b) Apati
Keadaan dimana pasien tampak segan dan acuh tak acuh terhadap
lingkungannya.
c) Delirium
Yaitu penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus tidur
bangun yang terganggu. Pasien tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi dan
meronta-ronta.
g) Koma
Yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan
spontan dan tidak ada respons terhadap rangsang nyeri. Berdasarkan skenario,
interpretasi tingkat kesadaran pasien secara kualitatif yaitu masuk dalam
kategori Somnolen (Letergia, Obtundasi, Hipersomnia).
Referensi :
- Wijdicks EF, Varelas PN, Gronseth GS, Greer DM, American Academy of
N.Evidence- based guideline update: Determining brain death in adults:
Reportof the quality standards subcommittee of the American Academy
ofNeurology. Neurology 2010; 74: 1911-8.
- Singhal NS, Josephson SA. A practical approach to neurologic evaluation
inthe intensive care unit. J Crit Care 2014; 29(4): 627-33.
- Huff JS, Stevens RD, Weingart SD, Smith WS. Emergency neurological
lifesupport: Approach to the patient with coma. Neurocritical Care 2012;
17(S1):54-9.
- Yeo SS, Chang PH, Jang SH. The ascending reticular activating system
frompontine reticular formation to the thalamus in the human brain. Frontiers
inHuman Neuroscience [Internet]. 2013 [cited 2015 May 25]
Ekstrakranial:
1. Vaskuler: syok, payah jantung, hipertensi, hipotensi
2. Metabolik: hipoglikemia, hiperglikemia, asidosis metabolik,
ketidakseimbangan elektrolit
3. Toksik: overdosis obat, alcohol abuse, keracunan CO, gas anastesi
4. Infeksi sistemik berat: pneumoni, malaria
Referensi:
Kumar, P. & Clark, M. 2006 Clinical Medicine, 6th ed. Elsevier Saunders,
Edinburgh London.
Hipertensi
Disfungsi Endotel
Aneurisma
Perdarahan di Otak
Airway
Penilaian pertama adalah memastikan jalan napas pasien paten yakni
dengan penilaian cepat untuk tanda- tanda obstruksi jalan napas, antara lain :
memeriksa benda asing, mengidentifikasi fraktur wajah, mandibular, dan/ atau
trakea/ laring, dan cedera lainnya serta pengisapan untuk membersihkan
akumulasi darah atau sekresi yang dapat menyebabkan obstruksi jalan napas.
Jika masalah sudah teridentifikasi atau dicurigai, ambil tindakan segera untuk
meningkatkan oksigenasi dan mengurangi risiko penurunan ventilasi lebih lanjut.
Langkah-langkah ini termasuk teknik pemeliharaan jalan nafas, tindakan jalan
nafas definitif (termasuk jalan nafas bedah), dan metode pemberian ventilasi
tambahan.
Pada pasien yang memiliki tingkat kesadaran menurun, lidah dapat jatuh ke
belakang dan menghalangi hipofaring. Untuk segera memperbaiki obstruksi ini,
digunakan manuver chin-lift atau jaw-thrust. Jalan nafas kemudian dapat
dipertahankan dengan jalan nafas nasofaring atau orofaringeal. Manuver yang
digunakan untuk membangun jalan napas dapat menyebabkan atau memperburuk
cedera c-spine, sehingga pembatasan gerakan tulang belakang leher adalah wajib
selama prosedur ini.
Oropharyngeal Airway
Oropharyngeal airway tube dimasukkan ke dalam mulut di belakang lidah.
Tube dimasukkan melalui jalan napas oral secara terbalik, dengan bagian
melengkung diarahkan ke atas, hingga menyentuh langit-langitlunak. Pada titik
itu, putar perangkat 180 derajat, sehingga bagian melengkung menghadap ke
bawah, dan selipkan ketempatnya di atas lidah.
Kedua teknik ini dapat menyebabkan muntah, dan aspirasi; oleh karena itu,
gunakan dengan hati-hati pada pasien yang sadar.
Gambar 5. Oropharyngeal Airway
Gambar 6. (a) Laryngeal Mask Airway (LMA), (b) Laryngeal Tube Airway
(LTA), dan (c) Multilumen Esophageal Airway.
Breathing
Patensi jalan nafas saja tidak menjamin ventilasi yang memadai.
Diperlukan pertukaran gas yang memadai untuk memaksimalkan oksigenasi dan
eliminasi karbondioksida. Ventilasi membutuhkan fungsi paru-paru, dinding
dada, dan diafragma.
Circulation
Gangguan peredaran darah pada pasien trauma dapat terjadi akibat berbagai
cedera. Volume darah, curah jantung, dan perdarahan adalah masalah sirkulasi
utama yang perlu dipertimbangkan.
Perdarahan
Identifikasi sumber perdarahan sebagai eksternal atau internal. Perdarahan
eksternal diidentifikasi dan dikendalikan selama primary survey. Kehilangan
darah yang cepat dan eksternal dikelola dengan tekanan manual langsung pada
luka. Tourniquets efektif dalam memberhentikan perdarahan di ekstremitas tetapi
membawa risiko cedera iskemik pada ekstremitas itu. Gunakan tourniquet hanya
ketika tekanan langsung tida kefektif dan kehidupan pasien terancam.
Disability
Evaluasi neurologis yang cepat menentukan tingkat kesadaran dan ukuran
serta reaksi pupil pasien; mengidentifikasi keberadaan tanda-tanda lateralisasi;
dan menentukan tingkat cedera sumsum tulang belakang, jika ada.
Exposure
Selama primary survey lepaskan pakaian pasien sepenuhnya untuk
pemeriksaan dan penilaian menyeluruh. Setelah menyelesaikan penilaian, tutupi
pasien dengan selimut hangat atau alat pemanasan eksternal untuk mencegah
pasien dari mengalami hipotermia.. Hangatkan cairan intravena sebelum
digunakan, dan pertahankan lingkungan yang hangat. Hipotermia dapat terjadi
ketika pasien datang, atau dapat berkembang dengan cepat di UGD jika pasien
ditemukan dan menjalani pemberian cairan suhu kamar atau darah dingin dengan
cepat. Karena hipotermia adalah komplikasi yang berpotensi mematikan pada
pasien yang terluka, ambil tindakan agresif untuk mencegah hilangnya panas
tubuh dan mengembalikan suhu tubuh ke normal. Suhu tubuh pasien adalah
prioritas yang lebih tinggi dari pada kenyamanan penyedia layanan kesehatan,
dan suhu daerah resusitasi harus ditingkatkan untuk meminimalkan hilangnya
panas tubuh. Menggunakan cairan aliran tinggi yang lebih hangat untuk
memanaskan cairan kristaloid hingga 39°C (102,2°F). Ketika penghangat cairan
tidak tersedia, microwave dapat digunakan untuk menghangatkan cairan
kristaloid.
