Anda di halaman 1dari 11

A.

Penyakit
A.1. Defenisi

Rinitis alergi adalah peradangan selaput lendir hidung denga tanda-tanda


pembengkakan (oedema), pelebaran pembuluh darah (vasodilatasi), selaput
lendir,Beringus dan hidung tersumbat, bersin, gatal pada hidung dan mata
(struktur dan fungsi tubuh manusia untuk paramedis : 218).

Rinitis alergi adalah suatu proses inflamasi dari mukosa hidung yang
diperantai oleh imunoglobulin E (IgE) setelah terpapar alergen (jurnal
Diagnosis dan penatalaksanaan rinitis alergi yang disertai asma bronkial)

Rinitis alergi adalah pembengkakan selaput lendir hidung yang disebabkan


oleh paparan bahan alergen inhalasi yang menghasilkan respons imunologis
sfesipik yang dimediasi oleh imunoglobulin E (IgE) (Dipiri 7th 897)

A.2. Klasifikasi (jurnal Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi : 5)

a. Frekuensi gejalah

1. Ringan : Jika tidak terdapat salah satu dari gangguan seperti


gangguan tidur, gangguan aktivitas, gangguan pekerjaan
/sekolah.

2. Sedang-Ringan : Bila di dapatkan salah satu/lebih gejala-gejala tersebut


di atas.

b. Karakteristik gejala

1. Rinitis alergi :Adanya allergen yang terhirup oleh hidung.

2. Rinitis nonalergi :Disebabkan oleh faktor-faktor pemicu tertentu :


rinitis vasomotor, rinitis medicamentosa, rinitis
struktural.

A.3. Etiologi dan Patofisiologi

A.3.1. Etiologi

Gejala rinitis alergi diantaranya pajanan udara dingin, debu, uap, bau
cat, polusi udara, tinta cetak, bau masakan, bubuk detergen serta bau
minuman beralkohol (DIPIRO 9 th : 814).
Gejala rinitis alergi dicetus oleh berbagai faktor diantaranya adalah
pajanan udara dingin, debu, uap, bau cat, polusi udara, tinta cetak, bau
masakan, bubuk detergen, serta bau minuman beralkohol (jurnal rinitis
alergi pada anak).

A.3.2. Patofisiologi

a. Menurut Dipiro 7th : 897


1. Reaksi awal terjadi ketika alergen udara masuk kedalam hidung selama
inhalasi dan doroses oleh limfosit, yang menghasilkan IgE spesifik
antigen, sehingga dapat menyebabakan kepekaan pada host yang
memiliki predisposisi hidung, IgE terikat pada sel mast berinteraksi
dengan alergen udara memicu pelepasan mediator inflamasi.
2. Reaksi langsung terjadi dalam hitungan detik sampai beberapa menit,
menghasilkan pelepasan cepat mediator preformed dan mediator yang
baru duhasilkan dari khaskade asam arakidonat.Mediator
hipersensitivitas langsung meliputi histamin, leukotrien, prostaglandin,
tryptase, dan kinins.Mediator ini menyebabkan vasodilatasi,
meningkatkan permeabilitas vaskuler, produksi sekret hidung. Histamin
menghasilkan rhinore, gatal, bersin dan obstruksi hidung.
3. Dari 4 sampai 8 jam setelah paparan awal alergen, reaksi fase akhir
dapat terjadi yang diperkirakan disebabkan oleh sitokin yang
dikeluarkan terutama sel mast dan limfosit pembantu yang berasal dari
timus. Reseptor inflamasi ini mungkin bertanggung jawab atas gejala
kronis yang terus menerus termasuk hidung tersumbat.

b. Menurut pdf Rinitis alergi pada anak

Manifestasi alergi pada hidung paling sering terjadi dibandingkan


dengan organ lain, karena fungsi hidung sebagai penyaring partikel dan
alergen hirupan, untuk melindungi saluran pernapasan bagian bawah.
Partikel yang terjaring di hidung akan dibersihkan oleh sistem mukosilia.
Pada permukaan mukosa hidung dan lamina propria terdapat sel
mast dan basofil, yang merupakan unsur terpenting pada patofisiologi
rinitis alergi. Orang yang tersensitisasi alergen inhalan seperti tungau debu
rumah, kecoa, kucing, anjing atau pollen, sel mast dan basofilnya akan
diselaputi oleh IgE terhadap alergen spesifik tersebut.

