Oleh:
Nabilah Hanifah Mukti 180070200011126
Pembimbing :
dr. Sri Budhi Rianawati, Sp.S (K)
LABORATORIUM/SMF NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM Dr. SAIFUL ANWAR
MALANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
Traumatic Brain Injury (TBI) atau cedera otak merupakan salah satu isu
kesehatan global yang signifikan dengan insidensi 107-149 kasus per 100.000
kasus di Australia. Di Amerika Serikat, pada tahun 2013, kasus berkaitan dengan
TBI tercatat sebanyak 2,5 juta kasus di unit gawat darurat, 282.000 kasus
hospitalisasi, dan kematian sebanyak 56.000 (Taylor et al., 2017) TBI
berkontribusi terhadap hampir 30% kematian di Amerika Serikat. Di Indonesia,
belum cukup banyak data mengenai TBI. Puncak insidensi didominasi oleh laki-
laki dengan kisaran usia 16-24 tahun dengan kejadian paling banyak akibat
kecelakaan motor, penganiayaan, jatuh, dan kecelakaan dalam olahraga
(Marshman et al., 2013)
TBI memiliki dampak yang besar baik terhadap keluarga maupun
penderita, salah satunya adalah sekuele defisit kognitif. Defisit kognitif yang
disebabkan oleh TBI mempengaruhi aktivitas sehari-hari, pekerjaan, kesenangan
ataupun hobi yang kerugiannya tidak dapat dihitung secara personal maupun
ekonomi. TBI memiliki asosiasi dengan kondisi sekuela neurobehavioral yang
bersifat multifaktorial. Sekuela neurobehavioral tersebut memiliki karakteristik
dengan gejala neuropsikiatrik maupun somatis. Salah satu dari sekuela
neurobehavioral neuropsikiatrik adalah defisit kognitif. Hal ini ditentukan oleh
variabel terkait proses kecelakaan itu sendiri; derajat keparahan dari TBI,
komplikasi, adanya jejas pada bagian tubuh yang lain, dan kronisitas dari jejas.
Selain itu, karakteristik pasien seperti usia, status neuropsikiatri pre trauma, dan
genotip juga dapat berpengaruh. (Rabinowitz dan Levin, 2014). Defisit kognitif
tersebut memiliki spektrum yang luas terutama dalam gangguan fungsi atensi
dan memori yang salah satunya termanifestasi dengan amnesia pasca trauma
yang berkaitan dengan fungsi kognitif memori (Riggio, 2011).
Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), Amnesia
Pasca Trauma termasuk dalam standar kompetensi 3A sehingga diperlukan
pengetahuan dokter muda mengenai manifestasi klinis, kriteria diagnosis,
pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan PTA, agar dapat mengenali dan
mendiagnosis secara dini dan melakukan manajemen terapi atau merujuk sesuai
dengan indikasi, sehingga dapat mencegah komplikasi yang terjadi.
BAB II
1
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.1.1 Trauma Kapitis (Cedera Otak)
Trauma kapitis atau cedera kepala merupakan trauma mekanik terhadap
kepala baik secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan gangguan
fungsi neurologis seperti gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik bersifat
temprorer maupun permanen. Menurut Brain Injury Association of America,
penyebab trauma kepala adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu
lintas 20%, kecelakaan umum 19% dan kekerasan 11%.
Cedera otak berdasarkan mekanismenya terbagi menjadi dua yaitu
cedera otak primer dan sekunder. Kerusakan pada primer, merupakan kerusakan
otak yang timbul saat cedera. sebagai akibat dari kekuatan mekanik yang
menyebabkan deformitas jaringan. Kerusakan ini dapat bersifat fokal atau difus.
Kerusakan sekunder adalah kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari
kerusakan primer termasuk kerusakan oleh hipoksia, iskemik, pembengkakan
otak, peningkatan TIK.
