Anda di halaman 1dari 14

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat dan Hidayahnya
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini guna memenuhi persyaratan kepanitraan
klinik senior dibagian ilmu kesehatan jiwa RSUD Embung Fatimah kota Batam.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada dr.
Laila Sylvia Sari, Sp.KJ, atas bimbingan dan arahannya selama mengikuti kepanitraan
klinis senior dibagian ilmu kesehatan jiwa RSUD Embung Fatimah kota Batam.
Penyusunan referat ini bahwasannya masih banyak kekurangan dalam
penulisannya, karena keterbatasan pengetahuan yang ada pada penulis. Kritik dan saran
yang sifatnya membangun sangat di butuhkan oleh penulis guna memperbaiki penyusunan
referat lain dikesempatan berikutnya.
Harapan penulis semoga referat ini dapat bermanfaat dalam menambah
pengetahuan dimasyarakat.

Batam, 20 April 2016


Trisna Widhi Pangestika

COVER.....................................................................................................................i
KATA PENGANTAR...............................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................iii
A. Latar Belakang............................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori............................................................................................. 2
1. Definisi opioid.................................................................................... 2
2. Epidemiologi opioid........................................................................... 3
3. Neurofarmakologi opioid................................................................... 4
4. Etiologi opioid.................................................................................... 4
5. Diagnosis opioid................................................................................. 5
6. Gambaran Klinis................................................................................10
7. Penanganan dan Rehabilitasi..............................................................11
BAB III PENUTUP
Kesimpulan..............................................................................................13
Daftar Pustaka

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Analgetik adalah suatu senyawa atau obat yang dipergunakan untuk mengurangi
rasa sakit atau nyeri. Nyeri timbul akibat berbagai rangsangan pada tubuh misalnya
rangsangan mekanis, kimiawi, dan fisis sehingga menimbulkan kerusakan pada jaringan
yang memicu pelepasan mediator nyeri seperti bradikinin dan prostaglandin yang akhirnya
mengaktivasi reseptor nyeri di saraf perifer dan diteruskan ke otak. Secara umum analgetik
dibagi dalam dua golongan, yaitu analgetik non narkotik dan analgetik narkotik (opioid).
Analgetik narkotik (opioid) merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti
opium. Meskipun memperlihatkan berbagai efek farmakologik yang lain, golongan obat ini
digunakan terutama untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri. Opium yang berasal
dari getah papaver seminiferum mengandung sekitar 20 jenis alkaloid diantaranya morfin,
kodein, tebain, papaverin. Analgetik opioid terutama digunakan untuk meredakan atau
menghilangkan rasa nyeri meskipun juga memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik
yang lain.
Opiat atau yang dikenal sebagai narkotik adalah bahan yang digunakan untuk
menidurkan atau melegakan rasa sakit, tetapi mempunyai potensi yang tinggi untuk
menyebabkan ketagihan. Sebagian dari opiate seperti candu, morfin, heroin, dan kodein
diperoleh dari getah buah popi yang berasal dari Negara Timur Tengan dan Asia.
Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan dengan morfin,
dan tidak semua obat golongan opioid di pasarkan di Indonesia. Akan tetapi dengan
sediaan yang sudah ada kiranya penangganan nyeri yang membutuhkan obat opioid dapat

