Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

REHABILITASI MEDIK PADA FRAKTUR FEMUR

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan

Program Profesi Dokter Stase Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :
dr. Komang Kusumawati, Sp. KFR

Diajukan Oleh:

Yovanda Putri P., S. Ked J510185016


Ade Oktavia R., S.Ked J510185022
Richard Guntur B.,S.Ked J510185058

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN


REHABILITASI
RUMAH SAKIT ORTOPEDI PROF. DR. R. SOEHARSO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

REFERAT

REHABILITASI MEDIK PADA FRAKTUR FEMUR

Diajukan Oleh :

Yovanda Putri P., S. Ked J510185016


Ade Oktavia R., S.Ked J510185022
Richard Guntur B.,S.Ked J510185058

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari

Pembimbing :
dr. Komang Kusumawati, Sp. KFR (………………………)

Disahkan Ka. Program Profesi :


dr. Iin Novita, M.Sc, Sp.PD (………………………)

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Femur adalah tulang terpanjang dan terbesar yang merupakan ¼ dari
tinggi badan seseorang. Fraktur pada femur dapat terjadi pada collum, shaft,
intertrochanter. Fraktur femur tersebut memerlukan adanya tindakan operatif.
Mengingat pentingnya femur sebagai fungsi alat gerak, maka tindakan
rehabilitasi medik perlu dilakukan untuk mencapai proses penyembuhan dan
pengembalian fungsi dan kestabilan dari femur seperti semula agar tidak
mengalami kelainan bentuk23.
Fraktur adalah suatu diskontinuitas susunan tulang yang disebabkan oleh
trauma atau keadaan patologis. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang dan atau tulang rawan yang umumnya dipaksa oleh rudapaksa24.
Kegagalan fraktur berkonsolidasi dapat menyebabkan komplikasi salah
satunya non – union. Non union adalah kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat dan stabil setelah 6 – 9 bulan.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Depkes RI tahun 2013 angka kejadian cidera
mengalami peningkatan diandingkan tahun 2007. Kecenderungan prevalensi
cidera menunjukkan kenaikan dari 7,5 % menjadi 8,2 %25.
World Health Organization menetapkan dekade (2000–2011) tulang dan
persendian. Selain itu, penyebab fraktur terbanyak adalah karena kecelakaan
lalu lintas seperti kecelakaan motor dan mobil serta kecelakaan pejalan
kaki sewaktu menyebrang. WHO juga mencatat bahwa pada tahun 2005
terdapat lebih dari 7 juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan
sekkitar 2 juta orang mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan
yang cukup tinggi yaitu insiden fraktur ekstremitas bawah, sekitar 46,2 % dari
insiden kecelakaan yang terjadi 1.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Femur
Femur adalah tulang terpanjang dan terbesar dalam tubuh. Os femur
proksimal terdiri dari caput femur, collum femur, regio trochanter, dan
subtrochanter. Secara morfologi femur (os longum) terdiri dari bagian-bagian :
Epiphysis proximal, Diaphysis, Epiphysis distalis. Pada regio trochanter,
terdapat tiga bagian : Greater trochanter, Linea intertrochanter, dan Lesser
trochanter9.

4
Femur pada ujung bagian atasnya memiliki caput, collum,
trochanter major dan trochanter minor. Seluruh caput femur ditutupi oleh
cartilago artikularis kecuali pada tempat dimana ada perlekatan
ligamentum capitis femoris (fovea capitis femoris). Kartilago ini paling
teal pada daerah dimana mendapat tekanan berat badan paling besar.

Collum femur menghubungkan caput terhadap corpus femur


dengan sudut inklinisi (Neck Shaft Angle ) kurang lebih 125o, hal ini yang
memfasilitasi pergerakan pada sendi coxae dimana tungkai dapat
mengayun secara bebas terhadap pelvis9.

B. Fraktur
1. Definisi
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas dari struktur tulang, tulang
rawan, dan lempeng pertumbuhan yang disebabkan oleh trauma dan
non trauma. Fraktur dapat disebabkan oleh cidera, stres yang berulang,
kelemahan tulang yang abnornal atau disebut juga fraktur patologis9.
2. Etiologi
Penyebab dari terjadinya fraktur adalah :
a. Cedera Traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :

1) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang


sehingga tulang patah secara spontan. Pemukulan biasanya
menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit di
atasnya.

2) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh


dari lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan
menyebabkan fraktur klavikula.

3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari


otot yang kuat.
b. Fraktur beban

5
Disebabkan karena tulang sering mengalami penekanan.
c. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana
dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga
terjadi pada berbagai keadaan berikut :

1) Tumor Tulang ( Jinak atau Ganas ) : pertumbuhan jaringan


baru yang tidak terkendali dan progresif.

2) Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat


infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang
progresif, lambat
3) Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi
vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain,
biasanya disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh
karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah9.

C. Klasifikasi Fraktur
a. Berdasarkan dengan dunia luar
1) Fraktur tertutup
Fraktur tertutup adalah fraktur tanpa adanya komplikasi,
kulit masih utuh, tulang tidak menonjol melalui kulit dan relatif
lebih aman.
2) Fraktur terbuka
Fraktur terbuka adalah fraktur yang merusak jaringan kulit,
karena adanya hubungan dengan lingkungan luar, sehingga fraktur
terbuka potensial terjadi infeksi osteomielitis.
Fraktur terbuka dibagi menjadi 3 grade, yaitu:
 Grade 1: Laserasi < 1 cm kerusakan jaringan tidak berarti
relatif bersih. Fraktur sederhana, dislokasi fragen minimal.
 Grade 2: Laserasi >1 cm tidak ada kerusakan jaringan yang
hebat atau avulsi, ada kontaminasi . Dislokasi fragmen jelas.