Cedera kepala dapat dibedakan berdasarkan derajat kesadarannya serta
berdasarkan klinis. Berdasarkan derajat kesadaran, cedera kepala dibagi
menjadi cedera kepala ringan, sedang dan berat. (Tabel 2.1)
Cedera Kepala Ringan Cedera Kepala Sedang Cedera Kepala Berat
GCS > 13 GCS 9-13 GCS <9
Tidak didapatkan Ditemukan kelainan pada CT Ditemukan kelainan
kelainan pada CT Scan Scan otak pada CT Scan otak
otak
Tidak memerlukan Memerlukan tindakan operasi Penurunan kesadaran
tindakan operasi untuk lesi intrakranial terjadi secara progresif
Tidak ada hilang Kehilangan kesadaran lebih
kesadaran, atau jika dari 10 menit
tidak lebih dari 10 menit
Keluhan pusing, sakit Keluhan sakit kepala, muntah, Gejalanya serupa
kepala, muntah, jenag dan amnesia retrograde dengan cedera kepala
amnesia retrograde dan dan pada pemeriksaan sedang hanya dalam
tidak ditemukan kelainan neurologis didapatkan tingkat yang lebih berat.
pada pemeriksaan kelumpuhan saraf dan
neurologis anggota gerak
Tabel 2.1 Klasifikasi Cedera Kepala berdasarkan Derajat Keparahan
2
Cedera kepala berdasarkan klinis terbagi menjadi komosio serebri dan kontusio
serebri. Komosio serebri adalah keadaan dimana penderita setelah mendapat
trauma kapitis mengalami kesadaran yang menurun sejenak. gejala yang dilihat
adalah; penderita tidak sadar sejenak.
2.1.2 Memori
Memori atau daya ingat dan proses belajar merupakan satu kesatuan.
Belajar merupakan proses untuk memperoleh informasi atau pengetahuan baru,
sedangkan memori adalah proses untuk menyimpan informasi tersebut serta
dapat mengingatnya kembali bila dibutuhkan. Proses mengolah ingatan tersebut
adalah: 1) Encoding, di mana suatu informasi dari dunia luar akan ditera dan
didistribusikan ke beberapa unit penyimpanan di otak sebelum unit tersebut
dapat mempelajari materinya; 2) Konsolidasi, yang merupakan penyimpanan
informasi yang telah didapat secara lebih permanen; 3) Retrieval adalah
mengingat kembali bahan informasi yang telah disimpan. Masing-masing dari
proses melibatkan anatomi otak tertentu (Mesulam, 2013). Berikut adalah skema
dari klasifikasi memori (Gambar 2.1)
3
melihat nomor tersebut di buku telepon, di mana orang tersebut akan lupa
nomor tersebut setelah memutarnya.
• Daya ingat jangka pendek (Short-Term Memory) yaitu informasi yang dapat
diingat setelah beberapa menit memperhatikan dan menghafalkannya;
contoh, memutar nomor telepon sambil menghafalnya. Dapat bertahan
beberapa menit hingga jam.
• Daya ingat jangka panjang (Long-Term Memory) yaitu informasi masa lampai
yang masih dapat diingat. Ini merupakan bank memori mengenai apa yang
diketahui dari pendidikan dan pengalaman, sebagian besar akan hilang
setelah beberapa lama.
2.1.3 Amnesia
Amnesia terutama didefinisikan dalam dua cara. Pertama, umumnya
digunakan untuk menggambarkan setiap gangguan memori berat atau defisit,
terlepas dari penyebabnya. Kedua, sesuai dengan pandangan dasar pada
amnesia yaitu merupakan gangguan memori yang dapat terjadi dengan tanpa
gangguan kognitif substansial lainnya. Gangguan ini - disebut sebagai gangguan
baik amnesia atau amnestic sesuai dengan klasifikasi internasional yang berbeda
- memiliki arti yaitu adanya gangguan memori yang bukan karena demensia atau
delirium dan merupakan penurunan dari tingkat fungsional yang ada dicapai
sebelumnya. Penurunan fungsi juga membedakan antara amnesia infantil atau
gangguan perkembangan saraf. (Hans J, 2012)
Amnesia merujuk pada terjadinya kehilangan memori baik parsial atau
lengkap. Menjadi pelupa adalah hal normal yang umum terjadi karena usia,
namun, ketika kehilangan memori mulai mengganggu aktivitas sehari-hari, hal ini
perlu dikaji oleh dokter untuk menjadi tanda penyakit yang lebih dalam.