dilakukan. Terbatasnya peredaran obat tersebut tidak terlepas dari kekhawatiran terjadinya
penyalahgunaan obat.
Tujuan Penelitian
1. Untuk memenuhi tugas referat di bagian kepaniteraan Ilmu Jiwa di RSUD Embung
Fatimah kota Batam.
2. Agar dapat mengerti dan memahami tentang gangguan penggunaan zat opioid.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Opioid merupakan analgesik (analgesic) narkotik yang digunakan untuk menghilangkan
rasa sakit. Opioid yang paling sering digunakan (morfin, heroin, hidromorfin, metadon, dan
petidin). Menghasilkan efek analgesia, perubahan mood seperti (euphoria, yang dapat berubah
menjadi apati atau disforia), pusing, bicara cadel, gangguan konsentrasi atau memori, dan
gangguan penilaian realita. Dengan berlalunya waktu, morfin menyebabkan toleransi dan
perubahan neuroadaptif yang bertanggung jawab terhadap hipereksitabilitas rebound jika obat
dihentikan, gejala putus zat meliputi kecanduan, ansietas, disforia, menguap, berkeringat,
insomnia, nausea atau muntah, myeri otot dan demam.
Kata opiate dan opioid berasal dari kata opium, jus dari bunga opium yang
mengandung kira-kira 20 alkaloid opium, termasuk morfin. Sejumlah besar narkotik sintetik
(opiod) telah dibuat, termasuk meperidine (demerol), methadone (dolophine), pentazocine
(talwin), dan procyphene (davron). Methadone adalah standar emas sekarang ini dalam
pengobatan ketergantungan opioid.
Antagonis opioid telah dibuat untuk mengobati overdosis opioid dan ketergantungan opioid,
dan kelas obat tersebut adalah naloxone (narcan), naltrexone (trexan), nalophine, levallorphan,
dan apomorphine. Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa buphenorphine adalah suatu
pengobatan yang efektif untuk ketergantungan opioid.
B. Epidemiologi
Heroin adalah opiat yang paling luas digunakan pada orang dengan ketergantungan
opioid. Di tahun 1991 diperkirakan 1,3 persen populasi Amerika Serikat telah
menggunakan heroin sekurangnya satu kali. Kira-kira 500.000 orang dengan
ketergantungan opioid berada di Amerika Serikat, setengahnya berada di New York City.
Rasio laki-laki terhadap wanita dengan ketergantungan opioid adalah kira-kira 3
berbanding 1. Biasanya pemakai opioid memulai penggunaan zat tersebut dalam usia
belasan tahun dan awal usia 20 tahunan. Sekarang ini, sebagian besar orang dengan

ketergantungan opioid berada dalam usia 30 tahunan dan 40 tahunan. Di Amerika Serikat
orang cenderung mengalami pengalaman akibat opioid yang pertamanya dalam awal usia
belasan tahun atau bahkan pada usia 10 tahun. Pengenalan yang awal tersebut ke dalam
kultur obat kemungkinan terjadi di dalam masyarakat di mana penyalahgunaan zat adalah
merajalela dan di dalam keluarga di mana orangtua adalah penyalahguna zat. Kebiasaan
heroin akan menghabiskan ratusan dolar sehari. Jadi, seseorang dengan ketergantungan
opioid perlu mendapatkan uang melalui tindakan kriminal dan prostitusi. Keterlibatan
orang dengan ketergantungan opioid di dalam prostitusi berperan besar dalam penyebaran
HIV.
Data epidemiologi tahun 1991 berikut ini berasal dari National Institute on Drug
Abuse (NIDA).
Di tahun 1991 diperkirakan 1,3 persen populasi melaporkan bahwa mereka telah
menggunakan heroin. Penggunaan dalam bulan terakhir sangat rendah sehingga perkiraan
yang dapat dipercaya tidak dapat dikembangkan.
Angka pengguna heroin selama hidup secara bermakna lebih tinggi pada orang
dewasa yang berusia 26 sampai 34 tahun (1,8 persen) dibandingkan orang dewasa yang
berusia 18 sampai 25 tahun (0,8 persen) atau remaja usia 12 sampai 17 tahun (0,3 persen).
Antara tahun 1990 dan 1991 prevalensi penggunaan heroin selama hidup di antara orang
dewasa yang berusia 35 tahun dan lebih meningkat secara bermakna, dari 0,7 persen
menjadi 0,5 persen. Tidak ada perubahan lain untuk kelompok usia spesifik yang bermakna
secara statistik.
C. Neurofarmakologi
Efek utama opiat dan opioid dioerantarai melalui reseptor opiat, yang ditemukan di
pertengahan kedua tahun 1970-an. Reseptor u-opiat terlibat dalam pengaturan dan perantaraan
analgesia, depresi pernapasan, konstipasi, dan ketergantungan reseptor K-opiat pada analgesia,
dieresis, dan sedasi dan reseptor gamma opiat kemungkinan pada analgesia.
Di 1974 enkhepalin, suatu pentapeptida endogen dengan kerja mirip opiat telah
ditemukan. Penemuan tersebut telah menyebabkan identifikasi tiga kelas opiat endogen di dalam
otak, termasuk endorphin dan enkephalin. Endorphin terlibat dalam tranmisi neural dan berperan
untuk menekan rasa nyeri. Zat tersebut dilepaskan secara alami di dalam tubuh jika seseorang
mengalami kesakitan fifik dan berperan sebagian pada tidak adanya rasa nyeri selama cedera
akut. Opiat dan opioid juga mempunyai efek yang signifikan pada sistem neurotransmitter