Paparan ulang terhadap alergen tersebut memicu suatu rangkaian


kejadian yang meliputi respons fase cepat dan fase lambat yang
menimbulkan gejala rinitis alergi. Respons fase cepat timbul dalam
beberapa menit setelah paparan. Paparan terhadap alergen menyebabkan
migrasi sel mast dan basofil yang sudah diselaputi IgE spesifik dari lamina
propria ke permukaan epitel. Bagian Fc dari molekul IgE berikatan dengan
permukaan sel sementara bagian Fab bebas untuk menerima molekul
alergen. Jika alergen berikatan dengan dua molekul IgE yang terikat pada
permukaan sel, maka preformed mediator seperti histamin dilepaskan dari
sel. Mediator lain kemudian dibentuk dari metabolism fosfolipid membran
menjadi asam arakhidonat dan selanjutnya menjadi suatu rangkaian newly
generated mediator seperti leukotrien, prostaglandin, prostasiklin, dan
tromboksan. Respons fase cepat pada rinitis alergi ini menyebabkan
timbulnya secara mendadak bersin, gatal hidung, tersumbatnya hidung dan
rinore.

Histamin merupakan mediator utama dan telah diteliti dengan baik


pada rinitis alergi. Histamin menimbulkan gejala melalui mekanisme
langsung dan tidak langsung. Efek langsung meliputi peningkatan
permeabilitas epitel, sehingga memudahkan kontak antigen dengan basofil
dan sel mast pada lamina propria, dan meningkatkan dilatasi dan
permeabilitas vaskular. Hal ini memerlukan interaksi histamin dengan
reseptor H1 dan H2 pada pembuluh darah. Secara tidak langsung, histamin
merangsang reseptor H1 pada saraf sensorik, mengawali jalur refleks
parasimpatetik yang menyebabkan bersin, gatal dan hipersekresi kelenjar.

Terdapat bukti yang menduga bahwa penderita rinitis alergi


hiperaktif terhadap faktor lingkungan nonspesifik meliputi perubahan
temperature dan kelembaban serta polutan. Peningkatan sensitivitas ini
dapat disebabkan akibat ketidakseimbangan primer di samping perubahan
sekunder yang disebabkan oleh mediator yang dilepaskan oleh reaksi
alergi.
Respons fase lambat terjadi dalam waktu 4-8 jam setelah paparan
alergen dan merupakan suatu proses cellular-driven dengan adanya
infiltrasi eosinofil, neutrofil, basofil, limfosit T dan makrofag, yang
melepaskan mediator inflamasi dan sitokin tambahan dan memperpanjang
respons proinflamasi. Respons fase lambat ini diperkirakan sebagai
penyebab gejala kronis dan persisten dari rinitis alergi, terutama sumbatan
hidung, anosmia, hipersekresi mukus dan hiperresponsif nasal terhadap
alergen yang sama atau alergen lainnya dan iritan. Paparan alergen yang
terus-menerus seringkali menyebabkan keadaan inflamasi kronis.

