Anda di halaman 1dari 15

Referat

GANGGUAN PENGHIDU

Oleh :
YOHANA PESTRA
NIM. 1908436676

Pembimbing :
dr. ARIMAN SYUKRI, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2020
SISTEM PENGHIDU
I. Sistem Penghidu
Sistem penghidu adalah suatu proses kemoreseptor pada sistem sensorik tubuh
dalam mengenali bau. Sistem ini terdiri dari hidung dan rongga hidung. Rongga
hidung bagian atas yang terdiri dari dari reseptor-reseptor penghidu dan menjadi
tempat berlangsungnya pertama kali proses penghidu.1

II. Anatomi Sistem Penghidu

Gambar 1. Anatomi sistem penghidu1

Mukosa olfaktorius adalah lapisan mukosa yang berada di langit-langit rongga


hidung dengan ukuran 3 cm2, yang terdiri dari sel reseptor penghidu, sel penyokong
dan sel basal. Sel reseptor yang berfungsi sebagai sensasi penghidu adalah sel
olfaktori dan merupakan sel saraf bipolar yang berasal dari sistem saraf pusat.2
Sebanyak lebih dari 100 juta sel epitel olfaktori berada di antara sel
sustentakuler (sel penyokong). Mukosa yang berada di ujung sel olfaktori akan

1
membentuk knob yang terdiri dari 4 sampai 5 rambut penghidu (silia penghidu).
Kumpulan silia ini akan membentuk suatu lapisan yang tebal di dalam mukus, dan
silia ini akan bereaksi terhadap partikel bau yang berada di udara dan
menstimulasikannya ke sel penghidu. Diantara sel penghidu dan membran sel
terdapat kelenjar Bowman yang berfungsi untuk mensekresikan mukus ke permukaan
membran sel penghidu.3

Gambar 2. Olfactory pathway4


Sinyal bau dari bulbus olfaktorius selanjutnya akan ditransmisikan melalui
traktus olfaktorius yang berjalan disekitar area kiasma optikum yang kemudian
terbagi menjadi tiga jalur striae yang dikenal dengan trigon, yaitu striae anterior,
medial, dan lateral. Striae lateral berjalan ke korteks olfaktorus ipsilateral dan striae
anterior melintasi komissura anterior menuju korteks olfaktorius kontralateral. Striae
medial berfungsi sebagai penghubung sinyal antar kedua bulbus olfaktorius.4

III. Mekanisme penghidu


Hidung manusia memiliki 6-10 juta reseptor penghidu, dan memiliki 1000
jenis yang berbeda. Dalam proses penghiduan, reseptor bau akan dibedakan menjadi

2
beberapa komponen reseptor. Setiap reseptor akan berespon hanya pada satu
komponen bau. Pengikatan partikel bau pada reseptor penghidu akan mengaktifkan
protein G spesifik yang akan mengaktifkan enzim adenil cyclase dengan bantuan
ATP dan membuat reaksi cAMP dependen intrasel teraktivasi sehingga kanal cAMP
olfactory specific terbuka. Terbukanya kanal ini akan menyebabkan natrium dan
kalsium dapat masuk yang menyebabkan terjadinya depolarisasi yang menimbulkan
potensial aksi pada serabut aferen sel saraf olfaktorius (N I).

Gambar 3. Aktivasi reseptor sel olfaktorius5

Serabut aferen yang berasal dari ujung reseptor akan melewati lubang kecil
pada tulang yang memisahkan mukosa penghidu dari jaringan otak di atasnya. Kedua
hal ini akan membentuk sinaps pada bulbus olfaktorius. Tiap bulbus olfaktorius
bersejajar membentuk neural junctional yang dikenal dengan glomeruli.
Pada setiap glomeruli terdapat sel yang membawa informasi tentang partikel
bau tertentu yang diteruskan ke sel mitral. Sel mitral tempat reseptor penghidu
berakhir akan memperbaiki dan menyatukan sinyal bau dan menyampaikannya ke
otak untuk diproses lebih lanjut melalui traktus olfaktorius.5

