Anda di halaman 1dari 9

RINITIS ALERGI

Definisi Penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya mediator kimia ketika terjadi paparan ualngan dengan alergen spesifik tersebut. Etiologi Alergen inhalan, yang masuk dengan udara pernapasan, misalnya tungau debu rumah (D. pteronyssinus, D.farinae, B. tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass) serta jamur (Aspergillus, Alternaria). Patofisiologi Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitasi dan diikuti dengan tahap provokasi atau reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase, yaitu Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam dan Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Pada tahap sensitasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung, setelah diproses antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek MHC kelas II yang kemudian dipresentasikan pada Th 0 dan sel penyaji akan melepaskan IL 1 yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B , sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan memproduksi IgE. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Bila mukosa yang sudah tersensitasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimiawi seperti prostaglandin D2 (PG D2), leukotrien D4 (LT D4),
1

bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin (IL3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor), terutama histamin. Ini yang disebut dengan Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) dan gejala ini akan berlanjut 6-8 jam setelah pemaparan. Histamin akan merangsang reseptor H-1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin, juga menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas meningkat sehingga terjadi rinore, hidung tersumbat yang disebabkan oleh vasodilatasi sinusoid. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi sepeti eosinofil, limfosit, neutrofil, basofil, dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya sepert Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO) . Pada fase ini selain faktor spesifik (alergen), juga di pengaruhi oleh iritasi faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi. Gejala klinik Gejala berupa bersin-bersin berulang, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Gejala lain antara lain rinore yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang disertai dengan banyak air mata yang keluar (lakrimasi). Diagnosis Dari hasil anamnesa didapatkan gejala rinitis yang khas berupa gejala bersinbersin berulang, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Gejala lain antara lain rinore yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang disertai dengan banyak air mata yang keluar (lakrimasi). Dari rinoskopi anterior didapatkan mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai dengan sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior akan tampak hipertrofi. Gejala spesifik pada anak antara lain seperti : a. allergic shiner yaitu terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi tulang ; b. allergic salute yaitu kebiasaan anak menggosok
2

hidung dengan punggung tangan karena rasa gatal ; c. allergic crease yaitu timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah akibat sering menggosok hidung ; d. dinding posterior faring tampak granuler dan edema ( cobblestone appearance) ; e. dinding faring menebal ; f. lidah tampak gambaran peta ( geographic tounge). Pemeriksaan penunjang Hitung jumlah eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat sering kali menunjukkan nilai normal , kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari macam penyakit. Pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test) memberikan hasil lebih bermakna. Mencari alergen penyebab dengan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). Terapi 1. Menghidari kontak dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. 2. Medikamentosa Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering digunakan sebagai lini pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu : 1. Golongan antihistamin H-1 yang bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin dan azelastin ; 2. Golongan antihistamin H-2 yang bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak, bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer, tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan efek SSP minimal (nonsedatif). Menurut keamanannya golongan ini dibagi dalam dua golongan, yaitu : a. Astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik ; b. Loratadin, setrisin, fexofenadine, desloratadin dan levosetrisin yang mempunyai efek kardiotoksik minimal. Efek kardiotoksik tersebut disebabkan
3

repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian mendadak. Preparat simpatomitetik golongan agonis adrenergic alfa dapat dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Preparat kortikosteroid dipilih terutama sumbatan hidung akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering digunakan adalah kortikosteroid topikal beklametason, budesonide, flunisolid, flutikason, momentason furoat dan triamsolon. Kortikosteroid topikal bekerja dengan mengurangi jumlah sel mastoid pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit sehingga menyebabkan epitel hidung tidak berresponsif terhadap rangsangan alergen. 3. Operatif Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau multiple outfracture, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat. 4. Imunoterapi Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sub-lingual.

RINITIS VASOMOTOR

Definisi Suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinophilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid) dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, beta bloker, aspirin, klorprometazin dan obat dekongestan topikal). Kelainan ini disebut juga vasomotor catarrh, vasomotor rhinore, nasal vasomotor instability, atau juga non-allergic perennial rhinitis. Etiologi Belum di ketahui dengan pasti, diduga karena disfungsi saraf otonom. Patofisiologi Serabut saraf simpatis hidung berasal dari korda spinalis segmen Th1-2, menginversi terutama pembuluh darah mukosa dan sebagian kelenjar. Serabut saraf simpatis melepaskan ko-transmiter noradrenalin dan neuropeptide Y yang menyebabkan vasokontriksi dan penurunan sekresi hidung. Tonus simpatis ini berfluktuasi sepanjang hari yang menyebabkan adanya peningkatan tahanan rongga hidung yang bergantian setiap 2-4 jam. Keadaan ini disebut sebagai siklus nasi. Dengan siklus ini seseorang akan mampu untuk dapat bernafas dengan tetap normal melalui rongga hidung yang berubah-ubah luasnya. Serabut saraf parasimpatis berasal dari nukleus salivatori superior menuju ganglion sfenopalatina dan membentuk saraf vidianus, kemudian menginversi pembuluh darah dan terutama kelenjar eksokrin. Pada rangsangan akan terjadi pelepasan ko-transmiter asetilkolin dan vasoaktif intestinal peptide yang menyebabkan peningkatan sekresi hidung dan vasodilatasi, sehingga terjadi kongesti hidung. Bagaimana tepatnya saraf otonom ini bekerja belumlah diketahui dengan pasti, tetapi mungkin hipotalamus bertindak sebagai pusat penerima impuls eferen, termasuk rangsang emosional dari pusat yang lebih tinggi. Dalam keadaan hidung normal, persarafan simpatis lebih dominan. Pada rhinitis vasomotor diduga sebagai
5