A.4 Faktor Resiko (Jurnal Rinitis alergi)

a. Adanya riwayat atopi.


b. Lingkungan dengan kelembaban yang tinggi merupakan faktor
risiko untuk untuk tumbuhnya jamur, sehingga dapat timbul gejala
alergis.
c. Terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat
tidur, suhu yang tinggi.
A.5 Gejala (Dipiro7th : 819)

a. Gejalanya meliputi rhinorrhea, bersin, hidung tersumbat, tetes


postnasal, konjungtivitis alergi, dan mata pruritus, telinga atau hidung.
b. Pasien mungkin mengeluh kehilangan bau atau rasa, dengan sinusitis
atau polip penyebab utamanya dalam banyak kasus. Tekanan postnasal
dengan batuk atau suara serak juga bisa menggangu.
c. Gejala rinitis yang tidak dapat diobati dapat menyebabkan insomnia,
malaise, fatigue, dan efisiensi kerja atau sekolah yang buruk.

B. OBAT

A. 6. Penggolongan Obat (Menurut Dipiro 9th : 814)


1. Antihistamin
Histamin H1 Antagonis reseptor berikatan dengan reseptor H1 tanpa
mengaktifkannya, mencegah histamin mengikat dan bertindak. Mereka
efektif dalam mencegah histamin. Tapi respon tidak membalikkan efeknya
setelah terjadi.
1) Azelastine (Astelin) adalah antihistamin intranasal yang dengan cepat
mengurangi gejala Rinitis alergi musiman Namun, hati-hati pasien
tentang potensi kantuk. Karena ketersediaan sistemik sekitar 40%. Pasien
mungkin juga mengalami efek pengeringan, sakit kepala, dan efektivitas
berkurang seiring berjalannya waktu. Olopatadine (Patanase) adalah
antihistamin intranasal lain yang dapat menyebabkan kantuk kurang
karena ini adalah H1 selektif Antagonis reseptor.
2) Levocabastine (Livostin), olopatadine (Patanol), dan bepotastine
(Bepreve) adalah Antihistamin oftalmik yang bisa digunakan untuk
konjungtivitis yang berhubungan dengan alergi Rhinitis Antihistamin
sistemik biasanya juga efektif untuk konjungtivitis alergi. Agen obat
mata adalah tambahan yang berguna untuk kortikosteroid hidung untuk
gejala oculars. Mereka juga berguna untuk pasien yang hanya gejala
yang melibatkan mata atau pasien Gejala okularnya bertahan pada
antihistamin oral.
2. Dekongestan
Dekongestan topikal dan sistemik adalah agen simpatomimetik yang
bekerja pada respon adrenergik pada mukosa hidung untuk menghasilkan
vasokonstriksi, mengecilkan mukosa bengkak, Dan memperbaiki ventilasi.
Dekongestan bekerja dengan baik dalam kombinasi dengan antihistamin
ketika hidung tersumbat adalah bagian dari gambaran klinis.
1) Pseudoephedrine adalah dekongestan oral yang memiliki onset tindakan
lebih lambat daripada agen topikal namun dapat bertahan lebih lama
dan menyebabkan lebih sedikit iritasi lokal. Rhinitis medicamentosa
tidak terjadi dengan dekongestan oral. Dosis hingga 180 mg tidak
menghasilkan perubahan tekanan darah atau detak jantung yang
terukur. Namun, dosis yang lebih tinggi (210-240 mg) dapat
meningkatkan tekanan darah dan detak jantung. Dekongestan sistemik
harus dihindari pada pasien hipertensi kecuali jika benar-benar
diperlukan. Reaksi hipertensi berat dapat terjadi bila pseudoephedrine
diberikan dengan inhibitor monoamine oxidase. Pseudoefedrin dapat
menyebabkan rangsangan SSP ringan, bahkan pada dosis terapeutik.
Karena penyalahgunaan sebagai komponen dalam pembuatan
metamfetamin illegal.
2) Phenylephrine telah menggantikan pseudoephedrine dalam banyak
produk antihistamin dekongestan antipenatan nonprescription karena
pembatasan hukum pada penjualan pseudoefedrin.
3) Kombinasi produk oral yang mengandung dekongestan dan antihistamin
adalah rasional karena mekanisme tindakan yang berbeda. Konsumen
harus membaca label produk dengan hati-hati untuk menghindari
duplikasi terapeutik dan menggunakan produk kombinasi hanya untuk
kursus singkat.
3. Kortikosteroid Hidung
Meringankan bersin, rhinore, pruritus, dan hidung tersumbat dengan
efek samping minimal. Beclometason dipropionat, Mometasone furoate,
Triamcinolone acetonide
4. Kromolin Sodium
Stabilizer sel mast, tersedia sebagai bukan resep Semprotan hidung
untuk pencegahan dan pengobatan simtomatik rhinitis alergi. Mencegah
antigen dipicu degranulasi sel mast dan pelepasan mediator, termasuk
histamin Efek samping yang paling umum adalah iritasi lokal (bersin dan
hidung pedas).
5. Ipratropium Bromida
Zat antikolinergik yang berguna dalam rinitis alergi persisten Ini
menunjukkan sifat antisekretori saat diterapkan secara lokal dan
memberikan kelenturan gejala rhinorrhea.
6. Montelukast
Antagonis reseptor leukotrien yang disetujui untuk pengobatan Rinitis
alergi persisten pada anak-anak semuda 6 bulan dan untuk rhinitis alergi
musiman pada anak umur 2 tahun. pada anak-anak semuda 2 tahun.
7. Imunoterapi
Proses bertahap yang lambat untuk menyuntikkan peningkatan dosis
antigen bertanggung jawab untuk memunculkan gejala alergi ke pasien.