3
Gambar 4. Reseptor olfatorius, sel mital dan glomeruli5

Gambar 5. Bulbus Olfaktorius di rongga nasal1

Serabut saraf akan berlanjut melewati bulbus olfaktorius melalui traktus


olfaktorius dalam 2 rute :
1. Rute subkortikal yang berjalan melewati bagian medial bawah dari lobus
temporalis (korteks olfaktorius primer). Rute ini terutama menuju daerah di
sistem limbik dan melibatkan hipotalamus, memungkinkan terjadinya koordinasi
erat antara reaksi penghidu dengan prilaku yang berkaitan.

4
2. Rute talamus-kotikal yang melalui talamus ke bagian pusat yang lebih tinggi
(korteks), khususnya pada korteks orbitofrontal yang terletak pada bagian tengah
luar lobus frontal diatas tulang orbita. Rute kortikal ini penting sebagai persepsi
bau. Rute ini juga berkaitan dengan hipokampus sebagai memori penghidu.4

Gambar 6. Transmisi bau ke otak rute N. Olfaktorius4

III. Epidemiologi
Amerika Serikat melaporkan sebanyak 1,4% dari seluruh populasi mengalami
gangguan penghidu. Gangguan penghidu ini akan semakin meningkat seiring dengan
bertambahnya usia dan lebih sering dialami pria dibandingkan wanita. Penelitian
yang dilakukan National Health and Nutrition Examination Survey menemukan
bahwa gangguan penghidu pada orang dewasa dengan persentasi 12,4% (13.3 juta)
dari total populasi yang terdiri dari 55% pria dan 45% wanita. Gangguan penghidu ini
disebabkan oleh beberapa faktor seperti gangguan sinonasal, riwayat trauma wajah,
pengobatan yang mempengaruhi sistem kemosensoris.6 Penelitian Al Amini, pada

5
tahun 2004 menemukan bahwa sebanyak 32,3% pasien THT yang berobat ke RSCM
mengeluhkan gangguan penghidu sebagai keluhan utamanya.7

IV. Klasifikasi
Ada beberapa bentuk gangguan penghidu seperti :
a. Anosmia yaitu hilangnya seluruh kemampuan menghidu. Anosmia dapat
timbul akibat trauma di daerah frontal dan oksipital. Selain itu anosmia dapat
juga terjadi setelah infeksi oleh virus, tumor seperti osteoma atau
meningioma dan akibat proses degenerasi pada orang tua.
b. Hiposmia yaitu penurunan daya penghidu, baik berupa sensitifitas ataupun
kualitas menghidu. Hiposmia dapat disebabkan oleh penyakit obstruksi
hidung dan dapat juga terjadi pada penyakit sistemis, seperti diabetes
mellitus, gagal ginjal serta pemakaian obat seperti antihistamin,
dekongestan, antitiroid dan antihistamin.
c. Parosmia adalah sensasi penghidu berubah. Penyebab utama terjadinya
parosmia adalah trauma daerah olfaktori.
d. Kakosmia adalah halusinasi odoran atau sensasi bau tanpa adanya stimulus
odoran. Kakosmia dapat timbul pada epilepsi unsinatus, lobus temporalis.
Kakosmia juga terdapat pada kelainan psikologis atau kelainan psikiatrik
depresi dan psikosis.8

V. Etiologi
Gangguan penghidu dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu gangguan
konduktif, gangguan sensoris dan gangguan neural. Gangguan konduktif disebabkan
oleh gangguan transpor odoran atau kurangnya odoran yang sampai ke neuroepitel
olfaktorius. Gangguan konduktif juga disebabkan oleh gangguan ikatan odoran
dengan protein G. Gangguan sensoris disebabkan kerusakan langsung pada