Referensi:
Singhal NS, Josephson SA. A practical approach to neurologic evaluation
inthe intensive care unit. J Crit Care 2014; 29(4): 627-33.
Indikasi:
a. Pasien yang tampak pucat atau sianotik
b. Terjadinya obstruksi jalan napas
c. Terdapat benda asing di subglotis
d. Cedera parah pada wajah dan leher
Komplikasi:
a. Perdarahan
b. Infeksi pada tulang rawan tiroid
c. Stenosis trakea
Krikotiroidotomi
Krikotiroidotomi surgical lebih mudah dilakukan, perdarahan lebih sedikit
dan lebih cepat dikerjakan dari pada trakeostomi.
Krikotirodotomi merupakan tindakan penyelamat pada pasien dalam keadaan
gawat napas k. Dengan cara membelah membran krikotiroid untuk dipasang
anul. Membrane ini terletak dekat kulit,tidak terlalu kaya darah sehingga lebih
mudah dicapai.Tindakan ini harus dikerjakan cepat walaupun persiapannya
darurat. Krikotiroidotomi di bagi menjadi 2 macam yaitu needle
cricothyroidotomy dan surgical cricothyroidotomy.
1. Needle Cricothyroidotomy
Pada needle cricothyroidotomy,sebuah semprit dengan jarum digunakan untuk
melubangi melewati membran krikoid yang berada sepanjang trakea. Setelah
jarum menjangkau trakea, kateter dilepaskan dari jarumnya dan dimasukkan ke
tenggorokan dan dilekatkan pada sebuah kantung berkatup.
2. Surgical Cricothyroidotomy
Pada surgical cricothyroidotomy, dokter dan tim medis lainnya membuat
insisi melewati membran krikoid sampai ke trakea dengan tujuan memasukkan
pipa untuk ventilasi pasien.
Teknik Krikotirodotomi
Pasien tidur telentang dengan kepala ekstensi pada artikulasio atlanto
oksipitalis. Puncak tulang rawan tiroid (Adam’sapple) mudah di identifikasi
difiksasi dengan jari tangan kiri. Dengan telunjuk jari tangan kanan tulang rawan
tiroid diraba ke bawah sampai ditemukan kartilago krikoid. Membrane
krikotiroid terdapat diantara kedua tulang rawan ini. Daerah ini diinfiltrasi
dengan anestetikum kemudian dibuat sayatan horizontal pada kulit. Jaringan
dibawah sayatan dipisahkan tepat pada garis tengah. Setelah tepi bawah kartilago
tiroid terlihat, tusukkan pisau dengan arah ke bawah. Kemudian, masukkan kanul
bila tersedia. Jika tidak, dapat dipakai pipa plastic untuk sementara.
Secondary Survey
Dimulai setelah primary survey selesai. Pada secondary survey dievaluasi dari
kepala sampai kaki pasien, yaitu riwayat pasien dan pemeriksaan fisik, termasuk
penilaian kembali tanda-tanda vital.
Riwayat Pasien
a. Alergi
b. Obat-obatan yang saat ini digunakan
c. Riwayat penyakit/ kehamilan
d. Riwayat makan
e. Peristiwa/ Lingkungan yang terkait dengan cedera
Pemeriksaan Fisik
a. Kepala
b. Tulang belakang
c. Leher
d. Dada
e. Perut
f. Panggul
g. Perineum
h. Rectum
i. Vagina
j. System musculoskeletal
k. System neurologis
a. Kepala
Secondary survey dimulai dengan evaluasi kepala untuk mengidentifikasi ada
tidaknya trauma neurologis dan trauma lainnya yang signifikan. Pada kepala
diperiksa ada tidaknya trauma laserasi, kontusio, dan fraktur.
Jika edema disekitar mata lakukan pemeriksaan lebih dalam, seperti:
1. Ketajaman penglihatan
2. Ukuran pupil
3. Pendarahan konjungtiva atau fundus
4. Luka tusuk
5. Kontak lensa (dilepassebelum edema terjadi)
6. Dislokasi lensa
7. Okular yang terperangkap
Salah satu pemeriksaan ketajaman visual dapat dilakukan dengan
menggunakan Snellen chart.gerakan ocular perlu diperiksa untuk mengeliminasi
gangguan otot ekstra okuler dikarenakan fraktur orbita.
b. Struktur Maxillofacial
Pemeriksaan wajah terdiri dari palpasi struktur yang bertulang, penilaian
oklusi, pemeriksaan intraoral, dan penilaian jaringan lunak.
Trauma maxillofacial tidak berhubungan dengan obstruksi jalan nafas atau
pendarahan massif yang harus diatasi hanya setelah pasien stabil dan trauma
yang mengancam nyawa telah diatasi. Pasien dengan fraktur midface mungkin
juga memiliki fraktur platcribriform. Untuk pasien-pasien ini, intubasi lambung
harus dilakukan melalui rute oral.
Pemeriksaan leher terdiri dari inspeksi, palpasi dan auskultasi. Cervical spine
tenderness, emfisema subcutaneous, deviasi trachea, dan fraktur laring dapat
ditemukan. Artericarotis harus dipalpasi dan auskultasi.
d. Dada
Inspeksi pada dada depan dan belakang dapat mengidentifikasi kondisi seperti
open pneumothorax, flail chest. Pemeriksaan lengkap dari dada membutuhkan
palpasi seluruh dinding dada termasuk clavicula, tulang rusuk dan sternum.
Tekanan pada sternum dapat menyebabkan nyeri jika terdapat fraktur atau
separasi costokondral pada sternum. Kontusio dan hematoma pada dinding dada
dapat menandakan cedera occult.
Reevaluation
Pasien harus dievaluiasi secara berkala, memastikan tidak ada kelainan yang
terlewatkan, ataupun adanya kelainan baru. Pemantauan terus-menerus tanda
vital, saturasi oksigen, dan pengeluaran urin sangat penting. Untuk pasien
dewasa, normalnya urin keluar 0,5 mL/kg/jam.
