Anda di halaman 1dari 44

1

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Ni Ketut Ayu Maharani
NIM : 0861050012
Universitas : Universitas Kristen Indonesia
Fakultas : Kedokteran
Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter
Diajukan : 12 November 2013
Bagian : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Judul : Urtikaria



Jakarta, 10 November 2013

Ketua SMF Pembimbing
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


dr. Gracia Pudjiati Widodo, SpKK dr. Sutirto Basuki, SpKK



2

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME yang telah melimpahkan karunia,
rahmat dan hidayahnya sehingga referat yang berjudul Urtikaria dapat diselesaikan dengan
baik dan tepat pada waktunya.
Referat ini disusun untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan periode 21 Oktober 16 November
2013. Selain itu diharapkan dengan adanya referat ini dapat memberikan pengetahuan
tambahan bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas
bantuan dan bimbingan yang telah diberikan dalam penyusunan referat ini, kepada :
- Dr. Gracia Pudjiati Widodo, SpKK selaku Kepala SMF Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin
- Dr. Sutirto Basuki, SpKK selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin
- Dr. Saskia Retno Ayu Hapsari sekaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin
- Ibu Dwi dan Pak Ujang selaku perawat Poliklinik Kulit dan Kelamin
- Keluarga tercinta yang senantiasa mendoakan dan membimbing penulis
- Teman-teman Coass yang telah membantu menyelesaikan tugas ini. Serta semua
pihak yang turut mendukung dan membantu hingga terselesaikannya referat ni.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan da keterbatasan dalam penyusunan
referat ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran, masukan dan kritikan yang
membangun untuk penyempurnaan referat ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak. Amin.
Wassalamualaikum Wr.Wb Jakarta, 10 November 2013

Ni Ketut Ayu Maharani

3

HALAMAN PENGESAHAN........................................................................................................................1
KATA PENGANTAR..................................................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................................4
1.2 Tujuan .................................................................................................................................4
1.3 Manfaat...............................................................................................................................5
BAB II
2.1 Anatomi...............................................................................................................................6
2.2 Fisiologi................................................................................................................................7
BAB III
3.1 Definisi...............................................................................................................................10
3.2 Epidemiologi......................................................................................................................10
3.3 Etiologi...............................................................................................................................11
3.4 Klasifikasi............................................................................................................................14
3.5 Patogenesis........................................................................................................................15
3.5.1 Mekanisme Imun...............................................................................................16
3.5.2 Mekanisme NonImun........................................................................................19
3.6 Gejala Klinis........................................................................................................................21
3.6.1 Immunologic IgE dan IgE Receptor- Dependent Urticaria/Angioedema...........21
3.6.2 Urticaria/Angioedema yang dimediasi oleh Sistem Komplemen dan Sistem
efektor plasma lainnya......................................................................................28
3.6.3 Urticaria/Angioedema Idiopatic.........................................................................30
3.7 Diagnosis............................................................................................................................31
3.8 Diagnosis Banding..............................................................................................................33
3.9 Penatalaksanaan................................................................................................................34
3.10 Prognosis..........................................................................................................................42
BAB 4 KESIMPULAN..............................................................................................................................43
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................................46

4

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Urtikaria atau dikenal juga dengan hives adalah kondisi kelainan kulit berupa reaksi
vaskular terhadap bermacam-macam sebab, biasanya disebabka oleh suatu reaks alergi, yang
mempunyai karakteristik gambaran kulit kemerahan (eritema) dengan sedikit udem atau
penonjolan (elevasi) kulit berbatas tegas yang timbul secara cepat setelah dicetuskan oleh
faktor presipitasi dan menghilang perlahan-lahan. Dalam istilah awam lebih dikenal dengan
istilah kaligata atau biduran. Meskipun pada umumnya penyebab urtikaria diketahui
karena reaksi alergi terhadap alergen tertentu, tetapi pada kondisi lain dimana tidak diketahui
penyebabnya secara signifikan, maka dikenal dengan istilah urtikaria idiopatik.
Walaupun patogenesis dan penyebab yang dicurigai telah diketahui, ternyata
pengobatan yang diberikan kadang-kadang tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan.
Ini disebabkan mungkin oleh kesalahan dalam menentukan penyebab dari urtikaria tersebut.
Seperti yang kita ketahui bahwa banyak sekali faktor-faktor yang dapat menyebabkan
urtikaria. Baik faktor dari dalam tubuh berupa reaksi imunitas yang berlebihan ataupun faktor
dari luar berupa penggunaan obat-obatan, makanan, fotosensitizer, gigitan serangga dan
banyak lagi yang lainnya.
Selain hal-hal diatas sangat penting diketahui mekanisme terjadinya urtikaria, karena
hal ini dapat membantu pemeriksaan yang rasional. Berawal dari permasalahan-permasalahan
ini penulis akan mencoba menguraikan penyakit urtikaria ini mulai dari penyebab,
patofisiologi dan yang terpenting adalah klasifikasi untuk dapat mengetahui pengobatan yang
tepat bagi penderita penyakit urtikaria.
1.2 TUJUAN
Dalam melaksanakan penyusunan referat ini penulis mempunyai tujuan-tujuan yang
mudah-mudahan dapat tercapai. Tujuan yang diharapkan adalah sebagai berikut :

5

1. Bagi Penulis
Dengan adaya penyusunan referat ini dapat menerapkan ilmu-ilmu yang dimiliki
dan menambah bekal pengetahuan yang dapat berguna kelak dalam memasuki
dunia kerja di masa depan.

2. Bagi Instansi
Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan dapat dijadikan sebagai bahan
masukan dalam rangka meningkatkan proses pelayanan dalam masyarakat.

3. Bagi Akademik
Dapat dijadikan tolak ukur bagi fakultas dalam mengetahui tingkat kemajuan
mahasiswa dalam proses kegiatan belajar dan mengajar.

1.3 MANFAAT
Manfaat yang diharapkan oleh penulis adalah penulis lebih memahami proses
terjadinya penyakit urtikaria, penyebab, klasifikasi sampai pengobatan yang tepat dan
rasional. Selain itu, diharapkan dengan adanya referat ini dapat membantu teman-teman
dalam mengenal dan memahami penyakit urtikaria.









6

BAB II
PEMBAHASAN

II. 1 Anatomi Kulit
Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu :
1

1. Lapisan epidermis atau kutikel
2. Lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin)
3. Lapisan Subkutis (hipodermis)

Gambar 1. Anatomi Kulit
1

Lapisan epidermis terdiri dari stratum korneum, stratum lusidum, stratum granulosum,
stratum spinosum, dan stratum basale. Stratum korneum (lapisan tanduk) adalah lapisan kulit
yang paling luar dan terdiri atas beberapa sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan
protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk). Stratum lusidum terdapat
langsung dibawah lapisan korneum, merupakan lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan
protoplasma yang berubah menjadi protein yang disebut eleidin. Lapisan tersebut tampak
lebih jelas di telapak tangan dan kaki. Stratum granulosum (lapisan kerato-hialin) merupakan
2 atau 3 lapis sel-sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti di antaranya.
Butir- butir kasar ini terdiri dari keratohialin. Mukosa biasanya tidak mempunyai lapisan ini.
Stratum granulosum juga tampak jelas di telapak tangan dan kaki. Stratum spinosum (stratum
7

malphigi) atau disebut pula prickle cell layer ( lapisan akanta) terdiri atas beberapa lapis sel
yang berbentuk polygonal yang besarnya berbeda-beda karena adanya proses mitosis.
Diantara sel-sel spinosum terdapat banyak sel langerhans dan sel- sel stratum spinosum
mengandung banyak glikogen. Stratum basale terdiri dari sel-sel berbentuk kubus
(kolumnar) yang tersusun vertical pada perbatasan demo-epidermal berbaris seperti pagar
(palisade). Lapisan ini merupakan lapisan epidermis yang paling bawah dan sel-sel ini
melakukan mitosis dan berfungsi reproduktif yang terdiri dari dua jenis sel yaitu sel-sel
berbentuk kolumnar dan melanosit.
Lapisan dermis adalah lapisan dibawah epidermis yang jauh lebih tebal daripada
epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastic dan fibrosa padat dengan elemen selular dan
folikel rambut. Secara garis besar dibagi menjadi dua bagian yakni pars papilare yang berisi
ujung serabut saraf dan pembuluh darah sedangkan pars retikulare berisi serabut penunjang
seperti serabut kolagen, elastin, dan retikulin.
Lapisan subkutis (hypodermis) terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak
didalamnya. Vaskularisasi dikulit diatur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus superficial (bagian atas
dermis) dan pleksus profunda ( terletak di subkutis).
1

II. 2. Fisiologi Kulit
Respon imun baik non spesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi
tubuh, berfungsi protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula
menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut reaksi
hipersensitivitas. Reaksi hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas
terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya.
Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut timbulnya waktu dibagi menjadi 3 ;
Reaksi hipersensitivitas tipe cepat dimana terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam
dua jam dimana yang berperan IgE, reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan
menghilang dalam 24 jam dimana yang berperan adalah IgG, dan reaksi tipe lambat yang
terlihat dalam 48 jam setelah terjadi pajanan dengan antigen dimana sel yang berperan sel Th.
Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs dibagi dalam 4 tipe
reaksi. A. Reaksi tipe I ( Reaksi IgE)
8