Kehilangan memori atau amnesia dikatakan ketika seseorang kehilangan
kemampuan untuk mengingat peristiwa dan informasi yang mereka secara
4
teratur atau normal diingat. Memori mungkin berurusan dengan hal-hal yang
didengar atau dilihat dalam beberapa menit atau detik atau sesuatu yang telah
terjadi di masa lalu. Amnesia dapat mulai tiba-tiba atau mungkin dapat terjadi
secara progresif yang lebih lama dan dapat memburuk dari waktu ke waktu,
misalnya lebih dari satu tahun atau lebih. (Mandal MD, 2015)
Keadaan amnesia, sebagai awalnya didefinisikan oleh Ribot, memiliki dua
fitur penting yang mungkin berbeda dalam tingkat keparahan tapi dapat terjadi
bersama:
gangguan kemampuan untuk mengingat peristiwa dan informasi lainnya
yang telah terjadi sebelum timbulnya penyakit (amnesia retrograde )
gangguan kemampuan untuk memperoleh informasi baru, yaitu, untuk
belajar atau untuk membentuk kenangan baru (anterograde amnesia).
Ketidakmampuan untuk menyimpan informasi baru jangka panjang
bernama amnesia anterograde dan ketidakmampuan untuk mengingat informasi
yang telah tersimpan disebut amnesia retrograde. (Hans J, 2012). Varian
amnesia dan bentuk penyakit yang berhubungan dengan amnesia atau
gangguan perilaku yang berhubungan dengan amnesia:
Amnesia global : merupakan amnesia yang telah lama terdiagnosis
dengan gejala adanya kehilangan total memori
Amnesia anterograde : ketidakmampuan untuk memperoleh, menyimpan,
atau mengambil informasi baru jangka panjang dan tidak sadar tentang
memori setelah insiden
Amnesia retrograde : ketidakmampuan untuk secara sadar mengaktifkan
kembali informasi yang disimpan lama atau waktu lampau
Amnesia parsial (lakunar amnesia) : kehilangan memori yang terbatas
pada jenis informasi tertentu yang terjadi di masa lali
Material Spesifik amnesia : adanya penurunan fungsi dalam hal
penamaan sehubungan dengan objek atau bahan
Amnesia otobiografi : ketidakmampuan untuk mengingat peristiwa (detail
mengenai pengetahuan pribadi) dari kehidupan sendiri
Amnesia semantik : etidakmampuan untuk mengaktifkan kembali fakta-
fakta umum, atau ekspresi linguistik (seperti demensia semantik)
Amnesia topografi : gangguan memori untuk lokasi dan ruang
5
Paramnesia reduplikatif : adanya gangguan terhadap rasa kenyamanan
yang dirasakan pasien; yakni pasien yakin bahwa seseorang, tempat, atau
benda ada dua (berulang); biasanya disebabkan oleh gangguan otak
organik ( neurologis)
Capgras (delusi) sindrom : Terganggunya rasa nyaman dengan timbulnya
asumsi pasienbahwa teman atau kerabat dekat telah digantikan oleh
seorang penipu, atau jadi dua; biasanya tidak ada gejala halusinasi, tapi
dimasukkan di dalam ilmu penyakit kejiwaan
Infantil / amnesia masa kanak-kanak : Ketidakmampuan untuk secara
sadar mengambil peristiwa dari umur 3-4 tahun pertama kehidupan
(mungkin disebabkan oleh insuffisien perkembangan otak, diri, dan
bahasa dan dengan adanya gangguan pada memori.