6
neuroepitelium olfaktorius, misalnya pada infeksi saluran nafas atas atau polusi udara
toksik, sedangkan gangguan neural atau saraf disebabkan kerusakan pada bulbus
olfaktorius dan jalur sentral olfaktorius, misalnya pada penyakit neurodegeneratif,
atau tumor intrakranial.
a. Penyakit Rinosinusitis kronik dan rinitis alergi
Gangguan penghidu pada rinosinusitis kronik atau rinitis alergi berupa
gangguan penghidu konduktif dan sensoris. Penyebab gangguan penghidu konduktif
terjadi karena proses inflamasi dari saluran nafas yang menyebabkan berkurangnya
aliran udara dan odoran yang sampai ke neuroepitel olfaktorius. Tingginya prevalensi
abnormalitas pada mukosa pasien rinosinusitis kronik dan alergi telah banyak
ditemukan.
Berdasarkan studi yang meneliti patologi mukosa hidung pada rinosinusitis
kronik didapatkan temuan antara lain perubahan struktural mukosa sel epitel
olfaktorius dengan gambaran erosi epitel olfaktorius, gambaran metaplasia sel yang
menyerupai sel skuamosa, dan infiltrasi sel eusinofil dan neutrofil dengan konsentrasi
tinggi pada lapisan mukosa. Pada pasien ini dapat ditemukan debris pada mukosa
dengan adanya inflamasi sistemik yang telah terjadi di saluran nafas atas dan bawah
yang menyebabkan gangguan konduksi aliran odoran.9
b. Infeksi saluran napas atas
Penyakit infeksi saluran napas atas yang sering adalah common cold. Banyak
virus yang dapat menyebabkan gangguan olfaktori melalui reaksi inflamasi di
mukosa hidung sehingga disertai dengan gejala rinorea dengan penyebab tersering
yaitu rhinovirus dan para influenza.10 Pada covid-19 mekanisme gangguan penghidu
terjadi karena kerusakan langsung pada epitel olfaktorius dan jalur sentral olfaktori
karena virus tersebut dapat merusak sel reseptor olfaktorius. Sehingga pada kasus
tersebut tidak disertai dengan gejala rinorea.11

7
c. Trauma kepala
Trauma kepala dapat menyebabkan kehilangan sebagian
atau seluruh fungsi penghidu. Hal ini bisa disebabkan karena terjadinya kerusakan
pada epitel olfaktorius, pada serat saraf olfaktorius, bulbus olfaktorius dan kerusakan
otak di regio frontal, orbitofrontal, dan temporal.12
d. Usia
Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap fungsi penghidu adalah usia.
Kemampuan menghidu akan menurun sejalan dengan bertambahnya usia. Banyak
teori neurodegeneratif yang menerangkan penyebab gangguan penghidu pada lansia,
diantaranya terjadi pengurangan jumlah sel mitral pada bulbus olfaktorius, perubahan
anatomi karena adanya pengurangan di area olfaktorius, dan penurunan aktivasi dari
korteks olfaktorius.6 pada lansia juga sering ditemukan malnutrisi komponen gizi
protein sehingga tidak terjadi pengikatan dan pengantaran odoran ke otak secara
baik.13
e. Merokok
Komponen kimia pada rokok berkontribusi menyebabkan kerusakan epitel
olfaktorius. Apoptosis pada epitel olfaktorius terbukti merupakan hasil dari paparan
asap rokok.14

VI. Diagnosis
a. Anamnesis
Pada anamnesa perlu ditanyakan mengenai onset keluhan, intensitas
keluhan, apakah keluhan dirasakan secara terus menerus atau hilang timbul dan
bersifat unilateral atau tidak. Perlu ditanyakan pada pasien apakah ada faktor
risiko yang menjadi pencetus gangguan penghidu, seperti rinosinusitis kronik,
rinitis alergi, ada riwayat trauma ataupun akibat degeneratif.

