Anda di halaman 1dari 33

TUTORIAL SKENARIO 1

BLOK GANGGUAN ENDOKRIN DAN METABOLISME

Dosen Pembimbing:
dr. Rusdani, MKKK

Disusun Oleh:
AULIA CESARANY
61120031

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERISTAS BATAM
2022
SKENARIO I

GANGGUAN BERKEMIH DI MALAM HARI

Sunar adalah seorang pekerja kantoran berusia 49 tahun, datang ke Dokter Praktek Mandiri,
dengan keluhan sering kencing yang dialami sejak 1 (satu) bulan terakhir. Sunar sering
terbangun 4-5 kali semalam untuk buang air kecil. Sunar juga mengeluh selalu haus dan
tenggorokan terasa kering dan sering lapar. Sunar juga mengeluhkan sejak 1 bulan terakhir
sering kesemutan pada tangan dan kakinya. Sunar juga mengalami luka di daerah Betis kanan
yang tidak sembuh-sembuh sejak 1 bulan terakhir. Dari anamnesis didapatkan gejala poliuri,
polidipsi dan polivagi, neuropati. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan ulkus pada betis kaki
kanan. Dokter menganjurkan kepada Sunar untuk dilakukan pemeriksaan Gula darah. Hasil
pemeriksaan GDS didapatkan hasil 250 mg/dl. Dokter juga memeriksaan GDP, didapatkan
hasilnya 210 mg/dl, dilanjutkan dengan pemeriksaan GD 2 jam PP, didapatkan hasil 230 mg/dl.
Berdasarkan hasil tersebut
Dokter menganjurkan untuk menjalani terapi diet dan olahraga dan juga pengobatan untuk
menstabilkan kadar gula darahnya. Karena apabila kadar gula darah tubuh meningkat terus
dapat mengakibatkan berbagai komplikasi pada organ-organ tubuh.Dokter mengajurkan
kepada Sunar agar rutin menjalani pengobatan. Sunar sempat juga menanyakan kepada dokter
apakah kondisi yang dialaminya sekarang dapat menurun pada anaknya dan apakah dapat
terjadi pada usia anak-anak.Dokter menjelaskan bahwa penyakit ini memiliki resiko untuk
diturunkan pada anaknya dan memang ada juga jenis penyakit ini menyerang pada usia anak-
anak. Bagaimana anda menjelaskan kondisi yang dialami oleh Sunar ?

I. TERMINOLOGI ASING
1. Poliuri : Banyaknya kencing akibat hiperglikemia, maka terjadilah penambahan
bentuk air kemih dengan jelas penarikan cairan ke sel-sel tubuh.
2. Polidipsi : yaitu banyak minum. Sebenarnya keluhan ini merupakan reaksi tubuh
akan adanya poliuria yang menyebabkan kekurangan cadangan air
tubuh.
3. Polivagi : adalah keadaan dimana nafsu makan meningkat yang disebabkan oleh
berkurangnya cadangan gula darah.
4. Neuropati : gangguan fungsional atau perubahan patologis pada sistem saraf tepi,
kadang kadang penggunaannya dibatasi hanya untuk lesi noninflamasi
sebagai lawan dari lesi neuritis
5. GDS : Gula Darah Sementara yang merupakan parameter pemeriksaan kadar
gula darah yang dapat diukur setiap saat
6. GDP : Gula Darah Puasa, Pemeriksaan kadar gula darah puasa merupakan
kadar glukosa darah yang diukur setelah puasa selama 8 – 12 jam.
7. Ulkus : Defek lokal, atau ekskavasi permukaan suatu organ atau jaringan,
akibat pengelupasan jaringan radang yang nekrotik
8. GD 2 jam PP : Pemeriksaan lanjutan setelah gula darah puasa yakni dengan mengukur
tingkat gula darah 2 jam setelah makan.

II. RUMUSAN MASALAH


1. Apa hubungan luka dengan penyakit Sunar?
2. Apa yang menyebabkan bapak Sunar sering buang air kecil pada malam hari?
3. Mengapa bapak Sunar sering merasa haus?
4. Apa yang mempengaruhi diet dan olahraga dengan gula darah?
5. Apa penyebab polivagia pada Sunar?
6. Mengapa luka pada betis bapak Sunar tidak sembuh 1 bulan terakhir?
7. Mengapa Sunar sering mengalami kesemutan?

III. HIPOTESIS
1. Luka yang tak kunjung sembuh yang dialami sunar diakibatkan banyaknya gula dalam
darah yang tidak terdistribusi ke sel tubuh dengan baik ketidakseimbangan ini memicu
kerusakan organ juga menurunkan daya tahan tubuh terhadap pathogen yang
menyerang tubuh.
2. Penyebab sering kencing di malam hari berkisar dari gaya hidup hingga masalah
kesehatan. Berbagai masalah kesehatan dapat menyebabkan nokturia. Namun,
penyebab umumnya adalah infeksi saluran kemih (ISK) atau infeksi kandung kemih.
3. Pada penderita diabetes, polidipsia disebabkan oleh peningkatan kadar glukosa darah.
Ketika kadar glukosa darah menjadi tinggi, ginjal menghasilkan lebih banyak urin
dalam upaya untuk menghilangkan glukosa ekstra dari tubuh. Sementara itu, karena
tubuh kehilangan cairan, badan kita memberi tahu untuk minum lebih banyak untuk
menggantikannya. Hal ini menyebabkan perasaan haus yang intens terkait dengan
kondisi Sunar.
4. Diet mampu memulihkan dan mempertahankan kadar gula darah dalam kisaran yg
normal, sedangkan olahraga adalah bagian terpenting dalam pengobatan penderita
diabetes , hal ini dapat membantu penderita untuk meningkatkan kesensitifan insulin ,
mengontrol berat badan dan meningkatkan kesehatan mental.
5. pasien mengalami rasa lapar karna pasokan gula dalam darah tidak terdistribusi sebagai
tenaga sehingga tubuh bereaksi dengan rasa lapar.
6. Tingginya kadar gula darah membuat tubuh kesulitan untuk melawan bakteri.
Akibatnya, luka betis yang dialami pak senar tak kunjung sembuh atau semakin parah.
7. Terdapat gangguan saraf / neuropati diatndai dengan adanya kesemutan ,nyeri ataupun
mati rasa. Rasa kesemutan diakibatkan rusaknya syaraf akibat tingginya kadar gula
darah.
IV. SKEMA

Sunar
Laki- Laki
49 Tahun

Anamnesis Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Penunjang

Keluhan Utama : Status Lokalis : Femur Dextra Pemeriksaan Gula Darah :

Sering kencing sejak 1 bulan 1) Inspeksi: terdapat ulkus 1) GDS = 250 mg/dl
terakhir. pada betis kaki kanan 2) GDP = 210 mg/dl
3) GD 2 JAM PP = 230
Keluhan Tambahan :
mg/dl
1) Sering terbangun 4-5 kali
semalam untuk buang air
kecil
2) Tenggorokan terasa kering
3) Sering lapar
4) Luka didaerah betis kanan
yang tidak sembuh-sembuh
sejak 1 bulan terakhir
5) Kesemutan pada tangan dan
kaki sejak 1 bulan terakhir

Diagnosa Kerja :

Diabetes Melitus Type 2

Diagnosa Banding :
Diabetes Melitus Type 1

Tata Laksana :

Non medikamentosa :Terapi


diet dan olahraga
V. LEARNING OBJECTIVE
Mahasiswa mampu :

1) Menjelaskan Klasifikasi Diabetes Melitus


2) Menjelaskan Epidemiologi Diabetes Melitus
3) Menjelaskan Etiologi dan Faktor Risiko Diabetes Melitus
4) Menjelaskan Patofisiologi Diabetes Melitus
5) Menjelaskan Manifestasi Klinis Diabetes Melitus
6) Menjelaskan Pendekatan Diagnostik Diabetes Melitus
7) Menjelaskan Penatalaksanaan Diabetes Melitus secara biolistic ( Farmakologi dan
Non farmakologi )
8) Menjelaskan Komplikasi Diabetes Melitus
9) Menjelaskan Prognosis Diabetes Melitus
10) Menjelaskan Penyakit Diabetes Yang Memerlukan Rujukan