Dimana terjadi ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat oleh sel mast dan
basofil melepas mediator vasoaktif. Manifestasi klinik yang terjadi biasanya anafilaksis
sistemik dan local seperti rhinitis, asma, urtikaria, alergi makanan, dan ekzem.
B. Reaksi tipe II (Reaksi Sitotoksik, IgG atau IgM)
Dimana antibodi terhadap antigen permukaan sel menimbulkan destruksi sel dengan
bantuan komplemen atau ADCC. Manifestasi klinik yang terjadi biasanya reaksi transfuse,
eritroblastosis fetalis, anemia hemolitik autoimun.
C. Reaksi tipe III (Reaksi Kompleks Imun)
Dimana terjadi kompleks Ag-Ab mengaktifkan komplemen dan respon inflamasi
melalui infiltrasi masif neutrofil. Manifestasi klinik yang terjadi seperti Arthrus dan sistemik
seperti serum sickness, vaskulitis dengan nekrosis, glomerulonefritis, AR dan LES.
D. Reaksi tipe IV ( Reaksi Selular)
Sel Th1 yang disensitisasi melepas sitokin yang mengaktifkan makrofag atau sel Tc
yang berperan dalam kerusakan jaringan. Sel Th2 dan Tc menimbulkan respon sama.
Manifestasi klinik yang khas yaitu dermatitis kontak, lesi tuberculosis dan penolakan tandur.
Pada reaksi tipe I alergen yang masuk ke tubuh menimbulkan respon imun berupa
produksi IgE dan penyakit alergi seperti rhinitis alergi, asma, dan dermatitis atopi. Urutan
kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut :
1. Fase sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikat
silang oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast/ basofil
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen
yang spesifik dan sel mast/ basofil melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan
reaksi. Hal ini terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan IgE.
3. Fase efektor yaitu waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efke
mediator-mediator yang dilepas sel mast/basofil dengan aktivitas
farmakologik.(IMUNOLOGI)
9


Gambar 2. Reaksi Imunologi
Sumber : http://www.medicinesia.com/wp-content/uploads/2012/03/hipersensitivitas-tipe-
i.jpg











10

BAB III
URTIKARIA

III.1 Definisi
Urtikaria ialah reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-macam sebab, biasanya
ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna
pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit sekitarnya dapat dikelilingi halo.
Urtikaria ialah kelompok penyakit yang ditandai oleh pembengkakan (edema)
sementara kulit, mulut, dan genitalia akibat keluarnya plasma dari pembuluh darah kecil ke
dalam jaringan ikat sekitarnya. Pembengkakan dermis superfisial disebut wheal and flare
reaction. Urtika biasanya gatal dan bagian tengah awalnya pucat karena edema intens,
selanjutnya menjadi plakat superfisial berwarna merah jambu yang dalam beberapa jam
(sampai 24 jam) akan mengalami resolusi tanpa meninggalkan bekas. Tampak ruam
kemerahan disekitar urtika akibat reflek akson. Pembengkakan dermis lebih dalam dari
jaringan subkutan dan submukosa dinamai angioedema, juga dapat mengenai saluran napas,
saluran cerna dan organ kardiovaskular. Angioedema umumnya lebih terasa sakit daripada
gatal, dan bertahan lebih lama dibandingkan urtikaria. Urtikaria dan angioedema sering
timbul bersamaan.
III. 2 Epidemiologi.
Urtikaria sering dijumpai pada semua umur, orang dewasa lebih banyak mengalami
urtikaria dibandingkan dengan usia muda. SHELDON menyatakan bahwa umur rata-rata
penderita urtikaria ialah 35 tahun, jarang dijumpai pada umur kurang dari 10 tahun atau lebih
dari 60 tahun.
Ditemukan 40% bentuk urtikaria saja, 49% urtikaria bersama angioedema, 11%
angioedema saja. Di Amerika kira-kira sekitar 15-20% populasi penduduk pernah menderita
urtikaria. Untuk di Indonesia belum ada data yang pasti tentang populasi penduduk yang
menderita urtikaria. Sedangkan untuk internasional hampir sama dengan keadaan di Amerika
yaitu sekitar 15-20%.
11

Penderita atopi lebih mudah mengalami urtikaria dibandingkan dengan orang normal,
mungkin disebabkan karena faktor sensitivitas terhadap antigen yang lebih tinggi
dibandingkan orang normal. Tidak ada perbedaan frekuensi jenis kelamin baik laki-laki
maupun perempuan. Umur, jabatan atau pekerjaan, letak geografis dan perubahan musim
dapat mempengaruhi hipersensitifitas seseorang terhadap antigen yang dapat menyebabkan
urtikaria yang diperankan oleh IgE. Penicillin tercatat sebagai obat yang lebih sering
menimbulkan urtikaria.
III. 3 Etiologi
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya. Diduga
penyebab urtikaria bermacam-macam, di antaranya :
a. Obat
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtika, baik secara imuologik
maupun non imunologik. Hampir semua obat sistemik menimbulkan urtikaria secara
imunologik tipe I atau II. Contohnya ialah obat-obat golongan penisilin, sulfonamid,
analgesik, pencahar, hormon dan diuretik.
Adapula obat yang secara nonimunologik langsung merangsang sel mast
untuk melepaskan histamin, misalnya kodein, opium dan zat kontras. Aspirin
menimbulkan urtikaria karena menghambat sintesis prostaglandin dari asam
arakidonat.
b. Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria yang akut, umumnya
akibat reaksi imunologik. Makanan berupa protein atau bahan lain yang dicampurkan
ke dalamnya seperti zat warna, penyedap rasa atau bahan pengawet, sering
menimbulkan urtikaria alergika. Contoh makanan yang sering menimbulkan urtikaria
ialah telur, ikan, kacang, udang, coklat, tomat, arbei, babi, keju, bawang dan
semangka; bahan yang dicampurkan seperti asam nitrat, asam benzoat, ragi, salisilat
dan penisilin. CHAMPION 1969 melaporkan 2% urtikaria kronik disebabkan
sensitisasi terhadap makanan.

12

c. Gigitan/sengatan serangga.
Gigitan/sengatan serangga dapat menimbulka urtikaria setempat, agaknya hal
ini lebih banyak diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe selular (tipe IV). Tetapi venom
dan toksin bakteri, biasanya dapat pula mengaktifkan komplemen. Nyamuk,
kepinding, dan serangga lainnya, menimbulkan urtika bentuk papular di sekitar
tempat gigitan, biasanya sembuh dengan sendirinya setelah beberapa hari, minggu
atau bulan.
d. Bahan fotosensitizer
Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid, bahan
kosmetik dan sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.
e. Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (pollen), spora jamur, debu, bulu bintang,
dan aerosol, umumny lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik (tipe I). Reaksi ini
sering dijumpai pada penderita atopi dan disertai gangguan napas.
f. Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria adalah kutu binatang, tumbuh-
tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia, misalnya insect rapelent (penangkis serangga),
dan bahan kosmetik. Keadaan ini disebabkan bahan tersebut menembus kulit dan
menimbulkan urtikaria. Urtikaria akibat kontak dengan klorida kobal, indikator warna
pada tes provokasi keringat, telah dilaporkan oleh SMITH (1975).
g. Trauma fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh trauma dingin, yakni berenang atau
memegang benda dingin; faktor panas, misalnya sinar matahari, sinar UV, radiasi dan
panas pembakaran; faktor tekanan yaitu goresan, pakaian ketat, ikat pinggang , air
yang menetes atau semprotan air, vibrasi atau tekanan yang berulang-ulang,
contohnya pijatan, keringat, pekerjaan berat, demam dan emosi menyebabkan
urtikaria fisik, baik secara imunologik maupun non imunologik. Klinis biasanya
terjadi di tempat yang mudah terkena trauma. Dapat timbul urtika setelah goresan
13

dengan benda tumpul beberapa menit sampai beberapa jam kemudian. Fenomena ini
disebut demografisme atau fenomena Dariel.
h. Infeksi dan infestasi
Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya infeksi
bakteri, virus, jamur, maupun infestasi parasit. Infeksi oleh bakteri, contohnya pada
infeksi tonsil, infeksi gigi dan sinusitis. Masih merupakan pertanyaan, apakah
urtikaria timbul karena toksin bakteri atau oleh sensitisasi.
Infeksi virus hepatitis, mononukleosis dan infeksi virus Coxsackie pernah
dilaporkan sebagai faktor penyebab. Karena itu pada urtikaria yang idiopatik perlu
dipikirkan kemungkinan infeksi virus subklinis. Infeksi jamur kandida dan dermatofit
sering dilaporkan sebagai penyebab urtikaria. Infestasi cacing pita, cacing tambang,
cacing gelang juga Schitostoma atau Echinococcus dapat menyebabkan urtikaria.
i. Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau dapat langsung menyebabkan
peningkatan dan permeabilitas dan vasodilatasi kapiler. Ternyata hampir 11,5%
penderita urtikaria menunjukan gangguan psikis. Penyelidikan memperlihatkan bahwa
hipnosis dapat menghambat eritema dan urtika. Pada percobaan induksi psikis,
ternyata suhu kulit dan ambang rangsang eritema meningkat.
j. Genetik
Faktor genetik ternyata berperan penting pada urtikaria dan angioedema,
walaupun jarang menunjukkan penurunan autosomal dominan.
Diantaranya ialah angioneuritik edema herediter, familial cold urticaria,
familial localized hot urticaria, vibratory angioedema, heredo-familial syndrome of
urticaria deafness and amyloidosis dan erythropoietic protophorpyria.
k. Penyakit sistemik
Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan urtikaria,
reaksi lebih sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi. Penyakit vesiko-
bulosa, misalnya pemfigus dan dermatitis herpetifomis Duhring, sering menimbulkan
urtikaria. Sejumlah 7-9% penderita lupus eritematosus sistemik dapat mengalami
14

urtikaria. Beberapa penyakit sistemik yang sering disertai urtikaria antara lain
limfoma, hipertiroid, hepatitis, urtikaria pigmentosa, arthritis pada demam reumatik,
dan artritis reumatoid juvenilis.