Developmental Amnesia : amnesia episodik-otobiografi yang terpelihara
memori semantik setelah peristiwa hipoksia-iskemik berkelanjutan
biasanya dalam tahun tahun pertama kehidupan
Korsakoff 'S syndrome / amnesia : sebuah gumpalan gejala amnesia
anterograde dengan berat, variabel amnesia retrograde, confabulations,
dan disorientasi terhadap waktu dan tempat; kecerdasan dan memori
jangka pendek; biasanya disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol
jsm\ngks psnjsng yang berat , tetapi terutama gangguan gizi buruk
dengan pola yang berbeda terutama dari degenerasi otak diencephalic
medial
Pseudodementia : gejala amnesia terlihat jelas, namun penyebab utama
dari gangguan ini berdasarkan pada penyakit depresi
Sindrom blok Mnestic Blok memori, disebabkan oleh faktor psikologis
seperti stres berat atau trauma psikologis (Hans J, 2012).
6
aktivitas sosial. Pada keadaan akut trauma kapitis maka gangguan memori
mempunyai peranan penting. PTA dapat meliputi kejadian sebelum trauma
(retrograde amnesia) atau setelah trauma (anterograd amnesia). Pasien
umumnya hanya terganggu memorinya tanpa kehilangan fungsi yang lainnya.
PTA didefinisikan oleh Russel dan Smith sebagai periode pemulihan
setelah TBI dimana pasien dalam kondisi sadar akan tetapi tampak kebingungan
dan disorientasi dengan atensi yang lemah dan kemampuan untuk membuat
memori baru yang lemah. Informasi tentang kejadian yang berlangsung tidak
tersimpan. Russel dan Smith kemudian memperhalus konsep PTA untuk
memfokuskan pada gangguan penyimpanan informasi kejadian yang
berlangsung. Dalam istilah neuropsikiologi kognitif, PTA adalah suatu gangguan
pada memori episodik yang digambarkan sebagai ketidakmampuan pasien untuk
menyimpan informasi kejadian yang terjadi dalam konteks temporospatial yang
spesifik. Akan tetapi, fase penyembuhan dini setelah gangguan kesadaran juga
dikarakteristikkan oleh gangguan atensi dan perubahan behavioral yang
bervariasi dari mulai letargi sampai agitasi.
Russel dan Smith telah membuat suatu derajat keparahan trauma
kapitis berdasarkan durasi PTA karena adanya korelasi diantaranya kedua
sebagai berikut : . (Sherer dan M. Sander, 2015).
TBI ringan jika PTA kurang dari 1 jam
TBI sedang jika PTA antara 1 sampai 24 jam
TBI berat jika PTA 1 sampai 7 hari
TBI sangat berat jika PTA lebih dari 7 hari
Akan tetapi, tidak jarang pada pasien rehabilitasi mengalami durasi PTA
lebih dari 7 hari. Pada sistem klasifikasi ini, tidak bisa menggambarkan spektrum
keparahan yang lebih luas sehingga variabilitas outcome jauh lebih besar dan
terjadi penurunan nilai prognostik. Beberapa studi kemudian membuat klasfiikasi
baruyang dapat membuat prediksi outcome fungsional yang lebih baik. Klasfiikasi
Missisipi yang divalidasi oleh Nakase-Richardson et al., menunjukkan prediksi
outcoma lebih baik dibandingkan dengan klasifikasi Russel dan Smith, dengan
klasifikasi durasi PTA sebagai berikut; TBI derajat sedang durasi 0-14 hari, TBI
derajat sedang-berat adalah 15-28 hari, TBI derajat berat 29-70 hari dan TBI
derajat sangat berat lebih dari 70 hari. (Wade, 2012). Selain itu, dapat pula untuk
7
menentukan kemampuan kognitif pasien TBI, durasi perawatan di rumah sakit
dan resiko early atau late epilepsi.(de Guise et al., 2013; Crowe, 2012)
PTA dapat digunakan sebagai alat untuk dterminasi kemampuan pasien
dalam membuat decision-making, derajat keperluan pasien untuk dilakukan
supervisi, rujukan untuk rehabilitasi, waktu untuk discharge dari rumah sakit.
