Dosen Pembimbing:
dr. Rusdani, MKKK
Disusun Oleh:
AULIA CESARANY
61120031
Sunar adalah seorang pekerja kantoran berusia 49 tahun, datang ke Dokter Praktek Mandiri,
dengan keluhan sering kencing yang dialami sejak 1 (satu) bulan terakhir. Sunar sering
terbangun 4-5 kali semalam untuk buang air kecil. Sunar juga mengeluh selalu haus dan
tenggorokan terasa kering dan sering lapar. Sunar juga mengeluhkan sejak 1 bulan terakhir
sering kesemutan pada tangan dan kakinya. Sunar juga mengalami luka di daerah Betis kanan
yang tidak sembuh-sembuh sejak 1 bulan terakhir. Dari anamnesis didapatkan gejala poliuri,
polidipsi dan polivagi, neuropati. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan ulkus pada betis kaki
kanan. Dokter menganjurkan kepada Sunar untuk dilakukan pemeriksaan Gula darah. Hasil
pemeriksaan GDS didapatkan hasil 250 mg/dl. Dokter juga memeriksaan GDP, didapatkan
hasilnya 210 mg/dl, dilanjutkan dengan pemeriksaan GD 2 jam PP, didapatkan hasil 230 mg/dl.
Berdasarkan hasil tersebut
Dokter menganjurkan untuk menjalani terapi diet dan olahraga dan juga pengobatan untuk
menstabilkan kadar gula darahnya. Karena apabila kadar gula darah tubuh meningkat terus
dapat mengakibatkan berbagai komplikasi pada organ-organ tubuh.Dokter mengajurkan
kepada Sunar agar rutin menjalani pengobatan. Sunar sempat juga menanyakan kepada dokter
apakah kondisi yang dialaminya sekarang dapat menurun pada anaknya dan apakah dapat
terjadi pada usia anak-anak.Dokter menjelaskan bahwa penyakit ini memiliki resiko untuk
diturunkan pada anaknya dan memang ada juga jenis penyakit ini menyerang pada usia anak-
anak. Bagaimana anda menjelaskan kondisi yang dialami oleh Sunar ?
I. TERMINOLOGI ASING
1. Poliuri : Banyaknya kencing akibat hiperglikemia, maka terjadilah penambahan
bentuk air kemih dengan jelas penarikan cairan ke sel-sel tubuh.
2. Polidipsi : yaitu banyak minum. Sebenarnya keluhan ini merupakan reaksi tubuh
akan adanya poliuria yang menyebabkan kekurangan cadangan air
tubuh.
3. Polivagi : adalah keadaan dimana nafsu makan meningkat yang disebabkan oleh
berkurangnya cadangan gula darah.
4. Neuropati : gangguan fungsional atau perubahan patologis pada sistem saraf tepi,
kadang kadang penggunaannya dibatasi hanya untuk lesi noninflamasi
sebagai lawan dari lesi neuritis
5. GDS : Gula Darah Sementara yang merupakan parameter pemeriksaan kadar
gula darah yang dapat diukur setiap saat
6. GDP : Gula Darah Puasa, Pemeriksaan kadar gula darah puasa merupakan
kadar glukosa darah yang diukur setelah puasa selama 8 – 12 jam.
7. Ulkus : Defek lokal, atau ekskavasi permukaan suatu organ atau jaringan,
akibat pengelupasan jaringan radang yang nekrotik
8. GD 2 jam PP : Pemeriksaan lanjutan setelah gula darah puasa yakni dengan mengukur
tingkat gula darah 2 jam setelah makan.
III. HIPOTESIS
1. Luka yang tak kunjung sembuh yang dialami sunar diakibatkan banyaknya gula dalam
darah yang tidak terdistribusi ke sel tubuh dengan baik ketidakseimbangan ini memicu
kerusakan organ juga menurunkan daya tahan tubuh terhadap pathogen yang
menyerang tubuh.