VI. PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVE


1) Menjelaskan Klasifikasi Diabetes Melitus
I. Diabetes Melitus Tipe 1 ( Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke
defisiensi insulin absolut )
a. Melalui proses imunologik
b. Idiopatik
II. Diabetes Melitus Tipe 2 ( Bervariasi mulai yang resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relative sampai yang predominan gangguan sekresi insulin
Bersama resistensi insulin.
III. Diabetes Melitus Tipe lain
a. Defek genetic fungsi sel beta
 Kromosom 12, HNF-α ( dahulu MODY 3 )
 Kromosom 7, glucokinase ( dahulu MODY 2 )
 Kromosom 20, HNF-α ( dahulu MODY 1 )
 Kromosom 13, insulin promoter factor ( IPF dahulu MODY 4 )
 Kromosom 17, HNF-1β ( dahulu MODY 5 )
 Kromosom 2, Neuro D1 ( dahulu MODY 6 ) DNA Mitokondria
 Lainnya
b. Defek genetic kerja insulin ; resistensi insulin tipe A, leprechaunism,
sindrom rabson Mendenhall diabetes lipoatrofik, lainnya
c. Penyakit eksokrin pancreas : pankreatitis, trauma/pankreatektomi,
neoplasma, fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus,
lainnya.
d. Endokrinopati : akromegali, sindrom cushing, feokromositoma,
hipertiroidisme dan somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya.
e. Karena obat/ zat kimia : vacor, pentamidine, asam nikotinat,
glukokortikoid, hormone tiroid, diazoxid, aldosteronoma, lainnya.
f. Infeksi : rubella congenital, CMV, lainnya
g. Imunologi ( jarang ) : sindrom stiffman, antibody anti reseptor
insulin, lainnya.
h. Sindroma genetic lainnya : sindrom down, sindrom Klinefelter, sindrom
turner, sindrom wolfram’s

IV. Diabetes Mellitus Gestasional (DMG)


Diabetes Mellitus Gestasional (DMG) adalah semua derajat intoleransi glukosa
dengan onset atau pertama kali diketahui selama kehamilan. GDM dapat
diklasifikasikan sebagai A1GDM dan A2GDM. Diabetes gestasional yang
dikelola tanpa obat dan responsif terhadap terapi nutrisi adalah diabetes
gestasional yang dikontrol diet (GDM) atau A1GDM. Di sisi lain, diabetes
gestasional yang dikelola dengan obat-obatan untuk mencapai kontrol glikemik
yang memadai adalah A2GDM.

V. Neonatal Diabetes Melitus (NDM)


Diabetes neonatus merupakan penyebab hiperglikemia yang jarang terjadi pada
periode neonatus. Hal ini disebabkan oleh mutasi pada gen yang mengkode
protein memainkan peran penting dalam fungsi normal sel beta pankreas.
Diabetes neonatus dibagi menjadi subtipe sementara dan permanen. Pengobatan
didasarkan pada koreksi gangguan cairan-elektrolit dan hiperglikemia. Pasien
menanggapi pengobatan insulin atau sulfonilurea sesuai dengan jenis mutasi.
Pemantauan glukosa yang ketat dan pendidikan pengasuh tentang diabetes
sangat penting.
VI. Diabetes sekunder lainnya
Diabetes tipe lain seperti penggunaan obat, penyakit lainnyya dan lain-lain.

2) Menjelaskan Epidemiologi Diabetes Melitus


Pola penyakit saat ini dapat dipahami dalam rangka transisi epidemiologis,
suatu konsep mengenai perubahan pola Kesehatan dan penyakit. Konsep tersebut
hendak mencoba menghubungkan ha-hal tersebut dengan morbiditas dan mortalitas
pada beberapa golongan penduduk dan menghubungkannya dengan faktor social
ekonomi serta demografi masyarakat masing-masing.
Dikenal 3 periode dalam transisi epidemiologis. Hal tersebut terjadi tidak saja
di Indonesia tetapi juga di negara-negara lain yang sedang berkembang.
Periode I.
Era pestilence dan kelaparan. Dengan kedatangan orang-orang barat ke Asia
pada akhir abad ke-15, datang pula penyakit-penyakit menular seperti pes, kolera,
influenza, tuberkulosis dan penyakit kelamin, yang meningkatkan angka kematian.
Harapan hidup bayi-bayi rendah dan pertambahan penduduk juga sangat rendah pada
waktu itu.
Periode II.
Pandemi berkurang pada akhir abad ke-19. Dengan perbaikan gizi, higiene serta
sanitasi, penyakit menular berkurang dan mortalitas menurun. Rata-rata harapan hidup
pada waktu lahir meningkat dan jumlah penduduk seperti di pulau Jawa nampak
bertambah.
Periode III.
Periode ini merupakan era penyakit degeneratif dan pencemaran. Karena
komunikasi yang lebih baik dengan masyarakat barat serta adopsi cara kehidupan barat,
penyakit-penyakit degeneratif, seperti hipertensi, penyakit kardiovaskular dan diabetes
melitus meningkat. Tetapi apabila kontak dengan barat kurang dan mash terdapat
kehidupan tradisional, seperti di daerah pedesaan penyakit-penyakit tersebut umumnya
jarang ditemukan.
Dari penelitian Zimmet (1978) dapat dilihat bahwa beberapa golongan etnik
mempunyai semacam proteksi terhadap efek buruk pengaruh barat, antara lain bangsa
Melanesia dan Eskimo. Di samudera Pasifik, diabetes melitus sangat jarang terdapat
pada orang Polinesia yang masih melakukan gaya hidup tradisional, beda dengan
daerah urban seperti Mikronesia, Guam, Nauru dan negara-negara Polinesia seperti
Tonga, Hawai, Tahiti, di mana jumlah pasien diabetes sangat tinggi. Begitu pula banyak
penelitian yang menunjukkan adanya kenaikan prevalensi diabetes pada penduduk
emigran seperti pada orang Yahudi yang berasal dari Yaman dan pindah ke Israel,
masyarakat India di Afrika Selatan, orang Indian di Amerika Serikat dan penduduk asli
di Australia yang ber" migrasi" ke daerah perkotaan.
Sebagai dampak positif pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah
dalam kurun waktu 60 tahun merdeka, pola penyakit di Indonesia mengalami
pergeseran yang cukup meyakinkan. Penyakit infeksi dan kekurangan gizi berangsur
turun, meskipun diakui bahwa angka penyakit infeksi ini masih dipertanyakan dengan
timbulnya penyakit baru seperti Hepatitis B dan AIDS, juga angka kesakitan TBC yang
tampakya masih tinggi.dan akhir-akhir ini flu burung, demam berdarah dengue (DBD),
antraks dan polio melanda negara kita yang kita cintai ini.
Di lain pihak penyakit menahun yang disebabkan oleh penyakit degeneratif, di
antaranya diabetes meningkat dengan tajam. Perubahan pola penyakit itu diduga ada
hubungannya dengan cara hidup yang berubah. Pola makan di kota-kota telah bergeser
dari pola makan tradisional yang mengandung banyak karbohidrat dan serat dari
sayuran, ke pola makan ke barat-baratan, dengan komposisi makanan yang terlalu
banyak mengandung protein, lemak, gula, garam dan mengandung sedikit serat.
Komposisi makanan seperti ini terutama terdapat pada makanan siap santap yang akhir-
akhir ini sangat digemari terutama oleh anak-anak muda.
Di samping itu cara hidup yang sangat sibuk dengan pekerjaan dari pagi sampai
sore bahkan kadang-kadang sampai malam hari duduk di belakang meja menyebabkan
tidak adanya kesempatan untuk berekreasi atau berolah raga, apalagi bagi para
eksekutif hampir tiap hari harus lunch atau dinner dengan para relasinya dengan menu
makanan barat yang 'aduhai'. Pola hidup berisiko seperti inilah yang menyebabkan
tingginya kekerapan penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, diabetes,
hiperlipidemia.
Diakui bahwa perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran telah banyak
menyelamatkan nyawa manusia. Penyakit-penyakit yang selama ini tidak terdiagnosis
dan terobati sekarang sudah banyak yang teratasi.
Tetapi untuk memperbaiki taraf kesehatan secara global tidak dapat
mengandalkan hanya pada tindakan kuratif, karena penyakit-penyakit yang
memerlukan biaya mahal. itu sebagian besar dapat dicegah dengan pola hidup sehat
dan menjauhi pola hidup berisiko. Artinya para pengambil kebjakan harus
mempertimbangkan untuk mengalokasikan dana kesehatan yang lebih menekankan
kepada segi preventif daripada kuratif. Rupanya inilah keunggulan negara-negara maju
dari luar AS yang tadi disebut.