akibat ketidak-seimbangan impuls saraf otonom di mukosa hidung yang berupa bertambahnya aktivitas sistem parasimpatis. Gejala Klinik Gejala sering dicetuskan oleh berbagai rangsangan non-spesifik, seperti asap/rokok, bau yang menyengat, parfum, minuman beralkohol, makanan pedas, udara dingin, pendingin dan pemanas ruangan,, perubahan kelembaban, perubahan suhu luar, kelelahan dan stress/emosi. Gejala berupa : 1. hidung tersumbat bergantian kanan dan kiri, tergantung posisi pasien ; 2. rinore mukoid atau serosa ; 3. gejala memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, juga oleh karena asap rokok dan sebagainya. Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini dibedakan dalam 3 golongan, yaitu : 1. golongan bersin (sneezer), gejala biasanya memberikan respon yang baik dengan terapi antihistamin dan glukokortikosteroid topikal ; 2. golongan rinore (runners), gejala dapat diatasi dengan pemberian anti kolinergik topikal ; dan 3. golongan tersumbat (blockers), kongesti umumnya memberkan respon yang baik dengan terapi glukokortikoid topikal dan vasokotriktor oral. Diagnosis Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eklusi, yaitu menyingkirkan adanya rinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal, dan akibat obat. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran khas berupa edema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau merah tua, tetapi dapat pula pucat. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi). Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetap pada golongan rinore, sekret yang ditemukan adalah serosa dan banyak jumlahnya. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan laboraturium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Kadang ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah sedikit. Tes cukit kulit biasanya negatif. Kadar IgE spesifik tidak meningkat.

Penatalaksanaan 1. Menghindari stimulus/faktor pencetus 2. Pengobatan simptomatis, dengan dekongestan oral, cuci hidung dengan larutan fisiologis, kauterisasi konka hipertrofi dengan larutan AgNO3 25% atau triklor-asetat, kortikosteroid topikal. 3. Operasi, dengan cara bedah beku, elektrokauter, atau konkotomi parsial konka inferior. 4. Neuroektomi saraf vidianus, yaitu dengan melakukan pemotongan pada saraf vidianus, bila dengan cara di atas tidak memberikan hasil optimal. Komplikasi yang dapat di timbulkan dari tindakan ini seperti sinusitis, diplopia, kebutaan, lakrimasi, neuralgia atau anastesi infraorbita dan palatum.

Perbedaan Rinitis Alergi dan Rinitis Vasomotor

1. Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama. Rinitis vasomotor merupakan suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinophilia, perubahan hormonal dan pajanan obat. 2. Rinitis alergi lebih sering disebabkan oleh alergen inhalan yang masuk dengan udara pernapasan dan dipengaruhi oleh iritasi faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi. Rinitis vasomotor akibat disfungsi saraf otonom berupa bertambahnya aktivitas sistem parasimpatis dan sering dicetuskan oleh berbagai rangsangan non-spesifik, seperti asap/rokok, bau yang menyengat, parfum, minuman beralkohol, makanan pedas, udara dingin, pendingin dan pemanas ruangan,, perubahan kelembaban, perubahan suhu luar, kelelahan dan stress/emosi. 3. Gejala rinitis alergi berupa : 1) bersin-bersin berulang, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu, rinore yang encer dan banyak, hidung tersumbat,; 2) pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai dengan sekret encer yang banyak, bila gejala persisten, mukosa inferior akan tampak hipertrofi ; 3) IgE spesifik meningkat. Gejala rinitis vasomotor berupa : 1) hidung tersumbat bergantian kanan dan kiri, rinore mukoid atau serosa, gejala memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur ; 2) pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran khas berupa edema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau merah tua, permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi), rongga hidung terdapat sekret mukoid ; 3) IgE spesifik normal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi. Dalam : Soepardi

EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher 6th ed. Jakarta : Balai Penerbit FK-UI, 2009 : 128-33.
2. Irawati N, Poerbonegoro NL, Kasakeyan E. Rinitis Vasomotor. Dalam :

Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher 6th ed. Jakarta : Balai Penerbit FK-UI, 2009 : 135-6.

Anda mungkin juga menyukai