2. Penyebab sering kencing di malam hari berkisar dari gaya hidup hingga masalah
kesehatan. Berbagai masalah kesehatan dapat menyebabkan nokturia. Namun,
penyebab umumnya adalah infeksi saluran kemih (ISK) atau infeksi kandung kemih.
3. Pada penderita diabetes, polidipsia disebabkan oleh peningkatan kadar glukosa darah.
Ketika kadar glukosa darah menjadi tinggi, ginjal menghasilkan lebih banyak urin
dalam upaya untuk menghilangkan glukosa ekstra dari tubuh. Sementara itu, karena
tubuh kehilangan cairan, badan kita memberi tahu untuk minum lebih banyak untuk
menggantikannya. Hal ini menyebabkan perasaan haus yang intens terkait dengan
kondisi Sunar.
4. Diet mampu memulihkan dan mempertahankan kadar gula darah dalam kisaran yg
normal, sedangkan olahraga adalah bagian terpenting dalam pengobatan penderita
diabetes , hal ini dapat membantu penderita untuk meningkatkan kesensitifan insulin ,
mengontrol berat badan dan meningkatkan kesehatan mental.
5. pasien mengalami rasa lapar karna pasokan gula dalam darah tidak terdistribusi sebagai
tenaga sehingga tubuh bereaksi dengan rasa lapar.
6. Tingginya kadar gula darah membuat tubuh kesulitan untuk melawan bakteri.
Akibatnya, luka betis yang dialami pak senar tak kunjung sembuh atau semakin parah.
7. Terdapat gangguan saraf / neuropati diatndai dengan adanya kesemutan ,nyeri ataupun
mati rasa. Rasa kesemutan diakibatkan rusaknya syaraf akibat tingginya kadar gula
darah.
IV. SKEMA
Sunar
Laki- Laki
49 Tahun
Sering kencing sejak 1 bulan 1) Inspeksi: terdapat ulkus 1) GDS = 250 mg/dl
terakhir. pada betis kaki kanan 2) GDP = 210 mg/dl
3) GD 2 JAM PP = 230
Keluhan Tambahan :
mg/dl
1) Sering terbangun 4-5 kali
semalam untuk buang air
kecil
2) Tenggorokan terasa kering
3) Sering lapar
4) Luka didaerah betis kanan
yang tidak sembuh-sembuh
sejak 1 bulan terakhir
5) Kesemutan pada tangan dan
kaki sejak 1 bulan terakhir
Diagnosa Kerja :
Diagnosa Banding :
Diabetes Melitus Type 1
Tata Laksana :
Riwayat keluarga atau faktor keturunan merupakan unit informasi pembawa sifat yang
berada di dalam kromosom sehingga mempengaruhi perilaku. Adanya kemiripan
tentang penyakit DM yang di derita keluarga dan kecenderungan pertimbangan dalam
pengambilan keputusan adalah contoh pengaruh genetik. Responden yang memiliki
keluarga dengan DM harus waspada. Resiko menderita DM bila salah satu orang tuanya
menderita DM adalah sebesar 15%. Jika kedua orang-tuanya memiliki DM adalah 75%
(Diabetes UK, 2010).
Riwayat melahirkan bayi dengan berat lahir bayi > 4000 gram atau
pernah menderita DM saat hamil (DM Gestasional)
Pengaruh tidak langsung dimana pengaruh emosi dianggap penting karena dapat
mempengaruhi hasil pemeriksaan dan pengobatan. Aturan diit, pengobatan dan
pemeriksaan sehingga sulit dalam mengontrol kadarbula darahnya dapat memengaruhi
emosi penderita.
B. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi
Overweight/berat badan lebih (indeks massa tubuh > 23kg/m2 )
Salah satu cara untuk mengetahui kriteria berat badan adalah dengan menggunakan
Indeks Masa Tubuh (IMT). Berdasarkan dari BMI atau kita kenal dengan Body Mass
Indeks diatas, maka jika berada diantara 25-30, maka sudah kelebihan berat badan dan
jika berada diatas 30 sudah termasuk obesitas. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan
untuk mengurangi berat badan yaitu :
2) Ketika makan diluar rumah, berikan sebagian porsi untuk anda untuk teman atau
anggota keluarga yang lain.
