REFERAT
Oleh
Daning Yuniartika 132011101010
Sarah Marsa Tamimi 132011101012
Pembimbing :
dr. Justina Evy Tyaswati, Sp. KJ
dr. Alif Mardijana, Sp. KJ
REFERAT
Oleh
Daning Yuniartika 132011101010
Sarah Marsa Tamimi 132011101012
Pembimbing
dr. Justina Evy Tyaswati, Sp. KJ
dr. Alif Mardijana, Sp. KJ
5.1 Prognosis……………………………………………………………………..12
5.2 Pencegahan……………………..…………………………………………….12
iii
1
BAB I. PENDAHULUAN
1.2. Definisi
DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders)
mendefiniskan sebagai gangguan rigiditas otot berat, peningkatan temperatur dan
gejala lainnya yang terkait, misalnya diaphoresis, disfagia, inkontinensia,
perubahan tingkat kesadaran dari konfusi sampai dengan koma, mutisme, tekanan
2
darah meningkat atau tidak stabil, peningkatan kreatin phosphokinase (CPK) yang
berkaitan dengan pengunaan pengobatan neuroleptik (Kaplan, 2005).
Obat neuroleptik dan obat lainnya yang berpengaruh pada dopamin biasanya
dipakai untuk terapi kondisi psikiatri dan non psikiatri seperti skizofrenia,
gangguan afek mayor (gangguan depresi, bipolar), delirium, gangguan tingkah
laku karena demensia, nausea, disfungsi usus dan penyakit parkinson. Sindroma
ini mengakibatkan disfungsi sistem saraf otonom. Sistem saraf otonom adalah
sistem saraf yang bertanggung jawab untuk aktivitas tubuh yang tidak
dikendalikan secara sadar, seperti denyut jantung, tekanan darah, pencernaan,
berkeringat, suhu tubuh dan kesadaran juga terpengaruh (Benzer, 2005)
1.3 Etiologi
Semua kelas anti psikotik berhubungan dengan SNM termasuk neuroleptik
potensi rendah, neuroleptik potensi tinggi dan antipsikotik atipikal. SNM
sering pada pasien dengan pengobatan haloperidol dan chlorpromazine
(Sholevar, 2002)
Penggunaan dosis tinggi antipsikotik (terutama neuroleptik potensi tinggi),
antipsikotik aksi cepat dengan dosis dinaikan dan penggunaan antipsikotik
injeksi long acting (Sholevar, 2002).
Faktor lain berhubungan dengan farmakoterapi. Penggunaan neuroleptik yang
tidak konsisten dan penggunaaan obat psikotropik lainnya, terutama lithium,
dan juga terapi kejang (Sholevar, 2002).
2.1 Patofisiologi
Sesuai dengan istilahnya, Sindrom Neuroleptik Maligna berkaitan dengan
pemberian pengobatan neuroleptik. Mekanisme pastinya belum diketahui, tetapi
terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa defisiensi dopamin atau blokade
dopamin yang menyebabkan SNM. Pengurangan aktivitas dopamin di area otak
(hipothalamus, sistem nigrostartial, traktus kortikolimbik) dapat menerangkan
terjadinya gejala klinis SNM (Benzer, 2005).
Pengurangan dopamin di hipothalamus dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan pengaturan suhu sehingga terjadi demam dan juga dapat
menyebabkan ketidak stabilan saraf otonom. Di sistem nigrostratial dapat
menyebabkan rigiditas, di sistem traktus kortiko limbik dapat menyebabkan
perubahan kesadaran. Perubahan status mental disebabkan karena blokade
reseptor dopamin di sistem nigrostartial dan mesokortikal (Benzer, 2005).
5
3.1 Diagnosis
Konsensus untuk diagnosis sindrom neuroleptik maligna tidak ada. Salah
satu kriteria berasal dari DSM IV-TR. Kriteria tersebut mencakup hiperpireksia
dan rigiditas otot, dengan satu atau lebih tanda-tanda penting seperti ketidak
stabilan otonom, perubahan sensorik, peningkatan kadar CPK dan myoglobinuria.