6
 Grade 3: luka sebesar 6-8 cm dengan kerusakan pembuluh
darah, saraf, otot dan kulit. Kontaminasi hebat. Fraktur
kominutif, segmental, fragmen tulang adayang hilang23.
b. Berdasarkan bentuk patah tulang
1) Fraktur complete yaitu pemisahan tulang menjadi 2 atau lebih
fragmen. Pada fraktur transversal (gambar a), fragmen tetap pada
tempatnya setelah reduksi, sedangkan pada oblik atau spiral
(gambar c) lebih cenderung memendek dan terjadi pergeseran
meskipun tulang telah dibidai. Fraktur segmental (gambar b)
membagi tulang menjadi 3 bagian. Pada fraktur impaksi fragmen
menumpuk saling tumpang tindih dan garis fraktur tidak jelas.
Pada fraktur kominutif terdapat lebih dari dua fragmen , karena
kurang menyatunya permukaan fraktur yang memuat tidak stabil.
2) Fraktur incomplete yaitu patah bagian dari tulang tanpa adanya
pemisahan. Pada fraktur buckle, bagian yang mengalami fraktur
hampir tidak terlihat (gambar d). Pada fraktur greenstick (gambar e
dan f), tulang melengkung atau bengkok seperti ranting yang retak.
Hal ini dapat terlihat pada anak – anak. Pada fraktur kompresi
terlihat tulang spongiosa tertekan kedalam9.

7
D. Fraktur Femur
1. Definisi Fraktur Femur
Menurut Sjamsuhidajat, fraktur femur adalah fraktur pada tulang
femur yang disebabkan oleh benturan atau trauma langsung maupun
tidak langsung. Fraktur femur juga didefinisikan sebagai hilangnya
kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur femur secara klinis bisa berupa
fraktur femur terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak
(otot, kulit, jaringan saraf dan pembuluh darah) dan fraktur femur
tertutup yang dapat disebabkan oleh trauma langsung pada paha.11,12
2. Klasifikasi Fraktur Femur
Fraktur femur dapat dibagi lima jenis berdasarkan letak garis
fraktur seperti yang terlihat dibawah ini:6,13,14

Gambar 2. Lokasi fraktur femur

a. Fraktur intertrokhanter femur


Merupakan patah tulang yang bersifat ekstra kapsuler dari
femur, sering terjadi pada lansia dengan kondisi osteoporosis.
Fraktur ini memiliki risiko nekrotik avaskuler yang rendah
sehingga prognosanya baik. Penatalaksanaannya sebaiknya dengan

8
reduksi terbuka dan pemasangan fiksasi internal. Intervensi
konservatif hanya dilakukan pada penderita yang sangat tua dan
tidak dapat dilakukan dengan anestesi general.

b. Fraktur subtrokhanter femur


Garis fraktur berada 5 cm distal dari trokhanter minor,
diklasifikasikan menurut Fielding & Magliato sebagai berikut: 1)
Tipe 1 adalah garis fraktur satu level dengan trokhanter minor; 2)
Tipe 2 adalah garis patah berada 1-2 inci di bawah dari batas atas
trokhanter minor; 3) Tipe 3 adalah 2-3 inci dari batas atas
trokhanter minor. Penatalaksanaannya dengan cara reduksi terbuka
dengan fiksasi internal dan tertutup dengan pemasangan traksi
tulang selama 6-7 minggu kemudian dilanjutkan dengan hip gips
selam tujuh minggu yang merupakan alternatif pada pasien dengan
usia muda.

c. Fraktur batang femur


Fraktur batang femur biasanya disebabkan oleh trauma
langsung, secara klinis dibagi menjadi: 1) fraktur terbuka yang
disertai dengan kerusakan jaringan lunak, risiko infeksi dan
perdarahan dengan penatalaksanaan berupa debridement, terapi
antibiotika serta fiksasi internal maupun ekternal; 2) Fraktur
tertutup dengan penatalaksanaan konservatif berupa pemasangan
skin traksi serta operatif dengan pemasangan plate-screw.

d. Fraktur suprakondiler femur


Fraktur ini disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan
tinggi sehingga terjadi gaya aksial dan stress valgus atau varus dan
disertai gaya rotasi. Penatalaksanaan berupa pemasangan traksi
berimbang dengan menggunakan bidai Thomas dan penahan lutut
Pearson, cast-bracing dan spika pinggul serta operatif pada kasus
yang gagal konservatif dan fraktur terbuka dengan pemasangan
nail-phroc dare screw.

9
e. Fraktur kondiler femur
Mekanisme trauma fraktur ini biasanya merupakan kombinasi
dari gaya hiperabduksi dan adduksi disertai denga tekanan pada
sumbu femur ke atas. Penatalaksanaannya berupa pemasangan
traksi tulang selama 4-6 minggu dan kemudian dilanjutkan dengan
penggunaan gips minispika sampai menyatu sedangkan reduksi
terbuka sebagai alternatif apabila konservatif gagal.
E. Diagnosis Fraktur Femur
Pada anamnesis biasanya didapatkan adanya riwayat trauma, baik
yang hebat maupun trauma ringan diikuti dengan rasa nyeri dan
ketidakmampuan untuk menggunakan ekstremitas bawah. Anamnesis
harus dilakukan dengan cermat, karena fraktur tidak selamanya terjadi di
daerah trauma dan mungkin terjadi di daerah lain. Anamnesis dilakukan
untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi kejadian) dan
kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut.
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:
1. Syok, anemia atau pendarahan
2. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang
belakang atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen
3. Faktor predisposisi, misalnya pada fraktur patologis.
Pemeriksaan Lokal:
a. Inspeksi (Look)
 Bandingkan dengan bagian yang sehat
 Perhatikan posisi anggota gerak
 Keadaan umum penderita secara keseluruhan
 Ekspresi wajah karena nyeri
 Lidah kering atau basah
 Adanya tanda-tanda anemia karena pendarahan
 Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk
membedakan fraktur tertutup atau terbuka

