pseudoephedrine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-6 tahun : 15
mg/hari, 4 kali/hari; 6-12 tahun : 30mg/hari, 4 kali/hari; > 12 tahun : 60
mg/hari 4 kali/hari. Ipratropium bromide 0.03% 2 semprotan, 2-3 kali/hari.
 Kortikosteroid intranasal. Digunakan pada pasien yang memiliki gejala yang
lebih persisten dan lebih parah. Efektif untuk semua gejala dengan inflamasi
eosinofilik.
 Fluticasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 4 tahun
: 1-2 semprotan/dosis, 1 kali/hari.

15
 Mometasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia 3-11
tahun : 1 semprotan/dosis, 1 kali/hari; usia > 11 tahun : 2 semprotan/dosis, 1
kali/hari.
 Budesonide intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 6 tahun
: 1-2 semprotan/dosis, 1 kali/hari. Budesonide mempunyai bioavaibilitas yang
rendah dan keamanannya lebih baik.
 Leukotrien antagonis
 Zafirlukast yang diberikan pada anak sebesar 20 mg/dosis 2 kali/24jam.
 Rinitis alergik pada masa anak akan bertambah berat dengan bertambahnya
usia. Kadangkala rinitis alergik dapat merupakan masalah pada usia tua.
Dengan mengetahui faktor penyebab, dengan penghindaran dapat mengurangi
kekerapan timbulnya gejala. Penggunaan beberapa jenis medikamentosa
profilaksis juga dapat mengurangi gejala yang timbul.

16
DAFTAR PUSTAKA

Valentine MD, Plaut M. Allergic Rhinitis. In: The New England Journal of Medicine.
Available from URL : www.nejm.org. Article last updated 2005.

Pinto JM, Naclerio RM. Allergic Rhinitis. In: Snow JB, Ballenger JJ editors.
Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery, 16th Ed. New
York: BC Decker; 2003. p. 708-39.

WHO ARIA 2008 (upDate). Stokes JR, Casale TB. Allergic Rhinitis, Asthma and
Obstructive Sleep Apnea: The Link. In: Pawankar R, Holgate ST et al
editors. Allergy Frontiers: Clinical Manifestations. New York: Springer;
2009. p. 129-40.

Nguyen QA. Allergic Rhinitis. Available from URL:


http://emedicine.medscape.com/article/8 34281-overview. Article last update
June 1, 2009. 2009.

Cummings CW. Allergic Rhinitis. In: Cummings CW, Flint PW et al editors.


Otolaryngology Head and Neck Surgery, 4th Ed Vol 1. Philadelphia:
Elsevier; 2005. p. 351-63

Valovirta E, Pawankar R. Survey on the Impact of Comorbid Allergic Rhinitis in


Patients with Asthma. BMC Pulmonary Medicine, 2006; 6(Suppl 1): 1-10.

Corren J. The impact of allergic rhinitis on bronchial asthma. J Allergy Clin Immunol
1998; 101: 352-6.

17

Anda mungkin juga menyukai