dopaminergik dan nonadrenergik. Beberapa jenis data menyatakan bahwa sifat adiktif dan
menyenangkan dari opiat dan opioid diperantarai melalui aktivasi area tegmental ventral neuron
dopaminergik yang berjalan ke korteks serebral dan sistem limbic.
Heroin merupakan opiat yang paling sering disalahgunakan dan lebih larut dalam lemak
dibandingkan dengan morfin. Karena sifat tersebut, heroin melewati sawar darah-otak lebih
cepat dan mempunyai onset yang lebih cepat dibandingkan morfin. Heroin pertama kali
diperkenalkan sebagai pengobatan adiksi morfin, tetapi pada kenyataannya lebih menghasilkan
ketergantungan daripada morfin. Kodein , yang didapatkan alami kira-kira 0,5 persen alkaloid
opiate dalam opium, diabsorbsi mudah melalui saluran gastrointestinal dan selanjutnya
ditransformasi menjadi morfin didalam tubuh. Sekurangnya satu penelitian dengan tomografi
emisi positron (PET) telah menyatakan bahwa satu efek dari semua opiat dan opioid adalah
menurunkan aliran darah serebral pada daerah otak tertentu pada orang dengan ketergantungan
opioid.
D. Etiologi
1. Faktor Psikososial
Ketergantungan opioid tidak terbatas pada kelas sosioekonomi rendah, meski insiden
ketergantungan opioid lebih besar pada kelompok ini dari pada kelas sosioekonomi
yang lebih tinggi. Faktor sosial yang dikaitkan dengan kemiskinan perkotaan
mungkin berperan dalam ketergantungan opioid. Kurang lebih 50 persen pengguna
heroin diperkotaan adalah anak dari orangtua tunggal atau orangtua yang bercerai dan
berasal dari keluarga dengan setidaknya satu anggota keluarga lain mengalami
gangguan terkait zat. Anak yang berasal dari situasi semacam ini berada pada resiko
tinggi ketergantungan opioid, terutama bila mereka juga menunjukkan masalah
perilaku di sekolah atau gangguan perilaku lain.
Sejumlah perilaku konsisten tampaknya terutama menonjol pada remaja dengan
ketergntungan opioid. Pola ini disebut sebagai sindrom perilaku heroin: depresi yang
mendasari sering berupa tipe agiatif dan kerap disertai gejala ansietas, impulsivitas
yang ditunjukkan dengan orientasi pasif-agresif, takut gagal, penggunaan heroin
sebagai obat antiansietas untuk menyamarkan perasaan harga rendah diri,
keputusasaan, dan agresi, strategi penyelesaian masalah yang terbatas dan rendahnya
toleransi frustasi disertai kebutuhan pemuasan segera, sensitivitas terhadap hal-hal
yang berhubungan dengan obat, dengan kesadaran yang tajam tentang hubungan
antara perasaan nyaman dan tindakan mengkonsumsi zat, perasaan impotensi perilaku
yang dilawan dengan pengambilalihan sementara situasi kehidupan dengan
menggunakan zat, serta gangguan dalam hubungan sosial dan interpersonal dengan
teman sebaya yang dipertahankan dengan pengalaman menggunakan zat bersama.
2. Faktor Biologis dan Genetik
Terdapat bukti adanya faktor kerentanan yang diturunkan secara genetik yang
meningkatkan kecenderungan mengalami ketergantungan obat. Kembar monozigotik