10
 Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai
beberapa hari
 Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan
kependekan
 Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada
organ-organ lain
 Perhatikan kondisi mental penderita
 Keadaan vaskularisasi.
b. Palpasi (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya
mengeluh sangat nyeri.
Hal-hal yang perlu diperhatikan :
 Temperatur setempat yang meningkat
 Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya
disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur
pada tulang
 Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan
secara hati-hati
 Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri
radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan
anggota gerak yang terkena Refilling (pengisian) arteri pada kuku,
warna kulit pada bagian distal daerah trauma, temperatur kulit.
 Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui
adanya perbedaan panjang tungkai.
c. Pergerakan (Move)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara
aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang
mengalami trauma. Kemudian dinilai adanya keterbatasan pada
pergerakan sendi tersebut(Range of movement). Pada penderita
dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat
sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar,

11
disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan
lunak seperti pembuluh darah dan saraf.
d. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris
dan motoris serta gradasi kelainan neurologis yaitu neuropraksia,
aksonotmesis atau neurotmesis. Kelainan saraf yang didapatkan
harus dicatat dengan baik karena dapat menimbulkan masalah
asuransi dan tuntutan (klaim) penderita serta merupakan patokan
untuk pengobatan selanjutnya.
e. Pemeriksaan radiologi

F. Proses Penyembuhan Fraktur

a. Tahap Hematoma dan Inflamasi.


Apabila tejadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh
darah kecil yang melewati kanalikuli dalam system haversian

12
mengalami robekan dalam daerah fraktur dan akan membentuk
hematoma diantara kedua sisi fraktur. Hematoma yang besar
diliputi oleh periosteum. Periosteum akan terdorong dan
mengalami robekan akibat tekanan hematoma yang terjadi
sehingga dapat terjadi ekstravasasi darah kedalam jaringan lunak.
Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang
dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri. Terjadi perdarahan
dalam jaringan yang cidera dan pembentukan hematoma di tempat
patah tulang. Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena
terputusnya pasokan darah. Tempat cidera kemudian akan diinvasi
oleh magrofag (sel darah putih besar), yang akan membersihkan
daerah tersebut. Terjadi inflamasi, pembengkakan dan nyeri.
b. Tahap Hematoma dan Inflamasi.
Kira-kira 5 hari hematom akan mengalami organisasi,
terbentuk benang-benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk
jaringan untuk revaskularisasi, dan invasi fibroblast dan osteoblast.
Fibroblast dan osteoblast (berkembang dari osteosit, sel endotel,
dan sel periosteum) akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan
sebagai matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan
ikat fibrus dan tulang rawan (osteoid). Dari periosteum, tampak
pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan tersebut dirangsang
oleh gerakan mikro minimal pada tempat patah tulang. Tetapi
gerakan yang berlebihan akan merusak sruktur kalus. Tulang yang
sedang aktif tumbuh menunjukkan potensial elektronegatif.
Pada tahap awal dari penyembuhan fraktur ini terjadi
penambahan jumlah dari sel – sel osteogenik yang memberi
penyembuhan yang cepat pada jaringan osteogenik yang sifatnya
lebih cepat dari tumor ganas. Jaringan seluler tidak terbentuk dari
organisasi pembekuan hematoma suatu daerah fraktur. Setelah
beberapa minggu, kalus dari fraktur akan membentuk suatu massa
yang meliputi jaringan osteogenik. Pada pemeriksaan radiologist

13
kalus belum mengandung tulang sehingga merupakan suatu daerah
radioluscen. Pada fase ini dimulai pada minggu ke 2 – 3 setelah
terjadinya fraktur dan berakhir pada minggu ke 4 – 8.
c. Tahap Pembentukan Kalus
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan
tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudah terhubungkan.
Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrus,
tulang rawan, dan tulang serat matur.
Bentuk kalus dan volume dibutuhkan untuk
menghubungkan defek secara langsung berhubungan dengan
jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Perlu waktu tiga sampai
empat minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan
atau jaringan fibrus. Secara klinis fargmen tulang tidak bisa lagi
digerakkan.
Bentuk tulang ini disebut moven bone. Pada pemeriksaan
radiolgis kalus atau woven bone sudah terlihat dan merupakan
indikasi radiologik pertama terjadinya penyembuhan fraktur.
d. Tahap Osifikasi
Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara
perlahan – lahan diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh
aktivitas osteoblas yang menjadi struktur lamellar dan kelebihan
kalus akan di resorpsi secara bertahap.
Pada fase 3 dan 4 dimulai pada minggu ke 4 – 8 dan
berakhir pada minggu ke 8 – 12 setelah terjadinya fraktur.
Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam dua
sampai tiga minggu patah tulang, melalui proses penulangan
endokondral. Patah tulang panjang orang dewasa normal,
penulangan memerlukan waktu tiga sampai empat bulan. Mineral
terus menerus ditimbun sampai tulang benar-benar telah bersatu
dengan keras. Permukaan kalus tetap bersifat elektronegatif.

14
e. Tahap Remodeling
Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan
jaringan mati dan reorganisasi tulang baru ke susunan struktural
sebelumnya. Remodeling memerlukan waktu berbulan-bulan
sampai bertahun – tahun tergantung beratnya modifikasi tulang
yang dibutuhkan, fungsi tulang, dan pada kasus yang melibatkan
tulang kompak dan kanselus – stres fungsional pada tulang.
Bilamana union telah lengkap, maka tulang yang baru akan
membentuk bagian yang meyerupai bulbus yang meliputi tulang
tetapi tanpa kanalis medularis. Pada fase remodeling ini perlahan –
lahan terjadi resorpsi secara osteoklastik dan tetapi terjadi
osteoblastik pada tulang dan kalus eksterna secara perlahan – lahan
menghilang. Kalus intermediet berubah menjadi tulang yang
kompak dan berisi system haversian dan kalus bagian dalam akan
mengalami peronggaan untuk membentuk susmsum.
Pada fase terakhir ini, dimulai dari minggu ke 8–12 dan
berakhir sampai beberapa tahun dari terjadinya fraktur. Tulang
kanselus mengalami penyembuhan dan remodeling lebih cepat
daripada tulang kortikal kompak, khususnya pada titik kontak
langsung (Sylvia, 2006).
G. Komplikasi Fraktur Femur
Komplikasi setelah fraktur adalah syok yang berakibat fatal
dalam beberapa jam setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi
dalam 48 jam atau lebih, dan sindrom kompartemen, yang berakibat
kehilangan fungsi ekstremitas permanent jika tidak ditangani segera.
Adapun beberapa komplikasi dari fraktur femur yaitu:17,19,20
a. Syok
Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik
kehilangan darah eksterna maupun interna) dan kehilangan cairan
ekstrasel ke jaringan yang rusak dapat terjadi pada fraktur
ekstremitas, toraks, pelvis, dan vertebra karena tulang merupakan