3) Awali dengan makan buah atau sayuran setiap kali anda makan.
4) Ganti snack tinggi kalori dan tinggi lemak dengan snack yang lebih sehat.
Lakukan kegiatan fisik dan olahraga secara teratur sangat bermanfaat bagi setiap orang
karena dapat meningkatkan kebugaran, mencegah kelebihan berat badan,
meningkatkan fungsi jantung, paru dan otot serta memperlambat proses penuaan.
Olahraga harus dilakkan secara teratur. Macam dan takaran olahraga berbeda menurut
usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan dan kondisi kesehatan. Jika pekerjaan sehari-hari
seseorang kurang memungkinkan gerak fisik, upayakan berolahraga secara teratur atau
melakukan kegiatan lain yang setara. Kurang gerak atau hidup santai merupakan faktor
pencetus diabetes.
Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan antara merokok dengan kejadian DM tipe
(p = 0,000). Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Houston yang juga mendapatkan
bahwa perokok aktif memiliki risiko 76% lebih tinggi terserang DM Tipe 2 dibanding
dengan yang tidak (Irawan, 2010). Dalam asap rokok terdapat 4.000 zat kimia
berbahaya untuk kesehatan, dua diantaranya adalah nikotin yang bersifat adiktif dan
yang bersifat karsinogenik.
Hipertensi (TD > 140/90 mmHg)
Jika tekanan darah tinggi, maka jantung akan bekerja lebih keras dan resiko untuk
penyakit jantung dan diabetes pun lebih tinggi. Seseorang dikatakan memiliki tekanan
darah tinggi apabila berada dalam kisaran > 140/90 mmHg. Karena tekanan darah
tinggi sering kali tidak disadari, sebaiknya selalu memeriksakan tekanan darah setiap
kali melakukan pemeriksaan rutin.
a. Patofisiologi DM tipe 1
DM tipe-1 ini disebabkan oleh karena adanya proses autoimun / idiopatik yang
menyebabkan defisiensi insulin absolut. Ditandai dengan ketidakmampuan
pankreas untuk mensekresikan insulin dikarenakan kerusakan sel beta yang
disebabkan oleh proses autoimun
b. Patofisiologi DM tipe 2
DM tipe-2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu :
1. Resistensi insulin
2. Disfungsi sel B pancreas
DM tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun karena sel
sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan
ini lazim disebut sebagai “resistensi insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi akibat
dari obesitas dan kurang nya aktivitas fisik serta penuaan. Pada penderita DM tipe 2
dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi
pengrusakan sel-sel B langerhans secara autoimun seperti DM tipe 2. Defisiensi fungsi
insulin pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak absolut.
1) Anamnesis
Banyak pasien yang menderita diabetes mellitus tipe 1 tidak memiliki gejala
awal sehingga deteksi dini dari penyakit ini cukup sulit. Gejala klinis pasien
dengan diabetes mellitus tipe 1 umumnya berupa poliuria, polidipsia,
polifagia, dan menurunnya berat badan secara signifikan meskipun pasien
makan dengan adekuat. Meski demikian, pasien dengan diabetes mellitus
tipe 1 juga bisa terdiagnosis setelah berada dalam kondisi akut, yaitu
ketoasidosis diabetik.
Secara garis besar, pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 didiagnosis pada
usia yang lebih muda (<35 tahun) dan memiliki indeks massa tubuh (IMT)
yang lebih rendah (<25 kg/m2). Pasien diabetes mellitus tipe 1 juga lebih
rentan mengalami penurunan berat badan, ketoasidosis, dan kadar glukosa
melebihi 20 mmol/L (>360 mg/dL).
2) Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisik pada pasien diabetes mellitus tipe 1 bisa normal.