III. 4 Klasifikasi
Terdapat bermacam-macam paham penggolongan urtikaria.
1. Berdasarkan lamanya serangan berlangsung.
Urtikaria akut, bila serangan berlangsung kurang dari 6 minggu, atau
berlangsung selama 4 minggu tetapi timbul setiap hari. Lebih sering terjadi
pada anak muda, umumnya laki-laki lebih sering daripada perempuan.
Penyebabnya lebih mudah diketahui.
Urtikaria kronik, bila serangan lebih dari 6 minggu. Lebih sering pada wanita
usia pertengahan. Penyebabnya lebih sulit ditemukan.
Ada kecendrungan urtikaria lebih sering diderita oleh penderita atopik.
2. Berdasarkan morfologi klinis, urtikaria dibedakan menurut bentuknya.
Urtikaria papular bila berbentuk papul.
Urtikaria gutata bila besarnya sebesar tetesan air.
Urtikaria girata bila ukurannya besar-besar.
Urtikaria anular.
Urtikaria arsinar.
3. Berdasarkan luas dan dalamnya jaringan terkena.
Urtikaria lokal.
Urtikaria generalisata.
Angioedema.
4. Berdasarkan penyebab urtikaria dan mekanisme terjadinya.
Urtikaria imunologik
A. Bergantung pada IgE (reaksi alergik tipe I)
1) Pada atopi
2) Antigen spesifik (polen, obat, venom)

15

B. Ikut sertanya komplemen
1) Pada reaksi sitotoksik (reaksi alergi tipe II)
2) Pada reaksi kompleks imun (reaksi alergi tipe III)
3) Defisensi C
1
esterase inhibitor (genetik)
C. Reaksi alergi tipe IV (urtikaria kontak)
Urtikaria atas dasar non imunologik
A. Langsung memacu sel mast, sehingga terjadi pelepasan mediator
(misalnya obat golongan opiat dan bahan kontras)
B. Bahan yang menyebabkan perubahan mekanisme arakidonat (misalnya
aspirin, obat anti-inflamasi non-steroid, golongan azodyes)
C. Trauma fisik, misalnya dermografisme, rangsangan dingin, panas atau
sinar, dan bahan kolinergik.
Urtikaria idiopatik : Urtikaria yang tidak jelas penyebab dan mekanismenya.

III.5 Patofisiologi
Sangat penting sekali diketahui mekanisme terjadinya urtikaria, karena hal ini akan
dapat membantu pemeriksaan yang rasional. Hal yang mendasari terjadinya urtikaria adalah
triple respons dari Lewis, yaitu eritema akibat dilatasi dari kapiler, timbulnya flare akibat
dilatasi yang diperantarai refleks akson saraf dan timbulnya wheal akibat ekstravasasi cairan
akibat meningkatnya permeabilitas vaskuler.
Secara histologis urtikaria menunjukkan adanya dilatasi pembuluh darah dermal di
bawah kulit dan edema (pembengkakan) dengan sedikit infiltrasi sel perivaskuler,
diantaranya yang paling dominan adalah eosinofil. Kelainan ini disebabkan oleh mediator
yang lepas, terutama histamin, akibat degranulasi sel mast kutan dan subkutan dan leukotrien
juga dapat berperan.
Histamin akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah di bawah kulit sehingga kulit
berwarna merah (eritema). Histamin juga menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah sehingga cairan dan sel, terutama eosinofil, keluar dari pembuluh darah dan
mengakibatkan pembengkakan kulit lokal, cairan serta sel yang keluar akan merangsang
ujung saraf perifer kulit sehinnga timbul rasa gatal. Terjadilah bentol merah yang gatal.
16

Urtikaria disebabkan karena adanya degranulasi sel mast yang dapat terjadi melalui
mekanisme imun atau non imun.
Histamin adalah mediator terpenting pada reaksi alergi fase cepat yang diperantarai
IgE pada penyakit atopik. Histamin terikat pada reseptor histamin yang berbeda-beda.
Terdapat 4 jenis reseptor histamin, yaitu reseptor H1, H2, H3 dan H4, masing-masing
memiliki efek fisiologi yang berbeda.
3.5.1 Mekanisme imun
Degranulasi sel mast dikatakan melalui mekanisme imun bila terdapat antigen dengan
pembentukan atau adanya yang tersensitisasi. Degranulasi sel mast melalui mekanisme imun
dapat melalui reaksi hipersensitivitas tipe I atau melalui aktivasi komplemen jalur klasik.
Reaksi hipersensitivitas tipe I
Reaksi ini dinamakan juga reaksi tipe cepat dan terbanyak terlihat pada urtikaria akut.
Alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respons imun berupa produksi IgE.
Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut :
1. Fase sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikat
silang oleh reseptor spesifik (Fc-R) pada permukaan sel mast/basofil.
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang
spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan
reaksi. Hal ini terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan IgE.
3. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas sel mast/basofil dengan aktivitas farmakologik.
Pajanan dengan antigen mengaktifkan sel Th2 yang merangsang sel B berkembang
menjadi sel plasma yang memproduksi IgE. Molekul IgE yang dilepas diikat oleh FcRI pada
sel mast dan basofil (banyak molekul IgE dengan berbagai spesifitas dapat diikat FcRI).
Pajanan kedua dengan alergen menimbulkan ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat
sel mast, memacu penglepasan mediator farmakologis aktif (amin vasoaktif) dari sel mast dan
basofil antara lain histamin, LT dan PG, serta berbagai sitokin.
Puncak reaksi tipe I terjadi dalam 10-15 menit. Pada fase aktivasi terjadi perubahan
dalam membran sel mast akibat metilasi fosfolipid yang diikuti influks Ca
++
yang
17

menimbulkan aktivasi fosfolipase. Dalam fase ini energi dilepas akibat glikolosos dan
beberapa enzim diaktifkan dan menggerakkan granul-granul ke permukaan sel. Kadar cAMP
dan cGMP dalam sel berpengaruh terhadap degranulasi. Peningkatan cAMP akan mencegah,
sedang peningkatan cGMP memacu degranulasi. Penglepasan granul adalah fisiologik dan
tidak menimbulkan lisis atau matinya sel. Degranulasi sel mast dapat pula terjadi atas
pengaruh anafilatoksin, C3a dan C5a.
Histamin merupakan komponen utama granul sel mast dan sekitar 10% dari berat
granul. Histamin yang merupakan mediator primer yang dilepas akan diikat oleh reseptornya.
Ada 4 reseptor histamin dengan distribusi yang berbeda dalam jaringan dan bila berikatan
dengan histamin, menunjukkan berbagai efek.
H1 : ditemukan terutama pada otot polos saluran napas dan sistem vaskular.
Dengan efek permeabilitas vaskular meningkat, vasodilatasi, kontraksi otot
polos
H2 : ditemukan di sel parietal lambung, dengan efek sekresi mukosa gaster
H3 : ditemuka terutama pada terminal saraf
H4 : eosinofil
Pada sel endotel kapiler, ikatan histamin menyebabkan kontraksi sel endotel yang
mengakibatkan keluarnya plasma darah ke jaringan perivaskular. Histamin juga
menyebabkan sel endotel memproduksi relaksan otot polos seperti prostasiklin dan oksida
nitrat yang mengakibatkan vasodilatasi. Aktivitas histamin ini menimbulkan wheal and flare
response yaitu edema, flushing dan pruritus (triple respons of Lewis).
Disamping histamin, mediator lain seperti PG dan LT (dulu SRS-A) yang dihasilkan
dari metabolisme asam arakidonat serta berbagai sitokin berperan pada fase lambat reaksi
Tipe I. Fase lambat sering timbul setelah fase cepat hilang yaitu antara 6-8 jam. PG dan LT
merupakan mediator sekunder yang kemudian dibentuk dari metabolisme asam arakidonat
atas pengaruh fosfolipase A2. Efek biologisnya timbul lebih lambat, namun lebih menonjol
da berlangsung lebih lama dibanding histamin. LT berperan pada bronkokonstriksi,
peningkatan permeabilitas vaskular dan produksi mukus. Injeksi intracutan dari substansi ini
menimbulkan rasa terbakar, erithematous wheal & flare reaction yang dapat berlangsung
sampai 4 jam. Mikroskopis tampak edema kulit, dilatasi venula dan kapiler dan aktivasi sel
endotel.
18


Gambar 3. Allergic Cascade
Aktivasi komplemen jalur klasik
Adanya kompleks imun dapat mengaktivasi komplemen melalui jalur klasik dan akan
menghasilkan peptide C3a serta C5a yang dinamakan anafilatoksin. Anafilatoksin dapat
langsung menginduksi degranulasi sel mast melalui ikatan langsung dengan reseptor pada
membran sel mast. Akibat degranulasi terjadilah pelepasan histamin sehingga terbentuk
urtikaria.
Aktivasi komplemen melalui jalur klasik dapat diakibatkan oleh reaksi tipe II dan III,
misalnya pada reaksi transfuse darah, penyakit sistemik keganasan (limfoma), lupus
eritomatosus sistemik, hepatitis dan sebagainya. Pelepasan histamin melalui aktivasi
komplemen ini sering dikaitkan dengan patofisiologi urtikaria kronik. Belum jelas apakah
semua penderita yang mengalami aktivasi komplemen akan menunjukkan gejala urtikaria.
Delayed Type Hypersensitivity Tipe I V
Urtikaria akibat kontak dapat juga terjadi, misalnya setelah pemakaian bahan
penangkis serangga, bahan kosmetik dan sefalosporin. Perkembangan reaksi DTH mengubah
akibat pajanan ulang terhadap alergen kontak. 80-90% masyarakat Amerika menunjukkan
reaksi terhadap urushiol dalam poison ivy yang menembus kulit dan berikatan dengan self
protein yang selanjutnya ditelan sel Langerhans (SL).
19