Referensi:
Stewart RM. Advanced Trauma Life Support. 10th ed. American College of
Surgeons; 2018.
6. Langkah-langkah diagnosis terkait skenario!
Anamnesis:
Melakukan allo anamnesis dikarenakan pasien tidak dapat berbicara dengan jelas
(disorientasi) dan dalam keadaan kesadaran menurun.
- Nama : Tn. X
- Umur : 50 tahun
- Alamat: -
- Pekerjaan: -
- Keluhan utama: Datang dengan penurunan kesadaran
- Onset: Dua jam yang lalu
- Keluhan tambahan: Tidak didapatkan keluhan tambahan pada skenario
Tidak ada keluhan pusing, mual, muntah, rasa baal, dan tidak diketahui
kronologi kejadian pada skenario
- Riwayat penyakit: DM dan Hipertensi
- Riwayat pengobatan: Tidak disebutkan jenis obat yang diberikan namun
diketahui bahwa pengobatan tidak teratur
- Riwayat keluarga: Tidak diketahui
Pemeriksaan Fisik:
- Melakukan penilaian pada keadaan umum pasien dan pasien datang dengan
keadaan umum sedang yaitu dibawa oleh orang lain, keluarga atau kerabat
dikarenakan pasien tidak dapat pergi ke layanan kesehatan dengan sendirinya
akibat penurunan kesadaran yang pasien alami.
- Melakukan penilaian status gizi pasien dan didapatkan status gizi pasien
adalah:
IMT = BB/ TB² = 120/(1,6)² = 46, 875 Kg/m² (Obes II)
- Pemeriksaan TTV:
Tekanan darah: 160/90 mmHg (Hipertensi grade II)
Nadi: 100x/menit (Berada dibatas atas nadi normal)
Pernapasan: 28x/menit (Normal, cenderung meningkat)
Suhu: 37°C (Normal)
Pemeriksaan Neurologi
1. Pemeriksaan status kesadaran (GCS) yang telah dibahas pada nomor 1
2. Pemeriksaan nervus cranialis
3. Pemeriksaan motorik
4. Pemeriksaan sensorik
5. Pemeriksaan susunan saraf otonom
6. Pemeriksaan fungsi koordinasi
7. Pemeriksaan fungsi luhur
Pemeriksaan motorik
- Bentuk otot: hipertrofi atau hipotrofi
- Tonus otot: hipertoni atau hipotoni
- Kekuatan otot:
- Normal
- Mampu melawan gravitasi dengan kekuatan besar/ kecil
- Gerakan sendi tidak mampu melawan gravitasi
- Hanya kontraksi otot
- Tidak ada kontraksi sama sekali
- Cara berdiri dan berjalan
- Gerakan spontan abnormal: tremor, atetosis, balisme
Pemeriksaan Sensorik
- Sensibilitas permukaan (exteroceptif) : rasa raba, halus, nyeri, suhu
- Sensibilitas dalam (proprioceptif) : rasa sikap, getar nyeri dalam struktur
- Fungsi kortikal untuk sensibilitas : pengenalan bentuk rabaan
Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah
Dapat diperiksa jumlah leukosit, kadar hemoglobin, hematokrit, fungsi hati,
fungsi ginjal, elektrolit, kadar gula darah
2. Cairan serebrospinal
Bila ada indikasi yang kuat, misalnya pada kasus tertentu (meningitis,
ensefalitis, perdarahan subarakhnoidal), diperlukan pemeriksaan cairan
serebrospinal.
Pemeriksaan Radiologi
Pencitraan otak sangat penting untuk mengkonfirmasi diagnosis stroke non
hemoragik. Non contrast computed tomography (CT) scanning adalah
pemeriksaan yang paling umum digunakan untuk evaluasi pasien dengan stroke
akut yang jelas. Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna untuk menentukan
distribusi anatomi dari stroke dan mengeliminasi kemungkinan adanya kelainan
lain yang gejalanya mirip dengan stroke (hematoma, neoplasma, abses). CT Scan
biasanya tidak sensitif mengidentifikasi infark serebri karena terlihat normal
pada >50% pasien, tetapi cukup sensitif untuk mengidentifikasi perdarahan
intrakranial akut dan/ atau lesi lain yang merupakan kriteria eksklusi untuk
pemberian terapi trombolitik. MRI kepala dilakukan jika diperlukan untuk
melihat adanya kelainan struktur otak. EKG (elektrokardiogram) dan foto thoraks
dapat dilakukan jika diperlukan untuk mendeteksi kelainan pada jantung.
Stroke
Stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang disebabkan oleh
gangguan pembuluh darah otak yang terjadi secara mendadak dan menimbulkan
gejala dan tanda yangsesuai dengan daerah otak yang terganggu. Kejadian
serangan penyakit ini bervariasi antar tempat, waktu dan keadaan penduduk.
Epidemiologi
Di Indonesia, stroke merupakan penyakit nomor tiga yang mematikan setelah
jantung dan kanker. Bahkan, menurut survei tahun 2004, stroke merupakan
pembunuh no.1di RS Pemerintah di seluruh penjuru Indonesia. Kejadian stroke
di Indonesia punselalu meningkat dari tahun ke tahun. Sebanyak 33 % pasien
stroke membutuhkan bantuan orang lain untuk aktivitas pribadi, 20 %
membutuhkanbantuan orang lain untuk dapat berjalan kaki, dan 75 % kehilangan
pekerjaan.
Etiologi
Sroke biasanya disebabkan oleh:
a. Trombosis Serebral
Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga
menyebabkan iskemia jaringan otak yang dapat menimbulkan edema dan
kongesti di sekitarnya. Trombosis biasanya terjadi pada orang tua yang sedang
tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas simpatis
dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemia serebri. Tanda
dan gejala neurologis sering kali memburuk dalam 48 jam setelah terjadinya
thrombosis. Beberapa keadaaan di bawah ini dapat menyebabkan thrombosis
otak:
- Aterosklerosis adalah mengerasnya pembuluh darah serta berkurangnya
kelenturan atau elastisitas dinding pembuluh darah. Kerusakan dapat terjadi
melalui mekanisme berikut; lumen arteri menyempit dan mengakibatkan
berkurangnya aliran darah, oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadi
thrombosis, merupakan tempat terbentuknya thrombus, melepaskan kepingan
thrombus (embolus) dan dinding arteri menjadi lemah dan terjadi aneurisma ,
robek dan terjadi perdarahan.
