Anda di halaman 1dari 18

GANGGUAN PENGHIDU

I. DEFINISI
Gangguan penghidu atau osmia adalah ketidakmampuan atau menurunnya
kemampuan seseorang untuk mempresepsikan suatu bau akibat terhalangnya
partikel bau ke reseptor saraf yang dapat disebabkan oleh terganggunya nervus
olfaktorius mulai dari reseptor sampai pusat olfaktorius.1

II. ANATOMI HIDUNG


Hidung terdiri atas nasus externus (hidung luar) dan cavum nasi. Nasus
externus adalah bagian yang dapat dilihat dan menonjol pada bagian wajah. Nasus
externus mempunyai ujung yang bebas, yang dilekatkan ke dahi melalui radix nasi
atau jembatan hidung. Nares atau lubang hidung dibatasi oleh ala pada bagian
lateral dan bagian medial oleh septum nasi.2,3
Cavum nasi terletak dari nares dan sampai ke posterior di dalam
nasofaring melalui choanae. Cavum nasi dilapisi oleh mukosa kecuali vestibulum
nasi yang dilapisi oleh kulit. Dua pertiga inferior mukosa nasal adalah area
respirasi dan sepertiga superior adalah area olfaktori. Area olfaktori berisi organ
periferal penghidu.2,3
Bagian inferior kavum nasi berbatasan dengan kavum oris dipisahkan oleh
palatum durum. Ke arah posterior berhubungan dengan nasofaring melalui koana.
Di sebelah lateral dan depan dibatasi oleh nasus externus. Di sebelah lateral
belakang berbatasan dengan orbita : sinus maksilaris, sinus etmoidalis, fossa
pterygopalatina, fossa pterigoides.2,3

1
Gambar 1. Anatomi Hidung.1

Suplai pembuluh darah dinding medial dan lateral cavum nasi berasal dari
lima sumber yaitu arteri etmoidalis anterior (dari A. Opthalmica), arteri etmoidalis
posterior (dari A. Opthalmica), arteri spenopalatina (dari A. maxilaris), arteri
palatina major (dari A. maxilaris), dan ramus septalis arteri labialis superior dari
A. facialis.2,3

Gambar 2. Suplai perdarahan pada kavum nasi2


Persarafan yang dihubungkan dengan penghidu yaitu nervus olfaktorius
yang berasal dari sel-sel dalam epitel olfaktorius pada bagian superior dinding
lateral dan septal kavum nasi. Prosesus sentralis sel-sel tersebut (yang membentuk
nervus olfaktorius) berjalan melalui lamina kribrosa dan berakhir pada bulbus

2
olfaktorius di dalam fossa crania anterior. Dari ujung posterior bulbus olfaktorius
keluar sebuah pita putih, disebut traktus olfaktorius yang berjalan kebelakang
menuju area olfaktori korteks serebri. Saraf- saraf pada sensasi umum berasal dari
divisi opthalmica dan nervus maxilaris dari nervus trigeminus. Persarafan bagian
anterior kavum nasi berasal dari nervus etmoidalis anterior. Persarafan bagian
posterior kavum nasi berasal dari ramus nasalis, ramus nasopalatinus, dan ramus
palatines ganglion pterygopalatinum.2,3