SL mempresentasikan hapten urushiol ke sel DTH yang melepas berbagai sitokin.
Sekitar 48-72 jam setelah pajanan, makrofag terkumpul di tempat kontak dan melepas enzim
litik dan menimbulkan ruam dan pustula spesifik. Setelah kontak dengan antigen, sel Th
disensitasi, berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel DTH. Bila sel DTH yang disentisasi
terpajan ulang dengan antigen yang sama, akan melepas sitokin, menarik dan mengaktifkan
makrofag yang berfungsi sebagai sel efektor dalam reaksi hipersensitivitas.
3.5.2 Mekanisme Non Imun
Liberator Histamin
Beberapa macam obat, makanan, atau zat kimia dapat menginduksi degranulasi sel
mast. Zat ini dinamakan liberator histamin, contohnya kodein, morfin, polimiksin, zat kimia,
tiamin, buah murbei, tomat dan lain-lain. Sampai saat ini belum jelas mengapa zat tersebut
merangsang degranulasi sel mast hanya pada sebagian orang saja.
Faktor fisik
Faktor fisik seperti cahaya (urtikaria solar), dingin (urtikaria dingin), gesekan atau
tekanan (dermografisme), panas (urtikaria panas) dan getaran (vibrasi) dapat langsung
menginduksi degranulasi sel mast.
Latihan jasmani
Latihan jasmani pada seseorang dapat menimbulkan urtikaria yang dinamakan juga
urtikaria kolinergik. Bentuknya khas, kecil-kecil dengan diameter 1-2 mm dan sekitarnya
berwarna merah, terdapat di tempat yang berkeringat. Diperkirakan yang memegang peranan
adalah asetilkolin yang terbentuk yang bersifat langsung dapat menginduksi degranulasi sel
mast.
Zat penghambat siklooksigenase
Zat penghambat enzim siklooksigenase akan menghambat metabolisme asam
arakhidonat melalui jalur siklooksigenase, sehingga metabolisme hanya melalui jalur
lipooksigenase yang akan menghasilkan leukotrien yang bersifat sama seperti histamin. Zat
tersebut antara lain aspirin, obat antiinflamasi nonsteroid, zat warna tartrazin dan zat
pengawet sodium benzoat. Pada skema di bawah ini dapat dilihat jalur metabolisme asam
arakhidonat.
20


Gambar 4. Jalur metabolisme asam arakhidonat.
Anafilatoksin
Fragmen komplemen anafilatoksin (C3a, C5a) yang terbentuk melalui aktivasi
komplemen jalur alternative, misalnya oleh endotoksin dapat langsung merangsang
degranulasi sel mast. Mungkin inilah sebabnya mengapa penderita gingivitis ataupun
tonsilitis dapat disertai urtikaria.



21

III. 6 Gejala Klinis
Keluhan subyektif biasanya gatal, rasa terbakar atau tertusuk. Klinis tampak eritema
dan edema setempat berbatas tegas, kadang-kadang bagian tengah tampak lebih pucat.
Eritema atau kemerahan bila ditekan akan memutih. Bentuknya dapat papular seperti pada
urtikaria sengatan serangga, besarnya dapat lentikular, numular, sampai plakat. Bila
mengenai jaringan yang lebih dalam sampai dermis dan jaringan submukosa atau subkutan,
juga beberapa alat dalam misalnya saluran cerna dan napas disebut angioedema. Pada
keadaan ini jaringan yang yang lebih sering terkena adalah muka, disertai sesak nafas, serak
dan rinitis.
Urtikaria dapat bermanifestasi sebagai keadaan-keadaan dibawah ini :

A. Immunologic IgE- dan IgE ReceptorDependent Urticaria/Angioedema

1) URTIKARIA YANG DISEBABKAN OLEH ANTIGEN SPESIFIK
Contoh-contoh umum dari antigen spesifik yang dapat memprovokasi timbulnya
urtikaria/ angioedema misalnya makanan, seperti kerang, kacang-kacangan, dan cokelat;
obat-obatan dan agen terapeutik, misalnya penisilin; aeroallergen; dan Hymenoptera
venom.

2) ATOPIC DIATHESIS
Episode akut urtikaria/angioedema yang terjadi pada pasien-pasien dengan
riwayat pribadi atau keluarga dengan asma, rhinitis, atau eczema diduga merupakan IgE-
dependent. Dalam praktik klinik, urtikaria/angioedema jarang disertai eksaserbasi asma,
rhinitis, atau eczema. Prevalensi urticaria/angioedema kronik tidak meningkat pada
pasien-pasien atopik.

3) PHYSICAL URTICARIA (URTIKARIA FISIK)
Dermographism
Dermographism merupakan bentuk paling sering dari physical urticaria. Ia
tampak sebagai garis biduran (linear wheal). Transient wheal atau biduran yang
sementara muncul secara cepat dan biasanya memudar dalam 30 menit; akan tetapi,
kulit biasanya mengalami pruritus sehingga bekas garukan dapat muncul. Ia tidak
22

berhubungan dengan atopi. Respon dermographic secara pasif ditransfer ke kulit
normal dengan serum atau Ig E.

Gambar 5. Dermographisme. Tampak urtikaria dengan linear wheal

Delayed dermographism
Delayed dermographism terjadi 3-6 jam setelah stimulasi, baik dengan
atau tanpa rekasi immediate, dan berlangsung sampai 24-48 jam. Erupsi terdiri
dari nodul eritema linier. Kondisi ini mungkin berhubungan dengan delayed
pressure urticaria. Cold-dependent dermographism adalah kondisi yang terjadi
hanya setelah terjadi paparan dingin. Cholinergic dermographism adalah bentuk
yang jarang yang terjadi sebagi biduran punctata (punctate wheals) pada pasien
dengan cholinergic urticaria.

Pressure urticaria
Delayed pressure urticaria tampak sebagai lesi erythematous, oedem local,
sering disertai nyeri, yang timbul dalam 0,5-6 jam setelah terjadi tekanan terhadap
kulit. Episode spontan terjadi setelah duduk pada kursi yang keras, di bawah
sabuk pengaman, pada kaki setelah berlari, dan pada tangan setelah mengerjakan
pekerjaan dengan tangan. Delayed pressure urticaria dapat berhubungan dengan
demam, menggigil, arthralgia, dan myalgia, juga dengan peningkatan LED dan
leukositosis. Immediate pressure urticaria adalah kelainan idiopatik yang jarang.
Ia telah diketahui berhubungan dengan pasien sindroma hipereosinofilik.

Vibratory angioedema
Vibratory angioedema dapat terjadi sebagai kelainan idiopatik didapat,
dapat berhubungan dengan cholinergic urticaria, atau setelah beberapa tahun
karena paparan vibrasi okupasional. Ia dapat sebagai kelaianan autosomal
dominan yang diturunkan dalam keluarga. Bentuk keturunan sering disertai
dengan flushing pada wajah. Peningkatan kadar plasma histamin ditemukan dalam
23

serangan pada pasien dnegan bentuk keturunan / herediter dan pada pasien dengan
penyakit yang didapat.

Cold urticaria
Terdapat bentuk didapat (acquired) dan diturunkan (herediter) dari cold
urticaria/angioedema. Bentuk yang didapat lebih sering dijumpai. Idiopathic atau
primary acquired cold urticaria mungkin berhubungan dengan sakit kepala,
hipotensi, sinkop, wheezing, shortness of breath, palpitasi, nausea, vomiting, dan
diare. Serangan terjadi dalam hitungan menit setelah paparan yang meliputi
perubahan dalam temperatur lingkungan dan kontak langsung dengan objek
dingin. Biduran dapat timbul setelah dilakukan kontak kulit dengan es yang
disebut dengan diagnostic cold contact test. Jika seluruh tubuh dingin, seperti
dalam keadaan berenang, hipotensi dan sinkop, yang berpotensi mematikan dapat
terjadi. Bentuk yang jarang dari acquired cold urticaria yang telah dilaporkan pada
beberapa kasus di antaranya systemic cold urticaria, localized cold urticaria, cold-
induced cholinergic urticaria, cold-dependent dermographism, dan localized cold
reflex urticaria. Dua bentuk dominan dari inherited cold urticaria telah
dideskripsikan. Familial cold urticaria, yang juga disebut dengan familial cold
autoinflammatory syndrome merupakan kelainan autosomal dominan dengan
genetic linkage terhadap kromosom 1q44. Erupsi muncul sebagai macula
eritematous disertai rasa panas seperti terbakar dan pruritus dan jarang dengan
biduran. Demam, nyeri kepala, conjunctivitis, arthralgia, dan neutrophilic
leukocytosis merupakan gambaran dari serangan. Jarak antara paparan dingin dan
onset munculnya gejala adalah kurang lebih 2,5 jam, dan rata-rata durasi episode
adalah 12 jam. Biopsi kulit specimen menunjukkan degranulasi sel mast dan
infiltrasi neutrofil. Delayed cold urticaria terjadi sebagai lesi eritematous,
oedematous, dan pembengkakan lebih dalam yang muncul 9-18 jam setelah
paparan dingin. Biopsi kulit specimen menunjukkan adanya oedem dengan sedikit
jumlah sel mononuclear; sel-sel mast tidak mengalami degranulasi; dan protein
komplemen, immunoglobulin, dan fibrin tidak ditemukan.
24


Gambar 6. Cold urticaria

Cholinergic urticaria
Cholinergic urticaria terjadi setelah peningkatan suhu inti tubuh, seperti
selama mandi dengan air hangat, olahraga, atau episode demam. Prevalensi
tertinggi adalah pada usia 23-28 tahun. Erupsi tampak dengan biduran bentuk
papular, bulat, ukuran kecil kira-kira 2-4 mm yang dikelilingi oleh flare eritema
sedikit atau luas merupakan gambaran yang khas dari urtikaria jenis ini; kadang-
kadang, lesi dapat menjadi konfluen, atau angioedema dapat terjadi. Gambaran
sistemik termasuk pusing, nyeri kepala, sinkop, flushing, wheezing, shortness of
breath / sesak nafas, nausea, vomiting, dan diare. Peningkatan prevalensi pada
pasien atopi telah dilaporkan. Injeksi intrakutaneus agen kolinergik, seperti
methacholine chloride, menghasilkan biduran secara local pada kira-kira 1/3
pasien. Perubahan dalam fungsi pulmonal telah didokumentasikan selama
percobaan exercise challenge atau setelah inhalasi acetylcholine. Kasus-kasus
familial telah dilaporkan hanya pada laki-laki dalam empat keluarga. Pengamatan
ini menunjukkan kecenderungan adanya kelainan autosomal dominan inheritance.
Setelah exercise challenge, histamin dan faktor kemotaktik untuk eosinofil dan
neutrofil dilepaskan ke dalam sirkulasi.

Gambar 7. Cholinergic urticaria.


25

Local heat urticaria
Local heat urticaria adalah bentuk yang jarang dimana biduran terjadi
dalam beberapa menit setelah paparan dengan panas secara lokal. Peningkatan
insidensi pada pasien atopi telah dilaporkan. Histamin, neutrophil aktivitas
chemotactic, dan PGD 2 ditemukan dalam sirkulasi pada penelitian experimental.
Bentuk familial delayed dari local heat urticaria dimana urtikaria terjadi 1-2 jam
setelah uji tantangan/challenge dan berlangsung sampai dengan 10 jam.