- Hiperkoagulasi pada Polisitema: Darah kental, peningkatan
viskositas/hematokrit dapat melambatkan aliran darah serebri.
- Arteritis (radang pada arteri) maupun Vaskulitis : arteritis temporalis,
poliarteritis nodosa.
- Robeknya arteri : karotis, vertebralis (spontan atau traumatik).
- Gangguan darah: polisitemia, hemoglobinopati (penyakit sel sabit).
d. Hipoksia umum
Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia umum adalah:
- Hipertensi yang parah
- Henti jantung paru
- Curah jantung turun akibat aritmia
e. Hipoksia lokal
Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia setempat adalah:
- Spasme arteri serebri yang disertai perdarahan subarachnoid
- Vasokontriksi arteri otak disertai sakit kepala migren.
b. Jenis kelamin
Insidensi pada pria 19% lebih tinggi daripada wanita. Hal ini mungkin terkait
bahwa laki-laki cenderung merokok. Dan, rokok ternyata dapat nerusak lapisan
dari pembuluh darah tubuh.
d. Ras/etnis
Dari beberapa penelitian dikemukakan bahwa ras kulit putih memiliki peluang
lebih besar untuk terkena stroke dibandingkan ras kulit hitam. Hal ini disebabkan
oleh pengaruh lingkungan dan gaya hidup. Pada tahun 2004 di Amerika terdapat
penderita stroke pada laki-laki yang berkulit putih sebesar 37,1% dan yang
berkulit hitam sebesar 62,9% sedangkan pada wanita yang berkulit putih sebesar
41,3% dan yang berkulit hitam sebesar 58,7%.
e. Genetik / Hereditas
Hal ini terkait dengan riwayat stroke pada keluarga. Orang dengan riwayat
stroke pada keluarga, memiliki resiko yang lebih besar untuk terkena stroke
dibandingkan dengan orang tanpa riwayat stroke pada keluarganya. Gen berperan
besar dalam beberapa faktor risiko stroke, misalnya hipertensi, jantung, diabetes
dan kelainan pembuluh darah. Riwayat stroke dalam keluarga, terutama jika dua
atau lebih anggota keluarga pernah mengalami stroke pada usia kurang dari 65
tahun, meningkatkan risiko stroke.
Diabetes
Diabetes meningkatkan kemungkinan aterosklerosis pada arteri koronaria,
femoralis dan serebral, sehingga meningkatkan pula kemungkinan stroke sampai
dua kali lipat bila dibandingkan dengan pasien tanpa diabetes. Dari
arterosklerosis dapat menyebabkan emboli yang kemudian menyumbat pembuluh
darah sehingga mengakibatkan iskemia. Iskemia menyebabkan perfusi otak
menurun dan akhirnya terjadi stroke. Pada DM, akan mengalami penyakit
vaskuler sehingga juga terjadi penurunan makrovaskulerisasi.
Makrovaskulerisasi menyebabkan peningkatan suplai darah ke otak. Dengan
adanya peningkatan suplai tersebut, maka TIK meningkat, sehingga terjadi
edema otak dan menyebabkan iskemia. Pada DM juga terjadi penurunan
penggunaan insulin dan peningkatan glukogenesis, sehingga terjadi hiperosmolar
sehingga aliran darah lambat, maka perfusi otak menurun sehingga stroke bisa
terjadi.
Dislipidemia
Dislipidemia adalah kelainan yang ditandai oleh kelainan baik peningkatan
maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kolesterol LDL yang tinggi
(normal : < 100 mg/dl), kolesterol HDL (normal : 35-59 mg/dl) yang rendah,
dan rasio kolesterol LDL dan HDL yang tinggi dihubungkan dengan peningkatan
risiko terkena stroke. Hal ini akan diperkuat bila ada faktor risiko stroke yang
lain (misalnya:hipertensi, merokok, obesitas). Berbagai penelitian epidemiologi
secara konsisten menghubungkan peningkatan risiko stroke pada penyandang
dislipidemia. Peningkatan 1 mmol/ L (38,7 mg/dL) kadar kolesterol darah total
akan meningkatkan risiko stroke sebesar 25%. Di lain sisi peningkatan 1 mmol/
L kadar kolesterol HDL (kolesterol baik) akan menurunkan risiko stroke sebesar.
Obesitas
Pasien obesitas/ kegemukan memiliki tekanan darah, kadar glukosa darah dan
serum lipid yang lebih tinggi, bila dibandingkan dengan pasien tidak gemuk. Hal
ini meningkatkan resiko terjadinya stroke, terutama pada kelompok usia 35-64
tahun pada pria dan usia 65-94 tahun pada wanita. Namun, pada kelompok yang
lain pun, obesitas mempengaruhi keadaan kesehatan, melalui peningkatan
tekanan darah, gangguan toleransi glukosa dan lain-lain. Pola obesitas juga
memegang peranan penting, dimana obesitas sentral dan penimbunan lemak pada
daerah abdominal, sangat berkaitan dengan kelainan aterosklerosis. Meskipun
riwayat stroke dalam keluarga penting pada peningkatan resiko stroke, namun
pembuktian dengan studi epidemiologi masih kurang.
Diabetes
Memiliki diabetes dapat meningkatkan risiko stroke dan bisa membuat hasil
stroke parah. Diabetes adalah suatu kondisi yang menyebabkan darah untuk
membangun terlalu banyak gula bukannya memberikan kepada jaringan tubuh.
Gula darah tinggi cenderung terjadi dengan tekanan darah tinggi dan kolesterol
tinggi.
Alkohol
Minum terlalu banyak alkohol meningkatkan tekanan darah Anda, yang
meningkatkan risiko stroke. Hal ini juga meningkatkan kadar trigliserida, suatu
bentuk kolesterol, yang bisa mengeras arteri Anda.
Ketidakaktifan fisik
Tidak mendapatkan cukup latihan bisa membuat Anda mendapatkan berat
badan, yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah dan kadar kolesterol.
Ketidakaktifan juga merupakan faktor risiko untuk diabetes.
Riwayat keluarga
Memiliki riwayat keluarga stroke meningkatkan kemungkinan stroke. Cari
tahu lebih lanjut tentang jenis risiko pada genomik CDC dan penyakit situs Web
pencegahan.