Berdasarkan gejala klinis tersebut, SNM seharusnya menjadi diagnosis
banding pada pasien demam dengan pengobatan neuroleptik. Sebelum diagnosis
SNM ditegakkan, semua kemungkinan penyebab kenaikan suhu harus
disingkirkan, dan demam harus disertai dengan gejala klinis lain seperti rigiditas
otot, perubahan status mental dan ketidakstabilan otonom.
Tabel 1
Kriteria Diagnostik dan Riset untuk Sindrom Neuroleptik Maligna
Rigiditas otot yang parah, peningkatan temperatur tubuh, dan temuan lain
yang berhubungan, misalnya, diaforesis, disfagia, inkontinensia, perubahan
tingkat kesadaran mulai dari konfusi sampai koma, mutisme, peningkatan
atau tekanan darah labil, peningkatan kreatini fosfokinase (CPK) yang
berkembang berhubungan dengan pemakaian medikasi neuroleptik.
A. Perkembangan rigiditas otot yang parah dan peningkatan temperatur
yang berhubungan dengan pemakaian medikasi neuroleptik
B. Dua (atau lebih) berikut:
1) Diaforesis
2) Disfagia
3) Tremor
4) Inkontinensia
5) Perubahan tingkat kesadaran mulai dari konfusi sampai koma
6) Mutisme
7) Takikardia
8) Peningkatan atau tekanan darah labil
9) Lekositosis
7
Tabel 2
Kriteria Levenson’s untuk diagnosis SNM*
Kriteria Major
Demam
Rigiditas
Peningkatan Kreatin Kinase (CK)
Kriteria Minor
Takikardi
Tekanan darah abnormal
Kesadaran Berubah
Diaphoresis
Lekositosis
* 3 kriteria major, atau 2 kriteria major dan 4 kriteria minor, yang
diperlukan untuk diagnosis
2. Malignant Hypertermia
Sebuah gangguan genetik langka, Hipertermia ganas (MH) adalah
gangguan miopati dengan beberapa variasi (bentuk dominan dan resesif
autosomal dilaporkan). Hal ini biasanya terjadi segera setelah terpapar,
terhalogenasi agen anestesi inhalasi dan depolarisasi relaksan otot, seperti
suksinilkolin Dalam beberapa menit paparan, gejala hiperpireksia, kaku otot,
dan ada kenaikan kadar CK dan myoglobinurea. Gangguan tersebut juga
dirasakan menjadi penyakit sistem saraf perifer yang dihasilkan dar kelainan
membran otot. MH sering terjadi pada pasienyang memiliki gangguan
miopati lain seperti distrofi otot, myotonic,distrofi, dan miopati kongenital.
Selain itu adanya riwayat keluarga terkait HM pada saat anestesi dan
mungkin kematian.
3. Malignant Katatonia
Diferensial diagnosis SNM yang sering adalah keganasan katatonia.
Gejala klinis hipertermia dan kekakuan ada dalam sindrom ini, biasanya ada
gejala prodromal dari perilaku dalam beberapa minggu yang ditandai dengan
psikosis, agitasi, dan kegembiraan katatonik. Gejala motorik juga ditandai
dengan fenomena yang lebih positif (sikap dystonia, fleksibilitas lilin, dan
gerakan berulang stereotip) yang juga ada dijelaskan dalam SNM. Nilai
laboratorium biasanya normal. Kedua gangguan ini bisa sulit untuk
dibedakan secara klinis.