15
organ yang sangat vaskuler, maka dapat terjadi kehilangan darah
dalam jumlah yang besar sebagai akibat trauma, khususnya pada
fraktur femur pelvis.
b. Emboli lemak
Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multiple atau
cedera remuk dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada pria
dewasa muda 20-30 tahun. Pada saat terjadi fraktur globula lemak
dapat termasuk ke dalam darah karna tekanan sumsum tulang lebih
tinggi dari tekanan kapiler atau karna katekolamin yang di lepaskan
oleh reaksi stres pasien akan memobilitasi asam lemak dan
memudahkan terjadiya globula lemak dalam aliran darah. Globula
lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk emboli, yang
kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok otak,
paru, ginjal dan organ lain. Awitan dan gejalanya yang sangat cepat,
dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu setelah cidera
gambaran khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardia, dan
pireksia.
c. Sindrom kompartemen (Volkmann's Ischemia)
Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi
peningkatan tekanan interstisial di dalam ruangan yang terbatas,
yaitu di dalam kompartemen osteofasial yang tertutup. Peningkatan
tekanan intra kompartemen akan mengakibatkan berkurangnya
perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan, sehingga terjadi
gangguan sirkulasi dan fungsi jaringan di dalam ruangan tersebut.
Ruangan tersebut terisi oleh otot, saraf dan pembuluh darah yang
dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot individual yang
dibungkus oleh epimisium. Sindrom kompartemen ditandai dengan
nyeri yang hebat, parestesi, paresis, pucat, disertai denyut nadi yang
hilang. Secara anatomi sebagian besar kompartemen terletak di
anggota gerak dan paling sering disebabkan oleh trauma, terutama
mengenai daerah tungkai bawah dan tungkai atas.

16
d. Nekrosis avaskular tulang
Cedera, baik fraktur maupun dislokasi, seringkali mengakibatkan
iskemia tulang yang berujung pada nekrosis avaskular. Nekrosis
avaskuler ini sering dijumpai pada kaput femoris, bagian proksimal
dari os. Scapphoid, os. Lunatum, dan os. Talus.
e. Atrofi otot
Atrofi adalah pengecilan dari jaringan tubuh yang telah mencapai
ukuran normal. Mengecilnya otot tersebut terjadi karena sel-sel
spesifik yaitu sel-sel parenkim yang menjalankan fungsi otot tersebut
mengecil. Pada pasien fraktur, atrofi terjadi akibat otot yang tidak
digerakkan (disuse) sehingga metabolisme sel otot, aliran darah tidak
adekuat ke jaringan otot.

H. Penatalaksanaan Fraktur
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi
patahan tulang ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi
itu selama masa penyembuhan patah tulang (imobilisasi).5,7,20

a. Reposisi
Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan
imobilisasi dilakukan pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang
berarti seperti pada fraktur radius distal. Reposisi dengan traksi
dilakukan terus-menerus selama masa tertentu, misalnya beberapa
minggu, kemudian diikuti dengan imobilisasi. Tindakan ini
dilakukan pada fraktur yang bila direposisi secara manipulasi akan
terdislokasi kembali dalam gips. Cara ini dilakukan pada fraktur
dengan otot yang kuat, misalnya fraktur femur.
Reposisi dilakukan secara non-operatif diikuti dengan
pemasangan fiksator tulang secara operatif, misalnya reposisi patah
tulang pada fraktur kolum femur. Fragmen direposisi secara non-
operatif dengan meja traksi, setelah tereposisi, dilakukan
pemasangan prosthesis secara operatif pada kolum femur.

17
Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar (OREF)
dilakukan untuk fiksasi fragmen patahan tulang, dimana digunakan
pin baja yang ditusukkan pada fragmen tulang, kemudian pin baja
disatukan secara kokoh dengan batangan logam di kulit luar.
Beberapa indikasi pemasangan fiksasi luar antara lain fraktur
dengan rusaknya jaringan lunak yang berat (termasuk fraktur
terbuka), dimana pemasangan internal fiksasi terlalu berisiko untuk
terjadi infeksi, atau diperlukannya akses berulang terhadap luka
fraktur di sekitar sendi yang cocok untuk internal fiksasi namun
jaringan lunak terlalu bengkak untuk operasi yang aman, pasien
dengan cedera multiple yang berat, fraktur tulang panggul dengan
perdarahan hebat, atau yang terkait dengan cedera kepala, fraktur
dengan infeksi.
Reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi patahan tulang
dengan pemasangan fiksasi interna (ORIF), misalnya pada fraktur
femur, tibia, humerus, atau lengan bawah. Fiksasi interna yang
dipakai bisa berupa pen di dalam sumsum tulang panjang, bisa juga
plat dengan skrup di permukaan tulang. Keuntungan reposisi
secara operatif adalah dapat dicapai reposisi sempurna, dan bila
dipasang fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi tidak
diperlukan pemasangan gips lagi dan segera bisa dilakukan
imobilisasi. Indikasi pemasangan fiksasi interna adalah fraktur
tidak bisa di reduksi kecuali dengan operasi, fraktur yang tidak
stabil dan cenderung terjadi displacement kembali setelah reduksi
fraktur dengan penyatuan yang buruk dan perlahan (fraktur femoral
neck), fraktur patologis, fraktur multiple dimana dengan reduksi
dini bisa meminimkan komplikasi, fraktur pada pasien dengan
perawatan yang sulit (paraplegia, pasien geriatri).

b. Imobilisasi
Pada imobilisasi dengan fiksasi dilakukan imobilisasi luar
tanpa reposisi, tetapi tetap memerlukan imobilisasi agar tidak

18
terjadi dislokasi fragmen. Contoh cara ini adalah pengelolaan
fraktur tungkai bawah tanpa dislokasi yang penting. Imobilisasi
yang lama akan menyebabkan mengecilnya otot dan kakunya
sendi. Oleh karena itu diperlukan upaya mobilisasi secepat
mungkin.

c. Rehabilitasi
Rehabilitasi berarti upaya mengembalikan kemampuan anggota
yang cedera atau alat gerak yang sakit agar dapat berfungsi
kembali seperti sebelum mengalami gangguan atau cedera.