3) Menjelaskan Etiologi dan Faktor Risiko Diabetes Melitus


Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Diabetes Mellitus (DM) dibagi menjadi :
A. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi
 Usia
Di negara berkembang penderita diabetes mellitus berumur antara 45-64 tahun dimana
usia tergolong masih sangat produktif. Umur merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi Kesehatan, mengungkapkan pada aspek psikologis dan mental taraf
berfikir seseorang semakin matang dan dewasa. Menjelaskan bahwa makin tua umur
seseorang maka proses perkembangannya mental bertambah baik, akan tetapi pada
umur tertentu bertambahnya proses perkembangan mental ini tidak secepat seperti
ketika berumur belasan tahun.

 Riwayat keluarga dengan DM (anak penyandang DM)

Riwayat keluarga atau faktor keturunan merupakan unit informasi pembawa sifat yang
berada di dalam kromosom sehingga mempengaruhi perilaku. Adanya kemiripan
tentang penyakit DM yang di derita keluarga dan kecenderungan pertimbangan dalam
pengambilan keputusan adalah contoh pengaruh genetik. Responden yang memiliki
keluarga dengan DM harus waspada. Resiko menderita DM bila salah satu orang tuanya
menderita DM adalah sebesar 15%. Jika kedua orang-tuanya memiliki DM adalah 75%
(Diabetes UK, 2010).

 Riwayat melahirkan bayi dengan berat lahir bayi > 4000 gram atau
pernah menderita DM saat hamil (DM Gestasional)

Pengaruh tidak langsung dimana pengaruh emosi dianggap penting karena dapat
mempengaruhi hasil pemeriksaan dan pengobatan. Aturan diit, pengobatan dan
pemeriksaan sehingga sulit dalam mengontrol kadarbula darahnya dapat memengaruhi
emosi penderita.
B. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi
 Overweight/berat badan lebih (indeks massa tubuh > 23kg/m2 )

Salah satu cara untuk mengetahui kriteria berat badan adalah dengan menggunakan
Indeks Masa Tubuh (IMT). Berdasarkan dari BMI atau kita kenal dengan Body Mass
Indeks diatas, maka jika berada diantara 25-30, maka sudah kelebihan berat badan dan
jika berada diatas 30 sudah termasuk obesitas. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan
untuk mengurangi berat badan yaitu :

1) Makan dengan porsi yang lebih kecil

2) Ketika makan diluar rumah, berikan sebagian porsi untuk anda untuk teman atau
anggota keluarga yang lain.

3) Awali dengan makan buah atau sayuran setiap kali anda makan.

4) Ganti snack tinggi kalori dan tinggi lemak dengan snack yang lebih sehat.

 Aktifitas fisik kurang

Lakukan kegiatan fisik dan olahraga secara teratur sangat bermanfaat bagi setiap orang
karena dapat meningkatkan kebugaran, mencegah kelebihan berat badan,
meningkatkan fungsi jantung, paru dan otot serta memperlambat proses penuaan.
Olahraga harus dilakkan secara teratur. Macam dan takaran olahraga berbeda menurut
usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan dan kondisi kesehatan. Jika pekerjaan sehari-hari
seseorang kurang memungkinkan gerak fisik, upayakan berolahraga secara teratur atau
melakukan kegiatan lain yang setara. Kurang gerak atau hidup santai merupakan faktor
pencetus diabetes.

 Merokok Penyakit dan tingginya angka kematian

Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan antara merokok dengan kejadian DM tipe
(p = 0,000). Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Houston yang juga mendapatkan
bahwa perokok aktif memiliki risiko 76% lebih tinggi terserang DM Tipe 2 dibanding
dengan yang tidak (Irawan, 2010). Dalam asap rokok terdapat 4.000 zat kimia
berbahaya untuk kesehatan, dua diantaranya adalah nikotin yang bersifat adiktif dan
yang bersifat karsinogenik.
 Hipertensi (TD > 140/90 mmHg)

Jika tekanan darah tinggi, maka jantung akan bekerja lebih keras dan resiko untuk
penyakit jantung dan diabetes pun lebih tinggi. Seseorang dikatakan memiliki tekanan
darah tinggi apabila berada dalam kisaran > 140/90 mmHg. Karena tekanan darah
tinggi sering kali tidak disadari, sebaiknya selalu memeriksakan tekanan darah setiap
kali melakukan pemeriksaan rutin.

4) Menjelaskan Patofisiologi Diabetes Melitus

a. Patofisiologi DM tipe 1
DM tipe-1 ini disebabkan oleh karena adanya proses autoimun / idiopatik yang
menyebabkan defisiensi insulin absolut. Ditandai dengan ketidakmampuan
pankreas untuk mensekresikan insulin dikarenakan kerusakan sel beta yang
disebabkan oleh proses autoimun
b. Patofisiologi DM tipe 2
DM tipe-2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu :
1. Resistensi insulin
2. Disfungsi sel B pancreas

Pada DM terjadi gangguan pada reaksi RIS (Receptor Insulin Substrate)


sehingga menurunkan jumlah transporter glukosa terutama GLUT 4 yang
mengakibatkan berkurangnya distribusi glukosa kejaringan yang menyebabkan
penumpukan glukosa darah yang pada akhirnya akan menimbulkan hiperglikemia atau
meningkatnya kadar gula darah dalam tubuh. Pelatihan fisik mempotensiasi efek
olahraga terhadap sensitivitas insulin melalui beberapa adaptasi dalam transportasi
glukosa dan metabolisme.

Kegiatan senam diabetes sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes karena


efeknya dapat menurunkan kadar gula darah dengan cara merangsang stimulasi hormon
insulin yang akan mengakibatkan peningkatan glukosa transporter terutama GLUT 4
yang berakibat pada berkurangnya resistensi insulin dan peningkatan pengambilan gula
oleh otot serta memperbaiki pemakaian insulin yang berakibat menurunya kadar gula
darah post prandial dan gula darah puasa. Sirkulasi darah dan tonus otot juga diperbaiki
dengan berolahraga.

DM tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun karena sel
sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan
ini lazim disebut sebagai “resistensi insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi akibat
dari obesitas dan kurang nya aktivitas fisik serta penuaan. Pada penderita DM tipe 2
dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi
pengrusakan sel-sel B langerhans secara autoimun seperti DM tipe 2. Defisiensi fungsi
insulin pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak absolut.

Pada awal perkembangan DM tipe 2, sel B menunjukan gangguan pada sekresi


rtama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak
ditangani dengan baik, pada perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel
B pankreas. Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan
menyebabkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin
eksogen.