Solar urticaria
Solar urticaria timbul sebagai biduran eritema dengan pruritus, dan
kadang-kadang angioedema dapat terjadi dalam beberapa menit setelah paparan
dengan sinar matahari atau sumber cahaya buatan. Nyeri kepala, sinkop, pusing,
wheezing, dan nausea merupakan gambaran sistemik. Empat puluh delapan persen
pasien mempunyai riwayat atopi. Meskipun solar urtikaria dapat berhubungan
dengan systemic lupus erythematosus (SLE) dan polymorphous light eruption,
tetapi biasanya idiopatik. Perkembangan lesi kulit di bawah lingkungan
experiment dalam respon terhadap panjang gelombang spesifik diklasifikasikan ke
dalam enam subtipe; akan tetapi, seseorang dapat merespon lebih dari satu bagian
dari spectrum cahaya. Pada tipe I, didapatkan dengan panjang gelombang 285-320
nm, dan pada tipe II, panjang gelombang 400-500 nm. Tipe VI, terjadi pada
erythropoietic protoporphyria dan yang dikarenakan defisiensi ferrochelatase telah
dilaporkan pada satu pasien.
Histamin dan faktor kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil dapat
ditemukan dalam darah setelah paparan dengan sinar ultraviolet A (UVA), UVB,
dan sinar/cahaya yang terlihat.

Exercise-induced anaphylaxis
Exercise-induced anaphylaxis adalah gejala klinis yang kompleks terdiri
dari pruritus, urtikaria, angioedema (kutaneus, laringeal, dan intestinal), dan
sinkop yang berbeda dari cholinergic urticaria. Pada kebanyakan pasien, biduran
tidak mempunyai punctate tetapi dengan ukuran yang normal. Variasi tipe dari
sindroma ini telah dideskripsikan, termasuk diantaranya exercise-induced
anaphylaxis memerlukan olahraga/exercise sendirian sebagai stimulusnya, food-
26

dependent exercise-induced anaphylaxis memerlukan baik exercise dan makanan
sebagai stimulus, dan bentuk varian dimana biduran punctata timbul setelah
exercise. Pemberian aspirin sebelum makan makanan allergen menginduksi
urtikaria pada beberapa pasien dengan food-dependent exercise-induced
anaphylaxis. Pada exercise-induced anaphylaxis, tes fungsi paru normal, biopsy
specimen menunjukkan degranulasi sel mast, dan pelepasan histamin dan tryptase
ke dalam sirkulasi.

Adrenergic urticaria
Adrenergic urticaria timbul sebagai biduran dikelilinngi oleh white halo
yang terjadi selama stress emosional. Lesi dapat ditemukan dengan injeksi
norepinefrin intrakutaneus.

Aquagenic urticaria and aquagenic pruritus
Kontak kulit dengan air pada temperature berapapun dapat menghasilkan
pruritus sendirian atau, lebih. Erupsi terdiri dari biduran-biduran kecil yang mirip
dengan cholinergic urticaria. Aquagenic pruritus tanpa urtikaria biasanya idiopatik
tetapi juga terjadi pada orang-orang tua dengan kulit yang kering dan pada pasien
dengan polycythemia vera, Hodgkin's disease, sindroma myelodysplastic, dan
sindroma hipereosinophilic. Pasien-pasien dengan aquagenic pruritus sebaiknya
dievaluasi untuk menyingkirkan kelainan hematologik. Setelah tes experimental
challenge, kadar histamin darah akan meningkat pada pasien dengan aquagenic
pruritus dan dengan aquagenic urticaria. Degranulasi sel mast tampak pada lesi
jaringan.

4) URTIKARIA KONTAK
Urtikaria dapat terjadi setelah kontak langsung dengan beberapa substansi. Ia
dapat disebabkan faktor immunologik yang dimediasi IgE atau nonimmunologik.
Transient eruption muncul dalam beberapa menit ketika dimediasi oleh IgE. Protein dari
produk-produk latex adalah penyebab sering dari urtikaria kontak yang dimediasi IgE.
Protein-protein latex juga dapat menjadi allergen airborne. Pasien-pasien ini dapat
bermanifestasi secara cross-reactivity terhadap buah-buahan, seperti pisang, alpukat, dan
kiwi. Manifestasi lainnya yang juga berhubungan termasuk rhinitis, conjunctivitis,
27

dyspnea, dan syok. Kelompok risiko didominasi oleh pekerja biomedis dan orang-orang
dengan frekuensi kontak dengan latex yang sering. Agen-agen seperti bulu-bulu
arthropoda, dan bahan-bahan kimia dapat melepaskan histamin secara langsung dari sel-
sel mast. Papular urtikaria terjadi sebagai lesi papular urtikaria dengan diameter 3-10 mm,
distribusi simetris, serangan episodik yang berasal dari reaksi hipersensitif terhadap
gigitan serangga, seperti nyamuk, kutu, dan bedbugs. Kondisi ini muncul terutama pada
anak-anak. Lesi cenderung muncul pada kelompok area yang terekspose, seperti aspek
ekstensor dari ekstremitas.
Pada wanita hamil dapat muncul erupsi papular urtikaria dan plak disertai gatal
yang sikenal dengan Pruritic Urticarial Papules and Plaques of Pregnancy (PUPP),
dengan insidensi kira-kira 1 dari 160 kehamilan. Sering muncul pada primigravida pada
trimester III akhir atau segera dalam periode post partum. Erupsi muncul secara tiba-tiba
dengan 90% di abdomen, dan dalam beberapa hari dapat menyebar secara simetris
dengan tidak melibatkan wajah. Tidak seperti urtikaria pada umumnya, erupsi menetap
dan intensitasnya dapat meningkat, hilang pada kebanyakan kasus sebelum atau dalam 1
minggu post partum. Diduga disebabkan reaksi terhadap distensi abdomen. Rasa gatal
dapat diredakan dengan pemberian topikal steroid sedang dan antihistamin. Prednisone
(40 mg/hari) mungkin diperlukan jika pruritus sukar hilang.

Gambar 8. PUPP

5) URTIKARIA AUTOIMUN
Sirkulasi autoantibodi telah diketahui berada di dalam serum pada beberapa pasien
dengan urtikaria idiopatik kronik, menyebabkan autoimmune urticaria. Antibodi-antibodi
ini diperkirakan ada pada sedikitnya 35-40 persen dari pasien dengan urtikaria idiopatik
kronik. Positif autologous serum skin test didefinisikan sebagai bulir kemerahan dengan
diameter 1.5 mm lebih besar daripada saline-induced respons dalam 30 menit. Pasien-
pasien dengan autoantibodi mempunyai jumlah biduran yang lebih banyak dengan
28

distribusi yang lebih luas, pruritus lebih berat, dan gambaran sistemik dari nausea, nyeri
abdomen, diare, dan flushing.


B. Urticaria/Angioedema Yang Dimediasi oleh Sistem Komplemen dan Sistem
Efektor Plasma Lainnya

1) ANGIOEDEMA HEREDITER DAN DIDAPAT
Angioedema herediter merupakan kelainan yang diturunkan secara dominan yang
ditandai dengan serangan berulang/rekuren angioedema yang melibatkan kulit dan
membran mucus saluran respirasi dan gastrointestinal. Terdapat defisiensi fungsional dari
inhibitor komponen first activated dari sistem komplemen (C1INH). Angioedema didapat
dengan deplesi C1INH mempunyai dua bentuk. Satu berhubungan dengan keganasan,
yaitu limfoma sel B dan autoantibodi terhadap protein. Bentuk yang lain berhubungan
dengan autoantibodi secara langsung melawan molekul C1INH. Kompleks gejala klinis
yang mirip dengan angioedema herediter dan mempunyai gambaran X-linked inheritance
telah dilaporkan pada banyak wanita dengan angioedema tanpa urtikaria dan dengan
oedem laring dan nyeri abdomen. Kadar dan fungsi C4 dan C1INH adalah normal.
Bentuk estrogen-dependent dari angioedema yang mirip dengan angioedema herediter
telah dilaporkan pada satu keluarga dengan tujuh anggota keluarga yang terkena dalam
tiga generasi, menunjukkan gambaran autosomal dominant inheritance. Gambaran klinis
diantaranya angioedema tanpa urtikaria, oedem laring, dan nyeri abdomen dengan
muntah-muntah. Serangan dapat terjadi selama kehamilan dan dengan pemberian
estrogen eksogen.

Gambar 9. Angioedema herediter.
Tampak wajah penderita yang sangat kontras saat dalam serangan dan di luer serangan.

2) VASCULITIS URTIKARIA
Urtikaria kronik dan angioedema dapat sebagai manifestasi dari cutaneous
necrotizing venulitis, yang dikenal sebagai urticarial venulitis. Gambaran klinis lainnya
29

diantaranya demam, malaise, arthralgia, nyeri abdomen, dan lebih jarang, konjungtivitis,
uveitis, diffuse glomerulonephritis, penyakit paru obstruktif dan restriktif, hipertensi
intracranial benigna. Abnormalitas komplemen serum telah dilaporkan pada beberapa
pasien dengan kelainan ini. Istilah hypocomplementemic urticarial vasculitis syndrome
digunakan pada pasien-pasien dengan gejala klinis yang lebih berat dari urticarial
venulitis dengan hypocomplementemia dan low-molecular-weight 7S C1q-precipitin
yang telah diidentifikasi sebagai autoantibody IgG secara langsung melawan collagen-
like region dari C1q. Urticarial venulitis juga dapat terjadi pada pasien-pasien dengan
serum sickness, kelainan jaringan penyambung, keganasan darah, dan infeksi serta
sebagai kelainan idiopatik.

