Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

ANOSMIA PADA COVID-19

DISUSUN OLEH:

IRMANINGSIH I4061192023

PEMBIMBING:

dr. Eva Nurfarihah, M. Kes, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2021
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Anosmia adalah keadaan hilangnya fungsi hidu, baik total maupun parsial.
Anosmia dapat timbul akibat trauma di daerah frontal atau oksipital. Selain itu
anosmia dapat juga terjadi setelah infeksi oleh virus, tumor seperti osteoma, atau
meningioma dan akibat proses degenerasi pada orang tua. 1
Coronavirus 2 (SARSCoV-2) merupakan sindrom pernapasan akut parah yang
disebabkan oleh virus korona baru yang sangat menular dan bertanggung jawab atas
penyakit pandemi yang sedang berlangsung yang disebut penyakit coronavirus
(Covid-19).2 Ada beberapa kriteria gejala Covid-19 berdasarkan tingkat
keparahannya. Pada gejala ringan,pasien biasanya datang dengan gejala infeksi
virus saluran pernapasan bagian atas, termasuk demam ringan, batuk (kering), sakit
tenggorokan, hidung tersumbat, sakit kepala, nyeri otot, atau malaise. Kehilangan
rasa dan/atau bau (anosmia), diare, dan muntah juga biasanya diamati. Tanda dan
gejala penyakit yang lebih serius, seperti dispnea, tidak ada. Pada gejala sedang atau
disebut pneumonia sedang, dapat ditemukan gejala pernapasan seperti batuk dan
sesak napas (atau takipnea pada anak-anak) muncul tanpa tanda-tanda pneumonia
berat. Pada pneumonia berat, demam dapat disertai dengan dispnea berat, gangguan
pernapasan, takipnea (>30 napas/menit), dan hipoksia (SpO2 <90% pada udara
kamar). Sianosis bisa terjadi pada anak-anak. Dalam definisi ini, diagnosisnya
bersifat klinis, dan pencitraan radiologis digunakan untuk menyingkirkan
komplikasi. Gejala lainnya dapat berupa Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS) hingga syok sepsis.3
Anosmia yang terjadi pada Covid-19 biasanya timbul secara tiba-tiba dan
merupakan gejala sementara yang sebagian besar muncul tanpa gejala hidung lain
seperti obstruksi atau rhinorrhea.2 Hal tersebut membuat penulis ingin menulis
tentang anosmia pada Covid-19.
2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Sistem Penghidu


2.1.1. Anatomi Sistem Penghidu
Bagian-bagian yang berperan dalam fungsi hidu di antaranya adalah:
neuroepitel olfaktorius, bulbus olfaktorius, dan korteks olfaktorius.
a. Neuroepitel Olfaktorius
Neuroepitel olfaktorius terdapat di atap rongga hidung, yaitu di konka
superior, septum bagian superior, konka media bagian superior atau di
dasar lempeng kribriformis. Neuroepitel olfaktorius merupakan epitel
kolumnar berlapis semu yang berwarna kecoklatan, warna ini disebabkan
pigmen granul coklat pada sitoplasma kompleks golgi. 4,5,6

Gambar 1. Neuroepitel olfaktorius7

b. Bulbus Olfaktorius
Bulbus olfaktorius berada di dasar fossa anterior dari lobus frontal.
Bundel akson saraf penghidu (fila) berjalan dari rongga hidung dari
lempeng kribriformis diteruskan ke bulbus olfaktorius. Dalam masing-
masing fila terdapat 50 sampai 200 akson reseptor penghidu pada usia
muda, dan jumlah akan berkurang dengan bertambahnya usia. Akson dari
sel reseptor yang masuk akan bersinap dengan dendrit dari neuron kedua
dalam gromerulus.4,6,8
3

Gambar 2. Bulbus olfaktorius7

c. Korteks Olfaktorius
Terdapat 3 komponen korteks olfaktorius, yaitu pada korteks frontal
merupakan pusat persepsi terhadap penghidu. Pada area hipotalamus dan
amygdala merupakan pusat emosional terhadap odoran, dan area
enthorinal merupakan pusat memori dari odoran.6

Gambar 3. Skema Nervus Olfaktorius7


4

2.1.2. Fisiologi Sistem Penghidu

Mukosa olfaktorius merupakan suatu daaerah mukosa 3 cm2 di atap rongga


hidung, mengandung tiga jenis sel: sel reseptor olfaktorius, sel penunjang, dan sel
basal. Sel penunjang mengeluarkan mukus, yang melapisi saluran hidung. Sel basal
adalah prekursor untuk sel reseptor olfaktorius baru, yang diganti sekitar setiap dua
bulan. Indera penghiduan bergantung pada sel reseptor olfaktorius yang mendeteksi
bau, atau aroma. Sel reseptor olfaktorius adalah neuron aferen yang bagian
reseptornya terletak di mukosa olfaktorius di hidung dan yang akson aferennya
berjalan ke dalam otak. Akson sel-sel reseptor olfaktorius secara kolektif
membentuk saraf olfaktorius.

Gambar 4. Lokasi dan struktur sel reseptor olfaktorius8


Bagian reseptor sel reseptor olfaktorius terdiri dari sebuah tonjolan yang
membesar dan mengandung beberapa silia panjang yang berjalan seperti hiasan
rumbai-rumbai ke permukaan mukosa. Silia ini mengandung tempat untuk
mengikat odoran, molekul yang dapat dihidu.
Selama bernapas tenang, odoran biasanya mencapai reseptor sensitif hanya
dengan difusi karena mukosa olfaktorius berada di atas jalur normal aliran udara.
Tindakan mengendus meningkatkan proses ini dengan menarik arus udara ke arah
atas di dalam rongga hidung sehingga lebih banyak molekul odoriferosa di udara
yang berkontak dengan mukosa olfaktorius. Odoran juga mencapai mukosa
olfaktorius sewaktu makan dengan naik ke hidung dari mulut melalui faring
(belakang tenggorokan).
5