A. 7. Terapi Non Farmakologi


 Menghindari gangguan alergen adalah penting namun sulit dilakukan,
terutama untuk alergen abadi Pertumbuhan jamur dapat dikurangi
dengan menjaga kelembaban rumah tangga lebih sedikit Dari 50% dan
menghilangkan pertumbuhan yang jelas dengan pemutih atau
desinfektan.
 Penderita yang peka terhadap hewan paling diuntungkan dengan
menyingkirkan hewan peliharaan dari rumah, jika memungkinkan.
Mengurangi paparan tungau debu dengan membungkus tempat tidur
dengan selimut kedap air dan Mencuci seprei di air panas memiliki
sedikit manfaat, kecuali mungkin pada anak-anak.
 Pasien dengan rinitis alergi musiman harus menutup jendela dan
meminimalkan Waktu yang dihabiskan di luar rumah selama musim
serbuk sari. Masker filter bisa dipakai saat berkebun Atau memotong
rumput (Dipiro 9th : 814)

A. 8. Algoritme
B. Deskripsi Obat
1. Terfenadin ( OOP : 824, 489)
B.1. Golongan obat
Antihistamin H1 bloker ( Generasi kedua)
B.2. Mekanisme kerja obat
Mengurangi gejala rhinitis yang disertai dengan asma. Levocetirizine yang
diberikan selama 6 bulan terbukti mengurangi gejala rhinitis alergi persisten
dan meningkatkan kualitas hidup pasien rhinitis alergi dengan asma.
B.3. Efek samping
Jarang terjadi dan berupa gangguan saluran cerna, nyeri krpala dan
berkeringat
B.4. Indikasi Obat
Rhinitis alergi, urtikaria dan reaksi alergi lainnya
B.5. Interaksi obat
Eritromisin, klaritromisin, ketokonazole, itrakinazol terjadi interaksi
berbahaya dengan efek gangguan riture dan terhentinya jantung adakal fatal.
B.6. Dosis
Dosis oral 2 dd 60 mg, anak-anak 3-6 thn 2 dd 15 mg, 6-12 thn 2 dd 30 mg
B.7. Farmakokinetik
Reabsorbsinya dari usus, mulai kerja setelah 1 jam dan bertahan 12-24 jam.
Dalam hati dirombak oleh enzim sitokrom P450 menjadi metabolit, aktifnya
terfenadin, karboksilat dengan plasma ½ kurang lebih 17 jam. Ekskresi lewat
tinja (60 %) dan urine (40 %).
B.8. Farmakodinamik
Menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkusdan bermacam-
macam otot polos.
B.9. Kontra indikasi
Hipersensitif, menyusui, hindari bersama astemizol, penggunaan hati,
hipokalemia, obat antimogenik.
2. Pseudoefedrin (OOP : 489)
B.1. Golongan obat
Dekongestan
B.2. Mekanisme obat
Menyebabkan rangsangan sistem syaraf pusat ringan, bahkan pada dosis