lebih mungkin sama-sama mengalami ketergantungan opioid dibanding kembar


dizigotik.
Orang terkait dengan gangguan terkait opioid mungkin memiliki hipoaktivitas
sistem opiat yang ditentukan secara genetik. Peneliti sedang meneliti kemungkinan
bahwa hipoaktivitas tersebut mungkin disebabkan reseptor opioid yang terlalu sedikit
atau kurang sensitive melalui pelepasan opioid endogen yang terlalu sedikit, atau
melalui konsentrasi yang sangat tinggi dugaan antagonis opioid endogen. Predisposisi
biologis terhadap gangguan terkait opioid mungkin juga fungsi sistem
neurotransmitter menyebabkan dopaminergik maupun noradrenergik yang abnormal.
3. Teori Psikodinamik
Pada literature psikoanalitik, perilaku orang yang kecanduan narkotik telah
dideskripsikan dalam istilah fiksasi libidinal, dengan regresi ke tingkat perkembangan
psikoseksual pregenital, oral, atau bahkan yang lebih kuno. Kebutuhan menjelaskan
hubungan antara penyalahgunaan zat, mekanisme defensi, pengendalian impuls,
gangguan afektif, dan mekanisme adaptif mengarah ke pergeseran dari formulasi
psikoseksual ke formulasi yang menekankan psikologi eg. Patologi ego yang serius
sering dianggap berkaitan dengan penyalahgunaan zat dan dianggap mengindikasikan
gangguan perkembangan yang mendalam. Masalah relasi antara ego dan afek muncul
sebagai area kunci masalah.
E. Diagnosis
Tabel 9.10-1
Gangguan Terkait Opioid DSM-IV-TR
Gangguan penggunaan opioid
Ketergantungan opioid
Penyalahgunaan opioid
Gangguan terinduksi opioid
Intoksikasi opioid
Tentukan apakah :
Dengan gangguan persepsi
Keadaan putus opioid
Delirium pada intoksikasi opioid
Gangguan psikotik terinduksi opioid, dengan waham
Tentukan apakah :
Dengan awitan saat intoksikasi
Gangguan mood terinduksi opioid
Tentukan apakah :
Dengan awitan saat intoksikasi
Gangguan tidur terinduksi opioid
Tentukan apakah :
Dengan awitan saat intoksikasi
Dengan awitan saat putus zat
Gangguan terkait opioid yang tak- tergolongkan

Dari American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders.
4th ed, Text rev. Washington DC. American Psychiatric Assosiation; copyright 2000, dengan izin.
DSM-IV-TR mendaftarkan beberapa gangguan terkait opioid (table 9.10-1) namun hanya
memuat criteria diagnosis spesifik intoksikasi opioid (9.10-2) dan keadaan putus opioid
(Tabel 9.10-3) dalam bagian gangguan terkait opioid. Kriteria diagnosis gangguan terkait
opioid lain dimuat dalam bagian DSM-IV-TR yang secara spesifik berhubungan dengan
gejala predominan sebagai contoh, gangguan mood terinduksi opioid.
Tabel 9.10-2
Kriteria Diagnosis DSM-IV-TR Intoksikasi opioid
A. Penggunaan opioid baru-baru ini.
B. Perubahan psikologis atau perilaku maladaptive yang secara klinis signifikan (contoh:
euphoria, inisial yang diikuti apati, disforia, agitasi atau retardasi psikomotor, daya nilai
terganggu, atau fungsi social dan okupasional yang terganggu).
C. Konstriksi pupil (atau dilatasi pupil akibat anoksia pada overdosis berat) dan satu (atau
lebih) tanda berikut, timbul selama atau segera setelah penggunaan opioid:
1. Mengantuk atau koma
2. Bicara cadel
3. Hendaya atensi atau memori
D. Gejala tidak disebabkan kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh
gangguan mental lain.
Tentukan apakah :
Dengan gangguan persepsi
Dari American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders.
4th ed, Text rev. Washington DC. American Psychiatric Assosiation; copyright 2000, dengan izin.

Tabel 9.10-3
Kriteria Diagnosis DSM-IV-TR Keadaan putus opioid
A. Salah satu hal berikut
1. Penghentian (atau pengurangan) penggunaan opioid yang berlangsung lama dan

memanjang (beberapa minggu atau lebih.