5) Menjelaskan Manifestasi Klinis Diabetes Melitus


a. Diabetes Mellitus type 1
Banyak pasien yang menderita diabetes mellitus tipe 1 tidak memiliki gejala
awal sehingga deteksi dini dari penyakit ini cukup sulit. Manifestasi klinis
pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 umumnya berupa:
1) Poliuria
2) Polidipsia
3) Polifagia
4) Menurunnya berat badan secara signifikan meskipun pasien makan dengan
adekuat
5) Ketoasidosis diabetik
6) Kelelahan dan kelemahan
7) defisiensi insulin, hipovolemia, dan hipokalemia.
8) Kram otot
9) Penglihatan kabur
10) Gangguan gastrointestinal seperti mual, nyeri perut, dan perubahan pola
defekasi.
11) Nyeri kuadran kanan atas

Pada kasus hiperglikemia yang berkepanjangan, pasien akan mengalami


neuropati yang ditandai dengan mati rasa dan kesemutan di kedua tangan dan
kaki, dalam pola sarung tangan dan stoking. Keluhan umumnya bersifat
bilateral dan simetris

b. Diabetes Mellitus type 2


Anamnesis pada diabetes mellitus tipe 2 dapat meliputi manifestasi klinis
berupa
1) Poliuria
2) Polidipsi
3) Polifagi
4) Infeksi kulit berupa pruritus kronik pada seluruh kulit dan keluhan vaginitis
seperti keputihan, kemerahan pada vagina, juga dapat ditemukan.
5) Gejala lain terkait hiperglikemia yang juga perlu ditanyakan, yaitu berat
badan menurun, parestesia ekstremitas bawah, luka yang sulit sembuh dan
ulkus diabetik, masalah penglihatan, serta disfungsi seksual.
6) Keluhan gastrointestinal juga dapat dialami berupa mual, muntah,
konstipasi atau diare, disfagia.
c. Diabetes Mellitus Gestasional
Tanda dan keluhan pasien dengan diabetes gestasional tidak spesifik. Pasien
bisa saja tidak mengeluhkan apa pun. Namun, pada saat anamnesis perlu
dilakukan evaluasi mengenai faktor risiko seperti usia, riwayat diabetes dalam
keluarga, riwayat diabetes gestasional sebelumnya, hipertensi, hiperlipidemia,
dan riwayat melahirkan anak dengan berat >4000 gram.

6) Menjelaskan Pendekatan Diagnostik Diabetes Melitus


a. Diabetes Mellitus type 1
Diagnosis diabetes mellitus tipe 1 perlu dicurigai pada pasien yang mengalami
gejala hiperglikemia, seperti polidipsia, poliuria, dan polifagia, disertai riwayat
yang mengarah pada kemungkinan autoimunitas terhadap sel beta pankreas.
Pasien umumnya terdiagnosis saat anak atau remaja, namun juga bisa
mengalami onset akut saat dewasa. Pasien juga bisa datang dalam kondisi
ketosis.

1) Anamnesis
Banyak pasien yang menderita diabetes mellitus tipe 1 tidak memiliki gejala
awal sehingga deteksi dini dari penyakit ini cukup sulit. Gejala klinis pasien
dengan diabetes mellitus tipe 1 umumnya berupa poliuria, polidipsia,
polifagia, dan menurunnya berat badan secara signifikan meskipun pasien
makan dengan adekuat. Meski demikian, pasien dengan diabetes mellitus
tipe 1 juga bisa terdiagnosis setelah berada dalam kondisi akut, yaitu
ketoasidosis diabetik.

Kelelahan dan kelemahan dapat disebabkan oleh pengecilan otot akibat


keadaan katabolik defisiensi insulin, hipovolemia, dan hipokalemia. Kram
otot dapat terjadi akibat gangguan elektrolit. Pasien juga bisa mengeluhkan
penglihatan kabur karena kondisi hiperosmolar pada lensa dan humor
vitreus. Keluhan lain yang sering dialami adalah gangguan gastrointestinal
seperti mual, nyeri perut, dan perubahan pola defekasi. Pasien juga bisa
mengeluhkan nyeri kuadran kanan atas akibat adanya perlemakan hati akut.
Pada kasus hiperglikemia yang berkepanjangan, pasien akan mengalami
neuropati yang ditandai dengan mati rasa dan kesemutan di kedua tangan
dan kaki, dalam pola sarung tangan dan stoking. Keluhan umumnya bersifat
bilateral dan simetris.

Membedakan Diabetes Mellitus Tipe 1 dan Tipe 2


Membedakan apakah orang dewasa dengan diabetes yang baru didiagnosis
mengalami diabetes mellitus tipe 1 atau diabetes mellitus tipe 2 cukup sulit
karena tidak ada fitur klinis yang spesifik. Kesalahan klasifikasi diabetes
pada orang dewasa sangat umum terjadi.

Secara garis besar, pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 didiagnosis pada
usia yang lebih muda (<35 tahun) dan memiliki indeks massa tubuh (IMT)
yang lebih rendah (<25 kg/m2). Pasien diabetes mellitus tipe 1 juga lebih
rentan mengalami penurunan berat badan, ketoasidosis, dan kadar glukosa
melebihi 20 mmol/L (>360 mg/dL).

2) Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisik pada pasien diabetes mellitus tipe 1 bisa normal.
Jika pasien datang dalam keadaan akut, yaitu ketoasidosis diabetik, bisa
didapatkan respirasi Kussmaul, tanda-tanda dehidrasi, hipotensi, dan
perubahan status mental.

Pada pasien yang sudah terdiagnosis, hasil pemeriksaan fisik dapat


menunjukkan tanda dari komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular.
Pemantauan berkala setiap 3 bulan diperlukan. Pasien akan menjalani
pemeriksaan funduskopi untuk retinopati dan pengujian monofilamen untuk
neuropati perifer.
a) Tanda Vital
Hipotensi ortostatik dapat ditemukan pada pasien yang mengalami
komplikasi neuropati autonom. Selain itu, jika pasien datang dengan
tanda respirasi Kussmaul, maka ketoasidosis diabetik perlu dicurigai.
b) Funduskopi
Pemeriksaan funduskopi dilakukan berkala pada pasien yang sudah
terdiagnosis. Jika ditemukan adanya eksudat pada retina ataupun
kelainan lain yang mencurigakan, maka pasien harus dirujuk ke spesialis
mata.
c) Pemeriksaan Kaki
Pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 dapat mengalami komplikasi
jangka panjang berupa penyakit arteri perifer ataupun neuropati. Kedua
kondisi ini, pada ekstremitas bawah, memiliki kontribusi sangat besar
terhadap terjadinya ulkus kronis yang sering disebut diabetic foot.
Lakukan pemeriksaan kaki pada setiap kunjungan dan waspadai
kemungkinan terjadinya ulkus diabetikum yang meningkatkan risiko
amputasi.

3) Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakkan diagnosis diabetes mellitus tipe 1 diperlukan beberapa
pemeriksaan seperti pemeriksaan gula darah, hemoglobin A1C, dan
pemeriksaan autoantibodi sel beta pankreas.
a) Pemeriksaan Gula Darah
Pasien diabetes mellitus tipe 1 memiliki kadar glukosa darah puasa ≥
126 mg/dL atau kadar glukosa darah sewaktu atau Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) ≥ 200 mg/dL. Perlu dicatat bahwa pemeriksaan
ini hanya menunjukkan kondisi hiperglikemia, tetapi tidak bisa
membedakan diabetes mellitus tipe 1 dari diagnosis banding lainnya.