4. Sindrom Obat lain yang berhubungan
Intoksikasi akut dengan obat narkoba, terutama kokain dan ekstasi (3,4-
methylenedioxymethamphetamine MDMA), bisa membingungkan dengan
SNM. Obat-obatan ini sangat berpengaruh terhadap sistem saraf pusat, agen
ini menarik pelaku karena menghasilkan kewaspadaan, energi, dan euforia,
namun efek yang sama juga dapat bermanifestasi sebagai psikomotor
agitasi, delirium, dan bahkan psikosis. Hipertermia dan rhabdomyolysis
dapat terjadi, biasanya berkaitan dengan peningkatan aktivitas fisik dan suhu
lingkungan. Kekakuan tidak umum dalam kasus ini. Penggunaan MDMA
9
4.1 Tatalaksana
1. Terapi Suportif
Penatalaksaan yang paling penting adalah menghentikan semua anti
psikotik dan terapi suportif. Pada sebagian besar kasus, gejala akan
mereda dalam 1-2 minggu. Sindrom Neuroleptik Maligna yang dipercepat
dengan injeksi anti psikotik long action dapat bertahan selama sebulan
(Jeffrey, 2007).
Terapi suportif bertujuan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut dan
memelihara fungsi organ yaitu:
1. Manajemen jalan nafas: intubasi, oksigenasi adekuat, oxymetri.
2. Manajemen sirkulasi: monitoring jantung, resulsitasi cairan,
hemodinamik.
3. Untuk mengendalikan temperatur dapat dengan antipiretik.
4. Skrening infeksi dengan cara melakukan CT scan kepala, thorak,
analisis cairan serebrospinal, kultur urin dan darah.
2. Terapi Farmakologi
Pengobatan yang diberikan pada Sindrom Neuroleptik Maligna adalah
obat dopamin agonis yaitu (Maslim,2014):
bromokriptin 7,5-60 mg/ hari yang dibagi 3 dosis
l-dopa 2 x 100 mg/hari, atau
amantadine 200 mg/ hari
Terapi farmakologi masih dalam perdebatan. Agonis dopamin seperti
bromokriptin dan amantadin diperkirakan berguna untuk mengobati
Sindrom Neuroleptik Maligna berdasarkan hipotesis defisiensi dopamin.
Dantrolene dipakai untuk mengurangi rigiditas otot, metabolisme dan
peningkatan panas. Peneliti lain melaporkan tidak ada manfaat dan setelah
diamati ternyata meningkatkan komplikasi dan pemanjangan gejala
karena pemakaian obat-obat tersebut.
11
4.2 Komplikasi
Komplikasi dari Sindroma Neuroleptik Maligna banyak. Komplikasi yang
paling umum adalah rhabdomiolisis sebagai akibat dari rigiditas otot terus
menerus dan akhirnya terjadi kerusakan otot. Komplikasi lainnya gagal ginjal,
pneumonia aspirasi, emboli pulmo, edema pulmo, sindrom distress respirasi,
sepsis, diseminated intravascular coagulation, seizure, infark miocardial (Hal dan
Chopman, 2006).
Menghindari antipsikotik dapat menyebabkan komplikasi karena psikotik
yang tidak terkontrol. Sebagian besar pasien dengan pengobatan anti psikotik
karena menderita gangguan psikiatri berat atau persiten, kemungkinan relaps
tinggi jika anti pskotik di hentikan (Sholevar, 2002).
12
BAB V. PROGNOSIS
5.1 Prognosis
Mortalitas sekitar 10-20%, sebagian besar pada pasien dengan nekrosis otot
yang berat bisa menjadi rhabdomiolisis. Pasien dengan riwayat Sindrom
Neuroleptik Maligna dapat terjadi rekurensi. Risiko terjadi rekurensi berhubungan
dengan jeda waktu antara Sindrom Neuroleptik Maligna dan dimulainya kembali
pengobatan antipsikotik (Stanley, 2007).
5.2 Pencegahan
Pencegahan merupakan bagian penting dalam menghindari terjadinya
sindrom ini. Dosis terendah neuroleptik dianjurkan, dengan memonitor onset efek
samping ekstra piramidal. Deteksi awal dan memberikan terapi untuk
mengeliminasi efek samping ekstrapiramidal, terutama rigiditas otot dapat
mencegah perkembangan lebih lanjut Sindroma Neuroleptik Maligna dan
komplikasinya (Bottoni, 2002).
13
DAFTAR PUSTAKA