19
I. Rehabilitasi Medik (RM) pada fraktur
1. Definisi
Rehabilitasi medik adalah ilmu pengetahuan kedokteran yang
mempelajari masalah atau semua tindakan yang ditujukan untuk
mengurangi atau menghilangkan dampak keadaan sakit atau nyeri atau
cacat dan atau sosial dan atau halangan serta meningkatkan kemampuan
pasien mencapai integrasi sosial. Rehabilitasi medik pada fraktur yaitu
berupa latihan untuk meningkatkan ambulasi, mengurangi nyeri,
meningkatkan lingkup gerak sendi-sendi di sekitar fraktur maupun
daerah yang berjauhan dari daerah fraktur pada anggota gerak yang
sama dan memulihkan kekuatan otot.
2. Goal
Tujuan utama program dalam bidang rehabilitasi medik adalah
perbaikan dan peningkatan fungsi, dengan cara mencegah atau
mengurangi dampak impairment, disability dan handicap. Sedangkan
hal-hal tersebut merupakan ruang lingkup kerja RM yaitu : impairment
adalah penyakit atau kelainan pada tingkat organ, disabilitas adalah
kelainan pada tingkat individu yang mengakibatkan seseorang tidak
dapat melakukan kegiatan atau aktifitas sehari-hari serta handicap yang
merupakan gangguan atau hambatan melakukan kegiatan atau aktifitas
dalam lingkungan sosialnya.
Goal Jangka Pendek :
 Mengurangi nyeri
 Memperbaiki deformitas
 Meningkatkan mobilitas
 Meningkatkan ROM
 Mencegah komplikasi
 Memperbaiki kekuatan
Goal Jangka Panjang :
Mempersiapkan pasien agar dapat berpartisipasi kembali dalam
kegiatan di lingkungan rumahnya.

20
3. Problem
a) Nyeri
Pasien post operasi merasakan nyeri akibat dari luka robek yang
terjadi pada sekitar muskuloskeletal
b) Edema
Terjadi karena adanya proses inflamasi
c) Keterbatasan gerak
d) Gangguan fungsional dalam ADL (Activity Daily Live)

4. Rencana Pelaksanaan Terapi


Terapi yang digunakan pada kasus fraktur dapat berupa terapi
latihan maupun terapi dengan modalitas. Terapi dengan modalitas yang
sering digunakan yaitu traksi, yang dapat mereposisi kembali tulang yang
fraktur, sekaligus juga dapat mengurangi nyeri yang timbul pada daerah
fraktur.
Penanganan rehabilitasi dapat berupa:
1) Fisioterapi
Teknologi Fisioterapi yang digunakan adalah terapi latihan. Terapi
latihan adalah usaha pengobatan dalam fisioterapi yang pelaksanaannya
menggunakan latihan-latihan gerakan tubuh, baik secara aktif maupun pasif.23
Pada umumnya, sebelum dan setelah pelaksanaan terapi latihan, bagian yang
mengalami operasi, dalam keadaan dielevasikan sekitar 30º.
1. Static Contraction
Terjadi kontraksi otot tanpa disertai perubahan panjang otot dan
tanpa gerakan pada sendi.24 Latihan ini dapat meningkatkan tahanan
perifer pembuluh darah, vena yang tertekan oleh otot yang berkontraksi
menyebabkan darah di dalam vena akan terdorong ke proksimal yang
dapat mengurangi oedem, dengan oedem berkurang, maka rasa nyeri juga
dapat berkurang. Ditambahkan elevasi sehingga dengan pengaruh gravitasi
akan semakin memperlancar aliran darah pada pembuluh darah vena.

21
Static Contraction bermanfaat untuk mereleksasikan otot-otot
melancarkan peredaran darah dan menjaga fisiologi otot. 24
a). Otot gatrocnemius tungkai kanan
Pasien posisi tidur terlentang, tangan terapis diletakkan pada

bawah tumit kanan pasien. Lalu pasien diminta untuk menekankan

tumitnya kebawah dilakukan pengulangan 8 kali.

Static contraction otot gastrocnemius


b). Otot Quadriceps femoris dextra.
Pasien posisi tidur terlentang tangan terapis diletakkan pada

bawah lutut kanan, lalu pasien diminta untuk menekankan lutut ke

bawah dilakukan pengulangan hingga 8 kali.

Static contraction otot quadriceps


c). Otot Gluteus
Pasien posisi tidur terlentang tangan terapis diletakkan pada

bawah gluteal untuk mengecek lalu pasien diminta untuk

22
merapatkan pantatnya seperti menahan buang air besar dilakukan

pengulangan hingga 8 kali.

Static contraction otot gluteus

2) Passive Movement
Passive movement adalah gerakan yang ditimbulkan oleh adanya
kekuatan dari luar sementara itu otot pasien lemas.23 Relaxed Passive
Movement merupakan gerakan pasif yang hanya dilakukan sebatas timbul
rasa nyeri. Bila pasien sudah merasa nyeri pada batas lingkup gerak sendi
tertentu, maka gerakan dihentikan.23
a) Passive movement sendi pergelangan kaki untuk gerakan dorsal dan
plantar flexi.
Posisi pasien tidur terlentang, posisi terapis disebelah kanan bed dengan
tangan kiri memfiksasi pada pergelangan kaki pasien, sedangkan tangan
kanan menggerakkan ankle kearah dorsal dan plantar flexi dilakukan
pengulangan 8 kali

Gerakan pasif untuk sendi pergelangan kaki


b) Passive movement sendi lutut untuk gerakan flexi-extensi knee.