Gambar 3. Persarafan pada dinding lateral kavum nasi2

Gambar 4. Persarafan pada dinding medial kavum nasi2

3
III. FISIOLOGI PENGHIDU
Hidung manusia mengandung 5 juta reseptor olfaktorius, dengan 1000 tipe
berbeda. Selama deteksi bau, sebuah bau “diuraikan” menjadi berbagai
komponen. Setiap reseptor berespon hanya terhadap satu komponen diskret suatu
bau dan bukan terhadap molekul odoran keseluruhan. Karena itu, masing-masing
bagian dari satu odoran di deteksi oleh satu dari ribuan reseptor yang berbeda, dan
sebuah reseptor dapat berespon terhadap komponen bau tertentu yang terdapat di
berbagai aroma. Bagian dari fungsi penghidu yang terlibat adalah neuroepitel
olfaktorius, bulbus olfaktorius dan korteks olfaktorius.4
Mukosa olfaktorius merupakan suatu bercak mukosa 3 cm2 di atap rongga
hidung, mengandung tiga jenis sel: sel reseptor olfaktorius, sel penunjang, dan sel
basal. Sel penunjang mengeluarkan mukus, yang melapisi saluran hidung. Sel
basal adalah prekursor untuk sel reseptor olfaktorius baru, yang diganti sekitar
setiap dua bulan. Sel reseptor olfaktorius adalah neuron aferen yang bagian
reseptornya terletak di mukosa olfaktorius di hidung yang akson aferennya
berjalan ke dalam otak. Akson sel-sel reseptor olfaktorius secara kolektif
membentuk saraf olfaktorius. 4

Gambar 5. Lokasi dan struktur reseptor olfaktorius4


Pengikatan sinyal bau tertentu dengan reseptor olfaktorius mengaktifkan
protein G, memicu jenjang reaksi intra sel dependen-cAMP (Adenosina
monofosfat siklik) yang menyebabkan terbukanya saluran Na+. Perpindahan ion
yang terjadi menyebabkan depolarisasi potensial reseptor yang menghasilkan

4
potensial aksi di serat aferen. Frekuensi potensial aksi bergantung pada
konsentrasi molekul kimiawi perangsang.4
Serat-serat aferen yang berasal dari ujung reseptor hidung berjalan melalui
lubang-lubang halus di lempeng tulang gepeng yang memisahkan mukosa
olfaktorius dari jaringan otak di atasnya. Serat-serat ini segera bersinaps di bulbus
olfaktorius, suatu struktur saraf kompleks yang mengandung beberapa lapisan sel
secara fungsional mirip dengan lapisan retina mata. Masing-masing bulbus
olfaktorius dilapisi oleh taut-taut saraf kecil mirip bola yang dikenal sebagai
glomerulus. Di dalam setiap glomerulus ini, ujung-ujung sel reseptor yang
membawa informasi tentang komponen bau tertentu bersinap dengan sel
berikutnya di jalur olfaktorius, sel mitral. Karena masing-masing glomerulus
menerima sinyal hanya dari reseptor yang mendeteksi komponen bau tertentu,
maka glomerulus berfungsi sebagai “arsip bau”. 4

Gambar 6. Pemrosesan bau di bulbus olfaktorius4


Sel mitral tempat berakhirnya reseptor olfaktorius di glomerulus
menyempurnakan sinyal bau dan memancarkannya ke otak untuk pemrosesan
lebih lanjut. Sera-serat yang meninggalkan bulbus olfaktorius berjalan dalam dua
rute yang berbeda yaitu:4
1. Sebuah rute subkorteks yang terutama menuju ke daerah-daerah sistem
limbik, khususnya sisi medial bawah lobus temporalis (dianggap sebagai

5
korteks penciuman primer). Rute ini mencakup hipotalamus,
memungkinkan koordinasi erat antara bau dan reaksi perilaku.
2. Sebuah rute melalui thalamus ke korteks.

Gambar 7. Korteks olfaktorius3

IV. EPIDEMIOLOGI
Gangguan penghidu atau penurunan kemampuan menghidu dapat terjadi
pada 1% orang yang berusia diabwah 60 tahun dan lebih dari setengah populasi
pada usia di atas 60 tahun.5
Penelitian di United States tahun 2016 didapatkan hasil bahwa dari 3.519
orang, didapatkan 13,5% mengalami gangguan penghidu dengan usia paling
banyak > 70 tahun.6 Prevalensi gangguan penghidu juga banyak ditemukan pada
pasien yang mengalami rinosinusitis kronik yaitu sebanyak 78,2% dengan
menggunakan pemeriksaan sniffin sticks score.7