(Kosch et al., 2012)
8
Tipe yang kedua dari PTA adalah amnesia anteretrograde yang merupakan
suatu defisit dalam membentuk memori baru setelah kecelakaan, yang
menyebabkan penurunan atensi dan persepsi yang tidak akurat. Memori
anteretrograde merupakan fungsi terakhir yang paling sering kembali setelah
sembuh dari hilangnya kesadaran. Amnesia anterograd dan retrograd mengenai
periode waktu yang bervariasi setelah dan sebelum cedera, dan dapat pula
inkomplit, menyisakan yang disebut dengan pulau memori di antara jeda memori.
9
menunjukkan gejala klinis yang serupa pada delirium akut. Defek terjadi pada
orientasi temporal dan spasial dan sintesis persepsi.
d) Agitasi. PTA juga dapat bermanifestasi sebagai behavioral abnormal seperti
agitasi. (Nakase-Thompson et al., 2014). Symond mencatat akan hal ini
utamanya prevalensinya pada anak-anak. Selain merupakan restlessness
psikomotor, agitasi meliputi labilitas emosional, terganggunya ritme diurnal,
gangguan pada insight, impulsivitas, automatisasi dan adanya agresi verbal
maupun fisik (Marshman et al., 2013). Dapat pula ditemukan gejala seperti
takikardia, demam transien serta pasien dengan wajah "excited"
e) Atensi dan penurunan fungsi eksekutif. Adanya berbagai jenis paradigma,
model anatomi oleh Posner dan Peterson membagi atensi menjad vigilance,
orietasi dan komponen eksekutif. (Posner dan Peterson, 2012). Atensi
eksekutif termanifestasi dengan kegiatan seperti perencanaan, inisiasi, aksi
purposif, monitor diri, dan regulasi diri. Stuss et al., mengidentifikasi tujuh
tugas dalam hal untuk menilai atensi eksekutif (sustaining, concentrating,
sharing, suppressing, switching, preparing and setting) (Stuss, 2012)
10
hari bertutut-turut dapat dipertimbangkan untuk munculnya PTA (Cifu dan
Caruso, 2012) Penilaian ini pendek dan mudah digunakan.
11
2.5.3 Skala Amnesia Post Traumatik Westmed (SAPTW)
Skala Amnesia Post Traumatik Westmed (SAPTW) atau juga dapat
disingkat (A-WPTAS) merupakan instrumed yang valid untuk determinasi
panjang durasi PTA. (120-124). SAPTW didesain untuk menilai kapabilitas
individual yang terkena TBI untuk dapat membuat memori baru dalam jangka
waktu 24 jam atau lebih (Cifu dan Eapen, 2018). SAPTW mengukur orientasi
(waktu, tempat, dan orang), bersamaan dengan memori dari informasi baru
dari satu hari sesudahnya. WPTAS terdiri atas tujuh item yang menilai
orientasi dan lima item yang menilai memori. SAPTW dinilai dalam kegiatan
sehari-hari dan munculnya PTA dinyatakan ketika dicapainya skor maksimal
yaitu 12 selama 3 hari berturut-turut (Marshman et al., 2013). Seperti skor
PTA lainnya, SAPTW sederhana untuk digunakan dan praktis untuk praktisi.
Penilaian SAPTW mendapat beberapa kritisi penilaian dalam hal validitas
konstruksi, validitas kriteria dan validitas eksternal (Cifu dan Eapen, 2018)
Gambar 2.3 Skala Amnesia Post Traumatik Westmed (SAPTW)
12
2.6 Tatalaksana Post Traumatic Amnesia
2.6.1 Tatalaksana Non-Farmakologis
Secara umum, pasien pasca trauma harus dikenalkan pada lingkungan
yang familiar dengan menggunakan benda atau gambar, lingkungan juga
harus tenang. Pasien tidak boleh dibiarkan terstimulasi secara berlebihan.