8
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan anterior dan posterior untuk
menilai apakah terdapat kelainan anatomi yang menyebabkan saluran hidung
tersumbat, adanya perubahan mukosa hidung, tanda tanda infeksi dan tumor.
c. Pemeriksaan penunjang.
 Radiologi
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menyingkirkan kelainan
intrakranial dan evaluasi kondisi anatomis dari hidung, misalnya pada
kasus tumor otak atau kelainan dihidung. Pemeriksaan foto polos kepala
tidak banyak memberikan data tentang kelainan ini. Pemeriksaan tomografi
komputer merupakan pemeriksaan yang paling berguna untuk
memperlihatkan adanya massa, penebalan mukosa atau adanya sumbatan
pada celah olfaktorius.
 Tes Sniffin Sticks
Tes Sniffin Sticks adalah tes untuk menilai kemosensoris
dari penghidu dengan alat yang berupa pena. Alat pemeriksaan terdiri dari
tutup mata dan sarung tangan yang bebas dari odoran dan pena untuk tes
identifikasi. Keseluruhan pena berjumlah 16 triplet (48 pena) untuk
ambang penghidu, 16 triplet (48 pena) untuk diskriminasi penghidu, dan 16
triplet (48 pena) untuk identifikasi penghidu, sehingga total berjumlah 112
pena.
Pengujian
dilakukan dengan membuka tutup pena selama 3 detik dan pena diletakkan
2 cm di depan hidung, tergantung yang diuji apakah lobang hidung kiri
atau lobang hidung kanan. Pemeriksaan dilakukan dengan menutup mata
pasien untuk menghindari identifikasi visual dari odoran. Dari Tes ini dapat

9
diketahui tiga komponen, yaitu ambang penghidu, diskriminasi penghidu
dan identifikasi penghidu.

Gambar 7. Pemeriksaan sniffing stick15

Test ini dapat menggambarkan tingkat dari gangguan penghidu, akan tetapi
tidak bisa menentukan lokasi anatomi dari kelainan yang terjadi. Skor TDI
didapatkan dari pemeriksaan niffin Stick s. Skor TDI ≤15 dikategorikan anosmia,
skor 16-29 dikategorikan hiposmia, dan skor ≥30 dikategorikan normosmia.15

VII. Tatalaksana
1. Tatalaksana berdasarkan faktor predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya disfungsi penghidu seperti merokok,
rinosinusistis dan riwayat trauma kepala harus ditatalaksana terlebih dahulu. Selain
itu adanya riwayat kejang, nyeri kepala dan penyakit metabolik perlu diatasi. Pada
gangguan penghidu akibat usia dapat di minimalkan dengan meningkatkan
konsentrasi zat perasa untuk meningkatkan intake pada pasien.
2. Farmakologis
Penggunaan steroid sistemik dipercaya dapat meningkatkan fungsi penghidu
akibat konduktif, post viral dan akibat idiopatik. Pemberian koritikosteroid sistemik

10
dapat mengembalikan fungsi penghidu pada banyak pasien yang telah melakukan
tindakan FESS namun untuk prognosis jangka panjang masih belum dapat dipastikan.
Obat-obatan lain seperti gingko biloba dan vitamin B masih belum dapat dibuktikan
efektif dalam pengobatan ini. Asam alpha lifoat dikatakan dapat meningkatkan fungsi
penghidu setelah post viral infeksi namun penelitian ini bukan penelitian dengan
kontrol placebo.16
3. Latihan olfaktori
Meskipun belum banyak penelitian dilakukan, latihan olfaktori (menghidu)
dapat meningkatkan fungsi penghidu. Reseptor neuron olfaktori yang mengalami
regenerasi setelah terjadinya deficit fungsional dengan melakukan latihan penghidu
dapat menstimulasi peningkatan regenerasi ini. Latihan ini terdiri dari 12 minggu
program yang dimana pada pasien akan di paparkan pada 4 bau (mawar, eukalpitus,
lemon dan cengkeh) selama 2 kali sehari.17

VIII. Prognosis

Tatalaksana awal yang tepat dan cepat pada penyebabnya


sangat penting untuk hasil penghidu yang lebih baik. Penggunaan steroid juga dapat
meningkatkan fungsi penghidu baik secara topikal maupun sistemik.18