23
Posisi pasien tidur terlentang, posisi terapis memfiksasi pada sendi
pergelangan kaki sedangkan tangan satunya berada di bawah lutut
kemudian digerakkan flexi- extensi sendi knee gerakan dilakukan
dengan hati-hati sebatas toleransi pasien dilakukan pengulangan 8 kali.

Gerakan pasif untuk sendi lutut


c) Passive movement sendi panggul untuk gerakan flexi-extnesi
Posisi pasien tidur terlentang, posisi terapis berada disamping kanan
bed tangan kiri terapis memegang lutut kanan pasien dan tangan kanan
terapis memfiksasi pada tumit kanan pasien kemudian terapis
menggerakan tungkai kanan pasien kearah flexi sebatas nyeri kemudian
ke posisi semula pengulangan 8 kali.

Gerakan pasif untuk sendi panggul


d) Passive Movement sendi panggul untuk gerkaan abduksi-adduksi.
Posisi pasien tidur terlentang, posisi terpis berada disaping
kanan bed, tangan kiri terapis menyangga dibawah lutut kanan
pasien tangan kanan memegang tumit kanan pasien kemudian
terapis menggerakan tungkai kanan kearah luar abduksi kemudian
ke arah semula abduksi disarankan tidak melewati midline
dilakukan pengulangan 8 kali

24
Gerakan pasif untuk sendi panggul
3. Active Movement
Latihan gerak aktif merupakan gerakan yang timbul dari kekuatan
kontraksi otot pasien sendiri secara volunter / sadar.24 Pada kondisi oedem,
gerakan aktif ini dapat menimbulkan “pumping action” yang akan
mendorong cairan bengkak mengikuti aliran darah ke proksimal. Latihan
ini juga dapat digunakan untuk tujuan mempertahankan kekuatan otot,
latihan koordinasi dan mempertahankan mobilitas sendi. Active Movement
terdiri dari :
a. Assisted Active Movement
Assisted active movement yaitu suatu gerakan aktif yang dilakukan
oleh adanya kekuatan otot dengan bantuan kekuatan dari luar. Bantuan
dari luar dapat berupa tangan terapis, papan maupun suspension. Terapi
latihan jenis ini dapat membantu mempertahankan fungsi sendi dan
kekuatan otot setelah terjadi fraktur.24
1). Assisted Active Movement sendi pergelangan kaki untuk gerakan
dorsal dan plantar flexi.
Posisi pasien tidur terlentang, posisi terapis berdiri di samping
kanan bed, tangan kiri terapis memfiksasi pada pergelangan kaki
dan tangan kanan terapis berada dipunggung kaki kanan pasien
diminta untuk mengerakkan ankle kearah dorsal dan plantar flexi
dan terapis membantu menggerakannya. Dilakukan pengulangan 8
kali.

25
Gerakan Assisted Active Movement sendi pergelangan kaki
2). Assisted Active Movement sendi lutut untuk gerakan flexi dan
extensi
Posisi pasien tidur terlentang, posisi terapis beridri disamping bed.
Tangan kiri terapis memfiksasi pada sendi lutut sedangkan tangan
kanan berada dipergelangan kaki kemudian pasien diminta untuk
fleksi lutut kemudian diluruskan kembali dan terapis membantu
menggerakannya. Dilakukan pengulangan 8 kali.

Gerakan Assisted Active Movoment untuk sendi lutut


3). Assisted Active Movement sendi panggul untuk gerakan flexi-
extensi
Posisi pasien tidur terlentang, posisi terapis berada di samping
kanan bed. Tangan kiri terapis menyangga dibawah lutut
sedangkan tangan kanan terapis menyangga dibawah tumit kanan
pasien diminta untuk menggerkan tungkai kanan flexi semampu
pasien kemudian ke bawah extensi terapis mambantu menggerakan
dilakukan pengulangan 8 kali.

26
Gerakan Assisted Active Movoment untuk sendi panggul

4). Assisted Active Movement sendi panggul untuk gerakan abduksi-


adduksi.
Posisi pasien tidur terlentang, posisi terapis berdiri disamping bed.
Tangan kanan terapis menyangga di bawah tumit kanan pasien dan
tangan kanan menyangga di bawah lutut kanan, kemudian pasien
diminta untuk menggerakkan tungkai kanan keluar (abduksi)
kemudian ke posisi semula dan terapis membantu menggerakkan
dilakukan pengulangan 8 kali.

Gerakan Assisted Active Movement untuk sendi panggul.


b. Free Active Movement
Free active movement merupakan suatu gerakan aktif yang
dilakukan oleh adanya kekuatan otot tanpa bantuan dan tahanan
kekuatan dari luar, gerakan yang dihasilkan oleh kontraksi dengan
melawan pengaruh gravitasi.23 Gerakan dilakukan sendiri oleh pasien, hal
ini dapat meningkatkan sirkulasi darah sehingga oedem akan berkurang,
jika oedem berkurang maka nyeri juga dapat berkurang. Gerakan ini dapat
menjaga lingkup gerak sendi dan memelihara kekuatan otot.23

2) Latihan Duduk

27
Selama kurang lebih 3 hari post operasi pasien mulai pertama beri
latihan duduk tetapi pasien diposisikan half lying ± 300 atau setengah
duduk. Apabila pasien dalam posisi half lying mengalami gangguan yaitu
masih terasa pusing maka posisi half lying dikembalikan seperti semula
(diturunkan lagi). Latihan dilanjutkan lagi dan dilakukan setiap hari.
Tahap berikutnya melihat pasien agar duduk ongkang-ongkang di tepi bed
yang akan diuraikan pelaksanaannya. Posisi pertama pasien tidur
terlentang (half ± 300) kemudian lutut yang sehat ditekuk ± 450 juga,
kemudian tangan pasien menarik tubuhnya dibantu terapis sampai tepi bed
dalam posisi duduk (half lying ± 300) ongkang-ongkang. Fiksasi fisioterapi
pada tungkai yang sakit yaitu pada ankle dengan posisi selalu ekstensi.