Pada pasien yang sudah terdiagnosis, pemeriksaan gula darah perlu


dilakukan 3-4 kali dalam sehari bila pasien memperoleh beberapa
injeksi insulin dalam satu hari atau dalam terapi pompa insulin.
Walaupun demikian, pemeriksaan gula darah ini tidak selamanya akurat
karena bergantung pada akurasi alat dan faktor sampel seperti kadar
hematokrit, oksigen darah, pH, dan adanya substansi lain yang
mengganggu.
b) Hemoglobin A1C (HbA1C)
Pemeriksaan hemoglobin A1C (HbA1C) dapat digunakan untuk
mendiagnosis diabetes dengan ambang batas ≥ 6,5%. Pasien tidak perlu
puasa saat akan melakukan tes HbA1C. Pada pasien yang sudah
terdiagnosis diabetes mellitus tipe 1, kadar HbA1C diharapkan dapat
dijaga kurang dari 7%. Pemeriksaan ini dilakukan paling tidak 2 kali
dalam 1 tahun untuk mengevaluasi keberhasilan terapi. Bila target tidak
tercapai, maka diperlukan perubahan pada penatalaksanaan yang selama
ini tengah dijalani.

c) Pemeriksaan Autoantibodi
Diabetes mellitus tipe 1 dapat diidentifikasi dengan penanda genetik dan
kehadiran autoantibodi spesifik. Penanda antibodi dari autoimun
terhadap sel beta pankreas antara lain GAD (glutamic acid
decarboxylase antibody), IA-2 (islet antigen-2), IAA (insulin antibody),
dan ICA (islet cell cytoplasmic antibody). Sebanyak 85-90% pasien
yang memiliki autoantibodi ini pada akhirnya akan menderita penyakit
diabetes mellitus tipe 1.

d) Pemeriksaan C-Peptida
C-peptida dapat diperiksa untuk membantu membedakan antara
diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2. Pada diabetes mellitus tipe 1,
pankreas memproduksi sedikit atau tidak sama sekali insulin dan C-
peptida. Sementara itu, pada diabetes mellitus tipe 2, pankreas
memproduksi insulin tetapi terjadi resistensi, sehingga kadar C-peptida
lebih tinggi.

e) Pemeriksaan Laboratorium Lainnya


Pengukuran keton urine dapat dilakukan untuk penapisan adanya
ketonemia. Meski demikian, pemeriksaan ini tidak dapat diandalkan
untuk mendiagnosis atau memantau ketoasidosis diabetik. Sebagai
gantinya, dapat dilakukan pemeriksaan kadar aseton plasma, seperti
kadar beta-hidroksibutirat, bersama dengan pengukuran bikarbonat
plasma atau pH arteri.
b. Diabetes mellitus type 2
Diagnosis diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2) adalah berdasarkan anamnesis
mengenai gejala klasik diabetes, yaitu gejala klasik berupa poliuri, polidipsi,
polifagi; pemeriksaan fisik terkait komplikasi diabetes. Baku emas pemeriksaan
laboratorium berupa tes toleransi glukosa oral (TTGO) serta HbA1c untuk
kontrol keberhasilan terapi.

Diabetes mellitus tipe 2 memiliki penanganan yang sangat berbeda dengan


diabetes mellitus tipe 1, sehingga penting bagi klinisi untuk mampu
membedakan keduanya. Perbedaannya terletak pada manifestasi klinis dan
anamnesis, dimana karakteristik DM tipe 1 adalah defisiensi insulin absolut,
sedangkan ciri khas DM tipe 2 adalah hiperglikemia dan resistensi insulin.

1) Anamnesis
Anamnesis pada diabetes mellitus tipe 2 dapat meliputi gejala klasik berupa
poliuria, polidipsi, dan polifagi. Keluhan infeksi kulit berupa pruritus kronik
pada seluruh kulit dan keluhan vaginitis seperti keputihan, kemerahan pada
vagina, juga dapat ditemukan.

Gejala lain terkait hiperglikemia yang juga perlu ditanyakan, yaitu berat
badan menurun, parestesia ekstremitas bawah, luka yang sulit sembuh dan
ulkus diabetik, masalah penglihatan, serta disfungsi seksual. Keluhan
gastrointestinal juga dapat dialami berupa mual, muntah, konstipasi atau
diare, disfagia. Anamnesis juga meliputi riwayat penurunan penglihatan
yang dapat menandakan adanya komplikasi mikrovaskular berupa retinopati
diabetik yang perlu dirujuk untuk penanganan lebih lanjut.

DM Tipe 2 Asimptomatik
Terkadang dapat diawali dengan asimptomatik pada pasien obesitas dan
terdeteksi saat pemeriksaan gula darah. Berdasarkan studi yang ada,
sebanyak 40% dari anak-anak dan remaja dengan DM tipe 2 datang tanpa
gejala atau asimtomatik, namun terdiagnosis secara tidak sengaja dari
adanya glukosuria pada pemeriksaan urinalisis. Maka dari itu, skrining
untuk DM tipe 2 sangat diperlukan terutama pada kelompok dengan faktor
risiko tertentu, seperti obesitas.

2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 meliputi
pemeriksaan tekanan darah, terkadang didapatkan hipertensi dan dapat pula
ditemukan hipotensi ortostatik yang menunjukkan pasien mengalami
neuropati otonom. Selain itu, perlu dilihat adanya tanda hiperglikemik
hiperosmolar, seperti tanda dehidrasi, napas kussmaul, hipotensi, letargi,
dan penurunan kesadaran.

Selanjutnya, perlu dilakukan pengukuran indeks massa tubuh (IMT) dan


lingkar pinggang, untuk menentukan status gizi pasien. Mayoritas pasien
diabetes merupakan pasien dengan overweight atau obesitas, serta obesitas
sentral. Lingkar pinggang pada laki-laki lebih dari 102 cm, dan lebih dari
88 cm pada perempuan meningkatkan risiko diabetes melitus.

Pada kulit, sering didapatkan infeksi kulit, terutama infeksi jamur seperti
vulvovaginitis. Selain itu, seringkali ditemukan akantosis nigrikans, pada
kulit di daerah lipatan ketiak, selangkangan, leher, pundak mengalami
hiperpigmentasi dan hiperkeratosis.

a) Pemeriksaan Neurologis
Pada pasien DM tipe 2 sering didapatkan komplikasi neuropati. Hal
yang perlu diperiksa adalah kemampuan sensorik pasien terhadap suhu
dan sentuhan serta refleks fisiologis. Selain itu, dapat ditemukan
disestesia atau parestesia.

b) Pemeriksaan Kaki
Pencegahan komplikasi peripheral vascular disease merupakan
komplikasi DM tipe 2 yang dimana perfusi ke jaringan tidak cukup,
yang disebabkan karena sumbatan akibat arteriosklerosis yang
membentuk emboli atau trombus dengan memeriksa tanda-tanda
hipoperfusi pada kaki, yang meliputi hilangnya perfusi, parestesi,
paralisis, nyeri, dan pucat.

Pemeriksaan kaki dapat dilakukan dengan memeriksa pulsasi pada


pembuluh darah tibialis posterior dan dorsalis pedis. Lakukan palpasi
pada kedua pembuluh darah tersebut. Pulsasi yang lemah atau tidak
teraba menandakan vaskularisasi yang buruk.

3) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang utama untuk diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2)
adalah pemeriksaan kadar gula darah. Diabetes melitus tipe 2 didefinisikan
sebagai kadar gula darah puasa ≥ 126 mg/dL, kadar gula darah 2 jam post
prandial ≥ 200 mg/dL, HbA1C ≥ 6,5, glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL.
Biasanya diperlukan pemeriksaan ulang kadar gula darah pada hari kedua
untuk memastikan diagnosis diabetes melitus tipe 2.

a) Glukosa Darah Puasa (GDP)


Pemeriksaan glukosa darah puasa dilakukan dengan cara pasien
berpuasa setidaknya selama 8 jam sebelum test. Gula darah puasa ≥ 126
mg/dL dapat didiagnosa sebagai diabetes melitus tipe 2, sedangkan gula
darah puasa 100–125 mg/dL dikatakan prediabetes.

b) Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)


Tes toleransi glukosa oral (TTGO) dilakukan dengan mengukur kadar
gula darah puasa pasien lalu berikan larutan glukosa oral 75 gram dalam
300 cc air, dan ukur ulang kadar gula darah setelah 2 jam.