Gambar 10. Vasculitis urticaria. Purpura muncul setelah urtikaria hilang

3) URTIKARIA AKIBAT SERUM SICKNESS
Serum sickness, adalah rekasi buruk atau efek samping yang disebabkan oleh
pemberian serum heterologus kepada manusia, dapat terjadi setelah pemberian obat-
obatan. Serum sickness terjadi 7-21 hari setelah pemberian serum heterolog tersebut
(transfusi darah, plasma) dan ditandai dengan demam, urtikaria, limfadenopati, myalgia,
arthralgia, dan arthritis. Gejala biasanya self-limited dan berlangsung sampai 4-5 hari.
Lebih dari 70% pasien dengan serum sickness mengalami urtikaria, yang dapat
mengalami pruritus atau nyeri.

4) URTIKARIA AKIBAT REAKSI TRANSFUSI PRODUK DARAH
Urtikaria/angioedema dapat terjadi setelah pemberian produk darah (transfusi). Ini
biasanya diakibatkan oleh pembentukan kompleks imun yang dibentuk dari antigen dalam
produk darah dari donor berupa IgA yang bereaksi dengan antibodi-antibodi dalam
tubuhn resipien dan aktivasi komplemen yang menyebabkan perubahan vaskfular dan otot
polos secara langsung atau tidak langsung, via anafilatoksin, atau dengan pelepasan
mediator-mediator sel mast.
30


5) URTIKARIA AKIBAT INFEKSI
Episode dari urtikaria akut dapat berhubungan dnegan infeksi virus saluran nafas
atas, paling sering terjadi pada anak-anak. Urtikaria akut hilang dalam 3 minggu.

6) URTIKARIA YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERAPI ANGIOTENSIN-
CONVERTING ENZYME (ACE) INHIBITOR
Angioedema diketahui juga dapat berhubungan dengan pemberian obat
angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor. Frekuensi angioedema terjadi setelah
terapi ACE inhibitor adalah sekitar 0.1 to 0.7 %. Angioedema terjadi selama minggu
pertama terapi pada 72 % pasien dan biasanya mengenai kepala dan leher, termasuk
mulut, lidah, faring, dan laring. Urtikaria jarang terjadi sendirian. Batuk dan angioedema
pada saluran cerna merupakan gambaran klinis yang sering. Ini menunjukkan bahwa
terapi ACE inhibitor dikontraindikasikan pada pasien-pasien dengan riwayat sebelumnya
angioedema idiopatik, herediter, dan didapat defisiensi C1INH. Hipotesis mekanismenya
bahwa bradikinin, yang secara normal didegradasi sebagian oleh ACE, terakumulasi
dalam jaringan ketika ACE inhibitor diberikan.

C. Urtikaria/Angioedema Idiopatik
Sedikitnya 70% dari pasien-pasien dengan urtikaria/angioedema idiopatik
kronik , penyebabnya tidak diketahui. Meskipun infeksi, kelainan metabolic, dan
hormonal, keganasan, dan faktor emosi telah diklaim sebagai penyebab, tetapi bukti
dari etiologinya seringkali tidak memuaskan. Dalam meta-analysis pada hubungan
urtikaria idiopatik kronik dan infeksi H.pylori, perbaikan dari urtikaria empat kali lebih
tinggi jika infeksi H.pylori berhasil dieradikasi dengan terapi antibiotik. Akan tetapi,
hanya 1/3 pasien dengan urtikaria idiopatik akan mengalami remisi dengan eradikasi
infeksi yang berhasil. Meskipun urtikaria/angioedem idiopatik adalah bentuk yang
paling sering, tetapi penegakkan diagnosis tetap dengan eksklusi. Cyclic episodic
angioedema dengan urticaria/angioedema berhubungan dengan demam, pertambahan
berat badan, tidak adanya kerusakan organ dalam, perjalanan klinis yang benigna, dan
eosinofilia. Biopsi specimen jaringan menunjukkan peningkatan kadar eosinophils,
eosinophil granule proteins, dan CD4 lymphocytes exhibiting HLA-DR, IL-1, soluble
IL-2 receptor, dan IL-5.

31

III. 7 Diagnosis
Anamnesis
Informasi mengenai riwayat urtikaria sebelumnya dan durasi rash / ruam serta
gatal dapat bermanfaat untuk mengkategorikan urtikaria sebagai akut, rekuren atau
kronik. Untuk urtikaria kronik atau rekuren, penting untuk mempertimbangkan faktor-
faktor penyebab sebelumnya dan keefektifan berbagai pilihan terapi.
- Tanyakan tentang faktor presipitan : panas, dingin, tekanan, aktivitas berat, cahaya
matahari, stress emosional atau penyakit kronik (misalnya hipertiroidisme,
rheumatoid arthritis, SLE, polimiositis, amiloidosis, polisitemia vera, karsinoma,
limfoma).
- Tanyakan tentang penyakit lain yang dapat menyebabkan pruritus, seperti diabetes
mellitus (DM), insufisiensi ginjal kronik, sirosis bilier primer, atau kelainan kulit
non urtikaria lainnya (misalnya eczema, dermatitis kontak).
- Tanyakan tentang riwayat angioedema pada keluarga dan pribadi, dimana
urtikaria pada jaringan yang lebih dalam dan dapat mengancam nyawa jika
mengenai laring dan pita suara. Penyebab spesifik angioedema diantaranya
hereditari angioedema (defisiensi C1-inhibitors) dan acquired angioedema
(berhubungan dengan angiotensin-converting enzyme [ACE] inhibitor dan
angiotensin receptor blocker [ARBs]). Karakteristik dari angioedema meliputi di
bawah ini :
o Vasodilatasi dan eksudasi plasma ke jaringan yang lebih dalam daripada
yang tampak pada urtikaria.
o Pembengkakan yang nonpitting dan non pruritic dan biasanya terjadi pada
permukaan mukosa dari saluran nafas (bibir, lidah, uvula, palatum molle
dan laring) dan saluran cerna (pembengkakan usus menyebabkan nyeri
abdomen berat).
o Suara serak, merupakan tanda paling awal dari oedem laring (tanyakan
pasien bila ia mengalami perubahan suara serak).
Untuk urtikaria akut, tanyakan tentang kemungkinan pencetus/presipitan,
seperti di bawah ini :
- Penyakit sekarang (demam, nyeri tenggorokan, batuk, pilek, muntah, diare, nyeri
kepala).
32

- Pemakaian obat-obatan meliputi penisilin, sefalosporin, sulfa, diuretik,
nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), iodida, bromida, quinidin,
chloroquin, vancomycin, isoniazid, antiepileptic agents, dll.
- Intravenous media radiokontras.
- Riwayat berpergian (amebiasis, ascariasis, strongyloidiasis, trichinosis, malaria).
- Makanan (kerang, ikan, telur, keju, coklat, kacang, tomat).
- Pemakaian parfum, pengering rambut, detergen, lotion, krim atau pakaian.
- Kontak dengan hewan peliharaan, debu, bahan kimia atau tanaman.
- Kehamilan (biasanya terjadi pada trimester ketiga dan biasanya sembuh spontan
segera setelah melahirkan).
- Kontak dengan bahan nikel (perhiasan, kancing celana jeans), karet (sarung
tangan karet, elastik band), latex dan bahan-bahan industri.
- Paparan panas atau sinar matahari.
- Aktivitas berat.

Pemeriksaan Fisik
Urtikaria mempunyai karakteristik ruam kulit pucat kemerahan dengan elevasi
kulit, dapat linier, annular (circular), atau arcuate (serpiginosa). Lesi ini dapat terjadi
pada daerah kulit manapun dan biasanya sementara dan dapat berpindah.
- Dermographisme dapat terjadi (lesi urtikaria yang berasal dari goresan ringan).
- Pemeriksaan fisik sebaiknya terfokus pada keadaan yang memungkinkan menjadi
presipitasi urtikaria atau dapat berpotensi mengancam nyawa. Diantaranya :
o Faringitis atau infeksi saluran nafas atas, khususnya pada anak-anak.
o Angioedema pada bibir, lidah atau laring.
o Sklera ikterik, pembesaran hati atau nyeri yang mengindikasikan adanya
hepatitis atau penyakit kolestatik hati.
o Pembesaran kelenjar tyroid.
o Lymphadenopati atau splenomegali yang dicurigai limfoma.
o Pemeriksaan sendi untuk mencari bukti adanya penyakit jaringan
penyambung, rheumatoid arthritis atau systemic lupus erythematosus
(SLE).
o Pemeriksaan pulmonal untuk mencari pneumonia atau bronchospasm
(asthma).
33

o Extremitas untuk mencari adanya infeksi kulit bakteri atau jamur.
Walaupun melalui anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis mudah ditegakkan diagnosis
urtikaria, beberapa pemeriksaan diperlukan untuk membuktikan penyebabnya :
1. Pemeriksaan darah, urin dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi yang
tersembunyi atau kelaianan pada alat dalam. Cryoglobulin dan cold hemolysin perlu
diperiksa pada dugaan urtikaria dingin.
2. Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorok, serta usapan vagina perlu untuk
menyingkirkan infeksi fokal.
3. Pemeriksaan kadar IgE, eosinofil, dan komplemen.
4. Tes kulit, meskipun terbatas kegunaannya dapat dipergunankan untuk membantu
diagnosis. Uji gores (scratch test) dan uji tusuk (prick test), serta tes intradermal dapat
dipergunakan untuk mencari alergen inhalan, makanan dermatofit dan kandida.
5. Tes eliminasi makanan dengan cara menghentikan semua makanan yang dicurigai
untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi satu.
6. Pemeriksaan histopatologik, walaupun tidak selalu diperlukan, dapat membantu
diagnosis. Biasanya terdapat kelainan berupa pelebaran kapilar di papila dermis,
geligi epidermis mendatar, dan serat kolagen membengkak. Pada tingkat permulaan
tidak tampak infiltrasi selular dan pada tingkat lanjut terdapat infiltrasi leukosit,
terutama di sekitar pembuluh darah.
7. Pada urtikaria fisik akibat sinar dapat dilakukan tes foto tempel.
8. Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosis urtikaria kolinergik.
9. Tes dengan es (ice cube test).
10. Tes dengan air hangat.