Patofisiologi Stroke
Suplai darah ke otak dapat berubah pada gangguan fokal (thrombus, emboli,
perdarahan dan spasme vaskuler) atau oleh karena gangguan umum (Hypoksia
karena gangguan paru dan jantung).. Thrombus dapat berasal dari flak
arterosklerotik atau darah dapat beku pada area yang stenosis, dimana aliran
darah akan lambat atau terjadi turbulensi. Oklusi pada pembuluh darah serebral
oleh embolus menyebabkan oedema dan nekrosis diikuti thrombosis dan
hypertensi pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan
menyebabkan kematian dibandingkan dari keseluruhan penyakit cerebrovaskuler.
Jika sirkulasi
serebral terhambat,
dapat berkembang
cerebral.. Perubahan
irreversible dapat anoksia
lebih dari 10 menit.
Anoksia serebtal dapat
terjadi oleh karena
gangguan yang
bervariasi, salah satunya
cardiac arrest.
Bagan 3. Patofisiologi Stroke
Klasifikasi Stroke
1. Stroke Hemoragik
Merupakan perdarahan serebri dan mungkin perdarahan subaraknoid.
Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada daerah otak tertentu.
Biasanya kejadiaannya saat melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga
terjadi saat istorahat. Kesadaran klien umumnya menurun.
Stroke hemoragik adalah disfungsi neurologis fokal yang akut dan disebabkan
oleh perdarahan primer substansi otak yang terjadi secara spontan bukan oleh
trauma kapitis, disebabkan oleh karena pecahnya pembuluh darah arteri, vena,
dan kapiler. Perdarahan otak dibagi menjadi dua, yaitu
a. Perdarahan intraserebri (PSI)
Pecahnya pembuluh darah (mikroaneurisma) terutama karena hipertensi
mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa yang
menekan jaringan otak dan menimbulkan edema otak. Peningktan TIK yang
terjadi cepat, dapat mengakibatkan kematian mendadak karena herniasi otak.
Perdarahan intraserebri yang disebabkan hipertensi sering dijumpai didaerah
putamen, talamus, pons dan serebellum
b. Perdarahan subaraknoid (PSA)
Perdarahan ini berasal dari pecahnya aneurisma berry atau AVM. Aneurisma
yang pecah ini berasal adari pembuluh darah sirkulasi Willisi dan cabang-
cabangnya yang terdapat di luar perenkim otak. Pecahnya arteri dan keluarnya ke
ruang subaraknoid menyebabkan TIK meningkat mendadak , meregangnya
struktur peka nyeri, dan vasospasme pembuluh darah serebri yang berakibat
disfungsi otak global (nyeri kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal
(hemiparese, gangguan hemisensorik, afasia dan lainnya).
Pecahnya arteri dan keluarnya darah ke ruang subaraknoid mengakibatkan
terjadinya peningkatan TIK yang mendadak, meregangnya struktur peka nyeri
sehingga nyeri kepala hebat. Sering juga dijumpai kaku kuduk dan tanda-tanda
rangsangan selaput otak lainnya. Peningkatan TIK yang mendadak juga
mengakibatkan perdarahan subhialoid pada retina dan penurunan kesdaran.
Perdarahan subaraknoid dapat mengakibatkan vasospasme pembuluh darah
serebri. Vasospasme ini seringkali terjadi 3-5 hari setelah timbulnya perdarahan,
mencapai puncaknya hari ke 5 sampai dengan ke-9, dan dapat menghilang
setelah minggu ke-2 sampai dengan ke-5. Timbulnya vasospasme diduga karena
interaksi antara bahan-bahan yang berasal dari darah dan dilepaskan kedalam
cairan serebrospinal dengan pembuluh arteri di ruang subaraknoid. Vasospasme
ini dapat mengakibatkan disfungsi otak global maupun fokal.
1. TIA. Gangguan neurologis lokal yang terjadi selama beberapa menit sampai
beberapa jam saja. Gejala yang timbul akan hilang dengan spontan dan
sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam
2. Stroke involusi. Stroke yang terjadi masih terus berkembang, gangguan
neurologis terlihat semakin berat dan bertambah buruk. Proses dapat berjalan
24 jam atau beberapa hari
3. Stroke komlet. Gangguan neurologis yang timbul sudah menetap atau
permanen. Sesuai dengan istilah komplet dapat diawali oleh serangan TIA
berulang.
c. Defisit Sensori
1. Parestesia (terjadi pada sisi berlawanan dari lesi):
- Kebas dan kesemutan pada bagian tubuh
- Kesulitan dalam propriosepsi
d. Defisit Verbal
1. Afasia ekspresif:
- Tidak mampu membentuk kata yang dapat dipahami
- Mungkin mampu bicara dalam respon kata-tunggal
2. Afasia reseptif:
- Tidak mampu memahami kata yang dibicarakan
- Mampu bicara tetapi tidak masuk akal
3. Afasia global:
- Kombinasi baik afasia reseptif dan ekspresif
e. Defisit Kognitif
- Kehilangan memori jangka pendek dan panjang
- Penurunan lapang perhatian
- Kerusakan kemampuan untuk berkosentrasi
- Alasan abstrak buruk
- Perubahan penilaian
f. Defisit Emosional
- Kehilangan control diri
- Labilitas emosional
- Penurunan toleransi pada situasi yang menimbulkan stress
- Depresi
- Menarik diri
- Rasa takut, bermusuhan, dan marah
- Perasaan isolasi
Apabila dilihat bagian hemisfer mana yang terkena, gejala dapat berupa:
a. Stroke hemisfer kanan
- Hemiparese sebelah kiri tubuh
- Penilaian buruk
- Mempunyai kerentanan terhadap sisi kontralateral sebagai
kemungkinan terjatuh kesisi yang berlawanan
b. Stroke hemisfer kiri
- Mengalami hemiparese kanan
- Perilaku lambat dan sangat berhati-hati
- Kelainan bidang pandang sebelah kanan
- Disfagia global
- Afasia
- Mudah frustasi
Adapun tanda dan gejala dilihat dari jenis stroke, yaitu:
a. Gejala klinis pada stroke hemoragik berupa:
- Defisit neurologis mendadak, didahului gejala prodormal yang terjadi
pada saat istirahat atau bangun pagi.
- Kadang tidak terjadi penurunan kesadaran
- Terjadi trauma pada usia > 50 tahun
- Gejala neurologis yang timbul bergantung pada berat ringannya gangguan
pembuluh darah dan lokasinya.
b. Gejala klinis pada stroke akut berupa:
- Kelumpuhan wajah atau anggota badan (biasanya hemiparesis) yang timbul
mendadak.