Latihan strengthening m. quadriceps dimulai hari ke-4 dengan


posisi pasien duduk half lying 450. Fiksasi fisioterapi pada knee dan ankle.
Penderita diminta untuk menggerakkan ke arah ekstensi kemudian terapis
member tahanan. Dosis latihan 8-10 kali gerakan.

28
3) Latihan berdiri
Setelah pasien berada dalam posisi ongkang-ongkang kemudian
dilanjutkan dengan turun dari bed. Adapun pelaksanaannya pasien turun
dari bed dengan hati-hati, sedangkan terapis memfiksasi tungkai yang
sakit agar dalam posisi abduksi eksternal rotasi dan ekstensi. Setelah
mendirikan pasien perlu sekali dilakukan koreksi postur atau koreksi sikap
badan. Sikap berdiri yang dikoreksi adalah: 1) berat nadan bertumpu pada
salah satu tumit, 2) tulang punggung sedikit condong ke depan dengan
kedua tangan berpegangan pada hand crutch, 3) kedua crutch berada disisi
anterolateral, 4) kepala lurus tegak ke depan, 5) tungkai yang sakit harus
berada dalam posisi abduksi eksternal rotasi dan saat latihan berdiri tidak
ditapakkan. Lama berdiri pasien tergantung pada berat tidaknya kondisi
yang dialaminya. Pasien bisa berdiri di atas kakinya selama 2 menit atau
mungkin 10 menit pada hari pertama. Lama waktu berdiri bisa
ditingkatkan secara bertahap, karena hal ini sangat penting agar
memungkinkan peredaran darahnya mampu beradaptasi dengan efek rasa
sakit yang diderita oleh pasien tersebut.
4) Ortotik prostetik
Latihan jalan dilakukan bila penderita sudah mampu dan
keseimbangannya sudah baik. Latihan jalan dapat dilakukan dengan
kruk menggunakan cara partial weight bearing (PWB) yaitu pasien
berjalan dengan menumpu sebagian berat badan, yang kemudian
ditingkatkan dengan cara full weight bearing (FWB) yaitu pasien
berjalan dengan menumpu berat badan penuh. Latihan berjalan
dilakukan dengan metode swing through. Dimana swing through
merupakan latihan berjalan dengan cara kruk diayunkan lebih dulu
kemudian kaki melangkah melebihi kruk.

29
Pasien diperbolehkan berjalan Non-Weight Bearing mulai dari
ke-7 sampai 10 selama 4-6 minggu, kemudian Partial Weight Bearing
6 minggu berikutnya. Full weight bearing diperbolehkan setelah 12
minggu. Operasi pengangkatan fiksasi interna dilakukan paling cepat
setelah 12 bulan bila konsolidasi telah sempurna dan bila diperlukan
dapat ditunggu sampai 2 tahun
Prosedur latihan jalan menggunakan orthosis dan prosthesis adalah
suatu prosedur yang dilakukan agar pasien mampu mengkoordinasikan
gerakan berjalan gerakan berjalan dengan menggunakan alat bantu, baik
berupa orthosis, protesis ataupun alat bantu kruk. 21
Pola latihan berjalan dengan kruk:
a. Point Gait
 Four Point Gaits
Pola berjalan terdiri dari kruk disebelah kanan, kaki kiri, kruk
disebelah kiri dan kaki kanan. Ini merupakan pola jalan yang paling
stabil karena ada 3 titik yang selalu kontak dengan lantai. Tehnik ini
dugunakan oleh pasien dengan ataxia dan kelemahan anggota gerak
bawah.

 Three Point Gaits


Hanya 3 titik yang mengalami kontak dengan lantai dan membutuhjab
jeseimbangan tubuh yang baik. Tehnik ini digunakan oleh pasien
dengan fraktur atau amputasi pada anggota gerak bawah. Rangkaian
pola jalannya kedua kruk bergerak kedepan secara bersamaan diikuti

30
oleh kaki yang mengalami kelemahan, berat tubuh berpindah tertumpu
pada kruk dan kaku yang sehat melangkah ke depan

 Two Point Gaits


Pola jalannya gerakan bersamaan/serentak antara kruk sebelah kanan
dan kaki kiri, diikuti oleh gerakan serentak/bersamaan antara kruk
sebelah kiri dan kaki kanan. Pola jalannya ini lebih cepat dari four
point gaits. Pola jalan ini digunakan pada pasien ataxia dan untuk
mengurangi berat tubuh pada anggota gerak bawah.

 Tripod (drag to) Gaits


Untuk pasien paraplegi. Ketika memperbaiki keseimbangan tubuh
mereka, berlanjut dengan swing gaits. Tripod gaits stabil tapi lamban
dan melelahkan. Pada tipe tripod alternate gait, rangkaian pola
jalannya terdiri dari kruk sebelah kanan, kruk sebelah kiri dan kedua

31
anggota gerak bawah ditarik kearah kruk, sedangkan pada tripod gaits
simultaneous gait, rangkaian berjalannya terdiri dari kedua kruk
bergerak secara bersamaan dan kemudian diikuti oleh kedua anggota
gerak bawah yang ditarik kearah kruk.
b. Swing Gait
 Swing To Gaits
Pola jalan dengan kedua kruk bergerak kedepan secara bersamaan,
tangan menekan ke bawah dan kedua anggota gerak bawah diangkat
dan diayun kearah kruk.
 Swing Through Gait
Pola jalannya kedua kruk bergerak kedepan secara bersamaan, tangan
menekan ke bawah dan kedua anggota gerak bawah diangkat dan
diayun kedepan melebihi kruk. Tehnik ini menggunakan energi yang
besar dan sulit dilakukan. Perlu keseimbangan tubuh yang baik dan
kekuatan otot abdomen serta anggota gerak atas yang kuat.