Jika pasien datang dalam keadaan akut, yaitu ketoasidosis diabetik, bisa
didapatkan respirasi Kussmaul, tanda-tanda dehidrasi, hipotensi, dan
perubahan status mental.
3) Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakkan diagnosis diabetes mellitus tipe 1 diperlukan beberapa
pemeriksaan seperti pemeriksaan gula darah, hemoglobin A1C, dan
pemeriksaan autoantibodi sel beta pankreas.
a) Pemeriksaan Gula Darah
Pasien diabetes mellitus tipe 1 memiliki kadar glukosa darah puasa ≥
126 mg/dL atau kadar glukosa darah sewaktu atau Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) ≥ 200 mg/dL. Perlu dicatat bahwa pemeriksaan
ini hanya menunjukkan kondisi hiperglikemia, tetapi tidak bisa
membedakan diabetes mellitus tipe 1 dari diagnosis banding lainnya.
c) Pemeriksaan Autoantibodi
Diabetes mellitus tipe 1 dapat diidentifikasi dengan penanda genetik dan
kehadiran autoantibodi spesifik. Penanda antibodi dari autoimun
terhadap sel beta pankreas antara lain GAD (glutamic acid
decarboxylase antibody), IA-2 (islet antigen-2), IAA (insulin antibody),
dan ICA (islet cell cytoplasmic antibody). Sebanyak 85-90% pasien
yang memiliki autoantibodi ini pada akhirnya akan menderita penyakit
diabetes mellitus tipe 1.
d) Pemeriksaan C-Peptida
C-peptida dapat diperiksa untuk membantu membedakan antara
diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2. Pada diabetes mellitus tipe 1,
pankreas memproduksi sedikit atau tidak sama sekali insulin dan C-
peptida. Sementara itu, pada diabetes mellitus tipe 2, pankreas
memproduksi insulin tetapi terjadi resistensi, sehingga kadar C-peptida
lebih tinggi.
1) Anamnesis
Anamnesis pada diabetes mellitus tipe 2 dapat meliputi gejala klasik berupa
poliuria, polidipsi, dan polifagi. Keluhan infeksi kulit berupa pruritus kronik
pada seluruh kulit dan keluhan vaginitis seperti keputihan, kemerahan pada
vagina, juga dapat ditemukan.
Gejala lain terkait hiperglikemia yang juga perlu ditanyakan, yaitu berat
badan menurun, parestesia ekstremitas bawah, luka yang sulit sembuh dan
ulkus diabetik, masalah penglihatan, serta disfungsi seksual. Keluhan
gastrointestinal juga dapat dialami berupa mual, muntah, konstipasi atau
diare, disfagia. Anamnesis juga meliputi riwayat penurunan penglihatan
yang dapat menandakan adanya komplikasi mikrovaskular berupa retinopati
diabetik yang perlu dirujuk untuk penanganan lebih lanjut.
DM Tipe 2 Asimptomatik
Terkadang dapat diawali dengan asimptomatik pada pasien obesitas dan
terdeteksi saat pemeriksaan gula darah. Berdasarkan studi yang ada,
sebanyak 40% dari anak-anak dan remaja dengan DM tipe 2 datang tanpa
gejala atau asimtomatik, namun terdiagnosis secara tidak sengaja dari
adanya glukosuria pada pemeriksaan urinalisis. Maka dari itu, skrining
untuk DM tipe 2 sangat diperlukan terutama pada kelompok dengan faktor
risiko tertentu, seperti obesitas.
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 meliputi
pemeriksaan tekanan darah, terkadang didapatkan hipertensi dan dapat pula
ditemukan hipotensi ortostatik yang menunjukkan pasien mengalami
neuropati otonom. Selain itu, perlu dilihat adanya tanda hiperglikemik
hiperosmolar, seperti tanda dehidrasi, napas kussmaul, hipotensi, letargi,
dan penurunan kesadaran.