- Ganguan sensibilitas pada suatu anggota badan (gangguan hemisensorik)
- Perubahan mendadak pada status mental (konfusi, delirium, letargi, stupor/koma)
- Afasia (tidak lancar atau tidak dapat bicara)
- Disartria (bicara pelo atau cade)
- Afaksia (tungkai atau anggota badan tidak tepat pada sasaran)
- Vertigo (mual dan muntah atau nyeri kepala).
a. Angiografi Serebri
Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik seperti
perdarahan arteriovena atau adanya rupture dan untuk mencari sumber
perdarahan seperti aneurisma atau malformasi vaskuler.
b. Lumbal Pungsi
Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada cairan lumbal
menunjukkan adanya hemoragik pada subarachnoid atau perdarahan pada
intracranial. Peningkatan jumlah protein menunjukkan adanya proses inflamasi.
Hasil pemeriksaan likuor yang merah biasanya dijumpai pada perdarahan yang
massif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya warna likuor masih normal
(xantokrom) sewaktu hari-hari pertama.
c. CT Scan
Pemeriksaan diagnostik obyektif didapatkan dari Computerized Tomography
scanning (CT-scan). Menurut penelitian Marks, CT-scan digunakan untuk
mengetahui adanya lesiinfark di otak dan merupakan baku emas untuk diagnosis
stroke iskemik karena memilikisensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.
Pemeriksaan ini mempunyai keterbatasan, yaitu tidakdapat memberikan
gambaran yang jelas pada onset kurang dari 6 jam, tidak semua rumahsakit
memiliki, mahal, ketergantungan pada operator dan ahli radiologi, memiliki efek
radiasi dan tidak untuk pemeriksaan rutin skirining stroke iskemik yaitu
Memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi hematoma, adanya jaringan
otak yang infark atau iskemia, serta posisinya secara pasti. Hasil pemeriksaan
biasanya didapatkan hiperdens fokal, kadang-kadang masuk ke ventrikel, atau
menyebar ke permukaan otak.
e. USG Doppler
Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah sistem karotis
f. EEG
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan dampak
dari jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls liistrik dalam jaringan
otak.
i. Pemeriksaan Elektrokardiogram
Berkaitan dengan fungsi dari Jantung untuk pemeriksaan penunjang yang
berhubungan dengan penyebab stroke.
b. Arm Drift
Abnormal bila satu lengan tidak bergerak atau turun ke bawah apalagi bila
diseratakan pronasi (Pasien disuruh menutup mata dan mengangkat kedua lengan
selama 10 detik.
c. Bicara Abnormal
Abnormal bila tidak dapat bicara atau bicara pelo.
Profilaksis Vasospasme
Komplikasi
1. Hipoksia serebral
2. Penurunan aliran darah serebral
3. Embolisme serebral.
Pencegahan
Referensi:
Ketoasidosis Metabolik
Definisi
Ketoasidosis Diabetik adalah keadaan kegawatan atau akut dari DM tipe I ,
disebabkan oleh meningkatnya keasaman tubuh benda-benda keton akibat
kekurangan atau defisiensi insulin, di karakteristikan dengan hiperglikemia,
asidosis, dan keton akibat kurangnya insulin. Ketoasidosis Diabetik (KAD)
adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolic yang ditandai oleh trias
hiperglikemia, asidosis dan ketosis terutama disebabkan oleh defisiensi insulin
absolut atau relative. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut
diabetes mellitus (DM) yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat
darurat. Akibat diuresia osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan
dapat sampai menyebabkan syok.
Epidemiologi
Kekerapan KAD berkisar 4-8 kasus pada setiap 1000 penghidap diabetes dan
masih menjadi problem yang merepotkan di rumah sakit terutama rumah sakit
dengan fasilitas minimal. Angka kematian berkisar 0,5-7% tergantung dari
kualitas pusat pelayanan yang mengelola KAD tersebut. Di negara Barat yang
banyak penghidap diabetes tipe 1, kematian banyak diakibatkan oleh edema
serebri, sedangkan di negara yang sebagian besar penghidap adalah diabetes tipe
2, penyakit penyerta dan pencetus KAD sering menjadi penyebab kematian.
Etiologi
Penyebab tersering terjadinya KAD adalah infeksi, Pencetus lain diantaranya
adalah menghentikan atau mengurangi insulin, infark miokard, stroke akut,
pankreatitis dan obat-obatn. Awitan baru atau penghentian pemakaian insulin
seringkali menjadi sebab DM Tipe 1 jatuh pada keadaan KAD. Pada beberapa
pasien yang dianggap DM tipe 2, kadang-kadang tidak ditemukan pencetus yang
jelas dan setelah diberikan insulin dalam periode pendek keadaannya cepat
membaik.
Patofisiologi
KAD adalah suatu keadaan di mana terdapat defisiensi insulin absolut atau
relatif dan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol
dan hormon pertumbuhan dan somatostatin); keadaan tersebut menyebabkan
produksi glukosa hati meningkat dan utilisasi glukosa oleh sel tubuh menurun,
dengan hasil akhir hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia sangat bervariasi dan
tidak menentukan berat-ringannya KAD. Adapun gejala dan tanda klinis KAD
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu akibat hiperglikemia dan akibat
ketosis.Walaupun sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa, sistem
homeostasis tubuh terus teraktivasi untuk memproduksi glukosa dalam jumlah
banyak sehingga terjadi hiperglikemia.
Defisiensi insulin dan peningkatan hormon kontra regulator terutama
epinefrin, mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak. Akibatnya
lipolisis meningkat, sehingga terjadi peningkatan produksi benda keton dan asam
lemak bebas secara berlebihan. Akumulasi produksi benda keton oleh sel hati
dapat menyebabkan metabolik asidosis. Benda keton utama ialah asam
asetoasetat (AcAc) dan 3 beta hidoksi butirat.(3HB0 dan aseton. Meskipun sudah
tersedia bahan bakar tersebut sel-sel tubuh masih tetap lapar dan terus
memproduksi glukosa.
Hanya insulin yang dapat menginduksi transpor glukosa ke dalam sel,
memberi signal untuk proses perubahan glukosa menjadi glikogen, menghambat
lipolisis pada sel lemak (menekan pembentukan asam lemak bebas),
menghambat glukoneogenesis pada sel hati serta mendorong proses oksidasi
melalui siklus krebs dalam mitokondria sel.