Pola berjalan untuk aktivitas seperti menaiki tangga adalah kaki


yang sehat diikuti oleh gerakan kedua kruk secara bersamaan dan
kemudian diikuti oleh kaki yang mengalami kelemahan, pada saat
menuruni tangga rangkaian pola jalannya dilakukan kebalikannya.

2) Terapi okupasi

32
Terapi okupasi meliputi koordinasi aktivitas kehidupan sehari-hari
(AKS) untuk meberikan latihan dan pengembalian fungsi sehingga
penderita bisa melakukan pekerjaan / kegiatan normalnya.24

3) Psikologi
Untuk memberikan motivasi dan penanaman sugesti positif
terhadap pasien agar mendapatkan kembali kepercayan dirinya untuk
melakukan kegiatan sehari-hari.

4) Sosial medik
Tujuannya adalah untuk menyelesaikan, memecahkan masalah
social yang berkaitan dengan penyakit penderita, seperti masalah penderita
dalam keluarga maupun lingkungan masyarakat.24

33
BAB III

KESIMPULAN

Penanganan fraktur femur secara umum yaitu reposisi,


imobilisasi dan rehabilitasi. Secara khusus dibahas mengenai
penanganan rehabilitasi medik pada pasien fraktur femur meliputi
fisioterapi, ortotik prostetik, terapi okupasi, psikologi dan sosial medis
perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah komplikasi dan
mempercepat proses perbaikan aktivitas kehidupan harian pasien.
Dimulai dengan latihan fisioterapi berupa Static Contraction, passive
movement dan active movement. Kemudian 3 hari pasca operasi dapat
dilakukan latihan duduk ongkang-ongkang dan latihan berdiri. Hari ke-
7 sampai 10 selama 4-6 minggu, kemudian Partial Weight Bearing 6
minggu berikutnya. Full weight bearing diperbolehkan setelah 12
minggu. Operasi pengangkatan fiksasi interna dilakukan paling cepat
setelah 12 bulan bila konsolidasi telah sempurna dan bila diperlukan
dapat ditunggu sampai 2 tahun.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO, (2011). Decade of Action on Road Safety : Indonesia. 30 Januari 2017.


www.who.searo/int
2. Depkes R.I. (2007). Riset Kesehatan Dasar. Diunduh 30 Januari 2017 .
http://www.depkes.co.id
3. Ropyanto CB. Tesis Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan status
fungsional pasien paska ORIF fraktur ekstremitas bawah di RS ortopedi
Prof. Soeharto Surakarta. 2011
4. Oglen. JA.2000. Skeletal Injury in The Child Second Edition. New York:
W.B Saunders Company. Pg 857-72
5. AAPC. Fracture classification in ICD-10-CM. 2013.Medline Plus.
Dislocation. US National Library of Medicine. 2013.
6. Hoppenfeld, Stanley and Nasantha Murthy. 2000. Treatment and
Rehabilitation of Fractures. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkin.
7. Joint Pain Expert. Joint-pain-expert.org. [Online].; 2016 [cited 2017 Januari
30. Available from: http://www.joint-pain-expert.net/elbowdislocation.html
8. Lateef F. Riding motorcycles: is it a lower limb hazard? Singapore Med J
2002;43(11):566-9
9. Apley's System of Orthopaedics and fractures, 9th edition. 2010.
10. Rasjad C. Trauma. Dalam: Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makassar:
Bintang Lamumpatue; 2000. h.343-536.
11. Sela Y, et al. pediatric femoral shaft fractures : treatment strategies
according to age -13 year of experience in one medical center. Journal of
orthopaedic surgery. 2013 p1-6
12. Delahay JN, Sauer S. Skeletal Trauma. In: Wiesel S, Delahay JN, editor.
Essentials of orthopedic surgery. 3rd ed..Washington: Springer; 2007. p.40-
83.
13. McRae E. The diagnosis of fractures and principles of treatment. In: McRae
E, Esser R, editor. Practical fracture treatment. 4th ed. Churchil Livingstone.
p.25-54.

35
14. Okoro OI, Ohadugha OC. The anatomic pattern of fractures and dislocations
among accident victims in Owerri,Nigeria. Nigerian J of Surg Res
2006;8:54-6.
15. Skinner H, Smith W, Shank J, Diao E, Lowenberg D. Musculoskeletal
Trauma Surgery. In: Skinner H, editor. Current diagnosis and treatment in
orthopedics. 3rd ed. New York: McGraw-Hill; 2003. p.76-150.
16. Buckley R, Panaro CDA. General Principles of Fracture Care [online]. [cited
2017 Januari 30]; Available from: URL:
http://www.emedicine.com/orthoped/topic636.html
17. Department of Orthopaedic Surgery University of Stellenbosch. External
fixator [online]. 2016 [cited 2017 Januari 30]; Available from: URL:
http://www0.sun.ac.za/ortho/webct-ortho/general/exfix/exfix.html
18. Koval K, Zuckerman JD. Lower extremity fractures and dislocations. In:
Koval K, Zuckerman JD, editor. Handbook of fractures. 3rd ed. Lippincot
Williams & Wlkins; 2006. p.347-54.
19. Armis, Prinsip-pinsip Umur Fraktur dalam Trauma Sistem Muskuloskeletal,
FKUGM, Yogyakarta
20. Salter, Robert B. 1971. Textbook of Disorders and Injuries of The
Musculoskeletal System. Baltimore: Waverly Inc.
21. Heri Priatna, 1985; Exercise Theraphy; Akademi Fisioterapi Surakarta.
22. Kisner, C and Colby, L. A, 1996; Therapeutik Exercise Foundation and
Thecniques; Third Edition, F. A. Davis Company, Philadelphia, hal 163.
23. Sjamsuhidayat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta. 2005.
24. Sagaran, V.C, Manjas, M, Rosyid, R. 2017. Distribusi Fraktur Femur yg
Dirawat di Rumah Sakit Dr. M. Djamil, Padang (2011 – 2012). Jurnal
Kesehatan Andalas, 6(3).
25. Riskesdas, 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

36

Anda mungkin juga menyukai