V. KLASIFIKASI GANGGUAN PENGHIDU


Kemampuan penghidu normal didefinisikan sebagai normosmia.
Gangguan penghidu dapat berupa:8
 Hiposmia adalah bila daya penghidu berkurang. Dapat disebabkan oleh
obstruksi hidung, seperti rhinitis alergi, rhinitis vasomotor, rhinitis

6
atrofi, hipertrofi konka, deviasi septum, polip, dan tumor. Dapat juga
terjadi pada beberapa penyakit sistemis, misalnya diabetes, gagal ginjal
dan gagal hati serta pemakaian obat seperti antihistamin, dekongestan,
antibiotika, antimetabolit, anti peradangan, dan antitiroid.
 Anosmia adalah bila daya penghidu hilang. Dapat timbul akibat trauma
di daerah frontal atau oksipital. Selain itu anosmia dapat juga terjadi
setelah infeksi oleh virus, tumor seperti osteoma atau meningioma, dan
akibat proses degenerasi pada orang tua.
 Parosmia adalah bila sensasi penghidu berubah, terutama disebabkan
oleh trauma.
 Kakosmia adalah bila ada halusinasi bau, dapat timbul pada epilepsi
ursinatus, lobus temporalis. Mungkin juga terdapat pada kelainan
psikologik, seperti rendah diri, atau kelainan psikiatrik depresi dan
psikosis.

VI. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS GANGGUAN PENGHIDU


Penyebab gangguan penghidu dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu
gangguan transpor odoran, gangguan sensoris, dan gangguan saraf. Gangguan
transpor disebabkan pengurangan odoran yang sampai ke epitelium olfaktorius,
misalnya pada inflamasi kronik dihidung. Gangguan sensoris disebabkan
kerusakan langsung pada neuroepitelium olfaktorius, misalnya pada infeksi
saluran nafas atas, atau polusi udara toksik. Sedangkan gangguan saraf disebabkan
kerusakan pada bulbus olfaktorius dan jalur sentral olfaktorius, misalnya pada
penyakit neurodegeneratif, atau tumor intrakranial. Penyakit yang sering
menyebabkan gangguan penghidu adalah trauma kepala, infeksi saluran nafas
atas, dan penyakit sinonasal.1,5,8
 Trauma kepala
Trauma kepala dapat menyebabkan kehilangan sebagian atau seluruh
fungsi penghidu. Hal ini disebabakan kerusakan pada epitel olfaktorius

7
dan gangguan aliran udara dihidung. Adanya trauma menyebabkan
hematom pada mukosa hidung, atau luka pada epitel olfaktorius.
Kerusakan dapat terjadi pada serat saraf olfaktorius, bulbus olfaktorius
dan kerusakan otak di regio frontal, orbitofrontal, dan temporal. 1,5,8
 Infeksi saluran nafas
Infeksi saluran nafas atas yang sering menyebabkan gangguan
penghidu yaitu common cold. Kemungkinan mekanismenya adalah
kerusakan langsung pada epitel olfaktorius atau jalur sentral karena
virus itu sendiri yang dapat merusak sel reseptor olfaktorius. Gangguan
penghidu yang disebabkan oleh infeksi saluran nafas atas tidak seberat
gangguan penghidu yang disebabkan trauma kepala.1,5,8
 Penyakit sinonasal
Gangguan penghidu pada penyakit sinonasal seperti rinosinusitis
kronik atau rinitis alergi disebabkan inflamasi dari saluran nafas yang
menyebabkan berkurangnya aliran udara dan odoran yang sampai ke
mukosa olfaktorius. Gangguan penghidu pada rinosinusitis kronik dan
rinitis alergi dapat berupa gangguan konduktif atau saraf. Perubahan
pada aliran udara di celah olfaktorius yang disebabkan rinosinusitis
kronik yaitu edem pada mukosa hidung menyebabkan gangguan
konduksi.1,5,8
Inflamasi pada epitel olfaktorius menghasilkan mediator inflamasi
yang akan merangsang hipersekresi dari kelenjar bowman’s. Hal ini
akan mengubah konsentrasi ion pada mukus olfaktorius yang akan
mengganggu pada tingkat konduksi atau transduksi. Mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh limfosit, makrofag, dan eosinofil yaitu
sitokin yang bersifat toksik terhadap reseptor neuron olfaktorius.
Disini yang terlibat adalah proses di saraf. Proses inflamasi kronik bisa
menyebabkan kerusakan permanen pada reseptor olfaktorius.1,5,