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Diaz D, Gomez C, Munoz Cataneda R, Baltanas F, Alonso JR, Weruaga E. The


olfactory system as a puzzle : playing with its pieces. Anat Rec (Hoboken).
2013 Sep. 296(9): 1383-400. Available from:
https://medscape.com/medline/medredirect?pmidParam=23904144.
2. Patel RM, Pinto JM. Olfaction: Anatomy, physiology, and disease. Clin Anat
27. 2014:54-60.
3. Yeshurun Y, Sobel N. An odor is not worth a thousand words: From
multidimensional odors to unidimentional odor objects. Annual Rev Psychol
61. 2010:219-231.
4. Milardi D, et al. The olfactory system revealed. Front Neuroanatomy
11.2017:11-6.
5. Despopulous A, Silbernagi. Central nervous system and senses in color atlas of
physiology. 5th ed. New York: Thieme; 2003:340-41.
6. Hoffman HJ, Rawal S, Li CM, Duffy VB. New chemosensory component in
the U.S National Health Examination Survey (NHES): first-year result for
measured olfactory dysfunction. Review in endocrine and metabolic
disorder.2016;17(20): 221-240.
7. Al Amini DN. Nilai normal pemeriksaan threshold, diskriminasi dan
identifikasi penghidu dengan sniffin sticks di RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia. 2011: 49-55.
8. Mangunkusumo E. Gangguan Penghidu. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke 7. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas

12
Kedokteran Indonesia; 2012. Hal 136.
9. Yee KK, Pribitkin EA, Coward BJ, Vainius AA, Klock CT, Rosen D, et al.
Neuropathology of the olfactory mucosa in crhonic rhinosinusitis. Am J Rhinol
Allergy. 2010;24(2):110-20.
10. Lussen AW, Wolsfenberger M. Olfactory disorder following upper respiratory
tract infection. In: Hummel T, Lussen AW, Editors. Taste and smell.
Switzerland: Karger; 2006:125-32.
11. Han AY, Mukdad L, Long JL, Lopez IA. Anosmia in COVID-19: Mechanisms
and Significance. Oxford Academic. 2020 Juli. 45(6):423-428. Available from:
https://doi.org/10.1093/chemse/bjaa040.
12. Contanzo RM, Miwa T. Post Traumatic olfactory loss. In: Hummel T, Lussen
AW, editors. Taste and Smell. Switzerland: Karger; 2006:125-32.
13. Seubert J, Laukka EJ, Rizzuto D, Hummel T, Fragtilioni L, et al. Prevalense
and corelates of olfactory dysfunction in old age : A population-based study.
The Journals of Gerontology. Series A. 2017;72(8):1072-9.
14. Ueha R, Ueha S, Kondo K, Kikuta S, Yamasoba T. Cigarette smoke induced
cell death causes persistent olfactory dysfunction in age mice. Front in Aging
Neuroscience. 2018 June.10:183. Available from:
https://doi.org/10.3389/fnagi.2018.00183.
15. Huriyati E, Nelvia T. Gangguan Fungsi Penghidu dan Pemeriksaannya. J
Kesehatan Andalas. 2014;3(1):1-7. available from
https://doi.org/10.25077/jka.v3i1.16.
16. Lay AM, Mcginley CM. A Nasal Chemosensory Performance Test for Odor
Inspectors Authored by : Five Senses. 2004;(April):18-21.
17. Cho SH. Clinical Diagnosis and Treatment of Olfactory Dysfunction. Hanyang
Med Rev. 2014;34(3):107. available from :
https://doi.org/10.7599/hmr.2014.34.3.107.

13
18. Kim DH, Kim SW, Hwang SH, et al. Prognosis of Olfactory Dysfunction
according to Etiology and Timing of Treatment. Otolaryngol - Head Neck Surg
(United States). 2017;156(2):371-377. https://doi:10.1177/0194599816679952.

14

Anda mungkin juga menyukai