Agar dapat dihidu, suatu bahan harus (1) cukup mudah menguap sehingga
sebagian molekulnya dapat masuk ke hidung melalui udara inspirasi dan (2) cukup
larut air sehingga dapat masuk ke lapisan mukus yang menutupi mukosa
olfaktorius. Seperti reseptor kecap, agar dapat terdeteksi oleh reseptor olfaktorius,
molekul harus larut.
Hidung manusia mengandung 5 juta reseptor olfaktorius, dengan 1000 tipe
berbeda. Selama deteksi bau, bau "diuraikan" menjadi berbagai komponen. Setiap
reseptor berespons hanya terhadap satu komponen suatu bau dan bukan terhadap
molekul odoran keseluruhan. Karena itu, tiap-tiap bagian suatu bau dideteksi oleh
satu dari ribuan reseptor berbeda, dan sebuah reseptor dapat berespons terhadap
komponen bau tertentu yang terdapat di berbagai aroma.
Pengikatan sinyal bau tertentu dengan reseptor olfaktorius mengaktifkan
protein G, memicu kaskade reaksi intrasel dependen-cAMP yang menyebabkan
terbukanya kanal kation nonspesifik berpintu cAMP. Masuknya Na + neto
menyebabkan potensial reseptor pendepolarisasi yang menghasilkan potensial aksi
di serat aferen. Frekuensi potensial aksi bergantung pada konsentrasi molekul
kimiawi perangsang.
Serat-serat aferen yang berasal dari ujung reseptor di hidung berjalan melalui
lubang-lubang halus di lempeng tulang gepeng yang memisahkan mukosa
olfaktorius dari jaringan otak di atasnya. Serat-serat ini segera bersinaps di bulbus
olfaktorius, suatu struktur sarafkompleks yang mengandung beberapa lapisan sel
yang secara fungsional mirip dengan lapisan retina mata. Bulbus olfaktorius yang
kembar, satu di masing-masing sisi, berukuran sebesar anggur kecil. Tiap-tiap
bulbus olfaktorius dilapisi oleh taut-taut saraf kecil mirip-bola yang dikenal sebagai
glomerulus (berarti "bola kecil"). Di dalam setiap glomerulus, ujung-ujung sel
reseptor yang membawa informasi tentang komponen bau tertentu bersinaps
dengan sel berikutnya di jalur olfaktorius, sel mitral. Karena tiap-tiap glomerulus
menerima sinyal hanya dari reseptor yang mendeteksi komponen bau tertentu,
glomerulus berfungsi sebagai "arsip bau". Komponen komponen suatu bau disortir
ke dalam glomerulus yang berbeda-beda, satu komponen per arsip. Karena itu,
glomerulus, yang merupakan stasiun pemancar pertama untuk pemrosesan
informasi bau, berperan kunci dalam pengorganisasian persepsi bau. Sel mitral
6

tempat berakhirnya reseptor olfaktorius di glomerulus menyempurnakan sinyal bau


dan memancarkannya ke otak untuk pemrosesan lebih lanjut. Serat-serat yang
meninggalkan bulbus olfaktorius berjalan dalam dua rute:
1. Sebuah rute subkorteks terutama menuju ke daerah-daerah system limbik,
khususnya sisi medial bawah lobus temporalis (dianggap sebagai korteks
olfaktorius primer). Rute ini, yang mencakup hipotalamus, memungkinkan
koordinasi erat antara bau dan reaksi perilaku yang berkaitan dengan makan,
kawin, dan orientasi arah.
2. Sebuah rute melalui talamus ke korteks. Seperti indra lain, rute korteks
penting untuk persepsi sadar dan diskriminasi halus bau.

Gambar 5. Pemrosesan bau di bulbus olfaktorius8


Karena setiap odoran mengaktifkan banyak reseptor dan glomerulus sebagai
respons terhadap komponen-komponen baunya yang berbeda-beda, diskriminasi
bau didasarkan pada pola-pola glomerulus yang diaktifkan oleh berbagai bau.
Dengan cara ini, korteks dapat membedakan lebih dari 10.000 bau. Mekanisme
untuk menyortir dan membedakan berbagai bau ini sangat efektif. Contoh penting
adalah kemampuan kita mendeteksi metil merkaptan (bau bawang) pada
konsentrasi 1 molekul per 50 miliar molekul di udara. Bahan ini ditambahkan ke
gas alam yang tidak berbau agar kita dapat mendeteksi kebocoran gas yang
berpotensi mematikan. Meskipun dengan sensitivitas yang impresif ini, sensasi bau
7

yang dimiliki manusia masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan spesies lain.
Sebagai perbandingan, indera penghidu anjing ratusan kali lebih peka dibandingkan
dengan yang dimiliki oleh manusia. Anjing pemburu, sebagai perbandingan,
memiliki sekitar 4 miliar sel reseptor olfaktorius dibandingkan kita yang 5 juta,
yang menyebabkan anjing ini memiliki kemampuan mengendus bau yang superior.
Meskipun sistem olfaktorius sensitif dan memiliki kemampuan diskriminasi yang
tinggi, sistem ini juga cepat beradaptasi. Sensitivitas terhadap suatu bau baru cepat
berkurang setelah periode pajanan yang singkat terhadap bau tersebut, meskipun
sumber bau masih ada. Penurunan sensitivitas ini tidak melibatkan adaptasi
reseptor, seperti diperkirakan oleh para peneliti selama bertahun-tahun; sebenarnya,
reseptor olfaktorius itu sendiri beradaptasi lambat.Adaptasi ini tampaknya
melibatkan sebagian proses adaptasi di tampaknya melibatkan sebagian proses
adaptasi di SSP. Adaptasi bersifat spesifik untuk bau tertentu, dan responsivitas
terhadap bau lain tidak berubah. Apa yang membersihkan odoran dari tempat
pengikatan di reseptor olfaktorius sehingga sensasi bau tidak terus-menerus ada
setelah sumber bau hilang? Di mukosa penghiduan ini ada beberapa enzim
"pemakan bau" yang berfungsi sebagai "penjaga pintu" molekular, membersihkan
molekul-molekul odoriferosa sehingga mereka tidak terus-menerus merangsang
reseptor olfaktorius. Menariknya, enzim-enzim pembersih odoran ini secara
kimiawi sangat mirip dengan enzim detoksifikasi yang ditemukan di hati. Enzim-
enzim hati ini menginaktifkan bahan yang berpotensi toksik dari saluran cerna.
Kemiripan ini mungkin bukan kebetulan. Para peneliti berspekulasi bahwa enzim-
enzim hidung mungkin memiliki fungsi rangkap sebagai pembersih mukosa
olfaktorius dari odoran lama dan pengubah bahan-bahan kimia yang berpotensi
toksik menjadi molekul yang tidak membahayakan. Detoksifikasi semacam ini
akan memiliki fungsi sangat penting, karena terbukanya saluran antara mukosa
olfaktorius dan otak.8