8
VII. DIAGNOSIS GANGGUAN PENGHIDU
 Anamnesis
Anamnesis sangat diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis
gangguan penghidu. Pada anamnesis ditanyakan riwayat trauma
kepala, penyakit sinonasal, dan infeksi saluran nafas atas, riwayat
penyakit sistemik, riwayat penyakit neurodegeneratif, kebiasaan
merokok, dan semua faktor yang bisa menyebabkan gangguan
penghidu.1,5
Selain itu, pada anamnesis juga perlu ditanyakan lama keluhan, apakah
terus-menerus atau hilang timbul dan apakah unilateral. Pada parosmia
atau kakosmia perlu lebih dijelaskan baunya bagaimana. Adakah
penyakit atau trauma yang diderita sebelumnya dan adakah pemakaian
obat-obatan sebelumnya, dan macam obat serta lama pemakaiannya.
Perlu diketahui juga mengenai kelainan sensoris lain seperti gangguan
pengecap dan penglihatan.8
 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik THT meliputi pemeriksaan hidung dengan rinoskopi
anterior, posterior dan nasoendoskopi untuk menilai ada atau tidaknya
sumbatan di hidung, seperti inflamasi, polip, hipertrofi konka, septum
deviasi, penebalan mukosa, dan massa tumor akan mempengaruhi
proses transpor odoran ke area olfaktorius.1,8
 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menyingkirkan kelainan intrakranial
dan evaluasi kondisi anatomis dari hidung, misalnya pada kasus tumor
otak atau kelainan dihidung. Pemeriksaan foto polos kepala tidak
banyak memberikan data tentang kelainan ini. Pemeriksaan Computer
Tomography(CT-SCAN) merupakan pemeriksaan yang paling berguna
untuk memperlihatkan adanya massa, penebalan mukosa atau adanya
sumbatan pada celah olfaktorius. Pemeriksaan Magnetic Resonance

9
Imaging (MRI) merupakan pemeriksaan yang lebih sensitif untuk
kelainan pada jaringan lunak. Pemeriksaan ini dilakukan bila ada
kecurigaan adanya tumor.1,5,8
 Pemeriksaan kemosensoris penghidu
Pemeriksaan kemosensoris penghidu yaitu pemeriksaan dengan
menggunakan odoran tertentu untuk merangsang sistem penghidu. Ada
beberapa jenis pemeriksaan ini, diantaranya tes UPSIT (University of
Pennsylvania Smell Identification), Tes The Connecticut
Chemosensory Clinical Research Center (CCCRC), Tes “Sniffin
Sticks”, Tes Odor Stick Identification Test for Japanese (OSIT-J).1,5,9
1. Tes UPSIT (University of Pennsylvania Smell Identification).
Tes ini berkembang di Amerika dan sangat di sarankan untuk
pasien yang mengalami gangguan penghidu. Tes ini menggunakan
40 item pilihan yang dilengkapi dengan fitur microencapsulated
scratch-and-sniff odors. Untuk contoh, pada item akan terbaca
“bau ini adalah bau (a) cokelat, (b) pisang, (c) bawang”. Pasien
akan dinstruksikan untuk menjawab pertanyaan. Jika skor pasien
7-19 dari 40 maka pasien mengalami gangguan penghidu.5,9