terapeutik. Karena penyalahgunaan sebagai komponen dalam pembuatan
metamfetamin illegal
B.3. Epek samping
Terhadap sistem syaraf pusat dan jantung juga sedikit lebih banyak.
B.4. Indikasi obat
Untuk flu dan alergi pernafasan hidung
B.5. Interaksi obat
Obat obat simpatomimetik atau penghambat MAO meningkatkan tekanan dari
obat-obat penghambat adrenergik B dan X menurungkan efek kerja obat
B.6. Dosis
Oral 3.4 dd 60 mg (Hcl,Sulfat)
B.7. Farmakokinetik
Plasma + 1/2nya kurang lebih 7 jam, lebih singkat dari urun asam
B.8. Farmakodinamik
Masa kerja jauh lebih panjang, porensinya lebih singkat rendah, efek sentral
kuat.
B.9. Kontra indikasi
Hipersensitivitas.
3. Cetrizine (OOP : 823)
B.1. Golongan obat
Antihistamin H1 Bloker (Generasi kedua).
B.2. Mekanisme kerja obat
Menghambat pelepasan histamin pada fase awal, tidak mempunyai efek
samping terhadap hepar dan jantung.
B.3. Efek samping
Kantuk, sakit kepala, mual dan diare
B.4. Indikasi obat
Uriticaria dan rhinitis atau konjungtivitas
B.5. interaksi obat
SSP meningkat jika diberi bersamaan obat-obat depresan SSP dengan olkohol,
bersama makanan menunda konsentrasi puncak plasma.
B.6. Farmakokinetik
Diabsorbsi baik, efek timbul 15-30 menit maksimal 1-2 jam,dieksresi melalui
urin setelah 24 kam, terutama dalam bentuk metabolitnya.
B.7. Farmakodinamik
Menghamabat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan bemacam
macam otot polos.
B.8. Dosis
1 dd 10 mg malam hari.
B.9. kontra indikasi
Orang yang memiliki penyakit ginjal, bayi ibu hamil, lansia dan epilepsi
C. Pembahasan dan kesimpulan
C. 1. Kasus
Seorang pasien usia 32 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan gatal pada
mata dan hidung, hidung tersumbat, bersin proksimal, rhenorea berair, dan obstruksi
nasal sehingga sulit bernafas, keluhan tersebut telah dirasakan selama 2 minggu
sebelum periksa ke rumah sakit. Akhir-akhir ini pasien sering cepat merasa lelah dan
insomnia, disamping itu pasien juga mengeluh urtikaria setelah membersihkan kandang
kucing anaknya yang telah sebulan ini dipeliharanya. Dari pemeriksaan sebelumnya
pasien mengalami infeksi saluran nafas yang disebabkan oleh bakteri sehingga pasien
mengkonsumsi eritromisin. Jadi dokter meresepkan obat