2.2. Gangguan Penghidu


Gangguan penghidu pada dasarnya dibagi menjadi gangguan konduksi dan
gangguan sensori-neural. Pada gangguan konduksi, terdapat proses yang secara
mekanik memengaruhi transport molekul odoran menuju epitel olfaktorius. Celah
8

olfaktorius sangat mudah mengalami obstruksi akibat sumbatan atau akibat


perubahan mukosa menjadi polipoid.
Gangguan sensori-neural meliputi adanya kerusakan pada jalur sinyal reseptor
mulai dari epitel olfaktori hingga neuron olfaktorius (gangguan sensoris), maupun
prosesnya di otak (gangguan neural). Namun, pada banyak kasus, sangat sulit untuk
mengklasifikasikan gangguan penghidu berdasarkan kedua kelompok tersebut. Hal
ini disebabkan karena sumbatan transpor odoran menuju epitel olfaktorius dan
kerusakan neuron system olfaktorius dapat terjadi secara bersamaan.
Gangguan penghidu akibat konduksi umumnya dapat diterapi, tetapi tidak
demikian halnya pada gangguan akibat kerusakan sensori-neural. Selain itu, diduga
ada peranan apoptosis sebagai penyebab lain gangguan penghidu. Hal tersebut
terjadi akibat penurunan jumlah neuron olfaktoius matur, yang disertai peningkatan
apoptosis neuron olfaktorius di dalam epitel. Apoptosis ini berhubungan dengan
adanya infiltrasi eosinofilik dan jumlah neuron olfaktorius yang mati melebihi
kapasitas kemampuan neuron tersebut untuk melakukan regenerasi.
Gangguan penghidu disebut hiposmia bila daya penghidu berkurang, anosmia
bila daya penghidu hilang, hiperosmia bila persepsi bau berlebihan, parosmia bila
sensasi penghidu berubah, phantosmia bila ada persepsi bau sedangkan sumbernya
tidak ada, serta kakosmia bila ada halusinasi bau busuk. 9

2.3. Anosmia
2.3.1. Definisi
Anosmia adalah hilangnya daya penghidu.9

2.3.2. Klasifikasi
Anosmia dibagi menjadi tiga, yaitu anosmia total, parsial, dan anosmia
spesifik. Anosmia total adalah ketidakmampuan untuk mendeteksi sensasi hidu
apapun. Anosmia parsial adalah kemampuan untuk mendeteksi beberapa, namun
tidak semua sensasi hidu. Sedangkan anosmia spesifik adalah ketidakmampuan
untuk mendeteksi bau tertentu yang dapat terhidu oleh orang lain. 10
9

2.3.3. Etiologi
Masalah yang menyebabkan gangguan pada jalur yang mengarah pada
persepsi hidu, baik mekanis maupun di sepanjang jalur saraf penghidu dapat
menyebabkan anosmia.11

a. Gangguan Peradangan dan Obstruktif (50% hingga 70% kasus


anosmia)

Ini adalah penyebab paling umum dari anosmia, dan ini termasuk penyakit
sinus hidung dan paranasal (rhinosinusitis, rinitis, dan polip
hidung). Gangguan ini menyebabkan anosmia melalui peradangan pada
mukosa maupun melalui penyumbatan langsung.

b. Trauma kepala

Trauma kepala adalah penyebab umum anosmia lainnya karena trauma pada
kepala dapat menyebabkan kerusakan pada hidung atau sinus yang
menyebabkan penyumbatan mekanis. Cara lain cedera dapat menyebabkan
anosmia adalah dengan trauma atau kerusakan akson penghidu yang ada di
pelat kribriformis, kerusakan bulbus olfaktorius, atau cedera langsung ke
daerah penghidu korteks serebral. Trauma sistem saraf pusat (SSP) yang
menyebabkan anosmia dapat bersifat sementara atau permanen tergantung
pada area dan luasnya cedera. Saraf penghidu memiliki kemampuan
regeneratif yang tidak dimiliki oleh saraf SSP lain di tubuh. Kemampuan
unik ini adalah pusat dari banyak penelitian terkait sel induk saat ini.

c. Penuaan dan Proses Neurodegeneratif

Proses ini terkait dengan hilangnya penghidu yang pada akhirnya dapat
menyebabkan anosmia. Penuaan normal dikaitkan dengan penurunan
kepekaan terhadap penghidu. Seiring bertambahnya usia seseorang, mereka
kehilangan jumlah sel di olfaktorius serta area permukaan epitel olfaktorius
yang penting dalam merasakan bau.
10

d. Kondisi Bawaan

Kondisi bawaan yang berhubungan dengan anosmia termasuk sindrom


Kallmann dan sindrom Turner.

e. Kondisi Infeksi

Anosmia dikatakan sebagai salah satu gejala awal infeksi COVID-19.