Gambar 8. Alat test UPSIT9

2. Tes The Connecticut Chemosensory Clinical Research Center


(CCCRC)
Tes ini untuk mendeteksi ambang penghidu dan identifikasi
odoran. Untuk ambang penghidu digunakan larutan butanol 4%
dan diencerkan dengan aqua steril dengan perbandingan 1:3,

10
sehingga didapat 8 pengenceran pada 8 tempat yang berbeda.
Tempat untuk butanol 4% diberi nomor 0, dilanjutkan dengan
pengenceran diberi sampai nomor 8. Dalam melakukan tes dimulai
dari nomor 8, nomor 7 dan seterusnya sampai nomor 0. Untuk
menghindari bias pasien disuruh menentukan mana yang berisi
odoran tanpa perlu mengidentifikasikannya. Ambang penghidu
didapat bila jawaban betul 5 kali berturut-turut tanpa kesalahan.
Pemeriksaan dikerjakan bergantian pada hidung kiri dan kanan,
dengan menutup hidung kiri bila memeriksa hidung kanan atau
sebaliknya.11,12
Tes kedua yaitu identifikasi penghidu, dengan menggunakan
odoran kopi, coklat, vanila, bedak talk, sabun, oregano, dan
napthalene. Nilai ambang dan identifikasi dikalkulasikan dan
dinilai sesuai skor CCCRC.11,12

Gambar 9. Alat tes CCCRC11


3. Tes “Sniffin Sticks”
Tes Sniffin Sticks adalah tes untuk menilai kemosensoris dari
penghidu dengan alat yang berupa pena. Tes ini dipelopori working
group olfaction and gustation di Jerman dan pertama kali
diperkenalkan oleh Hummel dan kawan-kawan. Tes ini sudah
digunakan pada lebih dari 100 penelitian yang telah
dipublikasikan, juga dipakai di banyak praktek pribadi dokter di
Eropa.13,14,15
Panjang pena sekitar 14 cm dengan diameter 1,3 cm yang berisi
4 ml odoran dalam bentuk tampon dengan pelarutnya propylene

11
glycol. Alat pemeriksaan terdiri dari pena, penutup mata dan
sarung tangan yang bebas dari odoran.13,14,15

Gambar 10. Alat tes “Sniffin Sticks”15


Pengujian dilakukan dengan membuka tutup pena selama 3 detik
dan pena diletakkan 2 cm di depan hidung. Pemeriksaan dilakukan
dengan menutup mata subyek untuk menghindari identifikasi
visual dari odoran.13,14,15

Gambar 11. Cara melakukan tes “Sniffin sticks”15


Dari Tes ini dapat diketahui tiga komponen, yaitu ambang
penghidu (Treshold/T), diskriminasi penghidu (Discrimination/D),
dan identifikasi penghidu (Identification/I). Untuk ambang
penghidu (Treshold/T), digunakan n-butanol sebagai odoran. Tes
ini menggunakan triple forced choice paradigma yaitu metode
bertingkat tunggal dengan 3 pilihan jawaban. Pengujian dilakukan
dengan pengenceran n-butanol, dimulai dengan 4% n-butanol, dan