III. 8 Diagnosis Banding
1. Angioedema
Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya
permeabilitas vaskular pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa dan lapisan
submukosa yang terjadi pada saluran napas dan saluran cerna. Angioedema dapat
disebabkan oleh mekanisme patologi yang sama dengan urtikaria, namun pada
angioedema mengenai lapisan dermis yang lebih dalam dan jaringan subkutaneus.
34

Karakterisktik dari angioedema meliputi vasodilatasi dan eksudasi plasma ke jaringan
yang lebih dalam daripada yang tampak pada urtikaria, pembengkakan yang
nonpitting dan nonpruritic dan biasanya terjadi pada permukaan mukosa dari saluran
nafas dan saluran cerna (pembengkakan usus menyebabkan nyeri abdomen berat),
serta suara serak yang meupakan tanda paling awal dari edema laring.
2. Pitiriasis rosea
Pitiriasis rosea adalah erupsi papuloskuamosa akut yang agak sering dijumpai.
Morfologi khas berupa makula eritematosa lonjong dengan diameter terpanjang sesuai
dengan lipatan kulit serta ditutupi oleh skuama halus. Lokalisasinya dapat tersebar di
seluruh tubuh, terutama pada tempat yang tertutup pakaian. Efloresensi berupa
makula eritroskuamosa anular dan solitar, bentuk lonjong dengan tepi hampir tidak
nyata meninggi dan bagian sentral bersisik, agak berkeringat. Sumbu panjang lesi
sesuai dengan garis lipat kulit dan kadang-kadang menyerupai gambar pohon cemara.
Lesi inisial (herald patch = medallion) biasanya solitary, bentuk oval, anular,
berdiameter 2-6 cm. Jarang terdapat lebih dari 1 herald patch.
3. Dermatitis atopic
Dermatitis atopic adalah dermatitis yang timbul pada individu dengan riwayat
atopi pada dirinya sendiri ataupun keluarganya, yaitu riwayat asma bronchial, rhinitis
alergika, dan reaksi alergi terhadap serbuk-serbuk tanaman. Penyebab yang pasti
belum diketahui, tetaoi faktor turunan merupakan dasar pertama untuk timbulnya
penyakit. Gejala utama dermatitis atopik adalah pruritus, dapat hilang timbul
sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita
akan menggaruk sehingga timbul papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi,
eksudasi dan krusta. Diagnosis dermatitis atopi harus mempunyai 3 kriteria mayor dan
3 kriteria minor dari Hanifin dan Rajka.

III. 9 Penatalaksanaan
Pengobatan yang paling ideal tentu saja mengobati penyebab atau bila mungkin
menghindari penyebab yang dicurigai. Bila tidak mungkin paling tidak mencoba mengurangi
penyebab tersebut, sedikit-dikitnya tidak menggunakan dan tidak berkontak dengan
penyebabnya.
35

Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat.
Antihistamin
Antihistamin dalam dosis terapi, efektif untuk mengobati edema, eritem dan pruritus,
tetapi tidak dapat melawan efek hipersekresi asam lambung akibat histamin. Antihistamin
tersebut digolongkan dalam antihistamin penghambat reseptor H
1
(AH
1
). Setelah tahun 1972
ditemukan kelompok antihistamin baru yang dapat mengambat sekresi asam lambung akibat
histamin. Antihistamin ini digolongkan sebagai antihistamin penghambat reseptor H
2
(AH
2
).
Kedua jenis antihistamin ini bekerja sangat kompetitif yaitu dengan menghambat interaksi
histamin dan reseptor histamin H
1
dan H
2
.
Cara kerja obat Antihistamin
Histamin sudah lama dikenal karena merupakan mediator utama timbulnya
peradangan dan gejala alergi. Mekanisme kerja obat antihistamin dalam menghilangkan
gejala-gejala alergi berlangsung melalui kompetisi dengan menghambat histamin berikatan
dengan reseptor H
1
atau H
2
di organ sasaran. Histamin yang kadarnya tinggi akan
memunculkan lebih banyak reseptor H
1
. Reseptor yang baru tersebut akan diisi oleh
antihistamin. Peristiwa molekular ini akan mencegah untuk sementara timbulnya reaksi
alergi.

Gambar 11. Antihistamin.
36

Reseptor H
1
diketahui terdapat di otak, retina, medula adrenal, hati, sel endotel,
pembuluh darah otak, limfosit, otot polos saluran nafas, saluran cerna, saluran genitourinarius
dan jaringan vaskular. Reseptor H
2
terdapat di saluran cerna da dalam jantung. Sedangkan
reseptor H
3
terdapat di korteks serebri dan otot polos bronkus. Di kulit juga terdapat reseptor
H
3
yang merupakan autoreseptor, mengatur pelepasan dan sintesis histamin. Namun, peranan
dalam menimbulkan gatal dan inflamasi masih belum jelas.
Macam-macam obat antihistamin
Antihistamin generasi pertama
Antihistamin ini mudah didapat, baik sebagai obat tunggal atau dalam bentuk
kombinasi dengan obat dekongestan, misalnya untuk pengobatan influenza. Kelas ini
mencakup klorfeniramin, difenhidramin, prometazin, hidroksisin dan lain-lain.
Pada umumnya obat antihistamin generasi pertama ini mempunyai efektivitas
yang serupa bila digunakan menurut dosis yang dianjurkan dan dapat dibedakan satu
sama lain menurut gambaran efek sampingnya. Namun, efek yang tidak diinginkan
obat ini adalah menimbulkan rasa mengantuk sehingga mengganggu aktivitas dalam
pekerjaan, harus berhati-hati waktu mengendarai kendaraan, mengemudikan pesawat
terbang dan mengoperasikan mesin-mesih mesin-mesin berat. Efek sedatif ini
diakibatkan oleh karena antihistamin generasi pertama ini memiliki sifat lipofilik yang
dapat menembus sawar darah otak sehingga dapat menempel pada reseptor H
1
di sel
otak, kewaspadaan menurun dan timbul rasa ngantuk. Selain itu, efek sedatif
diperberat pada pemakaian alkohol dan obat antidepresan misalnya minor
tranquillizers. Karena itu, penggunaan obat ini harus berhati-hati.
Di samping itu, beberapa antihistamin mempunyai efek samping
antikolinergik seperti mulut menjadi kering, dilatasi pupil, penglihatan berkabut,
retensi urin, konstipasi dan impotensia.
37


Gambar 12. Golongan Antihistamin H1
Antihistamin generasi kedua
Golongan ini diabsorbsi lebih cepat dan mencapai kadar puncak dalam waktu
1-4 jam. Masa awitan lebih lambat dan mencapai efek maksimal dalam waktu 4 jam
(misalnya terfenadin), sedangkan aztemizol dalam waktu 96 jam setelah pemberian
oral. Efektivitasnya berlangsung lebih lama dibandingkan dengan AH
1
yang klasik,
bahkan astemizol masih efektif 21 hari setelah pemberian dosis tunggal secara oral.
Golongan ini juga dikenal sehari-hari sebagai antihistamin yang long acting.
Keunggulan lain AH
1
non klasik adalah tidak mempunyai efek sedasi karena
memiliki sifat lipofilik yang lebih rendah sehingga sulit menembus sawar darah otak.
Di samping itu, golongan ini tidak menimbulkan potensiasi dengan alkohol, dan tidak
terdapat penekanan pada SSP serta relatif non toksik.
Yang digolongkan dalam antihistamin generasi kedua yaitu :
1. Terfenadin
Antihistamin pertama yang tidak mempunyai efek sedasi.
Tahun 1986 pada keadaan tertentu dilaporkan terjadinya aritmia ventrikel,
gangguan ritme jantung yang berbahaya, pingsan dan kematian mendadak.
Beberapa faktor seperti hipokalemia, hipomagnesemia, bradikardi, sirosis atau
kelainan hati lainnya atau pemberian bersamaan dengan juice anggur,
antibiotika makrolide, obat anti jamur berbahaya karena dapat memperpanjang
interval QT.
Tahun 1997 FDA menarik terfanadin dari pasaran.
2. Astemizol
Antihistamin kedua yang tidak menyebabkan sedasi.
38

Diabsorbsi secara cepat dan sempurna setelah pemberian secara oral, tetapi
astemizol dan metabolitnya sangat banyak distribusinya dan mengalami
metabolisme sangat lambat.
Dapat menyebabkan aritmia jantung da kematian mendadak pada keadaan
yang serupa dengan terfenadin.
3. Loratadin
Farmakokinetik serupa dengan terfenadin, dalam hal mulai bekerjanya dan
lamanya.
Obat ini mula-mula mengalami metabolisme menjadi metabolit aktif
deskarboetoksi loratadin (DCL) dan selanjutnya mengalami metabolisme lebih
lanjut.
Loratadin ditoleransi dengan baik, tanpa efek sedasi, serta tidak mempunyai
efek terhadap susunan saraf pusat dan tidak pernah dilaporkan terjadinya
kematian mendadak sejak obat ini diperbolehkan beredar pada tahun 1993.
4. Cetirizin
Metabolit karboksilat dari antihistamin generasi pertama hidroksizin,
diperkenalkan sebagai antihistamin yang tidak mempunyai efek sedasi.
Obat ini tidak mengalami metabolisme, mulai kerjanya lebih cepat daripada
obat yang sejenis dan lebih efektif dalam pengobatan urtikaria kronik.
Menghambat fungsi eosinofil, menghambat pelepasan histamin dan
prostaglandin D
2
.
Tidak menyebabkan aritmia jantung, namun mempunyai sedikit efek sedasi.