Stimulus yang dimaksud adalah semua stimulus yang dapat dilihat, didengar,
atau dirasakan yang dapat membuat pasien berpikir. Beberapa hal yang bisa
dilakukan misalnya: menghindari televisi, radio, telpon serta meminimalkan
kebisingan. Walaupun beberapa intervensi yang telah disebutkan di atas
tampak tidak dapat mempercepat proses pemulihan, akan tetapi dapat
menurunkan furstasi dan mengurangi munculnya kejadian yang tidak
diaharapkan seperti konfabulasi, agitasi, dan labilitas afektif.
Beberapa kegiatan untuk melakukan stimulus terhadap kemampuan
kognitif juga perlu dilakukan diantaranya seperti PIcture Recall (PRL) and
Picture Recognition Task (PRT) dan Word Recall Task (WRT). Pada PRL dan
PRT, pasien diminta untuk melihat tiga gambar yang berbeda lalu pasien
diminta untuk menggambarkan ketiga gambar itu. Jika pasien tidak bisa
mengingat maka pasien diminta untuk mengulang sebanyak tiga kali dengan
bantuan pemeriksa untuk sedikit menggambarkannya. Sedangkan untuk
WRT, Pasien diminta untuk mengingat dan menghafalkan tiga kata setelah
diberikan pengarahan. Jika pasien tidak dapat mengulangnya maka
pemeriksa membantu mengingatnya sampai bisa
Selain penatalaksaan secara umum, edukasi terhadap keluarga juga
perlu dilakukan. Edukasi yang dimaksud adalah
Setiap perilaku menantang mungkin dikarenakan efek dari cedera dan tidak
boleh ditanggapi secara personal
Stimulasi terlalu banyak pada PTA dapat meningkatkan tingkat
kebingungan dan penderitaan pada orang tersebut. Penting bagi keluarga
untuk menjaga kegiatan di sekitar individu. Sebaiknya pasien dengan PTA
menghindari untuk bertemu dengan banyak orang yang mengakibatkan
terlalu banyak informasi yang digali sekaligus untuk menghindari
kebingungan pada pasien.
Penderita PTA kurang memiliki kapasitas belajar, karena itu sebaiknya
kerika berinteraksi dengan pasien menggunakan percakapan dan instruksi
13
yang sederhana dan sebaiknya bisa berbicara dengan cara yang tenang
dan meyakinkan.
14
orbitofrontal-subkortikal, metilpenidat dan agen augmentasi katekolamin lain
perlu diawasi dalam penggunannya. Dalam hal ini, pemberian dengan
valproat atau antipsikotik dapat diberikan sebagai delirium pascatrauma.
Apabila gejala pada PTA disertai juga dengan depresi, ansietas, tertawa atau
menangis yang besifat patologis terapi dengan SSRI dapat bermanfaat. SSRI
yang dapat digunakan ialah sertralin, citalopram, dan escitalopram
dipreferensikan karena cenderung ringan dengan waktu paruh yang singkat,
interaksi obat yang terbatas dan tidak adanya efek antimuskarinik.
15
BAB III
KESIMPULAN
Traumatic Brain Injury (TBI) atau cedera otak merupakan salah satu isu
kesehatan global yang signifikan. TBI memiliki dampak yang besar baik terhadap
keluarga maupun penderita, salah satunya adalah sekuele defisit kognitif. Defisit
kognitif yang disebabkan oleh TBI mempengaruhi aktivitas sehari-hari, pekerjaan,
kesenangan ataupun hobi yang kerugiannya tidak dapat dihitung secara personal
maupun ekonomi. Sekuela neurobehavioral dari TBI terdiri atas gejala
neuropsikiatrik dan somatis. Sekuela neuropsikiatrik yang paling sering
ditemukan dan verdampak sangat besar adalah disfungsi kognitif dengan adanya
gangguan pada atensi dan memori.