Hiperglikemia dan hiperketonemia mengakibatkan diuresis osmotik,
dehidrasi, dan kehilangan elektrolit. Perubahan tersebut akan memicu lebih lanjut
hormon stress sehingga akan terjadi perburukan hiperglikemia dan
hiperketonemia. Ketoasidosis akan diperburuk oleh asidosis laktat akibat perfusi
jaringan yang buruk.
Defisiensi insulin relatif terjadi akibat konsentrasi hormon kontra regulator
yang meningkat sebagai respon terhadap kondisi stress seperti sepsis, trauma,
penyakit gastroentestinal yang berat, infark miokard akut, stroke dan lain-lain,
keberadaan insulin yang biasanya cukup untuk menekan lipolisis menjadi tidak
cukup secara relatif karena dibutuhkan lebih banyaki insulin untuk metabolisme
dan untuk menekan lipolisis.
Manifestasi Klinis
- Gejala klasik DM berupa poliuria, polidipsi, serta penurunan berat badan.
- Dehidrasi, dengan derajat yang bervariasi.
- Mual, muntah, nyeri perut, takikardi, hipotensi, turgor kulit menurun, dan
syok.
- Perubahan kesadaran dengan derajat yang bervariasi, mulai dari bingung
sampai koma.
- Pola napas Kussmaul.
Diagnosis
Anamnesis
Dari anamnesis bisa ditemukan riwayat seorang penghidap DM dengan
keluhan poliuri, polidipsi, rasa lelah, kram otot, mual muntah dan nyeri perut.
Pada keadaan yang berat dapat ditemukan keadaan penurunan kesadaran sampai
koma
Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan tanda-tanda dehidrasi, nafas kussmaul jika asidosis berat,
takikardi, hipotensi atau syok, flushing, penurunan berat badan, dan tentunya
adalah tanda-tanda dari masing-masing penyakit penyerta.
Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan kadar glukosa darah, dimana gula darah lebih dari 250 mg/dl
dianggap sebagai kriterian diagnosis utama KAD
- Elektrolit
- Analisa gas darah
- Keton darah dan urin
- Osmolaritas serum
- Darah perifer lengkap dengan hitung jenis
- Anion gap
- EKG
- Foto polos dada
Tatalaksana
Prinsip pengobatan
Begitu masalah diagnosis KAD ditegakkan, segera pengelolaan dimulai.
Prinsip-prinsip pengelolaan KAD ialah :
1. Penggantian cairan dan garam yang hilang
2. Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati dengan
pemberian insulin
3. Mengatasi stress sebagai pencetus KAD
4. Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya
pemantauan serta penyesuaian pengobatan.
a. Terapi Cairan
Secara umum pemberian cairan adalah langkah awal penatalaksanaan KAD
setelah resusitasi kardiorespirasi. Terapi cairan ditujukan untuk ekspansi cairan
intraselular, intravaskular, interstisial dan restorasi perfusi ginjal. Jika tidak ada
masalah kardiak atau penyakit ginjal kronik berat, cairan isotonik (NaCL 0,9%)
diberikan dengan dosis 15-20 cc/kgBB/jam pertama atau satu jam sampai satu
setengah liter pada jam pertama. Tindak lanjut cairan pada jam-jam berikutnya
tergantung pada keadaan hemodinamik, status hidrasi, elektrolit, dan produksi
urin. Penggantian cairan dapat dilakukan sampai dengan 24 jam, dan penggantian
cairan sangat mempengaruhi pencapaian target gula darah, hilangnya benda
keton, dan perbaikan asidosis.
b. Insulin
Insulin merupakan farmakoterapi kausatif utama KAD. Pemberian insulin
intravena kontinyu lebih disukai karena waktu paruhnya pendek dan mudah
dititrasi. Dari beberapa studi prospektif dengan randomisasi didapatkan bahwa
pemberian insulin reguler dosis rendah intravena merupakan cara yang efektif
dan terpilih. Jika dosis insulin intravena yang diberikan sekitar 0,1-1,15 unit/jam,
maka sebenarnya tidak diperlukan insulin bolus (priming dose) diawal. Dengan
pemberian insulin intravena dosis rendah diharapkan terjadi penurunan glukosa
plasma dengan kecepatan 50-100 mg/dl setiap jam sampai glukosa turun ke
sekitar 200 mg/dl, lalu kecepatan insulin diturunkan menjadi 0,02-0,05
unit/kgBB/jam. Jika glukosa sudah berada di sekitar 150-200 mg/dl maka
pemberian infus dextrose dianjurkan untuk mencegah hipoglikemia.
c. Kalium
Pasien KAD akan mengalami hiperkalemia melalui mekanisme asidemia,
defisiensi insulin, dan hipertonisitas. Jika pada saat masuk kalium pasien normal
atau rendah, maka sesungguhnya terdapat defisiensi kalium yang berat di tubuh
pasien sehingga butuh pemberian kalium yang adekuat karena terapi insulin akan
menurunkan kalium lebih lanjut. Monitor jantung perlu dilakukan pada keadaan
tersebut agar jangan terjadi aritmia. Untuk mencegah hipokalemia maka
pemberian kalium sudah dimulai manakala kadar kalium di sekitar batas atas
nilai normal.
d. Bikarbonat
Jika asidosis memang murni karena KAD, maka koreksi bikarbonat tidak
direkomendasikan diberikan rutin, kecuali jika PH darah kurang dari 6,9. Hanya
saja pada keadaan dengan gangguan fungsi ginjal yang signifikan, seringkali sulit
membedakan apakah asidosisnya karena KAD atau karena gagal ginjalnya. Efek
buruk dari koreksi bikarbonat yang tidak pada tempatnya adalah meningkatnya
risiko hipokalimia, menurunnya asupan oksigen jaringan, edema serebri dan
asidosis susunan saraf pusat paradoksal.
e. Fosfat
Serum fosfat sering ditemukan dalam keadaan normal atau meningkat saat
awl. Kadar fosfat akan turun dengan pemberian insulin. Dari beberapa studi tidak
ditemukan manfaat nyata pemberian fosfat pada KAD, bahkan pemberian fosfat
yang berlebihan akan mencetuskan hipokalsemia berat. Pada keadaan konsentrasi
serum fosfat kurang dari 1 mg /dl dan disertai dengan disfungsi kardiak, anemia
atau depresi nafas akibat kelemahan otot maka koreksi fosfat menjadi
pertimbangan penting. Setelah rehidrasi awal 2 jam pertama, biasanya kadar
glukosa darah akan turun. Selanjutnya dengan pemberian insulin diharapkan
terjadi penurunan kadar glukosa sekitar 60 mg%/jam. Bila kadar glukosa
mencapai <200 mg% maka dapat dimulai infus mengandung glukosa.