R/ Terafenadin 60 mg 2dd1
Pseudoefedrin 70 mg 3dd1
Cetrizin 10 mg 1dd1

C. 2. Pembahasan
Terafenadin merupakan obat golongan antihistamin H1 bloker yang mempunyai
efek samping Jarang terjadi dan berupa gangguan saluran cerna, nyeri kepala dan
berkeringat, indikasi obatnya yaitu rhinitis alergi, urtikaria dan reaksi alergi lainnya,
dosisnya yaitu oral 2 dd 60 mg, anak-anak 3-6 thn 2 dd 15 mg, 6-12 thn 2 dd 30 mg
serta kontra indikasinya yaitu Hipersensitif, menyusui, hindari bersama astemizol,
penggunaan hati, hipokalemia, obat antimogenik.
Pseudoefedrin merupakan obat gologan dekongestan yang mempunyai efek samping
Terhadap sistem syaraf pusat dan jantung juga sedikit lebih banyak, indikasi obatnya
yaitu untuk flu dan alergi pernafasan hidung, dosisnya yaitu Oral 3.4 dd 60 mg
(Hcl,Sulfat) serta kontra indikasinya hipersensitivitas.
Cetrizine merupakan obat golongan antihistamin H1 bloker (generasi ke dua) yang
mempunyai efek samping kantuk, sakit kepala, mual dan diare, indikasi obatnya yaitu
uriticaria dan rhinitis atau konjungtivitas, dosisnya yaitu 1 dd 10 mg malam hari, serta
konta indikasinya yaitu orang yang memiliki penyakit ginjal, bayi dan ibu hamil, lansia
dan epilepsi
Dari kasus di atas bahwa pasien menderita penyakit rinitis alergi, dengan gejala
gatal pada mata dan hidung, hidung tersumbat, bersin proksimal, rherorhea berair, dan
obstruksi nasal sehingga sulit bernafas (jurnal penatalaksanaan rhinitis alergi)
Pemberian obat terafenadin kurang tepat diberikan bersamaan dengan obat
cetrizine dan obat eritromisin, karena obat terafenedin mempunyai kontra indikasi
dengan obat cetrizine dan eritromisin sebaiknya obat terafenedin dihilangkan
(OOP : 824-829)
Psedoefedrin di resep yang diberikan dokter dosisnya 70 mg 3x sehari harus
diturunkan karena dosis pseudoefedrin adalah 60 mg 3-4x sehari
Eritromisin pada kasus memang sudah digunakan oleh pasein sebelum pasien
menderita penyakit rinitis alergi, eritromisin tetap digunakan karena tidak kontra
indikasi dengan obat psedoefedrin dan cetrizine
C. 3. Kesimpulan
Jadi penyakit yang diderita pasien pada kasus yaitu rhingitis alergi dan urticaria,
yang ditandai dengan adanya gejala yaitu gatal pada mata dan hidung, hidung
tersumbat, bersin proksimal, rhenorea berair, dan obstruksi nasal sehingga sulit
bernafas, pasien juga sering cepat merasa lelah, insomnia, dan urticaria. Jadi obat
yang digunakan pasien seharusnya yaitu obat pseudoefedrin 60 mg 3x sehari dan obat
cetrizine 1x sehari, dan obat eritromisin tetap digunakan.
Perbedaan alergi dan allergen.
 Alergi adalah reaksi system kekebalan tubuh terhadap sesuatu yang dianggap
berbahaya walaupun sebenarnya tidak berbahaya.
 Allergen adalah sebuah antigen yang bertanggung jawab untuk memproduksi reaksi
alergi dengan menginduksi pembentukan IgE.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA

Andersson M, Greiff L, Svensson C, Persson GA. Allergic and non-allergic rhinitis.


Dalam: Busse WW, Holgate ST, penyunting. Asthma and rhinitis. Edisi ke-2.
Oxford: Blackwell Science; 2000, h. 232–42.

Bousquet J, van Cauwenberge P, Khaltaev N, Workshop Expert Panel. Allergic


Rhinitis and Its Impact on Asthma (ARIA): executive summary of the workshop
report. Allergy 2002;57:841-55.

Dipiro. Joseph T. 2015. Pharmacotherapy Handbook 9th ed. MC Graw Hill: New York.

Dipiro. Joseph T. 2015. Pharmacotherapy Handbook 7th ed. MC Graw Hill: New York.

Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan
dan Efek-Efek Sampingnya,edisi 7. PT Elex Media Komputindo: Jakarta.

Kus,irianto 2004. Strukturbdan fungsi tubuh manusia untuk para medis.yrama


widya : bandung

Anda mungkin juga menyukai