2. Pemberian antagonis opioid setelah periode penggunaan opioid
B. Tiga atau lebih tanda berikut, yang timbul dalam hitungan menit sampai beberapa hari
setelah kriteria A:
1. Mood disforik
2. Mual atau muntah
3. Nyeri otot
4. Lakrimasi atau rinorea
5. Dilatasi pupil, piloereksi, atau berkeringat
6. Diare
7. Menguap
8. Demam
9. Insomnia
C. Gejala pada criteria B menyebabkan penderitaan atau hendaya yang secara klinis
signifikan dalam fungsi sosial, okupasional, atau area fungsi penting lain.
D. Gejala tidak disebabkan kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh
gangguan mental lain.
Dari American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders. 4th ed, Text rev. Washington DC. American Psychiatric Assosiation; copyright
2000, dengan izin.

Gangguan mood akibat opioid


Gejala gangguan mood akibat opioid mungkin bersifat manic, depresi atau
campuran, tergantung pada respon seseorang terhadap opiat atau opioid. Seseorang yang
datang ke psikiatrik dengan gangguan mood akibat opioid biasanya mempunyai gejala
campuran, suatu kombinasi iritabilitas, perasaan meluap-luap dan depresi.
Gangguan tidur akibat opioid dan disfungsi seksual akibat opioid
Hiperinsomnia kemungkinan merupakan gangguan tidur yang paling sering pada
opiate atau opioid dibandingkan insomnia. Disfungsi seksual yang paling sering
kemungkinan adalah impotensi.

Intoksikasi opioid

DSM-IV-TR mendefinisikan intoksikasi opioid yaitu mencakup perubahan perilaku


maladaptif dan beberapa gejala fisik spesifik penggunaan opioid (Tabel 9.10-2).
Umumnya, perubahan mood, retardasi psikomotor, mengantuk, bicara cadel, dan hendaya
memori serta atensi saat terdapat indikator lain penggunaan opioid baru-baru ini sangat
kuat menunjukkan diagnosis intoksikasi opioid. DSM-IV-TR memungkinkan spesifikasi
dengan gangguan persepsi.
Keadaan putus opioid
Aturan umum tentang awitan dan durasi gejala keadaan putus zat adalah bahwa zat
dengan durasi kerja singkat cenderung menimbulkan sindrom putus zat yang pendek dan
hebat, dan zat dengan durasi kerja lama menghasilkan sindrom putus zat yang memanjang
namun ringan. Pengecualian aturan tersebut, keadaan putus zat yang dipresipitasi antagonis
narkotik setelah ketergantungan opioid kerja lama bias menjadi berat.
Sindrom abstinensi dapat dipresipitasi dengan pemberian antagonis opioid. Gejala
dapat dimulai dalam hitungan detik setelah injeksi intravena dan dapat memuncak kurang
lebih 1 jam. Ketagihan opioid jarang terjadi pada pemberian opioid sebagai analgesik
untuk nyeri akibat penyakit fisik atau pembedahan. Sindrom putus zat penuh, termasuk
ketagihan opioid yang intens, biasanya hanya terjadi sekunder terhadap penghentian
mendadak penggunaan pada orang dengan ketergantungan opioid.
Morfin dan Heroin. Sindrom putus morfin dan heroin dimulai 6 sampai 8 jam setelah
dosis terakhir, biasanya setelah periode 1 sampai 2 minggu penggunaan berkelanjutan atau
setelah pemberian antagonis narkotik. Sindrom putus zat mencapai intensitas puncak hari
kedua atau ketiga dan mereda 7 sampai 10 hari berikutnya tapi beberapa gejala dapat
menetap selama 6 bulan atau lebih.
Meperidin. Sindrom putus zat meperidin dimulai dengan cepat, mencapai puncak dalam 8
sampai 12 jam, dan berakhir dalam 4 sampai 5 hari.
Metadon. Keadaan putus metadon biasanya dimulai dalam 1 sampai 3 hari setelah dosis
terakhir dan berakhir dalam 10 sampai 14 hari.