f. Kondisi Traumatis atau Obstruktif Lainnya

Penyebab lain dari anosmia antara lain agen toksik seperti tembakau, obat-
obatan, dan uap yang dapat menyebabkan disfungsi penghidu, disfungsi
penghidu pasca virus, trauma wajah yang melibatkan deformitas hidung
atau sinus, neoplasma di rongga hidung atau otak yang menghalangi jalur
sinyal penghidu, dan perdarahan subarachnoid. Meningioma alur penghidu
dapat muncul dengan gangguan penghidu yang perlahan memburuk.
Pengobatan terkadang dapat menyebabkan cacat penghidu sebagai efek
samping yang tidak diinginkan. Obat-obatan ini termasuk beta-blocker, obat
anti-tiroid, dihydropyridine, ACE inhibitor, dan intranasal zinc.11

g. Patofisiologi

Anosmia terkait dengan gangguan ciliopathy

Kehadiran silia nonmotile yang meluas dari neuron reseptor penghidu di


permukaan epitel penghidu telah lama diketahui. Namun, baru-baru ini
pentingnya fungsi silia dalam neuron penghidu telah dibuktikan secara
langsung.12 Penyakit di mana pembentukan dan/atau fungsi silia diubah disebut
ciliopathies. Contohnya termasuk sindrom Bardet-Biedel, sindrom Meckel-
Gruber, dan sindrom Joubert. Karena silia penting dalam berbagai jenis dan
jaringan sel, banyak mutasi ciliopati melibatkan berbagai manifestasi klinis,
seperti kista ginjal, polidaktili, kehilangan penglihatan, gangguan pendengaran,
atau defisit kognitif. Namun, anosmia dianggap sebagai ciri patognomonik dari
ciliopathies. Secara mekanis, neuron penghidu harus merakit silia mereka untuk
melokalisasi beberapa protein transduksi kunci pada membran silia. 13 Jika
11

protein reseptor bau dan mesin transduksi yang menyertainya tidak terlokalisasi
dengan baik di silia, atau jika silia cacat (atau tidak ada), deteksi bau tidak dapat
terjadi, mengakibatkan anosmia. Sebagian besar mutasi yang telah ditandai pada
ciliopathies adalah alel yang kehilangan fungsi.

Anosmia dengan rhinosinusitis kronik

Meskipun penyumbatan udara inspirasi karena obstruksi yang terkait


dengan edema dan infeksi dapat menyebabkan hilangnya penghidu konduktif,
terdapat bukti yang cukup bahwa hiposmia atau anosmia yang sedang
berlangsung terkait dengan beberapa bentuk rhinosinusitis kronis disebabkan
oleh efek peradangan pada neuron penghidu. Petunjuk bahwa mekanisme seperti
itu ada adalah bahwa beberapa pasien rhinosinusitis kronis tampaknya memiliki,
melalui endoskopi atau pencitraan CT, celah penghidu yang tidak terhalang
namun tetap secara obyektif hiposmik. Lebih lanjut, pasien tersebut mungkin
menunjukkan hiposmia yang responsif terhadap steroid. Penelitian sains terbaru
telah memberikan bukti langsung bahwa peradangan dapat merusak atau bahkan
membunuh neuron penghidu.14 Sebuah model tikus di mana sitokin inflamasi
dapat diekspresikan secara induktif oleh sel-sel yang menopang epitel
olfaktorius telah terbukti awalnya menyebabkan gangguan fungsi neuron
penghidu.14 Seiring waktu, dengan berlebihnya produksi sitokin, neuron
penghidu mati, menyebabkan perubahan histologis yang jelas pada
neuroepithelium. Yang penting, jika produksi sitokin inflamasi dihentikan, sel
punca basal dalam epitel dapat menghasilkan neuron penghidu baru yang
menghasilkan pemulihan fungsi penghidu.15 Secara keseluruhan, temuan ini
menunjukkan secara langsung bahwa peradangan dapat menyebabkan hiposmia
sensorineural, dan bahwa strategi baru yang ditujukan untuk menghilangkan
mediator inflamasi tertentu mungkin merupakan pengobatan yang efektif untuk
beberapa bentuk hiposmia terkait sinusitis.
12

Presbyosmia

Penurunan fungsi penghidu dengan penuaan telah didokumentasikan


dengan baik.16,17 Namun, dasar seluler atau molekuler untuk penurunan ini, atau
untuk kondisi presbyosmia yang penting secara klinis, belum sepenuhnya
dipahami.
Studi mengungkapkan bahwa sering terjadi penggantian yang tidak merata
dari neuroepitel penghidu dengan area intervensi epitel non-sensorik
pernapasan. Metaplasia pernapasan dirasakan sebagai cerminan dari
pemeliharaan jaringan penghidu yang gagal, yang mungkin merupakan
konsekuensi dari kerusakan eksogen dan/atau keterbatasan terkait dengan
kemampuan reparatif dari sisa sel batang basal dan sel progenitor. Mekanisme
yang berkontribusi pada regulasi pemeliharaan penghidu sudah mulai dipahami,
memberikan kemungkinan terapi kandidat. Misalnya, laporan terbaru
mengidentifikasi Neuropeptide Y sebagai faktor regulasi epitel olfaktorius yang
dapat menurun seiring bertambahnya usia.18 Dalam penelitian itu, para peneliti
memeriksa mekanisme spesifik yang terlibat dalam penurunan pemeliharaan
neuron penghidu pada tikus yang menua, dan menemukan bahwa pensinyalan
Neuropeptida Y mungkin menjadi target terapeutik. Neuropeptida Y dilepaskan
dari sel mikrovilar penghidu, dan telah ditemukan untuk merangsang proliferasi
sel progenitor saraf basal sebelumnya.19 Proliferasi sel basal telah dibuktikan
menurun dengan penuaan pada model tikus.20 Secara keseluruhan, bukti
menunjukkan bahwa sel basal olfaktorius sangat penting untuk pemeliharaan
jaringan penghidu pada penuaan atau penyakit.