12
dilanjutkan menjadi 16 serial pengenceran dengan perbandingan
1:2 menggunakan pelarut aqua deionisasi. Tes dilakukan dengan
menggunakan 3 buah pena dalam urutan acak, 2 pena berisi larutan
dan 1 pena berisi odoran. Pemeriksaan dilakukan dalam waktu 20
detik. Skor yang diberikan untuk ambang penghidu adalah 0
sampai 16.13,14,15
Untuk diskriminasi penghidu (D), dilakukan dengan menggunakan
3 pena secara acak dimana 2 pena berisi odoran yang sama dan
pena ke-3 berisi odoran yang berbeda. Pasien disuruh menentukan
mana odoran yang berbeda dari 3 pena tersebut. Pemeriksaan 3
serangkai pena ini dilakukan 20-30 detik. Skor untuk diskriminasi
penghidu adalah 0 sampai 16.13,14,15
Untuk identifikasi penghidu (I), tes dilakukan dengan
menggunakan 16 odoran yang berbeda, yaitu jeruk, kulit sepatu,
peppermint, pisang, lemon, akar manis, cengkeh, kayu manis,
minyak tusam, bawang putih, kopi, apel, nanas, mawar dan ikan.
Untuk satu odoran yang betul diberi skor 1 dan nilai skor untuk tes
identifikasi penghidu antara 0-16. Interval antara pengujian
minimal 30 detik untuk proses desensitisasi dari nervus
olfaktorius.13,14,15
Untuk menganalisa fungsi penghidu seseorang digunakan skor TDI
( Treshold/ Discrimination/ Identification ). Hasil dari ketiga
subtes “Sniffin Sticks” dinilai dengan menjumlahkan nilai T-D-I.
Dengan rentangan skor 1-48, bila skor ≤15 dikategorikan anosmia,
16-29 dikategorikan hiposmia dan ≥30 dikategorikan normosmia.
Tes ini menggambarkan tingkat dari gangguan penghidu, tapi tidak
menerangkan letak anatomi dari kelainan yang terjadi.13,14,15
4. Tes Odor Stick Identification Test for Japanese (OSIT-J).
OSIT-J terdiri dari 13 bau yang berbeda tapi familiar dengan
populasi Jepang yaitu condessed milk, gas memasak, kari, hinoki,

13
tinta, jeruk Jepang, menthol, parfum, putrid smell, roasted garlic,
bunga mawar, kedelai fermentasi, dan kayu. Odoran berbentuk
krim dalam wadah lipstik. Pemeriksaan dilakukan dengan
mengoleskan odoran pada kertas parafin dengan diameter 2 cm,
untuk tiap odoran diberi 4 pilihan jawaban. Hasil akhir ditentukan
dengan skor OSIT-J.16,17

Gambar 12. Stik odor berbentuk lipstik17

Gambar 13. Cara pemeriksaan OSIT-J17

VIII. PENATALAKSANAAN
 Hiposmia Konduktif
Terapi bagi pasien-pasien dengan kurang penciuman hantaran akibat rinitis
alergi, rinitis dan sinusitis bakterial, polip, neoplasma, dan kelainan-
kelainan struktural pada rongga hidung dapat dilakukan secara rasional
dan dengan kemungkinan perbaikan yang tinggi. Terapi berikut ini
seringkali efektif dalam memulihkan sensasi terhadap bau yaitu

14
pengelolaan alergi, terapi antibiotik, terapi glukokortikoid sistemik dan
topikal dan operasi untuk polip nasal, deviasi septum nasal, dan sinusitis
hiperplastik kronik.5
 Hiposmia Sensorineural
Tidak ada terapi dengan kemanjuran yang telah terbukti bagi gangguan
penciuman sensorineural. Untungnya, penyembuhan spontan sering
terjadi. Sebagian dokter menganjurkan terapi zinc dan vitamin. Defisiensi
zink yang mencolok tidak diragukan lagi dapat menyebabkan kehilangan
dan gangguan sensasi bau, namun bukan merupakan masalah klinis
kecuali di daerah-daerah geografik yang sangat kekurangan. Terapi
vitamin sebagian besar dalam bentuk vitamin A. Degenerasi epitel akibat
defisiensi vitamin A dapat menyebabkan anosmia, namun defisiensi
vitamin A bukanlah masalah klinis yang sering ditemukan di negara-
negara barat. Pajanan pada rokok dan bahan-bahan kimia beracun di udara
yang lain dapat menyebabkan metaplasia epitel penciuman. Penyembuhan
spontan dapat terjadi bila faktor pencetusnya dihilangkan; karenanya,
konseling pasien sangat membantu pada kasus-kasus ini. 5