Pada kulit, sering didapatkan infeksi kulit, terutama infeksi jamur seperti
vulvovaginitis. Selain itu, seringkali ditemukan akantosis nigrikans, pada
kulit di daerah lipatan ketiak, selangkangan, leher, pundak mengalami
hiperpigmentasi dan hiperkeratosis.
a) Pemeriksaan Neurologis
Pada pasien DM tipe 2 sering didapatkan komplikasi neuropati. Hal
yang perlu diperiksa adalah kemampuan sensorik pasien terhadap suhu
dan sentuhan serta refleks fisiologis. Selain itu, dapat ditemukan
disestesia atau parestesia.
b) Pemeriksaan Kaki
Pencegahan komplikasi peripheral vascular disease merupakan
komplikasi DM tipe 2 yang dimana perfusi ke jaringan tidak cukup,
yang disebabkan karena sumbatan akibat arteriosklerosis yang
membentuk emboli atau trombus dengan memeriksa tanda-tanda
hipoperfusi pada kaki, yang meliputi hilangnya perfusi, parestesi,
paralisis, nyeri, dan pucat.
3) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang utama untuk diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2)
adalah pemeriksaan kadar gula darah. Diabetes melitus tipe 2 didefinisikan
sebagai kadar gula darah puasa ≥ 126 mg/dL, kadar gula darah 2 jam post
prandial ≥ 200 mg/dL, HbA1C ≥ 6,5, glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL.
Biasanya diperlukan pemeriksaan ulang kadar gula darah pada hari kedua
untuk memastikan diagnosis diabetes melitus tipe 2.
Nilai HbA1c di atas 6,5% menunjukkan kontrol gula darah yang kurang
baik selama 2 sampai 3 bulan sebelum pengukuran. Nilai cut-off 6,5%
dipilih karena risiko retinopathy DM meningkat bila diatas nilai
tersebut. Keuntungan pengukuran HbA1c adalah pasien tidak perlu
berpuasa dan meminum sesuatu.
d) Pemeriksaan Funduskopi
Pemeriksaan funduskopi bertujuan untuk memeriksa segmen posterior
mata, seperti badan vitreus, retina, diskus optikus, dan koroid.
Pemeriksaan dapat dipermudah dengan melakukan dilatasi pupil pasien
sebelum melakukan funduskopi, dengan sebelumnya dilakukan
pemeriksaan tekanan intraokular (TIO) menggunakan tonometry.
Dilatasi pupil dengan midriatikum, seperti atropin, sebaiknya tidak
dilakukan apabila TIO meningkat.
b) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan tanda-tanda vital yang normal
dan tidak ada pemeriksaan fisik yang spesifik pada diabetes gestasional.
Pemeriksaan fisik berupa perhitungan indeks massa tubuh pada awal
kehamilan perlu dilakukan untuk mengetahui faktor risiko obesitas.
Pengukuran tekanan darah juga diperlukan untuk melihat apakah ada faktor
risiko hipertensi.
c) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan kadar gula darah merupakan
aspek yang sangat penting untuk mendiagnosis diabetes gestasional.
2) Ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) perlu dilakukan untuk melihat pertumbuhan dan
perkembangan fetus. Berdasarkan hasil USG, dokter kandungan dan
endokrin dapat melakukan evaluasi tatalaksana pada bayi maupun ibu
dan dapat membuat perencanaan tatalaksana persalinan. Pada diabetes
gestasional, seringkali terjadi makrosomia yang bisa menyebabkan bayi
tidak dapat lahir per vagina.