h. Diagnosis
Anosmia dapat disebabkan oleh banyak penyakit yang mendasari. Penyebab
tersering adalah penyakit sinonasal, gangguan pasca infeksi, dan gangguan pasca
trauma. Etiologi lain (misalnya, kelainan bawaan, idiopatik, toksik, atau
gangguan yang disebabkan oleh penyakit neurodegeneratif) lebih jarang tetapi
tetap penting untuk disingkirkan. Pada pasien yang menderita gangguan
penghidu, diagnosis tahap pertama adalah riwayat kesehatan pasien. Klinisi
harus mengevaluasi bagaimana gangguan tersebut dimulai, misalnya, tiba-tiba,
13

setelah trauma atau pilek (parah), yang kemudian membuat gangguan pasca-
trauma atau gangguan setelah infeksi saluran pernapasan atas (pasca-ISPA),
sangat mungkin terjadi. Sebaliknya, jika pasien mengalami kesulitan mengingat
saat pasti gangguan tersebut dimulai dan menggambarkan fluktuasi olfaktorius,
gangguan sinonasal dapat diasumsikan. Onset bertahap dan kesulitan dalam
mengingat peristiwa pemicu juga mungkin menunjukkan gangguan idiopatik
terkait usia atau gangguan karena penyakit neurodegeneratif. Berbeda dengan
pasien dengan gangguan sinonasal, pasien yang menderita penyakit degeneratif
saraf juga menggambarkan hilangnya bau sebagai "berkurang secara bertahap"
atau "hilang" tetapi jarang berfluktuasi. Selain itu, pasien harus ditanyai apakah
dia mengingat fungsi penghidu sama sekali untuk menyingkirkan kelainan
bawaan. Asupan obat harus dievaluasi serta operasi sebelumnya atau paparan
racun, misalnya, di lingkungan kerja. Pemeriksaan THT menyeluruh untuk
gangguan penghidu harus mencakup endoskopi hidung untuk
memvisualisasikan celah penghidu dan untuk menyingkirkan semua patologi
endonasal visual. Perhatian khusus diberikan untuk melihat deviasi septum,
tumor, dan tanda-tanda penyakit sinonasal akut atau kronis seperti sekresi,
krusta, dan polip. Pengujian fungsi penghidu menggunakan uji yang divalidasi
dan terstandarisasi adalah wajib karena penilaian subjektif fungsi penghidu tidak
selalu dapat diandalkan. Pencatatan potensi bangkitan penghidu dimungkinkan
tetapi biasanya tidak dilakukan secara rutin meskipun sering diterapkan dalam
kasus medis-legal. Temuan endonasal pada gangguan pasca infeksi, kelainan
yang berkaitan dengan usia, penyakit neurodegeneratif atau trauma biasanya
tanpa patologi. Jika perlu, pencitraan tambahan (tomografi komputer atau
pencitraan resonansi magnetik) dapat dilakukan. Volume olfactory bulb (OB)
dapat digunakan untuk memprediksi prognosis dari disfungsi olfaktorius. Terapi
untuk disfungsi penghidu harus sesuai dengan etiologi gangguan tersebut. 21
14

Gambar 6. Skema evaluasi, diagnosis dan tatalaksana anosmia 21

i. Penatalaksanaan
Saat ini, gangguan penghidu masih menjadi masalah klinis yang
sulit. Mengesampingkan kondisi yang dapat diobati atau patologi serius dengan
pencitraan yang tepat seringkali sangat membantu pasien. Berbagai penelitian
selama beberapa dekade terakhir telah meneliti pengobatan
potensial. Sayangnya, tidak ada cukup bukti untuk efektivitas pada manusia
untuk terapi seperti zinc, teofilin, minocycline, vitamin, asam lipoat, akupunktur,
dan lain-lain. Karena itu, penting untuk menghindari penawaran opsi yang tidak
efektif.22
15

Gambar 7. Penyebab, pilihan tatalaksana saat ini, dan target tatalaksana


potensial.22

2.4. Anosmia pada Covid-19


Pandemi global Coronavirus 2019 (Covid-19) menjadi tantangan untuk
pencegahan karena terjadi asimptomatik (tanpa gejala) atau paucisimptomatik
(hanya menunjukkan sedikit gejala).23
Anosmia adalah satu di antara gejala yang timbul pada penderita Covid-19,
terjadi tiba-tiba, durasi yang singkat (sekitar 7-10 hari), dan sebagian besar tanpa
rhinitis atau kongesti hidung. Perjalanan klinis neuroinvasi SARS-CoV-2 masih
belum jelas.23,24,25
Infeksi saluran napas atas yang disebabkan oleh virus biasanya bermanifestasi
sebagai rhinorea dan obstruksi hidung, yang menyebabkan hilangnya daya hidu
konduktif. Anosmia postviral dapat terjadi pada fase subakut setelah gejala akut
infeksi saluran napas atas sembuh. Namun, data awal pada pasien Covid-19
mengidentifikasi sindrom virus baru dari anosmia akut tanpa rhinitis atau
sumbatan hidung. Data baru sedang diungkap tentang identitas sel yang
bertanggung jawab untuk masuknya virus ke dalam sistem saraf penghidu.
Berdasarkan tinjauan anosmia sebagai akibat dari infeksi virus, hidung tersumbat
16

dan obstruksi yang mirip dengan flu biasa dapat menyebabkan hilangnya
penghidu konduktif.24

Empat skenario utama yang berbeda telah dipertimbangkan untuk menjelaskan


disfungsi penghidu pada pasien Covid-19, seperti yang diilustrasikan pada
Gambar 3A-E: (1) hidung tersumbat/kongesti dan rinore, (2) hilangnya neuron
reseptor penghidu, (3) infiltrasi otak mempengaruhi pusat penghidu, dan (4)
kerusakan sel penunjang di epitel olfaktorius.26