PTA salah satu gangguan memori yang biasanya disebabkan oleh pasca
trauma kapitis. Kebanyakan pasien yang mengalami trauma kapitis ringan atau
sedang, pulih setelah beberapa minggu sampai dengan bulan tanpa terapi
spesifik. Akan tetapi, sekelompok pasien akan terus mengalami sekuela setelah
periode ini, yang mengganggu pekerjaan atau aktivitas sosial. Pada keadaan
akut trauma kapitis maka gangguan memori mempunyai peranan penting. PTA
dapat meliputi kejadian sebelum trauma (retrograde amnesia) atau setelah
trauma (anterograd amnesia). Manifestasi klinis selain amnesia dari PTA dapat
berupa; confusion, agitasi, gangguan atensi dan eksekutif. PTA dapat dilakukan
penilaian dengan instrumentasi tes orientai dan amnesia seperti TOAG, NRS dan
SPATW. Tatalaksana dari PTA bersifat rehabilitatis khususnya dengan intervensi
nonfarmakologis yang melibatkan pasien dan keluarga pasien. Hingga saat ini
masih dikembangkan studi mengenai agen farmakologis yang dapat digunakan
untuk PTA. Prognosis dari PTA, terutama berkaitan dengan durasi dari lamanya
PTA berhubungan dengan derajat keparah dari TBI itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
16
Arciniegas, D. and McAllister, T., 2012. Neurobehavioral Management of
Traumatic Brain Injury in the Critical Care Setting. Critical Care
Clinics, 24(4), pp.737-765.
Cifu, D. and Caruso, D., 2010. Traumatic Brain Injury. New York [N.Y.]: Demos
Medical Pub.
de Guise, E., LeBlanc, J., Feyz, M. and Lamoureux, J., 2012. Prediction of
Outcome at Discharge From Acute Care Following Traumatic Brain
Injury. Journal of Head Trauma Rehabilitation, 21(6), pp.527-536.
Glisky, EL & Delaney, SM 1996, 'Implicit memory and new semantic learning in
posttraumatic amnesia', Journal of Head Trauma Rehabilitation, vol. 11,
no.2, pp. 31-42.
Hicks, A., Clay, F., Hopwood, M., Jayaram, M., Batty, R. and Ponsford, J., 2017.
Efficacy and harms of pharmacological interventions for neurobehavioral
symptoms in post traumatic amnesia after traumatic brain injury. JBI
Database of Systematic Reviews and Implementation Reports, 15(12),
pp.2890-2912.
Kosch, Y., Browne, S., King, C., Fitzgerald, J. and Cameron, I., 2012. Post-
traumatic amnesia and its relationship to the functional outcome of
people with severe traumatic brain injury. Brain Injury, 24(3), pp.479-
485.
Levin, H., High, W. and Eisenberg, H., 1988. Learning and forgetting during
posttraumatic amnesia in head injured patients. Journal of Neurology,
Neurosurgery & Psychiatry, 51(1), pp.14-20.
Levin, H., High, W., Meyers, C., Von Laufen, A., Hayden, M. and Eisenberg, H.,
2011. Impairment of remote memory after closed head injury. Journal of
Neurology, Neurosurgery & Psychiatry, 48(6), pp.556-563.
17
Marshman, L., Jakabek, D., Hennessy, M., Quirk, F. and Guazzo, E., 2013. Post-
traumatic amnesia. Journal of Clinical Neuroscience, 20(11), pp.1475-
1481.
Nakase-Thompson, R., Sherer, M., Yablon, S., Nick, T. and Trzepacz, P., 2004.
Acute confusion following traumatic brain injury. Brain Injury, 18(2),
pp.131-142.
Posner, M. and Petersen, S., 2012. The Attention System of the Human
Brain. Annual Review of Neuroscience, 13(1), pp.25-42.
Taylor, C., Bell, J., Breiding, M. and Xu, L., 2017. Traumatic Brain Injury–Related
Emergency Department Visits, Hospitalizations, and Deaths — United
States, 2007 and 2013. MMWR. Surveillance Summaries, 66(9), pp.1-16.
Wilson, B., Baddeley, A., Shiel, A. and Patton, G., 1992. How does post-
traumatic amnesia differ from the amnesic syndrome and from chronic
memory impairment?. Neuropsychological Rehabilitation, 2(3), pp.231-
243.
18