Gejala. Keadaan putus opioid (Tabel 9.10-3) terdiri dari kram otot berat dan nyeri tulang,
diare profus, kram perut, rinorea, lakrimasi, piloereksi atau merinding, menguap, demam,
dilatasi papil, hipertensi, takikardia, dan disregulasi suhu, dan ketagihan opioid jarang mati
akibat putus opioid, kecuali mereka memiliki residual seperti insomnia, bradikardia,
disregulasi suhu, dan ketagihan opioid dapat menetap berbulan-bulan setelah keadaan
putus zat. Gambaran terkait keadaan putus opioid mencakup kegelisahan, iritabilitas,
depresi, tremor, kelemahan, mual, dan muntah. Sewaktu-waktu dalam sindrom putus zat,
injeksi tunggal, morfin atau heroin dapat menghilangkan semua gejala.
Delirium pada Intoksikasi Opioid
Delirium pada intoksikasi opioid paling mungkin terjadi ketika opioid digunakan dalam
dosis tinggi, dicampur dengan senyawa psikoaktif lain, atau digunakan oleh orang dengan
kerusakan otak atau gangguan sistem saraf pusat (contoh: epilepsi) yang telah ada
sebelumnya.
Gangguan Psikotik Terinduksi Opioid
Gangguan psikotik terkait opioid dapat dimulai saat intoksikasi opioid. Kriteria diagnosis
DSM-IV-TR tercantum dalam bagian skizofrenia dan gangguan psikotik lain. Klinisi dapat
merinci apakah halusinasi atau waham yang menjadi gejala predominan.
F. Gambaran Klinis
Opioid dapat dikonsumsi per oral, dihirup secara intra nasal, dan di injeksikan
secara intravena (IV) atau subkutan. Opioid secara subjektif bersifat adiktif karena
melalui sensasi tinggi euforik yang dialami pengguna, terutama mereka yang
mengonsumsi zat secara IV. Gejala terkait mencakup perasaan hangat, rasa berat di
ekstremitas, mulut kering, wajah gatal (terutama hidung), dan wajah memerah. Euphoria
awal diikuti oleh periode sedasi, dikenal dalam istilah jalanan sebagai nodding off.
Penggunaan opioid dapat menginduksi disforia, mual dan muntah pada orang yang belum
pernah mengonsumsi opioid.
Efek fisik opioid meliputi depresi napas, konstriksi papil, kontraksi otot polos
(termasuk ureter dan kandung empedu), konstipasi, perubahan tekanan darah, denyut
jantung dan suhu tubuh. Efek depresi nafas diperantarai pada tingkat batang otak.

Efek simpang

Efek simpang paling sering dan paling serius yang dikaitkan dengan gangguan terkait
opioid adalah kemungkinan penularan hepatitis dan HIV melalui penggunaan jarum
terkontaminasi oleh lebih dari satu orang. Seseorang dapat mengalami reaksi alergik
idiosinkatrik terhadap opioid, yanf mengakibatkan syok anafilaktik, edema paru dan
kematian bila mereka tidak menerima penanganan yang tepat dan adekuat. Efek simpang
serius lain adalah interaksi obat idionsikratik antara meperidin dan inhibitor oksidase
monoamin, yang dapat menimbulkan instabilitas otonom menyeluruh, agitasi perilaku
berat, koma, kejang dan kematian. Untuk alas an ini opioid dan inhibitor oksidase
monoamin sebaiknya tidak diberikan bersamaan.
Overdosis opioid
Kematian akibat overdosis opioid biasanya disebabkan henti nafas akibat efek depresan
napas zat tersebut. Gejala overdosis meliputi kurangnya respons yang nyata, koma, napas
lambat, hipotermia, hipotensi, dan bradikardia. Ketika pasien dibawa dengan trias klinis
berupa koma, pupil pinpoint, dan depresi napas, klinisi seyogyanya mempertimbangkan
overdosis sebagai diagnosis primer. Mereka juga dapat menginspeksi tubuh pasien untuk
mencari jejak jarum di lengan, tungkai, pergelangan kaki, selangkangan, dan bahkan vena
dorsalis penis.
G. Penanganan dan Rehabilitasi
Penanganan Overdosis
Tugas pertama adalah memastikan jalan napas yang adekuat. Sekret trakofaringeal harus
diaspirasi, alat bantu napas dapat dimasukkan. Pasien sebaiknya diberi ventilasi mekanik
sampai nalokson, antagonis opioid spesifik, dapat diberikan. Nalokson diberikan secara
IV dengan laju rendah awalnya sekitar 0,8 mg per 70 mg per 70 kg berat badan. Tanda
perbaikan (peningkatan laju napas dan dilatasi papil) seharusnya terjadi dengan cepat.
Pada pasien ketergantungan opioid, terlalu banyak nalokson dapat menimbulkan gejala
putus zat dan pembalikan overdosis. Jika tidak ada respons yang teramati setelah 4
sampai 5 mg, depresi sistem saraf pusat mungkin hanya disebabkan opioid. Durasi kerja
nalokson pendek dibanding banyak opioid lain seperti metadon dan levometadil asetat,
dan pemberian berulang mungkin diperlukan untuk mencegah rekurensi toksisitas opioid.
Keadaan Putus Zat dan Detoksifikasi
Metadon. Metadon adalah narkotik opioid sintetik yang mensubsitusi heroin dan dapat
dikonsumsi per oral. Bila diberikan kepada pecandu untuk menggantikan zat yang biasa
mereka salah gunakan, obat ini akan menekan gejala putus zat. Dosis harian 20 sampai 80
mg cukup untuk menstabilkan pasien meski dosis harian hingga 120 mg pernah
digunakan. Metadon memiliki durasi kerja lebih dari 24 jam dengan demikian, dosis
sehari sekali sudah adekuat. Rumatan metadon dilanjutkan sampai pasien dapat putus dari
metadon, yang secara tersendiri juga menimbulkan ketergantungan. Sindrom abstinensi
terjadi pada keadaan putus metadon, tapi pasien lebih mudah didetoksifikasi dari metadon