Hasil tes sebesar ≥ 200 mg/dL dikategorikan sebagai diabetes mellitus,


140-199 mg/dL toleransi glukosa terganggu, hasil kurang dari 140
mg/dL normal. Pemeriksaan dilakukan di pagi hari, dikarenakan variasi
siklus diurnal pada glukosa oral toleransi, pasien tidak diperbolehkan
merokok dan beraktivitas fisik selama tes.
c) HemoglobinA1c (HbA1c)
Hemoglobin A1C (HbA1C) terutama digunakan untuk pengukuran
pemantauan keberhasilan terapi diabetes. Hal ini disebabkan oleh
kemampuan HbA1c untuk melihat perkiraan kadar glukosa selama 2
sampai 3 bulan ke belakang dari waktu pemeriksaan.

Nilai HbA1c di atas 6,5% menunjukkan kontrol gula darah yang kurang
baik selama 2 sampai 3 bulan sebelum pengukuran. Nilai cut-off 6,5%
dipilih karena risiko retinopathy DM meningkat bila diatas nilai
tersebut. Keuntungan pengukuran HbA1c adalah pasien tidak perlu
berpuasa dan meminum sesuatu.

d) Pemeriksaan Funduskopi
Pemeriksaan funduskopi bertujuan untuk memeriksa segmen posterior
mata, seperti badan vitreus, retina, diskus optikus, dan koroid.
Pemeriksaan dapat dipermudah dengan melakukan dilatasi pupil pasien
sebelum melakukan funduskopi, dengan sebelumnya dilakukan
pemeriksaan tekanan intraokular (TIO) menggunakan tonometry.
Dilatasi pupil dengan midriatikum, seperti atropin, sebaiknya tidak
dilakukan apabila TIO meningkat.

Jika ditemukan tanda perdarahan atau eksudat, atau terdapat


neovaskularisasi, dan jika didapatkan tanda khas untuk diabetic
retinopathy seperti mikroaneurisma, dot and blot hemorrhages, cotton
wool spots dan intraretinal microvascular anomalies (IRMAs) segera
rujuk pasien ke spesialis mata untuk penanganan lebih lanjut.

c. Diabetes Mellitus Gestasional


Diagnosis diabetes gestasional ditegakkan apabila saat dilakukan skrining
diabetes pada usia kehamilan 24-28 minggu ditemukan peningkatan kadar
glukosa darah puasa dan peningkatan kadar glukosa 2 jam post prandial saat
dilakukan tes toleransi glukosa.
a) Anamnesis
Tanda dan keluhan pasien dengan diabetes gestasional tidak spesifik. Pasien
bisa saja tidak mengeluhkan apa pun. Namun, pada saat anamnesis perlu
dilakukan evaluasi mengenai faktor risiko seperti usia, riwayat diabetes
dalam keluarga, riwayat diabetes gestasional sebelumnya, hipertensi,
hiperlipidemia, dan riwayat melahirkan anak dengan berat >4000 gram.

b) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan tanda-tanda vital yang normal
dan tidak ada pemeriksaan fisik yang spesifik pada diabetes gestasional.
Pemeriksaan fisik berupa perhitungan indeks massa tubuh pada awal
kehamilan perlu dilakukan untuk mengetahui faktor risiko obesitas.
Pengukuran tekanan darah juga diperlukan untuk melihat apakah ada faktor
risiko hipertensi.

c) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan kadar gula darah merupakan
aspek yang sangat penting untuk mendiagnosis diabetes gestasional.

1) Pemeriksaan Gula Darah


kadar normal gula darah puasa pada kehamilan adalah ≤ 95 mg/dL dan
kadar normal gula darah 2 jam post prandial adalah 120 mg/dL.

2) Ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) perlu dilakukan untuk melihat pertumbuhan dan
perkembangan fetus. Berdasarkan hasil USG, dokter kandungan dan
endokrin dapat melakukan evaluasi tatalaksana pada bayi maupun ibu
dan dapat membuat perencanaan tatalaksana persalinan. Pada diabetes
gestasional, seringkali terjadi makrosomia yang bisa menyebabkan bayi
tidak dapat lahir per vagina.
7) Menjelaskan Penatalaksanaan Diabetes Melitus secara biolistic ( Farmakologi
dan Non farmakologi )
a. Penatalaksanaan Diabtes Mellitus type 1
Tujuan penatalaksanaan diabetes mellitus tipe 1 adalah menjaga kualitas hidup
pasien dan menurunkan risiko komplikasi. Hal ini dapat dicapai dengan
pemberian insulin eksogen, meminimalisir episode hipoglikemia, mengelola
faktor risiko kardiovaskular, dan menyediakan dukungan psikososial.

Pasien akan membutuhkan terapi insulin seumur hidup. Dosis disesuaikan


berdasarkan pemantauan kadar glukosa darah mandiri, dimana kebanyakan
pasien memerlukan setidaknya 2 kali penyuntikan insulin setiap harinya.
Manajemen diabetes mellitus tipe 1 memerlukan pendekatan multidisiplin yang
mencakup dokter, perawat, ahli gizi, dan spesialis terkait.

a) Terapi Insulin
Regimen insulin yang ideal haruslah mampu mempertahankan glukosa
darah dalam kisaran fisiologis normal, selama mungkin, sembari tetap
memungkinkan fleksibilitas dalam hal waktu makan dan aktivitas. Regimen
penggantian insulin yang banyak digunakan umumnya menggabungkan
beberapa komponen, termasuk insulin basal untuk membatasi
glukoneogenesis dan ketogenesis preprandial, diikuti dengan insulin waktu
makan dan koreksi insulin untuk mengatasi hiperglikemia.

b) Alat Pompa Insulin (Insulin Pump)


Alat pompa insulin digunakan untuk mengganti metode injeksi insulin
tradisional. Alat ini berfungsi untuk memasukkan jumlah insulin dalam
kadar tertentu secara subkutan. Adanya alat ini mempermudah pasien yang
kesulitan mengontrol kadar gula darahnya, sehingga dapat meminimalisir
risiko komplikasi jangka panjang. Alat pompa insulin biasanya
dikombinasikan dengan penggunaan alat monitor gula darah.
1) Insulin Basal
Insulin basal diberikan untuk mengontrol kadar gula darah antara makan
dan ketika tidur. Formula yang disarankan adalah 0,2 dikali berat badan
dalam kilogram atau 0,4 dikali dosis insulin total harian.

2) Insulin Bolus
Insulin bolus merupakan insulin kerja cepat yang diberikan dengan
makanan untuk mengimbangi konsumsi karbohidrat atau diberikan satu
kali untuk mengoreksi keadaan hiperglikemia. Contoh insulin kerja
cepat adalah aspart, glulisine, dan lispro.

c) Diet
Intervensi diet meliputi edukasi tentang cara mengatur waktu, ukuran,
frekuensi, dan komposisi makanan sehingga pasien terhindar dari
hipoglikemia atau hiperglikemia postprandial. Semua pasien yang
menggunakan insulin harus memiliki rencana diet yang komprehensif dan
dibuat oleh bantuan ahli gizi. Manfaat diet ketogenik dalam terapi diabetes
masih kontroversial karena studi yang ada masih menunjukkan hasil yang
bertentangan. Selain diet, edukasi pula pasien untuk berhenti merokok.

d) Aktivitas Fisik
Pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 perlu melakukan aktivitas fisik untuk
menjaga kebugaran tubuh mereka. Meski demikian, perlu diberikan edukasi
agar tidak terjadi hipoglikemia setelah aktivitas fisik berat selama lebih dari
30 menit. Minta pasien untuk mengukur kadar gula darah sebelum dan
setelah aktivitas fisik. Kemudian, edukasi bahwa pasien mungkin
memerlukan makanan ringan tambahan jika didapatkan kadar gula darah
terlalu rendah.

e) Follow Up
Pemeriksaan tahunan diperlukan untuk mengecek adanya komplikasi
mikrovaskuler dan makrovaskuler. Pemeriksaan ini meliputi funduskopi,
pemeriksaan kaki untuk mendeteksi neuropati dan ulkus diabetikum, serta
pemeriksaan ginjal untuk mendeteksi nefropati. Pendeteksian komplikasi
sedini mungkin dapat mengurangi risiko morbiditas di masa depan.

b. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus type 2


Diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2) memerlukan penatalaksanaan yang
komprehensif, berupa pengaturan berat badan ideal, pemberian obat
hipoglikemik oral (OHO), dan perubahan gaya hidup. Kontrol keberhasilan
terapi dan terapi yang intensif sangat penting untuk mencegah terjadinya
komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular akibat DM tipe 2. Selain itu,
penatalaksanaan diabetes juga meliputi identifikasi penyakit komorbid lainnya
yang perlu dikontrol seperti tekanan darah dan profil lipid pasien.

a) Terapi Medikamentosa
1) Metformin
Metformin merupakan obat hipoglikemik oral (OHO) golongan
biguanid yang digunakan sebagai terapi lini pertama untuk diabetes
mellitus tipe 2. Metformin dapat digunakan sebagai monoterapi
bersamaan dengan modifikasi gaya hidup, atau kombinasi dengan obat
diabetes lainnya, ataupun insulin.