IX. PROGNOSIS
Prognosis dari gangguan penghidu sebagian besar tergantung pada
etiologinya. Gangguan penghidu akibat sumbatan yang disebabkan oleh polip,
neoplasma, pembengkakan mukosa, atau deviasi septum dapat disembuhkan.
Bila sumbatan tadi dihilangkan, kemampuan penciuman dapat kembali. Sebagian
besar pasien yang mengalami gangguan penghidu saat menderita infeksi saluran
nafas bagian atas dapat sembuh sempurna kemampuan penghidunya.5

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Doty RL, Bromley SM, Panganiban WD. Olfactory function and


disfunction. In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, editors. Head and
Neck Surgery Otolaryngology 4th ed. Philadelphia: Lippincott William &
Wilkins. 2006. p. 290-305

2. Moore KL, Dalley AF. Hidung. Dalam: Anatomi berorientasi klinis edisi 5
jilid 3. Jakarta: Erlangga. 2013. Hal. 129-34

3. Snell RS. Kepala dan leher. Dalam: Anatomi klinik untuk mahasiswa
kedokteran edisi 6. Jakarta: EGC. 2000. Hal. 803-5

4. Sherwood L. Indera kimiawi: pengecapan dan penciuman. Dalam:


Fisiologi manusia dari sel ke sistem edisi 6. Jakarta: EGC. 2007. Hal. 243-
50

5. Lalwani AK. Olfactory dysfunction. In: Current diagnosis and treatment


otolaryngology head and neck surgery 2th Ed. New York: Mc Graw Hill.
2008. p.232-6

6. Lin G, Zong G, Doty RL, Sun Q. Prevalence and risk factors of taste and
smell impairment in a nationwide representative sample of the US
population: a cross-sectional study. British Medical J. 2016:1-9

7. Kohli P, Naik AN, Harruff EE, Nguyen SA, Schlosser RJ, Soler ZM. The
prevalence of olfactory dysfunction in chronic rhinosinusitis. HHS public
access laryngoscope. 2017;127(2):309-20

8. Mangunkusumo E. Gangguan penghidu. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,


Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorokan Ed 7. Jakarta: Balai penerbit fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.2017. Hal. 136-7

9. Doty RL. Olfactory dysfunction and it’s measurement in the clinic.


Otorhinolaryngology head and neck surgery J. 2015:28-33

10. Rouby C, Danguin TT, Vigouroux M, Ciuperca G, Jiang T, Alexanian J, et


al. The lyon clinical olfactory test: Validation and measurement of
hyposmia and anosmia in healthy and diseased population. International
Journal of otolaryngology. 2011; 23:1-9

16
11. Vallecillo MVS, Fraire ME, Cagnani CB, Zernotti ME. Olfactory
disfunction in patient with cronic rhinosinusitis. International journal of
otolaringology .2012: 1-5

12. Vayseller B, Ozucer B, Karaaltin AB, Yildirim Y, Degirmenci N, Aksoy


F, et al. Connecticut (CCRC) olfactory test: normative values in 426
healthy volunteers. Indian J Otolaryngol. 2014; 6(1):31-34

13. Hummel T, Kobal G, Gudziol H, Mackay A. Normative data for the


“sniffin sticks” including test of odor identification, odor discrimination,
and olfactory thresholds: an upgrade based on a group of more than 3,000
subjects. Eur Arch otorhinolaryngol .2007; 264: 23-43

14. Lotsch J, Lange C, Hummel T. A simple and reliable method for clinical
assessment of odor tresholds. Chen Senses 2004; 29: 311-17

15. Lay AM, McGinlay CM. A nasal chemosensory performance test for odor
inspectors. Lake elmo; St Croix Sensory Inc .2004: 1-16

16. Kobayashi M, Reiter ER, Dinardo LJ, Costanzo RM. A new clinical
olfactory function test. Arch Otolaryngol Head neck surg 2007; 133: 331-6

17. Saito S, Kanamura SA, Takashima Y, Gotow N, Naito N, Nozawa T, et al.


Development of a smell identification test using a novel stick-type odor
presentation kit. Chem.sense J. 2006;31:379-91

17
18

Anda mungkin juga menyukai