7) Menjelaskan Penatalaksanaan Diabetes Melitus secara biolistic ( Farmakologi
dan Non farmakologi )
a. Penatalaksanaan Diabtes Mellitus type 1
Tujuan penatalaksanaan diabetes mellitus tipe 1 adalah menjaga kualitas hidup
pasien dan menurunkan risiko komplikasi. Hal ini dapat dicapai dengan
pemberian insulin eksogen, meminimalisir episode hipoglikemia, mengelola
faktor risiko kardiovaskular, dan menyediakan dukungan psikososial.
a) Terapi Insulin
Regimen insulin yang ideal haruslah mampu mempertahankan glukosa
darah dalam kisaran fisiologis normal, selama mungkin, sembari tetap
memungkinkan fleksibilitas dalam hal waktu makan dan aktivitas. Regimen
penggantian insulin yang banyak digunakan umumnya menggabungkan
beberapa komponen, termasuk insulin basal untuk membatasi
glukoneogenesis dan ketogenesis preprandial, diikuti dengan insulin waktu
makan dan koreksi insulin untuk mengatasi hiperglikemia.
2) Insulin Bolus
Insulin bolus merupakan insulin kerja cepat yang diberikan dengan
makanan untuk mengimbangi konsumsi karbohidrat atau diberikan satu
kali untuk mengoreksi keadaan hiperglikemia. Contoh insulin kerja
cepat adalah aspart, glulisine, dan lispro.
c) Diet
Intervensi diet meliputi edukasi tentang cara mengatur waktu, ukuran,
frekuensi, dan komposisi makanan sehingga pasien terhindar dari
hipoglikemia atau hiperglikemia postprandial. Semua pasien yang
menggunakan insulin harus memiliki rencana diet yang komprehensif dan
dibuat oleh bantuan ahli gizi. Manfaat diet ketogenik dalam terapi diabetes
masih kontroversial karena studi yang ada masih menunjukkan hasil yang
bertentangan. Selain diet, edukasi pula pasien untuk berhenti merokok.
d) Aktivitas Fisik
Pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 perlu melakukan aktivitas fisik untuk
menjaga kebugaran tubuh mereka. Meski demikian, perlu diberikan edukasi
agar tidak terjadi hipoglikemia setelah aktivitas fisik berat selama lebih dari
30 menit. Minta pasien untuk mengukur kadar gula darah sebelum dan
setelah aktivitas fisik. Kemudian, edukasi bahwa pasien mungkin
memerlukan makanan ringan tambahan jika didapatkan kadar gula darah
terlalu rendah.
e) Follow Up
Pemeriksaan tahunan diperlukan untuk mengecek adanya komplikasi
mikrovaskuler dan makrovaskuler. Pemeriksaan ini meliputi funduskopi,
pemeriksaan kaki untuk mendeteksi neuropati dan ulkus diabetikum, serta
pemeriksaan ginjal untuk mendeteksi nefropati. Pendeteksian komplikasi
sedini mungkin dapat mengurangi risiko morbiditas di masa depan.
a) Terapi Medikamentosa
1) Metformin
Metformin merupakan obat hipoglikemik oral (OHO) golongan
biguanid yang digunakan sebagai terapi lini pertama untuk diabetes
mellitus tipe 2. Metformin dapat digunakan sebagai monoterapi
bersamaan dengan modifikasi gaya hidup, atau kombinasi dengan obat
diabetes lainnya, ataupun insulin.
2) Sulfonilurea
Obat golongan sulfonilurea generasi kedua seperti glibenclamide,
glipizide, dan glimepiride dapat digunakan sebagai terapi lini kedua
diabetes mellitus tipe 2 bila terdapat kontraindikasi metformin.
Penggunaannya harus lebih hati-hati pada pasien kardiovaskular,
gangguan hepar berat, usia diatas 60 tahun, dan risiko hipoglikemia.
3) Insulin
Terapi inisiasi insulin pada DM tipe 2 diawali dengan kombinasi
modifikasi gaya hidup, OHO, dan insulin basal. Terapi inisiasi insulin
untuk pasien DM tipe 2 dilakukan pada DM tipe 2 baru dengan HbA1c
≥9% atau GDP ≥250 mg/dl atau GDS ≥300 mg/dl dengan disertai tanda
dekompensasi metabolik, seperti HHS, atau pasien DM tipe 2 lama yang
mendapat terapi kombinasi OHO namun target terapi belum tercapai.