Risiko efek samping metformin jauh lebih minimal dibandingkan obat


hipoglikemik oral (OHO) lainnya, yakni efek samping hipoglikemia
yang rendah dan tidak menimbulkan peningkatan berat badan. Dosis
awal umumnya 500 mg per hari, diberikan bersamaan saat makan.

2) Sulfonilurea
Obat golongan sulfonilurea generasi kedua seperti glibenclamide,
glipizide, dan glimepiride dapat digunakan sebagai terapi lini kedua
diabetes mellitus tipe 2 bila terdapat kontraindikasi metformin.
Penggunaannya harus lebih hati-hati pada pasien kardiovaskular,
gangguan hepar berat, usia diatas 60 tahun, dan risiko hipoglikemia.

Sulfonilurea dapat menyebabkan peningkatan berat badan dan


hipoglikemia. Generasi kedua obat golongan sulfonilurea ini
dikonsumsi sekali sehari dan dapat dikombinasi dengan obat
hipoglikemik oral (OHO) oral lainnya atau insulin

3) Insulin
Terapi inisiasi insulin pada DM tipe 2 diawali dengan kombinasi
modifikasi gaya hidup, OHO, dan insulin basal. Terapi inisiasi insulin
untuk pasien DM tipe 2 dilakukan pada DM tipe 2 baru dengan HbA1c
≥9% atau GDP ≥250 mg/dl atau GDS ≥300 mg/dl dengan disertai tanda
dekompensasi metabolik, seperti HHS, atau pasien DM tipe 2 lama yang
mendapat terapi kombinasi OHO namun target terapi belum tercapai.

b) Terapi Suportif
Terapi suportif pada DM tipe 2 dapat dilakukan dengan mengurangi stress
emosional, modifikasi gaya hidup dan pengaturan diet sesuai jadwal makan
dan pembagian jumlah kalori. Pasien dengan overweight dan obesitas
disarankan untuk menurunkan berat badan minimal 7% dalam 1 sampai 2
tahun. Selain itu, pasien juga harus diedukasi untuk menghentikan
kebiasaan merokok dan melakukan olahraga, minimal latihan aerobik
moderate minimal 150 menit per minggu.

c) Diet
Penatalaksanaan diet pasien DM tipe 2 perlu ditekankan mengenai
keteraturan jadwal makan, jenis, dan jumlah asupan kalori sesuai berat
badan ideal (BBI). Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari
karbohidrat, lemak, protein, natrium, dan serat.

d) Aktivitas Fisik
Program olahraga secara teratur dapat dilakukan 3 sampai 5 kali per minggu
selama 30 sampai 45 menit, dengan total 150 menit per minggu, dengan jeda
latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Olahraga yang dianjurkan
bersifat aerobik dengan intensitas sedang (jalan cepat, bersepeda santai,
jogging, berenang).
Latihan aerobik berat, yaitu latihan yang mencapai denyut jantung lebih dari
70% maksimal juga dapat dilakukan. Durasi yang disarankan untuk latihan
aerobik berat adalah 75 sampai 90 menit per minggu untuk pasien yang
usianya lebih muda.

c. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus gestasional


Tujuan penatalaksanaan diabetes gestasional adalah normoglikemi dan menjaga
pertumbuhan dan perkembangan fetus. Penatalaksanaan diabetes dilakukan
secara menyeluruh dengan kontrol rutin gula darah, perubahan gaya hidup, dan
terapi obat-obatan. Target kontrol glikemik pada diabetes gestasional adalah
kadar glukosa darah puasa ≤95 mg/dL dan kadar glukosa darah 2 jam post
prandial ≤120 mg/dL.

Penanganan diabetes pada kehamilan penting untuk dilakukan secara


komprehensif. Dengan perubahan gaya hidup berupa aktivitas fisik dan kontrol
diet, 70-85% wanita dengan diabetes gestasional dapat mencapai kontrol
glukosa yang baik. Terapi obat dimulai apabila pasien gagal mencapai target
glukosa dalam 1-2 minggu pasca perubahan gaya hidup.

a) Tata Laksana Nonfarmakologi


Pada pasien dengan diabetes gestasional, dilakukan pemantauan kadar
glukosa darah dan modifikasi gaya hidup.

1) Pemantauan Kadar Gula Darah


Setelah terdiagnosa diabetes gestasional, pasien perlu melakukan
pemantauan kadar gula darah secara rutin, baik glukosa darah puasa
maupun glukosa darah post prandial. Sebaiknya pasien melakukan
kunjungan antenatal rutin setiap bulan untuk memantau kadar gula darah
dan pertumbuhan fetus. 5th International Workshop-Conference on
Gestational Diabetes Mellitus merekomendasikan kadar gula darah
puasa <95 mg/dL, 1 jam postprandial <140 mg/dL, dan 2 jam post
prandial <120 mg/dL.
2) Aktivitas Fisik dan Kontrol Berat Badan
Setiap ibu hamil dengan diabetes gestasional direkomendasikan untuk
melakukan aktivitas fisik selama 30 menit dalam sehari atau 150 menit
dalam seminggu. Aktivitas fisik yang dapat dilakukan adalah berenang,
aerobic low impact, berjalan, dan sepeda statis. Ibu hamil juga perlu
mengontrol berat badan selama masa kehamilan. Pada ibu yang
memiliki riwayat obesitas sebaiknya pertambahan berat badan tidak
melebih 11,5 kg. Pada ibu hamil yang memiliki berat badan ideal
sebaiknya pertambahan berat badan dijaga berkisar 0,5-2,5 kg pada
trimester pertama dan 500 gram per minggu pada trimester selanjutnya.

3) Diet
Pasien diabetes gestasional sebaiknya berkonsultasi dengan ahli gizi
khusus karena kebutuhan kalori perlu disesuaikan dengan kondisi
masing-masing individu. Secara umum, kebutuhan kalori pada wanita
dengan diabetes gestasional adalah 35-40 kcal/kg jika underweight, 30-
34 kcal/kg pada berat badan yang ideal, dan 23-25 kcal/kg jika
overweight.

b) Tata Laksana Farmakologi


Human insulin masih dianggap sebagai penatalaksanaan farmakologi yang
paling baik untuk pasien diabetes gestasional.

1) Terapi Insulin
Sampai saat ini insulin masih menjadi drug of choice untuk diabetes
gestasional. Insulin tidak melewati plasenta sehingga aman diberikan
selama kehamilan.