Gambar 8. Skema jalur penghidu ke otak dengan empat skenario berbeda


bagaimana virus SARS-CoV-2 dapat menyebabkan anosmia atau hiposmia.26

1. Banyak infeksi virus yang menyebabkan penyumbatan hidung, kongesti


hidung, dan rhinorrhea, sehingga menghalangi akses bau ke epitel sensorik
dan mencegah pengikatan bau ke reseptor penghidu.27,28 Kemungkinan
obstruksi fisik (kehilangan penghidu konduktif) ini pada awalnya dianggap
sebagai penjelasan yang mungkin dari anosmia pada Covid-1929,30,31, tetapi
sekarang telah dikesampingkan oleh beberapa studi, terutama karena
sebagian besar (hampir 60%)32 pasien dengan anosmia tidak mengalami
hidung tersumbat, obstruksi atau rhinore25 dan karena kurangnya
pembengkakan mukosa hidung atau sinus pada pasien yang signifikan pada
pencitraan radiografi.33
2. Apakah virus menginfeksi neuron reseptor penghidu, yang menyebabkan
kematiannya? Kehilangan penghidu sensorineural seperti itu telah dianggap
17

sebagai penjelasan yang masuk akal dari anosmia.34 Namun, jika dilihat
lebih dekat, ada tiga ketidakkonsistenan utama dengan skenario ini:
perjalanan waktu regenerasi sel versus pemulihan klinis, kurangnya
ekspresi protein entri virus, dan tidak adanya virus dalam neuron penghidu.
Ketika neuron reseptor penghidu mati, penggantinya membutuhkan 8
sampai 10 hari35, ditambah sekitar 5 hari untuk pematangan silia 36, tetapi
waktu pemulihan penghidu di Covid-19 seringkali kurang dari satu
minggu.25 Dengan demikian, pemulihan fungsional setelah anosmia
seringkali lebih cepat daripada waktu yang dibutuhkan untuk penggantian
neuron, pematangan silia, dan pertumbuhan akson baru dari epitel
olfaktorius melalui kribriform plate untuk membentuk sinapsis pada bulbus
olfaktorius.25,37,38,39 Mengenai ekspresi protein masuk virus, berdasarkan
data in-silico, bahwa neuron reseptor penghidu matang tidak
mengekspresikan ACE2, dan oleh karena itu kemungkinan besar tidak akan
terinfeksi oleh SARS-CoV-2.40 Sekarang ada konsensus yang muncul
bahwa neuron penghidu matang tidak mengekspresikan protein masuk
virus, ACE2 dan TMPRSS2, setidaknya tidak pada tingkat yang signifikan,
dan tidak pada sebagian besar neuron penghidu matang pada tikus dan
manusia.40,41 Sebuah studi baru-baru ini yang melokalisasi virus SARS-
CoV-2 di epitel penghidu hamster mengkonfirmasi gagasan ini dengan
menunjukkan bahwa sel-sel penunjang mengandung virus, tetapi bukan
neuron penghidu.37 Ini berarti neuron penghidu bukanlah target awal dan
utama virus. Secara keseluruhan, fakta-fakta ini tampaknya
mengesampingkan bahwa banyak kasus anosmia pada Covid-19 dapat
dijelaskan oleh kerusakan langsung yang disebabkan virus dan kematian
neuron reseptor penghidu, meskipun kematian neuron penghidu
kemungkinan terlibat dalam kasus anosmia yang berkepanjangan.
18

Gambar 9. Masuknya virus SARS-CoV-2 ke dalam epitel olfaktorius dan


prediksi efek virus yang dapat menjelaskan anosmia pada pasien Covid-
19.26
3. Apakah virus menyusup ke otak, mungkin dari hidung, dan mempengaruhi
pusat penghidu (olfaktorius dan korteks), sehingga mengurangi sensasi
penghidu?
Hilangnya penghidu (dan rasa) yang tiba-tiba, diikuti dengan pemulihan
yang cepat, merupakan argumen kuat yang menentang kemungkinan ini,
sebagaimana fakta bahwa neuron penghidu, yang merupakan satu rute
langsung ke otak oleh transpor aksonal anterograde, tidak mengekspresikan
protein wajib masuk untuk virus. Tidak ada penelitian hingga saat ini yang
menunjukkan bahwa neuron reseptor olfaktorius atau neuron olfaktorius
mengakumulasi virus secara akut pada hewan normal (yang tidak
dimodifikasi secara genetik), setidaknya tidak dalam 2 minggu pertama
setelah infeksi.37 Karenanya, skenario ketiga sangat tidak mungkin untuk
menjelaskan anosmia yang sering cepat dan sementara pada COVID-19.
Saat ini tidak ada bukti bahwa virus SARS CoV-2 itu sendiri dapat
mencapai otak melalui jalur penghidu pada fase akut anosmia; perubahan
jaringan otak oleh pencitraan resonansi magnetik bukan temuan yang
konsisten dan mungkin disebabkan oleh peradangan yang diinduksi virus
atau oleh rute vaskular/sistemik.42
19