Antihistamin generasi ketiga
Yang termasuk antihistamin generasi ketiga yaitu feksofenadin, norastemizole
dan deskarboetoksi loratadin (DCL), ketiganya merupakan metabolit antihistamin
generasi kedua. Tujuan mengembangkan antihistamin generasi ketiga adalah untuk
menyederhanakan farmakokinetik dan metabolismenya, serta menghindari efek
samping yang berkaitan dengan obat sebelumnya.
1. Feksofenadin
Merupakan metabolit karboksilat dari antihistamin generasi kedua
terfenadin dan diijinkan untuk dipasarkan oleh FDA pada juli 1996. Setelah
diketahui bahwa feksofenadin tidak berpengaruh buruk terhadap
39

elektrofisiologi jantung dan mempunyai efektivitas sama seperti terfanadin
maka feksofenadin menggantikan terfenadin dan telah dipasarkan di Indonesia
dengan nama dagang Telfast.
Sifat-sifat kimia feksofenadin adalah : secara oral cepat diabsorpsi,
hanya sekitar 5% mengalami metabolisme, sisanya diekskresi dalam urin dan
feses tanpa mengalami perubahan. Hasil ini tidak dipengaruhi oleh adanya
gangguan pada fungsi hati atau ginjal. Pada penderita usia lanjut atau penderita
dengan gangguan fungsi ginjal, kadar feksofenadine dalam plasma darah dapat
meningkat 2 kali dari normal. Namun hal ini tidak perlu dikhawatirkan, karena
indeks terapi obat ini relatif tinggi. Feksofenadin tidak berpengaruh pada
interval QT pada percobaan binatang atau pada manusia yang diberi 10 kali
lipat dosis standar 60 mg 2 kali sehari. Feksofenadin tidak menembus sawar
darah otak sehingga tidak mempunyai efek samping terhadap susunan saraf
pusat.
Feksofenadin merupakan antihistamin non sedatif, yang sama dengan
terfenadin tetapi tidak bersifat kardiotoksik. Pada penderita penyakit hati tidak
diperlukan penyesuaian dosis, demikia juga untuk penderita gangguan fungsi
ginjal. Dosis yang dianjurkan adalah dosis tunggal 60 mg/hari.

2. Norastemizole
Mempunyai beberapa kelebihan dibanding dengan astemizole, dan
menurut McCullogh dkk norastemizole menghambat reseptor H
1
13 sampai 16
kali lebih kuat.
Mulai kerja norastemizol lebih cepat dibanding astemizole.
Norastemizole tidak mengalami metabolisme, diekskresi dalam urin dalam
bentuk tidak berubah, waktu paruh plasma sekitar satu minggu. Dalam
percobaan pada tikus, obat ini tidak menaikkan berat badan. Terhadap jantung,
pengaruhnya relatif lebih aman meskipun dalam kombinasi dengan obat
lainnya, tidak meningkatkan interval QT setelah pemberian per pasien dengan
dosis tunggal 100 mg. Obat ini belum dipasarkan di Indonesia.

40

3. DCL (Deskarboetoksi Loratadin)
Lebih kuat dari pada loratadin terhadap reseptor H
1
. Juga diketahui
bahwa obat ini mengambat reseptor muskarinik M
1
dan M
3
sehingga
meningkatkan efek dalam pengobatan asma bronkiale. DCL mula kerjanya lebih
lambat dan mempunyai waktu paruh dalam plasma lebih panjang dibandingkan
dengan loratadin. Dalam percobaan binatang dengan dosis yang tinggi ternyata
tidak berpengaruh terhadap interval QT dan denyut jantung meskipun dengan
dosis sampai 100 mg/kgBB.

Kortikosteroid
Dalam beberapa kasus urtikaria akut atau kronik, antihistamin mungkin gagal, bahkan
pada dosis tinggi, atau mungkin efek samping bermasalah. Dalam situasi seperti itu, terapi
urtikaria seharusnya respon dengan menggunakan kortikosteroid. Jika tidak berespon, maka
pertimbangkan kemungkinan proses penyakit lain (misalnya, keganasan, mastocystosis,
vaskulitis). Kortikosteroid juga dapat digunakan dalam urticarial vasculitis, yang biasanya
tidak berespon terhadap antihistamin. Kortikosteroid harus dihindari pada penggunaan jangka
panjang pengobatan urtikaria kronis karena efek samping kortikosteroid seperti
hiperglikemia, osteoporosis, ulkus peptikum, dan hipertensi.
Contoh obat kortikosteroid adalah prednison, prednisolone, methylprednisolone, dan
triamcinolone. Prednisone harus diubah menjadi prednisolone untuk menghasilkan efek yaitu
mengurangi permeabilitas kapiler, dapat diberikan dengan dosis dewasa 40-60 mg/hari PO
dibagi dalam 1-2 dosis/hari dan dosis anak-anak 0,5-2 mg/kgBB/hari PO dibagi menjadi 1-4
dosis/hari. Methylprednisolone dapat membalikkan peningkatan permeabilitas kapiler, dosis
dewasa 4-48 mg/hari PO dan dosis anak-anak 0,16-0,8 mgkgBB/ hari dibagi dalam 2 dosis
dan 4 dosis.
Leukotrien Receptor Antagonis
Antileukotrien dapat diberikan sebagai terapi tambahan dengan Antihistamin H
1
untuk
urtikaria yang tidak terkontrol, namun hanya sedikit bukti penggunaan leukotrien sebagai
monoterapi. Leukotrien receptor antagonist seperti montelukast, zafirlukast dan zileuton
41

menunjukkan keunggulan yang lebih dibandingkan dengan plasebo dalam perawatan pasien
dengan urtikaria kronik.
Immunomodulatory Agents
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa cyclosporine efektif dalam mengobati
pasien dengan urtikaria kronik yang refrakter. Cyclosporine dengan dosis 3-5 mg/kgBB/hari
menunjukkan manfaat pada dua pertiga pasien dengan urtikaria kronik yang tidak berespon
terhadap antihistamin. Tacrolimus dengan dosis 20g/mL setiap hari dapat mengobati pasien
dengan corticosteroid dependent urticaria.
Intravenous Immunoglobulin (IVIG) tampak efektif dalam manajemen pasien dengan
urtikaria autoimun kronik yang parah. Meskipun mekanisme yang terlibat tidak jelas, namun
telah diusulkan bahwa IVIG mungkin berisi anti-idiotypic antibody yang bersaing dengan
IgG endogen untuk reseptor H1 dan memblok pelepasan histamin atau memperbanyak klirens
IgG endogen.
Desensitisasi
Pengobatan dengan cara desensitisasi, misalnya dilakukan pada urtikaria dingin
dengan melakukan sensitisasi air pada suhu 10
o
C (1-2 menit) 2 kali sehari selama 2-3
minggu. Pada alergi debu, serbuk sari bunga dan jamur, desensitisasi mula-mula dengan
alergen dosis kecil 1 minggu 2x; dosis dinaikkan dan dijarangkan perlahan-lahan sampai
batas yang dapat ditoleransi oleh penderita.
Bila pengobatan dengan satu jenis antihistamin gagal hendaknya dipergnakan
anthihistamin grup lain. Hidroksizin ternyata lebih efektif daripada antihistamin lain untuk
mencegah urtikaria, dermografisme dan urtikaria kolinergik. Pada urtikaria karena dingin
ternyata siproheptadin lebih efektif. Kadang-kadang golongan beta adrenergik seperti
epinefrin atau efedrin efektif untuk urtikaria yang kronik.
42


Gambar 13. Algoritme pengobatan untuk urtikaria kronik
Pengobatan lokal di kulit dapat diberikan secara simtomatik, misalnya antipruritus di
dalam bedak atau bedak kocok.
III.10 Prognosis
Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat diatasi,
urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit dicari.








43


BAB IV
KESIMPULAN
Urtikaria merupakan penyakit yang sering dijumpai. Urtikaria dapat timbul akibat
berbagai macam penyebab, diduga penyebab urtikaria adalah obat, makanan, gigitan atau
sengatan serangga, fotosensitizer, inhalan, kontaktan, trauma fisik, infeksi dan infestasi
parasit, psikis, genetik dan penyakit sistemik. Urtikaria timbul didasari oleh triple respons
dari Lewis, yaitu eritema akibat dilatasi dari kapiler, timbulnya wheal akibat ekstravasasi
cairan akibat meningkatnya permeabilitas vaskuler.
Secara umum urtikaria terjadi akibat adanya degranulasi sel mast yang akan
menyebabkan pengeluaran-pengeluaran mediator terutama histamine ataupun leukotrien.
Degranulasi sel mast ini bisa terjadi karena reaksi imun, non imun ataupun leukotrien.
Degranulasi sel mast ini bisa terjadi karena reaksi imun, non imun ataupun idiopatik.
Sehingga untuk menegakkan diagnosa dibutuhkan beberapa pemeriksaan yang mendukung
contohnya pemeriksaan reaksi hipersensitifitas.
Penatalaksanaan urtikaria bisa dipercayakan kepada pengobatan simptomatik berupa
pemberian preparat antihistamin, kortikosteroid ataupun preparat golongan adrenergik yang
bermanfaat bagi urtikaria kronik. Walalupun demikian tetap saja pengobatan etiologi lebih
baik atau menghindari penyebab contohnya pada urtikaria karena alergi.






44


DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A, Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jakarta : Balai Penerbit
FKUI,2007: 169-177
2. Wong, H. K. Acute Urticaria. 2009. Diakses 1 November 2013. Available from
:http://www.emedicine.medscape.com/article/1049858-derm.
3. Poonawalla, T., Kelly, B. 2009. Urticaria a review. Am J clin Dermatol; 10(1): 9-21.
4. Wolff K, Goldsmith L A, Katz S, et all. Urticaria and Angioedema. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine, 7th Edition. McGraw Hill, 2008. 331-343 p.
5. Grattan and Humphreys F. Guideline for evaluation and management of urticaria in
adults and children. British Journal of Dermatology. 2007; 157:1116-23.
6. Kanani A, Schellenberg R, Warrington R. Urticaria and Angioedema. Allergy,
Asthma and Clinical Immunology. 2011;7(Suppl 1):S9.
7. Zuberbier T, Asero R, Bindslev J, et all. Guideline: management of urticaria. John
Wiley & Sons A/S Allergy. 2009; 64: 1427-43.
8. Simons FER, Simons KJ. The pharmacology and use of H
1
-receptor-antagonist drugs.
New Engl J Med 2004; 330: 1663-70.
9. Handley DA, Magnetti A, Higgins A.J. Therapeutic advantages of third generation
antihistamines. Exp Opin Invest Drugs 2004; 7: 1045-54.
10. Handley DA, McCullough JR, Fang KQ, Wright SE, Smith ER. Comperative
antihistamine effects of astemizole and a metabolite, norastemizole. Ann Allergy
Asthma Immunol 1997; 78: 144.

Anda mungkin juga menyukai