b) Terapi Suportif
Terapi suportif pada DM tipe 2 dapat dilakukan dengan mengurangi stress
emosional, modifikasi gaya hidup dan pengaturan diet sesuai jadwal makan
dan pembagian jumlah kalori. Pasien dengan overweight dan obesitas
disarankan untuk menurunkan berat badan minimal 7% dalam 1 sampai 2
tahun. Selain itu, pasien juga harus diedukasi untuk menghentikan
kebiasaan merokok dan melakukan olahraga, minimal latihan aerobik
moderate minimal 150 menit per minggu.
c) Diet
Penatalaksanaan diet pasien DM tipe 2 perlu ditekankan mengenai
keteraturan jadwal makan, jenis, dan jumlah asupan kalori sesuai berat
badan ideal (BBI). Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari
karbohidrat, lemak, protein, natrium, dan serat.
d) Aktivitas Fisik
Program olahraga secara teratur dapat dilakukan 3 sampai 5 kali per minggu
selama 30 sampai 45 menit, dengan total 150 menit per minggu, dengan jeda
latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Olahraga yang dianjurkan
bersifat aerobik dengan intensitas sedang (jalan cepat, bersepeda santai,
jogging, berenang).
Latihan aerobik berat, yaitu latihan yang mencapai denyut jantung lebih dari
70% maksimal juga dapat dilakukan. Durasi yang disarankan untuk latihan
aerobik berat adalah 75 sampai 90 menit per minggu untuk pasien yang
usianya lebih muda.
3) Diet
Pasien diabetes gestasional sebaiknya berkonsultasi dengan ahli gizi
khusus karena kebutuhan kalori perlu disesuaikan dengan kondisi
masing-masing individu. Secara umum, kebutuhan kalori pada wanita
dengan diabetes gestasional adalah 35-40 kcal/kg jika underweight, 30-
34 kcal/kg pada berat badan yang ideal, dan 23-25 kcal/kg jika
overweight.
1) Terapi Insulin
Sampai saat ini insulin masih menjadi drug of choice untuk diabetes
gestasional. Insulin tidak melewati plasenta sehingga aman diberikan
selama kehamilan.
3) Metmorfin
Metformin merupakan obat oral pilihan karena memiliki risiko yang
lebih rendah untuk terjadinya hipoglikemia neonatus dan pertambahan
berat badan maternal. Meskipun demikian, metformin sedikit
meningkatkan risiko prematuritas. Metformin diberikan 500 mg sekali
sehari pada awal pengobatan dan dapat ditingkatkan sampai 2500 mg
per hari dibagi dalam beberapa dosis. Glibenclamide dapat diberikan
dengan dosis awal 2,5 mg satu kali sehari 1 jam sebelum makan dan
maksimal sampai 10 mg. Namun 15-40% pasien yang menggunakan
medikasi oral untuk diabetes gestasional tetap membutuhkan insulin.
4) Aspirin
Beberapa studi terbaru merekomendasikan pemberian aspirin dosis rendah 50-
150 mg/hari (biasanya 80 mg/hari) pada akhir trimester pertama kehamilan sampai
dengan kelahiran bayi untuk menurunkan risiko preeklampsia pada ibu hamil dengan
diabetes gestasional
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan komplikasi akut
dan kronis. Adapun beberapa komplikasi Diabetes Melitus yaitu Sindrom hipoglikemia
ditandai dengan gejala klinis penderita merasa pusing, lemas, gemetar, pandangan
berkunang-kunang, pitam (pandangan menjadi gelap), keluar keringat dingin, detak
jantung meningkat, sampai hilang kesadaran.
Apabila tidak segera ditolong dapat terjadi kerusakan otak dan akhirnya
kematian. Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita diabetes tipe 1, yang dapat
dialami 1 – 2 kali perminggu. Kemudian Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar
gula darah melonjak secara tibatiba. Keadaan ini dapat disebabkan antara lain oleh
stress, infeksi, dan konsumsi obat-obatan tertentu.