4. Bisakah virus menghasilkan kerusakan pada sel-sel penunjang di epitel


olfaktorius dan dengan demikian dengan cepat mengurangi indra penghidu,
tetapi secara sementara? Mekanisme ini didukung oleh ekspresi yang
melimpah dari dua protein yang masuk, ACE2 dan TMPRSS2, dalam sel-
sel yang menopang di epitel olfaktorius35,41, dan dengan kehadiran virus
terutama, jika tidak secara eksklusif, di sel-sel penunjang.37 Laporan awal
ekspresi ACE2 dalam sel-sel penunjang berdasarkan RNAseq melaporkan
bahwa hanya antara 1% dan 3% dari sel-sel ini yang mengekspresikan
ACE235, sementara imunositokimia menunjukkan bahwa sebagian besar,
jika tidak semuanya sel penunjang mengandung protein ACE2. Penjelasan
yang paling mungkin untuk perbedaan ini adalah bahwa RNAseq adalah
teknik yang tidak memadai untuk kuantifikasi dan estimasi tingkat ekspresi
protein.35 Menariknya, kematian sel penunjang tampaknya tidak selalu
menyebabkan kematian neuron reseptor penghidu. Studi menunjukkan
bahwa silia neuron (ekstensi dendritik dari neuron reseptor penghidu yang
mengikat molekul bau) dapat sementara menarik atau kehilangan ekspresi
protein, menyiratkan disfungsi saraf sementara meskipun akson saraf
penghidu persisten. Kematian dan regenerasi sel berkelanjutan terjadi jauh
37,38
lebih cepat daripada kematian dan regenerasi neuron penghidu , yang
harus mematangkan dendritnya dan menumbuhkan akson baru melalui pelat
kribriform ke dalam bulbus olfaktorius. Oleh karena itu, pengisian cepat sel-
sel yang berkelanjutan konsisten dengan pemulihan indra penghidu yang
cepat yang diamati secara klinis dalam banyak kasus. Apakah kerusakan
atau inaktivasi sel-sel penunjang di epitel olfaktorius cukup untuk
menyebabkan defisit fungsional sensasi penghidu dan apakah konsisten
dengan perjalanan waktu dan kekhasan gangguan yang dilaporkan oleh
pasien Covid-19? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini membutuhkan
beberapa latar belakang pengetahuan tentang banyak fungsi yang dapat
dilakukan oleh sel-sel penunjang dalam epitel olfaktorius.

Singkatnya, disfungsi penghidu/gustatory pasien Covid-19 memberikan


tantangan yang menakutkan karena viral load awal yang sangat tinggi dan
kemungkinan penyebaran super dan jalur hidung ke infeksi otak, dan juga peluang
20

yang berpotensi menguntungkan, yaitu memanfaatkan anosmia sebagai alat


skrining cepat untuk mengidentifikasi awal, dan jika tidak, tanpa gejala, pembawa
virus korona baru. Bidang minat yang muncul dan hipotesis baru yang utama
adalah bahwa perbedaan genetik dalam prevalensi cacat kemosensori dapat
disebabkan oleh variasi dalam afinitas pengikatan reseptor ACE2 untuk virus dan
oleh karena itu dapat menentukan infektivitas dan penyebaran virus. Perbedaan
antara populasi dalam hal ini masih harus diverifikasi oleh penelitian di masa
depan, tetapi jika dikonfirmasi, mereka akan memiliki implikasi yang cukup besar
untuk menentukan populasi mana yang paling rentan terhadap infeksi Covid-19
dan cara terbaik dan paling efektif untuk mengelola pandemi dengan pendekatan
yang disesuaikan, yang memperhitungkan infektivitas populasi yang berbeda.
Apakah jalur hidung ke otak ada untuk SARS-CoV-2, terutama setelah terpapar
virus dalam waktu lama, memerlukan penelitian lebih lanjut, dan akan penting
untuk secara tepat menentukan konsekuensi jangka pendek dan potensial jangka
panjang dari SARS CoV-2 di otak.26
21

BAB III

KESIMPULAN

Anosmia merupakan gangguan daya hidu yang dapat terjadi secara total,
parsial atau spesifik. Gangguan hidu ini dapat terjadi karena gangguan konduktif
atau gangguan sensorineural. Pada Covid-19, penderita mengalami anosmia secara
tiba-tiba, degan durasi yang singkat, dan sebagian besar tanpa gangguan sinonasal.
Hingga saat ini, mekanisme pasti terjadinya anosmia masih diteliti. Mekanisme
yang diduga terjadi adalah obstruksi hidung yang menghambat bau, gangguan
sensorineural olfaktorius, masuknya virus ke otak dan kerusakan pada sel
penunjang epitel olfaktorius.
22

DAFTAR PUSTAKA

1. Supardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu


kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher, Edisi ketujuh. Jakarta:
Universitas Indonesia Publishing; 2020.
2. Pissurno NS, Lichs GG, Santos EJ, Druzian AF, Oliveira SM, Paniago AM.
Anosmia in the course of COVID-19: a case report. Medicine 2020;
99:31(e21280).
3. Cascella M, Rajnik M, Cuomo A, Dulebohn SC, Napoli RD. Features,
evaluation, and treatment of coronavirus. Treasure Island (FL): StatPearls
[Internet]; 2020.
4. Doty RL, Bromley SM, Panganiban WD. Olfactory function and
disfunction. In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, editors. Head and
Neck Surgery Otolaryngology. 4th ed. Philadelphia: Lippincott William &
Wilkins; 2006.
5. Doty RL, Mishra A. Olfaction and its alteration by nasal obstruction,
rhinitis, rhinosinusitis. The laryngoscope 2001; 14: 409-23.
6. Ballenger JJ. Hidung dan sinus paranasal. Dalam: Ballenger JJ, alih bahasa
FKUI. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jilid 1.
Jakarta: Bina Rupa Aksara; 2002.
7. Netter FH. Atlas anatomi manusia, Edisi keenam. Singapore: Elsevier;
2016.
8. Sherwood L. Human physiology, international edition, 8 th edition.
Singapore: Brooks/Cole Cengeage Learning; 2013.
9. Mangunkusumo E. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok
kepala dan leher, edisi ketujuh. Jakarta: EGC; 2012.
10. Jones N. Practical rhinology. Boca Raton: CRC Press; 2010.
11. Li X, Lui F. Anosmia. Treasure Island (FL): StatPearls [Internet]; 2020.
12. Kulaga HM, Leitch CC, Eichers ER, Badano JL, Lesemann A, Hoskins BE,
et al. Loss of BBS proteins causes anosmia in humans and defects in
olfactory cilia structure and function in the mouse. Nat Genet. 2004;
36(9):994–998.
23