dibanding heroin. Klonidin (0,1 sampai 0,3 mg tiga sampai empat kali sehari) biasanya
diberikan selama periode detoksifikasi.
Rumatan metadon memiliki sejumlah keuntungan. Pertama, metadon
membebaskan orang dengan ketergantungan opioid dari penggunaan heroin secara injeksi
dan dengan demikian mengurangi kemungkinan penyebaran virus imunodefisiensi
manusia (HIV) melalui jarum yang terkontaminasi. Kedua, metadon menghasilkan
euphoria minimal dan jarang menyebabkan mengantuk atau depresi bila dikonsumsi
dalam jangka waktu lama. Ketiga, metadon memungkinkan pasien terlibat dalam
pekerjaan yang menghasilkan daripada aktivitas kriminal. Kerugian utama penggunaan
metadon adalah bahwa pasien tetap tergantung narkotik.
H. Komplikasi
Komplikasi dapat timbul sesuai obat yang digunakan (seperti konstipasi) rute
penggunaan obat (misalnya thrombosis vena dalam), serta gaya hidup terkait kebiasaan
mengonsumsi (misalnya kejahatan), komplikasi biasanya terjadi akibat penyuntikan obat,
penggunaan jarum yang kotor dan non-steril beresiko menimbulkan selulitis,
endokarditis, dan septicemia, penggunaan jarum suntik secara bersamaan dapat
menularkan HIV, hepatitis B dan hepatitis C.
Bahaya mayor penyalahgunaan secara intravena adalah overdosis yang dapat
disengaja maupun tidak disengaja. Kematian akibat overdosis opioid dapat terjadi secara
cepat overdosis opioid harus dicurigai pada pasien tidak sadar terutama diserti oleh
pinpoint pupil dan depresi panas.

BAB III
KESIMPULAN
Opiat atau opioid adalah adiktif secara subjektif karena euforik yang tinggi yang dialami
oleh pemakaian opiat dan opioid, khususnya mereka yang menggunakan zat secara
intravena. Gejala penyerta adalah perasaan hangat, rasa berat pada anggota gerak, mulut
kering, wajah gatal (khususnya hidung), dan kemerahan pada wajah. Untuk orang yang
awam terhadap opioid, pemakaian opiat dan opioid dapat menyebabkan disforia, mual, dan
muntah. Efek fisik dari opiat dan opioid adalah depresi pernapasan, kontriksi pupil,
kontraksi otot polos (termasuk ureter dan saluran empedu), konstipasi dan perubahan
tekanan darah, kecepatan denyut jantung dan temperatur tubuh.

Anda mungkin juga menyukai