Pada wanita yang hiperglikemia puasa dan postprandial terjadi pada


setiap kali waktu makan, dosis insulin yang direkomendasikan adalah
0,7-1,0 unit/kgBB per hari. Dosis ini sebaiknya dibagi menjadi beberapa
regimen menggunakan insulin kerja panjang atau menengah yang
dikombinasikan dengan insulin kerja cepat.
2) Terapi Obat Hipoglikemik Oral
Selain terapi insulin, beberapa obat hipoglikemik oral juga dapat dipakai
menjadi pilihan terapi pada diabetes gestasional. Obat pilihan yang
dapat diberikan adalah metformin dan glibenclamide. Meskipun
demikian, FDA belum menyatakan metformin dan glibenclamide dapat
menjadi salah satu terapi alternatif obat dalam penatalaksanaan diabetes
gestasional. Kedua obat tersebut berada dalam kategori B dalam
kehamilan. Metformin dan glibenclamide dapat melewati barrier
plasenta, namun belum ada bukti adanya defek lahir atau komplikasi
pada neonatus akibat penggunaan metformin ataupun glibenclamide.

3) Metmorfin
Metformin merupakan obat oral pilihan karena memiliki risiko yang
lebih rendah untuk terjadinya hipoglikemia neonatus dan pertambahan
berat badan maternal. Meskipun demikian, metformin sedikit
meningkatkan risiko prematuritas. Metformin diberikan 500 mg sekali
sehari pada awal pengobatan dan dapat ditingkatkan sampai 2500 mg
per hari dibagi dalam beberapa dosis. Glibenclamide dapat diberikan
dengan dosis awal 2,5 mg satu kali sehari 1 jam sebelum makan dan
maksimal sampai 10 mg. Namun 15-40% pasien yang menggunakan
medikasi oral untuk diabetes gestasional tetap membutuhkan insulin.

4) Aspirin
Beberapa studi terbaru merekomendasikan pemberian aspirin dosis rendah 50-
150 mg/hari (biasanya 80 mg/hari) pada akhir trimester pertama kehamilan sampai
dengan kelahiran bayi untuk menurunkan risiko preeklampsia pada ibu hamil dengan
diabetes gestasional

8) Menjelaskan Komplikasi Diabetes Melitus

Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan komplikasi akut
dan kronis. Adapun beberapa komplikasi Diabetes Melitus yaitu Sindrom hipoglikemia
ditandai dengan gejala klinis penderita merasa pusing, lemas, gemetar, pandangan
berkunang-kunang, pitam (pandangan menjadi gelap), keluar keringat dingin, detak
jantung meningkat, sampai hilang kesadaran.

Apabila tidak segera ditolong dapat terjadi kerusakan otak dan akhirnya
kematian. Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita diabetes tipe 1, yang dapat
dialami 1 – 2 kali perminggu. Kemudian Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar
gula darah melonjak secara tibatiba. Keadaan ini dapat disebabkan antara lain oleh
stress, infeksi, dan konsumsi obat-obatan tertentu.

Hiperglikemia ditandai dengan poliuria, polidipsia, polifagia, kelelahan yang


parah (fatigue), dan pandangan kabur. Hiperglikemia dapat dicegah dengan kontrol
kadar gula darah yang ketat. Kemudian Komplikasi Makrovaskular yang mana terdiri
dari tiga jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada penderita
diabetes adalah penyakit jantung koroner (Coronary Heart Disease), penyakit
pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh darah perifer (Peripheral Vascular
Disease).

Walaupun komplikasi makrovaskular dapat juga terjadi pada DM tipe 1, namun


yang lebih sering merasakan komplikasi makrovaskular ini adalah penderita DM tipe 2
yang umumnya menderita hipertensi, dislipidemia dan atau kegemukan. Karena
penyakit-penyakit jantung sangat besar risikonya pada penderita diabetes, maka
pencegahan komplikasi terhadap jantung sangat penting dilakukan, termasuk
pengendalian tekanan darah, kadar kolesterol dan lipid darah. Penderita diabetes
sebaiknya selalu menjaga tekanan darahnya tidak lebih dari 130/80 mm Hg.

Penderita harus dengan sadar mengatur gaya hidupnya, termasuk


mengupayakan berat badan ideal, diet dengan gizi seimbang, berolah raga secara
teratur, tidak merokok, mengurangi stress dan lain sebagainya. Kemudian Komplikasi
Mikrovaskular terjadi pada penderita diabetes tipe 1. Hiperglikemia yang persisten dan
pembentukan protein yang terglikasi (termasuk HbA1c) menyebabkan dinding
pembuluh darah menjadi makin lemah dan rapuh dan terjadi penyumbatan pada
pembuluh-pembuluh darah kecil. Hal inilah yang mendorong timbulnya komplikasi-
komplikasi mikrovaskuler, antara lain retinopati, nefropati, dan neuropati.
Disamping karena kondisi hiperglikemia, ketiga komplikasi ini juga
dipengaruhi oleh faktor genetik. Salah satu bentuk pencegahan yaitu dengan kontrol
kadar gula darah yang ketat.

9) Menjelaskan Prognosis Diabetes Melitus


Prognosis dari DM bergantung pada pola hidup yang dilakukan oleh pasien
dalam mengontrol kadar gula nya. Pasien dengan kontrol glikemik ketat (HbA1c < 7%),
tanpa disertai riwayat gangguan kardiovaskuler, dan juga tidak ada gangguan
mikrovaskuler serta makrovaskuler akan mempunyai harapan hidup lebih lama. Namun
jika pasien memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler dan telah menderita diabetes lama
(≥ 15 tahun) akan mempunyai harapan hidup lebih singkat, walaupun telah melakukan
kontrol glikemik ketak sekalipun. DM dapat menyebabkan mortalitas dan morbiditas
karena dapat berkomplikasi pada penyakit kardiovaskuler, penyakit ginjal, gangguan
pembuluh darah perifer, gangguan saraf (neuropati), dan retinopati. Pengontrolan kadar
glikemik merupakan cara efektif untuk pencegahan DM.

10) Menjelaskan Penyakit Diabetes Yang Memerlukan Rujukan


Kasus diabetes mellitus yang memerlukan Rujukan mendesak ditandai dengan:
a. Keton urin lebih dari 2+ atau suspek ketoasidosis atau HHS
b. Dalam terapi oral anti diabetes tunggal atau kombinasi dalam 3 bulan
pengobatan tidak mencapai target
c. Hipoglikemia berat yang tidak teratasi dan tidak membaik dengan tatalaksana
medis. Hipoglikemia berat adalah kadar glukosa serum <70 mg/dL dan pasien
memerlukan bantuan orang lain untuk pemberian glukosa, seperti glukosa
intravena, glukagon, atau resusitasi lainnya.
d. Kecurigaan klinis diabetes tipe 1 pada pasien yang baru didiagnosis
e. Diabetes mellitus dengan gejala/tanda komplikasi, seperti penyakit jantung
koroner, stroke, penurunan penglihatan, krisis hipertensi, anuria atau eGFR
(estimated glomerular filtration rate) <30 mL/menit/1,73 m2.
f. Ulkus diabetikum yang terinfeksi dengan atau tanpa gejala infeksi sistemik;
gangrene, critical limb ischaemia.
Sedangkan kasus diabetes mellitus yang memerlukan rujukan non-darurat ditandai
dengan:
a. Dalam 3 bulan ditemukan GDP >130 mg/dl, gula darah 2 jam post prandial
(GDPP) >180 mg/dl, atau HbA1c >7%
b. Dislipidemia, anemia, krisis hiperglikemia, atau pasien dengan gejala dan tanda
penyakit peripheral vascular disease
c. Pasien DM tipe 2 dengan komplikasi seperti hipertensi, retinopati, nefropati
d. Pasien hamil, lansia, tuberkulosis (TBC) paru atau TBC lainnya
e. Dalam terapi oral anti diabetes tunggal atau kombinasi dalam 3 bulan
pengobatan tidak mencapai target
f. Nilai eGFR (estimated glomerular filtration rate) 30–59 mL/mnt/1,73 m2 atau
albuminuria (dari pemeriksaan rasio albumin urin/kreatinin) >30 mg/g
g. Tekanan darah lebih dari 130/80 mmHg meskipun pengobatan dengan dua obat
h. Diabetes melitu dengan infeksi kaki berat: ulkus, selulitis, abses.

Anda mungkin juga menyukai