13. Williams CL, McIntyre JC, Norris SR, Jenkins PM, Zhang L, Pei Q, et al.
Direct evidence for BBSome-associated intraflagellar transport reveals
distinct properties of native mammalian cilia. Nat Comm. 2014; 5:5813.
14. Lane AP, Turner J, May L, Reed R. A genetic model of chronic
rhinosinusitis-associated olfactory inflammation reveals reversible
functional impairment and dramatic neuroepithelial reorganization. J
Neurosci. 2010; 30(6):2324–2329.
15. Turner JH, May L, Reed RR, Lane AP. Reversible loss of neuronal marker
protein expression in a transgenic mouse model for sinusitis-associated
olfactory dysfunction. Am J Rhinol Allergy. 2010; 24(3):192–196.
16. Doty RL, Shaman P, Applebaum SL, Giberson R, Siksorski L, Rosenberg
L. Smell identification ability: changes with age. Science. 1984;
226(4681):1441–1443.
17. Murphy C, Schubert CR, Cruickshanks KJ, Klein BE, Klein R, Nondahl
DM. Prevalence of olfactory impairment in older adults. JAMA. 2002;
288(18):2307–2312.
18. Jia C, Hegg CC. Effect of IP3R3 and NPY on age-related declines in
olfactory stem cell proliferation. Neurobiol Aging. 2015; 36(2):1045–1056.
19. Hansel DE, Eipper BA, Ronnett GV. Neuropeptide Y functions as a
neuroproliferative factor. Nature. 2001; 410(6831):940–944
20. Weiler E, Farbman AI. Proliferation in the rat olfactory epithelium: age-
dependent changes. J Neurosci. 1997; 17(10):3610–3622.
21. Boesveldt S, Postma EM, Boak D, et al. Anosmia—a clinical review. Chem
Sens. 2017; 42: 513-523.
22. Goncalves S, Goldstein BJ. Patophysiology of olfactory disorder and
potential treatment strategies. Curr Otorhinolaringol Rep. 2016; 4(2): 115-
121.
23. Han AY, Mukdad L, Long JL, Lopez IA. Anosmia in covid-19: mechanism
and significance. Chem Sens. 2020; 45: 423-428.
24. Glezer I, Cardoso AB, Schechtman D. Viral infection and smell lost: the
case of covid-19. J of neurochemistry 2020; 00: 1-14
24

25. Printza A, Constantinidis J. The role of self-reported smell and taste


disorders in suspected covid-19. European Archives of Oto-Rhino-
Laryngology 2020.
26. Butowt R, Bartheld CSV. Anosmia in covid-19: underlying mechanism and
assessment of an olfactory route to brain infection. The neuroscientist 2020.
27. Doty RL, Mishra A. Olfaction and its alteration by nasal obstruction,
rhinitis, and rhinosinusitis. Laryngoscope 2001; 111(3):409–23.
28. Hummel T, Whitcroft KL, Andrews P, Altundag A, Cinghi C, Costanzo
RM, et al. Position paper on olfactory dysfunction. Rhinol Suppl 2017;
54(26):1–30.
29. Eliezer M, Hautefort C, Hamel AL, Verillaud B, Herman P, Houdart E, et
al. Sudden and complete olfactory loss function as a possible symptom of
COVID-19. JAMA Otolaryngol Head Neck Surg 2020.
30. Gane SB, Kelly C, Hopkins C. Isolated sudden onset anosmia in COVID-
19 infection. A novel syndrome? Rhinology 2020; 58(3):299–301.
31. Qiu C, Cui C, Hautefort C, Haehner A, Zhao J, Yao Q, et al. Olfactory and
gustatory dysfunction as an early identifier of COVID-19 in adults and
children: an international multicenter study. MedRxiv preprint 2020.
32. von Bartheld CS, Hagen MM, Butowt R. Prevalence of chemosensory
dysfunction in COVID-19 patients: a systematic review and meta-analysis
reveals significant ethnic differences. MedRxiv preprint 2020.
33. Naeini AS, Karimi-Galougahi M, Raad N, Ghorbani J, Taraghi A, Haseli S,
et al. Paranasal sinuses computed tomography findings in anosmia of
COVID-19. Am J Otolaryngol 2020; 41(6):102636.
34. Baig AM, Khaleeq A, Ali U, Syeda H. Evidence of the COVID-19 virus
targeting the CNS: tissue distribution, host-virus interaction, and proposed
neurotropic mechanisms. ACS Chem Neurosci 2020; 11(7):995–8.
35. Brann DH, Tsukahara T, Weinreb C, Lipovsek M, Van den Berge K, Gong
B, et al. Non-neural expression of SARS-CoV-2 entry genes in the olfactory
epithelium suggests mechanisms underlying anosmia in COVID-19
patients. Sci Adv 2020; 6(31):eabc5801.
25

36. Liang F. Sustentacular cell enwrapment of olfactory receptor neuronal


dendrites: an update. Genes (Basel) 2020; 11:493.
37. Bryche B, Deliot ASA, Murri S, Lacôte S, Pulido C, Gouilh MA, et al.
Massive transient damage of the olfactory epithelium associated with
infection of sustentacular cells by SARS-CoV-2 in golden Syrian hamsters.
Preprint bioRxiv 2020.
38. Schwob JE. Neural regeneration and the peripheral olfactory system. Anat
Rec 2002; 269(1):33–49.
39. Soler ZM, Patel ZM, Turner JH, Holbrook EH. A primer on viral-associated
olfactory loss in the era of COVID-19. Int Forum Allergy Rhinol 2020;
10(7):814–20.
40. Butowt R, Bilinska K. SARS-CoV-2: olfaction, brain infection and the
urgent need for clinical samples allowing earlier virus detection. ACS Chem
Neurosci 2020; 11(9):1200–3.
41. Bilinska K, Jakubowska P, von Bartheld CS, Butowt R. 2020. Expression
of the SARS-CoV-2 entry proteins ACE2 and TMPRSS2, in cells of the
olfactory epithelium: identification of cell types and trends with age. ACS
Chem Neurosci 11(11):1555–62.
42. Aragão MFVV, Leal MC, Cartaxo Filho OQ, Fonseca TM, Valença MM.
2020. Anosmia in COVID-19 associated with injury to the olfactory bulbs
evident on MRI. AJNR Am J Neuroradiol Epub June 5.

Anda mungkin juga menyukai