Komplikasi
Komplikasi tersering adalah hipoglikemia, hipokalemia, dan hiperglikemia
berulang. Hiperkloremia juga sering didapatkan hanya saja biasanya sementara
dan tidak membutuhkan terapi khusus. Komplikasi lain yaitu kelebihan cairan,
termasuk edema paru sehingga pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan
gagal jantung.
Pencegahan
Prognosis
Umumnya pasien membaik setelah diberikan insulin dan terapi standar
lainnya jika komorbid tidak terlalu berat, biasanya kematian pada pasien KAD
adalah karena penyakit penyerta berat yang datang pada fase lanjut. Kematian
meningkat sering dengan meningkatnya usia dan beratnya penyakit penyerta.
Referensi :
1. Setiati S,Alwi, Sudoyo AW,dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.
Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing. 2017
2. Sudoyo W.Aru dkk.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Jakarta.
2006
3. Nurul Hidayati. Analisis Praktik Klinik Keperawatan Pada Pasien
Ketoasidosis Diabetikum (KAD) Di Ruang ICU RSUD A. Wahab
Sjahranie Samarinda. Program Studi Profesi Ners Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Muhammadiyah Samarinda.2015
8. Perspektif Islam
"Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu
dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk
serta rahmat bagi orang-orang yang beriman." (QS. Yunus: 57).
Makna ayat:
Wahai sekalian manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian nasihat
dari tuhan kalian yang memperingatkan kalian dari siksaan Allah dan menakuti
kalian dengan ancamanNYa (penyakit), yaitu al-qur’an dan apa yang
dikandungnya berupa ayat-ayat dan nasihat-nasihat untuk memperbaiki akhlak-
akhlak kalian dan amal perbuatan kalian. Dan di dalamnya juga terdapat obat
bagi hati (dada) dari kebodohan, kesyirikan dan seluruh penyakit,serta
merupakan petunjuk lurus bagi orang yang mengikutinya dari seluruh makhluk,
sehingga menyelamatkannya dari kebinasaan. Allah menjadikannya sebagai
kenikmatan dan rahmat bagi kaum mukminin dan mengistimewakan mereka
dengan itu secara khusus; karena merekalah yang dapat mengambil manfaat
dengan iman, sedangkan orang-orang kafir, maka ia adalah kegelapan bagi
mereka.
Makna ayat:
Dan sifat keempat adalah pemberi kesembuhan. Jika aku sakit, Allah adalah
Dzat yang menyembuhkanku dari penyakit setelah aku menerima beberapa sebab
(kesembuhan) seperti obat.
Dengan demikian maka kita tidak pernah berputus asa atas penyakit yang kita
alami meski penyakit berat (stroke) sekalipun karena kita senantiasa mengingat
Allah sebagai penyembuh.
Daftar Pustaka
1. Wijdicks EF, Varelas PN, Gronseth GS, Greer DM, American Academy of
N.Evidence- based guideline update: Determining brain death in adults:
Reportof the quality standards subcommittee of the American Academy
ofNeurology. Neurology 2010; 74: 1911-8.
2. Singhal NS, Josephson SA. A practical approach to neurologic evaluation
inthe intensive care unit. J Crit Care 2014; 29(4): 627-33.
3. Huff JS, Stevens RD, Weingart SD, Smith WS. Emergency neurological
lifesupport: Approach to the patient with coma. Neurocritical Care 2012;
17(S1):54-9.
4. Yeo SS, Chang PH, Jang SH. The ascending reticular activating system
frompontine reticular formation to the thalamus in the human brain. Frontiers
inHuman Neuroscience [Internet]. 2013 [cited 2015 May 25]
5. Kumar, P. & Clark, M. 2006 Clinical Medicine, 6th ed. Elsevier Saunders,
Edinburgh London.
6. Harris, S. 2004. Penatalaksanaan Pada Kesadaran Menurun dalam Updates in
Neuroemergencies. FKUI. Jakarta. Hal.1-7
7. Harsono. 2005. Koma dalam Buku Ajar Neurologi. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta.
8. Farzaneh A, Sorond. Does hypertension affect cerebral blood-flow
autoregulation J Neural Sci[internet].
9. Huang I. Patofisiologi dan Diagnosis Penurunan Kesadaran pada Penderita
Diabetes Mellitus. Medicinus. 2018;5(2):48–57.
10. Singhal NS, Josephson SA. A practical approach to neurologic evaluation
inthe intensive care unit. J Crit Care 2014; 29(4): 627-33.
11. Stewart RM. Advanced Trauma Life Support. 10th ed. American College of
Surgeons; 2018.
12. Aliah, A; Limoa, R.A; Wuysang, G. (2000). Gambaran Umum Tentang
GPDO dalam Harsono:Kapita Selekta Neurologi. UGM Press, Yogyakarta.
13. Baehr M, Frotscher M. Duus’ : Topical Diagnosis in Neurology. 4th revised
edition. New York : Thieme. 2005.
14. Batticaca, Framsisca B. 2008. Asuhan keperawatan dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : salemba medika
15. Brunner, I ; Suddarth, Drs. (2002) Buku Ajaran Keperawatan Medical Bedah
Volume 2. Jakarta: EGC.
16. Corwin, J, E. (2001.) Buku Saku Patofisiologi, Jakarta: EGC
17. Dochtermann, J. M. C dkk. (2008). Nursing Interventions Classification
(NIC). United States of America: Mosby Elsevier.
18. Goetz Christopher G. Cerebrovascular Diseases. In : Goetz: Textbook of
Clinical Neurology,3rd ed. Philadelphia : Saunders. 2007.
19. Setiati S,Alwi, Sudoyo AW,dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.
Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing. 2017
20. Sudoyo W.Aru dkk.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Jakarta. 2006
21. Nurul Hidayati. Analisis Praktik Klinik Keperawatan Pada Pasien
Ketoasidosis Diabetikum (KAD) Di Ruang ICU RSUD A. Wahab Sjahranie
Samarinda. Program Studi Profesi Ners Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Muhammadiyah Samarinda.2015